ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh Raditya Gumelar Mahardika NIM. E0008068 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

commit to user

commit to user

commit to user

commit to user

ABSTRAK

Raditya Gumelar M, E0008068. 2012. ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Konstitusi Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai lembaga negara apa saja yang mendapat kewenangan dari UUD 1945. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), seiring berjalannya waktu terjadi problematika dalam proses beracaranya dimana terjadi kekosongan hukum mengenai bagaimana kedudukan hukum dari lembaga negara penunjang dalam mengajukan permohonan SKLN karena kewenangannya yang disebutkan eksplisit di UUD 1945.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian SKLN yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan untuk mengetahui implikasi yuridis adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam SKLN.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis bahan yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi dokumen dengan teknik analisis berupa metode logika deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan mengenai legal standing lembaga negara penunjang untuk mengajukan permohonan sebagai para pihak pada SKLN di Mahkamah Konstitusi sah-sah saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara . Dengan merujuk pada legitimasi Hakim Konstitusi hendaknya dilakukan penafsiran yang lebih luas dalam menentukan subjectum litis dan objectum litis pada hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Selain itu Hakim Konstitusi juga perlu melakukan interpretasi yang dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung hierarki. Kemudian implikasi yuridis dari Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 adalah adanya diskriminasi terhadap kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam proses hukum acara SKLN dimana Hakim Konstitusi masih menafsirkan secara sempit dan tekstual makna “lembaga negara” dalam Pasal 61 UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Kosntitusi.

Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, Lembaga Negara Penunjang

commit to user

ABSTRACT

Raditya Gumelar M, E0008068. 2012. ANALYSIS OF THE LEGAL STANDING OF AN AUXILIARY STATE ORGAN) IN A DISPUTE BETWEEN AUTHORITIES OF THE STATE ORGANS WERE DISPUTE BY THE CONSTITUTIONAL COURT (Study Decision Number : 030/SKLN- IV/2006), Faculty of Law Sebelas Maret University.

Constitution Indonesia not arranged regarding state organs any kind of getting authorities of UUD 1945. One of authorities of Constitutional Court is decision of dispute between authorities of the state organs (SKLN), along the time happened problematc in course of attend legal procedure it where happened blankness of law about legal standing of auxiliary state organs in apply SKLN because its which mentioned by eksplisit in UUD 1945.

Main Purposes of this research is to know the legal standing of auxiliary state organ in dispute of settlements authority between state organs were dispute by the Constitutional Court (MK) and to know the implications of the Constitutional Court Decision Number : 030/SKLN-IV/2006 on the legal standing of the auxiliary state organ to supporting in dispute of settlements authority between state organs.

This research is normative legal research that is spatially descriptive research. This research use secondary data, where it has primary material law and secondary material law. It use library technic methodology with technic analyse in the form of deductive logic method.

The result of research showed the provision regarding the supporting legal standing of auxiliary state organs to apply a matter as a party in dispute of settlements authority between state organs at the Constitutional Court can do it just as stipulated in Article 3 Paragraph 1 Rules of MK Number 08/PMK/2006 about Guidance Attend legal procedure in a dispute between authorities of the state organs. With reference to the legitimacy of the Judge of Constitution should

be conducted an wider interpretation of the determining subjectum litis and objectum litis to the event law of dispute of settlements authority between state organs. The judge also need to make an interpretation of the constitution that is bounded in accordance with the rights context, which is the form of power over the state organs must be attributive and derivative does not contain a hierarcy. And then juridicial implication of the Constitutinal Court Decision Number 030/SKLN-IV/2006 were the discrimination against legal standing from auxiliary state organ in a process dispute of settlements authority between state organs that the constitution judge had still interpretation in a narrow manner an textual meaning of “state organs” in Article 61 of Act Number 24/2003 jo. Act Number 8/2011 about Constitutional Court

Keyword : Constitutional Court, A Dispute Between Authorities Of The State

Organs, Auxiliary State organs

commit to user

MOTTO

Man Shabara Zhafira (Siapa yang bersabar pasti beruntung)

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepadaNya lah aku kembali”

(Q.S. Hud:88)

Hidupmu adalah Perjuanganmu, Perjuanganmu adalah Suksesmu (Penulis)

commit to user

PERSEMBAHAN

Penulisan hukum ini penulis persembahkan untuk :

Allah SWT

Terima kasih untuk rahmat, karunia, dan hidayahMu

Bapak Widodo Ibu Muning Hartiwi

Terima kasih untuk doa, perhatian, cinta dan kasih yang mengalir tiada henti

Ibu M. Madalina, S.H., M.Hum dan Bapak Jatmiko Anom Husodo, S.H., M.H

Terima kasih telah membimbing dengan sabar dan pemberian ilmu yang ikhlas hingga penulisan hukum ini selesai

Very Puspita Indriyanti

Thank’s for every your laugh, spirit and love

Semua pihak yang telah membantu penulisan hukum ini

commit to user

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul “ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA

PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)”

dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulisan hukum ini membahas mengenai kedudukan hukum bagi lembaga negara sebagai para pihak dalam sengekta kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C UUD 1945 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, namun definisi dari kata “sengketa kewenangan” dan “lembaga negara” tidak dijelaskan secara rinci dalam konstitusi. Dalam penelitian ini, dibahas mengenai lembaga negara mana saja yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi selain itu dijelaskan bagaimana konstitusi melihat kedudukan dari lembaga negara penunjang dalam sehingga dari kedudukan tersebut dapat diketahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Selanjutnya juga dibahas implikasi yuridis Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap eksistensi lembaga negara penunjang sebagai pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu M.Madalina, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu M.Madalina, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I Penulisan Hukum (Skripsi) yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan

commit to user

penulisan hukum ini.

4. Bapak Jatmiko Anom Husodo, S.H., M.H yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, saran, dan kritik bagi penulis dalam menyusun Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.

6. Segenap karyawan Fakultas Hukum UNS, yang telah memberikan pengalaman yang berharga bagi penulis ketika menjalani masa perkuliahan dan organisasi.

7. Kedua orang tua, Bapak Widodo dan Ibu Muning Hartiwi, Saudaraku Rizki Widyaningrum dan Ajeng Apriliana serta keluarga di Magetan dan Jogja.

8. Segenap staf Mahkamah Konstitusi yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman yang luar biasa selama penulis melaksanakan kegiatan magang serta teman-teman Magang, Yusuf, Trisna, Sap Wulandari, Asri Triaji, Rio S, Ratu, Dwi dan Mas Gegana.

9. Very Puspita Indriyanti yang telah memberikan doa dan semangat bagi Penulis

10. Sahabatku ((Unyu Kost)): Asri Triaji, Kurniawan Putra, R.Giazh, Hamdan Rahmat, Johan Candra, Arif Satriantoro, Mas Hafidz, Mas Prastowo, Hari Cahyadi.

11. Organisasiku BEM FH UNS dan Teman-Teman Angkatan 2008 dan KASASI 2011 terimakasih untuk segala bekal ilmu dan pengalaman yang luar biasa yang diberikan kepada penulis.

Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.

Surakarta, Mei 2012

Penulis

commit to user

a. Pengertian SKLN ......................................................

27

b. Wewenang Mahkamah Kosntitusi Memutus SKLN .

30

c. Mekanisme Hukum Acara Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi .

35

4. Tinjauan Umum mengenai Mahkamah Konstitusi ............

36

a. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi .

36

b. Fungsi Mahkamah Konstitusi.....................................

37

B. Kerangka Pemikiran ..............................................................

38

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang Dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi .......................... 40

1. Kualifikasi Kewenangan Lembaga Negara Menurut UUD 1945 .........................................................................

40

a. Organ Lapis Pertama atau Lembaga Tinggi Negara

48

b. Organ Lapis Kedua atau Lembaga Negara ...............

57

c. Organ Lapis Ketiga atau Lembaga Daerah ..............

61

2. Penafsiran Kedudukan Hukum Lembaga Negara dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara .....

71

B. Implikasi Yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 Tehadap Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang Dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara ...................................... 79

1. Kedudukan Hukum Para Pihak ........................................

79

2. Alasan Permohonan ..........................................................

83

3. Amar Putusan ...................................................................

A. Simpulan ................................................................................ 102

1. Kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi ................................................ 102

commit to user

terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara .......... 103

B. Saran ...................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 106 LAMPIRAN

commit to user

Tabel 1. Ketentuan Mengenai SKLN Menurut Mahkamah Konstitusi .........

94

Tabel 2. Kedudukan Hukum Para Pihak Dalam SKLN ................................

95

commit to user

Bagan 1. Kerangka Pemikiran …………………………………………………………………………. 38

commit to user

Lampiran 1. : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 tentang

Sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden RI qq Menteri Komunikasi dan Informasi RI

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Baron

de Montesquiue mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian kebebasan akan terancam. Konsepsi yang kemudian disebut dengan trias politica tersebut tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin saling bersentuhan dan bahkan ketiganya besifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances (Jimly Asshiddiqie, 2010: 1).

Berawal dari konsepsi diatas, Indonesia melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002. Tuntutan perubahan atas UUD 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) dan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang (Dahlan Thalib, 1996: 64). Selain itu, UUD 1945 tidak cukup memuat landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan masyarakat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter,

commit to user

diwujudkan dalam empat kali amandemen UUD 1945. Setelah UUD 1945 diamandemen baik melalui perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat struktur ketatanegaraan di Indonesia juga mengalami perubahan. Amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga demokrasi baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kemudian, pada masa reformasi, struktur ketatanegaraan Indonesia diwarnai dengan munculnya lembaga- lembaga atau komisi-komisi independen yang membantu, mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan, misalnya: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum dan lain sebagainya. Selain itu, adanya amandemen UUD 1945 juga mengubah kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan berubah menjadi lembaga tinggi negara yang kedudukannya sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. MPR terdiri dari dua kamar atau bicameral yang terdiri dari DPR dan DPD, yang kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif tersebut sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain dengan prinsip checks and balances (Jimly Asshiddiqie, 2010: 2).

Adanya perubahan kedudukan MPR menyebabkan terjadinya perubahan pada tatanan hubungan antar lembaga negara, hubungan antar lembaga negara tidak lagi terstruktur secara hierarkis melainkan tersusun secara fungsional, dimana konstitusi memberikan fungsi kepada masing- masing lembaga negara. Artinya adalah dengan perubahan tersebut akan mempertegas dianutnya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances” diantara lembaga-lembaga tinggi negara. Dengan adanya prinsip “checks and balances” maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang

commit to user

dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Sebuah konsepsi pembentukan lembaga negara bukan saja diartikan sebagai lembaga masyarakat. Namun, lembaga ini dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif maupun yudikatif maupun yang bersifat campuran. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa lembaga ini berkembang pesat baik di tingkat nasional maupun daerah. Di tingkat pusat, ada empat tingkatan untuk membedakannya diantaranya:

1. lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Keputusan Presiden (Keppres);

2. lembaga yang dibentuk berdasarkan UU yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dengan PP, dan Keppres;

3. lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusa Presiden;

4. lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat dibawah menteri.

Sedangkan lembaga yang ada di daerah, tidak disebut sebagai lembaga negara melainkan disebut lembaga daerah, sepanjang bekerjanya dibiayai oleh anggaran belanja negara atau daerah, dan bukan dimaksudkan sebagai lembaga swasta atau lembaga masyarakat (Jimly Asshiddiqie, 2008: 340-350).

Secara rinci, Jimly Asshiddiqie mengidentifikasi 34 lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945 baik secara eksplisit maupun implisit. Diluar lembaga yang disebut dalam UUD 1945, struktur ketatanegaraan Indonesia juga diramaikan dengan sejumlah komisi atau lembaga yang sering disebut sebagai lembaga independent. Lembaga independen ini sering disebut sebagai auxiliary state organs¸ atau disebut lembaga negara penunjang. Lembaga ini ada yang disebut dalam aturan hukumnya sebagai lembaga negara, lembaga tersebut antara lain KOMNAS HAM, KPK, KPI, KPAI, LPSK dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) (Jimly Asshiddiqie, 2010: 4).

commit to user

hubungan antar kelembagaan yang saling mengontrol dan mengimbangi (checks and balances) tersebut diatas, tentunya memungkinkan terjadinya sengketa antar lembaga negara, khususnya yang terkait dengan kewenangan kosntitusional. Hubungan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain diikat oleh prinsip checks and balances, dimana lembaga-lembaga tersebut diakui sederajat tetapi saling menegendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan UUD 1945. Jika timbul persengketaan terdapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri dengan nama Mahkamah Konstitusi (Jimly Asshiddiqie, 2005: 2). Kewenangan penyelesaian sengketa tersebut, dalam praktek negara-negara sejak abad ke-20, menurut I Dewa Gede Palguna, memang lazimnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga negara inilah yang memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Bahkan, kewenangan demikian harus dianggap ada, walaupun konstitusi tidak secara tegas menyatakannya (I Gede Dewa Palguna, 2008: 6).

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dengan Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai d Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dijelaskan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum,atau perbuatan tercela atau tidak memenuhi

commit to user

1945. Mengenai persoalan SKLN telah dibuat ketentuan perundangan yang lebih teknis dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam SKLN. Kemudian sesuai dengan pasal 61 ayat (1) UU MK dijelaskan yang menjadi objek sengketa adalah persengketaan mengenai kewenangan konstitusional antar lembaga negara. Sedangkan subjek sengketa adalah seluruh lembaga negara yang kewenangannya diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945 kecuali Mahkamah Agung tidak dapat bersengketa.

Terkait dengan penyelesaian perkara memutus SKLN yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, sejak 2003 sampai sekarang, terdapat 12 perkara yang diterima dan telah diputus oleh Mahkamah Kosntitusi. Hasil putusannya, 2 perkara ditolak, 6 perkara tidak dapat diterima dan empat ditarik kembali (Sekjen & Kepaniteraan MK, 2010: 150).

Salah satu perkara SKLN yang amar putusannya tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi adalah Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang mengadili sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku Pemohon dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika selaku Termohon. Adapun kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah sengketa kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal penyiaran dimana perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal

33 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI dan Pemerintah melalui KPI. Akan tetapi, kewenangan konstitusional tersebut diambil alih oleh Termohon dengan hanya menyampaikan pemberian izin tersebut kepada Pemohon tanpa memberikan kewenangan pada Pemohon untuk membuat kebijakan dalam hal pemberian izin penyiaran.

Dalam amar putusannya Hakim Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dengan pertimbangan hukum bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara

commit to user

diberikan oleh undang-undang bukan UUD 1945, dengan demikian KPI bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai salah satu lembaga negara penunjang dalam putusan tersebut tidak dianggap keberadaannya sehingga hal ini tidak sesuai permohonan yang disampaikan KPI. Dimana permohonan tersebut beranjak dari Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan pengujian UU 32 tahun 2002 (UU Penyiaran) terhadap UUD 1945 yang dalam putusannya menyatakan KPI diakui sebagai lembaga negara.

Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis memfokuskan pada analisis terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang (auxiliary state organ) dalam proses beracara di Mahkamah Konstitusi karena adanya kekosongan hukum. Hal ini sangat penting dikaji, mengingat dalam peraturan perundang- undangan tidak secara detail menjelaskan kedudukan hukum para pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sehingga muncul gagasan penulisan hukum yang berjudul, “ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM

LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian, diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

commit to user

penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi?

2. Bagaimana implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tehadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya, maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian. Tujuan penelitian ditemukan secara deklaratif dan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono Soekanto, 2007: 118-119). Dalam suatu penelitian dikenal ada dua macam tujuan, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif, yang mana tujuan obyektif merupakan tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri, sedangkan yang disebut tujuan subyektif yaitu berasal dari peneliti. Tujuan obyektif dan subyektif dalam penelitian ini antara lain :

1. Tujuan Obyektif Tujuan obyektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang mendasari peneliti dalam melakukan penelitian. Tujuan obyektif dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi

b. Untuk mengetahui implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN- IV/2006 tehadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara.

commit to user

Tujuan subyektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan pribadi peneliti yang mendasari peneliti dalam melakukan penulisan. Tujuan subyektif peneliti antara lain :

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang Hukum Tata Negara khususnya berkaitan dengan penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

c. Untuk mengasah dan menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah peneliti peroleh agar dapat memberi manfaat bagi peneliti sendiri serta memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.

D. Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya

b. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait, mengenai kedudukan hukum lembaga negara penunjang

commit to user

Mahkamah Konstitusi

b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan perimbangan yang menyangkut masalah.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu tulisan atau karangan mengenai penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok pikiran yang dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu dilakukan dengan cara yang obyektif dan telah melalui berbagai tes dan pengujian.

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam usaha mencari kebenaran yang ilmiah, metode penelitian menjadi bagian yang cukup penting dalam menyusun suatu penelitian. Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto, 2006: 42). Oleh karena itu penelitian merupakan sarana (ilmiah) bagi pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya (Soerjono Soekanto, 2007: 1).

Metode penelitian yang akan dipergunakan peneliti dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

commit to user

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu dalam hal kedudukan hukum lembaga negara penunjang (auxiliary state organ) dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi (Soerjono Soekanto, 2007: 10).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang akan dilakukan ini adalah bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Maksudnya adalah mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984: 10).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu peneilitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai hukum normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan sebagai berikut (Johny Ibrahim, 2005: 246):

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

b. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

c. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)

d. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan tersebut dapat digabung, sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai. Namun dalam suatu penelitian normatif, satu hal yang pasti adalah penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Dikatakan pasti karena secara logika hukum, penelitian

commit to user

bahan hukum yang ada. Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) , serta pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan secara otomatis dipilih karena kajian penelitian hukum yang bersifat yuridis-normatif, sedangkan pendekatan konsep dipilih untuk membantu peneliti memahami filosofi aturan hukum dari masing-masing ahli hukum serta memahami dasar suatu konsep yang melandasi suatu aturan hukum. Terakhir, pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan materi penelitian yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengkaji pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara.

4. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer terdiri dari peraturan perundang- undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang- undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

commit to user

Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan antarlembaga Negara.

5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa Kewenangan antara KPI dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informasi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Dalam hal ini berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum yang mendukung penulisan hukum ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah studi dokumen. Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan menggunakan content analysis (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 21). Penulis dalam mengumpulkan bahan hukum dengan cara mencari peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan yang berkaitan dengan segala aspek dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi serta penelusuran buku-buku dan jurnal nasional maupun internasional yang berkaitan dengan konsep lembaga negara penunjang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Selanjutnya bahan hukum yang telah didapatkan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

6. Teknik Analisis

Langkah yang dilakukan setelah memperoleh bahan hukum adalah menganalisis bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum

commit to user

hasil penelitian yaitu dengan analisis data. Penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan. Mengkualitatifkan data adalah fokus utama dari penelitian hukum ini. Dengan demikian penulis berharap untuk dapat memberikan gambaran utuh dan menyeluruh bagi fenomena yang diteliti, yaitu seputar kedudukan hukum bagi lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan menganalisis Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006.

Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran (logika) deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum kemudian ditarik kesimpulan sesuai dengan kasus faktual yang diteliti atau dianalisa. Dalam UUD 1945 diatur adanya penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi kemudian dikualifikasikan lembaga negara apa saja yang berhak untuk mengajukan permohonan SKLN menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi sehingga dalam penelitian ini dapat diindentifikasi apakah lembaga negara yang bersifat penunjang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan SKLN.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan ilmiah, maka peneliti menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4 (empat) bab yang tiap bab

commit to user

pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai kajian pustaka dan teori dari para ahli maupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti serta kerangka pemikirannya. Landasan teoritik tersebut meliputi tinjauan tentang kedudukan hukum, tinjauan tentang lembaga negara, tinjauan tentang sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, peneliti menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan sebagai jawaban perumusan masalah. Terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini, yaitu:

1. kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi

2. implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tehadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara

BAB IV PENUTUP Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai simpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

commit to user

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing)

a. Pengertian Kedudukan Hukum (Legal Standing) Secara Umum

Pengertian kedudukan hukum atau legal standing menurut Black’s Law Dictionary adalah “ A Party’s righ to make legal claim or seek judicial enforcement of a duty or right” (Henry Campbel, 1999: 1413). Kemudian menurut ensiklopedi Wikipedia online pengertian legal standing adalah “Standing or locus standi is the ability of a party to demonstrate to the court sufficient connection to and harm from the law or action challenged” (Admin , Legal Standing, http://www. wikipedia. org/legal /standing, diakses pada Rabu, 8-2-2012 pukul 13.15 WIB).

Intinya adalah legal standing atau kedudukan hukum merupakan penentu apakah seseorang yang berperkara merupakan subyek hukum yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang untuk mengajukan perkara di muka pengadilan sebagaimana undang-undang tersebut mengatur.

Dalam hukum Amerika Serikat, persyaratan legal standing dikatakan telah terpenuhi jika dapat dikatakan bahwa Penggugat mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi (Maruarar Siahaan, 2005: 81). Yang dimaksud dengan standing atau personae standi in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan didepan pengadilan (standing to sue), yaitu bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan (Maruarar Siahaan, 2005: 94). Dalam yurisprudensi Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk mempunyai standing to sue, yaitu:

commit to user

pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat:

a) spesifikasi atau khusus, dan

b) aktual dalam satu kontroversi dan bukan hanya bersifat potensial;

2) adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu undang-undang;

3) kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan. (Maruarar Siahaan, 2005: 81).

Pesyaratan legal standing sebagaimana diatur dalam konstitusi Amerika Serikat, berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Pengaturan tentang legal standing di Indonesia tersebar dalam berbagai ketentuan hukum formil.

b. Pengertian Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Mahkamah Konstitusi

Tidak semua orang atau badan hukum boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar (Maruarar Siahaan, 2005: 81). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, memang tidak mengatur mengenai legal standing para pemohon secara umum. Namun pengertian dan rumusan legal standing pemohon ditentukan berbeda berdasarkan masing-masing wewenang Mahkamah Konstitusi. Sehingga pengertian legal standing dalam masing-masing kewenangan berbeda tergantung dari subjek penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Konstitusi.

c. Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi

Dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), pihak-pihak yang berperkara di depan Mahkamah Konstitusi

commit to user

Termohon. Mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak Pemohon dan pihak Termohon, Hukum Acara SKLN yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Pemohon

Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan lembaga negara yang sumbernya diperoleh dari UUD 1945 inilah yang disebut dengan kewenangan konstitusional. Kewenangan konstitusional lembaga negara ini dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945 (Sekjen & Kepaniteraan MK, 2010: 172).

Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :

a) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

b) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

c) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

d) Presiden;

e) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); f)

Pemerintahan Daerah (Pemda); atau

g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan pemohon lain di luar yang

commit to user

hakim konstitusi. Komisi Pemilihan Umum Pusat misalnya, dapat saja menjadi pemohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Yang dimaksud dengan kewenangan yang dipersengketakan ini adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.

2) Termohon

Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat menjadi termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :

a) Dewan Perwakilan Rakyat;

b) Dewan Perwakilan Daerah;

c) Majelis Permusyawaratan Rakyat;

d) Presiden;

e) Badan Pemeriksa Keuangan; f)

Pemerintahan Daerah; atau

g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan termohon lain di luar yang telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim. Komisi Pemilihan Umum Pusat misalnya, dapat saja menjadi termohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya. Dalam pemeriksaan perkara, pemohon dan termohon memiliki kedudukan yang sama (equal). Keduanya memiliki kesempatan dan kebebasan yang sama untuk mengajukan hal-hal

commit to user

hak dan kebebasan yang sama untuk mengajukan pembelaan dan bukti-bukti yang dianggap perlu.

Dengan demikian kedudukan pemohon dan termohon berkaitan dengan pemeriksaan perkaranya bersifat accusatoir (R.Soesilo, 1979: 11-12). Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu. Surat kuasa khusus dan surat keterangan khusus tersebut harus ditunjukkan dan diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.

2. Tinjauan tentang Lembaga Negara

a. Pengertian Lembaga Negara

Lembaga Negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Didalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara digunakan istilah political institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat organen . Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, organ negara atau badan negara (Firmansyah Arifin dkk, 2005: 29).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata “lembaga” antara lain diartikan sebagai (1) “asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal”; (2) “acuan; ikatan”; (3) “badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha”. Kamus tersebut juga memberikan contoh frasa yang menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan “badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif”.

Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk

commit to user

Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif). Kecenderungan praktik ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara ketiga pelaksana fungsi negara tersebut.

Sebenarnya, secara sederhana istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat atau yang biasa disebut Organisasi Non Pemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non Government Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara ini dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran (Jimly Asshiddiqie, 2010: 31).

Dokumen yang terkait

ANALISIS DAN PERANCANGAN TELECOMMUNICATION CABLING INFRASTRUCTURE DALAM RANCANGAN SUB DATA CENTER DI DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG MENGGUNAKAN STANDAR EN 50600 DAN METODE PPDIOO LIFE-CYCLE APPROACH ANALYSIS AND DESIGN OF TELECOMMUNICATION CABLIN

0 0 8

ANALISIS DAN PERANCANGAN SPACE PLANNING PADA DATA CENTER DI PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BERDASARKAN STANDAR ANSIBICSI 002 DENGAN METODE PPDIOO STUDI KASUS : DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG ANALYSIS AND DESIGN OF SPACE PLANNING IN DATA CENTER IN T

0 0 8

ANALISIS DAN PERANCANGAN SECURITY SYSTEM DALAM RANCANGAN BERDASARKAN STANDAR EN506002-5 DENGAN METODE PPDIOO LIFE- CYCLE APPROACH STUDI KASUS : DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG ANALYSIS AND DESIGN OF SECURITY SYSTEM IN DESIGN BASED ON EN506002-5 ST

0 0 8

ANALISIS DAN PERANCANGAN POWER DISTRIBUTION DALAM RANCANGAN SUB DATA CENTER DI DISKOMINFOKABUPATEN BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN STANDAR EN 50600 DAN METODOLOGI PPDIOO LIFE-CYCLE APPROACH

1 1 10

ANALISIS DAN PERANCANGAN KONSTRUKSI BANGUNAN DATA CENTER DI PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG MENGGUNAKAN STANDAR EN 50600-2-1 DENGAN METODE PPDIOO LIFE-CYCLE APPROACH ANALYSIS AND DESIGN OF CONSTRUCTION OF DATA CENTER BUILDING IN BANDUNG REGENCY GOVERNMENT US

0 0 9

ANALISIS DAN PERANCANGAN FASILITAS DATA CENTER BERDASARKAN SITE SELECTION STANDAR ANSIBICSI 002 DENGAN METODE PPDIOO STUDI KASUS : DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG ANALYSIS AND DESIGN OF DATA CENTER FACILITY BASED ON SITE SELECTION ANSIBICSI 002 ST

0 0 8

ANALISIS DAN PERANCANGAN ENVIRONMENTAL CONTROL DATA CENTER DALAM RANCANGAN SUB DATA CENTER DI DISKOMINFO KABUPATEN BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN STANDAR EN 50600 DAN METODOLOGI PPDIOO LIFE-CYCLE APPROACH ENVIRONMENTAL CONTROL DATA CENTER ANALYSIS AND DESIGN

0 0 9

ANALISIS DAMPAK MALWARE BERDASARKAN API CALL DENGAN METODE ANOMALI MALWARE IMPACT ANALYSIS BASED ON API CALL USING ANOMALY METHOD

0 6 10

ANALISIS CABLING DESIGN CONSIDERATION BUILDING AUTOMATION SYSTEM DI DATA CENTER DINAS KOMUNIKASI, INFORMATIKA DAN STATISTIK PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG MENGGUNAKAN STANDAR ANSIBICSI 002 DENGAN METODE PPDIOO STUDI KASUS: DISKOMINFO PEMERINTAH KABUPATEN BA

0 0 8

PERAN LEMBAGA JOGLO TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHATANI PADI ORGANIK SKRIPSI

0 3 94