Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

ABSTRAK
FITRIA DEWI KUSUMA. Keanekaragaman Serangga di Ekosistem mangrove:
Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara.
Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan NOOR FARIKHAH HANEDA.
Hutan mangrove merupakan habitat dari serangga yang mempunyai
peranan penting pada suatu ekosistem. Oleh karena itu, pentingnya peranan
serangga dalam ekosistem dan begitu banyak jenis serangga yang belum
teridentifikasi, maka upaya untuk mengkaji keanekaragaman serangga dalam
ekosistem hutan menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji komposisi jenis mangrove dalam hubungannya dengan
keanekaragaman jenis serangga. Penelitian ini dilakukan pada tiga tipe tegakan
berbeda yang berada di Hutan Lindung mangrove Angke Kapuk dan Kawasan
Mangrove Tol Sedyatmo, yaitu tegakan monokultur A. marina, tegakan campuran
A. marina dan R. mucronata, serta tegakan campuran S. alba dan R. mucronata.
Plot sampling untuk pengambilan data digunakan metode garis berpetak, setiap
tegakan dibuat sebanyak delapan plot (10 m × 10 m). Penangkapan serangga
dilakukan dengan menggunakan metode yellow-pan trap. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tipe tegakan campuran A. marina dan R. mucronata
mempunyai kelimpahan serangga tertinggi dibandingkan tegakan monokultur A.
marina dan tegakan campuran S. alba dan R. mucronata. Serangga yang
mendominasi pada ketiga tipe tegakan adalah dari ordo Diptera.

Kata kunci: Angke Kapuk, Keanekaragaman, Serangga, Mangrove

ABSTRACT
FITRIA DEWI KUSUMA. Diversity of Insects in Mangrove Ecosystem: Case
Study of Mangrove in Angke Kapuk Coastal Area, Jakarta Utara. Supervised by
CECEP KUSMANA and NOOR FARIKHAH HANEDA.
Mangrove is the habitat of various insects which have important function
of ecosystem. However, many insect species and their functions in mangrove
ecosystem have not been identified yet. This research is aimed to elucidate the
species composition of mangrove in relation to the species diversity of insect.
This research was conducted in three different mangrove stand in Mangrove
Protection Forest of Angke Kapuk and Soedyatmo highway mangrove area. They
are monoculture stand of A. marina, mixed stand of A. Marina and R. mucronata,
and mixed stand of S. alba and R. mucronata. Sampling was collected by using
line quadrat method. There were eight quadrats (10 m × 10 m) suspended at every
mangrove stand. Incest traping was using yellow-pan trap method. The result
indicates that the mixed stand A. Marina and R. mucronata has the highest value
of insects abundance. The dominant insect at every mangrove stand were order of
Diptera.
Key word: Angke Kapuk, Diversity, Insect, Mangrove


1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki mangrove yang terluas di dunia dan juga
keanekaragaman hayati terbesar serta strukturnya paling bervariasi. Hutan
mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang
tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut dengan
komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al. 2005).
Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar
garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil (Noor et al. 2006).
Hutan mangrove mempunyai peran ganda baik ditinjau dari aspek fisik,
ekonomi maupun ekologis. Secara fisik, hutan mangrove dapat berfungsi untuk
menjaga garis pantai, mempercepat perluasan lahan, mengendalikan intrusi air
laut, serta mengolah limbah organik. Fungsi ekonomi hutan mangrove diantaranya
adalah berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obatobatan dan minuman. Fungsi ekologis dari hutan mangrove adalah sebagai tempat
mencari makan, tempat memijah, tempat berkembang biak, tempat bersarang
berbagai jenis satwa liar, dan habitat alami bagi berbagai jenis biota.

Hutan mangrove merupakan habitat dari salah satu keanekaragaman hayati
yang dapat dibanggakan Indonesia yaitu serangga. Serangga merupakan golongan
hewan yang jumlahnya paling banyak di muka bumi ini dan mempunyai peranan
yang sangat penting pada suatu ekosistem.
Keanekaragaman serangga diyakini dapat digunakan sebagai salah satu
bioindikator kondisi suatu ekosistem. Oleh karena itu, pentingnya peranan
serangga dalam ekosistem dan begitu banyak jenis serangga yang belum
teridentifikasi, maka upaya untuk mengkaji keanekaragaman serangga dalam
ekosistem hutan menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur komposisi tegakan mangrove,
menduga kelimpahan serangga, dan menduga besarnya nilai keanekaragaman
jenis mangrove dan jenis (morfospesies) serangga pada berbagai tipe tegakan
mangrove (tegakan monokultur A. marina, tegakan campuran A. marina dan R.
mucronata serta tegakan campuran S. alba dan R. mucronata).

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi pihak pengelola hutan mangrove dalam mengelola hutannya

secara berkelanjutan.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang
surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang
pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut dengan komunitas
tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al. 2005). Hutan ini
merupakan peralihan habitat lingkungan darat dan lingkungan laut, maka sifatsifat yang dimiliki tidak persis sama seperti sifat-sifat yang dimiliki hutan hujan
tropis di daratan (Wibisono 2011). Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem
yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan
faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove
(Kusmana et al. 2008).
Mangrove, mangal, bakau, hutan pantai, dan hutan api-api adalah sebutan
untuk komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus (Fachrul 2008).
Menurut Mukhtasor (2007), hutan mangrove merupakan ciri khas ekosistem
daerah tropis dan sub tropis. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenisjenis yang selalu hijau.


Luas dan Penyebaran Hutan Mangrove
Berdasarkan perhitungan diketahui luas mangrove Indonesia yang tersisa
pada tahun 1990 hanya sekitar 2.49 juta hektar, 58% dari luasan tersebut terdapat
di Papua dan hanya 11% tersisa di Jawa (Noor et al. 2006). Indonesia mempunyai
struktur dan komposisi mangrove lebih bervariasi jika dibandingkan dengan
wilayah lain. Tegakan A. marina dengan ketinggian 1–2 m dapat ditemukan di
wilayah Indonesia, yaitu pada pantai yang tergenang air laut terus menerus serta
dapat ditemukan tegakan campuran Bruguiera spp.–Rhizophora spp.–Ceriops spp.
dengan tinggi lebih dari 30 m. Tegakan A. alba dan S. alba dapat ditemukan pada
daerah pantai terbuka dan di sepanjang sungai yang mempunyai salinitas yang
lebih rendah banyak ditemukan jenis palem (Nypa fruticans) dan S. caseolaris
(Kusmana et al. 2008).

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan laut. Mangrove
dapat hidup dengan baik di kawasan pesisir, ekosistem tersebut akan mendukung
lingkungan pantai menjadi tempat ideal bagi ikan-ikan yang berkembang biak,
rumah yang nyaman untuk kepiting dan burung air, dan pada saat berbahaya,
mangrove juga berfungsi menyelamatkan pencemaran logam berat dari daratan
sebelum masuk lautan (Fachrul 2008).

Sistem perakaran dan tajuk yang rapat serta kokoh merupakan habitat
alami yang aman untuk jenis perairan berkembang biak, selain itu mangrove
berfungsi sebagai pelindung pantai, penyetabil, penyangga serta pencegah erosi
yang diakibatkan oleh arus, gelombang, dan angin bagi kelangsungan hidup

3

manusia dan mamalia di darat dan biota perairan di laut. Menurut Kusmana
(2005), fungsi mangrove dapat dikategorikan kedalam tiga macam fungsi, yaitu
fungsi fisik (menjaga garis pantai, mempercepat perluasan lahan, mengendalikan
intrusi air laut, serta melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan
gelombang dan angin kencang), fungsi ekologis (sumber plasma nutfah, tempat
bersarang berbagai jenis satwa liar, serta tempat mencari makan, tempat memijah,
dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan biota lainnya), dan
fungsi ekonomis (hasil hutan berupa kayu, hasil hutan bukan kayu seperti madu,
obat-obatan, minuman dan makanan, tanin, dan lain-lain, serta lahan untuk
kegiatan produksi pangan dan tujuan lain).
Menurut Wibisono (2005), hutan mangrove berfungsi sebagai tempat
peralihan dan penghubung antara darat dan laut. Karena itu sifat-sifat biota yang
hidup di dalamnya mempunyai ciri-ciri khas yang merupakan pertemuan antara

biota yang sepenuhnya hidup di darat dengan biota yang sepenuhnya hidup di
perairan laut, misalnya berbagai jenis ketam, kepiting, mimi (Limulus tachypleus),
yang semuanya sebagai hewan pemakan serasah.

Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove
Kusmana et al. (2005) menyatakan bahwa struktur, fungsi, komposisi, dan
distribusi jenis, dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktorfaktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan mangrove adalah fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombang
dan arus, salinitas, oksigen terlarut, tanah, nutrisi, dan tempat berkembang biak
mangrove yang terlindungi dari gelombang kuat berupa laguna, esturia, delta, dan
lain-lain.
Menurut Noor et al. (2006), kondisi salinitas sangat mempengaruhi
komposisi mangrove. Beberapa jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan
cara berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari
penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya
mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya. Noor et al.
(2006) juga menambahkan bahwa zona vegetasi mangrove berkaitan erat dengan
pasang surut.

Keanekaragaman Serangga

Serangga merupakan jenis hewan yang jumlahnya paling dominan di
antara jenis hewan lainnya dalam filum Arthropoda. Oleh karena itu serangga
dimasukkan dalam kelompok hewan yang lebih besar dalam filum Arthropoda
atau binatang beruas. Menurut penafsiran para ahli, terdapat 713500 jenis
arthropoda atau sekitar 80 persen dari jenis hewan yang telah dikenal (Hadi et al.
2009).
Menurut Wilson (1992) dalam Schowalter (2006), serangga adalah
kelompok organisme dominan di bumi dalam hal keragaman taksonomi (>50%
dari semua jenis yang telah dikenal) dan fungsi ekologi. Serangga mewakili
sebagian besar jenis dalam ekosistem darat dan air tawar, serta merupakan

4

komponen penting dari ekosistem perairan dekat pantai. Keragaman jenis
serangga merupakan gambaran yang setara dengan adaptasi variabel kondisi
lingkungan. Serangga mempengaruhi jenis lain (termasuk manusia) dan sebagai
parameter suatu ekosistem. Serangga mempunyai respon yang cepat terhadap
perubahan lingkungan, sehingga serangga berguna untuk indikator perubahan
lingkungan (Schowalter 2006).
Serangga memiliki peranan ekologis yang sangat penting diantaranya yaitu

membantu beberapa jenis tumbuhan untuk bisa melakukan penyerbukan,
termasuk perkebunan buah-buahan, kapas, dan tembakau. Selain itu, serangga
juga menghasilkan produk-produk yang bernilai bagi masyarakat, seperti madu,
sutera, dan lain-lain.

Hubungan antar Serangga dan Tanaman
Hubungan antara serangga dengan tanaman merupakan hubungan timbal
balik baik serangga ataupun tanaman masing-masing memperoleh keuntungan.
Serangga selalu memperoleh makanan dari tanaman sehingga serangga dapat
merugikan tanaman. Hampir 50% dari serangga adalah pemakan tanaman atau
fitofagus, sedangkan yang lain adalah pemakan serangga lain atau sisa-sisa
tanaman atau hewan. Serangga yang bertindak sebagai pemakan tanaman perlu
ruang hidup sebagai tempat hidup atau sebagai tempat berlindung, berbiak, atau
mengambil makanan. Sebagaian besar serangga merupakan pemakan tanaman,
sehingga serangga mempunyai bermacam-macam daya hidup yang
memungkinkan populasi serangga dapat meningkat dengan cepat (Hadi et al.
2009).
Menurut Suratmo (1974), serangga pemakan bagian daun dan bagian
dalam dari kulit pohon akan dapat tumbuh lebih cepat dari serangga yang hidup di
kayu. Faktor makanan yang mempengaruhi perkembangan populasi serangga

adalah banyaknya tanaman inang yang cocok, kerapatan tanaman inang,
komposisi dari tegakan, umur tanaman inang, kesehatan (vigor) dari tanaman
inang, adanya tanaman inang lainnya sebagai makanan pengganti bila tanaman
yang disukai telah habis.

Faktor Lingkungan Serangga
Menurut Tarumingkeng (1991), keadaan lingkungan hidup mempengaruhi
keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup
(biodiversitas) dan sebaliknya lingkungan. Semua jenis flora dan fauna telah
berevolusi untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungan. kehidupan seranggapun
sangat bergantung pada habitatnya. Oleh karena itu faktor lingkungan sangat
menentukan dan berpengaruh pada perkembangan serangga.
Faktor lingkungan tediri dari lingkungan abiotik dan lingkungan biotik.
Faktor lingkungan fisik atau abiotik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere
atau tanah: tipe, bahan induk, struktur, tekstur, sifat fisik dan kimia, kesuburan
dll.), hidrosfer (hydrosphere, lautan dan perairan lainnya: arus, kedalaman,

5

salinitas, pH, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere,

udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991).
Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan
bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk oleh semua fungsi makhluk
hidup yang satu dan lainnya saling berinteraksi. Faktor-faktor abiotik yang
penting dalam mempengaruhi kehidupan serangga adalah temperatur, cahaya,
presipitas, kelembaban dan angin, serta faktor-faktor abiotik lainnya yang kurang
penting yang termasuk di dalam faktor-faktor cuaca dan iklim (Suratmo 1974).
Menurut Willmer (1982) diacu dalam Kahono et al. (2003) iklim merupakan salah
satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. Iklim berpengaruh langsung kepada
kehidupan, pertumbuhan, reproduksi, dan kelimpahan serangga, fenologi, dan
musuh alami.

Konsep Keanekaragaman
Keanekaragaman merupakan keadaan berbeda atau mempunyai perbedaan
dalam bentuk atau sifat antara anggota-anggotanya. Keanekaragaman dalam level
ekosistem terbagi menjadi tiga level, yaitu keanekaragaman alpha,
keanekaragaman gamma dan keanekaragaman beta (McNoughton dan Wolf
1990). Menurut Magguran (1988), terdapat pengertian dari semua level
keragaman tersebut, yaitu:
1. Keragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit
contoh yang diukur.
2. Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada
suatu habitat yang homogen (gabungan keanekaragaman titik).
3. Keanekaragaman gamma (gamma diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada
suatu pulau atau lansdcape (gabungan keanekaragaman alpha).
4. Keanekaragaman epsilon (epsilon diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu
wilayah biogeografi (gabungan keanekaragaman gamma).

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada dua lokasi, yaitu di Hutan Lindung mangrove
Angke Kapuk dan Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo, Jakarta Utara (Gambar 1).
Pengambilan data dilakukan pada tiga tipe tegakan yang berbeda, yaitu (1)
tegakan monokultur A. marina (A), (2) tegakan campuran A. marina dan R.
mucronata (B) yang berada di sebelah barat Cengkareng Drain, Hutan Lindung
Angke Kapuk, dan (3) tegakan campuran S. alba dan R. mucronata (C) yang
berada di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo.
Pemisahan dan identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium
Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012.

5

salinitas, pH, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere,
udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991).
Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan
bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk oleh semua fungsi makhluk
hidup yang satu dan lainnya saling berinteraksi. Faktor-faktor abiotik yang
penting dalam mempengaruhi kehidupan serangga adalah temperatur, cahaya,
presipitas, kelembaban dan angin, serta faktor-faktor abiotik lainnya yang kurang
penting yang termasuk di dalam faktor-faktor cuaca dan iklim (Suratmo 1974).
Menurut Willmer (1982) diacu dalam Kahono et al. (2003) iklim merupakan salah
satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. Iklim berpengaruh langsung kepada
kehidupan, pertumbuhan, reproduksi, dan kelimpahan serangga, fenologi, dan
musuh alami.

Konsep Keanekaragaman
Keanekaragaman merupakan keadaan berbeda atau mempunyai perbedaan
dalam bentuk atau sifat antara anggota-anggotanya. Keanekaragaman dalam level
ekosistem terbagi menjadi tiga level, yaitu keanekaragaman alpha,
keanekaragaman gamma dan keanekaragaman beta (McNoughton dan Wolf
1990). Menurut Magguran (1988), terdapat pengertian dari semua level
keragaman tersebut, yaitu:
1. Keragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit
contoh yang diukur.
2. Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada
suatu habitat yang homogen (gabungan keanekaragaman titik).
3. Keanekaragaman gamma (gamma diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada
suatu pulau atau lansdcape (gabungan keanekaragaman alpha).
4. Keanekaragaman epsilon (epsilon diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu
wilayah biogeografi (gabungan keanekaragaman gamma).

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada dua lokasi, yaitu di Hutan Lindung mangrove
Angke Kapuk dan Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo, Jakarta Utara (Gambar 1).
Pengambilan data dilakukan pada tiga tipe tegakan yang berbeda, yaitu (1)
tegakan monokultur A. marina (A), (2) tegakan campuran A. marina dan R.
mucronata (B) yang berada di sebelah barat Cengkareng Drain, Hutan Lindung
Angke Kapuk, dan (3) tegakan campuran S. alba dan R. mucronata (C) yang
berada di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo.
Pemisahan dan identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium
Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012.

6

Gambar 1

Peta lokasi penelitian

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tegakan mangrove,
serangga yang tertangkap dengan metode yellow-pan trap, detergen, kantong
plastik, kertas label, dan alkohol 70%. Alat yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain golok, termohygrometer, kompas, pita ukur, hagahypsometer, kamera,
yellow pan trap, wadah rol film, pinset, meteran, penggaris, kompas, mikroskop,
dan alat-alat tulis.

Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Proses
pengumpulan data primer melalui pengukuran langsung di lapangan seperti
penangkapan serangga, analisis vegetasi dan pengukuran dimensi pohon,
pengukuran suhu, dan kelembaban.
Proses pengumpulan data sekunder melalui informasi yang telah tersedia
dari data profil lokasi penelitian seperti data letak dan luas, kondisi iklim,
topografi, dan sejarah pengelolaan lahan. Data ini diperoleh dari Dinas Kelautan
dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta dan wawancara dengan petugas lapang. Data
lainnya yang terkait dengan penelitian ini diperoleh dengan studi pustaka dari
berbagai literatur, jurnal, laporan, dan arsip-arsip dari dinas terkait maupun yang
bersumber dari media elektronik.

7

Metode Kerja

Penentuan Plot Sampling
Plot sampling untuk pengambilan data digunakan metode garis berpetak.
Tegakan monokultur A. marina dibuat sebanyak dua jalur. Jarak antar jalur dan
petak dalam jalur pada tegakan monokultur A. marina adalah 20 meter. Desain
plot sampling pada tegakan monokultur A. marina disajikan pada Gambar 2.

40 m

10 m

20 m

10 m
Gambar 2 Desain plot sampling pada tegakan monokultur A. marina
Plot sampling pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata dibuat
satu jalur, panjang jalur 220 m dan lebar 10 m dengan arah sejajar garis pantai,
sedangkan pada tegakan campuran S. alba dan R. mucronata di Kawasan
Mangrove Tol Sedyatmo dibuat satu jalur, panjang jalur 220 m dan lebar 10 m
dengan arah tegak lurus sungai Cengkareng Drain. Pada setiap jalur dibuat petak
ukuran 10 m × 10 m dengan jarak antar petak dalam jalur adalah 20 m. Masingmasing tipe tegakan dibuat sebanyak delapan petak.

Penangkapan Serangga
Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan metode yellow
pan trap. Metode yellow pan trap digunakan untuk menjebak serangga pada
daerah permukaan tanah serta serangga yang tertarik dengan warna kuning.
Yellow pan trap merupakan cara cepat dan mudah untuk menangkap serangga.
Yellow pan trap yang digunakan yaitu berupa nampan bulat berwarna kuning
dengan diameter 30 cm. Penangkapan serangga dilakukan pada plot sampling
yang digunakan untuk analisis vegetasi. Yellow pan trap diletakkan di dalam
petak berukuran 10 m × 10 m dan diisi dengan larutan detergen agar serangga
yang terjebak tidak terbang dan mati. Yellow pan trap dipasang selama 12 jam
dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB. Setiap petak diletakkan sebanyak
lima buah yellow pan trap dengan posisi diagonal, seperti yang disajikan pada
Gambar 3A. Pengumpulan serangga dengan yellow pan trap dilakukan selama
tiga hari pada masing-masing tipe tegakan.

8

10 m

A

B

10 m

= yellow-pan trap

Gambar 3 Metode pengumpulan serangga dengan yellow-pan trap: (A) Posisi
peletakkan yellow-pan trap di dalam petak; (B) yellow-pan trap

Analisis Vegetasi dan Pengukuran Dimensi Pohon
Analisis vegetasi dilakukan pada petak 10 m × 10 m, seperti yang
disajikan pada Gambar 4. Ukuran petak tersebut dibagi kedalam sub-sub petak
yang lebih kecil secara nested sampling dengan ukuran 10 m × 10 m untuk tingkat
pohon, 5 m × 5 m untuk tingkat pancang, dan 2 m × 2 m untuk tingkat semai.
Pengukuran dimensi pohon meliputi tinggi dan diameter setinggi dada (dbh).
Tinggi pohon diukur menggunakan hagahypsometer dan diameter batang diukur
menggunakan pita ukur.

5m
2m
5m
2m

Gambar 4 Plot ukur analisis vegetasi

Pengukuran Faktor Lingkungan Serangga
Lingkungan serangga merupakan lingkungan yang terdiri dari lingkungan
abiotik dan biotik. Pengukuran faktor lingkungan serangga dilakukan dengan cara
mengukur suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban diukur dengan
menggunakan alat thermohygrometer dengan meletakkan alat tersebut di tengah
plot sampling. Peletakan dilakukan dengan menggantungkan thermohygrometer
pada pohon karena alat tersebut tidak boleh terkena cahaya matahari secara
langsung.

9

Pemisahan dan Identifikasi Serangga
Serangga yang tertangkap dipisahkan dan diidentifikasi berdasarkan
morfospesies di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur,
Fakultas Kehutanan IPB. Menurut Bird et al. (2000) dalam Haneda (2004),
morfospesies merupakan unit taksonomi yang dikenali berdasarkan penampilan
luar dari spesimen dan umum digunakan sebagai pengganti nama jenis untuk
keanekaragaman jenis. Proses identifikasi serangga dilakukan dengan
menggunakan sumber identifikasi berupa insektarium serta buku-buku panduan
yang telah ada. Adapun buku yang dipakai dalam identifikasi serangga adalah:
a. Pengenalan Pelajaran Serangga, tahun 1996, karya Donald J. Borror, Charles
A. Triplehorn, dan Norman F. Johnson yang diterjemahkan oleh
Partosoedjono.
b. The Butterflies of the Malay Peninsula, tahun 1991, karya A. Steven Corbet
dan H.M Pendlabury.
c. A Field Guide in Colour to Butterflies and Moth, tahun 1999, karya Ivo Novak
yang diterjemahkan oleh Marie Hejlova.
d. Malaysian Nature Handbook Common Malaysian Moth, tahun 1986, karya
Avril Fox.
e. Mengenal Capung, tahun 1998, karya Shanti Susanti.
f. Hymenoptera of the World: an Identification Guide to Families, tahun 1993,
karya Henry Goulet dan John T. Huber.

Analisis Data

Analisis Data Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis Mangrove
Analisis vegetasi dilakukan dengan menghitung nilai kerapatan tumbuhan
dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon dan permudaan. Nilai
keanekaragaman jenis mangrove dihitung menggunakan Indeks keanekaragaman
jenis Shannon-Wiener.
Jumlah individu su atu jenis

K

=

KR

=

F

=

FR

=

D

=

DR

=

INP
INP

= KR + FR + DR (untuk tingkat pohon)
= KR + FR (untuk tingkat permudaan)

Luas petak contoh
Kerapatan suatu jenis

× 100%

Kerapatan seluruh jenis
Jumlah sub petak ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh sub petak contoh
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi seluruh jenis
LBDS suatu spesies
Luas petak conto h
Dominansi suatu jenis
Dominansi seluruh jenis

× 100%

× 100%

10

K
KR
F
FR
D
DR
INP

= Kerapatan (individu/ha)
= Kerapatan Relatif (%)
= Frekuensi
= Frekuensi Relatif (%)
= Dominansi (m2/ha)
= Dominansi Relatif (%)
= Indeks Nilai Penting (%)

H'
ni
N

H' = -∑ Pi ln Pi ;
dimana
Pi =
= Indeks keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener
= Jumlah individu jenis ke-i
= Jumlah individu seluruh jenis

��



Analisis Data Serangga

Analisis data serangga dilakukan dengan menghitung kelimpahan dalam
satuan individu per hektar, nilai keanekaragaman jenis, kemerataan jenis, dan
kesamaan jenis serangga antar tegakan. Perhitungan nilai-nilai keanekaragaman
serangga dilakukan dengan menggunakan program Species Diversity and
Richness-2.64. Berikut persamaan-persamaan yang digunakan dalam analisis data.

Kelimpahan Serangga
Kelimpahan serangga adalah jumlah total serangga dalam satuan individu
per hektar. Kelimpahan serangga dirumuskan dengan:
Jumlah individu serangga
Kelimpahan serangga (individu/ha) =
Luas petak contoh

Nilai Keanekaragaman Jenis (Diversity Index)
Nilai
keanekaragaman
jenis
dihitung
menggunakan
indeks
keanekaragaman jenis Shannon-Wiener. Indeks keanekaragaman merupakan
kombinasi dari kekayaan jenis (species richness) dan kesamaan jenis (evenness
species) menjadi satu nilai. Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener
memiliki dua sifat, yaitu : (1) H’=0 jika dan hanya jika ada satu jenis dalam
sampel, (2) H’ maksimum hanya ketika semua jenis (jumlah total jenis dalam
komunitas) diwakili oleh jumlah individu yang sama, yang merupakan distribusi
kelimpahan yang sempurna (Ludwig dan Reynolds 1988). Indeks
keanekaragaman jenis Shannon-Wiener dirumuskan dengan:

H'
ni
N

H' = -∑ Pi ln Pi ;
dimana
Pi =
= Indeks keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener
= Jumlah individu jenis ke-i
= Jumlah individu seluruh jenis

��



11

Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index)
Nilai kemerataan jenis menunjukkan derajat kemerataan keanekaragaman
individu antar jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness modifikasi dari
Hill’s ratio (Ludwig dan Reynolds 1988):
�2−1

1

�5 =
Dimana �2 = dan �1 = � �′
�1−1

E5
= Indeks Kemerataan Jenis
N1
= Nilai dari kelimpahan
N2
= Ukuran nilai dari kelimpahan jenis pada sampel
λ
= Simpson’s indeks, λ = si=1 Pi2
Nilai E5 berkisar antara 0–1. Nilai E5 yang mendekati 0 menunjukan
bahwa suatu jenis menjadi dominan dalam komunitas. Jika nilai E5 mendekati 1,
seluruh jenis memiliki tingkat kemerataan jenis yang hampir sama.

Nilai Kesamaan (Similarity Index) Jenis Serangga antar Tipe Tegakan
Nilai kesamaan jenis dihitung menggunakan Indeks Kesamaan Jaccard
dirumuskan dengan:

CJ
J
a
b

CJ = J/(a + b – J)
= Indeks Kesamaan Jaccard
= jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a & b
= jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a
= jumlah spesies yang ditemukan pada habitat b

Menurut Magurran (1988), nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj)
mendekati 1 menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar habitat tinggi. Jika nilai
indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj) mendekati 0 menunjukkan tingkat kesamaan
jenis antar habitat rendah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Hutan Lindung Angke Kapuk
Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 220/Kpts-II/2000
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Wilayah Provinsi DKI Jakarta,
luas Hutan Lindung Angke Kapuk adalah 44.76 ha. Wilayah tersebut masuk
dalam dua wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan
Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Berdasarkan
tata batas, wilayah Hutan Lindung Angke Kapuk berbatasan dengan PT Mandara
Permai (Pantai Indah Kapuk) di sebelah selatan, sebelah utara berbatasan dengan

11

Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index)
Nilai kemerataan jenis menunjukkan derajat kemerataan keanekaragaman
individu antar jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness modifikasi dari
Hill’s ratio (Ludwig dan Reynolds 1988):
�2−1

1

�5 =
Dimana �2 = dan �1 = � �′
�1−1

E5
= Indeks Kemerataan Jenis
N1
= Nilai dari kelimpahan
N2
= Ukuran nilai dari kelimpahan jenis pada sampel
λ
= Simpson’s indeks, λ = si=1 Pi2
Nilai E5 berkisar antara 0–1. Nilai E5 yang mendekati 0 menunjukan
bahwa suatu jenis menjadi dominan dalam komunitas. Jika nilai E5 mendekati 1,
seluruh jenis memiliki tingkat kemerataan jenis yang hampir sama.

Nilai Kesamaan (Similarity Index) Jenis Serangga antar Tipe Tegakan
Nilai kesamaan jenis dihitung menggunakan Indeks Kesamaan Jaccard
dirumuskan dengan:

CJ
J
a
b

CJ = J/(a + b – J)
= Indeks Kesamaan Jaccard
= jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a & b
= jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a
= jumlah spesies yang ditemukan pada habitat b

Menurut Magurran (1988), nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj)
mendekati 1 menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar habitat tinggi. Jika nilai
indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj) mendekati 0 menunjukkan tingkat kesamaan
jenis antar habitat rendah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Hutan Lindung Angke Kapuk
Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 220/Kpts-II/2000
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Wilayah Provinsi DKI Jakarta,
luas Hutan Lindung Angke Kapuk adalah 44.76 ha. Wilayah tersebut masuk
dalam dua wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan
Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Berdasarkan
tata batas, wilayah Hutan Lindung Angke Kapuk berbatasan dengan PT Mandara
Permai (Pantai Indah Kapuk) di sebelah selatan, sebelah utara berbatasan dengan

12

Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kali Kamal, dan sebelah timur
berbatasan dengan Kali Angke dan perkampungan nelayan Muara Angke. Secara
geografis Hutan Lindung Angke Kapuk terletak diantara 6°05’–6°10’ Lintang
Selatan dan 106°43’–106°48 Bujur Timur. Hutan Lindung Angke Kapuk
terbentang mulai dari batas Hutan Wisata Kamal sampai batas Suaka Margasatwa
Muara Angke.
Kondisi permukaan tanah relatif datar. Elevasi permukaan tanah di bagian
selatan lebih tinggi kemudian menurun dengan kemiringan yang rendah ke arah
utara sampai ke pantai, di bagian selatan ketinggian permukaan tanah permukaan
tanahnya disebabkan oleh kemiringan alami, yang juga berfungsi sebagai daerah
penyangga dari batas hutan.
Secara keseluruhan kawasan ini dahulu merupakan daratan empang
dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di Teluk Jakarta. Umumnya, bagian
utara dataran rendah ini merupakan hutan mangrove. Hutan mangrove yang kini
menjadi hutan lindung merupakan pantai dari Muara Sungai Angke Kapuk sampai
di sebelah timur Sungai Kamal. Semakin ke baratdaya ketinggian daratan semakin
tinggi. Di bagian selatan, ketinggian tempat mencapai 5 meter di atas permukaan
laut.
Keadaan tanah di Hutan Lindung Angke Kapuk di bagian utara sampai
dengan pantai Jawa, terdiri dari alluvial kelabu tua dan gley humus rendah.
Batuan induk tanah ini berupa endapan tanah liat daratan pantai. Pada bagian
selatan terdiri dari regosol cokelat yang terbentuk dari endapan pasir vulkanik,
daerah ini merupakan tanah lempung berpasir dengan topografi datar. Pada bagian
tenggara terdiri dari alluvial kelabu tua.
Keadaan tambak rawa, sungai dan pasang surut sekitar hutan sangat
mempengaruhi kondisi hidrologi kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk. Hal ini
nampak pada kondisi air yang berkadar garam 20‰–40‰. Pasang tertinggi terjadi
pada bulan Juni setinggi 1.25 meter dan surut terendah setinggi 0.25 meter terjadi
pada bulan Juli.
Secara umum, kondisi iklim kota Jakarta termasuk kawasan Hutan
Lindung Angke Kapuk memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata tahunan
2000 mm. suhu udara di Muara Angke cukup tinggi. Suhu udara maksimum
berkisar 35°C dan minimum berkisar 19°C pada malam hari. Kelembaban udara
maksimum mencapai 89% dan minimum 76%. Pada bulan November sampai
April, kawasan ini dipengaruhi angin musim barat, sedangkan angin musim timur
bertiup pada bulan Mei sampai bulan Oktober.
Jenis tumbuhan didominasi oleh api-api (Avicennia sp.), hampir
membentuk tegakan murni, sehingga dapat dikatakan bahwa Hutan Lindung
Angke Kapuk didominasi oleh jenis api-api. Jenis tumbuhan yang dapat
ditemukan di kawasn ini adalah pidada (S. alba), buta-buta (Excoecaria
agallocha), dan waru laut (Hibiscus tiliaceus). Jenis bakau (Rhizophora sp.)
merupakan jenis yang ditanam, baik di areal yang berdekatan dengan tambak di
luar hutan lindung maupun di dalam hutan lindung. Jenis pohon lain yang ditanam
adalah akasia, mahoni, dan flamboyan. Fauna yang dapat ditemui di kawasan ini
antara lain adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), burung-burung
seperti kuntul, cangak, camar, trinil, gajahan dan jenis reptil seperti kadal, biawak,
ular, dan katak.

13

Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo
Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo memiliki hutan mangrove dengan luas
95.5 ha. Wilayah tersebut termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pluit, Kecamatan
Panjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Berdasarkan tata batas, wilayah Kawasan
Mangrove jalan Tol Sedyatmo berbatasan dengan Pantai Indah Kapuk di sebelah
selatan, sebelah utara berbatasan dengan Jalan Tol Soekarno-Hatta, sebelah barat
berbatasan dengan Pantai Kapur Timur, dan sebelah timur berbatasan dengan
Jalan Pluit Barat.
Secara geografis, Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo terletak pada
06°05’24”–06°05;35’ Lintang Selatan dan 106°46’06”–106°46’30” Bujur Timur
dengan ketinggian rata-rata 0–1 meter di atas permukaan laut. Kawasan Delta
Muara Angke berada diantara 2 anak sungai, yaitu Kali Angke di sebelah timur
dan Kali Adem di sebelah barat.
Geomorfologi Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo dipengaruhi hasil
endapan sungai yang mengalir di wilayah tersebut. Endapan sungai membentuk
endapan alluvial pantai dengan permukaan tanah datar dan subur karena
dipegaruhi oleh endapan sungai yang mengandung sedimen bahan organik dengan
tekstur tanah lunak (tidak solid). Hal ini yang menyebabkan daya dukung tanah
rendah dan proses intrusi air laut tinggi.
Topografi pada Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo memiliki kontur
permukaan tanah yang datar. Ketinggian dari permukaan laut adalah 0–1 meter
dengan kondisi air permukaan berupa payau, kolam tambak, dan rawa-rawa.
Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo merupakan delta yang diapit oleh dua
anak sungai, yaitu Kali Adem dan Kali Angke. Saat curah hujan tinggi, terjadi
peningkatan ketinggian pasang air yang mencapai 0.3 m/hari. Namun, saat musim
kemarau panjang, air akan surut hingga ± 0.5 m/hari. Kedalaman kawasan yang
berupa kolam atau tambak ini bervariasi, yakni antara 0.82 sampai 1.5 meter.
Secara umum, kondisi iklim kota Jakarta termasuk Kawasan Mangrove
Tol Sedyatmo memiliki iklim tropis dengan curah hujan sepanjang tahun 1 913.8–
2000 mm/tahun. Suhu udara di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo cukup tinggi.
Suhu udara maksimum berkisar 31.4°C pada siang hari dan berkisar 25.4°C pada
malam hari. Kelembaban udara rata-rata sebesar 77% dan kecepatan angin ratarata sebesar 7 knots/jam dengan arah angin yang selalu berubah-ubah sesuai
musim pada tiap tahunnya.
Flora di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo didominasi oleh jenis bakau
(R. mucronata), sedangkan jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh alami di
pematang-pematang tambak adalah jenis api-api (A. marina), tancang (Bruguiera
sp.), pedada (S. alba), dan Nypa fruticans. Di samping itu, ditemukan pula jenis
fauna di kawasan tersebut, antara lain burung air seperti pucuk padi
(Phalacrocorax niger), cangak laut (Ardea sumatrana), bambangan merah
(Ixobrychus cinnamomeus), raja udang meninting (Alcedo meninting), dan reptil,
yaitu kadal (Mabuya multifasciata), katak (Polypedates leucomystax), kodok
(Limnonectes macrodan), dan biawak (Varanus rudicollis).

14

Hasil

Komposisi Tegakan dan Keanekaragaman Jenis Mangrove

Dominansi Jenis
Jens-jenis pohon mangrove yang ditemukan berdasarkan hasil analisis
vegetasi pada tiga tipe tegakan yakni tegakan monokultur A. marina (A) dan
tegakan campuran A. marina dan R. mucronata (B) yang berada di hutan lindung
Angke Kapuk, serta tegakan campuran S. alba dan R. mucronata (C) yang berada
di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Indeks Nilai Penting jenis mangrove untuk setiap tingkat pertumbuhan di
lokasi penelitian
Tingkat
Pertumbuhan

Indeks Nilai Penting (%)

Pohon
Pancang

A
A. marina (300%)
A. marina (200%)

Semai

A. marina (200%)

B
A. marina (300%)
A. marina (123.34%)
R. mucronata (76.66%)
A. marina (113.29%)
R. mucronata (86.71%)

C
S. alba (300 %)
S. alba (114.5 %)
R. mucronata (85.5 %)
S. alba (200 %)

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan
campuran S. alba dan R. mucronata

Tabel 1 menunjukkan bahwa tipe tegakan A pada tingkat pohon, pancang,
dan semai didominasi oleh jenis A. marina. Tipe tegakan B pada tingkat pohon,
pancang, dan semai didominasi oleh jenis A. marina, sedangkan pada tingkat
semai dan pancang ditemukan jenis kodominan yaitu R. mucronata. Tipe tegakan
C pada tingkat pohon, pancang, dan semai didominasi oleh jenis S. alba,
sedangkan pada tingkat pancang ditemukan jenis kodominan yaitu R. mucronata.

Kerapatan Tegakan pada Setiap Tipe Tegakan Mangrove
Nilai kerapatan untuk berbagai tingkat pertumbuhan dari hasil pengamatan
dapat dilihat pada Tabel 2.

15

Tabel 2 Nilai kerapatan pada setiap tingkat pertumbuhan di berbagai tipe tegakan
mangrove di lokasi penelitian
Tegakan
A

B

C

Tingkat Pertumbuhan
Pohon
Pancang
Semai
Pohon
Pancang
Semai
Pohon
Pancang
Semai

Kerapatan (ind/ha)
462.50
2 500.00
4 687.50
112.50
7 000.00
19 062.50
712.50
1 100.00
12 500.00

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan
campuran S. alba dan R. mucronata

Tabel 2 menjelaskan bahwa pada tipe tegakan A, B, dan C kerapatan
tertinggi terdapat pada tingkat pertumbuhan semai dan kerapatan jenis terendah
terdapat pada tingkat pohon. Semakin besar ukuran diameter batang, maka
semakin berkurang jumlah individunya.

Keanekaragaman Jenis Mangrove
Keanekaragaman jenis mangrove tertinggi terdapat pada tegakan B sebesar
0.62 dan tertinggi kedua terdapat pada tegakan C sebesar 0.29. Tegakan A nilai
keanekaragaman jenis mangrove bernilai nol dikarenakan hanya terdapat satu
jenis mangrove yang terdapat pada tegakan tersebut. Hasil analisis indeks
Keanekaragaman jenis mangrove disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai indeks keanekaragaman jenis mangrove pada berbagai tipe tegakan
di lokasi penelitian
Tegakan
A
B
C

H'
0.00
0.62
0.29

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan
campuran S. alba dan R. mucronata

Komposisi, Kelimpahan, dan Keanekaragaman Serangga

Komposisi dan Kelimpahan Serangga pada Setiap Tipe Tegakan Mangrove
Komposisi dan kelimpahan serangga dari tiga tipe tegakan disusun oleh 10
ordo dan 55 famili dengan total kelimpahan sebanyak 145 658 individu/ha.

16

Contoh serangga yang tertangkap dengan metode yellow pan trap dalam
penelitian ini disajikan pada Gambar 5.
A

BB

CC

ED

FE

GF

Gambar 5 Serangga yang tertangkap dengan metode yellow pan trap: (A)
Pipunculidae (Diptera) 10x; (B) Psychodidae (Diptera) 20x; (C)
Gryllidae (Orthoptera) 10x; (D) Miridae (Hemiptera) 10x; (E)
Ephydridae (Diptera) 10x; (F) Elasmidae (Hymenoptera) 10x
Data komposisi dan kelimpahan serangga berdasarkan ordo hasil
pemisahan dan identifikasi pada setiap tipe tegakan di lokasi penelitian tersaji
pada Tabel 4.
Tabel 4 Kelimpahan serangga berdasarkan ordo di setiap tipe tegakan
Ordo
Coleoptera
Diptera
Embiidina
Hemiptera
Hymenoptera
Lepidoptera
Odonata
Orthoptera
Blattaria
Homoptera

Kelimpahan serangga (individu/ha)
A
B
C
366
266
500
19 032
64 367
45 699
0
67
0
3 332
66
467
432
635
5 865
0
67
33
0
33
0
132
866
2 334
0
0
1 033
66
0
0

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan
campuran S. alba dan R. mucronata

Tabel 4 memperlihatkan bahwa jumlah ordo terbanyak yaitu ditemukan
pada tipe tegakan B. Komposisi dan kelimpahan serangga pada tegakan
monokultur A. marina (A) disusun oleh 22 famili dan 6 ordo dengan kelimpahan
serangga sebanyak 23 360 individu/ha dan pada tegakan campuran S. alba dan R.
mucronata (C) disusun oleh 30 famili dan 8 ordo dengan kelimpahan serangga
sebanyak 55 931 individu/ha. Komposisi dan kelimpahan serangga tertinggi
terdapat pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata (B) disusun oleh 33
famili dan 8 ordo dengan kelimpahan serangga sebanyak 66 367 individu/ha. Pada
ketiga habitat tersebut jenis serangga yang mendominasi yaitu dari ordo Diptera.

17

Tipe tegakan A dan B didominasi oleh famili Ephydridae dari ordo Diptera
(Gambar 5E), sedangkan tipe tegakan C didominasi oleh famili Psychodidae dari
ordo Diptera (Gambar 5B).

Keanekaragaman Serangga pada Setiap Tipe Tegakan
Hasil analisis data kelimpahan indeks keanekaragaman dan kemerataan
serangga pada setiap tipe tegakan mangrove yang diperoleh tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah morfospesies, nilai indeks keanekaragaman, dan indeks
kemerataan serangga di setiap tipe tegakan
Keterangan
Jumlah morfospesies
H'
E5

A
29.00
1.68
0.38

Tegakan
B
47.00
1.57
0.35

C
46.00
2.01
0.45

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan
campuran S. alba dan R. mucronata; H’=indeks keanekaragaman Shannon-Wiener; dan E5=indeks
kemerataan modifikasi Hill’s ratio

Nilai Keanekaragaman (Diversity Index) Serangga
Hasil analisis pada Tabel 5 diketahui bahwa serangga yang diperoleh pada
tiga tipe tegakan mangrove mempunyai keanekaragaman jenis yang berbeda.
Jumlah individu jenis tertinggi adalah pada tegakan B, tetapi nilai
keanekaragaman jenis serangga (H’) tertinggi terdapat pada tegakan C sebesar
2.01. Tegakan A dan B mempunyai nilai keanekaragaman jenis serangga (H’)
masing-masing adalah 1.68 dan 1.57.

Nilai Kemerataan (Evennes Index) Serangga
Tabel 5 menunjukan tidak ada dominansi jenis serangga pada tegakan A, B
serta C dengan besarnya nilai Evennes index (E5) dari masing-masing lokasi yang
tidak bernilai nol. Namun, pada tegakan B cenderung mendekati nol, artinya ada
kelompok serangga yang lebih mendominasi yaitu famili Ephrydidae dari ordo
Diptera.

Nilai Kesamaan (Similarity Index) Jenis Serangga antar Tipe Tegakan
Hasil analisis data untuk mengetahui tingkat kesamaan jenis serangga
antara tipe tegakan mangrove dengan menggunakan rumus kesamaan Jaccard
tersaji dalam Tabel 6. Hasil analisis indeks kesamaan jenis Jaccard
memperlihatkan bahwa kesamaan jenis serangga antar tipe tegakan berbeda satu
sama lain.

18

Tabel 6

Nilai indeks kesamaan jenis serangga antar tipe tegakan
Similarity Index
26%
25%
21%

Tegakan
A vs B
A vs C
B vs C

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan
campuran S. alba dan R. mucronata

Faktor Lingkungan Serangga
Keanekaragaman dan kelimpahan serangga secara umum akan ditentukan
pula oleh faktor lingkungan. Setiap jenis serangga mempunyai kesesuaian
terhadap lingkungan tertentu. Oleh karena itu, faktor fisik lingkungan sangat
mempengaruhi. Pengukuran faktor fisik lingkungan yang dilakukan adalah suhu
dan kelembaban udara. Hasil pengukuran faktor lingkungan pada tiga tipe tegakan
didapatkan data yang tersaji pada Tabel 7.
Tabel 7 Kondisi rata-rata suhu dan kelembaban pada tegakan monokultur A.
marina, campuran A. marina dan R. mucronata, dan campuran S. alba
dan R. mucronata
Kondisi Lingkungan
Suhu (°C)
RH (%)

A
29.67
72.00

Tipe Tegakan
B
31.00
70.00

C
30.83
70.50

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan
campuran S. alba dan R. mucronata

Tabel 7 menunjukan bahwa faktor suhu dan kelembaban udara pada
tegakan B lebih tinggi dibandingkan tegakan A dan C, sedangkan kelembaban
udara pada tegakan A lebih tinggi dibandingkan tegakan B dan C. Kondisi
lingkungan yang berbeda menyebabkan kelimpahan serangga tiap tipe tegakan
berbeda.

Pembahasan
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa tipe tegakan monokultur A.
marina pada tingkat pohon, pancang, dan semai didominasi oleh jenis A. marina.
Tipe tegakan campuran A. marina dan R. mucronata pada tingkat pohon, pancang,
dan semai didominasi oleh jenis A. marina, sedangkan pada tingkat semai dan
pancang ditemukan jenis kodominan yaitu R. mucronata. Tipe tegakan campuran
A. alba dan R. mucronata merupakan tegakan hasil penanaman yang didominasi
oleh tumbuhan yang masih muda. Tipe tegakan campuran S. alba dan R.
mucronata pada tingkat pohon, pancang, dan semai didominasi oleh jenis S. alba,
sedangkan pada tingkat pancang ditemukan jenis kodominan yaitu R. mucronata.
Tipe tegakan campuran S. alba dan R. mucronata merupakan tegakan yang
tumbuh pada delta yang diapit oleh dua anak sungai, yaitu Kali Adem dan Kali

19

Angke. Menurut Kusmana et al. (2008), flora mangrove umumnya tumbuh
membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi zonasi mangrove yaitu pasang surut, tipe tanah,
kadar garam dan cahaya.
Kerapatan tegakan tertinggi pada tipe tegakan monokultur A. marina, tipe
tegakan campuran A. marina dan R. mucronata, dan tipe tegakan campuran S.
alba dan R. mucronata terdapat pada tingkat pertumbuhan semai. Tegakan
campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai nilai keanekaragaman jenis
mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan monokultur A. marina dan
campuran S. alba dan R. mucronata.
Komposisi serangga dengan menggunakan metode yellow-pan trap
menunjukkan hasil yang berbeda pada ketiga tipe tegakan. Menurut Godfray
(1994) dalam Perdana (2010), serangga ordo Hymenoptera yang terperangkap
pada yellow-pan trap kemungkinan besar merupakan serangga yang bersifat
tertarik terhadap warna kuning. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya, serangga yang banyak tertangkap yellowpan-trap adalah famili
Ephydridae (Gambar 5E) dan Psychodidae (Gambar 5B) dari ordo Diptera.
Perbedaan ini diduga karena perbedaan habitat.
Komposisi serangga pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata
lebih tinggi, baik dibandingkan dengan tegakan monokultur A. marina maupun
tegakan campuran S. alba dan R. mucronata. Faktor yang mempengaruhi
perbedaan komposisi serangga pada ketiga tipe tegakan tersebut antara lain adalah
sifat serangga itu sendiri (misalnya cara hidup, makan, dan berkembang biak) dan
faktor lingkungan dari masing-masing tegakan. Pernyataan ini dipertegas oleh
Tofani (2008), komposisi dan kelimpahan jenis serangga dipengaruhi oleh
kelimpahan jenis tumbuhan, baik pohon maupun tumbuhan bawah. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kelimpahan tumbuhan
mempengaruhi komposisi serangga pada ketiga tipe tegakan tersebut.
Menurut Kahono et al. (2003), jumlah individu pada setiap ordo serangga
atau kelompok serangga tertentu memiliki kecenderungan fluktuasi yang
bervariasi sepanjang tahun. Fluktuasi serangga dari waktu ke waktu sangat
dipengaruhi oleh dinamika lingkungannya yang terjadi di dalam hutan. Perubahan
fenologi tumbuhan hutan, kondisi fisik, iklim dan cuaca dari waktu ke waktu
mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan, dan mortalitas serangga. Perubahan ini
secara langsung dan tidak langsung akan menyebabkan perubahan jumlah
serangga dari waktu ke waktu.
Tegakan campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai kerapatan
tumbuhan dan keanekaragaman jenis mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan
tegakan monokultur A. marina dan campuran S. alba dan R. mucronata.
Perbedaan komposisi jenis mangrove mempengaruhi penyediaan makanan
(serasah) bagi serangga. Semakin melimpah serasah, maka semakin melimpah
pula individu serangga permukaan tanah (Tofani 2008).
Selain faktor lingkungan, sifat serangga (misalnya cara hidup, makan dan
berkembang biak) juga memiliki peranan penting dalam menentukan keberadaan
serangga pada suatu tegakan. Pada ketiga tipe tegakan, kelimpahan serangga
tertinggi didominasi oleh ordo Diptera. Ordo ini dapat ditemukan di semua habitat
dan makan berbagai tumbuhan. Banyak jenis Diptera sebagai pemakan cairan
tumbuhan (nektar), serta cairan-cairan hewan (darah), dan pemakan zat organik

20

yang membusuk. Beberapa jenis Diptera berperan sebagai vektor penyakit
manusia, predator dan polinator (Borror et al. 1996). Menurut Daly et al. (1978),
larva Diptera hidup di lokasi yang lembab dan berair, jarang yang hidup di daerah
kering.
Jenis serangga yang mendominasi tegakan campuran A. marina dan R.
mucronata dan tegakan monokultur A. marina adalah famili Ephydridae dari ordo
Diptera (Gambar 5E). Famili Ephydridae merupakan lalat pantai dengan ukuran
kecil sampai sangat kecil. Famili ini banyak ditemukan di daerah akuatik dan ada
beberapa jenis yang hidup di air payau bahkan daerah akuatik yang mempunyai
kadar garam tinggi (Borror et al. 1996).
Persyaratan hidup dari famili Ephydridae sesuai dengan kondisi
lingkungan yang ada pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata serta
monokultur A. marina. Kedua tipe habitat tersebut merupakan komunitas
mangrove yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai, laguna, dan
muara sungai yang terlindung) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut, yang tumbuhannya toleran terhadap garam (kondisi
salin) (Kusmana et al. 2008).
Tegakan campuran S. alba dan R. mucronata, didominasi oleh famili
Psychodidae dari ordo Diptera (Gambar 5B). Famili Psychodidae merupakan lalat
berukuran kecil sampai sangat kecil dan biasanya berambut serta hidup di tempattempat teduh yang lembab. Larva dari famili ini biasanya terdapat pada bagian
tumbuh-tumbuhan yang membusuk, lumpur, lumut dan air (Borror et al. 1996).
Menurut hasil penelitian Rachm