Membuang Rasa Malu

Membuang Rasa Malu

Malu merupakan perhiasan orang-orang beriman. Rasulullah Muhammad Saw. dikenal sebagai orang yang sangat pemalu, begitu pemalunya sehingga diibaratkan seperti wanita pingitan. Utsman bin Affan, khalifah ketiga sekaligus menantu Rasulullah juga seorang pemalu. Sifat malu memang perhiasan orang-orang beriman (seberapa besarkah sifat malu kita?) .

Tetapi ada saatnya membuang rasa malu adalah lebih baik. Seorang istri sebaiknya membuang rasa malu ketika telah membuka pakaiannya di depan suami dan segera mengenakan kembali setelah jima’ selesai, saat ia kembali bergaul bersama orang lain yang ada di rumahnya.

Wallahu A’lam bishawab .

Imam Muhammad Al-Baqir menasehatkan, “Wanita yang terbaik di antara kamu ialah yang membuang perisai malu ketika ia membuka bajunya untuk suaminya, dan memasang perisai malu ketika ia berpakaian lagi.”

Bilal bin Abi Bardah, kata Ibnu Asakir, suatu hari berkata kepada majelisnya, “Siapakah wanita yang paling mencintai suaminya?” Orang-orang dalam majelis itu segera bergeming. Lalu Ishaq bin ‘Abdillah bin Harits an-Naufali maju dan berkata, “Telah datang orang yang akan memberitahukannya kepada kalian!”

Mereka pun menanyakan masalah hal itu. Ia menjawab, “Yaitu wanita pemalu yang berusaha menghilangkan rasa

malunya kepada suaminya.” Ia lalu melantunkan bait syair berikut ini: Wanita-wanita itu selalu mencurahkan cintanya sewaktu suaminya tidak ada di sisinya. Dan bila suami mereka telah kembali,

wanita itu menghilangkan rasa malunya. 6

Seorang suami akan semakin sayang kepada istri yang mampu membangkitkan semangatnya ketika sama-sama menanggalkan pakaian. Dan ia merasakan cinta semakin mendalam disertai kebahagiaan dan keinginan untuk memberikan ketenteraman ketika ada rona merah di wajah istri setelah ia kembali menutupi tubuhnya dengan pakaian. Inilah sebagian di antara rahasia-rahasia. Insya-Allah.

Majid Sulaiman Daudin mengingatkan, keindahan perasaan adalah pakaian bagi pasangan suami-istri. Sama sekali tidak berdosa bagi mereka berdua untuk saling bermesraan dan bercumbu rayu mengungkap perasaan-perasaannya dalam bentuk kata-kata maupun sikap yang disukai.

Sikap suami-istri yang melepas pakaian ketika melakukan hubungan seksual, atau hanya sedang bercumbu berdua saja di dalam kamar, tidaklah bertentangan dengan sunnah. Namun tetap, kata Daudin, hendaknya mereka tidak melakukan hubungan seksual tanpa busana atau tanpa kain penutup.

Selanjutnya Sulaiman Daudin menerangkan, “Sesungguhnya figur seorang wanita muslim dalam kehidupan rumah tangganya haruslah cukup memiliki rasa malu saat ditinggal suaminya atau di depan sang suami ketika ada orang ketiga di rumahnya. Rasa malu seperti itu sangat dianjurkan. Namun, jika suami dan istri sedang berduaan perasaan malu seperti itu harus ditanggalkan, terutama jika sedang menuju proses hubungan seksual. Bagaimanapun proses tersebut merupakan perjalanan yang mampu menjauhkan pasangan suami-istri dari kenistaan atau melihat sesuatu yang tidak dihalalkan oleh Allah. Oleh karena itu, mereka tidak terlarang melampiaskan segala keinginannya atau menyegarkan jiwanya dengan cara yang disukai tanpa merasa bersalah.”

Penulis kitab Qurratul ‘Uyun --kitab klasik pengantar seksologi yang banyak dibaca di pesantren-- bahkan menyatakan bodoh suami-istri yang berjima’ dengan masih ada kain yang melekat di balik selimutnya. Suami-istri hendaknya melepaskan setiap kain yang melekat ketika berjima’, sehingga tidak ada yang menghalangi tercapainya kenikmatan yang sempurna bagi suami-istri. Cukuplah selimut yang menutup mereka.

Wallahu A’lam bishawab . ‘Alaa kulli hal , seorang istri hendaknya memahami bagaimana mencapai

kenikmatan dan memuaskan suami ketika sedang melakukan keintiman. “Tidak ada yang lebih menjamin kebahagiaan hidup berumah tangga, dan tidak ada yang lebih menjamin utuhnya kejantanan dan keikhlasan suami, daripada pengalaman dan pengetahuan istri mengenai seni bercinta. Kasih sayang yang tercurah di malam hari akan memperteguh kebahagiaan di siang hari,” demikian kata Al-Khasyat.

Istri hendaknya tidak menjadi mitra yang pasif ketika sedang berjima’ bersama suami. Istri hendaknya memainkan peran aktif. Jika Anda dingin seperti es, air panas pun akan menjadi dingin ketika berdekatan dengan Anda. Sebaliknya, jika Anda bergairah, insya-Allah Anda akan mendapati suami Anda berada di sisi Anda dengan penuh cinta. Seperti kata Ibnu Qutaybah, “Semakin besar gairah seorang wanita, semakin besar pula gairah laki-laki kepadanya” .