Organ lapis kedua atau lembaga negara
b. Organ lapis kedua atau lembaga negara
Dalam organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang mendapatkan kewenangan dari UUD 1945, misalnya, adalah Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya adalah undang- undang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat
commit to user
tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang-undang. Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah :
1) Menteri Negara
Meskipun secara kontekstual menteri adalah pembantu presiden, namun menteri bukanlah orang atau pejabat sembarangan. Karena itu, untuk dipilih menjadi menteri hendaklah sungguh-sungguh diperimbangkan bahwa ia akan dapat diharapkan bekerja sebagai pemimpin pemerintahan eksekutif di bidang- bidangnya masing-masing secara efektif untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan presidensiil yang dibangun hendaklah didasarkan atas pemikiran bahwa presiden berhak untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara untuk
mendukung efektifitas kinerja pemerintahannya guna melayani sebanyak-banyaknya kepentingan rakyat. Penyusunan kabinet tidak boleh didasarkan atas logika sistem parlementer yang dibangun atas dasar koalisi antar partai- partai politik pendukung presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, seseorang dipilih dan diangkat oleh presiden untuk menduduki jabatan menteri harus didasarkan atas kriteria kecakapannya bekerja, bukan karena pertimbangan jasa politiknya maupun imbalan terhadap dukungan kelompok atau partai politik terhadap presiden.
Artinya jabatan menteri negara menurut ketentuan Pasal 17 UUD 1945 haruslah diisi berdasarkan merit system. Itulah konsekuensi dari pilihan sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945, dengan demikian kekuasaan para menteri negara benar-benar bersifat meritokratis sehingga dalam memimpin kementerian yang
commit to user
bekerja menurut standar-standar yang bersifat meritokratis juga.
2) Tentara Nasional Indonesia
Menurut Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI memiliki kewenangan untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
3) Dewan Pertimbangan Presiden
Dewan pertimbangan presiden ini diadakan sebagai pengganti Dewan Pertimbangan Agung yang ada sebelumnya menurut UUD 1945 sebelum amandemen. Adapun kewenangan dari Dewan Pertimbangan Presiden terdapat pada Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”.
4) Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai kewenangan yang diatur Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat (4))
5) Komisi Yudisial
Komisi Yudisial mempunyai kewenangan menurut UUD 1945 sebagai berikut :
a) mengusulkan pengangkatan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan (Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1));
b) kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B ayat (1)).
commit to user
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dengan kewenangan, yaitu menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali (Pasal 22E ayat (5), ayat (1) dan ayat (2)).
7) Bank Sentral
Untuk Bank Sentral kewenangannya diatur oleh undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
Dari keenam lembaga negara tersebut di atas, yang secara tegas ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD 1945 adalah Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, dan Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan kewenangan pokoknya, yaitu sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum. Akan tetapi, nama lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum tidak disebut dengan huruf besar (Jimly Asshidiqqie, 2010: 34).
Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.
Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang
commit to user
independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undang- undang yang akan menentukannya dalam undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan undang-undang.
Dengan demikian derajat protokoler kelompok organ konstitusi pada lapis kedua tersebut di atas jelas berbeda dari kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya yang dalam sistem ketatanegaraan bersifat sampiran (auxiliary).