Sesudah Berlakunya Undang- Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Pada tahun 1978, Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Ketetapan Nomor IVMPR1978, menyatakan agar mengusahakan terwujudnya Peradilan tata Usaha Negara. Sejak saat itu dilakukan upaya-upaya kearah tercapainya pembentukan lembaga tersebut yang pada akhirnya yaitu pada tanggal 20 Desember 1986, Dewan Perwakilan Rakyat secara aklamasi menerima Rancangan Undang-Undang Tentang peradilan Tata Usaha Negara menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77.

H. Sesudah Berlakunya Undang- Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-undang No. 5 Tahun 1986 disahkan pada tanggal 29 desember 1986, tetapi mulai berlaku dan efektif diseluruh Indonesia sejak januari 1991, yaitu sejak ditetapkannya peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Sejalan dengan berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto, maka banyak hal yang diberlakukan sebagai koreksi atas kekurangan dan penyimpangan yang telah terjadi. Koreksi tersebt diberlakukan pada semua bidang termasuk bidang hukum, tidak terkecuali dibidang peradilan tata usaha negara. Untuk itulah maka pada tanggal 29 Maret 2004 Presiden Megawati Soekarnoputeri mengesahkan Undang-Undang Universitas Sumatera Utara Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha Negara Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan serta sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegraaan menurut undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Terjadinya perubahan yang penting dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan dibidang kekuasaan kehakiman yang dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kahakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaanlainnya untuk menyelenggarakan peradilan menegakkan hukum dan keadilan Universitas Sumatera Utara Perubahan atas undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara telah meletakan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoesia tahun 1945 Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut : 1 Syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara; 2 Batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim; 3 Pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim; 4 Pengaturan pengawasan terhadap hakim; 5 Penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga dalam suatu sengketa; 6 Adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

I. Kompetensi Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara

Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. 11 11 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 29 Sebagaimana diketahui berdasarkan Pasal 10 UU No. 141970 kita mengenal 4 empat lingkungan peradilan, yakni: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Diantara keempat badan peradilan ini masing-masing mempunyai kompetensi mengadili yang berbeda-beda. Universitas Sumatera Utara Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Secara konstitusional dan legal formal ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat 2 Perubahan Ketiga UUD 1945 yang kemudian ditindaklanjuti oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, kompetensi absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara menurut UU Peradilan Tata Usaha Negara 1986 adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa TUN dirumuskan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara Keputusan TUN merupakan suatu ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum TUN adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan Hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk umum, Universitas Sumatera Utara tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Dilihat dari penjelasan diatas Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sangat luas. Namun apabila dilihat pembatasan yang diberikan Uu Peradilan Tata Usaha Negara 2004 junto UU Peradilan Tata Usaha Negara 1986 , KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN adalah terbatas. Dikecualikan atau tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara apabila: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Dalam kaitannya dengan huruf g diatas, dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara tidak ada pernyataan tegas apakah KTUN yang dikeluarkan selama proses pemilu seperti penetapan KTUN Daftar Pemilih Tetap DPT menjadi objek sengketa TUN yang dapat di gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara oleh warga masyarakat yang kepentingan hukumnya dirugikan dengan keputusan DPT tersebut. Namun secara eksplisit dapat dipahami bahwa titik tekannya adalah KTUN mengenai Universitas Sumatera Utara hasil pemilu, sehingga KTUN yang dikeluarkan selama proses pemilu pada dasarnya merupakan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dam dapat di gugat oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Demikan pula dikeluarkan dari kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dengan menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan 1. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rumusan atau batasan-batasan mengenai kepentingan umum tidak di jelaskan dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga dalam implementasinya sangat ditentukan oleh penafsiran dan kepentingan penyelenggaraan negara yang secara sepihak ditentukan oleh Pemerintah. Bila dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang menyebutkan sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan tanah yang dikategorikan sebagai kepentingan umum, sehingga semua KTUN yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut tidak dapat dijadikan objek sengketa TUN atau tidak dapat di gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sejumlah kegiatan dimaksud adalah baik pembangunan untuk kepentingan umum Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan Pemerintah maupun oleh Pemerintah Daerah, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi : 1. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah, saluran air minumair bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; 2. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; 3. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; 4. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; 5. tempat pembuangan sampah; 6. cagar alam dan cagar budaya; 7. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara sangat terbatas. Walaupun UU Peradilan Tata Usaha Negara secara eksplisit menyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN, namun terdapat pembatasan-pembatasan baik dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara maupun dalam PP 65 Tahun 2006 terhadap KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN. Dengan demikian KTUN yang dapat dijadikan objek sengketa TUN dalam Pengadilan Tata Usaha Negara adalah KTUN menurut pengertian Pasal 1 angka 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara 1986 berikut penjelasannya ditambah KTUN menurut Pasal 3 kemudian dikurangi dengan KTUN yang dimaksud Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peradilan Tata Usaha Negara 2004. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 dengan pengecualian-pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU Pengadilan Tata Usaha Negara. Universitas Sumatera Utara

J. Subjek dan Objek Gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara