Analisa Kekakuan Sambungan Pada Konsole Dengan Baut Mutu Tinggi dibandingkan dengan Baut Mutu Biasa pada Struktur Baja

(1)

ANALISA KEKAKUAN SAMBUNGAN PADA KONSOLE

DENGAN BAUT MUTU TINGGI DIBANDINGKAN

DENGAN BAUT MUTU BIASA PADA STRUKTUR BAJA

THESIS

BUDI FLORIANTA TARIGAN

097016004/TS

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISA KEKAKUAN SAMBUNGAN PADA KONSOLE

DENGAN BAUT MUTU TINGGI DIBANDINGKAN

DENGAN BAUT MUTU BIASA PADA STRUKTUR BAJA

TESIS

Oleh

BUDI FLORIANTA TARIGAN

097016004/TS

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ANALISA KEKAKUAN SAMBUNGAN PADA KONSOLE

DENGAN BAUT MUTU TINGGI DIBANDINGKAN

DENGAN BAUT MUTU BIASA PADA STRUKTUR BAJA

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Sipil

pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

BUDI FLORIANTA TARIGAN

097016004/TS

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

Judul : Analisa Kekakuan Sambungan Pada Konsole Dengan Baut Mutu Tinggi dibandingkan dengan Baut Mutu Biasa pada Struktur Baja

Nama : Budi Florianta Tarigan

NIM : 097016004

Program Studi : Magister Teknik Sipil

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan)

Ketua Anggota

(Ir. Sanci Barus, M.T)

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Teknik

(Prof. Dr .Ir. Roesyanto, MSCE) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)


(5)

Telah diuji pada

Pada tanggal 09 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan Anggota : 1. Ir. Sanci Barus, MT

2. Prof. Dr. Ir. Bachrian Lubis, M.Sc 3. Dr. Ing. Hotma Panggabean 4. Ir. Daniel Rumbi Teruna, MT


(6)

Daftar Riwayat Hidup

A. Data Pribadi:

Nama : Budi F Tarigan

Tempat /Tgl Lahir : Medan, 17 Desember 1980

Alamat : Jl. Pembangunan No 56 Kampus USU

Agama : Khatolik

Anak ke- : Satu Jenis Kelamin : Laki-Laki

B. Riwayat Pendidikan:

- TK Methodhist I Medan 1986 – 1987

- SD Methodhist I Medan 1987 – 1993

- SMP Putri Cahaya Medan 1993 – 1996

- SMU Negeri 3 Medan 1996 – 1999

- Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil USU 1999 – 2005 - Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik USU 2009 – 2013

C. Riwayat Pekerjaan:

- Sebagai Tentor Matematika pada BT/BS Medica 2004 – 2005 - Sebagai Pengawas Lapangan pada CV KOKOH 2005 – 2006 - Sebagai Supervisor Construction Civil Work and 2006 – 2009 Mechanical Electrical pada PT. Nokia Seimens

- Sebagai Pengawas Lapangan pada 2011 - skrng PT.Timur Raya Persada


(7)

Abstrak

Dalam suatu perencanaan struktur baja, maka untuk merangkai elemen demi elemen menjadi sebuah struktur rangka batang atau rangka Portal, maka dalam mempersatukan elemen demi elemen itu akan dihubungkan oleh suatu sistem sambungan.

Dimana sambungan terdiri dari berbagai sistem perhitungan yang selanjutnya membuat sambungan harus mampu memikul dan memindahkan gaya gaya yang bekerja beserta gaya skunder yang ditimbulkannya.

Sambungan terdiri dari tiga type dalam sistem sambungan baja yaitu, sambungan sendi, sambungan semi rigid, dan sambungan rigid. Kajian tentang rigid nya suatu sambungan ditentukan pula oleh besaran sudut yang terjadi apabila bekerja gaya Momen, yang menyebabkan terjadinya perputaran sudut.

Didalam tulisan ini dibahas tentang sambungan type semi rigid yang pada Penelitian hanya bagian Flens Balok Cantilever saja yang disambungkan ke Flens Kolom Kaku. Selanjutnya dilakukan Ekspriment dengan modul yang telah direncanakan sebelumnya lalu dilakukan percobaan pembebanan.

Lalu hasil percobaan akan menghasilkan Out Put perpindahan yang dikonversi menjadi sudut. Dimana menurut Metode Kekakuan (Stiffnes Method), Gaya Momen = Kekakuan x Perputaran Sudut, sehingga diperoleh besaran kekakuan sambungannya yang dibandingkan dengan kekakuan dari balok cantilever sebesar EI/L. Juga divalidasi dengan perhitungan kekakuan sambungan secara teori. Maka selanjutnya diperoleh hasilnya, yaitu kekakuan dari modul balok cantilever tersebut. Kata kunci: sambungan, semirigid, perputaran sudut, kekakuan


(8)

Abstract

In a steel structural design then to assemble the elements for the sake of elements into a truss or frame Portal

Where the connection

, then the unifying element for the element that will be linked by a connection system.

is composed of a variety of systems to make further calculations must be able to assume a connection and transfer the forces acting style with secondary styles caused.

Consists of three types of connections in the steel connection system, the connection joints, semi-rigid connections and rigid connection. A study of its rigid connection angle is also determined by the amount of work that occurs when the force moment, which caused the rotation angle.

This is discussed in the article about the semi-rigid connection type in only part Flanged Research Cantilever beams are connected to the column flange rigid. Ekspriment then performed with modules that have been pre-planned and carried out the experiment of loading.

Then the results of the experiment would result in the displacement of Out Put converted into a corner. Where according Stiffness Method, Style Moments = Stiffness x Velocity Angle, in order to obtain the amount of stiffness compared to the stiffness of the joints of the cantilever beam for EI / L. Also validated by the calculation of the theoretical connection stiffness. We then obtain the result, that’s

the stiffness of the cantilever beam modules.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas karunia dan rahmat-Nya lah berupa kemampuan untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan tesis ini dengan baik. Tesis ini merupakan hasil penelitian di lapangan untuk memenuhi persyaratan akhir program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dalam memperoleh gelar Magister Teknik pada Program Studi Magister Teknik Sipil.

Keberhasilan penulisan tesis ini adalah berkat arahan dan petunjuk dari berbagai pihak yang berperan dalam mendukung terlaksananya, mulai dari penempahan benda uji sampai pada penelitian di lapangan hingga sampai pada penulisan thesis ini, terutama pada komisi pembimbing.

Penulis dapat menyelesaikan tesis ini berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam–dalamnya kepada Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M), Sp.A.(K.) sebagai Rektor USU. Bapak Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME., sebagai Dekan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Bapak Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Bapak Ir. Rudi Iskandar, MT selaku Sekretaris Program Studi pasca Sarjana Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Bapak Dr. Ing. Johanes Tarigan, sebagai Ketua Pembimbing yang banyak memberikan bantuan dan masukannya dalam menyelesaikan tesis ini. Bapak Ir. Sanci Barus, MT, sebagai Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu dan mencurahkan waktu dan pemikirannya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan. Bapak–Bapak Dosen/Staf Pengajar program studi Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Kepada orang tua saya dan istri saya tercinta yang banyak memberikan perhatian dan dukungannya sehingga penulisan Tesis ini dapat terselesaikan. Teman-teman yang juga banyak memberikan masukan dan dukungannya dalam menyelesaikan Tesis ini. Kepada semua pihak yang tindak dapat disebutkan namanya satu persatu.


(10)

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna disebabkan keterbatasan pengetahuan, pengalaman, serta referensi penulis yang miliki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan Tesis ini di masa–masa yang akan datang.

Medan, Juli 2013 Penulis

097016004 Budi F Tarigan


(11)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisa Kekakuan Sambungan Pada Konsole Dengan Baut Mutu Tinggi Dibandingkan Dengan Baut Mutu Biasa Pada Struktur Baja” adalah karya saya dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada peguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis ini dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2013

Budi Florianta Tarigan NIM. 097016004


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR NOTASI xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Pembatasan Masalah 4

1.5 Metodologi Penulisan 4

1.6 Sistematika Penulisan 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Baja Secara Umum 6

2.1.1 Sifat Bahan Baja 7

2.2 Teori Sambungan Baut 10


(13)

2.3.1 Sambungan Sederhana 11 2.3.2 Sambungan Semi Kaku 11

2.3.3 Sambungan Kaku 11

2.4 Sambungan Pelat Rata 12

2.5 Alat Penyambung 14

2.5.1 Alat Penyambung Baut 14

2.5.1.1 Baut Mutu Biasa 15

2.5.1.2 Baut Mutu Tinggi 16

2.6 Perincian Baut Mutu Tinggi dan Prosedure Kemasan 19 2.7 Beban Leleh dan Penarikan Baut 21 2.8 Teknik Pemasangan Baut Mutu Tinggi 22 2.9 Kekuatan dan Prilaku Baut Mutu Tinggi 25

BAB III PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Persiapan Bahan dan Peralatan 29

3.2 Pemeriksaan Material 29

3.3 Metode Pengujian 30

3.4 Perhitungan Analisa Sambungan Balok Kolom 35

3.5 Kontrol Siku Penyambung 36

3.6 Sambungan Semi Rigid 37

BAB IV HASIL PENGUJIAN DAN ANALISA DATA

4.1 Hasil Pengujian 40

4.2 Menghitung Besaran Kekakuan Sambungan 53


(14)

4.4 Aplikasi Perhitungan Kekakuan Sambungan 57

4.5 Pembahasan Kekakuan Sambungan 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 62

5.2 Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN 65


(15)

Daftar Gambar

Nomor Judul Gambar Halaman

1.1 Sambungan Balok Konsole 3

2.1 Diagram Stress – Strain berbagai jenis baja 7

2.2 Kurva tegangan – regangan pada suhu kamar 8

2.3 Kurva tegangan leleh 9

2.4 Jenis sambungan berdasarkan kekakuaannya 12

2.5a Sambungan Lap joint 12

2.5b Pembengkokan pelat pada sambungan Lap Joint 13

2.6a Sambungan dengan pelat penyambung tunggal 13

2.6b Pembengkokan pelat sambungan dengan pelat penyambung tunggal 13

2.7 Sambungan dengan pelat penyambung tunggal 14

2.8 Jenis – jenis sambungan baut 15

2.9 Type alat penyambung 17

2.10 Dimensi Penentu untuk baut mutu tinggi A325 dan A490 20

2.11 Hubungan tipikal untuk beban dan rotasi mur pada baut A325 dan A490 21

2.12 Hubungan tegangan dan regangan 24

2.13 Pemindahan beban pada sambungan baut mutu tinggi 27

2.14 Kehancuran pada sambungan baut 28


(16)

3.2 Tampak Samping Bahan dan Alat Pengujian 31

3.3 Detail Profil Siku I 32

3.4 Detail Profil Siku II 32

3.5 Alat Sambung Baut 33

3.6 Posisi Dial Gauge 34

4.1 Posisi Dial Gauge Percobaan I 41

4.2 Foto Posisi Dial Gauge 41

4.3 Deformasi Balok Percobaan I 42

4.4 Deformasi plat siku bagian bawah Percobaan I 43

4.5 Deformasi plat siku bagian atas Percobaan I 43

4.6 Posisi Dial Gauge Percobaan II 44

4.7 Foto Posisi Dial Gauge Percobaan II 44

4.8 Deformasi Balok Percobaan II 45

4.9 Deformasi plat siku bagian bawah Percobaan II 46

4.10 Deformasi plat siku bagian atas Percobaan II 46

4.11 Posisi Dial Gauge Percobaan II 47

4.12 Foto Posisi Dial Gauge Percobaan II 47

4.13 Deformasi Balok Percobaan III 48

4.14 Deformasi plat siku bagian bawah Percobaan III 49

4.15 Deformasi plat siku bagian atas Percobaan III 49

4.16 Posisi Dial Gauge Percobaan IV 50


(17)

4.18 Deformasi Balok Percobaan IV 51

4.19 Deformasi plat siku bagian bawah Percobaan IV 52


(18)

Daftar Tabel

Nomor Judul Tabel Halaman

2.1 Sifat – sifat baut 18

2.2 Dimensi baut mutu tinggi A325 dan A490 19

2.3 Tarikan baut minimum 23

2.4 Rotasi mur dari titik erat 25

4.1 Hasil Percobaan baut mutu biasa dengan siku 50x50x5 42

4.2 Hasil Percobaan baut mutu tinggi dengan siku 50x50x5 45

4.3 Hasil Percobaan baut mutu biasa dengan siku 60x60x6 48

4.4 Hasil Percobaan baut mutu tinggi dengan siku 60x60x6 51

4.5 Perhitungan Kekakuan Sambungan Percobaan I 54

4.6 Perhitungan Kekakuan Sambungan Percobaan II 55

4.7 Perhitungan Kekakuan Sambungan Percobaan III 55


(19)

Daftar Notasi

Ab : luas penampang melintang baut, mm2

d : diameter baut, mm

E : modulus elastisitas, Mpa

G : modulus geser, Mpa

Eb : modulus elastisitas baut, kg/cm2

Ep : modulus elastisitas pelat, kg/cm2

Tt : tebal pelat penyambung, mm

Sp : jarak antar baut, mm

Lp : panjang baut, mm

Fb : gaya tarik pikul baut, kN

b

f : tegangan ijin baut, kg/cm2

p

f : tegangan ijin pelat, kg/cm2

C : gaya ungkit, kg

Tmin : gaya tarik baut minimum, kg

µ : koefisien gesek

Δ : defleksi, mm Rki : kekakuan, kg cm

Φr : perpindahan M : gaya, kg m


(20)

Daftar Lampiran

Nomor Judul Halaman

1 Hasil Uji Tarik Plat di Laboratorium Politeknik Negeri Medan 64


(21)

Abstrak

Dalam suatu perencanaan struktur baja, maka untuk merangkai elemen demi elemen menjadi sebuah struktur rangka batang atau rangka Portal, maka dalam mempersatukan elemen demi elemen itu akan dihubungkan oleh suatu sistem sambungan.

Dimana sambungan terdiri dari berbagai sistem perhitungan yang selanjutnya membuat sambungan harus mampu memikul dan memindahkan gaya gaya yang bekerja beserta gaya skunder yang ditimbulkannya.

Sambungan terdiri dari tiga type dalam sistem sambungan baja yaitu, sambungan sendi, sambungan semi rigid, dan sambungan rigid. Kajian tentang rigid nya suatu sambungan ditentukan pula oleh besaran sudut yang terjadi apabila bekerja gaya Momen, yang menyebabkan terjadinya perputaran sudut.

Didalam tulisan ini dibahas tentang sambungan type semi rigid yang pada Penelitian hanya bagian Flens Balok Cantilever saja yang disambungkan ke Flens Kolom Kaku. Selanjutnya dilakukan Ekspriment dengan modul yang telah direncanakan sebelumnya lalu dilakukan percobaan pembebanan.

Lalu hasil percobaan akan menghasilkan Out Put perpindahan yang dikonversi menjadi sudut. Dimana menurut Metode Kekakuan (Stiffnes Method), Gaya Momen = Kekakuan x Perputaran Sudut, sehingga diperoleh besaran kekakuan sambungannya yang dibandingkan dengan kekakuan dari balok cantilever sebesar EI/L. Juga divalidasi dengan perhitungan kekakuan sambungan secara teori. Maka selanjutnya diperoleh hasilnya, yaitu kekakuan dari modul balok cantilever tersebut.


(22)

Abstract

In a steel structural design then to assemble the elements for the sake of elements into a truss or frame Portal

Where the connection

, then the unifying element for the element that will be linked by a connection system.

is composed of a variety of systems to make further calculations must be able to assume a connection and transfer the forces acting style with secondary styles caused.

Consists of three types of connections in the steel connection system, the connection joints, semi-rigid connections and rigid connection. A study of its rigid connection angle is also determined by the amount of work that occurs when the force moment, which caused the rotation angle.

This is discussed in the article about the semi-rigid connection type in only part Flanged Research Cantilever beams are connected to the column flange rigid. Ekspriment then performed with modules that have been pre-planned and carried out the experiment of loading.

Then the results of the experiment would result in the displacement of Out Put converted into a corner. Where according Stiffness Method, Style Moments = Stiffness x Velocity Angle, in order to obtain the amount of stiffness compared to the stiffness of the joints of the cantilever beam for EI / L. Also validated by the calculation of the theoretical connection stiffness. We then obtain the result, that’s the stiffness of the cantilever beam modules.


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maraknya perkembangan dunia rancang bangun akhir–akhir ini mengakibatkan perencanaan semakin selektif dalam memilih jenis konstruksi yang akan digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh desain seaman mungkin tanpa menghiraukan ekonomis dari struktur itu sendiri. Demikian halnya untuk pekerjaan suatu sambungan konstruksi, sambungan harus didimensi sesuai syarat yang telah ditentukan. Dimana sambungan tidak boleh mengalami perubahan bentuk yang permanen dan kelemahan bahan. Sehingga tidak terjadi pemindahan tegangan yang diperkenankan pada konstruksi itu sendiri.

Setiap struktur adalah gabungan dari bagian–bagian tersendiri atau batang-batang yang harus disambung bersama (biasanya diujung batang-batang) dengan beberapa cara. Kekuatan alat sambungan sekurang-kurangnya harus sama kuat dengan konstruksi yang disambung, hal ini dimaksudkan agar pada suatu keadaan batas, kehancuran yang terjadi bukan pada alat sambung melainkan pada konstruksi yang disambung. Sehingga konstruksi dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin.

Perencanaan sambungan pada struktur baja biasanya lebih rumit dibandingkan dengan perencanaan sambungan pada struktur beton. Sambungan balok dan kolom pada konstruksi beton direncanakan monolit (menyatu kaku) sehingga asumsi yang menyatakan sambungan jepit sempurna dapat diterima.

Khususnya untuk sambungan pada konstruksi baja, sambungan adalah tidak monolit, karena pertemuan antara balok–kolom tidak merupakan satu kesatuan. Jenis–jenis sambungan pada konstruksi baja dan juga jenis–jenis alat penyambungnya


(24)

sangat mempengaruhi kekakuan dari sambungan balok–kolom, sehingga asumsi yang menyatakan bahwa pertemuan balok kolom adalah jepit sempurna harus ditiliti.

Pada perencanaan sambungan baja, banyak hal–hal yang belum diketahui secara jelas, sehingga digunakan asumsi–asumsi untuk menyederhanakan penganalisaan dari sambungan baja tersebut. Dengan asumsi–asumsi tersebut beserta percobaan di laboratorium dibuat rumus–rumus standart yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan di lapangan. Bagaimanapun efisiensi atau ketelitian suatu elemen struktur dasar didesain, bila hubungan yang diperlukan tidak memadai, akibatnya dapat sangat membahayakan, misalnya berupa keruntuhan total strukturnya. Pentingnya hubungan yang memadai secara struktural dan ekonomis tidak dapat dimungkiri.

Baja merupakan salah satu bahan yang dipakai dalam perencanaan struktur yang mempunyai sifat sifat penting yaitu homogen, isotropic dan daktalitas tinggi, selain itu yang menjadi syarat utama dalam perencaaan struktur baja adalah kekuatan, kestabilan dan kekakuan.

Jenis alat sambung yang umum digunakan pada konstruksi baja adalah sambungan dengan menggunakan alat sambung seperti paku keling, baut, pin, dan las. Masing–masing dari jenis alat sambung ini mempunyai karakteristik dan keistimewaan yang berbeda. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan masing–masing alat sambung tersebut, maka penulis ingin menganalisa perihal sambungan dengan alat sambung baut mutu tinggi dan mutu biasa. Serta dalam thesis ini akan dibahas pengaruh kekakuan sambungan dengan menggunakan baut mutu tinggi pada konsole yang dibandingkan dengan baut mutu biasa pada konstruksi baja.

1.2 Perumusan Masalah

Pada pekerjaan desain suatu bangunan khususnya bangunan rangka batang kekakuan pada sambungan tidak diperhitungkan meskipun sambungan memberikan


(25)

sumbangan kekakuan lain. Untuk itu akan diperhitungkan kekakuan pada sambungan yang menghasilkan prilaku sambungan lebih mendekati pada keadaan yang sebenarnya maka dalam thesis ini akan dianalisis bagaimana pengaruh kekakuan dengan menggunakan baut mutu tinggi dan mutu biasa.

Sambungan yang ditinjau adalah suatu jenis sambungan yang menahan momen yang bekerja pada ujung dari batang pada konstruksi baja. Sambungan ini merupakan jenis sambungan sederhana yang menahan momen, yang terdiri dari dua buah baja siku yang diletakkan diatas sebagai penahan tarik dan dibawah sebagai dudukan. Alat yang dipakai sebagai penyambung adalah baut. Sambungan ini tidak cukup kaku untuk menahan adanya rotasi/perputaran sudut diantara bagian – bagian yang disambung. Dari perbandingan antara momen dan perputaran sudut yang terjadi akan didapat kekakuan sambungan tersebut dalam masalah ini perencanaan masih dalam batas elastis bahan. model yang akan dianalisa dalam thesis ini terlihat dalam gambar 1.1.

Gambar I.1 Sambungan Balok Konsole

Dari model tersebut maka dihitung kekakuan struktur yang sebenarnya akibat adanya sambungan dengan baut mutu tinggi dibandingkan dengan baut mutu biasa.


(26)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari analisa kekakuan sambungan adalah membandingkan kekakuan struktur dengan baut mutu tinggi dan mutu biasa. Selama ini dalam analisa struktur , kita umumnya tidak memasukkan harga dari kekakuan sambungan kedalam kekakuan struktur. Disini dilihat sejauh mana kekakuan sambungan itu berpengaruh terhadap kekakuan struktur, sehingga kita dapat menilai apakah perhitungan selama ini mendekati yang sebenarnya.

1.4 Pembatasan Masalah

Karena luasnya ruang lingkup masalah yang timbul dari keterbatasan alat uji, maka perlu dibuat pembatasan masalah yang akan dibahas, sebagai berikut:

1. Beban yang bekerja adalah beban terpusat 2. Alat sambung baut mutu tinggi dan mutu biasa

3. Sambungan yang dibahas adalah sambungan pada konsole 4. Perhitungan masih dalam batas elastis

5. Percobaan dilakukan sampai sambungan beruah bentuk

6. Kolom diperkaku sehingga tidak terjadi robahan bentuk pada badan dan sayap kolom

7. Agar beban rencana mampu memberikan rubahan bentuk pada sambungan, direncanakan balok dari propil IWF

1.5 Metodologi Penulisan

Metode yang digunakan adalah dengan metode litaratur dan metode pengujian (eksprimental) di laboratorium. Metode Literatur bertujuan untuk mengadakan studi kepustakaan dari berbagai sumber seperti buku-buku, jurnal-jurnal lainnya yang berhubungan dengan perencanaa sambungan yang menggunakan alat sambung baut pada konstruksi baja. Dan juga untuk mengetahui dan mendapatkan spesifikasi


(27)

maupun peraturan-peraturan atau syarat-syarat dari konstruksi baja yang dikeluarkan Pemerintah.

Untuk membuktikan dan menjawab permasalahan diatas dilakukan suatu penelitian langsung di laboratorium dengan proses sebagai berikut:

a. Persiapan/pemeriksaan tegangan bahan

Langkah ini bertujuan untuk pemeriksaan tegangan yang diijinkan untuk bahan seperti pelat IWF, pelat siku penyambung, dan alat sambung baut. Hal ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar tegangan yang sesungguhnya untuk keperluan perhitungan.

b. Pembuatan benda uji beserta dudukan

Dalam pengujiannya, benda uji diletakkan dalam suatu coran ready mix dengan karakteristik beton K-225 agar benda uji benar-benar kokoh dan tidak terjadi perubahan bentuk saat balok konsole diberi beban, dimana benda uji ini dikerjakan dan dibuat di lokasi proyek.

c. Perencanaan/persiapan pengujian benda uji

Untuk pembuatan pelat penyambung, alat sambung baut dan untuk pengelasan juga dilakukan di lokasi proyek. Jumlah sampel siku yang diambil dalam pengujian ini adalah sebanyak empat buah dengan dua ketebalan berbeda yaitu siku 50x50x5 dan siku 60x60x6. Pengujian empat buah benda uji ini dilaksanakan di lokasi proyek, Jl. Perintis Kemerdekaan.


(28)

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

BAB III : PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV : HASIL PENGUJIAN DAN ANALISA DATA


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Baja Secara Umum

Suatu struktur baja yang terdiri dari kumpulan batang–batang yang membutuhkan adanya sambungan–sambungan untuk mengikat satu batang dengan batang lainnya, sehingga memungkinkan beban untuk menyebar ke bagian lain dari struktur tersebut.

Sambungan dapat digolongkan menurut:

1. Jenis alat penyambung, seperti paku keling, baut, dan las. 2. Kekakuan geser sambungan yang dapat dibagi lagi menjadi:

a. Sambungan kaku, yang mengembangkan kapasitas momen penuh dari bagian konstruksi penghubung dan yang mempertahankan sudut yang relatif konstan diantara bagian–bagian yang disambung dibawah setiap rotasi sambungan.

b. Kerangka sederhana, tanpa terjadinya perpindahan momen diantara bagian–bagian yang disambung. Sebenarnya sejumlah kecil momen akan dikembangkan tetapi momen tersebut dapat diabaikan dalam perencanaan. Untuk balok, sambungan kerangka sederhana hanya melibatkan pemindahan gaya geser dikedua ujung balok.

c. Sambungan semi kaku, dengan kapasitas momen yang dipindahkan kurang dari kapasitas momen penuh dari bagian–bagian konstruksi yang disambungkan. Perencanaan sambungan ini mengharuskan kita untuk menganggap adanya sejumlah kapasitas momen yang sembarang.


(30)

2.1.1 Sifat Bahan Baja

Baja adalah suatu bahan yang mempunyai homogenitas yang tinggi, hasil campuran dari besi, zat arang, mangan, silicon dan tembaga. Kekutan baja tergantung dari besar kecilnya kadar karbon. Semakin besar kadar karbon semakin besar pula tegangan patah dan regangannya, tetapi akan mengurangi daktalitasnya. Untuk menjamin daktalitas minimum dari baja, maka persentase maksimum dari karbon, fosfor dan sulfur dibatasi. Pembatasan komposisi maksimum dari campuran tersebut adalah: 1.70 % zat karbon, 1.65 % zat mangaan, 0.60 % tembaga. Berdasarkan persentase zat arang yang dikandung, baja dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Baja dengan persentase zat karbon rendah (< 0.15 %) 2. Baja dengan persentase zat karbon ringan (0.15 % - 0.29 %) 3. Baja dengan persentase zat karbon sedang (0.30 % - 0.59 %) 4. Baja dengan persentase zat karbon tinggi (0.60 % - 1.70 %)

Baja untuk bahan struktur termasuk kedalam baja lunak, karena mempunyai daktalitas yang tinggi. Nilai modulus elastis dari bermacam–macam baja adalah sama, walaupun nilai batas lelehnya berbeda–beda. Modulus elastis ini diperoleh dari sudut kemiringan grafik tegangan–regangan. Hal ini ditunjukkan pada diagram di

bawah ini berdasarkan

hasil percobaan tarik dari

berbagai jenis mutu baja.

Strain

Fy


(31)

Gambar 2.1 Diagram Stress – Strain berbagai jenis Baja (Charles G Salmon,1986) Sama halnya dengan modulus geser (G), maka angka poison (µ) dan angka muai linier bermacam – macam baja juga sama besarnya.

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan untuk baja bangunan diperoleh nilai konstanta sebagai berikut:

Modulus Elastis : E = 2.10 * 105 Modulus Geser : G = 0.81 * 10

MPa 5

Angka poison (µ) : µ = 0.30

MPa

Hubungan antara regangan dan tegangan baja dapat dilihat pada diagram berikut ini

O

E D

C B

A Fp

Fy Fu

Gambar 2.2 Kurva Tegangan-Regangan

Dari kurva dapat dilihat bahwa sampai titik A hubungan tegangan dan regangan masih bersifat linear, atau masih mengikuti hukum Hooke. Titik A disebut juga titik proporsional, sedangkan titik B disebut dengan batas elastis. Sampai pada


(32)

batas ini bila gaya dikerjakan batang akan mengalami deformasi, dan apa bila gaya tersebut dihilangkan, maka batang tersebut akan kembali ke bentuk semula. Titik C disebut juga titik leleh atas. Bila beban yang bekerja ditambah atau dikurangkan, maka regangan akan bertambah tanpa adanya pertambahan tegangan sampai pada titik D, yaitu titik leleh bawah. Pada kondisi ini tegangan yang terjadi pada serat terluar tampang sudah mencapai tegangan leleh. Bila beban yang bekerja semakin bertambah maka batang baja akan mengalami perubahan bentuk yang besar sampai menunjukkan gejala keruntuhan, keadaan ini akan sampai pada puncaknya di titik E, yaitu titik tegangan batas.

Batang akan putus apabila beban bertambah terus. Tegangan batas pada baja akan tercapai pada saat regangan mencapai harga maksimum sebesar 20 %. Perlu diketahui bahwa batas elastis dan batas keseimbangan sulit ditentukan, dan oleh karena itu sebagai standart untuk menentukan besarnya tegangan didefenisikan sebagai tegangan yang menyebabkan regangan tetap sebesar 0.20 % (menurut Charles G. Salmon,1986). Dari titik C ditarik garis sejajar OB yang memotong grafik pada titik D. Dari titik D ditarik garis horizontal yang memotong sumbu tegangan. Tegangan yang diperoleh ini dinamakan tegangan leleh

0.004 0.002

OB

CD

D

B


(33)

Gambar 2.3 Kurva Tegangan Leleh [ Charles G Salmon,1986] 2.2 Teori Sambungan Baut

Pada struktur portal baja, sambungan berfungsi untuk menggabungkan profil-profil wals (giling) menjadi batang, kolom, balok dan bagian–bagian konstruksi lainnya serta menggabungkan bagian–bagian konstruksi tersebut menjadi satu kesatuan bangunan. Sambungan ini harus mampu menyalurkan gaya–gaya yang bekerja dari satu komponen ke komponen lainnya.

Kriteria dasar yang umum dalam perencaan sambungan, antara lain: 1. Kekuatan (strength)

Dari segi kekuatan, sambungan harus kuat menahan momen, gaya geser, gaya aksial yang dipindahkan dari elemen yang satu ke elemen yang lainnya beserta gaya skunder yang ditimbulkannya.

2. Kekakuan (stiffness)

Kekakuan sambungan secara menyeluruh sangatlah penting, antara lain untuk menjaga lokasi semua komponen struktur satu sama lain.

Menurut kekakuannya, sambungan dapat dibagi atas:

a. Sambungan Diffinitif, berarti tidak dapat dibuka lagi tanpa merusak alat– alat penyambungan.

b. Sambungan Tetap, berarti bagian–bagian yang disambung tidak dapat bergerak lagi.

c. Sambungan Sementara, berarti dapat dibuka lagi tanpa merusak alat-alat penyambungnya.

d. Sambungan Bergerak, berarti sambungan ini memungkinkan pergerakan yang dibutuhkan menurut perhitungan statis pada bagian–bagian yang disambung.


(34)

Sambungan harus cukup sederhana, biaya fabrikasi yang murah tapi memenuhi syarat cukup kuat dan mudah dalam pelaksaannya atau praktis. 2.3 Jenis – Jenis Sambungan

Menurut AISC, ada 3 (tiga) jenis dasar sambungan, yaitu: 1. Sambungan sederhana ( flexible connection)

2. Sambungan semi kaku (semi rigid connection) 3. Sambungan kaku (rigid connection)

2.3.1 Sambungan Sederhana (flexible connection)

Umumnya disebut rangka sederhana (tidak bisa menahan momen atau asumsi hubungan sendi), pada Gambar 2.4a. Pada sambungan ini, rotasi ujung batang relative besar, dengan perkataan lain derajat pengekangan ujung batang sangat kecil, kurang dari 20 % terhadap kapasitas yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut.

Sambungan ini bekerja untuk memindahkan gaya lintang ke batang lain, misalnya dari balok ke kolom. Sambungan ini tidak digunakan di dalam perencanaan plastis, hanya diterapkan dalam struktur yang direncanakan berdasarkan Simple Design Method, dimana dalam perhitungan dianggap sebagai tumpuan sendi.

2.3.2 Sambungan Semi Kaku (semi rigid connection)

Pada sambungan ini.. derajat pengekangan rotasi berkisar antara 20 % sampai 90 % dari kapasitas yang diperlukan untuk mencegah perubahan sudut. Sambungan ini diperguna kan untuk perencanaan berdasarkan Semi Rigid Design Methode. Tetapi karena besarnya derajat pengekangan rotasi sulit ditentukan, maka metode ini jarang dipakai (Gambar 2.4b)


(35)

Pada sambungan ini, sudut antara batang–batang yang disambung relatif tidak akan berubah, baik sebelum ataupun setelah pembebanan, sehingga pengekangan rotasi relatif besar, mencapai lebih dari 90 % dari yang diperlukan guna mencegah perubahan sudut. Sambungan ini sangat tepat digunakan pada perencanaan plastis berdasarkan Rigid Design Method (Gambar 2.4c)

02 01

02 01

02 01

(c) Rigid

(b) Semi Rigid (a) Sendi

Gambar 2.4 Jenis Sambungan berdasarkan kekakuannya [ Charles G Salmon,1986]

Rotasi yang dimaksud adalah perubahan sudut yang terjadi antara balok dan kolom dari kondisi aslinya, yang merupakan suatu ukuran putaran balok dan kolom. 2.4 Sambungan Pelat Rata

Ada terdapat dua macam sambungan pelat rata dalam konstruksi baja yaitu: 1. Lap Joint, adalah sambungan yang tidak menggunakan pelat penyambung


(36)

P

P

Gambar 2.5a. Sambungan Lap Joint [ Charles G Salmon,1986]

Gambar 2.5b. Pembengkokan Pelat pada Sambungan Lap Joint [ Charles G Salmon,1986]

Gaya–gaya pada sambungan (Gambar 2.5a) bekerja eksentris, akibatnya pelat–pelat yang disambung cenderung membengkok yang dapat memperlemah sambungan (Gambar 2.5b)

P


(37)

2. Butt Joint, adalah sambungan dengan menggunakan pelat penyambung. Sambungan ini dapat dibagi atas:

a. Sambungan dengan pelat penyambung tunggal

Akibat gaya pada sambungan bekerja eksentris maka sambungan cenderung membengkok

P

P

Gambar 2.6a. Sambungan dengan Pelat Penyambung Tunggal [ Charles G Salmon,1986]

P

P

Gambar 2.6b. Pembengkokan Pelat Sambungan dengan Pelat Penyambung Tunggal [ Charles G Salmon,1986]

b. Sambungan dengan pelat penyambung ganda

Karena sambungan simetris, maka momen sekunder yang timbul saling mentiadakan

P

P

Gambar 2.7a. Sambungan dengan Pelat Penyambung Tunggal [ Charles G Salmon,1986 ]


(38)

2.5 Alat Penyambung

Struktur baja adalah gabungan dari elemen–elemen tersendiri atau batang– batang yang disambung bersama (biasanya diujung batang) dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan pengelasan. Cara lainnya adalah dengan menggunakan alat penyambung seperti paku keling, baut biasa, baut HTB, baut sekrup. Dalam penulisan ini yang akan dibahas adalah alat penyambung baut biasa dan baut HTB. 2.5.1 Alat Penyambung Baut

Baut–baut dalam konstruksi baja tidak pernah mengisi lubang–lubangnya. Dalam hal ini pemindahan gaya dilakukan atau dengan gesekan–gesekan diantara pelat–pelat yang harus disambung atau kalau gaya–gaya itu besar baru sesudah pergeseran sedikit dari bagian baut, sampai batang–batang baut itu mendukung.

Berdasarkan gaya–gaya yang dipikul, terdapat jenis sambungan yang menggunakan baut sebagai alat penyambungnya, antara lain:

a. Sambungan dengan gaya lintang tunggal, dalam hal ini baut memikul satu irisan.

b. Sambungan dengan gaya lintang rangkap, baut memikul dua irisan. Kekuatan baut dua irisan dua kali daripada kekuatan baut satu irisan.

c. Tampang T yang digunakan sebagai batang gantung yang menimbulkan tegangan tarik pada baut.

P

P


(39)

Baut Memikul Satu Irisan

Baut Yang Dibebani

Baut Memikul Dua Irisan

Gambar 2.8. Jenis – Jenis Sambungan Baut

2.5.1.1 Alat Penyambung Baut Biasa

Baut ini dibuat dari baja karbon rendah yang diidentifikasikan oleh ASTM (American Society for Testing and Materials) sebagai A307, dan merupakan jenis baut yang paling murah. Namun baut ini belum tentu menghasilkan sambungan yang paling murah karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada suatu sambungan. Pemakaiannya terutama pada struktur ringan, batang sekunder atau pengaku, anjungan (platform), jalan laluan (catwalk), gording, rusuk dinding, rangka batang kecil dan lainnya yang bebannya kecil dan bersifat statis. Baut ini juga dipakai sebagai alat penyambung sementara pada sambungan yang menggunakan baut kekuatan tinggi, paku keling atau las.

Tegangan – tegangan yang diijinkan dalam menghitung kekuatan baut adalah sebagai berikut:

• Tegangan geser yang diijinkan :

τ- = 0.6 σ-

2.1

• Tegangan tarik yang diijinkan :

σ ta= 0.7 σ-

P

P


(40)

• Tegangan tumpu yang diijinkan :

σtu = 1.5 σ- , untuk 2d < S1 ≤ 3d 2.3

σ

tu = 1.2 σ- , untuk 1.5d ≤ S1 ≤ 2d 2.4 dimana:

s1 = jarak dari sumbu baut yang paling luar ke tepi bagian yang disambung d = diameter baut

σ = tegangan dasar, dimana persamaan (2.1) dan (2.2) menggunakan tegangan dasar dari bahan baut, sedangkan persamaan (2.3) dan (2.4) menggunakan tegangan dasar bahan yang disambung.

2.5.1.2 Alat Penyambung Baut Mutu Tinggi

Ada dua jenis baut mutu tinggi yang ditunjukkkan oleh ASTM sebagai A325 dan A490. Baut ini memiliki kepala segi enam yang tebal dan digunakan dengan mur segi enam yang setengah halus dan tebal seperti diperlihatkan pada Gambar 2.8.


(41)

Gambar 2.8 Type alat penyambung

Bagian ulirnya lebih pendek daripada bagian baut yang tidak struktural, dan dapat dipotong atau digiling. Baut A325 terbuat dari baja karbon sedang yang diberi perlakuan panas sekitar 558 sampai 634 MPa yang tergantung pada diameter. Baut A490

Diameter baut kekuatan tinggi berkisar antara ½ dan 1 ½ inchi. Diameter yang paling sering digunakan pada konstruksi gedung adalah ¾ sampai

juga diberi perlakuan panas tetapi dibuat dari baja paduan (alloy) dengan kekuatan leleh sekitar 793 samapai 896 MPa yang tergantung pada diameter baut.

7

/8 inchi, sedang ukuran yang paling umum digunakan dalam perencanaan jembatan adalah 7/8

Alat sambung baut mutu tinggi berkekuatan leleh minimal 372 MPa mampu mengatasi slip antara dua elemen baja yang disambung pada struktur rangka batang memikul gaya aksial.


(42)

Baut mutu tinggi harus diberi tegangan awal relative lebih besar dalam batas praktis dengan menggunakan prosedur putaran mur. Baut A325 paling banyak dipergunakan pada penyambungan struktur. Kekuatan alat sambung baut mutu tinggi ditentukan oleh dimensinya, type bautnya, kekuatan leleh (Tensile Strength), panjang ulir didalam elemen pelat dan putaran untuk tarik awal.

Tabel 2.1 Sifat-sifat Baut Identifikasi

ANSI/ASTM

Diameter Baut

Inci (mm)

Beban Leleh, a

Metode

Pengukuran b

Panjang,

ksi (MPa)

Beban Leleh, a

Metode Kekuatan c

Leleh, ksi (MPa) Kekuatan Tarik Minimum, ksi (MPa)

A307d, baja karbon

rendah Mutu A dan B

¼ sampai 4

(6,35 sampai 104)

- - 60

A325e, baja

berkekuatan tinggi

Tipe 1, 2, dan 3

Tipe 1, 2, dan 3

½ sampai 1

(12,7 sampai 25,4)

1 sampai 1

(28,6 sampai 38,1)

85 (585) 74 (510) 92 (635) 81 (560) 120 (825) 105 (725)

A449f, baja

berkekuatan tinggi

(Catatan:

Pemakaiannya dibatasi oleh AISC hanya untuk baut yang lebih besar dari 1½ inci serta untuk batang berulir dan baut angkur)

¼ sampai 1

(6,35 sampai 25,4)

1 sampai 1

(28,6 sampai 38,1)

1 sampai 3

(6,35 sampai 76,2)

85 (585) 74 (510) 55 (380) 92 (635) 81 (560) 58 (400) 120 (825) 105 (725) 90 (620)

A490g, baja paduan

yang diberi perlakuan panas

½ sampai1½

(12,7 sampai 38,1)

120 (825) 130 (895) 150 (1035)

Sumber: Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid I Edisi Kedua, Penerbit Erlangga,1997


(43)

Baut kekuatan tinggi dikencangkan untuk menimbulkan tegangan tarik yang ditetapkan pada baut sehingga terjadi gaya jepit pada sambungan. Oleh karena itu, pemindahan beban kerja yang sesungguhnya pada sambungan terjadi akibat adanya gesekan pada potongan yang disambung. Sambungan dengan baut mutu tinggi dapat direncanakan sebagai tipe gesek, bila daya tahan slip yang tinggi dikehendaki.

2.6 Perincian Baut Mutu Tinggi dan Prosedur Kemasannya

Baik baut A325 yang paling banyak dipakai, maupun baut A490

Tabel 2.2 Dimensi baut mutu tinggi A

yang kadang– kadang digunakan merupakan baut kepala segi enam yang tebal. Baut ini ditunjukkan dengan indentifikasi ASTM dan symbol pabrik yang ditulis dipuncak kepala baut. Keduanya memiliki mur segi enam tebal yang diberi tanda standar dan simbol pabrik pada salah satu mukanya.

325 dan A490

DIMENSI BAUT

[ Charles G Salmon,1986 ]

DIMENSI MUR

Diameter F H Pjg Ulir W H’

inc mm in mm in mm in mm in Mm in mm

½ 5 / ¾ 8 7 / 1 8 9 /8 5 /4 11 /8 3 / 12.7 2 15.9 19.1 22.2 25.4 28.6 31.8 34.9 38.1 7/ 8 17/ 16 5/ 4 23/ 16 13/ 8 29/ 2 16 35/ 16 19/ 22.2 8 27.0 31.8 36.5 41.3 46.0 50.8 55.6 60.3 5/ 16 25/ 64 15/ 32 35/ 64 39/ 64 11/ 16 25/ 32 27/ 32 15/ 7.9 16 9.9 11.9 13.9 15.5 17.5 19.8 21.4 23.8 1 5/ 4 11/ 8 3/ 2 7/ 2 4 2 6/ 4 6/ 25.4 4 31.8 34.9 38.1 44.5 50.8 50.8 38.1 38.1 7/ 8 17/ 16 5/ 4 23/ 16 13/ 8 29/ 2 16 35/ 16 19/ 22.2 8 27.0 31.8 36.5 41.3 46.0 50.8 55.6 60.3 31/ 64 39/ 64 47/ 64 55/ 64 63/ 64 71/ 64 39/ 32 43/ 32 47/ 12.3 32 15.5 18.7 21.8 25.0 28.2 31.0 34.1 37.3


(44)

Gambar 2.9 Dimensi penentu untuk baut mutu tinggi A325 dan A490 W H' H F Panjang Ulir Panjang Baut (b) (a) Baut A490 Baut A325 H H W W W (b) (a) 2 2H 3

Alternatif tanda mur "2", "D", "2H" atau "DH" Muka mur dapat berbentuk

cincin seperti pada (a) atau bercelah ganda seperti (b)

A 490

Simbol identifikasi pabrik

Simbol identifikasi pabrik hanya untuk "2H"

Muka mur dapat berbentuk cincin seperti pada (a) atau bercelah ganda seperti (b)

Tanda mur "2H" atau "DH" Simbol identifikasi pabrik hanya

untuk "2" dan "2H"

Mur tipe 3 yang ditandai dengan "3" dan tiga tanda sekeliling

Cincin tipe 3 yang ditandai dengan "3" atau tanda lain yang sesuai

3 Tanda baut Panjang Ulir Panjang baut H D D H Panjang baut

Panjang Ulir

Simbol identifikasi pabrik

TIPE 3 TIPE 2 TIPE 1

A 325 A 325


(45)

[ Charles G Salmon,1986 ] 2.7 Beban Leleh dan Penarikan Baut.

Syarat utama dalam pemasangan baut mutu tinggi ialah memberikan gaya pratarik yang memadai dan tidak menyebabkan kehancuran baut. Bahan baut menunjukkan tegangan – tegangan yang tidak memiliki titik leleh yang jelas.

Gambar 2.10 Hubungan tipikal untuk beban dan rotasi mur pada baut A325 dan A [ Charles G Salmon,1986 ]

490

Sebagai pengganti tegangan leleh, istilah beban leleh atau beban tarik awal akan digunakan untuk baut. Beban leleh adalah beban yang diperoleh dari perkalian luas tegangan tarik dan tegangan leleh yang ditentukan berdasarkan regangan tetap (offset strain) 0.2 % atau perpanjangan 0.5 % akibat beban. ASTM menyajikan tabel beban leleh untuk setiap diameter baut. Misalnya untuk baut berdiameter ½ sampai 1 inchi, harga dari metode regangan adalah 634 MPa dan harga dari pengukuran

Bol

t te

nsion, kN

Turns from snug

Bol t t ens ion, ki ps A325 1

8 in. thread in grip 7

8 x 5 12 in . bolts 1

2 turn from snug

Proof load A490 A490 Min. tension A325 Min. tension A490 300 250 200 150 100 50 7/4 3/2 5/4 1 3/4 1/2 1/4 70 60 50 40 30 20 10 0


(46)

panjang adalah 586 MPa. Tegangan beban leleh untuk baut A325 dan A490

2.8 Teknik Pemasangan Baut mutu Tinggi

masing– masing minimal sekitar 70 % samapai 80 % dari kekuatan tarikan maksimumnya.

Mekanisme slip kritis yang memungkinkan sistem sambungan baut tidak mengalami slip ketika dibebani adalah sangat penting sekali untuk menghindari terjadinya kegagalan akibat fatiq. Meskipun secara teori statik, suatu sambungan baut yang direncanakan terhadap mekanisme slip kritis juga harus direncanakan terhadap mekanisme tumpu, sehingga secara teori dapat diketahui bahwa ketika mekanisme slip kritis gagal, yaitu terjadi slip, maka sistem sambungan tidak langsung rusak karena kemudian dapat bekerja baut tersebut dalam mekanisme tumpu, tetapi jika kemudian tidak diberikan gaya pretensioned lagi pada baut tersebut maka dalam perjalanan waktu, struktur tersebut akhirnya dapat rusak karena fatiq tersebut. Jadi proses pemasangan baut agar menghasilkan gaya pretensioned baut adalah sesuatu yang sangat penting, bahkan vital bagi kelangsungan hidup jembatan tersebut. Metode apa saja yang dapat digunakan untuk pemasangan baut tersebut

Tiga teknik yang umum digunakan untuk memperoleh pratarik yang dibutuhkan adalah:

• Metode kunci yang dikalibrasi (calibrate wrench)

• Metode putaran mur (turn of the nut)

• Metode indicator tarikan langsung (direct tension inciator)

Metode kunci yang dikalibrasi dapat dilakukan dengan kunci puntir manual (kunci inggris) atau kunci otomatis yang diatur agar berhenti pada harga puntir yang ditetapkan. Variasi tarikan baut yang dihasilkan oleh satu puntiran dapat mencapai ± 30 % dengan variasi rata–rata sebesar ±10 %. Oleh karena itu, research council

menyarankan agar kunci yang dikalibrasi diatur untuk menimbulkan tarikan baut minimal 5% atas harga yang ditunjuk dalam Tabel 2.3.


(47)

Prinsip dasar dari pemasangan baut mutu tinggi yang akan dikerjakan dengan mekanisme slip-kritis, yaitu pada baut harus terjadi gaya pretensioned seperti yang tercantum pada AISC. Jika mau digunakan baut diameter 20, yaitu M20 maka pemasangan yang baik adalah jika setelah pemasangan pada baut mutu ASTM A325

Tabel 2.3 Tarikan baut minimum [ Charles G Salmon,1986 ] tersebut terdapat gaya pretensioned sebesar 142 kN.

Diameter Proof Load Proof Stress

inch mm Kips kN MPa

½ 5 / ¾ 8 7 / 1 8 12.7 15.9 19.1 22.2 25.4 12 19 28 39 51 53 85 125 173 227 418.6 429.7 441.1 446.2 448.2

Pada metode putaran mur, deformasi merupakan faktor kritis dengan batas keamanan yang diperlihatkan Gambar 2.10 . Secara umum masing–masing proses pemasangan memerlukan minimum 2 1/4

Diameter

putaran dari titik erat untuk mematahkan Proof Load Proof Stress

inch mm Kips kN MPa

9 /8 5 /4 11 /8 3 / 28.6 2 31.8 34.9 38.1 56 71 85 103 249 316 378 458 387.8 398.1 395.3 401.9


(48)

baut. Bila metode putaran mur digunakan dan baut ditarik secara bertahap dengan kelipatan 1/8

7

8 diam A325 bolt 1 Turn of nut

1 12 Turn of nut 1

2 Turn of nut

Min. Proof Load Min. Tensile strength

Bolt Elongation, in. Bolt Elongation, mm

B ol t t ens ion, ki ps B ol t te n sion, kN 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 300 200 100 60 50 40 30 20 10 8 7 6 5 4 3 2 1

putaran, baut biasanya akan patah setelah empat putaran dari titik erat.

Gambar 2.11 Hubungan tegangan dan regangan [ Charles G Salmon,1986 ] Secara teoritis cara turn-of-nut mudah dilakukan, dalam praktek karena sambungan berupa sampel yang relatif kecil dan terpisah, maka diperlukan suatu “platform khusus” yang berfungsi memegang kepala baut mutu tinggi agar tidak ikut berputar ketika mur / nut-nya dilakukan pengencangan ulang. Juga diperlukan lengan bantu pada kunci pas agar dapat dengan mudah dilakukan pengencangan ulang.

Metode indikator tarikan langsung adalah metode paling baru untuk menarik baut. Alat yang dipakai adalah cincin pengencang dengan sejumlah tonjolan pada salah satu murnya. Cincin dimasukkan diantara kepala baut dan bahan yang digenggam, dengan bagian tonjolan menumpu pada sisi bawah kepala baut sehingga terdapat celah akibat tonjolan tersebut. Pada saat baut dikencangkan, tonjolan– tonjolan tertekan dan mendesak sehingga akhirnya mengecil. Tarikan baut ditentukan


(49)

dengan mengukur lebar celah yang ada. Tarikan baut yang baik akan menghasilkan lebar celah sekitar 0,38 mm.

Tabel 2.4 Rotasi mur dari titik erat Panjang Baut (Bagian

bawah kepala baut sampai ujung baut)

Posisi permukaan luar bagian yang dibaut

Semua permukaan tegak lurus terhadap

sumbu baut

Satu permukaan tegak lurus terhadap

sumbu baut, dan lainnya miring

Semua permukaan miring

≤4d 2

/3 putaran 1/2 putaran 2/3 putaran

4d<1≤8d 1/2 putaran 2/3 putaran 5/6 putaran

8d<1≤12d 2/3 putaran 5/6 putaran 1 putaran

2.9 Kekuatan dan Prilaku Baut mutu Tinggi

Pada hampir semua sambungan struktural, baut harus dapat mencegah terjadinya gerakan material yang akan disambung dalam arah tegak lurus terhadap panjang baut. Pada kasus seperti ini baut disebut mengalami geser.

Kapasitas pikul beban atau kekuatan pikul desain sebuah baut yang mengalami geser tunggal sama dengan hasil kali antara luas penampang melintang tangkainya (shank) dan tegangan geser ijin:

Pgsr = Ab . τ Dimana:

b


(50)

Ab

τ

= luas penampang melintang baut

b

Untuk meninjau kekuatan baut, selain yang ditinjau baut itu sendiri juga perlu ditinjau kekuatan pelat disekitar lubang baut. Jika pelat tidak kuat maka lubang baut pada pelat akan berubah bentuk dari bundar menjadi oval. Pada bidang kontak antara baut dan pelat terjadi tegangan yang disebut sebagai tegangan tumpu.

= tegangan geser ijin baut

Ptp = d . t . τ Dimana:

tp

Ptp

d = diameter lubang = kekuatan tumpu

τtp

t = tebal pelat terkecil antara yang disambung dengan penyambungan = tegangan tumpu

Pada sambungan jenis tumpu dianggap bautnya mengalami geser dan beban yang disalurkan berdasarkan tahanana geser baut selain itu juga tumpu pada bagian– bagian yang disambung. Penyambungan jenis tumpu dapat didesain dengan ulir baut terletak di dalam atau diluar bidang geser. Ringkasnya baut–baut pada setiap jenis sambungan mengalami tarik dengan cara yang benar–benar sama, dan gaya tarik itu sama yaitu yang ditentukan oleh ukuran dan materialnya. Perbedaan yang ada hanya pada tegangan ijin yang digunakan dalam analisis atau desain.

Beban dipindahkan dari satu batang ke batang lainnya melalui sambungan antara batang tersebut. Karena tarikan awal pada baut mutu tinggi cukup besar sehingga gaya gesek yang timbul mampu memindahkan seluruh beban, maka desakan baut terhadap sisi lubang umumnya tidak terjadi pada kondisi beban kerja. Diagram


(51)

benda bebas untuk perpindahan beban pada sambungan baut kekuatan tinggi diperlihatkan pada Gambar 2.12

Perpindahan gaya geser dan profil ke penyambung sebagian besar melalui baut dan sebagian lagi melalui gesekan antara pelat (friction). Semakin kuat mur diputar maka semakin menyatu profil dengan pelat penyambung dan semakin besar pula gaya yang didistribusikan melalui gesekan pelat tersebut. Hal ini terjadi terutama pada baut mutu tinggi yang sanggup memberikan gaya tarik awal sehingga pelat menjadi sangat rapat.

P = T

= Koefisien Friksi

T = Tahanan friksi

T = gaya tarik

Free Body Pelat A

Free Body Pelat B Bagian Berulir

Pelat B Baut Mutu Tinggi Pelat A

P

P

P

P

Gambar 212 Pemindahan beban pada sambungan baut mutu tinggi [ Charles G Salmon,1986 ]


(52)

Bila gesekan sendiri mampu memindahkan beban, setiap alat penyambung itu menyalur beban yang sama besar (asalkan bahan dan ukurannya sama). Namun, jika beban sedemikian besar hingga tahanan gesek tidak mampu memindahkannya, maka tepi lubang akan mengalami desakan. Pada saat sambungan berada diambang kehancuran, gaya gesek tidak besar pengaruhnya terhadap ragam kehancuran (failure mode). Sebaliknya kekuatan pelat bersama kekuatan tarik dan kekuatan geser baut akan menentukan kekuatan sambungan. Ragam kehancuran yang mungkin terjadi diperlihatkan pada Gambar 2.13

Samabungan baut Tunggal Fraktur penampang netto

(a) (b)

.

Ujung pelat sobek akibat geser Kerusakan tumpu pada pelat


(53)

(54)

BAB III

ANALISIS DAN PENGUJIAN

3.1 Persiapan Bahan dan Peralatan

Bahan–bahan dan peralatan laboratorium yang digunakan untuk melaksanakan pengujian ini meliputi:

1. Baja IWF.200x100x5,5x8.5 yang berfungsi sebagai kolom dan balok, profil C 100x50x20x2,3 sebagai dudukan dan penyangga kolom agar kokoh.

2. Baut mutu biasa dan baut mutu tinggi (HTB)

3. Beton Ready Mix K-225 untuk perletakan Kolom IWF dan dudukan Hydraulic Jack.

4. Besi Ø 8 mm sebagai tulangan dan kursi bantalan profil C.

5. Beton tahu sebagai bantalan Besi Ø 8 mm agar besi tidak menyentuh mall cetakan.

6. Alat Jack 25 Ton sebanyak 1 buah yang berfungsi sebagai pembebanan. 7. Dial gauge sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penelitian.

8. Kunci momen 9. Pelat-pelat baja

3.2 Pemeriksaan Material

Tujuan pemeriksaan material adalah untuk mengetahui besarnya tegangan leleh dan tegangan dasar atau tegangan izin dari material tersebut. Dari hasil tegangan material inilah, maka dimensi benda uji yang akan digunakan dapat direncanakan. Adapun pemeriksaan tegangan material yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 3.2.1 Pelat IWF dan Pelat Siku

Bahan pelat diambil dari material besi dengan ukuran yang ditentukan, dengan maksud supaya mempunyai kekuatan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan besi pelat biasa. Dalam hal ini diambil pelat badan besi WF 200x100x5,5x8 mm, besi siku 50x50x5 mm dan 60x60x6 mm. Kemudian pelat badan besi IWF dan pelat baja ini akan diuji berapa besar tegangan leleh pada ketiga pelat tersebut. Pengujian tegangan


(55)

leleh pelat ini terlebih dahulu diuji di Universitas Politeknik Negeri Medan. Tegangan leleh pelat besi WF dan pelat siku adalah sebagai berikut:

Tegangan leleh pelat besi WF = 5241.9 Kg/Cm Tegangan leleh pelat besi siku 50 mm = 5376.4 Kg/Cm

2

Tegangan leleh pelat besi siku 60 mm = 5376.4 Kg/Cm 2

3.2.2 Alat Sambungan Baut

2

Untuk mengindari kekuatan baut lebih tinggi daripada kekuatan pelatnya, maka baut yang ditinjau adalah baut mutu rendah dan baut mutu tinggi yang berdiameter 12 mm.

3.3 Metode Pengujian

Material yang digunakan untuk pembuatan benda uji ini adalah material yang telah tersedia di lokasi proyek. Untuk pemotongan, pengelasan, dan pengeboran, secara keseluruhannya juga dilakukan di lokasi proyek. Adapun pembuatan benda uji antara lain:

a. Pembuatan kolom dan balok konsole

Kolom dan balok dibuat dari baja IWF dengan ukuran yang sama yaitu 200.100.5,5.8. Pada kolom diberi juga stiffner–stiffner dengan dengan plat setebal 6 mm. Kemudian pada sebagai penyokong kolom agar tidak bergerak kebelakang ketika diberi beban Jack, maka dilaskan satu buah profil C 100x50x20x2,3 sebagai penyokong kolom dan dua buah profil C 100x50x20x2,3 sebagai dudukan penyokong dan kolom. Setelah itu dibuat lagi dua buah tulangan dengan besi 8 mm dan juga kursinya agar cor-an benar-benar masuk pada profil C. Sehingga kolom IWF tersebut menjadi kokoh dan tidak bergerak sama sekali ketika balok diberi beban oleh hydraulic jack setelah dicor. Untuk tampak atas dari bahan dan alat pengujian dapat dilihat pada Gambar 3.1. Sedangkan untuk tampak sampingnya dapat dilihat pada Gambar 3.2.


(56)

Gambar 3.1 Tampak Atas Bahan dan Alat Pengujian


(57)

b. Pembuatan pelat sambungan

Pelat penyambung dibuat dari plat siku dengan ukuran L.50.50.5 pada Gambar 3.3 dan L.60.60.6 pada Gambar 3.4.

Gambar 3.3 Detail Profil Siku 1


(58)

c. Pembuatan alat sambungan baut.

Baut pada Gambar 3.5 dengan ulir yang berdiameter (Ø) 12 mm akan diperlukan sebanyak 32 buah untuk mutu biasa dan 32 buah untuk mutu tinggi.

Gambar 3.5 Alat Sambung Baut

Dalam penelitian ini, pengujian benda uji dilakukan sebanyak empat kali dengan rincian sebagai berikut:

1. Pengujian Profil siku ukuran L.50x50x5 mm sebanyak dua kali yaitu dengan menggunakan alat sambung baut mutu tinggi dan mutu biasa. 2. Pengujian profil siku sama sisi ukuran L.60x60x6 mm sebanyak dua kali

yaitu dengan menggunakan alat sambung baut mutu tinggi dan mutu biasa.

Adapun langkah–langkah proses pengujiannya adalah sebagai berikut:

1. Perakitan kolom dan balok IWF.200x100x5,5x8 dan profil C.100x50x20x2,3 sebagai dudukan kolom agar tidak goyang dan kokoh. Kemudian perakitan plat siku dengan ukuran yang berbeda.

2. Pembuatan bekisting sebagai tempat pengecoran kolom IWF dan beton tahu setebal 5 cm serta tulangan dan kursi tulangan dengan besi Ø 8 mm. 3. Kemudian dilakukan pengecoran dengan mutu beton K-225. Pada saat pengecoran terakhir diatur posisi kolom dengan selang air agar tidak miring. Dan terakhir proses curing selama dua minggu.


(59)

5. Pertama – tama pengujian dilakukan dengan baut mutu biasa dengan plat siku ukuran 50x50x5. Sebelumnya pada coran tersebut diberi plat baja agar jack tidak miring. Baut pada plat siku dikunci dengan kunci inggris.

6. Kemudian jack diletakan diatas pelat baja tersebut dan mulai penyetelan. Setelah selesai meletakkan jack baru disetel kembali untuk setiap ujung pelat dengan menggunakan alat dial gauge secara tegak lurus dan harus simetris, karena alat ini mimiliki tingkat ketelitian 0.01 mm.

7. Setelah selesai penyetelan posisi dial guage seperti pada Gambar 3.6, baru dilakukan peng- jackan yang dimulai dengan angka 1 ton.

D1 D2

D3

Gambar 3.6 Posisi Dial Gauge

8. Selanjutnya dengan kenaikan 0.5 T sampai alat dial berputar dan apabila jack tidak mampu menambah beban, maka jack dinolkan kembali. Bila diteruskan baut tersebut akan putus dan dial gauge dapat rusak akibat patahan baut.

9. Setelah itu dilakukan lagi untuk baut dengan mutu tinggi dengan ukuran pelat yang sama.

10. Pada baut mutu tinggi dilakukan penguncian baut dengan kunci momen. Setelah itu dilakukan pemberian beban kembali sampai alat jack tidak mampu menambah beban lagi.


(60)

3.4 Perhitungan Analisa Sambungan Balok Kolom

Suatu Konsole dengan perletakan sederhana Semi Rigid memikul gaya terpusat P yang menimbulkan momen lentor pada hubungan Konsole dengan Kolom Struktur Baja, dimana Kolom Struktur Baja diperkaku sedemkian agar tidak terjadi robahan bentuk oleh terjadinya deformasi pada alat sambung baut dan siku penyambung.

Keseimbangan Momen lentur pada Profil IWF untuk mendapatkan besaran Gaya Axial Tarik pada Flens Profil IWF sebagai berikut,

h L P P h P L P H H . . . = = ... 3.4.1

Gaya horizontal diatas akan terdistribusi ke Penyambung Siku dan Alat sambung baut yang selanjutnya menimbulkan gaya ungkit (Prying Force) searah dengan gaya axial PH dan di imbangi oleh gaya Tpada alat sambung baut ke Flens Kolom, atau dapat ditulis,

T = C + PH ... 3.4.2 dan dari keseimbangan momen pada baja siku dapat diturunkan untuk memperoleh besaran gaya ungkit C.

q P t g C q C t g P H H ) .( 2 3 . 3 2 . ) ( − = = − ... 3.4.3

Selanjutnya persamaan 3) disubsitusikan kedalam persamaan 2), diperoleh gaya Tarik pada baut,

q t g P


(61)

Selanjutnya dapat dihitung besaran tegangan ideal terjadi pada alat sambung baut − − ≤ + = = ≤ = baut N T i N T T f f f f d P f f d T f 2 2 2 2 3 5 , 0 ) 25 . 0 ( 2

π

π

... 3.4.5

Baut yang melekat pada flens Konsole mengalami pengaruh geser dan desak:

... 3.4.6

3.5 Kontrol Siku Penyambung

Lebar tampang siku penyambung menerima momen = jarak antara baut = S

Tebal siku penyambung = t

Luas Siku Penyambung menerima gaya Aksial = F

Momen tahanan Siku Penyambung = W

Dimana dapat dihitung:

S t F = .

desak geser H izinDesak izinDesak baut 2 izinGeser P & P P dimana d.t.1,5.f P f .0.6. .ππ. 4 1 P ≤ = = −


(62)

      + = ∆ 2 1 2 3

1 1 0.78

3 g t EI g P t S t

W . .

6 1 2

=

W M

fM = ... 3.5.1

F T fD =

Selanjutnya diperoleh tegangan idiel yang harus lebih kecil dari tegangan izin baja seperti berikut,

izin D M

i f f f

f = 2 +3 2 ≤ ... 3.5.2

3.6 Sambungan Semi Rigid

Sambungan dengan Propil siku atas dan bawah Flens I Beam (Top and Angle Connections), asumsi perpindahan terjadi pada flens baja siku yang mengalami tarik menurut Chen dan Kishi 1989 yaitu,

………. 3.6.1

Dimana P gaya tarik pada flens yang menempel pada flens profil I dan setelah terjadi

deformasi,

r r

tg

r r

d

tg

θ

=

,

θ

<<<<

θ

=

θ

1 Maka,

………. 3.6.2

Bila:

M = d1

1 d r ∆ =

θ

· P ………. 3.6.3 r

d ⋅θ

=


(63)

Definisi Metode Kekakuan:

Gaya = kekakuan x perpindahan

M = Rki· θr ……….. 3.6.4

Substitusikan Persamaan (3.6.1) ke Persamaan (3.6.2), diperoleh menjadi Persamaan (3.6.5) yaitu,

……….. 3.6.5

Substitusi Persamaan (3.6.3) ke Persamaan (3.6.5),

... 3.6.6

Dari Persamaan (3.6.4) → momen di Eliminasi,

R

Sehingga diperoleh Kekakuan Sambungan oleh pengaruh Lentur sebagai berikut:

... 3.6.7

      + = ∆ = 2 1 2 1 3 1 1 78 . 0 1 3 g t d EI g P d t r

θ

        +         = 2 1 2 1 3 1

1 1 0.78

3 g t d EI g d M t r θ       + = = 2 1 2 2 1 3

1 1 0.78

3 g t d EI g M M M R t r ki θ         + = 2 1 2 2 1 3

1 0.78

1 3 1 g t d EI g t             + = 3 1 2 1 2 2 1 2 78 . 0 1 3 g d g t EI R t ki


(64)

Kekakuan profil Cantilever IWF 200 x 100 x 5,5 x 8

... 3.6.8

... 3.6.9

..

l Ix x l

EI

Kb (2,1 10 )

6

= =

1 d

M p


(65)

BAB IV

HASIL PENGUJIAN DAN ANALISA DATA

IV.1 Hasil Pengujian

Pengujian alat sambung baut pada balok konsole yang dimaksud adalah untuk mengetahui kekakuan struktur akibat pembebanan yang dilakukan pada balok dengan menggunakan alat sambung baut mutu tinggi dan mutu biasa.

Pengujian dilakukan dengan tahap – tahap sebagai berikut:

1. Pengujian dengan baut mutu biasa pada ukuran plat siku pertama,

∟.50.50.5

2. Pengujian dengan baut mutu tinggi dengan menggunakan kunci momen pada ukuran plat siku pertama, ∟.50.50.5

3. Pengujian dengan baut mutu biasa pada ukuran plat siku kedua,

∟.60.60.6

4. Pengujian dengan baut mutu tinggi dengan menggunakan kunci momen pada ukuran plat siku kedua, ∟.60.60.6

Adapun hasil pengujian benda uji yang dilakukan adalah seperti yang terlampir:

1. Hasil pengujian dengan menggunakan plat siku ∟.50.50.5. Hasil pengujian dengan baut mutu biasa (Percobaan 1) Hasil pengujian dengan baut mutu tinggi (Percobaan 2)

2. Hasil pengujian dengan menggunakan plat siku ∟.60.60.6 Hasil pengujian dengan baut mutu biasa (Percobaan 3) Hasil pengujian dengan baut mutu tinggi (Percobaan 4)


(66)

Percobaan I Siku L.50.50.5 Baut Mutu Biasa

Gambar 4.1 Posisi Dial Gauge Percobaan I

Keterangan posisi dial gauge pada Gambar 4.2.

Dial 1 = Deformasi balok

Dial 2 = Deformasi plat siku bagian bawah Dial 3 = Deformasi plat siku bagian atas

Gambar 4.2 Foto Posisi Dial Gauge

B D2

D3

D1


(67)

Tabel 4.1 Hasil Percobaan I

No P ( Ton )

Δ 1 (mm) Δ 2 (mm) Δ 3 (mm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 2.9 3.6 4.2 4.6 5 5.3 5.5 0 0.019 0.026 0.448 0.645 1.255 1.519 1.729 2.329 3.081 0 0.016 0.058 0.065 0.587 0.645 0.894 0.897 0.903 1.290 0 0.013 0.016 0.019 0.026 0.029 0.032 0.048 0.065 0.145

Lalu hasil percobaan I ditunjukkan dalam bentuk grafik yang divariasikan antara beban dengan besarnya deformasi yang terlampir pada Gambar 4.3, Gambar 4.4, dan Gambar 4.5. 0 1 2 3 4 5 6

0 0.019 0.026 0.448 0.645 1.255 1.519 1.729 2.329 3.081

Be

ba

n (

To

n)

Defleksi I (mm)

Beban VS Defleksi I


(68)

0 1 2 3 4 5 6

0 0.016 0.058 0.065 0.587 0.645 0.894 0.897 0.903 1.290

B

eba

n (

Ton)

Defleksi II (mm) Beban VS Defleksi II

Gambar 4.4 Deformasi plat siku bagian bawah Percobaan I

0 1 2 3 4 5 6

0 0.013 0.016 0.019 0.026 0.029 0.032 0.048 0.065 0.145

Be

ba

n (

Ton)

Defleksi III (mm) Beban VS Defleksi III


(69)

Percobaan II Siku L.50.50.5 Baut Mutu Tinggi

Gambar 4.6 Posisi Dial Gauge

Keterangan posisi dial gauge pada Gambar 4.7.

Dial 1 = Deformasi balok

Dial 2 = Deformasi plat siku bagian bawah Dial 3 = Deformasi plat siku bagian atas

Gambar 4.7 Foto Posisi Dial Gauge

B D2

D3

D1


(70)

Tabel 4.2 Hasil Percobaan II

No P ( Ton )

Δ 1 (mm) Δ 2 (mm) Δ 3 (mm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.25 4.4 0.000 0.000 0.052 0.180 0.227 0.371 0.979 1.160 1.325 1.423 1.500 0.000 0.000 0.000 0.753 0.323 0.428 0.366 0.258 0.318 0.644 1.364 0.000 0.000 0.000 0.000 0.108 0.171 0.157 0.099 0.535 0.732 1.159

Lalu hasil percobaan II ditunjukkan dalam bentuk grafik yang divariasikan antara beban dengan besarnya deformasi yang terlampir pada Gambar 4.8, Gambar 4.9, dan Gambar 4.10. 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

0.000 0.000 0.052 0.180 0.227 0.371 0.979 1.160 1.325 1.423 1.500

Be

ba

n (

Ton)

Defleksi I (mm)

Beban VS Defleksi I


(71)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

0.000 0.000 0.000 0.753 0.323 0.428 0.366 0.258 0.318 0.644 1.364

Be

ba

n (

Ton)

Defleksi II (mm)

Beban VS Defleksi II

Gambar 4.9 Deformasi plat siku bagian bawah Percobaan II

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

0.000 0.000 0.000 0.000 0.108 0.171 0.157 0.099 0.535 0.732 1.159

B

eba

n (

Ton)

Defleksi III (mm)

Beban VS Defleksi III


(72)

Percobaan III Siku L.60.60.6 Baut Mutu Biasa

Gambar 4.11 Posisi Dial Gauge

Keterangan posisi dial gauge pada Gambar 4.12.

Dial 1 = Deformasi balok (lendutan ditengah bentang)

Dial 2 = Deformasi plat siku bagian bawah (pengaruh Frying Force) Dial 3 = Deformasi plat siku bagian atas

Gambar 4.12 Foto Posisi Dial Gauge

B D2

D3

D1


(73)

Tabel 4.3 Hasil Percobaan III

No

P ( Ton )

Δ 1 (mm) Δ 2 (mm) Δ 3 (mm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 0.85 1.5 2.2 2.75 3.25 3.75 4.25 4.6 4.95 5.2 0.000 0.033 0.403 0.775 0.958 1.156 1.442 1.689 2.144 2.444 2.639 0.000 0.000 0.011 0.022 0.031 0.039 0.047 0.056 0.061 0.067 0.069 0.000 0.000 0.028 0.028 0.036 0.178 0.492 0.339 0.767 0.731 1.083

Lalu hasil percobaan III ditunjukkan dalam bentuk grafik yang divariasikan antara beban dengan besarnya deformasi yang terlampir pada Gambar 4.13, Gambar 4.14, dan Gambar 4.15.

0 1 2 3 4 5 6

0.000 0.033 0.403 0.775 0.958 1.156 1.442 1.689 2.144 2.444 2.639

B

eba

n (

Ton)

Defleksi I (mm)

Beban Vs Defleksi I


(74)

0 1 2 3 4 5 6

0.000 0.000 0.011 0.022 0.031 0.039 0.047 0.056 0.061 0.067 0.069

B

eba

n

(T

on)

Defleksi II (mm)

Beban Vs Defleksi II

Gambar 4.14 Deformasi plat siku bagian bawah Percobaan III

0 1 2 3 4 5 6

0.000 0.000 0.028 0.028 0.036 0.178 0.492 0.339 0.767 0.731 1.083

B

eba

n (

Ton)

Defleksi III (mm)

Beban Vs Defleksi III

Gambar 4.15 Deformasi plat siku bagian atas Percobaan III


(75)

Percobaan IV Siku L.60.60.6 Baut Mutu Tinggi

Gambar 4.16 Posisi Dial Gauge

Keterangan posisi dial gauge pada Gambar 4.17.

Dial 1 = Deformasi balok

Dial 2 = Deformasi plat siku bagian bawah Dial 3 = Deformasi plat siku bagian atas

Gambar 4.17 Foto Posisi Dial Gauge

B D2

D3

D1


(76)

Tabel 4.4 Hasil Percobaan IV

No

P ( Ton )

Δ 1 (mm) Δ 2 (mm) Δ 3 (mm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 0 0.9 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.3 0.000 0.000 0.000 0.093 0.140 0.187 0.327 0.420 0.560 0.700 0.840 0.933 1.400 0.000 0.000 0.000 0.009 0.013 0.015 0.017 0.020 0.021 0.021 0.022 0.023 0.024 0.000 4.667 0.093 0.047 0.084 0.173 0.187 0.233 0.420 0.616 0.625 0.440 0.495

Lalu hasil percobaan IV ditunjukkan dalam bentuk grafik yang divariasikan antara beban dengan besarnya deformasi yang terlampir pada Gambar 4.18, Gambar 4.19, dan Gambar 4.20.

0 1 2 3 4 5 6 7

0.000 0.000 0.000 0.093 0.140 0.187 0.327 0.420 0.560 0.700 0.840 0.933 1.400

Be

ba

n (

Ton)

Defleksi I (mm)

Beban Vs Defleksi I


(77)

0 1 2 3 4 5 6 7

0.000 0.000 0.000 0.009 0.013 0.015 0.017 0.020 0.021 0.021 0.022 0.023 0.024

B

e

ba

n (

T

on)

Defleksi II (mm)

Beban Vs Defleksi II

Gambar 4.19 Deformasi plat siku bagian bawahPercobaan IV

0 1 2 3 4 5 6 7

0.000 4.667 0.093 0.047 0.084 0.173 0.187 0.233 0.420 0.616 0.625 0.440 0.495

B

eba

n (

T

on)

Defleksi III (mm)

Beban Vs Defleksi III


(78)

4.2 Menghitung Besaran Kekakuan Sambungan (Rki )

Qbs = 21,3 kg/m

Mbs = - ½ x 21,3 x 0,4 = 1,704 kg m

2

d1

l = 40 cm = 20 cm

Pjl = bacaan dari hasil Jack load

Pjl = 1000 kg

P = 1991.480 Kg

M = 1991,480 x 20 = 39829,600 Kgcm

1

d Mbs l

Pj

P= −

M

=

P

d

1

d

r = ∆

θ

r M Rki

θ

=

2

2 1

l qbs

Mbs = −

2 , 0

704 , 1 4 , 0 1000 −

=


(79)

Ѳr = 0,019 / 20

= 0.000095

Rki = 39829.600 / 0,000095

= 4,12 x 108 kgcm

Selanjutnya hasil perhitungan kekakuan sambungan dimasukkan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 4.5, Tabel 4.6, Tabel 4.7, dan Tabel 4.8.

Tabel 4.5 Perhitungan Kekakuan Sambungan Percobaan I Siku Ŀ 50 . 50 . 5 dengan Baut Mutu Biasa

No Pjk

(kg) P (kg) M (kg cm) Δ (mm)

Ѳr Rki

(kg cm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1000 2000 2900 3600 4200 4600 5000 5300 5500 0 1991.480 3991.480 5791.480 7191.480 8391.480 9191.480 9991.480 10591.480 10991.480 0 39829.600 79829.600 115829.600 143829.600 167829.600 183829.600 199829.600 211829.600 219829.600 0 0.019 0.026 0.448 0.645 1.255 1.519 1.729 2.329 3.081 0 0.000 0.000 0.002 0.003 0.006 0.008 0.009 0.012 0.015 0 4.12E+08 6.19E+08 5.17E+07 4.46E+07 2.67E+07 2.42E+07 2.31E+07 1.82E+07 1.47E+07


(80)

Tabel 4.6 Perhitungan Kekakuan Sambungan Percobaan II Siku Ŀ 50 . 50 . 5 dengan Baut Mutu Tinggi

No Pj (kg) P (kg) M (kg cm) Δ (mm) Ѳr (cm/cm) R (kg cm) ki

1 0 0 0 0.000 0 0 2 500 991.480 19829.600 0.000 0.000 0.00E+00 3 1000 1991.480 39829.600 0.052 0.000 1.55E+08 4 1500 2991.480 59829.600 0.180 0.001 6.63E+07 5 2000 3991.480 79829.600 0.227 0.001 7.04E+07 6 2500 4991.480 99829.600 0.371 0.002 5.38E+07 7 3000 5991.480 119829.600 0.979 0.005 2.45E+07 8 3500 6991.480 139829.600 1.160 0.006 2.41E+07 9 4000 7991.480 159829.600 1.325 0.007 2.41E+07 10 4250 8491.480 169829.600 1.423 0.007 2.39E+07 11 4400 8791.480 175829.600 1.500 0.008 2.34E+07

Tabel 4.7 Perhitungan Kekakuan Sambungan Percobaan III Siku Ŀ 60 . 60 . 6 dengan Baut Mutu Biasa

No Pj (kg) P (kg) M (kg cm) Δ (mm) Ѳr (cm/cm) R (kg cm) ki

1 850 1691.480 33829.600 0.033 0.000 8.33E-08 2 1500 2991.480 59829.600 0.403 0.000 0.00E+00 3 2200 4391.480 87829.600 0.775 0.004 2.27E+07 4 2750 5491.480 109829.600 0.958 0.005 2.29E+07 5 3250 6491.480 129829.600 1.156 0.006 2.25E+07 6 3750 7491.480 149829.600 1.442 0.007 2.08E+07 7 4250 8491.480 169829.600 1.689 0.008 2.01E+07 8 4600 9191.480 183829.600 2.144 0.011 1.71E+07 9 4950 9891.480 197829.600 2.444 0.012 1.62E+07 10 5250 10491.480 209829.600 2.639 0.013 1.59E+07


(81)

Tabel 4.8 Perhitungan Kekakuan Sambungan Percobaan IV Siku Ŀ 60 . 60 . 6 dengan Baut Mutu Tinggi

No Pj (kg)

P (kg)

M (kg cm)

Δ

(mm)

Ѳr (cm/cm)

R (kg cm)

ki

1 0 0 0 0 0 0

2 900 1791.480 35829.600 0 0.000 0.00E+00 3 1500 2991.480 59829.600 0 0.000 0.00E+00 4 2000 3991.480 79829.600 0.1 0.001 1.60E+08 5 2500 4991.480 99829.600 0.15 0.001 1.33E+08 6 3000 5991.480 119829.600 0.2 0.001 1.20E+08 7 3500 6991.480 139829.600 0.35 0.002 7.99E+07 8 4000 7991.480 159829.600 0.45 0.002 7.10E+07 9 4500 8991.480 179829.600 0.6 0.003 5.99E+07 10 5000 9991.480 199829.600 0.75 0.004 5.33E+07 11 5500 10991.480 219829.600 0.9 0.005 4.89E+07 12 6000 11991.480 239829.600 1 0.005 4.80E+07 13 6300 12591.480 251829.600 1.4 0.007 3.60E+07

4.3 Menghitung Kekuatan Balok Kantilever

Data Input sesuai dengan sample penilitian hasil pengujian di Laboratorium Politeknik Negeri Medan, lalu dikaji secara teori:

Tegangan Leleh Baja Siku = 5376,4 kg/cm² Tegangan Leleh IWF = 5241,9 kg/cm²

Tegangan Leleh Baut mutu biasa = 2400 kg/cm² Tegangan Leleh Baut mutu tinggi = 5850 kg/cm²

Keseimbangan momen pada balok IWF akibat Gaya terpusat Jack Load (Pjl),


(82)

Kontrol Kekuatan Geser dan Desak pada Baut hubungan Siku dengan Flens bawah Balok, yaitu:

1. Kekuatan Geser I Mutu biasa Kekuatan Geser Mutu Tinggi (HTB)

PUntuk4.204dua bautkg P kg 2.102 P f .0,6. d π 4 1 P gs1 gs1 baut 2 gs1 > = = = −

2. Kekuatan Desak L.50.50.5 /L.60.60.6

Kekuatan Tarik baut pada baut antara Siku Penyambung dengan Flens Kolom, dimana Flens Kolom dianggap tidak ikut tedeformasi., yaitu:

4.4 Aplikasi Perhitungan Kekakuan Sambungan

Kekakuan Sambungan sebelum terjadi leleh (keruntuhan) dimana:

E = 2.1 x 106 kg/cm2 ) 75 , 2 75 , 5 ( maka, Ton 2,7 T 325) A (HTB tinggi mutu baut Untuk 5mm t dan mm, 20 q mm 30 g bila P 5,75 T dihitung, Dapat 2P P bila ) q ) t g ( 1,5 1 ( P T min jl − = = − = = = = = − + = P T P kg 4.880 P baut dua Untuk kg 2.440 P f .0,6. d π 4 1 P gs1 gs1 baut 2 gs1 > = = = − P kg 6.288 P baut dua Untuk kg 3.144 P f 1,5. t. d. P ds ds baja ds > = = =


(83)

I = 1/12 tt3 b

t

f t

b

= tebal siku

f = lebar flens profil I

Aplikasi sesuai percobaan dilapangan

∟50.50.5 →

∟60.60.6 →

d1 = 20 cm ( tinggi IWF) D = 12 mm = 1.2 cm

∟50.50.5 →

= 25,307 x 106 kgcm

∟60.60.6 →

= 42,34 x 106 kgcm

4 3 104 . 0 10 5 . 0 12 1 cm

Ix= =

4 3 18 . 0 10 6 . 0 12 1 cm

Ix= =

                +

= 123

2 2 2 6 ) 15 . 2 ( ) 20 ( ) 15 . 2 ( ) 5 . 0 ( 78 . 0 1 ) 104 . 0 ( 10 . ) 1 . 2 ( 3 ki R                 +

= 123

2 2 2 6 ) 15 . 2 ( ) 20 ( ) 15 . 2 ( ) 6 . 0 ( 78 . 0 1 ) 18 . 0 ( 10 . ) 1 . 2 ( 3 ki R


(84)

Kekakuan profil Cantilever IWF 200 x 100 x 5,5 x 8

4.4.1.1

Dimana l overstek = 40 cm (dihitung dari tempat Jack Load ditempatkan)

Ix = 1.580 cm4

= 82,95 x 106 kgcm

Diperoleh Perbandingan kekakuan sambungan dengan Balok EI sebesar,

∟50.50.5 → = 0,3

∟60.60.6 → = 0,51

4.5 Pembahasan Kekakuan Sambungan

Menentukan kekakuan sambungan dengan cara Analitis dan dengan Penelitian yang telah dilakukan. Namun hasil dari pada Penelitian dengan Analitis ternyata perbedaannya cukup signifikan, terutama antara Alat sambung Baut Mutu Tinggi (HTB) dibandingkan dengan Alat sambung baut mutu biasa.

Sedangkan didalam perhitungan Teori, baut memang dianggap baut mutu tinggi, dimana dalam perhitungan diasumsikan baut sangat kuat dibanding dengan siku penyambung. Sehingga ketika terjadi deformasi pada siku penyambung (Top

Angle), baut yang menyambung ke Kolom dan yang menyambung ke Flens Balok

l Ix x l

EI

Kb (2,1 10 )

6 = = 40 1580 ) 10 1 , 2

( x 6 l

EI

Kb = =

6 6 10 95 , 82 10 307 , 25 x x k R b ki = 6 6 10 95 , 82 10 34 , 42 x x k R b ki =


(85)

belum mengalami perpindahan. Sehingga sudut putar dari pada balok kantilever melulu diakibatkan oleh penurunan profil siku penyambung.

Pada alat sambung dengan baut mutu biasa, ketika dilakukan pengujian pada balok Cantilever mempergunakan baut mutu biasa, ternyata setelah diamati ternyata bautnya sendiri ikut mengalami deformasi. Baut yang menempel ke kolom mengalami perpanjangan dan baut yang menempel ke balok kantilever mengalami perpindahan geser sehingga menyebabkan terjadinya pertambahan sudut putar pada balok cantilever.

Karena itu maka terjadilah perbedaan sudut putar antara baut mutu tinggi dan baut mutu biasa yang menyebabkan pula perbedaan kekakuan yang cukup signifikan. Juga penyebabnya tidak terlepas dari ketidaksempurnaanya modul dan juga alat Jack Load yang tidak bisa ditahan keberadaan beban pada waktu tertentu.


(86)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dibantu dengan Metode Kekakuan dimana Gaya sama dengan kekakuan sambungan dikali perpindahan maka diperoleh angka Rigidnya suatu sambungan Balok Kantilever dengan kolom yang diperkaku.

Selanjutnya dibandingkan dengan angka Kekakuan balok sebesar EI/L serta dibandingkan pula dengan angka kekakuan secara Teori perhitungan yaitu:

1. Kekakuan balok Cantilever IWF 200x100x5.5x8:

Bila kolom disokong sehingga tak ikut terdeformasi = 82,95.106 kg.cm

2. Kekakuan Sambungan secara Teori:

Sambungan dgn Siku 50.50.5, Baut Mutu Tinggi = 25,31.106 Sambungan dgn Siku 60.60.6, Baut Mutu Tinggi = 42,34.10

kg.cm

6

kg.cm

3. Kekakuan Sambungan secara Percobaan menurut:

Modul 1 : Siku 50.50.5 Baut mutu Biasa = 14,70.106 Modul 2 : Siku 50.50.5 Baut mutu Tinggi (HTB) = 23,4.10

kg.cm

6

kg.cm

Modul 3 : Siku 60.60.6 Baut mutu Biasa = 15,9.106 Modul 4 : Siku 60.60.6 Baut mutu Tinggi (HTB) = 36,00.10

kg.cm

6


(87)

4. Ratio Perbandingan Antara Kekakuan baut mutu tinggi dan biasa:

Siku 50.50.5 = 23,4 / (23,4 + 14.70)

= 61,42 %

x 100 %

Siku 60.60.6 = 36.00 / (36.00 + 15.90 )

= 69,36 %

x 100 %

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan disarankan agar dilakukan Penelitian yang lebih komplek, bila badan dari Balok Kantilever ikut disambungkan ke flens kolom Kaku.

Dan supaya lebih akurat hasil perhitungan dan hasil penelitiannya, sebaiknya sambungan siku dengan flens Balok Kantilever lebih diperkaku sehingga deformasi siku penyambung lebih akurat tanpa dipengarunhi oleh perpindahan pada baut pada flens Balok Cantilever.


(88)

DAFTAR PUSTAKA

Barus, Sanci,Ir.MT dan Ir. Robert Panjaitan, 2008, Jurnal Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara, “ Analisis Baut Mutu Tinggi Serta Aplikasinya pada Hubungan Balok dan Kolom “.

Chesson, E., Jr., and Munse, W. H. Studies of the Behavior of High-Strength Bolts and Bolted Joints, University of Illinois Engineering Experiment Station Bulletin 469, Oct. 1964.

http://dodybrahmantyo.dosen.narotama.ac.id/files/2012/05/KONSTRUKSI-BAJA-3_SAMBUNGAN-BAUT.pdf

John H. A. Struik, Abayomi O. Oyeledun and John W. Fisher. (1973). “Bolt Tension Control with a Direct Tension Indicator”, AISC Engineering Journal, First Quarter 1973

John D. Griffiths .(1984). “End-Plate Moment Connections – Their Use and Misuse”, Engineering Journal, First Quarter

Jurnal Rekayasa Sipil / Volume 5, No.1 – 2011 ISSN 1978 – 5658 29 ... Jurusan Teknik Sipil

Salmon dan Johnson. 1995. Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid 2 Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Ir. Wira M.S.CE. Jakarta : Erlangga.

, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Malang (pengaruh kekakuan sambungan balok kolom )

W.H. Munse .(1967). “High-Strength Bolting”, AISC Engineering Journal, January 1967


(89)

PLANNING BEAM CONSOLE


(90)

PENGECORAN K-225


(1)

PLANNING BEAM CONSOLE


(2)

PENGECORAN K-225

PENGATURAN SUMBU VERTIKAL


(3)

CURING TIME


(4)

PENGATURAN DIAL GAUGE

POSISI DIAL GAUGE


(5)

POSISI DIAL GAUGE


(6)

PENGATURAN DIAL GAUGE

HASIL EKSPRIMEN