BAB I
PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang
Ruang terbuka publik adalah ruang tidak terbangun dalam kota yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas estetika, lingkungan, dan kesejahteraan
warganya. Stephen Carr dalam bukunya Public Space, menyatakan bahwa ruang
terbuka publik harus responsif, demokratis dan bermakna. Responsif artinya ruang terbuka publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan
luas. Demokratis berarti ruang terbuka publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta
aksesibel bagi penyandang cacat tubuh, lanjut usia dan berbagai kondisi fisik manusia. Sedangkan bermakna berarti ruang terbuka publik harus memiliki tautan
dengan manusia, dunia luas, dan konteks sosial. Sebagai salah satu upaya penyediaan ruang terbuka publik di Kota
Semarang, Lapangan Pancasila atau yang lebih dikenal sebagai Alun-alun Simpang Lima merupakan pengganti dari Alun-alun Johar yang pada
perkembangannya telah terdesak oleh intensitas penggunaan ruang yang semakin lama semakin tinggi dan menjadikannya sebagai pusat perdagangan tradisional
dan modern yang padat. Dalam arsitektur jawa dikenal alun-alun sebagai salah satu wujud ruang
terbuka kota. Alun-alun merupakan ruang terbuka yang luas di bagian wilayah keraton, yang terbentuk dari konfigurasi massa bangunan-bangunan di lingkungan
keraton. Hal ini menunjukkan bahwa alun-alun merupakan tempat berkumpulnya manusia dari berbagai golongan raja dengan rakyatnya. Bentuk dari alun-alun ini
biasanya segi empat, sebagai perwujudan dari empat arah mata angin yang dipegang oleh orang jawa dalam hubungannya dengan empat unsur pembentuk
keberadaan bhuwana dunia, yaitu air, udara, bumi, dan api Wiryomartono, 1995. Pada masa itu, alun-alun digunakan sebagai tempat berlangsungnya
upacara kenegaraan, sehingga alun-alun memiliki makna spiritual. Akan tetapi, perubahan konsep alun-alun sebagai tempat upacara kenegaraan menjadi taman
umum kota mulai berlangsung sejak tahun 1967 pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Daya tarik Kawasan Bundaran Simpang Lima dengan Lapangan Pancasila atau alun-alun Simpang Lima di tengahnya, memberikan dampak positif
terhadap perkembangan aktivitas kawasan dan sekitarnya. Seiring dengan perkembangan Kawasan Bundaran Simpang Lima sebagai Central Bussiness
District CBD Kota Semarang tanpa didukung dengan ketersediaan lahan yang mencukupi, berdampak pada bermunculannya aktivitas-aktivitas informal PKL
yang menempati dan memanfaatkan lokasi-lokasi publik sebagai akibat ketidak mampuan membayar lokasi; yang seyogyanya tidak untuk berjualan; semisal
trotoar dan Lapangan Pancasila yang merupakan ruang terbuka publik kota sehingga seringkali mengabaikan kepentingan pejalan kaki maupun pengguna
jalan yang lain. Perkembangan aktivitas perkotaan yang cukup pesat berdampak pada
mendesaknya kebutuhan lahan, akibatnya banyak ruang terbuka yang tergusur
oleh bangunan-bangunan, seperti yang terjadi pada Alun-alun Johar yang kemudian menjadi bersifat privat. Gejala semacam ini dapat diidentifikasikan
sebagai adanya fenomena alih fungsi ruang terbuka publik. Adanya fenomena alih fungsi ruang terbuka publik menjadi bersifat privat pada Kawasan Bundaran
Simpang Lima ini mengakibatkan beberapa permasalahan, diantaranya adalah berkurangnya luasan ruang terbuka publik dan kenyamanan pejalan kaki akibat
pemanfaatan ruang trotoar dan Lapangan Pancasila sebagai ruang aktivitas PKL, serta adanya disintegrasi spatial antara sektor formal dan informal.
Dari sinilah timbul pemikiran bahwa diperlukan suatu penelitian atau kajian mengenai kecenderungan pemanfaatan-pemanfaatan ruang terbuka publik
di Kawasan Bundaran Simpang Lima untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang terbuka publik kawasan sebagai dasar dalam arah pengembangan ruang-ruang
terbuka publik Kawasan Bundaran Simpang Lima.
1. 2 Rumusan Masalah