Analisa Sambungan Balok Dengan Kolom Menggunakan Sambungan Baut Berdasarkan SNI 03-1729-2002 Dibandingkan Dengan PPBBI 1983

(1)

ANALISA SAMBUNGAN BALOK DENGAN KOLOM MENGGUNAKAN SAMBUNGAN BAUT BERDASARKAN SNI 03-1729-2002

DIBANDINGKAN DENGAN PPBBI 1983 Tugas Akhir

Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian pendidikan sarjana teknik sipil

Disusun oleh:

GRACE NENTA T. SITUMORANG 050404147

SUB JURUSAN STRUKTUR DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

Sambungan berguna untuk memindahkan gaya dari satu elemen ke elemen lainnya. Sambungan harus mampu memikul gaya yang dipindahkannya beserta gaya sekunder yang ditimbulkannya. Alat sambung memindahkan gaya melalui elemen penyambung serta meneruskannya ke elemen lain. Indonesia merupakan negara yang berada pada daerah rawan gempa sehingga konstruksi bangunan harus direncanakan untuk dapat memikul beban gempa sehingga menjadi bangunan yang layak secara struktural. Oleh karena itu, sambungan yang merupakan hal penting dalam perencanaan konstruksi baja juga harus direncanakan dengan dengan baik sehingga saat gempa terjadi pelelehan tidak terjadi pada sambungan. Perencanaan konstruksi baja mengalami beberapa perubahan yang hal ini telah diatur dalam peraturan terbaru yakni Tata Cara Perencanaan Bangunan Tahan Gempa untuk Struktur Baja SNI 03-1729-2002, di mana sebelumnya diatur dalam Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983 (PPBBI 1983).

Adapun tujuan Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui efisiensi sambungan baut pada hubungan balok kolom berdasarkan SNI 03-1729-2002 dan dibandingkan dengan PPBBI 1983. Profil yang digunakan baik untuk balok dan kolom adalah profil WF. Mutu profil yang digunakan adalah ASTM A36 sedangkan untuk mutu pelat penyambung adalah BJ55. Baut yang digunakan adalah baut mutu tinggi. Mutu baut sebagai alat penyambung adalah A325.

Dari hasil perhitungan berdasarkan diperoleh SNI 03-1729-2002 diperoleh bahwa jumlah baut (n) yang digunakan adalah 6 baut dan tebal pelat penyambung ( tp) adalah 50 mm. Sedangkan berdasarkan PPBBI 1983 diperoleh jumlah baut (n) yang digunakan adalah 8 baut dan tebal pelat penyambung (tp) adalah 30 mm,


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas hikmat yang diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul

“Analisa Sambungan Balok dengan Kolom pada Portal Baja Menggunakan Sambungan Baut Berdasarkan SNI 03- 1729- 2002 Dibandingkan dengan PPBBI 1983 pada Wilayah Gempa 3 (Medan)”.

Tugas Akhir ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Ujian Sarjana Teknik Sipil Sub Jurusan Struktur pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Penulis juga menyadari bahwa penyelesaian Tugas Akhir ini tidak lepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Orang tua, Alm. Jonner Situmorang dan Rosma Pinta Sihotang yang telah banyak berkorban bagi penulis sehingga dapat menikmati pendidikan sampai sekarang dan adik, May Laura T. Situmorang yang juga mendukung penulis selama ini dan membantu dalam pengeditan.

2. Bapak Ir. Sanci Barus, MT selaku pembimbing penulis yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing tiada hentinya kepada penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Syahrizal, MT selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, Ir. Torang Sitorus dan Ir. Robert Panjaitan selaku dosen pembanding.

6. Bapak/ Ibu dosen staff pengajar dan pegawai administrasi Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

7. Buat B’Budi, Elli Wu, Yana dan Daniel Dianto yang banyak membantu dan memberi masukan dalam pengerjaan Tugas Akhir ini dan teman-teman, abang kakak dan adik-adik di Teknik Sipil.

8. Keluarga besar penulis; S. Sihotang & keluarga, Tante Rusmi, B’Velyn & keluarga dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

9. Teman-teman di UP FT terkhusus B’Amran, Alm. B’Hendri, B’Iven, Chay, Dian, Elli Wu, K’Melda, Ndak, Renny, Saor, Trisna, Alin, Yana, Wita, Afry, Alvin, Monang, dan Elis.

10. Buat B’Herbet, B’Jeko dan K’Eva yang juga membantu penulis dalam dana dan doa.

11. B’Jay yang juga mendukung dan memberi semangat kepada penulis di akhir-akhir masa studi yang begitu banyak tantangan.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima saran dan kritik yang membangun. Akhirnya penulis berharap semoga Tugas Akhir ini memberi manfaat bagi yang membaca.

Medan, November 2011 Penulis,

Grace Nenta T. Situmorang


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iv

DAFTAR NOTASI...vi

DAFTAR GAMBAR...viii

DAFTAR TABEL...ix

I. BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Permasalahan...3

1.3 Tujuan Penulisan...4

1.4 Pembatasan Masalah...4

1.5 Metode Pembahasan...5

II. BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6

2.1 Umum...6

2.2 Sambungan...10

2.3 Sambungan Baut...13

2.4 Persyaratan/ Ketentuan untuk Struktur Bangunan Baja Tahan Gempa...17

III. BAB III ANALISA SAMBUNGAN BALOK DENGAN KOLOM PADA PORTAL BAJA...22

3.1 Sambungan Penahan Momen...22


(6)

3.3 Analisa Sambungan Baut pada Balok dan Kolom Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI

03-1729-2002...24

3.4 Analisa Sambungan Baut pada Balok dan Kolom Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983 (PPBBI 1983)...32

IV. BAB IV APLIKASI...46

4.1 Umum...46

4.2 Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002...49

4.3 Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983 (PPBBI 1983)...62

V. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...70

5.1 Kesimpulan...70

5.2 Saran...71


(7)

DAFTAR NOTASI

= faktor reduksi beban

Rn = kuat nominal komponen struktur

Ru = pengaruh aksi terfaktor V = gaya geser dasar rencana total R = faktor modifikasi respons Wt = berat total struktur

I = faktor kepentingan struktur C = koefisien percepatan gempa fub = kuat tarik baut (MPa)

Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

m = jumlah bidang geser

db = diameter baut pada daerah tak berulir

tp = tebal pelat

fu = tegangan tarik putus profil baja

µ = koefisien gesek

fy = tegangan leleh profil baja tw = tebal penampang web

E = modulus elatisitas baja (200000 Mpa) Ag = luas penampang kotor

An = luas penampang netto


(8)

s, u = jarak antarsumbu lubang pada arah sejajar dan tegak lurus sumbu komponen struktur.

s1 = jarak sumbu baut ke tepi pelat

Ep = modulus elastisitas pelat

Eb = modulus elastisitas baut

tp = tebal pelat penyambung

Sp = jarak antar baut

Lp = panjang baut

Ab = luas penampang baut

F b = gaya tarik pikul baut

= tegangan ijin baut

= tegangan ijin pelat

µ = koefisien gesek

C = gaya ungkit (praying force)


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hubungan Tegangan Regangan untuk Uji Tarik pada Baja

Lunak...9

Gambar 2.2 Sambungan Berdasarkan Keuatan Geser...12

Gambar 2.3 Wilayah Gempa Indonesia dengan Percepatan Puncak Batuan Dasar dengan Periode Ulang 500 Tahun...19

Gambar 2.4 Respon Spektra Gempa Rencana untuk Wilayah Gempa 3...20

Gambar 3.1 Sambungan T-Connection...22

Gambar 3.2 Baut yang Mengalami Geser Tunggal...25

Gambar 3.3 Baut yang Mengalami Geser Rangkap...25

Gambar 3.4 Tekanan Sumbu pada Sambungan Baut...27

Gambar 3.5 Keruntuhan Potangan 1-1 dan Potongan 2-2...32

Gambar 3.6 Jarak Baut...36-37 Gambar 3.7 Pemodelan Sambungan Baut Diberi dan Tidak Diberi Pratarik....40

Gambar 3.8 Deformasi Pelat Penyambung Akibat Gaya Tarik P...43

Gambar 4.1 Denah Bangunan...47

Gambar 4.1 Potongan Memanjang Bangunan...47

Gambar 4.1 Potongan Melintang Bangunan...48


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat Mekanis Baja Struktural ...8

Tabel 2.2 Sifat-Sifat Baut...14

Tabel 2.3 Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka Tanah untuk Masing-Masing Wilayah Gempa di Indonesia...20

Tabel 3.1 Jarak Tepi Minimum Baut...28

Tabel 3.2 Harga Faktor Geser Permukaan...34

Tabel 4.1 Berat Bangunan Tiap Lantai...51

Tabel 4.2 Gaya Gempa di Tiap Lantai...52 Tabel 4.3 Tabel Momen Maksimum dan Gaya Geser Maksimum pada Tiap

Titik/Joint (SNI 03-1729-2002)...53-54 Tabel 4.4 Tabel Momen Maksimum dan Gaya Geser Maksimum pada Tiap


(11)

ABSTRAK

Sambungan berguna untuk memindahkan gaya dari satu elemen ke elemen lainnya. Sambungan harus mampu memikul gaya yang dipindahkannya beserta gaya sekunder yang ditimbulkannya. Alat sambung memindahkan gaya melalui elemen penyambung serta meneruskannya ke elemen lain. Indonesia merupakan negara yang berada pada daerah rawan gempa sehingga konstruksi bangunan harus direncanakan untuk dapat memikul beban gempa sehingga menjadi bangunan yang layak secara struktural. Oleh karena itu, sambungan yang merupakan hal penting dalam perencanaan konstruksi baja juga harus direncanakan dengan dengan baik sehingga saat gempa terjadi pelelehan tidak terjadi pada sambungan. Perencanaan konstruksi baja mengalami beberapa perubahan yang hal ini telah diatur dalam peraturan terbaru yakni Tata Cara Perencanaan Bangunan Tahan Gempa untuk Struktur Baja SNI 03-1729-2002, di mana sebelumnya diatur dalam Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983 (PPBBI 1983).

Adapun tujuan Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui efisiensi sambungan baut pada hubungan balok kolom berdasarkan SNI 03-1729-2002 dan dibandingkan dengan PPBBI 1983. Profil yang digunakan baik untuk balok dan kolom adalah profil WF. Mutu profil yang digunakan adalah ASTM A36 sedangkan untuk mutu pelat penyambung adalah BJ55. Baut yang digunakan adalah baut mutu tinggi. Mutu baut sebagai alat penyambung adalah A325.

Dari hasil perhitungan berdasarkan diperoleh SNI 03-1729-2002 diperoleh bahwa jumlah baut (n) yang digunakan adalah 6 baut dan tebal pelat penyambung ( tp) adalah 50 mm. Sedangkan berdasarkan PPBBI 1983 diperoleh jumlah baut (n) yang digunakan adalah 8 baut dan tebal pelat penyambung (tp) adalah 30 mm,


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.6 Latar Belakang

Konstruksi bangunan tidak terlepas dari elemen-elemen seperti balok dan kolom, baik yang terbuat dari baja, beton atau kayu. Pada tempat-tempat tertentu elemen-elemen tersebut harus disambung. Hal ini dikarenakan ketersediaan material di pasaran dan juga berhubungan dengan kemudahan dalam pemasangan di lapangan.

Pada konstruksi baja sambungan merupakan hal yang harus diperhatikan dengan serius karena elemen-elemen strukturnya tidak bersifat monolit (menyatu secara kaku) seperti pada konstruksi beton.

Sambungan berguna untuk memindahkan gaya dari satu elemen ke elemen lainnya. Sambungan harus mampu memikul gaya yang dipindahkannya beserta gaya sekunder yang ditimbulkannya. Alat sambung memindahkan gaya melalui elemen penyambung serta meneruskannya ke elemen lain.

Alat-alat sambung yang biasa digunakan adalah sebagai berikut: 1. Sambungan dengan paku keling (rivet)

2. Sambungan dengan baut (bolt)

3. Sambungan dengan las (welding)

Untuk sekarang ini sambungan paku keling sudah jarang digunakan karena kesulitan dalam pemasangannya. Jadi, Tugas Akhir ini direncanakan menggunakan sambungan baut.


(13)

Klasifikasi sambungan adalah sebagai berikut:

1. Sambungan pada hubungan buhul pertemuan batang batang memikul gaya aksial tarik dan tekan.

2. Sambungan pada hubungan balok kolom memikul gaya momen, gaya lintang dan normal.

Sambungan pada hubungan balok kolom antara lain: 1. Sambungan Sendi (Simple Connected)

Sambungan tidak mampu memikul momen dan bebas berotasi di antara kedua elemen yang disambung.

2. Sambungan Semi Kaku (Semi Rigid)

Sambungan mampu memikul sebagian momen dan tidak mampu mempertahankan sudut di antara elemen baja yang disambung.

3. Sambungan Kaku (Rigid Connected)

Sambungan yang dianggap mampu mempertahankan sudut di antara elemen baja yang disambung.

Indonesia berada pada wilayah gempa 3 seperti ditunjukkan pada gambar. Wilayah gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan terendah sedangkan wilayah gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan tertinggi. Pembagian wilayah gempa didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan periode ulang 50 tahun.

Gempa bumi merupakan fenomena alam yang tidak dapat dihindari, tidak dapat diramalkan kapan terjadi dan berapa kekuatannya. Gempa bumi juga menimbulkan kerugian karena kerusakan infrastruktur dan juga menimbulkan korban jiwa. Oleh sebab itu, bangunan-bangunan yang dilewati oleh jalur gempa


(14)

aktif seperti di Indonesia harus direncanakan tahan terhadap gempa. Kerusakan akibat gempa dapat dicegah dengan memperkuat struktur bangunan terhadap gaya gempa yang bekerja padanya.

1.7 Permasalahan

Suatu struktur dinyatakan stabil jika tidak mudah terguling, miring atau tergeser selama umur rencana bangunan. Risiko terhadap kegagalan struktur dan hilangnya kemampulayanan selama umur rencana harus diminimalisir. Seperti diketahui bahwa dalam konstruksi baja sambungan adalah hal yang sangat diperhatikan sehingga bangunan stabil. Sambungan harus mampu memikul gaya yang dipindahkanya sekaligus gaya sekunder yang ditimbulkannya. Dalam Tugas akhir saya ini saya menggunakan sambungan baut mutu tinggi untuk menghubungkan kolom dan balok suatu portal. Dengan demikian dapat dijamin bahwa selama gempa terjadi, pelelehan tidak terjadi pada sambungan.

Ketentuan mengenai tata cara perencanaan struktur baja untuk bangunan gedung di Indonesia telah mengalami pembaharuan. Saat ini peraturan terbaru yang telah dipublikasikan sejak 2002 adalah SNI- 03- 1729- 200 yang mengacu pada metode perencanaan Load Resistance and Factor Design (LRFD).

Dalam SNI- 03- 1729- 2002 dinyatakan bahwa sambungan pada struktur pemikul gempa harus mampu mengakomodasi terjadinya penyerapan energi yang baik pada sendi. Dengan penomoran wilayah gempa sesuai dengan peraturan terbaru untuk wilayah Medan, maka saya akan menganalisa perbandingan sambungan balok dan kolom antara baut dengan untuk menahan beban gempa sesuai dengan peta gempa 2002.


(15)

1.8 Tujuan Penulisan

Maksud dan tujuan tugas akhir ini adalah mengkaji penggunaan baut pada sambungan pertemuan kolom dengan balok pada konstruksi baja di wilayah gempa 3. Hasil yang diharapkan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui efisiensi sambungan balok dengan kolom menurut SNI 03-1729-2002 yang layak secara struktural dalam menerima gaya gempa dan dibandingkan dengan PBBII 1983.

1.9 Pembatasan Masalah

Ada beberapa hal yang menjadi pembatasan masalah pada Tugas Akhir saya ini, antara lain :

1. Metode yang digunakan pada pengerjakan Tugas Akhir menurut SNI 03-1729-2002 dan dibandingkan dengan PBBII 1983.

2. Menggunakan peta zonasi gempa tahun 2002.

3. Wilayah gempa yang digunakan adalah wilayah gempa 3 (Medan). 4. Jenis sambungan yang dianalisa adalah sambungan baut.

5. Baut yang dianalisa adalah baut mutu tinggi. 6. Mutu sambungan adalah A325.

7. Mutu profil ASTM A36 dengan tegangan leleh fy = 250 Mpa, dan kekuatan tarik fu = 400 MPa.

8. Beban yang ditahan adalah beban hidup, beban mati dan beban gempa 9. Dimensi balok dan kolom menggunakan profil baja IWF.

10. Analisa dilakukan menurut Hukum Hooke di mana hubungan tegangan regangan linier.


(16)

11. Material yang digunakan bersifat linier elastik, isotropik homogen. 12. Pembahasan hanya meliputi hubungan balok dengan kolom. 13. Konstruksi yang dianalisa adalah portal tiga lantai.

1.10Metode Pembahasan

Adapun metode yang akan digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah studi literatur dengan mengumpulkan data-data dan keterangan yang berhubungan dengan analisis yang akan dibahas pada tugas akhir ini. Adapun sumbernya adalah buku dan jurnal serta masukan-masukan dari dosen pembimbing.

Berikut ini adalah metodologi yang digunakan dalam penulisan Tugas Akhir ini : I. Pendahuluan

II. Tinjauan Pustaka

III. Analisa Sambungan Balok dengan Kolom pada Portal Baja IV. Kesimpulan dan Saran


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

7.1 Umum

Salah satu tahapan yang penting dalam perencanaan suatu struktur adalah pemilihan jenis material yang akan digunakan. Jenis-jenis material yang selama ini digunakan adalah baja, beton dan kayu. Material baja telah banyak dan lama digunakan sebagai bahan bangunan karena beberapa keunggulannya dibandingkan material lain, antara lain:

1. Mempunyai kekuatan yang tinggi sehingga dapat mengurangi ukuran dan berat struktur. Hal ini menguntungkan bagi struktur-struktur jembatan yang panjang dan bangunan yang tinggi.

2. Material baja jauh lebih homogen dibandingkan material lain dan memiliki tingkat keawetan yang tinggi jika dirawat sebagaimana seharusnya.

3. Baja memiliki sifat yang cukup elastis sehingga mempunyai perilaku yang cukup dekat dengan asumsi-asumsi yang digunakan untuk menganalisa, mengikuti Hukum Hooke.

4. Daktailitas baja juga cukup tinggi karena batang baja yang menerima tegangan tarik yang tinggi akan mengalami regangan tarik cukup besar sebelum keruntuhan terjadi.

5. Kemudahan dalam hal penyambungan antarelemen dengan menggunakan baut dan las.

6. Baja dibentuk dengan proses gilas panas sehingga mudah dibentuk menjadi penampang-penampang yang diinginkan.


(18)

Di samping keunggulan tersebut, material baja memiliki kekurangan terutama yang berhubungan dengan perawatan. Apabila konstruksi berhubungan langsung dengan udara atau air harus dicat secara periodik. Material baja juga harus dilindungi dari kebakaran karena akan mengalami penurunan kekuatan secara drastis karena naiknya temperatur. Di samping itu, api juga akan menyebar dengan cepat kerena baja merupakan konduktor yang baik.

Baja terdiri dari berbagai bahan campuran yaitu besi, karbon (1,7%), mangan (1,65%), silikon (0,6%) dan tembaga (0,6%). Yang merupakan bahan utama adalah besi (Fe) dan karbon (C). Baja dihasilkan dengan meghaluskan bijih besi dan logam besi tua bersama-sama dengan bahan tambahan pencampur yang sesuai dalam tungku temperatur tinggi untuk menghasilkan massa-massa besi yang besar. Selanjutnya dibersihkan untuk menghilangkan zat arang dan kotoran lain. Kekuatan karbon bergantung kepada besar kecilnya kadar karbon yang dikandungnya. Semakin besar kadar karbonnya maka semakin besar pula tegangan dan regangannya tetapi keliatan bahan (daktailitas) semakin kecil. Oleh karena itu, perlu diperhatikan persentase maksimumnya sehingga daktailitas minimumnnya dapat dijamin.

Baja karbon dibagi menjadi empat kategori berdasarkan persentase karbonnya. Karbon rendah (kurang dari 0,15%); karbon lunak (0,15 – 0,29%); karbon sedang (0.3 – 0.59%) dan karbon tinggi (0,6 – 1,7%). Baja karbon struktural termasuk dalam kategori karbon lunak. Baja karbon struktur menunjukan titik leleh definit, peningkatan persentase karbon akan meningkatkan kekerasannya namun mengurangi kekenyalannya.


(19)

Dalam perencanaan struktur baja, SNI-03-1729-2002 beberapa sifat-sifat mekanis dari material baja adalah sebagai berikut:

1. Modulus elastisitas (E) 200000 Mpa.

2. Modulus geser (G) dihitung berdasarkan persamaan: G = E/ 2 (1 + µ) Di mana µ = angka perbandingan poisson

Dengan mengambil µ = 0,3 dan E = 200000 Mpa akan memberikan nilai G = 80000 Mpa.

3. Koefisien ekspansi (α) diperhitungkan sebesar α = 12 x 10-6/ °C

Sifat mekanis baja struktural berdasarkan tegangan putus dan lelehnya ditunjukkan pada tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Sifat Mekanis Baja Struktural

Jenis Baja

Tegangan Putus Minimum, fu

(MPa)

Tegangan Leleh Minimum, fy

(MPa)

Peregangan Minimum (%)

BJ 34 340 210 22

BJ 37 370 240 20

BJ 41 410 250 18

BJ 50 500 290 16

BJ 55 550 410 13

Sumber: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002

Jika suatu benda ditarik atau diberi beban maka bahan baja akan mulur (extension), terdapat hubungan antara pertambahan panjang dengan gaya yang diberikan. Jika gaya persatuan luasan disebut tegangan dan pertambahan panjang disebut regangan maka hubungan ini dinyatakan dengan grafik tegangan dan regangan.


(20)

Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan hubungan tegangan dan regangan pada baja.

Gambar 2.1 Hubungan Tegangan Regangan untuk Uji Tarik padaBaja Lunak

(Sumber

1. Batas proporsional (proportional limit)

Dari titik asal 0 ke suatu titik yangdisebut batas proporsional masih merupakan garis lurus. Pada daerah ini berlaku hukum Hooke, bahwa tegangan sebanding dengan regangan. Kesebandingan ini tidak berlaku di seluruh diagram. Kesebandingan ini berakhir pada batas proporsional.

2. Batas elastis (elastic limit)

Batas elastis merupakan batas tegangan di mana bahan tidak kembali lagi ke bentuk semula apabila beban dilepas tetapi akan terjadi deformasi (perubahan


(21)

bentuk) tetap yang disebut permanent set. Untuk banyak material, nilai batas proporsional dan batas elastik hampir sama. Untuk membedakannya, batas elastik selalu hampir lebih besar daripada batas proporsional.

3. Titik mulur (yield point)

Titik mulur adalah titik di mana bahan memanjang mulur tanpa pertambahan beban. Gejala mulur khususnya terjadi pada baja struktur (medium-carbon structural steel), paduan baja atau bahan lain tidak memilikinya.

4. Kekuatan maksimum (ultimate strength)

Titik ini merupakan ordinat tertinggi pada kurva tegangan-regangan yang menunjukkan kekuatan tarik (tensile strength) bahan.

5. Kekuatan patah (fracture strength)

Kekuatan patah terjadi akibat bertambahnya beban mencapai beban patah sehingga beban meregang dengan sangat cepat dan secara simultan luas penampang bahan bertambah kecil.

7.2 Sambungan

Setiap struktur adalah gabungan dari bagian-bagian tersendiri atau batang-batang yang harus disambung bersama. Cara yang digunakan untuk menggabungkannya adalah pengelasan dan dengan menggunakan alat penyambung, baik itu paku keling atau baut (baut berkekuatan tinggi/high strength bolt dan baut hitam). Sambungan ini harus mampu menyalurkan gaya-gaya yang bekerja dari suatu komponen ke komponen lainnya. Oleh karena itu, sambungan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sambungan yang aman secara struktural, ekonomis dan praktis dibuat.


(22)

Berdasarkan gaya-gaya yang dipikul sambungan terdiri atas: 1. Sambungan tunggal (lap joint) yaitu sambungan yang beririsan satu. 2. Sambungan rangkap/double (butt joint) yaitu sambungan beririsan kembar. 3. Tampang T yang digunakan sebagai batang gantung yang menimbulkan

tegangan tarik pada baut.

Kriteria dasar perencanaan sambungan adalah:

1. Kekakuan (strength) yakni harus mampu menahan momen, gaya geser dan gaya aksial yang dipindahkan dari batang satu ke batang yang lain.

2. Kekakuan (stiffness) yang dimaksudkan untuk menjaga lokasi semua komponen struktur satu sama lain.

3. Cukup ekonomis yakni sambungan harus sederhana, biaya untuk fabrikasinya murah tetapi memenuhi syarat cukup kuat dan mudah dalam pelaksanaannya. 4. Praktis dalam pelaksanaannya.

Dari segi kekakuannya sambungan dapat dibagi atas:

1. Sambungan definitif artinya sambungan tidak dapat dibuka lagi tanpa merusak alat-alat penyambungnya, pada umumnya menggunakan paku keling atau pengelasan.

2. Sambungan tetap artinya bagian yang disambung tidak dapat bergerak lagi, pada umumnya juga digunakan paku keling.

3. Sambungan sementara artinya dapat dibuka lagi tanpa merusak alat penyambungnya, biasanya menggunakan baut.

4. Sambungan bergerak artinya sambungan yang memungkinkan pergerakan yang dibutuhkan menurut perhitungan statis pada bagian-bagian yang disambung, umumnya digunakan engsel (sendi) dan landasan (tumpuan).


(23)

Berdasarkan kekuatan geser sambungan (connection rigidity) sambungan dapat dibagi menjadi:

1. Sambungan kaku yang mengembangkan kapasitas momen penuh dari bagian konstruksi penyambung dan mempertahankan sudut yang relatif konstan di antara bagian-bagian yang disambung di bawah setiap rotasi sambungan. 2. Kerangka sederhana/ sendi yakni tanpa terjadinya perpindahan momen di

antara bagian-bagian yang disambung. Sebenarnya sejumlah kecil momen akan dikembangkan tetapi momen tersebut diabaikan dalam perencanaan. Setiap eksentrisitas sambungan yang kurang dari 63 mm akan diabaikan. 3. Sambungan semi kaku, dengan kapasitas momen yang dipindahkan kurang

dari kapasitas momen penuh dari bagian-bagian konstruksi yang disambungkan. Perencanaan ini mengharuskan untuk menganggap (dengan dekomentasi yang memadai) adanya sejumlah kapasitas momen sembarang, misalnya 20, 30,atau 75 % dari kapasitas bagian konstruksi.

a. Sendi b. Kaku c. Semi Kaku

Gambar 2.2 Sambungan Berdasarkan Keuatan Geser


(24)

7.3 Sambungan Baut

Sambungan baut yang lebih sering digunakan adalah baut mutu tinggi. Di samping itu ada juga baut hitam (baut mutu normal) A307 yang terbuat dari baut mutu rendah.

1. Baut kekuatan tinggi/ High Strength Bolt (HSB)

Ada dua tipe dasar baut mutu tinggi yang distandarkan oleh American Standard Testing of Materials (ASTM) yaitu tipe A325 dan A490. Baut ini mempunyai kepala berbentuk segi enam. Baut A325 terbuat dari baja karbon yang memiliki kuat leleh 560-630 Mpa sedangkan baut A490 terbuat dari baja alloy

dengan kuat leleh 790-900 Mpa, tergantung diameternya. Diameter baut mutu tinggi berkisar antara - 1 in. Yang sering digunakan untuk struktur bangunan adalah diameter dan sedangkan untuk desain jembatan menggunakan baut mutu tinggi berdiameter antara hingga 1 in.

Dalam pemasangan baut mutu tinggi memerlukan gaya tarik awal yang cukup diperoleh dari pengencangan awal. Gaya ini akan memberikan friksi sehingga cukup kuat untuk memikul beban yang bekerja. Gaya ini dinamakan proff load yang diperoleh dengan mengalikan luas daerah tegangan tarik (As) dengan kuat leleh yang diperoleh dengan metode 0,2% tangen atau 0,5% regangan yang besarnya 70% fu untuk A325 dan 80% untuk A490. db


(25)

Tabel 2.2 Sifat-Sifat Baut

Identifikasi ANSI/ASTM

Diameter Baut inci (mm)

Beban Leleh, a Metode Pengukuran b

Panjang, ksi (MPa)

Beban Leleh, a Metode Kekuatan c

Leleh, ksi (MPa)

Kekuatan Tarik Minimum,

ksi (MPa)

A307d, baja karbon rendah Mutu A dan

B

¼ sampai 4

(6,35 sampai 104) - - 60

A325e, baja berkekuatan tinggi

Tipe 1, 2, dan 3

Tipe 1, 2, dan 3

½ sampai 1 (12,7 sampai 25,4) 1 sampai 1

(28,6 sampai 38,1)

85 (585) 74 (510) 92 (635) 81 (560) 120 (825) 105 (725)

A449f, baja berkekuatan tinggi

(Catatan: Pemakaiannya dibatasi oleh AISC

hanya untuk baut yang lebih besar dari 1½ inci serta untuk batang berulir

dan baut angkur)

¼ sampai 1 (6,35 sampai 25,4) 1 sampai 1

(28,6 sampai 38,1) 1 sampai 3 (6,35 sampai 76,2)

85 (585) 74 (510) 55 (380) 92 (635) 81 (560) 58 (400) 120 (825) 105 (725) 90 (620) A490g, baja paduan

yang diberi perlakuan panas

½ sampai1½ (12,7 sampai 38,1)

120 (825) 130 (895) 150 (1035)

Sumber: Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid I Edisi Kedua, Penerbit Erlangga,1997

Keterangan:

a

Beban leleh (proof load) dan beban tarik sesungguhnya yang diperoleh dengan mengalikan harga tegangan tertentu dam luas tegangan tarik As; As = 0,7854

[D-(0,9743/n)] 2, dengan As = luas tegangan dalam inci persegi, D = diameter baut nominal dalam inci,dan n = jumlah ulir per inci.

b


(26)

c

Nilai pada regangan tetap 0,2%

d

ANSI/ASTM A307-78

e

ANSI/ASTM A325-78a

f

ANSI/ASTM A449-78a

g

ANSI/ASTM A490-78

2. Baut hitam (Baut mutu normal)

Baut hitam ini dibuat dari baja karbon rendah memenuhi standar ASTM A-307. Dipakai pada struktur ringan seperti gording, rangka batang yang kecil, rusuk dinding dan lain-lain yang bebannya kecil dan bersifat statis. Baut ini dibagi atas dua jenis yaitu baut sekrup (turned bolt) dan baut bersirip (ribbed bolt).

Baut mutu normal dikencangkan dengan tangan. Baut mutu tinggi mula-mula dipasang dengan kencang tangan kemudian diikuti setengah putaran lagi

(turn of the nut method). Sambungan baut mutu tinggi dapat didesain sebagai sambungan tipe friksi (jika dikehendaki tak ada slip) atau juga sebagai sambungan tipe tumpu.

Sambungan tipe tumpu adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut yang dikencangkan dengan tangan atau baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan gaya tarik minimum yang disyaratkan, yang kuat rencananya disalurkan oleh gaya geser pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang disambungkan. Sambungan ini digunakan apabila kelebihan beban tidak penting walaupun menyebabkan tangkai baut mendesak sisi lubang. Untuk pembebanan lainnya, beban dipindahkan oleh gesekan bersama dengan desakan pelat. Gelinciran hanya akan terjadi sekali asalkan pembebanan bersifat statis dan


(27)

tak berubah arah dan setelah itu baut akan bertumpu pada bahan di sisi lubang. Pada sambungan tipe ini satu-satunya kriteria yang harus dipenuhi adalah kekuatan sambungan harus memadai.

Sambungan tipe friksi adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan tarikan baut minimum yang disayaratkan sedemikian rupa sehingga gaya-gaya geser rencana disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam bidang kontak dan gesekan yang ditimbulkan antara bidang-bidang kontak. Tipe ini digunakan apabila gelinciran pada beban kerja tidak dikehendaki. Pada tipe ini daya tahan gelincir memadai pada kondisi beban kerja harus disediakan di sampingkekuatan sambungan yang memadai.

Menurut Spesifikasi AISC setiap baut kekuatan tinggi harus dipasang dengan cara yang sama hingga tarikan awalnya sama tanpa memandang tipe sambungan apakah tipe geser atau tipe tumpu. Penampilan pada beban kerja pada umumnya identik yaitu beban kerja disalurkan melalui gesekan antara potongan yang disambung. Perbedaan penampilan hanyalah akibat perbedaan faktor keamanan terhadap gelincir.

Secara struktural sambungan harus mampu mencegah terjadinya gerakan material yang akan disambung dalam arah tegak lurus terhadap panjang baut. Kasus seperti ini disebut bahwa baut mengalami geser. Kekuatan pikul beban desain suatu baut yang mengalami geser tunggal sama dengan hasil kali antara luas penampang melintang tangkainya (shank) dan tegangan geser ijin.

Pgeser = Ab . τo

di mana: Pgeser = kekuatan geser


(28)

τo = tegangan geser ijin baut

Untuk meninjau kekuatan plat di sekitar lubang baut. Jika pelat tidak kuat maka lubang baut pada plat akan berubah bentuk dari bundar menjadi oval. Pada bidang kontak antara baut dan plat terjadi tegangan yang disebut sebagai tegangan tumpu.

Ptumpu = d. t. τtp

di mana: Ptumpu = kekuatan tumpu

d = diameter lubang t = tebal pelat terkecil

τtp = tegangan tumpu

7.4 Persayaratan/ Ketentuan untuk Struktur Bangunan Baja Tahan Gempa

Apabila struktur bangunan baja berada pada daerah zonasi gempa maka dalam perencanaannya harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah dibuat di Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002. Ketentuan ini dimaksudkan untuk perencanaan dan pelaksanaan komponen struktur bangunan baja termasuk sambungan dalam struktur dengan gaya yang bekerja dihasilkan dari beban gempa yang telah ditentukan dengan memperhatikan disipasi energi di dalam daerah respon nonlinier struktur bangunan tersebut.

Komponen struktur bangunan baja tahan gempa harus memenuhi, Rn ≥ Ru

Keterangan:


(29)

Rn = kuat nominal komponen struktur

Ru = pengaruh aksi terfaktor yaitu momen atau gaya yang diakibatkan oleh suatu kombinasi pembebanan atau pengaruh aksi perlu yaitu momen atau gaya yang disyaratkan untuk struktur tahan gempa Gaya geser dasar rencana total (V) pada suatu arah ditetapkan:

V = Wt Keterangan:

V = gaya geser dasar rencana total, N R = faktor modifikasi respons

Wt = berat total struktur, N I = faktor kepentingan struktur C = koefisien percepatan gempa

Struktur harus direncanakan kekuatannya terhadap beban-beban berikut: 1. Beban mati (Dead Load), dinyatakan dengan DL

Beban mati yang diperhitungkan dalam struktur baja tahan gempa adalah berat sendiri elemen struktur bangunan yang memiliki fungsi struktural menahan beban. Berat jenis baja adalah 7850 kg/m2. Beban tersebut harus disesuaikan dengan volume struktur yang digunakan dan akan dihitung dengan menggunakan bantuan program SAP 2000.

2. Beban hidup (Live Load), dinyatakan dengan LL

Beban hidup yang diperhitungkan adalah beban hidup selama masa layan. Beban hidup selama masa konstruksi tidak diperhitungkan karena lebih kecil daripada beban hidup pada masa layan. Beban hidup yang direncanakan mengacu


(30)

kepada standar pedoman pembebanan yakni beban hidup pada lantai gedung sebesar 250 kg/m3 dan beban hidup pada atap gedung sebesar 100 kg/m2.

3. Beban Gempa (Earthquake Load), dinyatakan dengan E

Beban gempa adalah beban yang timbul akibat percepatan getaran tanah pada saat gempa terjadi. Untuk merencanakan struktur bangunan tahan gempa perlu diketahui percepatan yang terjadi pada batuan dasar. Berdasarkan penelitian Indonesia dibagi dalam 6 wilayah gempa. Struktur bangunan direncanakan di kota Medan. Berdasarkan SNI-03-1726-2002 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Rumah dan Gedung, kota Medan berada pada wilayah zona gempa 3.

Berikut ini adalah tabel dan grafik respon spektra pada wilayah zona gempa 3.

Gambar 2.3 Wilayah Gempa Indonesia dengan Percepatan Puncak Batuan Dasar dengan Periode Ulang 500 Tahun


(31)

Gambar 2.4 Respon Spektra Gempa Rencana untuk Wilayah Gempa 3

(Sumber: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002)

Tabel 2.3 Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka Tanah untuk Masing-Masing Wilayah Gempa Indonesia

Wilayah Gempa Percepatan Puncak Batuan dasar (‘g’)

Percepatan Puncak Muka Tanah (‘g’) Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus

1 0,03 0,04 0,05 0,08

Diperlukan evaluasi khusus di setiap

lokasi

2 0,10 0,12 0,15 0,20

3 0,15 0,18 0,23 0,30

4 0,20 0,24 0,28 0,34

5 0,25 0,28 0,32 0,36

6 0,30 0,33 0,36 0.38

Sumber: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 Dengan mengacu pada kombinasi pembebanan SNI 03-1726-2002 maka terdapat 6 standar kombinasi yakni sebagai berikut:

1) 1,4D


(32)

3) 1,2D + 1,6(La atau H) + (γL L atau 0,8W)

4) 1,2D + 1,3W + γL L + 0,5(La + H)

5) 1,2D ± 1,0 E + γL L

6) 0,9D ± (1,3W atau 1,0E) Keterangan:

D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga dan peralatan layan tetap

L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan dan lain-lain

L adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak

H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air W adalah beban angin

E adalah beban gempa dengan,


(33)

BAB III

ANALISA SAMBUNGAN BALOK DENGAN KOLOM PADA PORTAL BAJA

8.1 Sambungan Penahan Momen

Di dalam setiap perencanaan struktur baja, sambungan harus direncanakan untuk dapat menahan momen dan gaya geser. Hal ini dikarenakan persoalan ini ditemui pada setiap konstruksi menerus seperti portal dan bangunan bertingkat.

Gambar 3.1 Sambungan T-Connection

(Sumber: Dian Sukma Arifwan, Analisis Sambungan Portal Baja Antara Balok dan Kolom dengan Menggunakan Sambungan Baut dan Las, 2003)

Reaksi R harus dipikul oleh baut yang ada pada baja siku penyambung yang dipasang pada pelat badan balok. Momen M harus dipikul oleh baut yang ada pada baja penyambung berbentuk T yang dipasang pada flens balok.


(34)

Baut yang menghubungkan flens balok pada baja T memikul gaya geser horizontal sebesar:

P =

di mana h = tinggi balok

Baut yang menghubungkan baja T pada kolom bagian atas harus mampu memikul gaya aksial tarik sebesar P sedangkan bagian bawah flens langsung menekan pada kolom.

8.2 Sambungan Penahan Momen yang Direncanakan

Sambungan penahan momen yang direncanakan terdapat pada portal baja. Tugas akhir ini menganalisa portal baja bertingkat (tiga lantai) dengan elemen tiga dimensional (ruang). Gaya dalam yang diperhitungkan yang bekerja pada portal hanya momen lentur M. Gaya dalam lainnya yakni gaya lintang D, gaya normal N dan momen lentur (momen sekunder) yang diakibatkan oleh baut tidak dianalisa.

Sambungan direncanakan dengan menggunakan baut sebagai alat penyambung dan pelat dasar sebagai pelat penyambung. Baut yang digunakan adalah baut mutu tinggi (High Strength Bolt) A325. Sambungan pada balok dan kolom ini akan direncanakan berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Banguna Gedung SNI-03-1729-2002 dan dibandingkan dengan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983 (PPBBI 1983).


(35)

8.3 Analisa Sambungan Baut pada Balok dan Kolom Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI 03-1729-2002

Tujuan dari perencanaan struktur menurut Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 adalah menghasilkan suatu strukturyang stabil, cukup kuat, mampu layan, awet, dan memenuhi tujuan-tujuan lainnya seperti ekonomi dan kemudahan pelaksanaan. Suatu struktur dikatakan stabil jika tidak mudah terguling, miring atau tergeser selama umur rencana bangunan. Risiko terhadap kegagalan struktur dan hilangnya kemampulayanan selama umur rencananya juga harus diminimalisir dalam batas-batas yang masih dapat diterima. Perencanaan menurut Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 mengacu kepada konsep Load and Resistance Factor Design (LRFD)

3.3.1. Tahanan Nominal Baut

Suatu baut yang memikul beban terfaktor, Ru, sesuai persyaratan LRFD harus memenuhi:

Ru ≤ . Rn

dengan Rn adalah tahanan nominal baut sedangkan adalah faktor reduksi kekuatan.

1. Tahanan Geser Baut

Pada hampir semua hubungan struktural baut harus dapat mencegah terjadinya gerakan material yang disambung dalam arah tegak lurus terhadap panjang baut.


(36)

Gambar 3.2 Baut yang Mengalami Geser Tunggal

(Sumber: Dian Sukma Arifwan, Analisis Sambungan Portal Baja Antara Balok dan Kolom dengan Menggunakan Sambungan Baut dan Las, 2003)

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa baut mengalami geser. Dalam hubungan tumpang tindih (lap joint) seperti gambar di atas baut cenderung mangalami geser di sepanjang bidang kontak tunggal antara kedua pelat yang disambung. Baut mengalami geser tunggal karena menahan kedua pelat yang menggelincir pada pada bidang kontak dan mengalami geser pada satu bidang saja.

Pada hubungan lurus (butt joints) ada dua bidang kontak sehingga baut memberikan tahanan di sepanjang dua bidang seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Hal ini disebut geser rangkap.

Gambar 3.3 Baut yang Mengalami Geser Rangkap

(Sumber: Dian Sukma Arifwan, Analisis Sambungan Portal Baja Antara Balok dan Kolom dengan Menggunakan Sambungan Baut dan Las, 2003)


(37)

Tahanan nominal suatu baut yang memikul gaya geser berkaitan dengan jumlah bidang gesernya, memenuhi persamaan:

Rn = m. r1. fub. Ab

di mana:

r1 = 0,5 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser

r1 = 0,4 untuk baut dengan ulir pada bidang geser

fub = kuat tarik baut (MPa)

Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

m = jumlah bidang geser

2. Tahanan Tarik Baut

Baut yang memikul gaya tarik tahanan nominalnya dihitung menurut: Rn = 0,75. fub. Ab

di mana:

fub = kuat tarik baut (MPa)

Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

3. Tahanan Tumpu Baut

Tahanan batas tumpu berkaitan dengan deformasi di sekitar lobang baut. Meskipun baut telah memadai dalam meneruskan beban yangbbekerja dengan mengalami geser, akan tetapi bisa juga mengalami kegagalan kecuali bila material yang disambung dapat meneruskan beban ke baut yang baik. Kapasitas merupakan fungsi dari kekuatan tumpu material yang disambung. Distribusi sesungguhnya yang mengenai tekanan tumpu yang mengenai material di


(38)

sekeliling lobang tidak diketahui sehingga luas kontak yang diambil adalah diameter normal dikalikan dengan tebal material yang disambung. Ini diambil dengan menganggap bahwa tekanan merata terjadi pada luas segi empat.

Gambar 3.4 Tekanan Sumbu pada Sambungan Baut

(Sumber: Dian Sukma Arifwan, Analisis Sambungan Portal Baja Antara Balok dan Kolom dengan Menggunakan Sambungan Baut dan Las, 2003)

Tahanan tumpu nominal tergantung kondisi yang terlemah dari baut atau komponen pelat yang disambung. Besarnya ditentukan oleh:

Rn = 2,4. db. tp. fu

di mana :

db = diameter baut pada daerah tak berulir

tp = tebal pelat

fu = tarik putus terendah dari baut atau pelat

Persamaan tersebut berlaku untuk semua baut sedangkan untuk lubang baut selot panjang tegak lurus arah gaya berlaku:

Rn = 2,0 db. tp. fu

Apabila suatu sambungan yang akan didisain dikehendaki sambungan tanpa slip (tipe friksi), maka satu baut yang hanya memikul gaya geser terfaktor, Vu, dalam bisang permukaan friksi harus memenuhi:


(39)

Kuat rencana Vd = . Vn adalah kuat geser satu baut dalam sambungan tipe friksi yang besarnya dihitung menurut:

Vd = .Vn = 1,13. . µ. m. proof load

di mana:

= 1,0 (lubang standar); 0,85 (lubang selot pendek dan lubang besar); 0,7 (lubang selot panjang tegak lurus arah gaya); 0,6 (lubag selot panjang searah gaya)

µ = koefisien gesek (0,35) m = jumlah bidang geser

3.3.2. Tata Letak Baut

Tata letak baut juga diatur dalam SNI-03-1729-2002. Jarak antarpusat lubang baut harus diambil tidak kurang dari 3 kali diameter nominal baut. Jarak tepi minimum antara baut dengan ujung pelat dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Jarak Tepi Minimum Baut Tepi dipotong dengan

tangan

Tepi dipotong dengan mesin

Tepi profil bukan hasil potongan

1,75db 1,5db 1,25db

Sumber: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 Di mana db adalah diameter nominal baut pada daerah tidak berulir.

Dan jarak maksimum antarpusat lubang baut tidak boleh melebihi 15 tp, di mana tp adalah tebal pelat lapis tertipis dalam sambungan atau 200 mm, sedangkan jarak tepi maksimum harus tidak melebihi (4tp + 100 mm) atau 200 mm.


(40)

3.3.3. Jumlah Baut

Jumlah baut dapat dihitung dengan rumus berikut ini: n =

Rn = . 0,5. fub. m.Ab

di mana:

= faktor reduksi di mana untuk sambungan baut adalah sebesar 0,75 fub = kuat tarik baut (MPa)

Ab = luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

Sedangkan rumus untuk Pn dapat dilihat pada persamaan-persamaan di bawah.

Untuk mencegah leleh pada web, maka panjang tumpuan ditentukan oleh: Pn = = fy.tw (N + 2,5k) atau N = - 2,5k

di mana:

= 1,0 (lubang standar); 0,85 (lubang selot pendek dan lubang besar); 0,7 (lubang selot panjang tegak lurus arah gaya); 0,6 (lubag selot panjang searah gaya)

fy = tegangan leleh profil baja (Mpa) tw = tebal penampang web

k = kekakuan

N = panjang tumpuan, Nmin = k

Kuat tekuk dukung dari balok juga harus diperiksa dengan rumus berikut:


(41)

di mana:

d = ukuran balok

E = modulus elatisitas baja (200000 Mpa) Jika N/d > 0,2 harus diperiksa terhadap persamaan:

Pn = 0,75 (0,39).tw2 [1 + (4 -0,2) ( )1,5]

3.3.4. Baja Siku Penyambung

Untuk merencanakan baja siku dan panjangnya pada flens kolom yang akan digunakan dalam penyambungan maka digunakan rumus-rumus berikut ini:

d =

di mana:

M = momen ultimit (kNm) T = Rn (kN)

Jarak baut terhadap flens atas balok, a = ½ (d-b) – t siku – r siku

di mana:

d, b = ukuran profil baja

Kemudian dihitung gaya yang bekerja pada profil siku dengan:

T =

Dan momen yang ditimbulkannya pada baja siku yakni: M = 0,5. T.a


(42)

Panjang baja siku pada flens kolom dihitung dengan rumus kapasitas nominal penampang:

Mn = 0,9 (bd2/4).fy

di mana

d = tebal penampang baja siku

3.3.5. Luas Netto

Luas yang dibuat pada sambungan untuk menempatkan alat pengencang mengurangi luas penampang sehingga mengurangi tahanan penampang tersebut. Menurut SNI-03-1729-2002, dinyatakan bahwa suatu lubang bulat untuk baut harus dipotong dengan mesin pemotong, dengan api, atau dibor penuh, atau dipons 3 mm lebih kecil dan kemudian diperbesar, atau dipons penuh. Suatu lubang yang dipons hanya diijinkan pada material yang memiliki tegangan leleh (fy) tidak lebih dari 360 Mpa dan ketebalannya tidak melebihi 5600/fy mm.

Diameter nominal dari suatu lubang yang sudah jadi harus 2 mm lebih besar dari diameter nominal baut utnuk suatu baut yang diameternya tidak lebih dari24 mm. Untuk baut yang diameternya lebih dari 24 mm, maka lubang harus diambil 3 mm lbih besar dari diameter nominal baut. Untuk lubang baut yang diletakkan berselang-seling dinyatakan bahwa luas netto harus dihitung berdasarkan luas minimum antara potongan 1 dan potongan 2.


(43)

Gambar 3.5 Keruntuhan Potangan 1-1 dan Potongan 2-2

(Sumber: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002) Dari potongan 1-1 diperoleh:

An = As- n.d.t

Dari potongan 1-2 diperoleh: An = Ag- n.d.t + Σ s2 .t/ 4u di mana:

Ag = luas penampang kotor An = luas penampang netto

n = banyak lubang dalam satu potongan d = diameter lubang

t = tebal penampang

s, u = jarak antarsumbu lubang pada arah sejajar dan tegak lurus sumbu komponen struktur.

8.4 Analisa Sambungan Baut pada Balok dan Kolom Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983 (PPBBI 1983)

Sebelum Indonesia melalui Departemen Pekerjaan Umum mengeluarkan peraturan terbaru yakni Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 telah ada peraturan yang menjadi acuan dalam perencanaan bangunan struktur baja yakni Peraturan Perencanaan Bangunan Baja


(44)

Indonesia 1983 yang telah dikeluarkan pada tahun 1983. Peraturan ini lah yang dipakai sejak saat itu sampai peraturan terbaru dikeluarkan. Bahkan pada praktiknya masih banyak yang menjadikan peraturan ini sebagai acuan. PPBBI 1983 dibuat untuk mengatur syarat-syarat minimum untuk perencanaan bangunan-bangunan struktur baja.

3.4.1. Baut Tipe Geser

Kekuatan sebuah baut terhadap geser dihitung dengan persamaan: Ng = . n.No

Kekuatan sebuah baut terhadap sebuah gaya tarik aksial dihitung dengan:

• Untuk beban statis : Nt = 0,6 No

• Untuk beban bolak balik : Nt = 0,5 No Jika terjadi kombinasi beban geser dan tarik , maka:

Ng = . N (No- 1,7 T)

di mana:

F = faktor geser permukaan = faktor keamanan (1,4)

No = pembebanan tarik awal (proof load)

n = jumlah bidang geser


(45)

Berikut tabel harga faktor geser permukaan untuk baut: Tabel 3.2 Harga Faktor Geser Permukaan

Keadaan Permukaan µ

Bersih 0,35

Digalbani 0,16-0,26

Dicat 0,007-0,10

Berkarat, dengan karat lepas dihilangkan 0,45-0,70 Disemprot pasir (saud blasted) 0,40-0,70 Sumber: Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983( PPBBI1983)

3.4.2. Baut Tipe Tumpu

Tegangan-tegangan yang diijinkan dalam menghitung kekuatan baut adalah: Tegangan geser yang diijinkan:

τ’ = 0,6 σ’ (menggunakan tegangan dasar baut yang ada pada tabel) Tegangan tarik yang diijinkan:

σ’ta = 0,7 σ’ (menggunakan tegangan dasar baut yang ada pada tabel)

Tegangan tumpu yang diijinkan:

• Untuk s1≥ 2d, maka: σ’tu = 1,5 σ’... • Untuk 1,5d ≤ s1≤ s2, maka σ’tu = 1,2 σ’

(menggunakan tegangan terkecil antara bahan baut dan bahan batang yang akan disambung)


(46)

3.4.3. Jarak Baut

Beberapa ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam PPBBI 1983 yakni:

1. Banyaknya baut yang dipasang pada satu baris searah gaya tidak boleh lebih dari 5 buah.

2. Jarak antara sumbu baut paling luar ke tepi atau ujung bagian yang disambung, tidak boleh kurang dari 1,2 d dan tidak boleh lebih besar dari 3 d atau 6 t (t adalah tebal terkecil bagian yang disambung).

3. Jika sambungan terdiri dari satu baris baut, jarak dari sumbu ke sumbu dari dua baut yang berututan tidak boleh kurang dari 2,5 d dan tidak boleh lebih dari 7d atau 14 t.

4. Jika sambungan lebih dari satu baris baut yang tidak berseling maka jarak antara kedua baris baut itu dan jarak dari sumbu ke sumbu dari 2 baut yang berurutan pada satu baris tidak boleh kurang dari 2,5 d dan tidak boleh lebih besar dari 7 d atau 14 t.

2,5 d ≤ s ≤ 7 d atau 14 t 2,5 d ≤ u ≤ 7 d atau 14 t 1,5 d ≤ s1≤ 3 d atau 6 t

5. Jika sambungan lebih dari satu baris baut yang berselang seling, jarak baut (u) tidak boleh kurang dari 2,5 d dan tidak oleh lebih besar dari 7 d atau 14, sedangkan jarak antara satu baut dengan baut terdekat pada baris lainnya (s2)

tidak boleh lebih besar dari 7 d-0,5 u atau 14 t-0,5 u. 2,5 d ≤ u ≤ 7 d atau 14 t


(47)

(a)

(b)


(48)

(d) Gambar 3.6 Jarak Baut

(Sumber: Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983( PPBBI1983)) Keterangan:

s = jarak antarsumbu baut

s1 = jarak antara sumbu baut paling luar dengan tepi atau ujung bagian yang

disambung

s2 = jarak antara satu baut dengan baut terdekat pada baris lainnya

u = jarak antara baris-baris baut

Pada sambungan balok dengan kolom pelat penguat tidak diperlukan apabila tebal badan kolom memenuhi sayarat berikut ini:

tbk ≥

tbk ≥ hk :30 di mana:

Ab = luas penampang balok

hb = tinggi balok


(49)

tbk = tebal badan kolom

Apabila tebal kolom tidak memenuhi persyaratan maka kolom harus diperkuat baik dengan penguat sayap atau penguat badan.

Apabila digunakan penguat sayap, tebal penguat harus memenuhi syarat: tp ≥ (Ab- tbk (hb + 6h’k))

tp ≥ b : 27

Apabila digunakan penguat badan, tebal penguat harus memenuhi syarat: tp ≥

tp ≥ tbk

di mana:

tsb = tebal sayap balok

Badan harus diberi penguat untuk menahan geser apabila ternyata:

tb ≥

di mana:

Δ M dinyatakan dalam ton meter

tb, hk, hb dinyatakan dalam cm

hb = tinggi balok terbesar

3.4.4. Analisa Sambungan Baut Mutu Tinggi

Pada sambungan balok kolom yang menggunakan baut mutu tinggi akan menmbah kapasitas daya dukung sambungan. Hal ini disebabkan oleh kekuatan bautnya dan pengaruh gaya tarik minimum dengan cara pemutaran muroleh karena kunci momen yang ditentukan oleh standar dari bautnya. Pengaruh pratarik


(50)

ini menyebabkan terjadinya gesekan antara dua elemen pelat yang disambung. Gaya gesek ini rata-rata kurang dari 34% kali gaya tarik minimum menurut hasil penelitian Jhon W. Fisher atau menurut tabel PPBBI yang pula sebesar 70% dari kekuatan gaya tarik bautnya. Pada sambungan balok kolom, alat sambung baut yang menyatukan pelat penyambung dengan sayap kolom melulu menerima gaya tarik akibat momen luar, gaya gesek/desak akibat gaya lintang.

Untuk baut mutu biasa yang tidak mampu memikul pratarik atau baut mutu tinggi yang tidak diberikan pratarik (pretension) dimodelkan menjadi sebuah tampang kontiniu atau ditransformasi dari model dicrete menjadi model kontiniu dengan cara mengkonversi luasan baut dan luasan pelat masing-masing menerima tarik pada daerah atas dan menerima tekan pada daerah bawah garis netral tampang T terbalik.

Baut mutu tinggi tidak lagi seperti pemodelan baut mutu biasa akibat baut sudah lebih dulu mengalami tarik minimum (pratarik). Artinya smeua baut mengalami tarik dan semua bidang kontak mengalami tekan. Ketika beban luar bekerja (momen luar), garis netral berada di tengah-tengah kumpulan alat sambung.


(51)

Gambar 3.7 Pemodelan Sambungan Baut Diberi dan Tidak Diberi Pratarik (Sumber:

http://strukturbaja.blog.usu.ac.id/files/2009/10/analisis-baut-mutu-tinggi-serta-aplikasinya-dupl.pdf)

Di mana dapat dihitung besarnya luasan pengganti baut

a = 2.

b = lebar pelat penyambung

Dengan letak pusat beratnya untuk selanjutnya dapat dihitung inersia tampang luasan pengganti dan diperoleh tegangan pada serat paling atas

½ b. x2 = ½ a (h-x)2

x =

IX = 1/3 b.x3 + 1/3 a (h-x)3


(52)

fM =

fD =

fi =

atau,

Selanjutnya bekerja momen luar yang menimbulkan tegangan pada pelat dan baut

Ix = 1/12 b.h3

fa = fb = =

Sedangkan tegangan awal akibat pratarik sebesar

fN =

Tegangan yang terjadi akibat gaya luar adalah:

fa = fM- fN

fa = –


(53)

Akibat pengencangan baut mutu tinggi, berpengaruh pula terhadap perlawanan gesek sebesar:

fTS =

fs = fD- fTS

Maka dapat dihitung tegangan idiil untuk baut paling atas

fi =

atau

di mana,

≈ 1,5

n = jumlah baut dalam satu baris

3.4.5. Analisa Perilaku Pelat Penyambung

Untuk mengetahui perilaku pelat penyambung maka pelat sayap kolom dianggap sangat kaku (fixed) sehingga tidak terjadi deformasi pada badan dan sayap di sepanjang daerah sambungan. Oleh karena itu, biasanya badan dan sayap kolom diperkaku dengan stiffner dari pelat-pelat.

Akibat terjadinya tegangan tarik pada sambungan sebelah atas garis netral akanmenimbulkan gaya tarik pada penyambung alat dan timbul gaya ungkit


(54)

akibat terjadinya gaya ungkit menambah besarnya perlawanan tarik pada baut. Dalam masalah praying force dianalisa dengan model matematik sederhana yang dibantu metode kekauan. Baut diasumsikan sebgai spring konstan.

Gambar 3.8 Deformasi Pelat Penyambung Akibat Gaya Tarik P

(Sumber: http://strukturbaja.blog.usu.ac.id/files/2009/10/analisis-baut-mutu-tinggi-serta-aplikasinya-dupl.pdf)

Persamaan differensial pada pelat yang dimodelkan sebagai pelat kantilever dengan anggapan perletakan jepit pada baut yang sekaligus dianggap bisa terdeformasi.

EIy = - Cx + T (x-q) ... 1

Lalu diintegralkan menjadi,

EIy = - ½ Cx2 + ½ T (x-q)2 + A ... 2


(55)

Pada x = (g+q); y’(x) = 0, dimasukkan ke daam persamaan 2 menjadi:

- ½ Cx2 + ½ T (x-q)2 + A = 0 ... 4

A = ½ C (g+q)2 - ½ g ... 5

Selanjutnya pada y(0) = 0,00

Dapat dihitung B = 0 ... 6

Dengan mensubstitusikan persamaan 5 ke persamaan 6, diperoleh persamaan

EIy = - 1/6 Cx3 + 1/6 T (x-q)3 + ½ C (g+q)2x - ½ g2x

Di x-q; y-δb

Diperoleh gaya ungkit sebesar

C = ... 7

Di mana T = P + C

Bila T – F baut = δb ... 8

δb =

Persamaan 8 disubstitusikan ke persamaan 7

C = ... 9


(56)

Di mana,

Ep = modulus elastisitas pelat

Eb = modulus elastisitas baut

tp = tebal pelat penyambung

Sp = jarak antar baut

Lp = panjang baut

Ab = luas penampang baut

F b = gaya tarik pikul baut

= tegangan ijin baut

= tegangan ijin pelat

µ = koefisien gesek

C = gaya ungkit (praying force)


(57)

BAB IV APLIKASI 9.1 Umum

Untuk aplikasi daripada tugas akhir ini dianalisa suatu konstruksi portal baja bertingkat (tiga lantai) dengan elemen tiga dimensional. Ketinggian masing-masing lantai adalah 4 meter dan dengan jarak as ke as 6 meter pada arah memanjang dan 4 m pada arah melintang.

Portal baja direncanakan menggunakan mutu profil ASTM A36 dengan tegangan leleh fy = 250 Mpa, dan kekuatan tarik fu = 400 MPa. Balok WF 400.200 dan kolom WF 250.250. Mutu baut sebagai sambungan adalah A325. Perencanaan dilakukan dengan berdasarkan pada SNI-03-1729-2002 dan dibandingkan dengan PPBBI 1983.

Adapun data-data yang dipergunakan dalam analisa struktur adalah sebagai berikut:

• Bangunan bertingkat 3

• Fungsi bangunan: perkantoran

• Denah bangunan:

1. Jarak antar portal arah memanjang = 6 m 2. Jarak antar portal arah melintang = 4 m

3. Tinggi kolom = 4 m

• Profil balok arah memanjang dan melintang = WF 400.200


(58)

• Tebal pelat lantai dan atap = 12 cm

6000 6000

4000 4000

4000

Gambar 4.1 Denah Bangunan

6000

6000 6000 6000

4000

4000

4000


(59)

Gambar 4.3 Potongan Melintang Bangunan

6000 6000

6000

4000 4000 4000


(60)

9.2 Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002

9.2.1 Beban Mati

Beban mati merupakan berat sendiri bahan bangunan komponen gedung. Pada pemodelan struktur ini berat sendiri bangunan (self weight) akan dikalkulasi secara otomatis oleh program SAP 2000, sedangkan beban mati tambahan pada tiap-tiap lantai dan atap (area load) akan dihitung sebagai berikut:

Area Load untuk masing-masing pelat lantai 1 dan 2 adalah: Gambar 4.4 Persfektif Bangunan


(61)

- Penutup lantai (keramik + spesi) = 24 kg/m2 - Plafond, Mekanikal dan Elektrikal = 30 kg/m2 - Dinding/ Pasangan bata merah (setengah batu) = 250 kg/m2

= 304 kg/m2

Area Load untuk pelat atap adalah:

- Plafond, Mekanikal dan Elektrikal = 54 kg/m2 - Dinding/ Pasangan bata merah (setengah batu) = 250 kg/m2

= 304 kg/m2

9.2.2 Beban Hidup

Beban hidup merupakan beban yang ditimbulkan oleh pengguna gedung, termasuk perlengkapan ruang sesuai dengan fungsi bangunan tersebut. Menurut Peraturan Pembebanan Indonesia 1983, beban hidup yang direncanakan pada pelat lantai untuk bangunan perkantoran adalah 250 kg/m2 dan beban hidup pada pelat atap bangunan yang dapat dicapai atau dibebani orang harus diambil minimum sebesar 100 kg/m2 bidang datar.

9.2.3 Beban Gempa

a) Perhitungan Beban Gravitasi/ Berat Total Bangunan (W)

Beban gravitasi berupa beban mati dan beban hidup yang bekerja di tiap lantai/atap. Beban hidup untuk perhitungan W ini memakai koefisien reduksi 0,3.


(62)

Tabel 4.1 Berat Bangunan Tiap Lantai

Lantai Balok (kg) Pelat (kg) 30% Reduksi Beban Hidup (kg) Elemen Vertikal (kg) Jumlah (kg)

Lantai 3 7920 62208 6480 62128 138736

Lantai 2 7920 62208 16200 124256 210584

Lantai 1 7920 62208 16200 124256 210584

Berat Total Bangunan 559904

b) Perhitungan Beban Gempa (V) V dihitung dengan rumus:

V = Wt

R = 6,5 (Tabel 3 SNI -1726-2002) I = 1,0 (Tabel 1 SNI-1726-2002 ) Wilayah gempa 3

Tanah sedang T1 =ζ. n

= 0,18 . 3 = 0,54

di mana:

ζ = koefisien yang membatasi waktu getar alami (Tabel 8 SNI-1726-2002)

n = jumlah tingkat


(63)

V = . 559.904 = 47376,49231 kg

Pada arah x, Vx = 47376,49231 kg Pada arah y, Vy = 47376,49231 kg c) Distribusi Fi

Dilakukan sesuai dengan rumus:

Fi = . V

Hasil perhitungan dirangkum pada tabel berikut:

Tabel 4.2 Gaya Gempa di Tiap Lantai

Lantai hi

(m)

Wi (kg)

Wi.hi (kgm)

Fi (kg)

Vi (kg) Lantai 3 12 138736 1664832 18817,6731 18817,6731 Lantai 2 8 210584 1684672 19040,2902 37857,9633 Lantai 1 4 210584 842336 9520,145098 47378,1084

559904 4191840

Beban yang dipikul oleh struktur adalah beban mati, beban hidup dan beban gempa. Kombinasi pembebanan disesuaikan dengan kombinasi pembebanan menurut SNI-03-1726-2002, yakni:

1) 1,4D

2) 1,2D + 1,6L

3) 1,2D ± 1,0 E + 1,0 L 4) 0,9D ± 1,0E


(64)

Berikut adalah tabel momen dan gaya geser yang bekerja pada setiap titik/joint pada bangunan yang direncanakan:

Tabel 4.3 Tabel Momen Maksimum dan Gaya Geser Maksimum pada Tiap Titik/Joint (SNI 03-1729-2002)

Titik/Joint Momen Maksimum (kgm) Gaya Geser Maksimum (kg)

1 27224,97 21431,45

2 112588,2 64031,01

3 182887,2 95036,04

4 197257 -95036

5 29330,93 23091,44

6 124862,9 71784,56

7 202758,9 103675,8

8 211944,5 -103676

9 29330.93 23091,44

10 124862,9 71784,56

11 202758,9 103675,8

12 211944,5 -103676

13 27224,97 21431,45

14 112588,2 64031,01

15 182887,2 95036,04

16 197257 -95036

17 15845,11 12474,41

18 65513,94 37252,2

19 104376,8 53702,64

20 110433,7 -53702,6

21 18377,45 14468,85

22 77996,24 44787,4

23 125469,2 63940,83

24 130294,1 -63940,8

25 18377,45 14468,85

26 77996,24 44787,4

27 125469,2 63940,83

28 130294,1 -63940,83

29 15845,11 12474,41

30 65513,94 37252,2

31 104377 53702,64

32 110433,7 -53702,6

33 -15845,11 -12474,41

34 -65513,94 -37252,2

35 -104376,8 53702,6

36 -110434 53702,64


(65)

38 -77996,2 -44787,4

39 -125469 -63940,8

40 -130294 63940,83

41 -18377,5 -14468,9

42 -77996,2 -44787,4

43 -125469 -63940,8

44 -130294 63940,83

45 -15845,1 -12474,41

46 65513,9 -37252,2

47 -104377 -53702,6

48 -110434 53702,64

49 -27225 -21431,5

50 -112588 -64031

51 -182887 -95036

52 -197257 95036,04

53 -29330,9 -23091,4

54 -124863 -71784,6

55 -202759 -103676

56 -211944 103675,8

57 -29330,9 -23091,4

58 -124863 -71784,6

59 -202759 -103676

60 -211944 103675,8

61 -27225 -21431,5

62 -112588 -64031,01

63 -182887 -95036

64 -197257 95036,04

Dari tabel tersebut momen paling besar ada pada titik/joint 56 dan 60 yakni -211944 kgm dengan besar gaya geser yang bekerja sebesar 103675,8 kg.

9.2.4 Perencanaan Sambungan

Mutu profil baja untuk kolom dan balok ASTM A36 (tegangan leleh, fy = 250 Mpa dan kekuatan tarik, fu = 400 MPa)


(66)

Propertis penampang adalah: Balok, WF 400.200

d = 400 mm bf = 200 mm

tf = 13 mm

tw = 8 mm

r = 16 mm A = 84,10 cm2

Ix = 23.700 cm4 Iy = 1.740 cm4 ix = 16,8 cm iy = 4,54 cm Zx = 1.190 cm3 Zy = 174 cm3

Kolom, WF 250.250 d = 248 mm bf = 249 mm

tf = 13 mm

tw = 8 mm

r = 16 mm A = 84,70 cm2

Ix = 9.930 cm4 Iy = 3.350 cm4 ix = 10,8 cm iy = 6,29 cm Zx = 801 cm3 Zy = 269 cm3

1. Sambungan pada Badan Balok

• Pada bidang geser baut tidak ada ulir (r1 = 0,5)

• Mutu profil ASTM A36 (tegangan leleh fy = 250 Mpa = 2500 kg/cm2dan kekuatan tarik fu = 400 MPa = 4000 kg/cm2)

• Baut tipe A325, D = 20 mm

fub = 825 Mpa = 8250 kg/cm2 Ag = 3,14 cm2


(67)

Pelat siku profil 150x150x16 Kuat geser ( ):

Fu.r1.Ab.m = 0,75.(8250).(0,5).(3,14).(2)

= 19428,75 kg Kuat tumpu ( ):

.2,4. Fu.db.tp = 0,75.(2,4).(4000).(2).(1,6)

= 23040 kg

Dipakai ( = 19428,75 kg (menentukan) Jumlah baut yang dibutuhkan:

n = = =5,34 ≈ 6 baut Kontrol jarak baut

Jarak ke tepi = 1,5 dbs.d (4tp+100 mm) atau 200 mm = 3 cm s.d 16,4 cm

Jarak antar baut = 3 db s.d 15 tp atau 200 mm = 6 cm s.d 20 cm

2. Sambungan pada Sayap Kolom

• Pada bidang geser baut tidak ada ulir (r1 = 0,5)

• Mutu profil ASTM A36 (tegangan leleh fy = 250 Mpa = 2500 kg/cm2 dan kekuatan tarik fu = 400 MPa = 4000 kg/cm2)

• Baut tipe A325, D = 20 mm

fub = 825 Mpa = 8250 kg/cm2 Ag = 3,14 cm2


(68)

Kuat geser ( ):

Fu.r1.Ab.m = 0,75.(8250).(0,5).(3,14).(1)

= 9714,37 kg Kuat tumpu ( ):

.2,4. Fu.db.tp = 0,75.(2,4).(4000).(2).(1,6)

= 23040 kg

Dipakai ( = 19428,75 kg (menentukan) Jumlah baut yang dibutuhkan:

n = = = 10,67 ≈ 12 baut (dua baris @ 6 baut) Kontrol jarak baut

Jarak ke tepi = 1,5 dbs.d (4tp+100 mm) atau 200 mm = 3 cm s.d 16,4 cm

Jarak antar baut = 3 db s.d 15 tp atau 200 mm = 6 cm s.d 20 cm

3. Kontrol Kekuatan Siku Penyambung

Siku direncanakan menggunakan 150x150x16, ASTM A36 fu = 4000 kg/cm2 dan fy = 2500 kg/cm2

= 20 mm + 1,5 mm (lubang dibuat dengan bor) = 21,5 mm

Anv = Lnv.t = (L-n. ). t

= (24-(2.x2,15)).(1,6) = 31,52 cm2


(69)

Kontrol terhadap leleh 0,9.Ag.Fy.2 ≥ Vu

0,9.(24 x 1,6). (2500).(2) ≥ 103675,8 kg 172800 kg ≥ 103675,8 kg ... (OK) Kontrol terhadap patah

0,75.An.fu.2 ≥ Vu 0,75.(Ag- Σd’. tw)

0,75.((24x16) – 2 (2+0,15).1,6).(4000).(2) ≥ 103675,8 kg 252160 kg ≥ 103675,8 kg ... (OK)

4. Kontrol Kekuatan Sambungan Sayap – Profil T

• Pada bidang geser baut tidak ada ulir (r1 = 0,5)

• Mutu profil ASTM A36 (tegangan leleh fy = 250 Mpa = 2500 kg/cm2 dan kekuatan tarik fu = 400 MPa = 4000 kg/cm2)

• Baut tipe A325, D = 30 mm

fub = 825 Mpa = 8250 kg/cm2 Ag = 7,07 cm2

Gaya tarik akibat momen

2T = = =529860 kg T = 264930 kg

Kekuatan rencana baut (B) Kuat geser ( ):

B = 0,75.fu.(0,75.Ab).n = 0,75.(8250).(0,75x7,07) 2


(70)

= 65618,44 kg < 264930 kg

Kuat tarik 1 baut (B) = = 32809,22 kg

Untuk mengatasi maka dipakai potongan profil WF 400x200x8x13 yang dihubungkan ke bawah balok agar lengan kopel menjadi besar.

Lengan kopel = = 161,49 cm ≈165 cm Gaya kopel menjadi = = 64225,45 kg

Dengan menggunakan 4 baut dalam tarik pada sayap kolom dengan profil, beban terfaktor 1 baut adalah:

T = = 32112,72 kg < B = 32809,22 kg Kontrol tebal flens profil T

Direncanakan profil T 400x400x30x50 tw = 30 mm

tf = 50 mm bf = 417 mm r = 22 mm

c = r + = 22 + = 37 mm a + b = - c = .417-37 = 171,5 mm a = 100 mm (direncanakan)

b = - a= - 100 = 93,5 mm Menurut Kulak, Fisher dan Struik; a ≤ 1,25 b 100 ≤ 1,25. (93,5) = 116,88 mm ... (OK) a’ = a + ½ baut = 100 + 15 = 115 mm


(71)

b’ = b – ½ baut = 93,5 – 15 = 78,5 mm

δ = = = 0,37

β = = = 0,33

α = = = 0,33 >1

dipakai α = 1

Q = T = 32112,72 = 5920,11 kg

Gaya yang terjadi pada baut: B ≥ (T + Q)

65618,44 kg ≥ (32112,72 + 5920,11) kg 65618,44 kg ≥ 38032,83 kg

Maka tebal perlu sayap profil T

tf ≥

≥ 3,19 cm = 31,9 mm

Sehingga tf pada profil T 400x400x30x50 dapat dipakai.

5. Kontrol Kekuatan Badan Profil T dengan Flens Balok

• Pada bidang geser baut tidak ada ulir (r1 = 0,5)

• Mutu profil ASTM A36 (tegangan leleh fy = 250 Mpa = 2500 kg/cm2 dan kekuatan tarik fu = 400 MPa = 4000 kg/cm2)

• Baut tipe A325, D = 30 mm


(72)

Ag = 7,07 cm2

Pelat siku profil 150x150x16 Kuat geser ( ):

Fu.r1.Ab.m = 0,75.(8250).(0,5).(7,07).(1)

= 21872,8 kg Kuat tumpu ( ):

.2,4. Fu.db.tp = 0,75.(2,4).(4000).(3).(1,6)

= 34560 kg

Dipakai ( = 21872,8 kg (menentukan) Jumlah baut yang dibutuhkan:

n = = = 2,99 ≈ 4 baut Agar simetris dipasang 3 baut pada tiap sisi Kontrol jarak baut

Jarak ke tepi = 1,5 dbs.d (4tp+100 mm) atau 200 mm = 4,5 cm s.d 16,4 cm

Jarak antar baut = 3 db s.d 15 tp atau 200 mm = 9 cm s.d 20 cm

Kekuatan badan profil T

Dipakai baut 30 mm BJ 55 dengan fy = 4100 kg/cm2 dan fu= 5500kg/cm2 Ag = w. tw

= 16. (3) = 48 cm2

An = Ag – (Σd’. tw)


(73)

= 29,1 cm2 Kontrol terhadap leleh 2T ≤ 0,9. Ag.fy

2. 32112,72 ≤ 0,9.48.4100

64225,44 kg ≤ 177120 kg ... (OK) Kontrol terhadap patah

2T ≤ 0,9. An.fu

2. 32112,72 ≤ 0,9.29,1.5500

64225,44 kg ≤ 144045 kg ... (OK)

9.3 Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983 (PPBBI 1983)

Mutu profil baja untuk kolom dan balok ASTM A36 (tegangan leleh, fy = 250 Mpa dan kekuatan tarik, fu = 400 MPa)

Tegangan dasar profil, σ’profil = 166,67 MPa

Mutu baut (tegangan leleh, fy = 635 Mpa dan kekuatan tarik, fu = 825 MPa) Tegangan dasar baut, σ’baut = 423,33 Mpa

Propertis penampang adalah: Balok, WF 400.200

d = 400 mm bf = 200 mm

tf = 13 mm

tw = 8 mm

r = 16 mm

A = 84,10 cm2 Ix = 23.700 cm4 Iy = 1.740 cm4 ix = 16,8 cm iy = 4,54 cm


(74)

Zx = 1.190 cm3 Zy = 174 cm3 Kolom, WF 250.250

d = 248 mm bf = 249 mm

tf = 13 mm

tw = 8 mm

r = 16 mm A = 84,70 cm2

Ix = 9.930 cm4 Iy = 3.350 cm4 ix = 10,8 cm iy = 6,29 cm Zx = 801 cm3 Zy = 269 cm3

Tabel 4.4 Tabel Momen Maksimum dan Gaya Geser Maksimum pada Tiap Titik/Joint (PPBBI 1983)

Titik/Joint Momen Maksimum (kgm) Gaya Geser Maksimum (kg)

1 17059,02 13428,83

2 70532,4 40109,86

3 114552,5 59527,45

4 123557,3 -59527,5

5 18380,79 14470,7

6 78223,36 44966,34

7 126991 64935,63

8 132751,6 -64935,6

9 18380,79 14470,7

10 78224,14 44966,34

11 126991 64935,63

12 132751,6 -64935,6

13 17059,02 13428,83

14 70532,4 40110,52

15 114552,5 59527,45

16 123557,3 -59527,5

17 9927,38 7815,5

18 41038,92 23333,91

19 65373,46 33635,71

20 69169,39 -335635,7

21 11515,9 9066,64

22 48861,1 28054,24


(75)

24 81607,85 -40047,4

25 11515,9 9066,64

26 48861,1 28054,24

27 78581,62 40047,37

28 81607,85 -40047,4

29 9927,38 7815,55

30 41039,22 23333,91

31 65373,46 33635,71

32 69169,39 -33635,7

33 9927,38 -7815,55

34 -21334,8 -23333,8

35 -65373,5 -33635,7

36 -69169,4 33635,71

37 -11515,9 -9066,64

38 -48861,1 -28054,2

39 -78581,1 -40047,1

40 -81607,9 40047,37

41 -11515,9 -9066,64

42 -48861,1 -28054,2

43 -78581,1 -40047,1

44 -81607,9 40047,37

45 -9927,38 -7815,55

46 -41039,2 -23333,8

47 -65373,5 -33635,7

48 -69169,4 33635,71

49 -17059 -13428,8

50 -70533,9 -40110,5

51 -114550 -59527,5

52 -123555 59527,45

53 -18380,8 -14470,7

54 -78224,1 -44996,3

55 -126990 -64935,6

56 -132752 64935,63

57 -18380,8 -14470,7

58 -78224,1 -44996,3

59 -126991 -64935,6

60 -132752 64935,63

61 -17059 -13428,8

62 -70533,9 -40110,5

63 -114552 -59527,5


(76)

Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa momen paling besar ada pada titik/joint 56 dan pada titik/joint 60 yakni -132752 kgm dengan besar gaya geser yang bekerja sebesar 64935,63 kg. Sambungan direncanakan pada titik/joint 56.

9.3.1 Perencanaan Sambungan

Hubungan balok dengan pelat menggunakan sambungan las dan tidak dianalisa atau diperhitungkan dalam Tugas Akhir ini. Garis netral baut mutu tinggi berada di tengah kumpulan baut dikarenakan sudah diberi gaya pratarik

(protension) terlebih dahulu sehingga semua bidang kontak mengalami tekan.

Jumlah baut yang digunakan direncanakan 8 buah. Diameter baut yang digunakan adalah 30 mm.

fa = , M = -132752 kgm = -13275200 kgcm

Wa = b. h2

= (20).(40)2

= 5333,33 cm3

fa =

fa = 2489,10 kg/cm2

fD = , D = 64935,63 kg

Ab = ¼. π. d2


(77)

= 3,14 cm2

fD =

= 2585,02 kg/cm2

fN = , T min = 0,7. Fb = 0,7. (3,14). (4233,33) = 9304,13 kg

=

= 370,39 kg/cm2

fTS = , µ = 0,35 (keadaan permukaan bersih)

=

= 129,64 kg/cm2

fs = fD - fTS

= 2585,02 - 129,64

= 2455,38 kg/cm2

fi =

=

= 3678,93 kg/cm2≤ 4233,33 kg/cm2 P = Ab.fi


(78)

= 3,14. (3678,93)

= 11551,84 kg

Perhitungan gaya ungkit menggunakan persamaan 7

C =

ke =

=

= 0,32

= = 2,33

C =

=

=

= 0,08P + 0,04Fb

Karena pengaruh gaya ungkit maka gaya yang dipikul baut bertambah

T = C + P – Tmin

= 1,08P + 0,04Fb - Tmin


(79)

= 3,14. (4233,33)

= 13292,66 kg

T = 1,08. (11551,84) + 0,04. (13292,66) – (9304,13)

= 3703,56 kg

Kontrol Kekuatan Pelat Penyambung

s = 11 cm

tp = 3 cm

Wpl = . tp2.s

= . (3)2.11

= 16,5 cm3

Ap = s. tp

= 11. (3)

= 33 cm2

fm =

=

= 2100,33 kg/cm2


(80)

=

= 112,23 kg/cm2

fi =

=


(81)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 10.1Kesimpulan

Dari hasil perhitungan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 diperoleh:

Tahanan nominal baut:

• Kuat geser baut dengan 2 bidang geser, Vn = 19428,75 kg

• Kuat geser baut dengan 1 bidang geser, Vn = 9714,37 kg

• Kuat tumpu baut, Vn = 23040 kg Jumlah baut yang digunakan, n = 6 baut Diameter baut, = 20 mm

Tebal pelat penyambung, tp = 50 mm

2. Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja untuk Indonesia diperoleh:

Tegangan idiil baut, fi = 3678,93 kg/cm2≤ 4233,33 kg/cm2 Jumlah baut yang digunakan, n = 8 baut

Diameter baut, = 20 mm

Tegangan idiil pelat penyambung, fi = 2104,82 kg/cm2 ≤ 2400 kg/cm2


(82)

10.2Saran

1. Perlu dilakukan studi lebih mendalam untuk lebih mengetahui efisiensi sambungan balok dengan kolom, misalnya dengan menambah jumlah lantai dan tingggi tiap lantai serta zona gempa yang berbeda atau dengan menggunakan alat sambung yang lain (las dan baut mutu normal).

2. Mahasiswa perlu mempelajari perencanaan struktur baja berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 selaku peraturan terbaru di Indonesia.

3. Hendaknya perencanaan struktur baja berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 perlu dipelajari dalam perkuliahan struktur baja sehingga mahasiswa dapat mengikuti perkembangan peraturan yang telah ada di Indonesia.


(83)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI 03-1729-2002: Departemen Pekerjaan Umum

Anonim. 1984. Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) Cetakan ke II: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.

Arifwan, Dian Sukma. 2003. Analisis Sambungan Portal Baja Antara Balok dan Kolom dengan Menggunakan Sambungan Baut dan Las. Tugas Akhir

Medan: Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Barus, Sanci & Robert Panjaitan. Analisa Baut Mutu Tinggi serta Aplikasinya pada Hubungan Balok-Kolom. (online).

Gunawan, Rudy. 1987. Tabel Profil Konstruksi Baja.Yogyakarta: Penerbit Kanisius

KH, Sunggono V. 1995. Buku Teknik Sipil. Bandung: Penerbit Nova Moestopo, Muslinang. 2007. Beberapa Ketentuan Baru Mengenai Desain Struktur Baja Tahan Gempa. (online).

diakses 1 Juli 2011)

Panitia Teknik Bangunan dan Konstruksi. 2002. Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Sruktur Bangunan Gedung SNI 03-1276-2002. Bandung: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah


(84)

Pasaribu, Patar M. 1996. Konstruksi Baja Penyelesaian Soal- Soal dan Penjelasannya. Medan: Universitas HKBP Nommensen

Priniko, Dhana. Studi Perilaku Sambungan Balok-Kolom (Beam Column Joints) pada Sambungan Struktur Baja Profil dan Bangunan Struktur Kolom Komposit (SRC Column-Stell Beam) Akibat Beban Gempa. (online)

Oktober 2011)

Purwono, Rachmat. Perencanaan Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa Sesuai SNI-1726 dan SNI-2847 Terbaru. Surabaya: itspress

Salmon, Charles G. dan Jhon E. Jhonson. 1980. Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid I Edisi Kedua. Terjemahan oleh Wira. 1996. Jakarta: Penerbit Erlangga

Salmon, Charles G. dan Jhon E. Jhonson. 1980. Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid II Edisi Kedua. Terjemahan oleh Wira. 1995. Jakarta: Penerbit Erlangga

Sari, Ervina. 2003. Analisis Sambungan Balok dengan Kolom pada Portal Baja. Tesis. Medan: Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Setiawan, Agus. 2008. Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD (Berdasarkan SNI-03-1729-2002). Jakarta: Penerbit Erlangga


(1)

= 13292,66 kg

T = 1,08. (11551,84) + 0,04. (13292,66) – (9304,13)

= 3703,56 kg

Kontrol Kekuatan Pelat Penyambung

s = 11 cm

tp = 3 cm

Wpl = . tp2.s

= . (3)2.11

= 16,5 cm3

Ap = s. tp

= 11. (3)

= 33 cm2

fm =

=

= 2100,33 kg/cm2


(2)

=

= 112,23 kg/cm2

fi =

=


(3)

KESIMPULAN DAN SARAN

10.1Kesimpulan

Dari hasil perhitungan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 diperoleh:

Tahanan nominal baut:

• Kuat geser baut dengan 2 bidang geser, Vn = 19428,75 kg • Kuat geser baut dengan 1 bidang geser, Vn = 9714,37 kg • Kuat tumpu baut, Vn = 23040 kg

Jumlah baut yang digunakan, n = 6 baut Diameter baut, = 20 mm

Tebal pelat penyambung, tp = 50 mm

2. Berdasarkan Peraturan Perencanaan Bangunan Baja untuk Indonesia diperoleh:

Tegangan idiil baut, fi = 3678,93 kg/cm2≤ 4233,33 kg/cm2

Jumlah baut yang digunakan, n = 8 baut

Diameter baut, = 20 mm

Tegangan idiil pelat penyambung, fi = 2104,82 kg/cm2 ≤ 2400 kg/cm2


(4)

10.2Saran

1. Perlu dilakukan studi lebih mendalam untuk lebih mengetahui efisiensi sambungan balok dengan kolom, misalnya dengan menambah jumlah lantai dan tingggi tiap lantai serta zona gempa yang berbeda atau dengan menggunakan alat sambung yang lain (las dan baut mutu normal).

2. Mahasiswa perlu mempelajari perencanaan struktur baja berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 selaku peraturan terbaru di Indonesia.

3. Hendaknya perencanaan struktur baja berdasarkan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI-03-1729-2002 perlu dipelajari dalam perkuliahan struktur baja sehingga mahasiswa dapat mengikuti perkembangan peraturan yang telah ada di Indonesia.


(5)

Anonim. 2002. Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI 03-1729-2002: Departemen Pekerjaan Umum

Anonim. 1984. Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) Cetakan ke II: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.

Arifwan, Dian Sukma. 2003. Analisis Sambungan Portal Baja Antara Balok dan Kolom dengan Menggunakan Sambungan Baut dan Las. Tugas Akhir Medan: Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Barus, Sanci & Robert Panjaitan. Analisa Baut Mutu Tinggi serta Aplikasinya pada Hubungan Balok-Kolom. (online).

Gunawan, Rudy. 1987. Tabel Profil Konstruksi Baja.Yogyakarta: Penerbit Kanisius

KH, Sunggono V. 1995. Buku Teknik Sipil. Bandung: Penerbit Nova Moestopo, Muslinang. 2007. Beberapa Ketentuan Baru Mengenai Desain Struktur Baja Tahan Gempa. (online).

diakses 1 Juli 2011)

Panitia Teknik Bangunan dan Konstruksi. 2002. Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Sruktur Bangunan Gedung SNI 03-1276-2002. Bandung: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah


(6)

Pasaribu, Patar M. 1996. Konstruksi Baja Penyelesaian Soal- Soal dan Penjelasannya. Medan: Universitas HKBP Nommensen

Priniko, Dhana. Studi Perilaku Sambungan Balok-Kolom (Beam Column Joints) pada Sambungan Struktur Baja Profil dan Bangunan Struktur Kolom Komposit (SRC Column-Stell Beam) Akibat Beban Gempa. (online)

Oktober 2011)

Purwono, Rachmat. Perencanaan Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa Sesuai SNI-1726 dan SNI-2847 Terbaru. Surabaya: itspress

Salmon, Charles G. dan Jhon E. Jhonson. 1980. Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid I Edisi Kedua. Terjemahan oleh Wira. 1996. Jakarta: Penerbit Erlangga

Salmon, Charles G. dan Jhon E. Jhonson. 1980. Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid II Edisi Kedua. Terjemahan oleh Wira. 1995. Jakarta: Penerbit Erlangga

Sari, Ervina. 2003. Analisis Sambungan Balok dengan Kolom pada Portal Baja. Tesis. Medan: Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Setiawan, Agus. 2008. Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD (Berdasarkan SNI-03-1729-2002). Jakarta: Penerbit Erlangga