2.5 Sejarah Gereja Kristen Jawi Wetan Rejoagung
Jika berbicara mengenai sejarah GKJW Rejoagung maka hal tersebut berkaitan erat dengan sejarah berdirinya Desa Rejoangung, seperti yang telah dipaparkan
dibagian awal penulisan skripsi ini bahwa cikal bakal Desa Rejoagung dimulai pada tahun 1907 dimana terdapat tujuh orang tokoh yang berasal dari luar
Rejoagung Bongsorejo daerah Kabupaten Jombang yang berjumlah 20 jiwa
43
diantaranya adalah Marwi Kertowiryo, Padri Rupingi, Purwo, Pramu Suwardi, Prami Plontang, dan Insamudro Darmo. Ketujuh keluarga tersebut awalmulanya
mengadakan perjalanan dari daerah asal mereka ke daerah timur dengan tujuan ingin mencari daerah baru untuk lahan pertanian sekaligus untuk lahan tempat
mereka tinggal, dimana tempat tinggal mereka sebelumnya sudah padat penduduk, Dalam perjalanankearah timur, mereka singgah di Desa Tanggul di
rumah seorang kenalannya yang bernama R. Pramo Notodiharjo.
44
Dalam persinggahan inilah mereka banyak mengenal keadaan Desa Tanggul, sekaligus
potensi yang ada di dalamnya.Setelah mereka melihat dari dekatpotensi masa depan wilayah Tanggul Selatan lebih baik dibandingkan Tanggul Utara, maka
mereka sepakat akan mengajukan permohonan kepada pemerintah yang berkuasa pada saat itu, dimana daerah tersebut merupakan kawasan dari Karesidenan
Besuki, dalam hal ini mereka meminta bantuan kepada Pendeta Van Der Spiegel dari Java Comitte yang pada waktu itu berada di Bondowoso Karesidenan
Besuki
45
Permohonan tersebut diterima dengan baik dan mereka diijinkan untuk membuka hutan yang dulunya rimba menjadi suatu daerah pemukiman yang
ramai.
46
Berawal dari pembukaan hutan menjadi sebuah perkampungan kecil tersebut menjadi cikal bakal GKJW Rejoagung berada, yaitu Tahun 1913
43
Hasil wawancara dengan Sucipto 28 Agustus 2014 di Rejoagung.
44
Rejoagung45.blogspot.com201208Sejarah-Desa-Rejoagung.html.
45
Hasil wawancara dengan Pinoedjo 30 April 2014 di Jember.
46
Tanpa nama,op.cit., hlm. 41.
pertumbuhan penduduk mulai meningkat, yang semula hamya 12 KK kini menjadi 17 KK. Dalam peninjauan pendeta Van Der Spiegel, menganggap bahwa
mereka sudah cukup kuat untuk membangun sebuah rumah ibadah yang sederhana. Atas saran tersebut, mereka membuat rumah biasa yang terdiri dari
tiang kayu dan beratap daun selangrotan. Rumah tersebut digunakan sebagai tempat peribadatan oleh sekelompok masyarakat yang mendiami daerah tersebut.
Mengingat Pendeta Van Der Spiegel tidak dapat terus menerus berada disana, maka diangkat seorang pamulang, yaitu bapak Marwi Kertowiryo.
47
Pada tahun 1920 Pdt. H. Van Der spiegel meninggal dunia dan digantikan oleh Pdt. H.Van Der Berg, setelah dua tahun masa kepemimpinannya beliau
beserta kepala desa mengadakan pertemuan dengan warga untuk mengadakan musyawarah dalam rangka
memperbaiki atap dari rumah kebaktian tersebut.Setelah melakukan musyawarah maka tahun 1922 atas prakarsa
pamulang dan kepala desa , maka rumah kebaktian diganti dengan beratapkan genting. Tempat ini mempunyai dwi fungsi yaitu sebagai tempat kebaktian pada
hari Minggu dan sekolah agama katekisasi, sedangkan pada hari-hari lainnya dipakai untuk sekolah dasar, atas usaha Zending Zending School.
Kepemimpinan Pendeta Van Der Berg berahir pada tahun 1929 dan digantikan oleh pendeta yang berasl dari suku Jawa yang bernama Pendeta Susalam
Wiryotanoyo 1929-1935 dengan didampingi oleh Pendeta H.Van Der Berg. Selama masa kepemimpinannya Pendeta Susalam banyak membawa kontribusi
yang baik bagi kelangsungan jemaat terutama didalam bidang kerohanian.Selang dua tahun memimpin jemaat tahun 1931 ia menggagasan untuk mendirikan
sebuah bangunan gereja dengan tujuan supaya kehidupan jemaat lebih nyaman dalam melaksanakan peribadatan, dibuatlah gereja dengan ukuran 12 x 24 meter
dengan pola gereja Belanda dan selesai pada tahun 1932. Pembangunan gereja tersebut didanai dengan dana dari masyarakat sekitar. setelah enam tahun
menjabat ahirnya Pendeta Susalam pindah dan digantikan oleh Pendeta Nursahid Seco 1935-1941, beliau melayani jemaat Rejoagung sampai pertengahan perang
dunia ke II, yaitu sampai pada tahun 1941 dan digantikan oleh Pendeta Misro.
47
Ibid., hlm. 40.
Setelah pendeta Misro memimpin jemaat selama satu tahun digantikan oleh Pendeta Renggo.
Pada pertengahan tahun 1943 terjadi percobaan yang sangat berat bagi Jemaat Rejoagung, karena banyak warga jemaat yang ditahan oleh Ken Pei Tei
Polisi Militer Jepang. Mereka ditangkap, dianiaya dan dipenjara, banyak dari mereka yang meninggal dunia karena siksaan dari tentara Jepang, bahkan sampai
Pendeta Renggo juga ditahan. Selama periode 1943-1944 aktifitas gereja Rejoagung berhenti, bahkan warga desa banyak yang berpindah keluar dari desa
tersebut, karena mereka takut ditangkap dan disiksa, selama kuranglebih satu tahun Desa Rejoagung kosong dan segala aktifitas lumpuh total.
48
Tahun 1945 Jepang kalah atas Sekutu dan ahirnya Jepang kembali ke negara asal mereka dan
pada tahun itu pula Indonesia menyatakan kemerdekaannya, bertepatan dengan itu pula Jemaat Rejoagung mulai merasa nyaman dan aman karena Jepang sudah
mengaku kalah. Kemudian pada bulan Oktober 1945 kebaktian mulai dibuka kembali dengan dilayani oleh Pendeta Marjo Sirselaku Ketua Sinode.
Pada tahun 1947 Jemaat Rejoagung menerima pelayanan dari Pendeta Sutekyo Akas1947-1960 , Pendeta Sediaji1960-1963, Pendeta Setiono
Agus1965-1971, Pendeta Sukarlan 1972-1978, pada akhir periode Pendeta Sukarlan Jemaat GKJW Rejoagung mengalami kekosongan pendeta dan pada
waktu itu diisi oleh konsulen. Akan tetapi dua tahun kemudian datang Pendeta Surantoro Samino 1980-1988, Pendeta Prasetyo Rasmono 1988-1996, Pendeta
Suprapto 1996-2004.
48
Widarto, Sidang Majelis Daerah Besuki Barat 1 2007 di Jemaat Rejoagung, 16-18 Maret 200. Hlm. 4-5.
53
BAB 3 PERAN PENDETA TEGUH SETYOADI S. Th. DI GKJW