Bahasa Asing: Penting tetapi Bikin Pening
Bahasa Asing: Penting tetapi Bikin Pening
Oleh Baun Thoib Soaloon SGR
Pos-el: [email protected]
Globalisasi dan internasionalisasi telah menjadikan keterampilan berkomunikasi dan
penguasaan informasi menjadi semakin krusial. Tuntutan ini tentu saja mengharuskan
kompetensi berbahasa asing yang tinggi. Semakin baik kompetensi berbahasa asing seseorang,
maka akan semakin besar pula peluangnya untuk berpartisipasi dan meraih kesuksesan di
zaman ini. Sebaliknya, kompetensi yang rendah membuat seseorang semakin tidak kompetitif,
terpinggirkan, dan pada akhirnya akan digilas zaman.
Situasi ini telah meningkatkan urgensi dan kebutuhan terhadap pengajaran bahasabahasa asing terutama bahasa Inggris. Bahasa ini kini telah menjadi komoditas bernilai tinggi
dan menjelma menjadi gurita bisnis di negara-negara bekembang. Di Indonesia, pendidikan dan
pengajaran bahasa Inggris kini merupakan primadona, semakin mahal, bahkan cenderung
memperbudak masyarakat. Anda bisa melihat bagaimana animo orangtua untuk memasukkan
anak-anaknya ke sekolah-sekolah berlabel bilingual/internasional meskipun dengan biaya besar.
Kursus-kursus bahasa Inggris menjamur di mana-mana dengan peminat yang tidak pernah
surut. Tidak sedikit pula yang rela membayar guru-guru penutur asli (native teacher) dengan
gaji puluhan juta perbulan. Bahkan, akhir-akhir ini, program-program pengajaran bahasa Inggris
sejak kanak-kanak (English for kids) dan Balita pun mulai marak di berbagai tempat.
Fenomena tersebut di atas sebenarnya pantas diapresiasi karena menunjukkan tingginya
kepedulian dan antusiasme masyarakat terhadap pentingnya penguasaan bahasa asing
khususnya bahasa Inggris. Namun demikian, hal ini sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai
barometer keberhasilan pendidikan dan pengajaran bahasa Inggris secara nasional. Indeks
kompetensi berbahasa Inggris masyarakat Indonesia cenderung stagnan dan tertinggal dari
negara-negara tetangga. Survei terbatas yang dilakukan oleh Education First (EF) terhadap 60
negara pada tahun 2013 menunjukkan bahwa tingkat kemahiran berbahasa Inggris masyarakat
Indonesia masih kalah jauh dari beberapa negara ASEAN. Dengan indeks 53,44, Indonesia hanya
berada dua tingkat di atas Vietnam. Menduduki peringkat ke-25, Indonesia tepat di bawah
Korea selatan namun terpaut dari Malaysia dan Singapura yang berada pada posisi 11 dan 12.
Meskipun memiliki beberapa kelemahan metodologis terutama karena sifatnya yang
suka rela dan jumlah responden yang terbatas, namun hasil survei di atas sulit kita bantah jika
melihat buruknya kualitas pendidikan bahasa asing di sekolah-sekolah formal. Coba Anda hitung
berapa banyak tamatan SMA kita yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Bahkan sarjana
yang notabene telah belajar bahasa ini lebih dari sepuluh tahun pun sangat sedikit yang
memiliki tingkat kompetensi yang seharusnya. Jangan-jangan jika surveinya lebih ketat dan hatihati, indeks kompetensi bahasa Inggris masyarakat Indonesia justru tidak tidak sampai 53.
Apabila pendidikan dan pengajaran bahasa Inggris saja kondisinya seperti ini, maka bisa
dipastikan bahwa pengajaran bahasa asing lainnya seperti bahasa Arab tentu saja jauh lebih
buruk lagi. Bayangkan betapa besar kerugian investasi pendidikan bahasa asing yang kita
jalankan saat ini. Bukankah waktu, tenaga, usia, biaya (gaji guru, pelatihan, buku dan materi,
media, operasional) seharusnya bisa dihemat dan digunakan untuk hal-hal penting lainnya.
Selain persoalan ideologi bahasa yang acapkali melahirkan kontroversi dan dilema dalam
pengembangan maupun implementasi kebijakan dan perencanaan bahasa dalam pendidikan
(ingat misalnya kontroversi SBI dan RSBI), kegagalan pendidikan dan pengajaran bahasa asing di
Indonesia sebagaimana di negara-negara berkembang lainnya secara umum dilatarbelakangi
oleh dua faktor yang saling berhubungan. Pertama, ketidakcukupan maupun ketidakbecusan
dalam mengelola sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan hasil yang maksimal. Banyak
kebijakan dan program yang baik, namum karena komitmen dan kemampuan dalam memenuhi
sumber daya yang diperlukan untuk merealisasikannya sangat terbatas, akhirnya berakhir
dengan kegagalan. Sebagai contoh, program ”kampung bahasa” sebenarnya sangat bagus,
tetapi karena keterbatasan dukungan mentor dan guru berkompeten, hasilnya bukan saja jauh
dari harapan, melainkan acapkali hanya buang-buang waktu.
Kedua, program-program pendidikan dan pengajaran bahasa asing acapkali berakar pada
asumsi dan mitos yang menyesatkan mengenai pendidikan dan pegajaran bahasa asing
terutama yang berkaitan dengan urgensi bahasa Inggris. Sebagai contoh mitos tentang semakin
cepat dan semakin lama, maka pengajaran bahasa asing akan semakin baik. Realitasnya,
pembelajaran apapun harusnya berlangsung pada waktu dan durasi yang tepat. Di zaman yang
mengedepankan efisiensi dan efektivitas ini waktu dan sumberdaya merupakan barang mahal.
Oleh karena itu, dengan pembelajaran yang efektif, Anda sebenarnya tidak memerlukan waktu
sepuluh tahun untuk menguasai satu bahasa, melainkan mungkin hanya dua atau tiga tahun
saja. Sisanya Anda bisa manfaatkan untuk belajar hal-hal penting lainnya atau bersenangsenang menikmati hasil dari kompetensi yang telah Anda miliki. Anda pun tidak perlu memaksa
putra-putri Anda untuk belajar bahasa Inggris sedini mungkin karena selain berpotensi merusak
pertumbuhan kognisi dan psikologi mereka, Anda perlu memantapkan mereka menguasai
bahasa ibu dan juga bahasa nasional barulah memperkenalkan bahasa Inggris atau bahasa asing
lainnya. Selain itu, belum ada riset yang menunjukkan bahwa pelajar kanak-kanak lebih cepat
menguasai bahasa asing. Sebaliknya, riset-riset terpercaya malahan memastikan bahwa pelajar
remaja atau dewasa justru merupakan pelajar bahasa yang handal. Jangan pula Anda tergoda
untuk menggaji guru-guru penutur asli dengan bayaran fantastis karena mereka belum tentu
tahu cara mengajari anak-anak Anda dengan baik.
Sebagai penutup, perlu diingat bahwa pendidikan dan pengajaran bahasa asing
sebenarnya merupakan persoalan kompleks. Perlu dukungan banyak hal secara simultan dan
berkesinambungan untuk meraih hasil maksimal. Jadi, jangan pernah terkecoh dengan beragam
asumsi dan mitos menyesatkan!
Oleh Baun Thoib Soaloon SGR
Pos-el: [email protected]
Globalisasi dan internasionalisasi telah menjadikan keterampilan berkomunikasi dan
penguasaan informasi menjadi semakin krusial. Tuntutan ini tentu saja mengharuskan
kompetensi berbahasa asing yang tinggi. Semakin baik kompetensi berbahasa asing seseorang,
maka akan semakin besar pula peluangnya untuk berpartisipasi dan meraih kesuksesan di
zaman ini. Sebaliknya, kompetensi yang rendah membuat seseorang semakin tidak kompetitif,
terpinggirkan, dan pada akhirnya akan digilas zaman.
Situasi ini telah meningkatkan urgensi dan kebutuhan terhadap pengajaran bahasabahasa asing terutama bahasa Inggris. Bahasa ini kini telah menjadi komoditas bernilai tinggi
dan menjelma menjadi gurita bisnis di negara-negara bekembang. Di Indonesia, pendidikan dan
pengajaran bahasa Inggris kini merupakan primadona, semakin mahal, bahkan cenderung
memperbudak masyarakat. Anda bisa melihat bagaimana animo orangtua untuk memasukkan
anak-anaknya ke sekolah-sekolah berlabel bilingual/internasional meskipun dengan biaya besar.
Kursus-kursus bahasa Inggris menjamur di mana-mana dengan peminat yang tidak pernah
surut. Tidak sedikit pula yang rela membayar guru-guru penutur asli (native teacher) dengan
gaji puluhan juta perbulan. Bahkan, akhir-akhir ini, program-program pengajaran bahasa Inggris
sejak kanak-kanak (English for kids) dan Balita pun mulai marak di berbagai tempat.
Fenomena tersebut di atas sebenarnya pantas diapresiasi karena menunjukkan tingginya
kepedulian dan antusiasme masyarakat terhadap pentingnya penguasaan bahasa asing
khususnya bahasa Inggris. Namun demikian, hal ini sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai
barometer keberhasilan pendidikan dan pengajaran bahasa Inggris secara nasional. Indeks
kompetensi berbahasa Inggris masyarakat Indonesia cenderung stagnan dan tertinggal dari
negara-negara tetangga. Survei terbatas yang dilakukan oleh Education First (EF) terhadap 60
negara pada tahun 2013 menunjukkan bahwa tingkat kemahiran berbahasa Inggris masyarakat
Indonesia masih kalah jauh dari beberapa negara ASEAN. Dengan indeks 53,44, Indonesia hanya
berada dua tingkat di atas Vietnam. Menduduki peringkat ke-25, Indonesia tepat di bawah
Korea selatan namun terpaut dari Malaysia dan Singapura yang berada pada posisi 11 dan 12.
Meskipun memiliki beberapa kelemahan metodologis terutama karena sifatnya yang
suka rela dan jumlah responden yang terbatas, namun hasil survei di atas sulit kita bantah jika
melihat buruknya kualitas pendidikan bahasa asing di sekolah-sekolah formal. Coba Anda hitung
berapa banyak tamatan SMA kita yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Bahkan sarjana
yang notabene telah belajar bahasa ini lebih dari sepuluh tahun pun sangat sedikit yang
memiliki tingkat kompetensi yang seharusnya. Jangan-jangan jika surveinya lebih ketat dan hatihati, indeks kompetensi bahasa Inggris masyarakat Indonesia justru tidak tidak sampai 53.
Apabila pendidikan dan pengajaran bahasa Inggris saja kondisinya seperti ini, maka bisa
dipastikan bahwa pengajaran bahasa asing lainnya seperti bahasa Arab tentu saja jauh lebih
buruk lagi. Bayangkan betapa besar kerugian investasi pendidikan bahasa asing yang kita
jalankan saat ini. Bukankah waktu, tenaga, usia, biaya (gaji guru, pelatihan, buku dan materi,
media, operasional) seharusnya bisa dihemat dan digunakan untuk hal-hal penting lainnya.
Selain persoalan ideologi bahasa yang acapkali melahirkan kontroversi dan dilema dalam
pengembangan maupun implementasi kebijakan dan perencanaan bahasa dalam pendidikan
(ingat misalnya kontroversi SBI dan RSBI), kegagalan pendidikan dan pengajaran bahasa asing di
Indonesia sebagaimana di negara-negara berkembang lainnya secara umum dilatarbelakangi
oleh dua faktor yang saling berhubungan. Pertama, ketidakcukupan maupun ketidakbecusan
dalam mengelola sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan hasil yang maksimal. Banyak
kebijakan dan program yang baik, namum karena komitmen dan kemampuan dalam memenuhi
sumber daya yang diperlukan untuk merealisasikannya sangat terbatas, akhirnya berakhir
dengan kegagalan. Sebagai contoh, program ”kampung bahasa” sebenarnya sangat bagus,
tetapi karena keterbatasan dukungan mentor dan guru berkompeten, hasilnya bukan saja jauh
dari harapan, melainkan acapkali hanya buang-buang waktu.
Kedua, program-program pendidikan dan pengajaran bahasa asing acapkali berakar pada
asumsi dan mitos yang menyesatkan mengenai pendidikan dan pegajaran bahasa asing
terutama yang berkaitan dengan urgensi bahasa Inggris. Sebagai contoh mitos tentang semakin
cepat dan semakin lama, maka pengajaran bahasa asing akan semakin baik. Realitasnya,
pembelajaran apapun harusnya berlangsung pada waktu dan durasi yang tepat. Di zaman yang
mengedepankan efisiensi dan efektivitas ini waktu dan sumberdaya merupakan barang mahal.
Oleh karena itu, dengan pembelajaran yang efektif, Anda sebenarnya tidak memerlukan waktu
sepuluh tahun untuk menguasai satu bahasa, melainkan mungkin hanya dua atau tiga tahun
saja. Sisanya Anda bisa manfaatkan untuk belajar hal-hal penting lainnya atau bersenangsenang menikmati hasil dari kompetensi yang telah Anda miliki. Anda pun tidak perlu memaksa
putra-putri Anda untuk belajar bahasa Inggris sedini mungkin karena selain berpotensi merusak
pertumbuhan kognisi dan psikologi mereka, Anda perlu memantapkan mereka menguasai
bahasa ibu dan juga bahasa nasional barulah memperkenalkan bahasa Inggris atau bahasa asing
lainnya. Selain itu, belum ada riset yang menunjukkan bahwa pelajar kanak-kanak lebih cepat
menguasai bahasa asing. Sebaliknya, riset-riset terpercaya malahan memastikan bahwa pelajar
remaja atau dewasa justru merupakan pelajar bahasa yang handal. Jangan pula Anda tergoda
untuk menggaji guru-guru penutur asli dengan bayaran fantastis karena mereka belum tentu
tahu cara mengajari anak-anak Anda dengan baik.
Sebagai penutup, perlu diingat bahwa pendidikan dan pengajaran bahasa asing
sebenarnya merupakan persoalan kompleks. Perlu dukungan banyak hal secara simultan dan
berkesinambungan untuk meraih hasil maksimal. Jadi, jangan pernah terkecoh dengan beragam
asumsi dan mitos menyesatkan!