Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

(1)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN PULAU KAMPAI KECAMATAN PANGKALAN

SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH

ZULFA SUZA SIMANJUNTAK 060805018

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN PULAU KAMPAI KECAMATAN PANGKALAN

SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains.

OLEH

ZULFA SUZA SIMANJUNTAK 060805018

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS

DI PERAIRAN PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA.

Kategori : SKRIPSI

Nama : ZULFA SUZA SIMANJUNTAK

Nomor Induk Mahasiswa : 060805018

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Desember 2010

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari Yeanny,. S.Si, M.Si Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus,. M.Sc NIP. 197211 261998 02202 NIP. 195810 161987 031003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU

Prof. Dr. Dwi Suryanto,. M.Sc NIP.196404 091994 031003


(4)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN

SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan yang ditambahkan oleh dosen pembimbing dan dosen penguji, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2010

ZULFA SUZA SIMANJUNTAK 060805018


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini yang berjudul “Keanekaragaman Makrozoobenthos di Perairan Pulau Sembilan

Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara” yang merupakan

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc sebagai dosen pembimbing I , dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, waktu dan perhatian yang besar selama proses penulisan dan penyusunan skripsi ini.

Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si, Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, Ms selaku Dosen Penguji dan Ibu Dr. Suci Rahayu selaku Dosen Penasehat Akademik yang membimbing penulis selama masa perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Departemen Biologi, Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, Rosalina Ginting, Erwin selaku Pegawai Administrasi dan seluruh Dosen Pengajar di Departemen Biologi. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Dr. Sutarman M.Sc selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada yang super yaitu Ayahanda tercinta Djawarmi Simanjuntak serta Ibunda tercinta Darwani Pasaribu atas tiap tetes keringat, air mata, harapan, doa dan dukungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini. Serta kepada abang tersayang Muhammad Yusuf dan Adik-adik saya Ifrah Syarifah dan Hafsah Armi yang selalu memberikan dukungan kepada saya selama ini. Dan tak lupa ucapan terima kasih kepada kedua nenek saya, Ummi Kalsum Siregar dan Ameato Pasaribu atas doa-doa kepada saya agar bisa menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan stambuk 2006, senior dan junior (Kak Irma, S.Si dan Kak Sarah, S.Si (kakak asuh), dwi, ira, adzri, wiky (adik special), yang banyak memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini, juga terima kasih kepada Tim Lapangan: Dian Purnamasari, Maslena Siregar, Grisa Tratlira, Afridawati dan Hariadi Sirait yang banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. Serta persahabatan kita selama 4 tahun bersama yang tidak akan pernah terlupakan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyelesaian penelitian ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun dari semua pihak demi perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.


(6)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang “Keanekaragaman Makrozoobenthos di Perairan

Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara”.

Sampel diambil dari tiga stasiun pengamatan, dimana pada setiap stasiun dilakukan sembilan kali ulangan. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan surber net dan sampel diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan sebanyak 19 genus makrozoobenthos yang terdiri dari 4 filum yaitu Annelida, Arthropoda, Echinodermata dan Molusca. Nilai kepadatan tertinggi terdapat pada genus Cerithidea sebesar 44,44 ind/m2 (stasiun I), dan nilai kepadatan populasi terendah terdapat pada genus Ophiomastix sebesar 1,22 ind/m2 (stasiun II). Indeks keanekaragamanmakrozoobenthos (H’) tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 2,272 dan terendah pada stasiun III sebesar 2,121. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun II sebesar 0,942 dan terendah pada stasiun I sebesar 0,914. Hasil analisis korelasi dengan Uji Pearson menunjukkan bahwa suhu, BOD5, salinitas, kandungan organik substrat dan pH memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat terhadap Indeks Keanekaragaman (H’) makrozoobenthos.


(7)

THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS IN SEMBILAN ISLAND WATERS SUBDISTRICT OF PANGKALAN SUSU DISTRICT OF LANGKAT

NORTH SUMATERA

ABSTRACT

“The diversity of macrozoobenthos in Sembilan Island Waters, subdistrict of Pangkalan Susu, District of Langkat, North Sumatera”, has been observed.

The sample was taken from three stations of observation, nine replications were conducted in each station. The point of sampling was determined by using Purposive Random Sampling Method. The samples was taken by using surber net and the sample was then identified in Management Laboratory of Natural Resource and Environment, Study Program of Biology, Faculty of Matematics and Natural Science, University of Sumatera Utara, Medan. The result of research indicated 19 genus of macrozoobenthos consisting of 4 filum: Annelida, Arthropoda, Echinodermata and Molusca. The highest density was found in genus of Cerithidea, 44,44 ind/m2 (station I), and the lowest was found in genus of Ophiomastix, 1,22 ind/m2 (station II). The highest diversity index of macrozoobenthos was found in station III, 2,121 ind/m2. The highest uniformity index (E) was found in station II, 0,942 and the lowest one was in station I, 0,914. The result of correlation analysis by Pearson-test indicated that temperature, BOD5, salinity, organic substrat and pH have a strong correlation to diversity index (H’) of macrozoobenthos.


(8)

DAFTAR ISI

halaman

Penghargaan i

Abstrak ii

Abstrac iii

Daftar Isi iv

Daftar Tabel v

Daftar Lampiran vi

Daftar Gambar vii

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 6

1.3 Tujuan Penelitian 6

1.4 Hipotesis 6

1.5 Manfaat 7

Bab 2. Bahan dan Metode 8

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian 8

2.2 Metode Penelitian 8

2.3 Deskripsi Area 8

2.4 Pengambilan Sampel Benthos 10

2.5 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 11

2.6 Analisis Data 13

2.7 Analisis Korelasi 16

Bab 3. Hasil dan Pembahasan 17

3.1 Parameter Biotik 17

3.2 Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobenthos

19 3.3 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang

Didapatkan pada Stasiun Penelitian

24 3.4 Indeks Keanekaragaman (H’), dan Indeks Keseragaman(E) 25

3.5 Indeks Similaritas (IS) 26

3.6 Parameter Abiotik 27

3.7 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00

36

Bab 4. Kesimpulan dan Saran 39

4.1 Kesimpulan 39

4.2 Saran 40


(9)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 2.5 Parameter Fisik-Kimia Perairan yang akan Diukur Di Perairan

Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

13

Tabel 2.7 Nilai Analisis Korelasi 16

Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobenthos yang Didapatkan Pada Setiap Stasiun Penelitian di Beberapa Lokasi di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu KAbupaten Langkat Sumatera Utara

17

Tabel 3.2 Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobenthos

19 Tabel 3.3 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang

Didapatkan pada Stasiun Penelitian

23 Tabel 3.4 Indeks Keanekargaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

makrozoobenthos di Setiap Stasiun Penelitian

24 Tabel 3.5 Indeks Similaritas (IS) atau Kesamaan pada Setiap Stasiun

Penelitian

26 Tabel 3.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada

Stasiun Penelitian di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

27

Tabel 3.7 Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Makrozoobenthos dengan Faktor Fisik Kimia Perairan


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran A: Peta Lokasi Penelitian 42

Lampiran B: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 43 Lampiran C: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk mengukur BOD5 44 Lampiran D: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur TDS 45 Lampiran E: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur TSS 46 Lampiran F: Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada Berbagai

Temperatur Air

47 Lampiran G: Foto Makrozoobenthos yang Didapatkan 48 Lampiran H: Jumlah dan Jenis Makrozoobenthos yang Didapatkan

Pada Setiap Stasiun Penelitian

52


(11)

DAFTAR GAMBAR

halaman Gambar 2.1 Lokasi Penelitian di Stasiun I 9 Gambar 2.2 Lokasi Penelitian di Stasiun II 9 Gambar 2.3 Lokasi Penelitian di Stasiun III 10

Gambar 1. Anadara 48

Gambar 2. Anomia 48

Gambar 3. Argopecten 48

Gambar 4. Cerithidea 48

Gambar 5. Cymatium 48

Gambar 6. Ephitonium 48

Gambar 7. Litophaga 49

Gambar 8. Littorina 49

Gambar 9. Murex 49

Gambar 10. Nassarius 49

Gambar 11. Neanthes 49

Gambar 12. Nerita 49

Gambar 13. Ophiomastix 50

Gambar 14. Palaemonetes 50

Gambar 15. Pugilina 50

Gambar 16. Rhinoclavis 50

Gambar 17. Scylla 50

Gambar 18. Telescopium 50


(12)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang “Keanekaragaman Makrozoobenthos di Perairan

Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara”.

Sampel diambil dari tiga stasiun pengamatan, dimana pada setiap stasiun dilakukan sembilan kali ulangan. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan surber net dan sampel diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan sebanyak 19 genus makrozoobenthos yang terdiri dari 4 filum yaitu Annelida, Arthropoda, Echinodermata dan Molusca. Nilai kepadatan tertinggi terdapat pada genus Cerithidea sebesar 44,44 ind/m2 (stasiun I), dan nilai kepadatan populasi terendah terdapat pada genus Ophiomastix sebesar 1,22 ind/m2 (stasiun II). Indeks keanekaragamanmakrozoobenthos (H’) tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 2,272 dan terendah pada stasiun III sebesar 2,121. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun II sebesar 0,942 dan terendah pada stasiun I sebesar 0,914. Hasil analisis korelasi dengan Uji Pearson menunjukkan bahwa suhu, BOD5, salinitas, kandungan organik substrat dan pH memiliki tingkat hubungan yang sangat kuat terhadap Indeks Keanekaragaman (H’) makrozoobenthos.


(13)

THE DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS IN SEMBILAN ISLAND WATERS SUBDISTRICT OF PANGKALAN SUSU DISTRICT OF LANGKAT

NORTH SUMATERA

ABSTRACT

“The diversity of macrozoobenthos in Sembilan Island Waters, subdistrict of Pangkalan Susu, District of Langkat, North Sumatera”, has been observed.

The sample was taken from three stations of observation, nine replications were conducted in each station. The point of sampling was determined by using Purposive Random Sampling Method. The samples was taken by using surber net and the sample was then identified in Management Laboratory of Natural Resource and Environment, Study Program of Biology, Faculty of Matematics and Natural Science, University of Sumatera Utara, Medan. The result of research indicated 19 genus of macrozoobenthos consisting of 4 filum: Annelida, Arthropoda, Echinodermata and Molusca. The highest density was found in genus of Cerithidea, 44,44 ind/m2 (station I), and the lowest was found in genus of Ophiomastix, 1,22 ind/m2 (station II). The highest diversity index of macrozoobenthos was found in station III, 2,121 ind/m2. The highest uniformity index (E) was found in station II, 0,942 and the lowest one was in station I, 0,914. The result of correlation analysis by Pearson-test indicated that temperature, BOD5, salinity, organic substrat and pH have a strong correlation to diversity index (H’) of macrozoobenthos.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan cadangan terbesar untuk bahan-bahan mineral, energi, dan bahan makanan. Selain itu masih banyak bahan-bahan mineral lain yang terdapat dalam cairan air laut. Daerah laut yang produktif adalah daerah yang dalamnya maksimal 200 meter dari permukaan laut. Disini endapan mineral oleh gerakan air laut dapat naik lagi ke permukaan laut dan yang kemudian digunakan oleh fitoplankton untuk membentuk jaringan hidup (Thohir, 1991, hlm: 155).

Dalam ekosistem perairan (tawar, pesisir dan lautan) berbagai jasad hidup (biotik) dan lingkungan fisik (abiotik) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait. Dua komponen ini saling berinteraksi antara satu dengan lainnya, sehingga terjadi pertukaran zat (energi) diantara keduanya. Komponen abiotik merupakan faktor pendukung bagi kelangsungan hidup organisme. Dalam ekosistem pesisir, komponen abiotik tersebut terdiri dari unsur dan senyawa anorganik, senyawa organik dan iklim. Unsur dan senyawa anorganik adalah C, N. CO2 dan H2O. Sedangkan senyawa anorganik terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin. Faktor iklim yang memegang peranan penting dalam perairan adalah suhu. Ekosistem pesisir memiliki struktur yang khas, hal ini disebabkan ekosistem tersebut merupakan daerah peralihan antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan (Dahuri et al., 2006, hlm: 64).


(15)

Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), dasar lautan dapat di bedakan menjadi tiga daerah atau zona yaitu :

a. Zona litoral yaitu daerah yang masih dapat ditembus oleh cahaya sampai dasar perairan 0-200 meter.

b. Zona neritik yaitu daerah perairan yang masih ada cahaya, tetapi remang- remang mencapai kedalaman 200-2000 m.

c. Zona abisal yaitu daerah perairan yang tidak lagi dapat ditembus oleh cahaya, daerah ini mencapai kedalaman lebih dari 2000 meter.

Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan, terutama terhadap makrozoobenthos, yaitu membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesies lain. Jadi, jika air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari jumlah yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi populasi yang sedikit tetapi populasinya tinggi. Oleh karena itu, penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran (Sastrawijaya, 1991, hlm: 84).

Menurut Wardhana (2004, hlm: 74) indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati melalui:

a. Adanya perubahan suhu air

b. Adanya perubahan pH atau konsentrasi ion Hidrogen c. Adanya perubahan warna, bau dan rasa air

d. Timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut e. Adanya mikroorganisme

f. Meningkatnya radioaktivitas air lingkungan.

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 127) klasifikasi derajat pencemaran air berdasarkan indeks diversitas komunitas hewan benthos yaitu:

a. Tidak tercemar : jika indeks diversitas komunitas benthos > 2,0 b. Tercemar ringan : jika indeks diversitas komunitas benthos 1,6-2,0 c. Tercemar sedang : jika indeks diversitas komunitas benthos 1,0-2,0 d. Tercemar berat : jika indeks diversitas komunitas benthos < 1,0.


(16)

Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan sifat hidupnya, benthos dibedakan antara fitobenthos yaitu benthos yang bersifat tumbuhan dan zoobenthos yaitu organisme benthos yang bersifat hewan. Berdasarkan cara hidupnya benthos dibedakan atas dua kelompok, yaitu infauna (benthos yang hidupnya terbenam di dalam substrat dasar perairan) dan epifauna (benthos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan) (Barus, 2005, hlm: 33).

Benthos mencakup biota menempel, merayap, dan meliang di dasar laut. Kelompok biota ini hidup di dasar perairan mulai dari garis pasang surut sampai abisal (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 51-52). Barus (2004, hlm: 33) menjelaskan bahwa semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar perairan baik yang sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas) termasuk dalam kategori benthos.

Susunan substrat dasar penting bagi organisme yang hidup di zona dasar perairan, seperti benthos, baik pada air diam maupun pada air yang mengalir (Michael, 1984, hlm: 140). Substrat dasar merupakan faktor utama yang mempengaruhi kehidupan, perkembangan dan keanekaragaman makrozoobentos (Hynes, 1976, hlm: 8).

Barus (2004, hlm: 34) menjelaskan bahwa berdasarkan ukuran tubuhnya, benthos dapat dibagi menjadi:

a. Makrobenthos yaitu kelompok benthos yang berukuran >2 mm. b. Meiobenthos yaitu kelompok benyhos yang berukuran 0,2-2 mm. c. Mikrobenthos yaitu kelompok benthos yang berukuran < 0,2 mm.

Menurut letaknya, makrozoobenthos dapat dikelompokkan menjadi epifauna dan infauna. Epifauna adalah organisme bentik yang hidup pada atau dalam keadaan yang berasosiasi dengan permukaan. Sedangkan infauna adalah organisme yang hidup di substrat dasar perairan. Organisme infauna digolongkan menurut ukurannya yaitu makrofauna adalah organisme yang berukuran lebih besar dari 1 mm. Meiofauna adalah organisme yang berukuran 1 sampai 0,1 mm, dan mikrofauna yaitu organisme yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm (Nybakken, 1988, hlm: 168).


(17)

Di daerah tertentu, beberapa subkomunitas bentik yang ditemukan untuk saling menggantikan dari pantai sampai ke ujung laut sangat tergantung dari jenis dasar laut, apakah berupa pasir, batuan ataupun berlumpur. Binatang-binatang infauna sering kali memberikan reaksi yang mencolok terhadap ukuran butiran atau tekstur dasar laut. Dengan menetapkan rasio antara pasir-lumpur sudah dapat dipastikan jenis-jenis organisme yang ditemukan. Cara makan benthos menimbulkan perubahan yang menarik sepanjang lereng pasir-lumpur yaitu dengan cara menyaring menonjol di dalam dan diatas dasar berpasir, sedangkan yang makan dari endapan lebih umum di dasar lumpur (Odum, 1994, hlm: 416-417).

Benthos juga merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis ikan dan menempati urutan kedua dan ketiga dalam rantai makanan di suatu komunitas perairan. Benthos dapat dijumpai pada berbagai tipe perairan seperti sungai, kolam, danau, estuaria, dan laut. Umumnya benthos yang sering dijumpai di suatu perairan adalah taksa Crustaceae, Molusca, Insekta dan sebagainya. Benthos tidak saja berperan sebagai penyusun komunitas perairan, tetapi juga dapat digunakan dalam studi kuantitatif untuk mengetahui kualitas suatu perairan (Barus, 2004, hlm: 34).

Dalam penilaian kualitas perairan, pengukuran keanekaragaman jenis organisme sering lebih baik daripada pengukuran bahan-bahan organik secara langsung. Makrozoobenthos sering dipakai untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan fisik, kimia, dan biologi perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos karena makrozoobenthos merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemaran kimia maupun fisik (Odum, 1994, hlm: 385). Hal ini disebabkan karena makrozoobenthos pada umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat dan habitatnya di dasar yang umumnya adalah tempat bahan tercemar. Menurut Wilhm (1975) dalam Marsaulina (1994, hlm: 9) perubahan sifat substrat dan penambahan pencemaran akan berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragamannya.


(18)

Beberapa alasan dalam pemilihan benthos sebagai bioindikator kualitas di suatu ekosistem air yaitu:

a. Pergerakannya yang sangat terbatas sehingga memudahkannya dalam pengambilan sampel.

b. Ukuran tubuh relatif besar sehingga relatif mudah di identifikasi.

c. Hidup di dasar perairan serta relatif diam, sehingga secara terus menerus terdedah oleh kondisi air di sekitarnya.

d. Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan benthos sangat terpengaruh oleh berbagai perubahan lingkungan yang mempengaruhi kondisi air tersebut.

e. Perubahan faktor-faktor lingkungan ini akan mempengaruhi keanekaragaman komunitas benthos (Barus, 2004, hlm: 34-35).

Pulau Sembilan merupakan suatu desa yang berada di gugusan pulau-pulau Kabupaten Langkat. Desa Pulau Sembilan berdekatan dengan Selat Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan secara administrasi terletak di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat. Jarak Pulau Sembilan dengan ibu kota Kecamatan Pangkalan Susu sejauh 6 km. Luas Pulau Sembilan 24,00 km2 atau 8.84% dari total luas Kecamatan Pangkalan Susu

Di perairan Pulau Sembilan terdapat berbagai aktivitas manusia yang berlangsung di sekitar Perairan Pulau Sembilan Langkat antara lain : kegiatan domestik, pertambakan ikan, kerang mutiara, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keberadaan benthos di dalam ekosistem perairan yang selanjutnya juga akan mempengaruhi faktor fisik kimia dan biota air lainnya. Berkaitan dengan keadaan tersebut maka dilakukan penelitian tentang ”Keanekaragaman Makrozoobenthos di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan


(19)

1.2Permasalahan

Pulau Sembilan secara administratif terletak di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat banyak digunakan masyarakat yang berada di daerah tersebut untuk berbagai kegiatan, seperti aktivitas masyarakat seperti mandi, cuci, kakus (MCK), pengembangan budidaya ikan kerambah dan mutiara serta pengolahan kulit kerang. Beragamnya aktivitas manusia ini akan mempengaruhi faktor fisik-kimia perairan, sehingga secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap keanekaragaman makrozoobenthos pada ekosistem perairan yang mengelilingi Pulau Sembilan. Sejauh ini belum diketahui bagaimana keanekaragaman makrozoobenthos di Perairan Pulau Sembilan Langkat dan hubungan keanekaragaman dengan faktor fisik kimia perairan.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Pulau Sembilan.

b. Mengetahui hubungan antara faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman makrozoobenthos di Perairan Pulau Sembilan.

1.4Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman makrozoobenthos pada tiga lokasi pengamatan di Perairan Pulau Sembilan.

b. Terdapat hubungan antara faktor fisik kimia air dengan keanekaragaman makrozoobenthos di Perairan Pulau Sembilan.


(20)

1.5Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobenthos di Perairan Pulau Sembilan.

b. Memberikan informasi yang berguna bagi berbagai pihak yang membutuhkan data mengenai kondisi lingkungan di Perairan Pulau Sembilan.


(21)

BAB 2

BAHAN DAN METODE

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 pada 3 (tiga) lokasi di Perairan Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Peta Lokasi Penelitian pada Lampiran A).

2.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel Benthos adalah ”Purposive Random Sampling” pada 3 (tiga) stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 9 (sembilan) kali ulangan pengambilan sampel.

2.3 Deskripsi Area

Perairan Pulau Sembilan terletak di Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang secara geografis terletak pada 04º 09’ 05,18” LU dan 98º 15’ 46,79” BT (Lampiran A). Penelitian ini dilakukan pada 3 (tiga) stasiun sebagai berikut:

a. Stasiun I

Stasiun penelitian ini terdapat mangrove yang merupakan daerah bebas aktivitas (kontrol), dan memiliki kedalaman < 40 m . Secara geografis terletak pada


(22)

04º 08’ 01,0” LU dan 98º 15’ 08,6” BT (Gambar 1). Subtrat dasar pada lokasi ini untuk pengambilan sampel maakrozoobenthos pada kedalaman antara 1-2 m di atas permukaan air dengan jenis substrat berupa lumpur berpasir.

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel pada Stasiun I (merupakan daerah kontrol)

b. Stasiun II

Stasiun ini merupakan daerah pertambakan ikan, dan memiliki kedalaman < 40 m. Secara geografis terletak pada 04º 07’ 27,7” LU dan 98º 12’ 46,3” BT (Gambar 2). Substrat dasar pada lokasi ini untuk pengambilan sampel makrozoobenthos pada kedalaman 1-2 m di atas permukaan air dengan jenis substrat berupa batuan dan pasir berlumpur.

Gambar 2. Lokasi Pengambilan Sampel pada Stasiun II (merupakan daerah pertambakan ikan)


(23)

c. Stasiun III

Stasiun ini merupakan daerah pemukinan penduduk, dan memiliki kedalaman < 40 m. Secara geografis terletak 04º 08’ 18,4” LU dan 98º 14’ 50,5” BT (Gambar 3). Substrat dasar pada lokasi ini untuk pengambilan sampel makrozoobenthos pada kedalaman 1-2 m di atas permukaan air dengan jenis substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir.

Gambar 3. Lokasi Pengambilan Sampel pada Stasiun III (merupakan daerah pemukiman masyarakat)

2.4 Pengambilan Sampel Benthos

Pengambilan sampel benthos dilakukan dengan menggunakan surber net. Surber net tersebut diletakkan di substrat dasar perairan dengan posisi melawan arus dan diambil dengan 9 kali ulangan pada setiap stasiun. Benthos dan substrat kemudian dipisahkan dengan metode hand sortir. Benthos yang didapat dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke dalam botol film yang telah ditulis label lalu diberi alkohol 70% sebagai pengawet.

Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU, dan selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Edmonson (1963), Dharma (1988), dan Pennak (1978).


(24)

2.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Suhu (oC)

Air diambil, kemudian dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air selama ±10 menit kemudian dibaca skalanya.

b. Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan Metode Winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut (Lampiran B).

c. Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan Metode Winkler. Sampel air yang diambil dari perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Kemudian, diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 0C. Setelah 5 hari dihitung kadar BOD dengan cara yang sama seperti penghitungan kadar oksigen (DO). Kadar BOD5 dihitung dengan cara mengurangkan DO awal dengan DO akhir, bagan kerja terlampir. Pengukuran BOD dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan (Lampiran B).

d. Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Sampel air diteteskan pada refraktometer kemudian dibaca skala salinitasnya.


(25)

e. Intensitas Cahaya

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan lux meter, yaitu dengan cara mengarahkannya ke arah matahari kemudian dibiarkan hingga skala stabil dan dibaca skalanya.

f. Penetrasi Cahaya

Diukur dengan menggunakan keping sechii yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping sechii antara terlihat dengan tidak, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air.

g. pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai angka yang tertera pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

h. Kejenuhan Oksigen Kejenuhan = DO (u) DO (t)

x 100%

Keterangan : DO (u) : DO yang diukur di lapangan DO (t) : DO yang ada pada tabel


(26)

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.5

Tabel 2.5 Parameter Fisik-Kimia Perairan yang akan Diukur Di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

No Parameter Fisik-Kimia satuan Alat Tempat

Pengukuran

1 Suhu °C Termometer Air

Raksa

In-situ

2 DO (Dissolved Oxygen) mg/l Metode Winkler In-situ

3 BOD5 (Biochemical Oxygen

Demand)

mg/l Metode Winkler dan Inkubasi

Ex-situ

4 Salinitas %o Metode Winkler In-situ

5 Intensitas Cahaya candela Lux meter In-situ

6 Penetrasi Cahaya cm Keping Sechii In-situ

7 pH - Refraktometer In-situ

8 Kejenuhan Oksigen % - In-situ

9 TDS mg/l Gravimetri Ex-situ

10 TSS mg/l Gravimetri Ex-situ

11 Kandungan Substrat Organik % Oven dan Tanur Ex-situ

12 Substrat dasar - - -

Keterangan ;

In-situ = langsung dilapangan Ex-situ= di laboratorium

2.6 Analisis Data

Data makrozoobenthos yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks similaritas dan analisis korelasi dengan persamaan dalam Krebs (1985), Michael (1984), Suin (2002) sebagai berikut:

a. Kepadatan populasi (K)

Sampel Unit Luas jenis suatu individu Jumlah K=


(27)

b. Kepadatan Relatif (KR)

KR (%) =

K total spesies setiap dalam K Jumlah x 100

c. Frekuansi Kehadiran (FK)

% 100 x plot total Jumlah jenis suatu ditempati yang plot Jumlah FK=

dimana nilai FK :

0 - 25 % = sangat jarang 25 - 50% = jarang

50 – 75% = sering

> 75% = sangat sering

d. Indeks Keanekaragaman (H’)

H’ = −

pi ln pi

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener Pi = proporsi spesies ke – i

ln = logaritma Nature

pi =

ni /N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan)

dengan nilai H’ : 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

Nilai indeks diversitas (H’) dihubungkan dengan tingkat pencemaran: >2,0 = tidak tercemar

1,6<H’<2,0 = tercemar ringan 1,0<H’<1,6 = tercemar sedang <1,0 = tercemar berat


(28)

e. Indeks Equitabilitas / Indeks Keseragaman (E)

(E) =

max '

H H

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum = ln S (dimana S banyaknya spesies)

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum = ln S (dimana S banyaknya spesies)

f. Indeks Similaritas (IS)

IS =

b a

c

+ 2

X 100% dimana:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

dengan nilai IS:

75-100% = sangat mirip 50-75% = mirip 25-50% = tidak mirip ≤25% = sangat tidak mirip


(29)

g. Kejenuhan Oksigen

Kejenuhan Oksigen (%) =

( )

( )

100%

2 2

x u O

u O

dimana: O2 (u) = nilai kosentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 (t) = nilai kosentrasi oksigen sebenarnya (pada tabel) sesuai dengan besarnya suhu.

2.7 Analisis Korelasi

Analisis Korelasi Pearson merupakan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara faktor fisik kimia air dengan nilai keanekaragaman makrozoobenthos. Uji korelasi tersebut dilakukan dengan metode komputerisasi menggunakan SPSS Versi 16.00.

Menurut Sugiyono (2005), tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi dinyatakan sebagai berikut:

Tabel 2.7 Analisis Korelasi Pearson

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat Rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat


(30)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Parameter Biotik

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 3 (tiga) stasiun di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara didapat 19 genus makrozoobenthos, yang termasuk ke dalam 4 filum, 5 kelas, 9 ordo, dan 18 famili seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobenthos yang Didapatkan Pada Setiap Stasiun Penelitian di Beberapa Lokasi di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

No Filum No Kelas No Ordo No Famili No Genus

1 Annelida 1 Chaetopoda 1 Polychaeta 1 Serpulidae 1 Neanthes

2 Arthropoda 2 Crustaceae 2 Decapoda 2 Palaemonidae 2 Palaemonetes

3 Scylladae 3 Scylla

3 Echinodermata 3 Asteroidea 3 Holothuroida 4 Ophiuroidae 4 Ophiomastix

4 Molusca 4 Bivalvia 4 Taxodonta 5 Arcidae 5 Anadara

5 Pterioida 6 Anomiidae 6 Anomia

7 Pectenidae 7 Argopecten

6 Mytiloida 8 Mytilidae 8 Litophaga

5 Gastropoda 7 Caenogastropoda 9 Neritidae 9 Nerita

8 Neogastropoda 10 Muricidae 10 Murex

11 Nassariidae 11 Nassarius 12 Melongidae 12 Pugilina 9 Mesogastropoda 13 Potamididae 13 Cerithidea

14 Telescopium 14 Cerithiidae 15 Rhinoclavis 15 Naticidae 16 Terebralia

16 Cymatiidae 17 Cymatium

17 Littorinidae 18 Littorina 18 Epitoniidae 19 Ephitonium

Dari Tabel 3.1 menunjukkan bahwa makrozoobenthos yang banyak didapatkan adalah dari filum Molusca yaitu dari kelas Gastropoda sebanyak 11 genus, sedangkan


(31)

yang paling sedikit didapatkan adalah dari filum Annelida dan filum Echinodermata masing-masing sebanyak 1 genus. Banyaknya genus dari kelas Gastropoda yang didapatkan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kondisi fisik-kimia di perairan ini dapat mendukung kehidupannya dan kelompok tersebut mempunyai kisaran toleransi yang luas terhadap faktor lingkungan mampu berkembangbiak dengan cepat dan disebabkan oleh cara penyebaran yang luas serta mempunyai daerah jelajah yang digunakan untuk mencari dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan, seperti substrat dasar perairan yang berupa lumpur berpasir, kandungan oksigen terlarut dalam air, kandungan organik substrat, pH air dan suhu (lihat pada tabel 3.6), sesuai untuk kehidupan genus tersebut. Menurut Hynes (1976, hlm: 134) beberapa Gastropoda dapat hidup dan berkembang dengan baik pada berbagai jenis substrat yang memiliki ketersediaan nutrisi yang berlimpah, kandungan oksigen terlarut dalam air tinggi, dan pH air yang normal. Menurut Odum (1993) jenis dominan sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan.. Menurut Nirarita et al., (1996) dalam Suwondo et al.,

(2005) pada umumnya substrat dasar yang berlumpur disenangi oleh hewan benthos daripada dasar yang berupa pasir, sedangkan mengelompoknya jenis Gastropoda yang lain diduga karena sifatnya yang hidup bergerombol, seragam dan menempel pada satu tempat sepanjang waktu.

Filum Annelida lebih sedikit didapatkan karena filum tersebut lebih menyukai DO (Dissolved Oxygen) yang rendah disebabkan oleh kandungan organik yang tinggi. Menurut (Alcantara et al., 1991 dalam Junardi & Wardoyo, 2008) kelompok Annelida merupakan pemakan deposit ini lebih dapat cepat beradaptasi dengan kondisi bahan organik tinggi. Kandungan karbon organik yang tinggi dalam sedimen akan berdampak pada rendahnya oksigen dalam sedimen. Filum Echinodermata yaitu genus Ophiomastix lebih sedikit ditemukan, karena filum tersebut terbawa oleh arus, sehingga tidak sesuai dengan kehidupannya dimana habitat alaminya adalah terumbu karang. Menurut Nontji (1993) Ophiomastix biasanya sukar dijumpai karena hidup pada tempat-tempat gelap di bawah batu atau celah-celah karang.

Filum Arthropoda dari kelas Crustaceae merupakan fauna mangrove dengan penyebaran yang luas. Crustaceae dan Molusca mendominasi komunitas fauna bentik


(32)

pada kebanyakan ekosistem mangrove. Penyebaran yang luas ini menyebabkan komposisi kelas Gastopoda dan Crustaceae lebih besar dibandingkan kelas-kelas lain. Umumnya kelompok Crrustacea memiliki adaptasi dalam menghindarkan diri dari mangsanya yaitu dengan cara membenamkan diri di dalam lubang lumpur, dan lebih aktif pada malam hari, sehingga jarang ditemukan pada siang hari. Menurut (Kasry, 1996 dalam Agus, 2008) pada tingkat juvenile, kepiting jarang kelihatan di daerah bakau pada siang hari, karena lebih suka membenamkan diri di lumpur, sehingga kepiting ini juga disebut kepiting lumpur.

3.2 Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobenthos

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun penelitian pada Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2 Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Pada Setiap Stasiun Penelitian

Genus I II III

K KR FK K KR FK K KR FK

Anadara - - - 13,55 8,95 66,66 8,55 7,33 55,55

Anomia - - - 16 10,56 66,66 - - -

Argopecten - - - 16 10,56 66,66 - - -

Cerithidae 44,44 25,81 99,99 20,88 13,79 77,77 20,88 17,92 77,77

Cymatium 18,44 10,71 66,66 - - - 8,55 7,33 55,55

Ephitonium 8,55 4,96 55,55 - - - 7,33 6,29 55,55

Litophaga - - - 12,33 8,14 55,55 - - -

Littorina - - - 29,55 25,36 99,99

Murex 16 9,29 66,66 - - - 8,55 7,33 44,44

Nassarius 12,33 7,16 55,55 - - - -

Neanthes - - - 13,55 8,95 55,55 3,66 3,14 33,33

Nerita 23,44 13,61 77,77 12,33 8,14 55,55 13,55 11,63 66,66

Ophiomastix - - - 1,22 0,80 11,11 - - -

Palaemonetes 7,33 4,25 55,55 25,88 17,09 77,77 - - -

Pugilina 7,33 4,25 55,55 - - - -

Rhinoclavis 8,55 4,96 55,55 - - - 7,33 6,29 55,55

Scylla 6,11 4,21 44,44 8,55 5,64 55,55 - - -

Telescopium 13,55 7,86 77,77 11 7,33 66,66 8,55 7,33 55,55

Terebralia 6,11 3,54 44,44 - - - -

∑Taksa 12 11 10


(33)

Keterangan:

Stasiun I : Daerah Kontrol (mangrove) Stasiun II : Daerah Pertambakan Ikan Stasiun III : Daerah Pemukiman Penduduk

Pada stasiun I didapatkan genus Cerithidae memiliki Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 44,44 ind/m2 (K), 25,81% (KR) dan 99,99% (FK). Hal ini karena kondisi lingkungan perairan yang sesuai dengan pertumbuhan Cerithidae yaitu substrat dasar perairan yang berupa lumpur dengan kandungan organik substrat pada stasiun I yang paling tinggi dari ketiga stasiun sebesar 0,55% yang berasal dari dekomposisi serasah mangrove yang terdapat pada stasiun I sehingga dapat mendukung kehidupannya serta pH 7,3 (Tabel 3.6). Hal ini didukung oleh Hynes (1976, hlm: 8) dalam Wargadinata (1995, hlm : 14), menyatakan bahwa Cerethidae adalah genus yang menyukai habitat yang berlumpur dan berpasir. Menurut (Budiman, 1984 dalam Heryanto, 2008) Cerithidae mendominasi lingkungan dikarenakan lingkungan daratan basah berubah menjadi lingkungan air serta predator yang selalu mengancam tidak ada lagi. Maka terjadi keseimbangan baru di lingkungan yang baru sehingga dari semua kepadatan populasi genus yang ditemukan, kepadatan Cerithidae menempati posisi tertinggi. Menurut Koesbiono (1979, hlm: 27) kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobenthos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobenthos tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan benthos dan sebagai organisme dasar, benthos menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan benthos.

Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah didapatkan pada genus Scylla dan Terebralia sebesar 6,11 ind/m2 (K), 3,54% (KR), dan 44,44% (FK). Hal ini karena substrat dasar yang berupa lumpur sehingga kedua genus tersebut mampu membenamkan diri pada lubang di dalam substrat dasar untuk menghindari predator. Genus Scylla lebih aktif pada malam hari. Menurut (Kasry, 1996 dalam Agus, 2008) pada tingkat juvenile, kepiting jarang kelihatan di daerah bakau pada siang hari, karena lebih suka membenamkan diri di lumpur, sehingga kepiting ini juga disebut kepiting lumpur. Menurut (Mossa, et al,. 1985, dalam Agus, 2008) kepiting


(34)

bakau termasuk golongan hewan nocturnal, karena kepiting beraktivitas pada malam hari. Kepiting ini bergerak sepanjang malam untuk mencari pakan bahkan dalam semalam kepiting ini mampu bergerak mencapai 219 – 910 meter.

Pada stasiun II genus Palaemonetes memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 25,88 ind/m2 (K), 17,09% (KR) dan 77,77% (FK). Hal ini dikarenakan, pH pada stasiun II sangat mendukung bagi kehidupan genus tersebut sebesar 7,5 serta karena kondisi lingkungan perairan yang sesuai seperti substrat dasar perairan yang berupa pasir berlumpur dan kandungan organik substrat 0,50% (Tabel 3.6). Menurut Turgeon (1998), Palaemonetes pada umumnya hidup pada kondisi perairan dengan pH lebih dari 5 dan suhu yang cukup tinggi. Hal ini karena kondisi lingkungan perairan yang sesuai bagi kehidupannya. Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran terendah pada genus

Ophiomastix sebesar 1,22 ind/m2, 0,80% (KR), dan 11,11% (FK). Hal ini karena kondisi perairan tersebut tidak mendukung bagi kehidupannya, dikarenakan genus tersebut hidup di daerah terumbu karang. Menurut Nontji (1993) Ophiomastix biasanya sukar dijumpai karena hidup pada tempat-tempat gelap di bawah batu atau celah-celah karang.

Pada stasiun III genus Littorina memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi yaitu sebesar 29,55 ind/m2 (K), 25,36% (KR) dan 99,99% (FK). Hal ini karena kondisi lingkungan perairan yang sesuai bagi pertumbuhan Littorina tersebut seperti suhu yang tinggi yaitu 30 °C dan substrat dasar perairan berupa pasir. Menurut Nybakken (1988, hlm: 223) pada genus Littorina memiliki mekanisme lain untuk mengurangi panas adalah dengan cara mengurangi kontak antara jaringan tubuh dengan substrat. Hilangnya panas dapat diperbesar pula jika organisme mempunyai warna yang terang. Hal ini merupakan strategi adaptasi untuk mendinginkan tubuh dengan jalan penguapan dan sekaligus menghindarkan kekeringan yang berlebihan. Sehingga pada kondisi ekstrim seperti suhu yang tinggi tidak menyebabkan penurunan jumlah genus tersebut. Menurut (Budiman, 1984

dalam Heryanto 2008) genus Littorina merupakan kelompok moluska yang tidak

terlalu bergantung pada air untuk kehidupannya kecuali saat perkembangbiakannya dan terbiasa hidup menempel.


(35)

Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah didapat pada genus Neanthes yaitu sebesar 3,66 ind/m2 (K), 3,14% (KR) dan 33,33% (FK). Hal ini karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kelangsungan hidup genus tersebut seperti substrat dasar berupa pasir. Menurut (Alcantara et al., 1991 dalam Junardi & Wardoyo, 2008) genus Neanthes sangat menyukai kondisi sedimen dengan komposisi lumpur yang tinggi. Substrat dasar yang berupa batu-batuan pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobenthos sehingga bisa mempunyai kepadatan dan keanekaragaman yang besar (Odum, 1994, hlm: 385). Koesbiono (1979, hlm: 26) dasar perairan berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan benthos.

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa total kepadatan populasi tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 172,18 ind/m2. Hal ini disebabkan karena pada stasiun I yang merupakan daerah kontrol (mangrove) mampu mengangkut nutrien dan detritus ke perairan sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi yang juga berasal dari dedaunan, ranting, bunga dan buah dari tanaman mangrove yang mati dan dimanfaatkan oleh makrozoobenthos. Menurut Indrianto & Mulyadi (1991, hlm: 169) serasah yang dihasilkan oleh tumbuhan mangrove (terutama dalam bentuk daun) merupakan sumber karbon dan nitrogen bagi hutan itu sendiri dan perairan sekitarnya.

Total kepadatan populasi terendah terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 116,5 ind/m2. Stasiun III merupakan lokasi pemukiman penduduk, rendahnya total kepadatan populasi makrozoobenthos, karena adanya aktivitas manusia seperti membuang hasil limbah rumah tangga (domestik) ke badan air sehingga akan mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos. Menurut (Odum, 1994, hlm: 385) perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos karena makrozoobenthos merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemaran kimia maupun fisik. Hal ini disebabkan makrozoobenthos pada umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat dan habitatnya di dasar yang umumnya adalah tempat bahan tercemar. Menurut Wilhm (1975) dalam Marsaulina (1994, hlm: 9) perubahan sifat substrat dan


(36)

penambahan pencemaran akan berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragamannya.

Pada genus Nassarius, Pugilina dan Terebralia hanya terdapat pada stasiun I dikarenakan stasiun I merupakan daerah mangrove, maka kelompok Gastropoda lebih mendominasi pada stasiun tersebut. Pada umumnya kelompok Gastropoda merupakan pemakan serasah. Menurut (Kennish, 1990 dalam Fitriana, 2006) Gastropoda memakan deposit materi di permukaan lumpur dan akan mangrove. Tempat yang ideal bagi pemakan deposit adalah substrat berlumpur.

Pada genus Anomia, Argopecten, dan Litophaga hanya terdapat pada stasiun II dikarenakan karena beberapa kelompok bivalvia sangat mendominasi di daerah pertambakan. Disebabkan oleh melimpahnya nutrisi yang berasal dari sisa-sisa pakan ikan yang secara langsung dikonsumsi oleh kelompok bivalvia tersebut. Selain itu, dikarenakan pada stasiun II yang memiliki substrat berupa batuan dan pasir berlumpur, sehingga kelompok tersebut mendominasi pada stasiun II. Menurut (Nybakken, 1988, hlm: 261) pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, yang berarti bahwa tersedia cukup banyak makanan yang potensial untuk organisme penghuni pantai. Sedangkan genus Ophiomastix, ditemukan pada stasiun 2 dikarenakan pada genus tersebut merupakan kelompok Echinodermata yang tersesat terbawa arus, sehingga hanya ditemukan pada stasiun II.

Pada genus Littorina hanya terdapat pada stasiun III dikarenakan pada stasiun III memiliki suhu yang paling tinggi diantara stasiun lainnya yaitu sebesar 30 °C, dimana genus Littorina hidup pada suhu yang relatif tinggi. Menurut Nybakken (1988, hlm: 223) pada genus Littorina memiliki mekanisme lain untuk mengurangi panas adalah dengan cara mengurangi kontak antara jaringan tubuh dengan substrat. Hilangnya panas dapat diperbesar pula jika organisme mempunyai warna yang terang. Hal ini merupakan strategi adaptasi untuk mendinginkan tubuh dengan jalan penguapan dan sekaligus menghindarkan kekeringan yang berlebihan. Sehingga pada kondisi ekstrim seperti suhu yang tinggi tidak menyebabkan penurunan jumlah genus tersebut. Menurut (Budiman, 1984 dalam Heryanto 2008) genus Littorina merupakan


(37)

kelompok moluska yang tidak terlalu bergantung pada air untuk kehidupannya kecuali saat perkembangbiakannya dan terbiasa hidup menempel.

3.3 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian.

Berdasarkan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti Tabel 3.3 maka dapat dikelompokkan makrozoobenthos yang memiliki KR > 10% dan FK > 25% seperti pada Tabel 3.3 di bawah ini:

Tabel 3.3 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian.

No Genus Stasiun I Stasiun II Stasiun III

KR (%) FK (%) KR (%) FK (%) KR (%) FK (%)

1 Anomia - - 10,56 66,66 - -

2 Argopecten - - 10,56 66,66 - -

3 Cerithidea 25,81 99,99 13,79 77,77 17,92 77,77

4 Cymatium 10,71 66,66 - - - -

4 Littorina - - - - 25,36 99,99

5 Nerita 13,61 77,77 - - 11,63 66,66

6. Palaemonetes 17,09 77,77 - -

Jumlah Genus 3 4 3

Dari Tabel 3.3 dapat dilihat bahwa genus makrozoobenthos yang memiliki KR > 10% dan FK > 25% pada stasiun I terdapat 3 genus yaitu Cerithidea, Cymatium dan Nerita. Pada stasiun II terdapat 4 genus yaitu Anomia, Argopecten, Cerithidea, dan

Palaemonetes. Sedangkan pada stasiun III terdapat 3 genus yaitu Cerithidea, Littorina dan Nerita.

Pada stasiun I dan III merupakan lokasi penelitian yang baik untuk tempat hidup dan berkembangnya genus Cerithidea, Cymatium, Littotina dan Nerita. Menurut (Barus, 2004, hlm: 126) kepadatan relatif merupakan proporsi dari jumlah total individu suatu spesies yang terdapat pada seluruh sampling area dan suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme. Sedangkan frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies dalam


(38)

sampling plot yang ditentukan. Dan suatu habitat dikatakan cocok bagi perkembangan organisme, apabila nilai FK > 25%.

3.4 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Perhitungan indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman merupakan analisis yang biasa digunakan dalam analisa populasi dan komunitas makrozoobenthos.

Tabel 3.4 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobentos di Setiap Stasiun Penelitian

INDEKS STASIUN

I II III

Keanekaragaman (H’) 2,272 2,260 2,121

Keseragaman (E) 0,914 0,942 0,921

Berdasarkan Tabel 3.4 bahwa Indeks Keanekaragaman (H’) yang diperoleh dari ketiga stasiun berkisar 2,121-2,272. Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 2,272 dan terendah pada stasiun III sebesar 2,121. Tingginya Indeks Keanekaragaman pada stasiun I adalah karena pada lokasi ini merupakan daerah mangrove, dimana mangrove mampu mengangkut nutrien dan detritus yang mampu dimanfaatkan oleh makrozoobenthos dan menyebabkan kandungan organik substrat pada stasiun I tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh nilai TDS (Total Dissolved Solid) yang rendah sebesar 396 mg/l (Tabel 3.6) yang menunjukkan bahwa kondisi perairan pada stasiun I yang masih baik. Kemudian dipengaruhi oleh nilai BOD yang rendah dibandingkan dengan stasiun penelitian yang lain yaitu hanya 2,7 mg/l. Menurut (Brower et al., 1990 hlm: 52) semakin rendah nilai BOD dalam suatu perairan, maka semakin tinggi pula keanekaragaman biota dalam perairan tersebut.

Indeks Keanekaragaman (H’) terendah terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 2,121 yang merupakan lokasi pemukiman penduduk. Pada lokasi ini, substrat dasar yang berupa pasir menunjukkan bahwa pada genus tertentu cenderung tidak mendominasi oleh substrat pasir, dan nilai TDS (Total Dissolved Solid) yang tinggi sebesar 401 mg/l menunjukkan bahwa kondisi perairan pada stasiun III ini lebih buruk dibandingkan dengan stasiun yang lain, dikarenakan limbah domestik yang berasal


(39)

dari pemukiman penduduk. Sehingga stasiun III memiliki jumlah genus yang paling sedikit.

Odum (1994, hlm: 384) keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) adalah suatu indeks keanekaragaman biota pada suatu daerah, bila nilainya semakin tinggi, maka semakin tinggi tingkat keanekaragamannya dan begitu juga sebaliknya. Keanekaragaman makrozoobenthos pada setiap stasiun berkaitan dengan faktor lingkungan yang ada pada stasiun tersebut. Menurut (Sarpodenti & Sesakumar, 1997

dalam Gunarto, 2004) sebagian besar makrofauna di mangrove memakan berbagai

tipe detritus organik. Komponen detritus organik tersebut terdapat dalam berbagai tipe, yaitu material tanaman atau hewan yang didekomposisi, dan senyawa organik yang terlarut dalam bentuk bebas atau terikat dengan partikel pasir dan lumpur.

Nilai Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 0,914 – 0,942. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun III sebesar 0,942 dan terendah pada stasiun I sebesar 0,914. Secara keseluruhan Indeks Keseragaman pada ketiga stasiun tergolong tinggi.

Pada stasiun II mempunyai Indeks Keseragaman tertinggi yaitu 0,942. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada stasiun tersebut lebih merata dibandingkan dengan stasiun-stasiun penelitian yang lain. Menurut Tarumingkeng (1994, hlm: 101) penyebaran merata disebabkan oleh pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu-individu dan dapat disebabkan oleh sifat spesies yang bergerombol atau adanya keragaman habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat yang terdapat banyak makanan.


(40)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Indeks Similaritas (IS) seperti pada Tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5 Indeks Similaritas (IS) atau Kesamaan pada Stasiun Penelitian

Stasiun I II III

I - 47,47% 63,63%

II - - 47,61%

III - - -

Dari Tabel 3.5 dapat dilihat hasil penelitian menunjukkan bahwa Indeks Similaritas (IS) yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 47,47% - 63,63%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indeks Similaritas (IS) yang mempunyai kriteria mirip adalah stasiun I dengan stasiun III. Kemiripan ini dikarenakan faktor ekologis, beberapa spesies makrozoobenthos yang ditemukan memiliki kesamaan.

Kriteria tidak mirip dijumpai antara stasiun I dengan stasiun II, dan antara stasiun II dengan stasiun III. Hal ini dikarenakan faktor ekologis, dimana pada stasiun II lebih banyak didominasi oleh beberapa genus dari kelas bivalvia karena daerah tersebut adalah daerah pertambakan. Sehingga beberapa genus lebih menyukai daerah tersebut dan beberapa genus tersebut tidak dijumpai pada lokasi yang lain.

Menurut Krebs (1985, hlm 525) Indeks Similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makrozoobenthos yang hidup di luar tempat yang berbeda. Apabila semakin besar Indeks Similaritasnya, maka jenis makrozoobenthos yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan makrozoobenthos antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut. Hal yang paling penting diantaranya adalah kondisi substrat dasar perairan dan kandungan organiknya.


(41)

3.6 Parameter Abiotik

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rata-rata nilai faktor fisik-kimia pada setiap stasiun seperti pada tabel berikut:

Tabel 3.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

No Parameter Satuan Stasiun

I II III

1 Suhu °C 28 29 30

2 DO (Dissolved Oxygen) mg/l 5,7 4,6 4,2

3 BOD5 (Biochemical Oxygen

Demand)

mg/l 2,7 3,1 3,3

4 Salinitas %o 27 27,5 28

5 Intensitas Cahaya Candela 473 562 497

6 Penetrasi Cahaya M 2,51 1,96 2,64

7 pH - 7,3 7,5 7,8

8 Kejenuhan Oksigen % 73,54 60,20 55,77

9 TDS mg/l 396 402 401

10 TSS mg/l 36 28 32

11 Kandungan Organik Substrat % 0,55 0,50 0,44

12 Jenis Substrat - Lumpur

berpasir

Batuan dan pasir berlumpur

Pasir Keterangan:

Stasiun I : Daerah Kontrol (mangrove) Stasiun II : Daerah Pertambakan Ikan Stasiun III : Daerah Pemukiman Penduduk

a. Suhu

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu air pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 28 – 30 °C. Dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun III (pemukiman) sebesar 30 °C dan terendah sebesar 28 °C pada stasiun I (mangrove). Tingginya suhu pada stasiun 3 disebabkan banyaknya aktifitas manusia, sehingga akibat dari aktivitas tersebut dapat menyebabkan meningkatnya suhu di perairan tersebut. Secara keseluruhan suhu pada ketiga stasiun penelitian masih dapat mendukung bagi kehidupan makrozoobenthos. Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan benthos. Menurut (James & Evison, 1979, hlm: 152) batas toleransi hewan benthos terhadap suhu tergantung pada spesiesnya. Umumnya suhu di atas 30 °C dapat menekan pertumbuhan hewan benthos.


(42)

Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik (Suin, 2002, hlm: 40).

Pola suhu ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran gas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm & Meijering , 1990 dalam Barus, 2004, hlm: 45). Menurut Hariyanto et al., (2008, hlm: 111) meskipun suhu air kurang bervariasi akan tetapi sangat berpengaruh terhadap organisme air karena umumnya organisme air memiliki toleransi yang sempit (stenothermal). Perubahan suhu akan mengubah pola sirkulasi, stratifikasi, dan gas terlarut sehingga akan mempengaruhi kehidupan organisme air.

Dari perspektif biologi, kandungan gas oksigen dalam air merupakan salah satu penentu karakteristik kualitas air yang terpenting dalam lingkungan kehidupan akuatis. Konsentrasi oksigen dalam air mewakili status kualitas air pada tempat dan waktu tertentu (saat pengambilan sampel air). Dengan kata lain keberadaan dan besar atau kecilnya muatan oksigen di dalam air dapat dijadikan indikator ada atau tidaknya pencemaran di suatu perairan (Asdak, 2004).

b. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

Nilai DO yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 4,2 - 5,7 mg/l. DO tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 5,7 mg/l. Sedangkan DO terendah diperoleh pada stasiun III sebesar 2,7 mg/l. Tingginya DO pada stasiun I berkaitan dengan rendahnya suhu pada stasiun tersebut yaitu 28 °C, dan pada lokasi tersebut tidak terdapat aktivitas (kontrol). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991, hlm: 99) suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Secara keseluruhan nilai kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian masih dapat ditoleransi oleh


(43)

makrozoobenthos. Kehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut sebanyak 5 mg/l dan tergantung juga terhadap daya tahan organisme.

c. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Nilai BOD5 yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 2,7 - 3,3 mg/l. BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 3,3 mg/l dan terendah diperoleh pada stasiun I sebesar 2,7 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 disetiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen. Karena oksigen tersebut dipakai oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun III (pemukiman penduduk) disebabkan oleh banyaknya pencemaran dari limbah domestik yang dibuang ke dalam badan air. Sedangkan pada stasiun I (daerah kontrol), nilai BOD5 rendah disebabkan karena bahan pencemar yang sulit diuraikan oleh mikroorganisme karena rendahnya suhu pada stasiun I. Menurut Barus (2004, hlm: 86) apabila konsentrasi bahan organik berkurang maka perlahan-lahan populasi bakteri akan menurun, sementara nilai BOD semakin kecil.

Menurut Brower et al., 1990, hlm: 52) nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik, dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2 maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi O2 berkisar antara 10-20 mg/l O2 akan menunjukkkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi. Selanjutnya Wardhana (2004, hlm: 93) peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.


(44)

Nilai salinitas yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 27 – 28 0/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun III sebesar 28 0/00 sedangkan salinitas terendah pada stasiun I sebesar 27 0/00 . Tinggi rendahnya nilai salinitas pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia yang berada di kawasan tersebut yang menghasilkan limbah sehingga berdampak pada peningkatan kadar garam air.

Menurut Nontji (1993, hlm: 59) di perairan pantai karena terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh aliran sungai, salinitas bisa turun rendah. Sebaliknya di daerah dengan penguapan yang sangat kuat, salinitas bias meningkat tinggi. Selanjutnya menurut Barus (2004, hlm: 73) secara alami kandungan garam terlarut dalam air meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi dari hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam tersebut meningkat kadarnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi fitoplankton yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut.

e. Intensitas Cahaya

Nilai intensitas cahaya yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 473 - 562 Candela. Intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 562 Candela, sedangkan intensitas cahaya terendah diperoleh pada stasiun I sebesar 473 Candela. Hal ini disebabkan karena pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah. Sedangkan nilai intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 473 Candela. Rendahnya nilai intensitas cahaya ini karena banyaknya vegetasi (mangrove) sehingga cahaya yang akan masuk terhalang oleh banyaknya vegetasi mangrove tersebut.

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman


(45)

lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus, 2004, hlm: 43).

f. Penetrasi Cahaya

Nilai penetrasi cahaya yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 1,96 – 2,64 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 2,64 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah diperoleh pada stasiun II sebesar 1,96 m. Rendahnya nilai penetrasi pada stasiun II yang merupakan daerah pertambakan ikan karena adanya sisa-sisa bahan pakan ikan yang mengendap dalam substrat dasar perairan, sehingga banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan yang tinggi.

Zat terlarut dalam air sering mempengaruhi penetrasi cahaya matahari, yang berakibat penetrasi terbatas akan membatasi organisme air untuk berfotosintesis. Dengan terbatasnya fotosintesis akan menyebabkan kandungan oksigen terlarut rendah. Tetapi jika kekeruhan disebabkan oleh organisme hidup dapat dipakai sebagai indikasi produktivitas perairan tersebut cukup tinggi (Hariyanto et al., 2008, hlm: 112). Menurut Koesbiono (1979, hlm: 24) pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.

Penetrasi cahaya pada perairan turbulen lebih kecil dibandingkan dengan daerah laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa baik dari daratan, dari potongan-potongan kelp dan rumput laut, ditambah kepadatan plankton yang tinggi akibat melimpahnya nutrien, menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya sampai beberapa meter (Nybakken, 1988, hlm: 169).

Cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyaknya faktor, antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat


(46)

maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh (Sastrawijaya, 1991, hlm: 56).

g. pH (Derajat Keasaman)

Nilai pH yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 7,3 -7,8. Dari hasil nilai pH yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian bahwa daerah tersebut masih dapat mendukung kehidupan benthos. Menurut Barus (2004) nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

h. Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen yang diperoleh dari tiga stasiun penelitian berkisar 7,53% - 7,75%. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 73,54% dan terendah pada stasiun III sebesar 55,77%. Tingginya kejenuhan oksigen oksigen pada stasiun I berkaitan dengan tingginya nilai DO pada stasiun tersebut, dimana suhu pada stasiun tersebut sebesar 28 °C. Hal ini menunjukkan defisit oksigen pada stasiun tersebut sedikit. Rendahnya kejenuhan oksigen pada stasiun III karena pengaruh dari limbah pemukiman penduduk, sehingga akan mengakibatkan konsumsi oksigen pada makrozoobenthos meningkat dan defisit oksigen juga meningkat.

Menurut Hutagalung et al., (1997) sumber utama oksigen dalam air laut berasal dari udara melalui proses difusi dan dari hasil fotosintesis fitoplankton pada siang hari, faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khususnya malam hari), dan adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan masuknya limbah organik yang mudah terurai.


(47)

i. TDS (Total Dissolved Solid)

Nilai TDS (Total Dissolved Solid) yang diperoleh dari tiga stasiun berkisar 396 - 402 mg/l. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 402 mg/l yang merupakan daerah pertambakan ikan, dimana daerah tersebut memiliki banyak limbah dari sisa-sisa makanan ikan yang bisa menjadi senyawa-senyawa organik maupun anorganik dalam air. Dan nilai TDS untuk stasiun III juga memiliki nilai TDS yang hampir sama dengan stasiun II yaitu sebesar 401 mg/l. Stasiun ini merupakan daerah pemukiman penduduk, dimana banyak limbah domestik yang dibuang ke badan air. Kandungan senyawa organik yang tinggi dapat menimbulkan peningkatan BOD, TSS maupun TDS yang akan menimbulkan gangguan terhadap lingkungan maupun kehidupan yang ada disekitarnya. Tetapi dalam hal ini, dimana standar sekunder untuk TDS sebagai pengukuran kualitas perairan adalah 1000 mg/l. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai TDS yang didapat dari ketiga stasiun masih bisa di toleransi.

Air limbah adalah air yang bercampur zat-zat padat (dissolved dan suspended

solid) yang berasal dari pembuangan kegiatan rumah tangga, pertanian, pertambakan

dan industri (Djabu, 1991 dalam Lestari, 2008). Menurut Mahida (1986 dalam Lestari, 2008) limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir 0,1% daripadanya berupa benda-benda padat yang terdiri dari zat organik dan zat anorganik.

Zat-zat organik tersebut sebagian besar sudah terurai (degradable) merupakan sumber makanan dan media yang baik bagi bakteri dan mikroorganisme yang lain. Sedangkan zat-zat anorganik yang merupakan bahan pencemar penting terdiri dari pasir, butiran-butiran garam dan logam berat (Djabu, 1991 dalam Lestari, 2008).

j. TSS (Total Suspended Solid)

Nilai TSS (Total Suspended Solid) yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar 36-28 mg/l. Dimana nilai TSS tertinggi didapat pada stasiun I sebesar 36 mg/l. Dan nilai TSS terendah didapat pada stasiun II sebesar 28 mg/l. Tingginya nilai


(48)

TSS yang didapat pada stasiun I disebabkan oleh tingginya penetrasi cahaya pada stasiun tersebut yaitu sebesar 2,51 m.

Zat-zat yang tersuspensi dalam air biasanya terdiri dari pitoplankton, zooplankton yang hidup atau mati, lumpur, kotoran, tumbuhan buangan industri air timbah, istilah zat padat dalam pemeriksaan kimia air tersebut TSS yaitu jumlah berat zat yang tersuspensi dalam volume tertentu di dalam air ukurannya mg/l (Sanropie et

al,. 1984, dalam Lestari, 2008).

k. Kandungan Organik Substrat

Nilai kandungan organik substrat yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,44-0,55% dengan nilai tertinggi didapatkan pada stasiun 1 sebesar 0,55% yang merupakan daerah kontrol (mangrove) dan terendah pada stasiun 3 sebesar 0,44% yang merupakan daerah pemukiman penduduk. Tingginya kandungan organik substrat pada stasiun I disebabkan karena pada daerah mangrove, komponen senyawa organik berasal dari serasah yang dihasilkan mangrove yang lama kelamaan akan tertimbun menjadi butiran-butiran lumpur dalam substrat dan dikomposisi oleh detritus. Menurut (Sarpodenti & Sesakumar, 1997 dalam Gunarto, 2004) sebagian besar makrofauna di mangrove memakan berbagai tipe detritus organik. Komponen detritus organik tersebut terdapat dalam berbagai tipe, yaitu material tanaman atau hewan yang didekomposisi, dan senyawa organik yang terlarut dalam bentuk bebas atau terikat dengan partikel pasir dan lumpur. Secara keseluruhan nilai kandungan organik yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian tergolong sangat rendah, hal ini karena sedikitnya senyawa organik yang masuk kedalam badan perairan. Menurut Djaenuddin et al., (1994 ) dalam Hutapea (2006, hlm: 37), kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat berdasarkan persentase adalah sebagai berikut:

< 1% = sangat rendah 1% - 2% = rendah

2,01% - 3% = sedang 3,01% - 5% = tinggi


(49)

Substrat dasar suatu perairan merupakan faktor yang penting bagi kehidupan hewan makrozoobenthos yaitu sebagai habitat hewan tersebut. Masing-masing spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat dan kandungan bahan organik substrat (Barnes & Mann, 1994, hlm: 13). Adanya perbedaan yang tinggi karena kondisi lingkungan yang tenang yang memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik dasar perairan, sedangkan sedimen yang kasar memiliki kandungan bahan organik yang lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap. Menurut Seki (1982, hlm: 56) komponen organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Sedangkan komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin dan hormone juga ditemukan di perairan.Tetapi hanya 10% dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan.

3.7 Nilai Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00

Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman makrozoobenthos dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut ini:

Tabel 3.7 Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Makrozoobenthos dengan Faktor Fisik Kimia Perairan

Suhu (°C) DO (mg/l) BOD5 (mg/l) Salinitas (%o)

Intensitas Cahaya (m) Penetrasi Cahaya (Candela)

pH K.

Oksigen (%) TDS (mg/l) TSS (mg/l ) K.Organi k Substrat (%)

H’ -0,900 +0,755 -0,801 -0,900 +0,187 -0,592

-0,944

+0,743 -0,425 +0,71 +0,921 Keterangan:

Nilai + = Arah Korelasi Searah Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan

Berdasarkan hasil Uji Korelasi Pearson, dapat dilihat bahwa tingkat hubungan yang sangat kuat dengan Indeks Keanekaragaman (H’) adalah suhu, BOD5, salinitas, pH dan kandungan organik substrat. Tingkat hubungan yang kuat adalah DO (Dissolved


(1)

Gambar 22. Terebralia


(2)

Lampiran H. Jumlah dan Jenis Makrozoobenthos yang didapatkan pada setiap

stasiun penelitian.

NO

TAKSA

STASIUN I

Rata-rata

1

2

3

4

5

6

7

8

9

I

Crustaceae

A

Palaemonidae

1

Palaemonetes

2

1

-

1

1

-

-

1

-

0,66

B

Scylladae

2

Scylla

1

1

-

-

-

1

2

-

-

0,55

II

Gastropoda

C

Cerithiidae

3

Rhinoclavis

2

-

1

-

1

-

-

2

1

0,77

D

Cymatiidae

4

Cymatium

3

-

2

3

-

3

2

-

2

1,66

E

Epitoniidae

5

Ephitonium

-

1

2

-

-

2

1

1

-

0,77

F

Melongidae

6

Pugilina

1

-

-

1

1

-

2

1

-

0,66

G

Muricidae

7

Murex

3

2

-

-

3

2

2

-

1

1,44

H

Nassariidae

8

Nassarius

3

2

-

1

2

-

2

-

-

1,11

I

Naticidae

9

Terebralia

2

1

-

-

1

-

-

1

-

0,55

J

Netitidae

10

Nerita

5

4

3

2

2

-

2

-

1

2,11

K

Potamididae

11

Cerithidea

7

4

5

6

3

-

4

4

3

4


(3)

NO

TAKSA

STASIUN II

Rata-rata

1

2

3

4

5

6

7

8

9

I

Asteroidea

A

Ophiuroidae

1

Ophiomastix

-

-

1

-

-

-

-

-

-

0,11

II

Bivalvia

B

Anomiidae

2

Anomia

2

3

-

2

3

-

1

-

2

1,44

C

Arcidae

3

Anadara

3

2

2

-

1

-

-

2

1

1,22

D

Mytilidae

4

Litophaga

-

2

-

3

2

2

-

1

-

1,11

E

Pectenidae

5

Argopecten

2

3

-

2

3

-

1

-

2

1,44

III

Crustaceae

F

Palaemonidae

6

Palaemonetes

6

4

4

3

-

-

2

2

-

2,33

G

Scylladae

7

Scylla

2

2

1

-

-

1

1

-

-

0,77

IV

Gastropoda

H

Neritidae

8

Nerita

2

1

2

-

-

3

2

-

-

1,11

I

Potamididae

9

Cerithidea

4

3

-

3

2

2

-

2

1

1,88

10

Telescopium

2

-

2

1

-

1

1

2

-

1

V

Chaetopoda

J

Polychaeta

11

Neanthes

3

-

-

2

2

-

3

1

-

1,22


(4)

NO

TAKSA

STASIUN III

Rata-rata

1

2

3

4

5

6

7

8

9

I

Gastropoda

A

Arcidae

1

Anadara

1

2

1

-

-

-

2

1

-

0,77

B

Cerithiidae

2

Rhinoclavis

1

1

-

1

-

1

-

2

-

0,66

C

Cymatiidae

3

Cymatium

2

2

-

1

-

1

-

-

1

0,77

D

Epitoniidae

4

Ephitonium

1

2

-

-

1

1

-

1

-

0,66

E

Littorinidae

5

Littorina

5

3

-

4

2

3

1

3

3

2,66

F

Muricidae

6

Murex

-

3

-

2

-

1

-

-

1

0,77

G

Neritidae

7

Nerita

2

3

-

2

1

2

-

1

-

1,22

H

Potamididae

8

Cerithidea

3

4

3

3

-

2

2

1

-

1,88

9

Telescopium

1

-

2

-

2

1

-

1

0,77

II

Chaetopoda

I

Polychaeta


(5)

Lampiran I. Contoh Perhitungan

a. Kepadatan Makrozoobenthos Telescopium pada stasiun 1

Net

Surber

Luas

gan

jenis/ulan

suatu

individu

Jumlah

K

=

ind/m

,09

0

9

/

11

=

2

ind/m

55

,

13

=

2

b. Kepadatan Relatif Telescopium pada stasiun 1

%

100

x

jenis

seluruh

kepadatan

Jumlah

jenis

suatu

Kepadatan

KR

=

%

100

x

172,18

13,55

=

%

7,86

=

c. Frekuensi Kehadiran Telescopium pada Stasiun 1

%

100

x

plot

total

Jumlah

jenis

suatu

ditempati

yang

plot

Jumlah

FK

=

%

100

x

9

7

=

%

77

=

d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’) Telescopium pada Stasiun 1

=

pi

ln

pi

H'

140

11

ln

140

11

=

= 0,198

e. Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) pada Stasiun 1

max

H

H'

E

=

12

ln

2,272

=

=

0

,

914


(6)

Lampiran J. Hasil Analisis Korelasi Pearson

Suhu DO BOD

Salinita s Intensitas. Cahaya Penetra si. Cahaya pH

K Oksige

n TDS TSS

K.Orga nik.Sub

strat H S

u h u

Pearson Correlation 1 -.966 .982 1.000** .261 .180 .993 -.961 .778 -.500 -.999* -.900 Sig. (2-tailed) .168 .121 .000 .832 .885 .073 .179 .433 .667 .033 .288 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 DO Pearson Correlation -.966 1 -.997* -.966 -.503 .082 -.929 1.000* -.914 .708 .951 .755 Sig. (2-tailed) .168 .047 .168 .665 .948 .241 .012 .265 .499 .201 .455 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 BOD Pearson Correlation .982 -.997* 1 .982 .438 -.009 .954 -.996 .882 -.655 -.971 -.801 Sig. (2-tailed) .121 .047 .121 .711 .994 .194 .058 .312 .546 .154 .409 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Salinita

s

Pearson Correlation 1.000** -.966 .982 1 .261 .180 .993 -.961 .778 -.500 -.999* -.900 Sig. (2-tailed) .000 .168 .121 .832 .885 .073 .179 .433 .667 .033 .288 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Intensit

as.C

Pearson Correlation .261 -.503 .438 .261 1 -.903 .148 -.519 .810 -.966 -.210 .187 Sig. (2-tailed) .832 .665 .711 .832 .283 .905 .653 .399 .165 .866 .880 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Penetra

si.C

Pearson Correlation .180 .082 -.009 .180 -.903 1 .292 .101 -.478 .762 -.231 -.592 Sig. (2-tailed) .885 .948 .994 .885 .283 .812 .936 .683 .449 .851 .597 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 pH Pearson Correlation .993 -.929 .954 .993 .148 .292 1 -.922 .700 -.397 -.998* -.944 Sig. (2-tailed) .073 .241 .194 .073 .905 .812 .253 .506 .740 .040 .215 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 K.Oksig

en

Pearson Correlation -.961 1.000* -.996 -.961 -.519 .101 -.922 1 -.922 .721 .945 .743 Sig. (2-tailed) .179 .012 .058 .179 .653 .936 .253 .253 .487 .213 .467 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 TDS Pearson Correlation .778 -.914 .882 .778 .810 -.478 .700 -.922 1 -.933 -.744 -.425 Sig. (2-tailed) .433 .265 .312 .433 .399 .683 .506 .253 .234 .466 .721 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 TSS Pearson Correlation -.500 .708 -.655 -.500 -.966 .762 -.397 .721 -.933 1 .454 .071 Sig. (2-tailed) .667 .499 .546 .667 .165 .449 .740 .487 .234 .700 .954 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 K.Orga

nik.Sub strat

Pearson Correlation -.999* .951 -.971 -.999* -.210 -.231 -.998* .945 -.744 .454 1 .921 Sig. (2-tailed) .033 .201 .154 .033 .866 .851 .040 .213 .466 .700 .254 N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 H Pearson Correlation -.900 .755 -.801 -.900 .187 -.592 -.944 .743 -.425 .071 .921 1

Sig. (2-tailed) .288 .455 .409 .288 .880 .597 .215 .467 .721 .954 .254