PERENCANAAN HEAT EXCHANGER PADA BINARY POWER PLANT KAPASITAS 100 KW YANG MEMANFAATKAN UAP SISA PLTP ULU BELU

ABSTRACT
DESIGN OF HEAT EXCHANGER FOR BINARY POWER PLANT
CAPACITY 100 KW BY USING
THE RESIDUAL STEAM OF PLTP ULU BELU
BY
RENDY DWI A. P.
Binary power plant is power plant system in which using the geothermal fluid as
the primary heat source to boil the working fluid which has a low boiling point by
using the heat exchanger from the liquid phase to the gas phase. The purpose of
this research is to design a heat exchanger for binary power plant capacity 100
KW, to calculating and to determine the dimensions of heat exchanger
component, to knowing longitudinal stress, circumferential stress, and thermal
stress that occurs in the heat exchanger.
The standard TEMA and ASME section VIII division 1 were used in the design,
with the following stages: determining the type of heat exchanger that will be
designed, calculating the dimensions of each component, specifyng the type of
material used, calculating the stress occurs in each component, drawing design
with using solidwork, and making the calculations program in heat exchanger
design.
Results of the research showed that the dimensions of the heat exchanger, uch as
0,5 m in diameter, 3,6 m length, and the wall thickness is 9,5 x 10-3 m. The total

maximum stress occurs in circumferential direction of the shell, that is 163,5 Mpa.
The stresses is still smaller than the material allowable stress, which suits to the
safety factor SF  1,5 that was planned.
Keyword : ASME section VIII Divison 1, binary power plant, circumferential
stress, heat exchanger, longitudinal stress, shell, solidwork, TEMA, thermal stress.

ABSTRAK
PERENCANAAN HEAT EXCHANGER PADA BINARY POWER PLANT
KAPASITAS 100 KW YANG MEMANFAATKAN
UAP SISA PLTP ULU BELU
OLEH
RENDY DWI A. P.
Binary power plant adalah sistem pembangkitan listrik yang mana fluida panas
bumi, dimanfaatkan sebagai sumber panas utama untuk memanaskan fluida kerja
yang memiliki titik didih rendah dengan menggunakan alat penukar panas dari
fase cair menjadi fase gas. Tujuan dari penelitian ini yaitu merencanakan heat
exchanger pada binary power plant kapasitas 100 KW, menghitung dan
menentukan dimensi-dimensi tiap komponen dari heat exchanger, mengetahui
besar longitudinal stress, circumferential stress dan thermal stress yang terjadi
pada heat exchanger.

Perencanaan ini menggunakan standar TEMA dan ASME Section VIII Divisi 1
dengan tahapan yaitu sebagai berikut, menentukan jenis heat exchanger yang
akan didesain, menghitung dimensi tiap komponen, menentukan jenis material
yang digunakan, menghitung tegangan yang terjadi pada tiap komponen heat
exchanger, menggambar desain menggunakan software solidwork, serta membuat
program perhitungan dalam perencanaan heat exchanger.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa dimensi dari heat exchanger yaitu
berdiameter 0,5 m, panjang 3,6 m, dan tebal dinding yaitu 9,5 x 10-3 m. Tegangan
total yang paling besar yaitu tegangan total arah circumferential yang terjadi pada
komponen shell dengan nilai sebesar 163,5 Mpa. Tegangan-tegangan yang terjadi
pada tiap komponen lebih kecil dibandingkan nilai tegangan ijin material pada
nilai SF 1,5 yang direncanakan.
Kata kunci : ASME section VIII divisi 1, binary power plant, circumferential
stress, heat exchanger, longitudinal stress, software solidwork, shell, TEMA,
thermal stress.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 15 Juni
1992, sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan

Ayahanda Parmono dan Ibunda Nurziana.

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanan-kanak (TK)
Taruna Jaya Bandar Lampung pada tahun 1998, SD Al-Azhar Bandar Lampung
pada tahun 2004, SMPN 29 Bandar Lampung pada tahun 2007, SMAN 5 Bandar
Lampung pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Teknik Mesin Fakultas
Teknik Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN). Kemudian pada September 2013, penulis melakukan Kerja
Praktek (KP) di PT. Krakatau Steel, Cilegon, Banten, dengan judul “Analisis
Efektivitas Plate Heat Exchanger Mould Slab Steel Plant di PT. Krakatau Steel”.

Penulis mengambil konsentrasi Tugas Akhir pada bidang Konversi Energi. Pada
April 2014 penulis melakukan penelitian dengan judul “Perencanaan Heat
Exchanger Pada Binary Power Plant Kapasitas 100 KW Yang Memanfaatkan
Uap Sisa PLTP Ulu Belu”, dengan pembimbing pertama Bapak A. Yudi Eka
Risano, S.T., M.Eng. dan pembimbing kedua Bapak Ahmad su’udi, S.T., M.T.

DENGAN RASA SYUKUR KEPADA ALLAH SWT

KARYA INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK :
Kedua Orang Tuaku Tercinta
Parmono
&
Nurziana

Mba Devi, Adek Feni, Adek Ricky, serta Adek Ilham
Untuk segala perhatian, kesabaran, keikhlasan dan kasih sayangnya
Rekan-Rekan Seperjuangan
Almamater Tercinta
Teknik Mesin Universitas Lampung

Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi
setiap muslimin dan muslimat.
(HR. Ubnu Abdil Bari)

Jangan iri atas kesuksesan orang lain,
Karena kamu tidak mengetahui apa yang telah
dia korbankan untuk mencapai kesuksesannya itu.
(Mario Teguh)


Kadang masalah adalah sahabat terbaikmu.
Mereka membuatmu jadi lebih kuat, lebih tegar
dan membuatmu dekat dengan Allah.
(MarioTeguh)

Seperti indahnya pelangi sehabis hujan,
itulah janji setianya Allah,
Dibalik duka yang kita alami, pasti ada
Kebahagian yang telah menanti.
(Penulis)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi dengan judul “Perencanaan Heat Exchanger Pada Binary Power Plant
Kapasitas 100 KW Yang Memanfaatkan Uap Sisa PLTP Ulu Belu” adalah
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Universitas Lampung.


Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan motivasi serta
dukungan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Prof. Dr. Suharno, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas
Lampung.
3. Ibu Dr. Eng. Shirley Savetlana, S.T., M.Met., selaku Ketua Jurusan
Teknik Mesin Universitas Lampung
4. Bapak A. Yudi Eka Risano, S.T., M.Eng., selaku Dosen Pembimbing
Pertama yang telah memberikan banyak waktu, ide, serta pengarahannya
dalam penyusunan skripsi ini.

ii

5. Bapak Ahmad Su’udi, S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing Kedua
dalam tugas akhir yang telah memberikan banyak ide serta
pengarahannya dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Amrizal, S.T., M.T., selaku Dosen Pembahas dalam tugas

akhir yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
7. Ibu Novri Tanti, S.T., M.T., selaku Koordinator Skripsi Jurusan Teknik
Mesin Universitas Lampung.
8. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Jurusan Teknik Mesin
Universitas Lampung.
9. Kedua Orang Tuaku, Papa dan Mama yang selalu memberikan
dukungan semangat, kasih sayang, sabar menunggu dan mendo’akan
atas harapan akan kesuksesan penulis hingga dapat menyelesaikan studi.
10. Mba Devi, Adek Ricky, dan Adek Ilham yang selalu menjadi motivasi
penulis untuk mencapai kesuksesan di waktunya.
11. Kepada “Feni Yulia Sari” yang selalu menenangkan hati penulis disaat
merasa bingung akan skripsi, dan terima kasih atas perhatiannya.
12. Teman-teman seperjuangan Bowo, Yayang, Galih, Chikal, Ramli,
Yulian, Yonanda, Mario, Apek, Engkoh Leo, Engkoh Aon, Tomi, Jo,
Doni, Khamdun, Bondan, Mecot, Muslim, Ryon, Cesc Wahyu, Nanjar,
Nyomen, Rabi’ah, Pranca, Dwino, Ilham dan rekan-rekan Teknik Mesin
2010 lainnya yang telah membantu dan saling mendukung selama ini.
Semoga persaudaraan kita tetap terjaga dengan slogan “Solidarity
Forever”.


iii

13. Rekan-rekan angkatan 1998-2009 dan 2010-2013 Teknik Mesin Unila
dan semua pihak yang telah membantu penulis.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga yang sederhana ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, November 2014
Penulis

Rendy Dwi A.P.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………

i


DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………
iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………viii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………… x
DAFTAR SIMBOL……………………………………………………………………… xi

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ………………………………………………………… 1
1.2. Tujuan Penelitian……………………………………………………

3

1.3. Batasan Masalah ……………………………………………………… 4
1.4. Sistematika Penulisan ………………………………………………… 4

BAB II.


TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi ……………………………… 6
2.2. Teknologi Siklus Biner ………………………………………………… 7
2.2.1.

Kriteria Dalam Pemilihan Fluida Kerja ………………………10

2.3. Heat Exchanger ……………………………………………………… 13
2.3.1.

Prinsip Kerja Heat Exchanger …………………………………
14

v

2.4. Shell and Tube Heat Exchanger …………………………………………
15
2.5. Desain Shell and Tube Heat Exchanger ……………………………… 16
2.6. Komponen Shell and Tube Heat Exchanger ……………………………
18

2.6.1.

Shell ……………………………………………………………
19

2.6.2.

Tube……………………………………………………………20

2.6.3.

Baffle …………………………………………………………24

2.6.4.

Tubesheet ………………………………………………………
25

2.6.5.

Tie Rods ………………………………………………………26

2.7. Perhitungan Desain Shell and Tube……………………………………26
2.7.1.

Menentukan Panjang Tube ………………………………… 27

2.7.2.

Perhitungan Dimensi Tebal Komponen Shell and Tube ………
31

2.8. Tegangan – tegangan Yang Terjadi Pada Shell and Tube Heat
Exchanger …………………………………………………………… 31

BAB III. METODELOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan …………………………………… 35
3.2. Tahapan Pelaksanaan ………………………………………………… 35
3.3. Alur Tahapan Pelaksanaan ………………………………………………
38

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Data Fluida Heat Exchanger ……………………………………………
40
4.1.1.

Perhitungan Besar Panas Untuk Fluida Propana Data …………
42

4.1.2.

Perhitungan Temperatur Keluar Fluida Panas ……………… 42

vi

4.1.3.

Perhitungan Nilai T LMTD pada Heat Exchanger ……….……
43

4.1.4.

Perhitungan Panjang Tube Pada Heat Exchanger ………… 44

4.1.5.

Tekanan Yang Terjadi Pada Tiap Komponen …………………
48

4.2. Menentukan Jenis Material Komponen Shell and Tube ………………50
4.3. Perhitungan Dimensi Komponen Shell and Tube ………………………
50
4.3.1.

Dimensi Shell ……………………………………………… 50

4.3.2.

Dimensi Tube ……………………………………………… 52

4.3.3.

Dimensi Tubesheet ……………………………………………53

4.3.4.

Dimensi Baffle ……………………………………………… 54

4.3.5.

Dimensi Tie Rods ………………………………………………
55

4.3.6.

Dimensi Front Head dan Rear Head …………………………56

4.3.7.

Dimensi Nozzle Shell …………………………………………59

4.3.8.

Dimensi Nozzle Tube …………………………………………60

4.4. Perhitungan Tegangan Pada Komponen ………………………………62
4.4.1.

Tegangan Pada Shell …………………………………………62

4.4.2.

Tegangan Pada Front Head ………………………………… 65

4.4.3.

Tegangan Pada Rear Head ……………………………………
67

4.4.4.

Tegangan Pada Tube …………………………………………69

4.4.5.

Tegangan Pada Noozle Shell …………………………………71

4.4.6.

Tegangan Pada Noozle Tube …………………………………73

4.5. Tegangan Total Yang Terjadi Pada Komponen Sheel and Tube
Head Exchanger ………………………………………………………76
4.6. Program Perencanaan Heat Exchanger …………………………………
77

vii

BAB V.

SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ………………………………………………………………84
5.2. Saran ……………………………………………………………………
86

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

2.1. Diagram proses binary-cycle secara umum ……………………………………

9

2.2. Diagram pressure-enthalpy untuk PLTP siklus biner …………………………… 10
2.3. Shell and tube ………………………………………………………………………15
2.4. Komponen shell and tube ………………………………………………………… 18
2.5. Tipe-tipe front head, shell and rear head ………………………………………… 20
2.6. Tube …………………………………………………………………………………
21
2.7. Jenis susunan / pola tube ……………………………………………………………23
2.8. Baffle …………………………………………………………………………………
24
2.9. Tubesheet ……………………………………………………………………………
26
2.10. Daerah aliran lapisan batas plat rata …………………………………………………
28
2.11. Diagram aliran dalam tabung ………………………………………………………29
2.12. Arah Tegangan Circumferential pada pipa ……………………………………… 33
2.13. Arah Tegangan Longitudinal…………………………………………………………
33
3.1. Diagram alur tahapan pelaksanaan …………………………………………………39
4.1. Skema temperatur heat exchanger ……………………………………………… 43
4.2. Dimensi blind flanges shell ……………………………………………………… 51

ix

4.3. Dimensi blind flange untuk tubesheets ………………………………………………
54
4.4. Dimensi untuk komponen front dan rear head ……………………………………57
4.5. Dimensi blind flanges untuk front dan rear head ………………………………

58

4.6. Dimensi blind flanges untuk nozzle shell ………………………………………… 60
4.7. Dimensi flanges untuk nozzle tube …………………………………………………61
4.8. Tampilan pertama program ……………………………………………………… 77
4.9. Tampilan kedua program ……………………………………………………………
79
4.10. Tampilan ketiga program ………………………………………………………

80

4.11. Tampilan keempat program …………………………………………………………
81
4.12. Tampilan kelima program ……………………………………………………………
81
4.13. Tampilan keenam program ……………………………………………………… 82
4.14. Tampilan ketujuh program …………………………………………………………83

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

2.1. Beberapa senyawa yang memiliki potensi sebagai fluida kerja yang ideal ……… 13
2.2. Dimensi standar ketebalan pipa ………………………………………………… 22
2.3. Jarak (pitch) berdasarkan TEMA ……………………………………………………
23
4.1. Hasil tegangan total yang terjadi tiap komponen ……………………………………
76

DAFTAR SIMBOL

Simbol

Keterangan

Satuan

A

Luas permukaan

m2

CA

Faktor korosi

m

Cp

Panas spesifik

Kj/kgK

Din

Diameter dalam

m

Dout

Diameter luar

m

E

Modulus elastisitas

Pa

I

Faktor I

L

Panjang

N

Jumlah tube

Nu

Bilangan nusselt

P

Tekanan desain

Pa

Pcond

Tekanan Kondisi

Pa

Pcritic

Tekanan kritis

Pa

Pr

Bilangan prandlt

Q

Debit pompa

m3/s

R

Jari-jari

m

Re

Bilangan reynold

m

xii

Rcond,ins

Thermal resistance konduksi

K/W

Rconv,i

Thermal resistance konveksi bagian dalam

K/W

Rconv,o

Thermal resistance konveksi bagian luar

K/W

S

Tegangan material pada suhu tertentu

Pa

ST

Jarak pitch

m

SF

Faktor keamanan

Tcritic

Temperatur kritis

K

Tin

Temperatur masuk

K

Tout

Temperatur keluar

K

U

Koefisien perpindahan panas menyeluruh

W/m2K

V

Kecepatan aliran

m/det

Vmax

Kecepatan aliran maksimum

m/det

h in

Koefisien perpindahan panas bagian dalam

W/m2K

h out

Koefisien perpindahan panas bagian luar

W/m2K

h1

Enthalpy masuk

Kj/Kg

h2

Enthalpy keluar

Kj/Kg

k

Konduktifitas

W/mK

m

Laju aliran massa

Kg/det

q conv

Transfer panas konveksi

Kj/det

q max

Transfer panas maksimum

Kj/det

t min

Tebal minimum

m



xiii



Koefisien ekspansi termal

/oC



Efektivitas Penukar Panas

%



Viskositas

Ns/m



Massa jenis

Kg/m3

H

Tegangan circumferential

Pa

L

Tegangan longitudinal

Pa

 ijin

Tegangan ijin material

Pa

 termal

Tegangan thermal

Pa

y

Tegangan yield material

Pa

υ

Volume spesifik fluida

m3/kg

ΔL

Elongasi pada material

m

ΔP

Pressure drop

Pa

T

Perubahan temperatur

K

TLMTD

Log mean temperature difference

K

I. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Energi panas bumi (Geothermal) merupakan sumber energi terbarukan
berupa energi thermal (panas) yang dihasilkan dan disimpan di dalam inti
bumi. Saat ini energi panas bumi mulai menjadi perhatian dunia.
Meningkatnya kebutuhan akan energi serta meningkatnya harga minyak,
telah memacu negara‐negara lain untuk mengurangi ketergantungan
mereka pada minyak dengan cara memanfaatkan energi panas bumi untuk
menghasilkan energi listrik. Beberapa pembangkit listrik bertenaga panas
bumi sudah dimanfaatkan oleh 24 negara seperti Amerika Serikat (AS),
Inggris, Prancis, Italia, Swedia, Swiss, Jerman, Selandia Baru, Australia,
Jepang, termasuk Indonesia. Negara yang terbesar di dunia dalam hal
kapasitas instalasi energi panas bumi adalah Amerika Serikat. Pada tahun
2010 Amerika Serikat memiliki 77 Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi (PLTP) yang memproduksi lebih dari 3000 MW.

Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar yaitu 40% dari potensi
dunia, yang tersebar di 265 lokasi di sepanjang jalur vulkanik yang
membentang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi,

2

dan Maluku. Berdasarkan data dari Badan Geologi pada tahun 2011,
potensi pembangkit listrik tenaga panas bumi Indonesia adalah 29.308
MW. Namun, sampai dengan saat ini baru sekitar 1.196 MW (4%)
dari total potensi pembangkit listrik tenaga panas bumi yang telah
dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik.

Provinsi lampung sendiri memiliki potensi panas bumi yang cukup tinggi
yang saat ini telah dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik tenaga panas
bumi (PLTP). Salah satunya yang terletak di Ulu belu Kabupaten
Tanggamus, yang memiliki kapasitas sebesar 110 MW. Dengan kapasitas
yang besar tersebut, diharapkan pembangkit listrik ini dapat sedikit
mengatasi kekurangan akan kebutuhan energi listrik yang terjadi saat ini.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) pada prinsipnya sama
seperti Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), hanya pada PLTU uap
dibuat di permukaan menggunakan boiler, sedangkan pada PLTP uap
berasal dari reservoir panas bumi. Apabila fluida di kepala sumur berupa
fasa uap, maka uap tersebut dapat dialirkan langsung ke turbin, dan
kemudian turbin akan mengubah energi panas bumi menjadi energi gerak
yang akan memutar generator sehingga dihasilkan energi listrik. Uap yang
telah menggerakkan turbin tersebut kemudian diinjeksikan kembali
menuju perut bumi. Kenyataannya, uap ini masih memiliki suhu sedang
yang masih dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik siklus binary,

3

sehingga dapat menambah efisiensi pembangkit listrik tenaga panas bumi
tersebut.

Dalam siklus binary, fluida sekunder (pentana, isobutana atau ammonia)
dipanasi oleh fluida panas bumi melalui alat penukar kalor atau heat
exchanger. Fluida sekunder menguap pada temperatur lebih rendah dari
temperatur titik didih air pada tekanan yang sama. Uap tersebut mengalir
ke turbin sekunder dan menggerakan generator sehingga menghasilkan
listrik dalam skala kecil dibandingkan pembangkit primer. Setelah
dimanfaatkan,

uap

fluida sekunder ini

dikondensasikan sebelum

dipanaskan kembali oleh fluida panas bumi. Siklus tertutup dimana fluida
panas bumi tidak diambil massanya, tetapi hanya panasnya saja yang
diekstraksi oleh fluida kedua, sementara fluida panas bumi baru
diinjeksikan kembali ke perut bumi.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membuat “Perencanaan
Heat Exchanger Pada Binary Power Plant Kapasitas 100 KW Yang
Memanfaatkan Uap Sisa PLTP Ulu Belu” sebagai tugas akhir.

1.2.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari tugas akhir ini adalah:
1. Mendesain sebuah alat heat exchanger untuk binary power plant
berkapasitas 100 KW.

4

2. Menghitung dan menentukan dimensi-dimensi tiap komponen dari heat
exchanger ini.
3. Mengetahui besar longitudinal stress, circumferential stress dan
thermal stress, yang terjadi pada heat exchanger.

1.3.

Batasan Masalah

Untuk mendapatkan hasil yang lebih terarah, maka pada tugas akhir ini
diberikan batasan masalah sebagai berikut:
1. Heat exchanger yang akan dirancang merupakan jenis shell and tube.
2. Perencanaan heat exchanger akan disesuaikan dengan Turbin uap
dengan kapasitas 100 KW.
3. Perancangan menggunakan standar TEMA (Tubular Exchanger
Manufacturer Association) dan ASME Section VIII Divisi 1.
4. Pada perancangan ini proses produksi tidak dibahas.

1.4.

Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:
I.

PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan latar belakang tugas akhir, tujuan, batasan masalah,
dan sistematika penulisan.

5

II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan landasan teori yang berisikan teori-teori dasar
untuk mendukung tugas akhir ini.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan
tugas akhir, yaitu waktu dan tempat pelaksanaan, tahapan pelaksanaan dan
diagram alur pelaksanaan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisikan hasil perhitungan, gambar desain heat exchanger
serta pembahasan.
V. SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini berisikan tentang simpulan yang dapat ditarik serta
memberikan saran yang dapat menyempurnakan tugas akhir ini.
DAFTAR PUSTAKA
Memuat referensi yang dipergunakan penulis untuk menyelesaikan laporan
tugas akhir.
LAMPIRAN
Berisikan beberapa hal yang mendukung tugas akhir.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)

Pembangkit listrik tenaga panas bumi adalah pembangkit listrik yang
menggunakan panas bumi (geothermal) sebagai energi penggeraknya.
Indonesia dikaruniai sumber panas bumi yang berlimpah karena
banyaknya gunung berapi dari pulau-pulau besar yang ada, hanya pulau
Kalimantan saja yang tidak mempunyai potensi panas bumi (Carin, 2011).
Keuntungan teknologi ini antara lain, bersih, dapat beroperasi pada suhu
yang lebih rendah daripada PLTN, dan aman, bahkan geothermal adalah
yang terbersih dibandingkan dengan nuklir, minyak bumi dan batu bara.
Pada umumnya pembangkit listrik panas bumi berdasarkan jenis fluida
kerja panas bumi yang diperoleh dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Vapor dominated system (sistem dominasi uap)
b. Flushed steam system
c. Binary cycle system (sistem siklus biner)

Proses dalam pembangkit dimulai dari uap yang diambil dari panas
bumi yang digunakan untuk memutar turbin. Jika uap tersebut
bertemperatur diatas 370 oC, maka PLTP menggunakan vapor dominated

7

system dimana uap dari panas bumi langsung digunakan utuk memutar
turbin. Jika bertemperatur sekitar 170 oC sampai dengan 370 oC, maka
menggunakan flushed steam system dimana uap

masih

mengandung

cairan dan harus dipisahkan dengan flush separator sebelum memutar
turbin. Dalam binary-cycle system uap panas bumi digunakan untuk
memanaskan gas dalam heat exchanger, kemudian gas ini yang akan
memutar turbin (Kevin, 2007).

2.2.

Teknologi Siklus Biner

Teknologi siklus biner adalah sistem pembangkitan listrik yang mana
fluida panas bumi, baik berupa uap maupun air panas, dimanfaatkan
sebagai sumber panas utama untuk memanaskan fluida kedua (atau disebut
juga fluida kerja) dengan menggunakan alat penukar panas dari fase cair
menjadi fase gas. Fase gas dari fluida kerja ini kemudian dialirkan ke
dalam turbin yang dikopel dengan generator untuk membangkitkan listrik.
Fluida kerja ini bekerja pada siklus tertutup.

Teknologi siklus biner dikembangkan untuk memanfaatkan sumber panas
bumi yang mempunyai kondisi dan karakteristik sebagai berikut:
a. Sumber panas bumi yang menghasilkan fluida enthalpy rendah sampai
dengan menengah. Fluida panas bumi dengan temperatur 5%) akan cepat
terakumulasi di dalam kondenser sehingga diperlukan pompa dengan
kapasitas yang cukup besar untuk mengeluarkan gas-gas tersebut.
Penggunaan pompa tersebut akan meningkatkan daya parasit di dalam
pembangkit yang dapat menyebabkan ketidak-ekonomisan pembangkit
tersebut. Dengan menerapkan teknologi siklus biner, NCG tidak akan
masuk ke dalam sistem pembangkit sehingga fluida dengan kandungan
NCG tinggi masih layak dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.

9

Proses kerja PLTP siklus biner dapat dilihat pada diagram alir di Gambar
2.1. Sistem ini terdiri dari sumur produksi dan sumur reinjeksi termasuk
jaringan pipanya, evaporator, kondensor dan sistem pendinginannya,
pompa fluida kerja, turbin generator dan peralatan pendukung pembangkit.
Pada proses kerjanya, fluida panas bumi, dalam contoh ini adalah brine,
dialirkan kedalam preheater atau evaporator, dimana energi panas
ditransfer kepada fluida kerja. Setelah keluar dari alat penukar panas, brine
tersebut akan direinjeksi kedalam bumi.

Gambar 2.1 Diagram proses binary-cycle secara umum
(Yari, 2009)

Proses kerja siklus ini berdasarkan pada rankine cycle dengan urutan
proses sebagai berikut: Fluida kerja yang telah dipanaskan dari fase cair
ke fase gas kemudian dimasukkan ke dalam turbin yang dikopel dengan
generator untuk membangkitkan listrik. Setelah terjadi ekspansi ke tekanan
atau temperatur yang lebih rendah di dalam turbin, uap fluida kerja akan
dikondensasi menjadi cair oleh media pendingin seperti air atau udara,
kemudian dimasukkan ke dalam tangki kondensat. Pada Gambar 2.1.
media pendingin yang digunakan adalah air yang didinginkan melalui

10

sebuah cooling tower. Media pendingin ini bisa juga menggunakan udara.
Fluida kerja yang telah terkondensasi ini kemudian akan dipompakan
kembali ke dalam alat penukar panas sehingga proses ini berlangsung terus
menerus di dalam siklus yang tertutup.

Pada teknologi pembangkit panas bumi, jenis rankine cycle yang biasa
diterapkan pada sistem siklus biner adalah subcritical rankine cycle.
Secara termodinamika, proses kerja PLTP siklus biner dapat dilihat
melalui diagram Ph (Pressure vs Enthalpy) seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Diagram pressure-enthalpy untuk PLTP siklus biner
(DiPippo, 2008)

2.2.1. Kriteria Dalam Pemilihan Fluida Kerja

Fluida kerja adalah fluida yang memiliki energi untuk melakukan kerja
pada peralatan mekanik. Pada PLTP siklus biner, fluida kerja digunakan
untuk menggerakkan turbin. Alasan penggunaan fluida kerja pada PLTP

11

siklus biner dikarenakan fluida brine tidak bisa digunakan langsung untuk
menggerakkan turbin. Hal tersebut bisa disebabkan oleh fluida brine
mengandung senyawa-senyawa (baik berupa padatan, cairan, gas) yang
dapat merusak turbin ataupun karena kondisi brine (tekanan dan
temperatur sumur) yang tidak cukup tinggi untuk memutar turbin
konvensional/uap.

Dalam aplikasi PLTP siklus biner, tidak ada fluida kerja ideal yang dapat
memenuhi seluruh kriteria, namun begitu ada beberapa kriteria utama yang
harus dipenuhi diantaranya:
a. Properti termodinamik yang cocok
1. Suhu kritis
Suhu kritis adalah suhu dimana fase cair dan fase gas suatu senyawa
tidak dapat dibedakan lagi. Fluida kerja yang baik memiliki suhu
kritis yang lebih rendah dari suhu kritis brine, karena akan
memberikan driving force perpindahan panas yang baik.

2. Tekanan kondensasi
Tekanan kondensasi adalah tekanan dimana sebuah fluida mulai
terkondensasi. Semakin rendah tekanan kondensasi suatu fluida kerja
maka akan semakin murah biaya peralatan (HE and piping) dan
operasionalnya (pumping cost), asalkan tidak lebih rendah dari
tekanan atmosfer, karena dapat mengakibatkan udara masuk ke
dalam system.

12

3. Faktor I
Faktor I

adalah suatu parameter yang menjelaskan kondisi fasa

fluida ketika meninggalkan turbin, parameter ini didefinisikan oleh
Kihara dan Fukunaga (1975) dalam bentuk persamaan berikut:

I  1

Tcond C p
(T s) sat ,vap

(2.1)

Dimana, Tcond = Temperatur fluida

T

= Perubahan temperatur

s

= Perubahan entropy

Bila nilai faktor I < 1, kondisi fluida kerja keluar turbin masih dalam
kondisi superheat. Namun jika faktor I > 1, sebagian fluida tersebut
sudah mulai terkondensasi. Selain dapat menurunkan efisiensi turbin,
fluida kerja yang terkondensasi juga dapat menimbulkan kerusakan
serius pada turbin.

b. Tidak mengotori (non fouling)
c. Tidak korosif
d. Tidak beracun
e. Tidak mudah terbakar
f. Harga terjangkau

Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, maka beberapa senyawa yang
memiliki potensi sebagai fluida kerja yang ideal dikumpulkan pada Tabel
2.1 (Danang, 2010).

13

Tabel 2.1. Beberapa senyawa yang memiliki potensi sebagai fluida kerja
yang ideal (Danang, 2010).
Fluida
Berat
Tcritic
Pcritic
Pcond
Faktor I
0
( C)
(atm)
at38C
Molekul
Propane
44,1
96,7
41,9
12,8
1,39
Isobutane
58,1
134,7
35,9
4,9
0,81
n-butane
58,1
152,0
37,5
3,5
0,75
Isopentane
72,2
187,8
33,5
1,4
0,72
n-pentane
72,2
196,6
33,3
1,0
0,71
R-123
152,9
183,8
36,1
1,2
R134a
102
101,1
40,1
9,2
R-245fa
134
154,1
43,7
Ammonia
17
132,3
111,9
145
6,89
Water
18
373,9
217,7
0,06
3,40

2.3.

Heat Exchanger

Heat exchanger atau alat penukar panas adalah alat yang digunakan untuk
mempertukarkan panas secara kontinue dari suatu medium ke medium
lainnya dengan membawa energi panas. Menurut T. Kuppan (2000) suatu
heat exchanger terdiri dari elemen penukar kalor yang disebut sebagai inti
atau matrix yang berisikan di dinding penukar panas, dan elemen distribusi
fluida seperti tangki, nozle masukan, nozle keluaran, pipa-pipa, dan lainlain. Biasanya, tidak ada pergerakan pada bagian-bagian dalam heat
exchanger. Namun, ada perkecualian untuk regenerator rotary dimana
matriksnya digerakan berputar dengan kecepatan yang dirancang. Dinding
permukaan heat exchanger adalah bagian yang bersinggungan langsung
dengan fluida yang mentransfer panasnya secara konduksi.

14

Menurut Changel (1997) hampir disemua heat exchanger, perpindahan
panas didominasi oleh konveksi dan konduksi dari fluida panas ke fluida
dingin, dimana keduanya dipisahkan oleh dinding. Perpindahan panas
secara konveksi sangat dipengaruhi oleh bentuk geometri heat exchanger
dan tiga bilangan tak berdimensi, yaitu bilangan Reynold, bilangan Nusselt
dan bilangan Prandtl fluida. Besar konveksi yang terjadi dalam suatu
double-pipe heat exchanger akan berbeda dengan cros-flow heat
exchanger atau compact heat exchanger atau plate heat exchanger untuk
berbeda temperatur yang sama. Secara umum ada 2 tipe penukar panas,
yaitu:
a. Direct heat exchanger, dimana kedua medium penukar panas saling
kontak satu sama lain.
b. Indirect heat exchanger, dimana kedua media penukar panas
dipisahkan oleh sekat/ dinding dan panas yang berpindah juga
melewatinya.

2.3.1. Prinsip Kerja Heat Exchanger

Heat exchanger bekerja berdasarkan prinsip perpindahan panas, dimana
terjadi perpindahan panas dari fluida yang temperaturnya lebih tinggi ke
fluida yang temperaturnya lebih rendah. Biasanya, ada suatu dinding metal
yang menyekat antara kedua cairan yang berlaku sebagai konduktor. Suatu
solusi panas yang mengalir pada satu sisi yang mana memindahkan
panasnya melalui fluida lebih dingin yang mengalir di sisi lainnya.

15

2.4.

Shell and Tube Heat Exchanger

Shell and tube merupakan jenis alat penukar panas yang banyak digunakan
pada suatu proses kimia. Shell and tube mengandung banyak tube sejajar
di dalam shell. Shell and tube digunakan saat suatu proses membutuhkan
fluida untuk dipanaskan atau didinginkan dalam jumlah besar. Shell and
tube memiliki area penukaran panas yang besar sehingga efisiensi
perpindahan panas menjadi lebih tinggi. Pada jenis alat penukar kalor ini,
fluida panas mengalir di dalam tube sedangkan fluida dingin mengalir di
luar tube atau di dalam shell. Karena kedua aliran fluida melintasi penukar
kalor hanya sekali, maka susunan ini disebut penukar kalor satu lintas
(single-pass). Jika kedua fluida itu mengalir dalam arah yang sama, maka
penukar kalor ini bertipe aliran searah (parallel flow) . Jika kedua fluida
itu mengalir dalam arah yang berlawanan, maka penukar kalor ini bertipe
aliran berlawanan (counter flow) (Kreith, 1997).

Gambar 2.3. Shell and tube
(Nuryaman, 2011)

16

2.5.

Desain Shell and Tube Heat Exchanger

Standar yang banyak dipergunakan dalam masalah desain shell and tube
yaitu TEMA (Tubular Exchanger Manufacturer Association) yaitu suatu
asosiasi para pembuat penukar kalor di Amerika dan ASME (American
Society of Mechanical Engineers). TEMA lebih banyak membahas
mengenai jenis penukar kalor, metode perhitungan kinerja dan
kekuatannya (proses perancangan), istilah bagian-bagian dari penukar
kalor (parts), dan dasar pemilihan dalam aplikasi penukar kalor dalam
kehidupan sehari-hari khususnya di industri. Sedangkan ASME lebih
memuat masalah prosedur dasar bagaimana membuat penukar kalor serta
standard bahan yang akan atau biasa dipergunakan. Kedua aturan atau
prosedur tersebut tidak lain bertujuan untuk melindungi para pemakai dari
bahaya kerusakan, kegagalan operasi, serta kemanan dan dengan alasan
apa apabila terjadi “complaint” terhadap masalah yang terjadi. Hal ini
dapat dimengerti karena pada umumnya penukar kalor bekerja pada
temperatur dan tekanan yang tinggi serta kadang-kadang menggunakan
fluida yang bersifat kurang ramah terhadap kehidupan manusia.

Berdasarkan TEMA secara garis besar jenis shell and tube dibagi menjadi
tiga kelompok besar berdasarkan pemakaiannya di industri yaitu:
a. Kelas R : HE yang didesign dan difabrikasi untuk kondisi berat pada
industri gas dan petroleum.

17

b. Kelas C : HE yang didesign dan difabrikasi untuk kondisi yang lebih
ringan dan untuk keperluan industri umum.
c. Kelas B : HE yang didesign dan difabrikasi untuk keperluan prosesproses kimia.

Ada beberapa fitur desain termal yang akan diperhitungkan saat
merancang tabung di shell dan penukar panas tabung. Ini termasuk:
a. Diameter pipa : Menggunakan tabung kecil berdiameter membuat
penukar panas baik ekonomis dan kompak.

b. Ketebalan tabung: Ketebalan dinding tabung biasanya ditentukan untuk
memastikan:
1.

Ada ruang yang cukup untuk korosi

2.

Itu getaran aliran-diinduksi memiliki ketahanan

3.

Axial kekuatan

4.

Kemampuan untuk dengan mudah stok suku cadang biaya

Kadang-kadang ketebalan dinding ditentukan oleh perbedaan tekanan
maksimum di dinding.

c. Panjang tabung : penukar panas biasanya lebih murah ketika mereka
memiliki diameter shell yang lebih kecil dan panjang tabung panjang.
Dengan demikian, biasanya ada tujuan untuk membuat penukar panas
selama mungkin. Namun, ada banyak keterbatasan untuk ini, termasuk
ruang yang tersedia di situs mana akan digunakan dan kebutuhan untuk

18

memastikan bahwa ada tabung tersedia dalam panjang yang dua kali
panjang yang dibutuhkan.

d. Tabung pitch : ketika mendesain tabung, adalah praktis untuk
memastikan bahwa tabung pitch tidak kurang dari 1,25 kali diameter
luar tabung .

2.6.

Komponen shell and Tube Heat Exchanger

Dalam penguraian komponen-komponen heat exchanger jenis shell and
tube akan dibahas beberapa komponen yang sangat berpengaruh pada
konstruksi heat exchanger. Untuk lebih jelasnya disini akan dibahas
beberapa komponen dari heat exchanger jenis shell and tube.

Gambar 2.4. Komponen shell and tube
(Nuryaman, 2011)

Seperti gambar konstruksi heat exchanger diatas, komponen utama dari
HE jenis ini ada adalah shell, tube (pipa) dan sekat (baffle). Kontruksi shell
sangat ditentukan oleh keadaan tubes yang akan ditempatkan didalamnya.

19

Shell ini dapat dibuat dari pipa yang berukuran besar atau pelat logam
yang di-roll. Shell merupakan badan dari heat exchanger, dimana didapat
tube bundle. Untuk temperatur yang sangart tinggi kadang-kadang shell
dibagi dua disambungkan dengan sambungan ekspansi.

Tube atau pipa merupakan bidang pemisah antara kedua jenis fluida yang
mengalir didalamnya dan sekaligus sebagai bidang perpindahan panas.
Ketebalan dan bahan pipa harus dipilih pada tekanan operasi fluida
kerjanya. Selain itu bahan pipa tidak mudah terkorosi oleh fluida kerja.
Susunan

dari

tube

ini

dibuat

berdasarkan

pertimbangan

untuk

mendapatkan jumlah pipa yang banyak atau untuk kemudahan perawatan
(pembersihan permukaan pipa).

2.6.1. Shell

Kontruksi shell sangat ditentukan oleh keadaan tubes yang akan
ditempatkan didalamnya. Shell ini dapat dibuat dari pipa yang berukuran
besar atau pelat logam yang dirol. Shell merupakan badan dari heat
exchanger, dimana didapat tube bundle. Untuk temperatur yang sangat
tinggi kadang-kadang shell dibagi dua disambungkan dengan sambungan
ekspansi. Untuk shell ini terdapat standard yang menentukan jenis bahan
dan minimum ketebalan yang harus dipenuhi untuk berbagai ukuran
diamater shell. Standard tersebut selain TEMA juga standard ASME
Section VIII.

20

Berdasarkan konstruksinya, STHE dapat dibagi atas beberapa tipe, masing
masing tipe diberi kode berdasarkan kombinasi tipe Front Head, Shell, dan
Rear Head. Seperti ditampilkan sebelumnya, berikut jenis-jenis konstruksi
Shell & Tube Heat Exchanger berdasarkan standar TEMA kelas RCB.

Gambar 2.5. Tipe-tipe front head, shell and rear head
(TEMA, 2007)

2.6.2. Tube

Tube (pipa) merupakan media mengalirnya salah satu dari dua fludia yang
melakukan perpindahan panas dalam Shell & Tube. Dinding tube

21

merupakan bidang pemisah dari kedua fluida dan sekaligus berfungsi
sebagai bidang perpindahan panas. Bahan dan ketebalan dinding tube
harus dipilih agar diperoleh penghantaran panas yang baik dan juga
mampu pada tekanan operasi fluidanya serta tidak mudah terkorosi atau
tererosi oleh fluida kerjanya.

Gambar 2.6. Tube
(Nuryaman, 2011)

Diameter tube merupakan faktor penting dalam perancangan panas jenis
shell and tube. Pemilihan diameter pipa akan mempengaruhi beberapa
besaran yang digunakan dalam perhitungan penukar panas seperti :
kecepatan aliran fluida, koefisien perpindahan panas sisi pipa, koefisien
perpindahan panas sisi cangkang, pressure drop sisi pipa dan sisi
cangkang. Diameter kecil banyak dipilih untuk kebanyakan fungsi, karena
akan membentuk susunan yang rapi, dan karena lebih murah. Sedangkan
dengan menggunakan pipa yang lebih besar alat penukar panas akan lebih
mudah untuk dibersihkan dengan metode mekanis dan biasanya ukuran
pipa yang besar dipilih untuk cairan pengotor yang banyak.

22

Pemilihan ketebalan pipa biasanya digunakan untuk menahan tekanan
dalam pipa dan memberikan penyisihan korosi yang memadai. Standar
diameter dan ketebalan dinding pipa untuk penukar panas jenis shell and
tube seperti pada Tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2. Dimensi standar ketebalan pipa (ASME, 2004)
Outside diameter (in)
0.405
0.540
0.675
0.840
1.050
1.315
1.660
1.900
2.375
2.875

Wall thickness
0.068
0.088
0.091
0.109
0.113
0.133
0.140
0.145
0.154
0.203

Susunan berkas pipa merupakan salah satu faktor penting dalam
perancangan penukar panas. Adapun beberapa tipe susunan tube terbagi
atas:
a. Susunan Segitiga (Triangular Pitch)
b. Susunan Segitiga Diputar 30 (Rotated Triangular Pitch)
c. Susunan Bujur Sangkar (Square Pitch)
d. Susunan Bujur sangkar yang Diputar 45 (Diamond Square Pitch).

23

Gambar 2.7. Jenis susunan / pola tube
(Nuryaman, 2011)

Pola staggered dan pola rotated square memberikan tingkat perpindahan
panas yang lebih tinggi, tetapi dengan penurunan tekanan yang lebih tinggi
daripada pola persegi. Pola persegi (square), atau pola persegi putar
(rotated square), digunakan untuk cairan fluida yang berat, dimana perlu
mekanisme pembersihan dibagian luar pipa.

Jarak antar pipa (pitch) yang disarankan bervariasi mulai dari 1,25 kali
diameter luar pipa hingga 3 kali diameter luar pipa. Pemilihan jarak pipa
biasanya memperhitungkan penggunaan penukar panas dan penurunan
tekanan maksimum yang diijinkan.

Tabel 2.3. Jarak antar tube (TEMA, 2007)
Square Arrays
Tube Diameter
Pt, Pitch
¾ in (19 mm)
1 in (25 mm)
2 in (25 mm)
1 ¼ in (32 mm)
1 ¼ in (32 mm) 1 9/16 in (40 mm)
1 ½ in (39 mm) 1 7/8 in (48 mm)

Triangular Arrays
Tube Diameter
Pt, Pitch
¾ in (19 mm)
1 5/16 in (24 mm)
¾ in (19 mm)
1 in (25 mm)
1 in (25 mm)
1 ¼ in (32 mm)
1 ¼ in (32 mm) 1 9/16 in (40 mm)
1 ½ in (32 mm) 1 7/8 in (48 mm)

24

2.6.3. Baffle / Sekat

Baffle berfungsi untuk mengubah arah aliran fluida didalam shell dan
sebagai pendukung dari berkas tube. Bentuknya berupa piringan yang
dilubangi untuk penempatan tube, dibentuk sedemikian rupa agar aliran
fluida dalam shell dapat menyentuh permukaan tube secara efektif untuk
perindahan panas. Parameter pemilihan bentuk baffle ditentukan oleh
penurunan tekanan yang diizinkan, bentuk dan distribusi aliran yang ingin
dicapai. Jarak minimum sekat (baffle) adalah 1/5 diameter shell atau 51
mm namun dengan desain khusus jarak minimum dapat lebuh dekat
(TEMA, 2007). Baffle cut bervariasi antara 15-45% (luas piringan baffle),
namun baffle yang optimum adalah 25% (TEMA, 2007).

Ditinjau dari segi konstruksinya baffle dapat diklasifikasikan dalam empat
kelompok, yaitu Sekat plat bentuk segmen, sekat bintang (rod baffle),
Sekat mendatar, Sekat impingement (Agus Nuryaman, 2011).

Gambar 2.8. Baffle
(Nuryaman, 2011)

25

Adapun fungsi dari pemasangan sekat (baffle) pada heat exchanger ini
antara lain adalah untuk :
a. Sebagai penahan dari tube bundle
b. Untuk mengurangi atau menambah terjadinya getaran.
c. Sebagai alat untuk mengarahkan aliran fluida yang berada di dalam
tubes.

2.6.4. Tubesheet

Tubesheet merupakan tempat untuk merangkai ujung-ujung tube sehingga
menjadi satu yang disebut tube bundle. HE dengan tube lurus pada
umumnya menggunakan 2 buah tube sheet. Sedangkan pada tube tipe U
menggunakan satu buah tubesheet yang berfungsi untuk menyatukan tubetube menjadi tube bundle dan sebagai pemisah antara tube side dengan
shell side. Tubesheet merupakan bagian yang penting pada penukar kalor.
Tubesheet ini dibuat tebal dan pipa harus terpasang rapat tanpa bocor pada
tub sheet. Dengan konstruksi fluida yang mengalir pada badan shell tidak
akan tercampur dengan fluida yang mengalir didalam tube.

Tubesheet terbagi dalam dua jenis, yaitu:
a. Fixed tubesheet, dimana tubesheet dipasang kokoh pada shell. Biasanya
tubesheet ini dipasang dengan cara compression fitting (dengan bautmur). Untuk keperluan khusus dapat dilakukan sambungan las.

26

b. Floating tubesheet; tubesheet ini tidak dikatkan pada shell, tetapi
terpasang dengan baik pada tube bundle (berkas pipa). Pemakaian
floating tubesheet biasanya dimaksudkan untuk mengatasi ekspansi
termal pada operasi temperatur tinggi. Untuk mencegah tercampurnya
fluida di dalam penukar kalor, pada bagian saluran pipa dipasang tutup
tubesheet.

Gambar 2.9. Tubesheet
(Nuryaman, 2011)

2.6.5. Tie Rods
Batangan besi yang dipasang sejajar dengan tube dan ditempatkan di
bagian paling luar dari baffle yang berfungsi sebagai penyangga agar jarak
antara baffle yang satu dengan lainnya tetap.

2.7.

Perhitungan Desain Shell and Tube

Adapun perhitungan yang dilakukan dalam proses desain shell and tube
heat exchanger akan dijabarkan berikut ini.

27

2.7.1. Menentukan Panjang Tube
a. Koefisien Perpindahan Panas
Aliran di dalam celah adalah tertutup sempurna, maka kesetimbangan
energi dapat digunakan untuk menentukan temperatur fluida yang
bervariasi dan nilai total transfer panas konveksi Qconv tergantung dari
laju aliran massa. Jika perubahan energi kinetik dan energi potensial
diabaikan, maka pengaruh yang signifikan adalah perubahan energi
thermal dan fluida kerja. Sehingga kesetimbangan energi dapat
dirumuskan sebagi berikut (Incropera, 1996) :

q conv  mch C p (T f ,o  T f ,i )

(2.2)

Laju aliran massa ( mch ) didapatkan dengan menggunakan rumus
berikut:

mch  Q x 

Dimana,

(2.3)

qconv

= total transfer panas (W)

mch

= aliran massa yang melalui celah (kg/s)

Cp

= koefisien perpindahan panas (Kj/kg.K)

T f ,o

= temperatur fluida keluar (oC)

T f ,i

= temperatur fluida masuk (oC)

Q

= Debit pompa (m3/s)



= Massa jenis fluida (Kg/m3)

b. Bilangan Reynold

28

Setiap aliran fluida mempunyai nilai bilangan Reynold yang merupakan
pengelompokan aliran yang mengalir, pada plat datar dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 2.10. Daerah aliran lapisan batas plat rata
(Incropera, 1996)

Pengelompokan aliran yang mengalir tersebut dapat diketahui dengan
bilangan Reynold, sebagai berikut (Incropera, 1996):


4m
Re 
D

Dimana,

(2.4)

D

= Diameter pipa



m

= Laju aliran massa



= Viskositas kinematic

Transisi dari aliran laminar menjadi turbulen terjadi bila Re > 5.105,
untuk aliran sepanjang plat rata, lapisan batas selalu turbulen untuk Re

 4.106. Untuk aliran dalam tabung dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:

29

Gambar 2.11. Diagram aliran dalam tabung
(Incropera, 1996)

Pada aliran dalam tabung, aliran turbulen biasanya pada (Incropera,
1996):


4m
 2300
Re =
 D 

(2.5)

c. Bilangan Nusselt
Parameter yang menghubungkan ketebalan relatif antara lapisan batas
hidronamik dan lapisan batas termal adalah maksud dari angka Prandtl,
angka ini dapat ditentukan dengan menggunakana tabel, maupun
dengan menggunakan persamaan. Persamaan dibawah ini untuk
menentukan besar bilangan Nusselt (Incropera, 1996):

Nu D  C. Re m . Pr

1
3

(2.6)

d. Koefisien perpindahan panas menyeluruh
Persamaan yang digunakan dalam mencari koefisien perpindahan panas
menyeluruh berkaitan dengan besarnya koefisien perpindahan panas

30

pada bagian dalam pipa dan bagian luar pipa, dimana persamaannya
dapat ditulis seperti berikut ini (Incropera, 1996):
U =

1
1 hin  1 hout

(2.7)

Dimana h merupakan koefisien perpindahan panas pada pipa yang
dapat ditulis dalam persamaan berikut:

h in =

Nu k
Din

(2.8)

e. Menentukan Log Mean Temperature Difference
Persamaan log mean temperature difference dapat digunakan pada
aliran fluida dengan properti temperatur keluar dan masuk baik fluida
panas dan dingin diketahui, sehingga persamaannya seperti berikut ini
(Incropera, 1996):

TLMTD 

T2  T1
ln T2 T1 

(2.9)

f. Menentukan Panjang Pipa
Dalam merancang suatu heat exchanger, panjang merupakan hal yang
sangat menetukan berapa lama dan berapa laju yang digunakan dalam
heat exchanger tersebut, untuk menentukan panjang tersebut dapat
menggunakan persamaan berikut ini (Incropera, 1996):

L

qconv
 .D.U .TLMTD .F

(2.10)

31

2.7.2. Perhitungan Dimensi Tebal Komponen Shell and Tube Heat
Exchanger

Shell merupakan komponen utama pada shell and tube heat exchanger,
dimana pada shell ini akan di desain dengan tekanan yang besar. Untuk
mencegah terjadinya kegagalan dalam proses desain, maka tebal shell
harus diperhitungkan.

Tebal (t) dan tekanan (P) shell pada dimensi bagian dalam (ASME, 2004):
t

=

PR
SE j  0,6P

(2.11)

Tebal (t) dan tekanan (P) shell pada dimensi bagian luar (ASME, 2004):
t

2.8.

=

PR
SE j  0,4P

(2.12)

Tegangan - Tegangan yang Terjadi Pada Shell and Tube Heat
Exchanger

Pada umumnya desain komponen yang digunakan pada shell and tube
berbentuk silinder. Dalam menerapkan kode standar desain, engineer harus
mengerti prinsip dasar dari tegangan pipa dan hal-hal yang berhubungan
dengannya. Sebuah pipa dinyatakan rusak jika tegangan dalam yang terjadi
pada pipa melebihi tegangan batas material yang diizinkan. Dari definisi

32

yang sederhana ini ada dua buah istilah yang harus dipahami dengan
benar, yaitu tegangan dalam pipa dan tegangan batas yang diizinkan.

Tegangan da