Institutional Analysis of Sesaot Forest Area Management West Nusa Tenggara Province

ANALISIS KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN SESAOT
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

GLADI HARDIYANTO

SEKOLAH PASCASARJ ANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Analisis
Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Sesaot adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013
Gladi Hardiyanto

RINGKASAN
GLADI HARDIYANTO. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan
Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dibawah bimbingan Iin Ichwandi dan
Didik Suharjito.
Kawasan hutan Sesaot telah menjadi ruang yang dihuni bersama diantara
para pihak. Terdapat kelembagaan HKm, baik yang sudah mendapat ijin
pemanfaatan maupun belum. Dalam ruang yang sama, terdapat kelembagaan
Taman hutan raya (Tahura) yang juga melakukan pengelolaan sebagian kawasan
hutan Sesaot. Dari sisi status kawasan hutannya, telah terjadi perubahan selama
beberapa kali, mulai dari status hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung dan
kemudian sebagian kawasannya menjadi kawasan konservasi.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kelembagaan para pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan kawasan hutan Sesaot, (2)
mengetahui pilihan strategi dan kebijakan terhadap penyelesaian konflik atas
sumberdaya hutan Sesaot, (3) menganalisis implikasi konflik terhadap kawasan

hutan Sesaot dan kelembagaan para pihak yang memanfaatkan hutan Sesaot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Hasil evaluasi terhadap
kelembagaan masyarakat (kelompok HKm dan Forum Kawasan) dan UPTD
Tahura diketahui bahwa lembaga-lembaga tersebut masih belum mampu untuk
mewujudkan pengelolaan hutan lestari, (2) Pengembangan kelembagaan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan Sesaot tidak dapat menegasikan peran salah
satu pihak, khususnya masyarakat, (3) Terjadi inkonsistensi kebijakan berkaitan
dengan alih fungsi dan status kawasan hutan Sesaot serta kebijakan bentuk
pengelolaan dan pemanfaatannya yang memberikan implikasi terjadi perubahan
kewenangan pengelolaan hutan antara pemerintah provinsi dan kabupaten dan
perubahan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Lebih lanjut hal ini
memicu terjadinya konflik atas sumberdaya hutan, (4) konflik yang terjadi bersifat
struktural, dikarenakan implementasi kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan yang tidak konsisten, konflik tidak lagi bersifat laten tetapi sudah mencuat
dan menjadi terbuka, (5) Areal hutan yang telah dimanfaatkan masyarakat lebih
tepat ditetapkan menjadi areal kerja HKm, lokasi Tahura dipindah bergeser pada
kawasan hutan yang belum dimanfaatkan, (6) Upaya penyelesaian konflik telah
menghasilkan dokumen “Piagam Kesepakatan” yang ditandatangani para pihak
yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan Sesaot.


Kata kunci: kelembagaan, kebijakan, hutan kemasyarakatan, taman hutan raya

SUMMARY
Gladi Har diyanto. Institutional Analysis of Sesaot Forest Area Management
West Nusa Tenggara Province. Supervised by Iin Ichwandi and Didik Suharjito.
Sesaot forest area has been inhabited space shared between the parties.
There are institutional HKm, either already use or not licensed. In the same space,
there is a forest botanical garden institutions (Taman hutan raya/Tahura) who also
did most of the management of Sesaot forests. Of the status of forest areas, there
have been changes over several times, ranging from the status of a limited
production forest to protected forest and later some areas became of conservation
forest.
This study aims to (1) analyze institutional of stakeholders involved in the
management and / or utilization of Sesaot forest area, (2) determine the policy
options and strategies for the resolution of conflicts over Sesaot forest resources,
(3) analyze the implications of the conflict on Sesaot forests and institutional
stakeholders who utilize Sesaot forest.
The results showed that (1) the results of an evaluation of the institutional
community (“Kelompok HKm” and “Forum Kawasan”) and UPTD Tahura
known that these institutions are still not able to achieve sustainable forest

management, (2) institutional development of Sesaot forest management and
utilization can not be negated the role of one of the parties, in particular the
community, (3) deals with policy inconsistencies occurred over the function and
status of forest Sesaot and shape policy and utilization management that implies a
change in forest management authority between provincial and local governments
and changes in people's access to forest resources. This triggers further conflict
over forest resources, (4) the conflict is structural, because the implementation of
forest management and utilization policies which are inconsistent, the conflict is
no longer latent but already sticking out and being open, (5) Forest areas that have
been utilized by communities more appropriately be defined for community forest
work area, moved to shift the location Tahura untapped forests, (6) conflict
resolution efforts have produced the document "Piagam Kesepakatan" signed by
the parties who are involved in the management and / or utilization of Sesaot
forest.
Keywords: institutional, policy, community forestry, forest botanical garden

© Hak cipta IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis ini dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB.

ANALISIS KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN SESAOT
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

GLADI HARDIYANTO

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJ ANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF

Judul tesis

: Analisis Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Sesaot
Provinsi Nusa Tenggara Barat

Nama

: Gladi Hardiyanto

NRP

: P052094034

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Iin Ichwandi, MSC.For


Dr.Ir.Didik Suharjito, MS

Ketua

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Tanggal Ujian: 23 Maret


Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayat dan kemudahan-Nya sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Analisis
Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat“
ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelembagaan para
pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan kawasan hutan
Sesaot, serta Mengetahui pilihan strategi dan kebijakan terhadap penyelesaian
konflik atas sumberdaya hutan Sesaot.
Banyak pihak yang telah berkontribusi dan/atau membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan
yang mendalam dan ucapan terima kasih kepada para pihak tersebut, yang
sebagian dapat kami sebutkan, yaitu:
1. Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSC.For dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku
komisi pembimbing tesis. Tanpa bimbingan, arahan dan masukan dari

Beliau berdua maka penulisan tesis ini mungkin tidak dapat terwujud.
2. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan.
3. Dr. Ir. Yanuar J Purwanto, selaku penguji dari program studi PSL yang
telah memberikan arahan dan perbaikan pada ujian tesis.
4. Seluruh staf pengajar PS PSL IPB yang sedari awal memberikan curahan
ilmu dan pengetahuan kepada penulis sebagai bekal untuk menjadi
manusia yang lebih baik.
5. Teman-teman di Lembaga Ekolabel Indonésia yang telah memberikan
inspirasi ide, pengetahuan dan berkontribusi dengan memfasilitasi sarana
dan sebagian pendanaan dalam penyelesaian studi.
6. Teman-teman PS PSL IPB Kelas Khusus angkatan 2010/2011: Ajat
Rohmat, Nurul Hidayati, Waluyo Yogo, Isma Naberisa, Iman Suyudono,
Anna Nandya, Suratman, Muning Ekowati dan Ari Prabawa. Semoga
persahabatan dan persaudaraan ini akan terus berlanjut dimanapun kita
berkarya.
7. Seluruh staf akademik dan administrasi PS PSL (Mbak Ririn, Mbak Suli,
Mbak Herlin dan Mas Subur) yang telah banyak membantu dalam
kelancaran pelaksanaan studi dan penyelesaian tesis.
8. Kepada keluarga besar di Purwokerto dan Yogyakarta yang selalu

mendoakan kami agar dapat menyelesaikan studi ini.
Tulisan ini kupersembahkan tulisan ini kepada istriku, Ekawati Rini
Hartiwi, dan anakku, Fathi dan Zaki, yang selalu sabar meski banyak waktu dan
kesempatan mereka bersama penulis yang terambil dalam rangka penyelesaian
studi ini.

Akhirnya Penulis menyadari bahwa masih banyak ketidaksempurnaan
dalam tesis ini, sehingga sangat diharapkan masukan, kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga Allah SWT menjadikan
karya ini sebagai tambahan ibadah bagi penulis dan tulisan ini bermanfaat bagi
yang membutuhkannya.

Bogor,

Maret 2013

Gladi Hardiyanto

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Abepura, Jayapura, Provinsi Papua pada tanggal

4 Januari 1975 sebagai anak sulung dari pasangan Soedijono dan Sri Hastuti.
Pendidikan dasar diselesaikan di SDN Grendeng II Purwokerto, pendidikan
lanjutan pertama diselesaikan di SMPN II Purwokerto dan pendidikan menengah
atas diselesaikan di SMAN I Purwokerto pada tahun 1993. Pendidikan sarjana
penulis selesaikan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada pada tahun
1999. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penulis telah menikah dengan Ekawati Rini Hartiwi, SP pada
tanggal 11 Maret 2001 dan telah dikaruniai 2 (dua) orang putra, Muhammad Fathi
Dhiyaulhaq (11 tahun) dan Ahmad Zaki Aydin Rafif (7 tahun).
Sejak bulan Mei 2013 penulis bekerja di Partnership (Kemitraan bagi
Pembaharuan Tata Pemerintahan) sebagai Project Officer Supporting to Ministry
of Forestry. Sebelumya dari tahun 2004 – April 2013 penulis bekerja di Lembaga
Ekolabel Indonesia (LEI) dengan spesifikasi pekerjaan pengembangan sistem
sertifikasi ekolabel, pengembangan kapasitas dan pengembangan masyarakat.
Penulis juga pernah bekerja di Yayasan Damar Yogyakarta dari tahun 1999 –
2004.

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

iii

DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
5
8
9
9

2 TINJ AUAN PUSTAKA
Analisis kelembagaan
Analisis kebijakan
Analisis para pihak
Konflik
Hak dan akses masyarakat dalam pengelolaan hutan
Kebijakan pemanfaatan hutan kemasyarakatan
Kebijakan pengelolaan Taman hutan raya

10
14
17
19
23
26
31

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan waktu penelitian
Rancangan penelitian
Metode pengambilan data
Penentuan sampel
Definisi operasional
Metode snalisis data

35
37
39
39
40
42

4 KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN
Kondisi biofisik
Tanah dan topografi
Iklim dan curah hujan
Flora dan fauna
Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
Kependudukan
Mata pencaharian
Pendidikan dan kesehatan
Pranata sosial dan kelembagaan masyarakat
Pemanfaatan hutan kemasyarakatan di Sesaot

44
47
47
48
49
49
50
53
55
56

i

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah pengelolaan kawasan hutan Sesaot
Inkonsistensi kebijakan pengelolaan hutan Sesaot
Kebijakan status dan fungsi kawasan hutan Sesaot
Kebijakan hutan kemasyarakatan
Kebijakan Taman hutan raya
Identifikasi arena aksi
Situasi aksi
Aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan
Konflik dan upaya penyelesaiannya
Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot
Situasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini

65
71
72
80
82
90
90
100
109
123
123

6 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

132
134

DAFTAR PUSTAKA

136

LAMPIRAN

141

ii

DAFTAR TABEL
Tabel

Halaman

1. Karakteristik proses penyelesaian konflik
2. Pedoman pengumpulan data utama
3. Jenis, metode pengumpulan dan analisis data
4. Kemampuan tanah di kawasan hutan Sesaot
5. Kondisi kependudukan desa sekitar kawasan hutan Sesaot
6. Kondisi mata pencaharian masyarakat sekitar hutan Sesaot
7. Jumlah penduduk di desa sekitar hutan menurut tingkat pendidikan
8. Kondisi pemanfaatan hutan kemasyarakatan di hutan Sesaot
9. Sejarah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Sesaot
10. Kebijakan perubahan status dan fungsi kawasan hutan Sesaot
11. Perbedaan karakteristik pengelolaan berdasarkan status dan fungsi
12. Analisis persepsi para pihak terhadap status dan fungsi kawasan
13. Kebijakan HKm yang dikeluarkan Kabupaten Lombok Barat
14. Tingkatan stakeholder di kawasan hutan Sesaot
15. Kategori stakeholder pada pengelolaan kawasan hutan Sesaot
16. Hasil analisis kondisi kelembagaan pemanfaatan HKm di Sesaot
17. Pemenuhan prinsip desain model pengelolaan hutan Sesaot
18. Rekomendasi kebijakan dan kelembagaan..

22
37
43
47
50
52
53
58
71
75
76
78
82
101
104
125
126
128

DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar
1. Kerangka pemikiran riset analisis kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot
2. Kerangka kerja analisis kelembagaan dan pembangunan
3. Diagram untuk memahami proses kebijakan
4. Lokasi penelitian
5. Grafik curah hujan rata-rata bulanan di Sesaot
6. Kondisi kependudukan di sekitar hutan Sesaot
7. Foto pencari kayu bakar dan tumpukan kayu yang siap dijual
8. Industri rumah tangga pembuatan dulang dan industri sawmill
9. Grafik tingkat pendidikan masyarakat di desa sekitar hutan Sesaot
10. Jumlah kelompok masyarakat yang memanfaatkan hutan Sesaot
11. Rata-rata luas lahan per penggarap anggota kelompok HKm
12. Lorong diantara blok HKm
13. Batas antara lahan garapan
14. Pengangkut kayu dari dalam kawasan hutan Sesaot
15. Peta lokasi Taman hutan raya
16. Kondisi kantor Tahura di Sesaot yang telah rusak
17. Peta usulan pencadangan areal kerja HKm Sesaot

iii

7
11
17
37
48
50
53
54
55
59
60
62
62
64
85
87
98

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

18. Peta kelas lereng kawasan Tahura Nuraksa
19. Peta hasil analisis tumpang tindih areal pemanfaatan HKm dan Tahura
20. Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak
21. Pemasangan gapura Tahura secara sepihak oleh dinas kehutanan provinsi
22. Piagam Kesepakatan para pihak
23. Model pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot yang lestari

iv

99
100
105
108
130
131

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan hutan lestari dibangun dari 3 (tiga) aspek pengelolaan yang
berhubungan satu dengan lainnya, yaitu aspek produksi, aspek ekologi dan aspek
sosial. Ketiga aspek tersebut seharusnya dapat berjalan sinergi, berhubungan dan
saling mempengaruhi. Lebih diprioritaskannya salah satu aspek dengan
meninggalkan aspek lainnya dapat menjadi penyebab tidak tercapainya
pengelolaan hutan lestari.
Areal hutan disebut sebagai kawasan hutan jika sudah dilakukan proses
pengukuhan kawasan hutan. Sesuai dengan Undang-Undang No 41/1999 tentang
Kehutanan, proses pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui: (a) penunjukan
kawasan hutan, (b) penataan batas kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan,
dan (d) penetapan kawasan hutan. Semua proses tersebut disahkan melalui
keputusan menteri. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi bahwa suatu areal
hutan akan disebut kawasan hutan jika sudah dilakukan penetapan kawasan hutan,
yang sebelumnya dilakukan melalui proses penunjukan kawasan, penataan batas,
dan pemetaan kawasan hutan.
Hermofilia dan Fay (2006) mencatat bahwa sampai awal tahun 2005 proses
penataan batas hutan baru berhasil mencapai luas kurang lebih 12 juta hektar, dari
keseluruhan luas kawasan hutan yang ditunjuk menjadi kawasan hutan negara.
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa jumlah luasan hutan yang
telah dilakukan penataan batas temu gelang baru seluas ± 14,238 juta hektar atau
sekitar 11,83 % dari total luas kawasan hutan yang ditunjuk menjadi hutan
negara, yaitu kurang lebih seluas 136 juta hektar (Ditjen Planologi 2010). Artinya
hanya sekitar 11 % kawasan hutan yang statusnya dapat dipastikan, selebihnya
mempunyai status yang belum pasti menyangkut hak-hak yang melekat
didalamnya.
Kementerian kehutanan mentargetkan bahwa pada tahun 2014 penataan
batas dapat dapat diselesaikan sebanyak 70% dari keseluruhan luas hutan yang
harus di tata batas. Target ini akan sulit tercapai jika berbagai permasalahan
kepastian kawasan hutan belum dapat diselesaikan. Sampai saat ini masih terjadi
perubahan penggunaan penggunaan kawasan hutan baik untuk pinjam pakai,
pelepasan kawasan, dan penundaan perijinan. Masih ada rencana tata ruang
wilayah provinsi dan kabupaten yang belum selesai, dan masih terus berlangsung
pemekaran wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang mempengaruhi luasan
kawasan hutan.
Ketidakpastian status dan fungsi kawasan hutan tersebut menjadi salah satu
penyebab terjadinya kerusakan dan degradasi hutan, yang diawali dengan
munculnya konflik atas sumberdaya hutan. Di beberapa daerah ketidakpastian
status dan fungsi kawasan hutan telah memunculkan perbedaan persepsi dan
kepentingan dari para pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan dan
pemanfaatan hutan, khususnya antara masyarakat yang berada di dalam dan di

2

sekitar hutan dengan pemerintah atau pihak swasta yang diberi hak untuk
memanfaatkan kawasan hutan tersebut. Beberapa kejadian konflik sumberdaya
hutan yang berkaitan dengan alih fungsi kawasan hutan antara lain seperti yang
terjadi di Tahura Wan Abdurrahman, Lampung (Fajri 2006), Cagar Alam
Pegunungan Cyclop, Papua (Maintindom 2005), Tahura Nuraksa Sesaot dan
HKm Sesaot (Sahwan 2002; Dipokusuma 2011), dan Taman Nasional Lore Lindu
(Mehring et al. 2011).
Kajian dan paparan konflik sumberdaya hutan masih lebih banyak
menggunakan analisis konflik struktural, dimana memposisikan Negara (pihak
yang kuat) sebagai sumber masalah, dan masyarakat (pihak yang lemah) sebagai
pihak yang tidak bersalah. Padahal menurut Maring (2010) yang melakukan
penelitian di Nusa Tenggara Timur, sumber masalah tidak hanya berasal dari
Negara, tetapi juga dapat berasal dari pihak lain, termasuk dari masyarakat.
Menurut Moore (1996) konflik tidak hanya berkaitan dengan masalah struktural,
tetapi juga mengenai tata nilai, tata hubungan, data dan informasi, dan konflik
kepentingan. Jadi konflik pengelolaan hutan yang terjadi di sebuah wilayah bisa
tidak hanya terkait dengan struktural, tetapi gabungan dari tipologi konflik,
bergantung dari kepentingan aktor-aktornya.
Menurut Pasya dan Sirait (2011) upaya penyelesaian atas konflik
sumberdaya alam ditentukan bagaimana gaya bersengketa (conflict style) pihakpihak yang terlibat konflik. Gaya bersengketa dapat dibedakan menjadi saling
menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, dan kolaborasi (Isenhart dan
Spangle 2000 dalam Pasya dan Sirait 2011). Hasil penelitian Pasya dan Sirait
(2011) yang mengkaji konflik sumberdaya alam di Jambi, Lampung, dan
Sumatera Barat menemukan bahwa conflict style di masing-masing lokasi ternyata
berbeda, sehingga upaya penyelesaian sengketanya pun mesti dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda.
Kebijakan alih fungsi kawasan hutan, khususnya dari kawasan hutan
lindung menjadi kawasan konservasi, atau sebaliknya, juga membawa perubahan
kewenangan pengelolaan, khususnya antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten. Perubahan ini merupakan wujud dari politik
otonomi daerah yang berwujud pembagian kewenangan pemerintahan pusat dan
daerah. Perubahan kewenangan ini seringkali menimbulkan perbedaan persepsi
diantara para pihak yang kemudian berkembang menjadi konflik atas sumberdaya
hutan.
Pada kawasan Hutan Sesaot seluas ± 5.950 ha di Provinsi Nusa Tenggara
Barat telah terjadi perubahan status dan fungsi kawasan. Di mulai dari kebijakan
tata guna hutan kesepakatan pada tahun 1982 yang mengubah status dan fungsi
kawasan dari hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung, kemudian pada
tahun 1999 dan 2009 sebagian kawasan Hutan Sesaot juga diubah fungsinya
menjadi kawasan konservasi. Kebijakan tersebut tidak diikuti dengan prosesproses penetapan kawasan hutan, seperti penataan batas, sehingga menimbulkan
perbedaan persepsi terhadap status dan fungsi kawasannya serta menimbulkan
konflik sumberdaya hutan. Perubahan kebijakan tersebut menimbulkan
konsekuensi perubahan kelembagaan pengelolaan dan/atau pemanfaatan, mulai
dari bentuk pengelolaan, aktor-aktor yang terlibat, serta aturan mainnya.

3

Perubahan juga terjadi pada tingkat pengambil kebijakan berkaitan dengan
kewenangan pengelolaan atau pemanfaatan hutan pada masing-masing fungsi.
Terkait dengan hak dan akses terhadap sumberdaya hutan, pada hutan
produksi dan hutan lindung masyarakat masih dapat memanfaatkan kawasan
hutan tersebut melalui model pengelolaan hutan berbasis masyarakat, seperti
Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) dengan legalitas perijinan dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan HKm
(IUPHKM), Ijin Usaha Pemanfaatan HTR dan Hak Pengelolaan Hutan Desa
(HPHD). Perbedaannya pada jenis komoditas yang boleh dimanfaatkan, pada
hutan produksi pemegang ijin dapat melakukan pemungutan dan pemanfaatan
hasil hutan kayu dan non kayu, sedangkan pada hutan lindung hanya boleh
memungut dan/atau memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, termasuk jasa
lingkungan.
Kebijakan alih fungsi kawasan hutan tidak berjalan tuntas, terutama
kebijakan penunjukan sebagian kawasan hutan menjadi Tahura dan kebijakan
pemberian IUPHKm kepada KMPH Sesaot yang diikuti dengan pengajuan ijin
HKm oleh beberapa kelompok yang lain. Perubahan fungsi dari hutan lindung
menjadi kawasan konservasi membawa implikasi perubahan kewenangan
pengelolaan hutan antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Padahal di
lapangan, masyarakat telah masuk ke dalam kawasan hutan, baik pada areal yang
ditunjuk sebagai Tahura maupun hutan lindung. Hal ini menjadi permasalahan
tersendiri, dimana ketika berada di dalam kawasan konservasi hak dan akses
masyarakat sekitar hutan menjadi semakin terbatas.
Masyarakat hanya dapat memanfaatkan kawasan konservasi pada zona
pemanfaatan atau zona pemanfaatan tradisional dengan sepengetahuan pengelola
kawasan. Sementara itu di dalam kawasan hutan lindung, masyarakat masih
memiliki kesempatan untuk memanfaatkan areal tersebut dalam bentuk Hutan
Kemasyarakatan dan Hutan Desa serta mendapatkan hak pengelolaan dan
pemanfaatan dalam bentuk IUPHKm dan HPHD.
Hubungan antar pihak yang timbul bersifat dinamis, baik pada tingkat
pengambil kebijakan, terkait kewenangan pengelolaan antara pemerintah provinsi
dan kabupaten, maupun di lapangan, berkaitan dengan hak dan akses masyarakat
terhadap kawasan Hutan Sesaot. Dari sisi kelembagaan masing-masing pihak
telah membentuk organisasi sebagai wadah untuk melakukan pemanfaatan
kawasan hutan. Kelembagaan Tahura diwujudkan melalui Unit Pengelolaan
Teknis Daerah (UPTD) Tahura Nuraksa dibawah Dinas Kehutanan Provinsi.
Sementara kelembagaan di tingkat masyarakat telah terbentuk kelompokkelompok HKm dan Forum Kawasan Hutan Sesaot, sebagai tempat berhimpun
lembaga-lembaga masyarakat tersebut.
Kerangka Pemikiran
Sumberdaya hutan, meskipun pada dasarnya adalah sumberdaya milik
bersama (common pool resources), tetapi pengurusan dan pengaturannya
dilakukan oleh Negara, melalui hak menguasai negara. Pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan memerlukan adanya kebijakan dan kelembagaan

4

pengelolanya. Menurut Djogo et al. (2003) kebijakan dan kelembagaan sulit
dipisahkan. Kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan, kelembagaan
dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Analisis
keterkaitan dan dampak kelembagaan pada kebijakan publik (kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah) dianggap tidak lengkap tanpa memperhatikan antara
analisis kebijakan publik dan analisis kelembagaan.
Kelembagaan memberi batasan yang jelas berkaitan dengan hak kepemilikan
dan aturan pemilikan bagi setiap orang yang terlibat. Hak kepemilikan adalah hak
dan tanggng jawab setiap stakeholder yang terlibat, sedangkan aturan pemilikan
adalah aturan yang mengatur bagaimana stakeholder terebut dapat memperoleh
dengan baik atas haknya dan sepenuhnya melaksanakan kewajibannya untuk
mencapai tujuan bersama yang telah disepakati (Bromley 1992 dalam Ardi 2011).
Pada kawasan Hutan Sesaot telah diimplementasi sejumlah kebijakan, baik
mengenai perubahan status dan fungsi kawasan hutan dan kebijakan pemanfaatan
kawasan dalam bentuk Taman Hutan Raya dan Hutan Kemasyarakatan.
Perubahan fungsi kawasan telah terjadi mulai dari Hutan Produksi Terbatas
(HPT), berubah menjadi Hutan Lindung (HL), dan kemudian menjadi kawasan
konservasi. Implementasi berbagai kebijakan yang diikuti dengan pembentukan
kelembagaan pengelolanya diindikasikan menimbulkan implikasi perubahan pada
kondisi biofisik kawasan dan munculnya konflik atas sumberdaya hutan diantara
stakeholder yang memanfaatkan kawasan hutan. Sahwan (2002) menyebutkan
bahwa telah terjadi konflik kewenangan pengelolaan Tahura Nuraksa Sesaot
antara pemerintah provinsi dan kabupaten. Dipokusumo (2011) menyebutkan
bahwa konflik yang terjadi areal HKm Sesaot merupakan konflik struktural, yang
bersumber pada kebijakan pemerintah. Dari hasil studi pendahuluan, didapatkan
informasi hasil bahwa konflik masih terjadi, khususnya antara masyarakat yang
memanfaatkan kawasan hutan dengan Tahura. Sifatnya tidak hanya structural
tetapi sudah mulai mengarah pada konflik horizontal.
Dari paparan di atas, penelitian ini mengkaji proses dan implikasi dari
implementasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan
Sesaot, termasuk terjadinya konflik atas sumberdaya hutan yang telah terjadi dan
upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Untuk
mengetahui sejauhmana kelembagaan masyarakat dan para pihak akan mampu
melakukan pemanfaatan dan pengelolaan hutan digunakan kerangka analisis
kelembagaan (institutional analysis development) yang dikembangkan oleh
Ostrom (1999; 2004). Kerangka penelitian seperti pada Gambar 1.

5

Kerangka kerja penelitian digambarkan sebagai berikut :
Exogenous variables
Action arena
B Kondisi Biofisik
- Luas hutan
- Kemiringan lereng
- Kondisi tutupan
lahan
- Potensi sumberdaya
hutan
- Manfaat
sumberdaya hutan

Atribut
Komunitas:
- Kondisi masyarakat
sekitar hutan
- Modal sosial
- Kondisi
pemanfaatan hutan
oleh masyarakat

Aturan Main
- Kebijakan alih fungsi
dan status kawasan hutan
- Kebijakan hutan
kemasyarakatan
- Kebijakan Tahura
- Aturan main di tingkat
lokal masyarakat.

Situasi Aksi :
- Konflik
kewenangan
pengelolaan hutan
- Dualisme kebijakan
pengelolaan dan
pemanfaatan hutan
- Eksistensi Tahura
vis a vis Hutan
kemasyarakatan

Aktor -aktor:
- Stakeholder kunci
dan pendukung
hutan
kemasyarakatan
- Stakeholder kunci
dan pendukung
Tahura

Interaksi:
- Relasi antar
stakeholder
-Hubungan
konfliktual
antara aktoraktor pendukung
HKm dan
Tahura

Kriteria Evaluasi&
Rekomendasi
Kejelasan status dan
fungsi kawasan hutan
mekanisme
penyelesaian konflik;
rekomendasi pilihan
bentuk pemanfaatan
dan revisi kebijakan

Situasi terkini
pengelolaan hutan
Sesaot, termasuk
eksistensi Tahura
dan HKm

Gambar 1 Kerangka kerja analisis kelembagaan pengelolaan hutan Sesaot (modifikasi dari Ostrom 2004)

6

Perumusan Masalah
Kebijakan alih fungsi kawasan hutan menimbulkan implikasi perubahan,
baik pada aspek produksi, ekologi, maupun sosial kawasan hutan serta
kelembagaan pengelolanya. Perubahan status dan alih fungsi kawasan hutan dari
hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung dan kemudian menjadi kawasan
konservasi, seperti yang terjadi di kawasan hutan Sesaot, dari sisi sosial
mengakibatkan terjadinya perubahan hak dan akses masyarakat tempatan terhadap
sumberdaya. Kelembagaan dan kewenangan pihak-pihak pun menjadi berubah,
yang jika tidak dijalankan dengan baik akan memunculkan permasalahan
tersendiri yang berujung pada terjadinya konflik atas sumberdaya hutan.
Hasil penelitian Wulan dkk (2004) menyebutkan bahwa kebijakan alih
fungsi atau perubahan status kawasan hutan menjadi salah satu penyebab konflik
di sektor kehutanan, disamping faktor yang lain, yaitu perambahan hutan,
pencurian kayu dan perusakan lingkungan. Konflik (antara pemerintah,
pengusaha, dan masyarakat) yang disebabkan alih fungsi kawasan hutan mencapai
3% dari 359 konflik sektor kehutanan dari tahun 1997 – 2003.
Menurut Ardi (2010) yang mengutip Schmid (1987), pada tingkat
kelompok, kinerja kelembagaan dapat dilihat pada tingkat kehidupan, kualitas
lingkungan dan kualitas kehidupan secara umum. Parameter lain yang dapat
dilihat adalah distribusi sumberdaya, pilihan untuk bertransaksi secara bebas,
optimalisasi nilai produksi dan efisiensi. Dari gambaran tersebut dirangkum
kondisi kelembagaan yang baik atau tidak baik akan dilihat dari kepastian atau
ketidakpastian hak kepemilikan, kapasitas kelembagaan, implementasi instrumen
ekonomi atau pasar. Menurut Agrawal (2001), faktor-faktor yang menentukan
berhasil atau tidaknya tata kelola sumberdaya milik bersama berkaitan dengan 1)
karakteristik sistem sumberdaya, 2) karakteriktik kelompok, 3) Hubungan antara
karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok, dan 4) tatanan
kelembagaan.
Penelitian ini untuk mengetahui implikasi dari implementasi kebijakan alih
fungsi kawasan hutan serta kebijakan lainnya terhadap kondisi hutan Sesaot.yang
menimbulkan konflik atas hutan Sesaot. Disamping itu dikaji juga kelembagaan
pihak-pihak yang mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan Sesaot, dalam hal
ini kelembagaan Tahura dan kelompok HKm serta dinamika hubungan antar
pihak yang kemudian memunculkan konflik atas sumberdaya hutan.
Dari uraian diatas maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi konflik atas hutan Sesaot ? Bagaimana pola konflik dan
siapa para pihak yg berkonflik?
2. Bagaimana upaya-upaya yang mendorong kolaborasi atau konsensus,
siapa para pihak yang berpartisipasi?
3. Bagaimana implikasinya terhadap sumberdaya hutan Sesaot dan
kelembagaan pihak-pihak yang memanfaatkan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis kelembagaan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan/
atau pemanfaatan kawasan hutan Sesaot.

7

2. Mengetahui pilihan strategi dan kebijakan terhadap penyelesaian konflik atas
sumberdaya hutan Sesaot.
3. Menganalisis implikasi konflik terhadap kawasan hutan Sesaot dan
kelembagaan para pihak yang memanfaatkan hutan Sesaot.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Memberikan informasi tentang mengenai isi dan implementasi berbagai
kebijakan yang berlaku pada kawasan hutan Sesaot, sebagai pembelajaran dan
acuan bagi para pengambil kebijakan dalam melakukan alih fungsi kawasan
hutan kedepan.
2. Memberikan informasi mengenai kelembagaan pihak-pihak yang mengelola
dan memanfaatkan kawasan Hutan Sesaot.
3. Memberikan informasi mengenai upaya dan strategi penyelesaian konflik
sumberdaya hutan di kawasan hutan Sesaot.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Kelembagaan
Kelembagaan menurut Ostrom (2005) adalah wahana yang digunakan
manusia untuk mengatur segala bentuk interaksi yang terstruktur dan berulangulang termasuk didalamnya keluarga, persaudaraan, pasar, firma, liga olahraga,
gereja, asosiasi swasta, dan pemerintahan pada semua tingkat. Kelembagaan
adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau
organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar
manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau
jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma,
kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta
insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo et al. (2003).
Dari kedua definisi diatas diketahui bahwa unsur-unsur penting
kelembagaan antara lain kelembagaan merupakan landasan untuk membangun
tingkah laku sosial masyarakat; peraturan dan penegakan hukum; kode etik;
kontrak; pasar; hak milik (property right atau tenureship); organisasi; dan insentif
utuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan (Djogo et al. 2003).
Kelembagaan bisa berkembang baik jika ada infrastruktur, penataan, dan
mekanisme kelembagaan yang juga baik.
Analisis kelembagaan didefinisikan sebagai studi dari bentuk dan kinerja
kelembagaan, dimana kelembagaan terbangun dari aturan main, norma-norma dan
strategi (Clement 2008, Djogo et al.2003). Analisis kelembagaan setidaknya dapat
didekati dari dua sudut utama yaitu lembaga sebagai organisasi dan lembaga
sebagai aturan main (Djogo et al. 2003). Untuk melakukan analisis kelembagaan,
terutama pada tingkatan yang berbeda dapat dilakukan dengan Institutional

8

Analysis and Development framework yang dikembangkan oleh Ostrom ( 2005),
sebagaimana gambar di bawah ini.
Variabel Eksogen
B Kondisi Biofisik
t Atribut komunitas
Aturan Main

Arena Aksi
Arena Aksi
Situasi aksi

Bentuk
Interaksi
riteria
Evaluasi

Aktor
Outcome

Gambar 2 Kerangka kerja analisis kelembagaan dan pembangunan (Ostrom 2005)
Karakteristik dari framework ini adalah pada pengaturan banyak tingkat,
yang dibentuk dari tingkat operasional, ketika secara keseharian keputusan
berpengaruh langsung pada sumberdaya alam, sampai pada tingkat pilihan
kolektif, ketika keputusan mempengaruhi aturan-aturan pada tingkat operasional.
Pilihan kolektif ini terhubung langsung pada tingkat konstitusional, dimana
keputusan mempengaruhi aturan-aturan yang mengatur bagaimana keputusan
diambil pada tingkat pilihan kolektif (Clement 2008).
Kerangka kerja analisis pengembangan kelembagaan cocok digunakan untuk
menganalisis beragam jenis sumberdaya milik bersama (common pool resources).
Sebagai contoh dalam menganalisis rusak atau baiknya sebuah kawasan hutan,
kerangka kerja ini tidak hanya melihat kondisi biofisik hutan saja, tetapi juga
mengkaji dan memahami atribut komunitas pemanfaat, beragam model
kepemilikan serta penggunaan aturan yang bertingkat (Ostrom 2005). Berdasarkan
gambar kerangka kerja pengembangan kelembagaan diatas, langkah-langkah
analisisnya meliputi :
1. Pemahaman variabel eksogen (exogenous variables).
Variabel eksogen terdiri dari variabel karakteristik atau kondisi biofisik,
atribut komunitas, dan aturan-aturan yang digunakan. Atribut fisik
berperan penting dalam membentuk komunitas, aturan, dan kebijakan.
Karakteristik ini diantaranya meliputi ukuran, lokasi, batas, kapasitas dan
kelimpahan sumberdaya (Hess dan Ostrom 2007). Kondisi fisik
sumberdaya alam diketahui berguna untuk membedakan antara sistem
sumberdaya dengan unit sumberdaya, misalnya pada air tanah, lembah
yang mengandung air tanah adalah sistem sumberdaya sedangkan jumlah
air tanah adalah unit sumberdaya (Blomquist 1992 dalam Ardi 2010).
Karakteristik
biofisik
dapat
meliputi
tingkat
pertumbuhan,
keanekaragaman spesies, iklim, cuaca, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi keadaan ekosistem hutan dan manusia yang berinteraksi
dengan hutan.

9

2.

3.

4.

5.

Atribut-atribut komunitas penting yang mempengaruhi arena aksi adalah
nilai-nilai perilaku yang dapat diterima secara umum, tingkat pemahaman
umum dari partisipan potensial, tingkat homogenitas dalam preferensi,
ukuran dan komposisi dari komunitas, dan tingkat ketidaksamaan dalam
asset dasar (Ostrom 2007). Sedangkan aturan adalah norma yang
menjelaskan bagaimana partisipan boleh, tidak boleh atau mungkin dapat
melakukan sesuatu pada sebuah situasi dan didukung oleh kemampuan
pemberian sanksi pada pihak yang tidak patuh terhadap aturan tersebut
(Crawford dan Ostrom 2005). Aturan ini dapat di analisis pada tiga
tingkatan, yaitu tingkat operasional, tingkatan pilihan bersama, dan tingkat
konstitusi (Hess dan Ostrom 2007).
Pemahaman arena aksi
Arena aksi terdiri dari aktor-aktor pembuat keputusan di dalam sebuah
situasi yang dipengaruhi oleh kondisi biofisik, atribut komunitas dan
karakter institusi yang menghasilkan beragam pola interaksi dan keluaran
(Ostrom 2005). Untuk melakukan analisis arena aksi diperlukan
identifikasi partisipan yang terlibat dan aturan-aturan yang digunakan
dalam sebuah situasi. Analisis arena aksi akan mengkaji aksi apa yang
telah diambil, dapat diambil atau akan diambil dan bagaimana aksi ini
berpengaruh terhadap keluaran atau outcome (Ardi 2010).
Pemahaman pola interaksi
Pola interaksi tergantung dari variabel eksogen, insentif, dan aktor-aktor
yang terlibat. Pengelolaan sumber daya milik bersama sangat dipengaruhi
dari bagaimana para aktor saling berinteraksi. Pola interaksi ini terhubung
dengan situasi aksi, dimana kemungkinan terjadinya konflik dikarenakan
para aktor yang terlibat tidak memiliki atau memperoleh informasi yang
cukup mengenai struktur situasi, sehingga timbul ketidaksalingpercayaan
diantara para aktor. Menurut Hess dan Ostrom (2007) dengan memiliki
informasi yang cukup maka para aktor akan dapat meningkatkan
kepercayaan diantara mereka sehingga dapat tercipta situasi yang
menghasilkan keluaran yang produktif.
Pemahaman keluaran
Penelitian pada common pool resources proses analisisnya seringkali
dimulai dengan melihat keluaran, terutama keluaran yang negatif, seperti
rusaknya sumberdaya hutan. Analisis juga dapat dilakukan dengan
membandingkan satu lokasi dengan lokasi lainnya, misalnya satu lokasi
keluarannya positif, di lokasi lain negatif.
Penentuan kriteria evaluasi
Kriteria evaluatif digunakan untuk menilai tindakan serta hasil sehubungan
dengan penerapannya untuk menggunakan sumber daya yang
berkelanjutan (Mehring et al. 2011).

Agar sumberdaya milik bersama dapat dikelola secara lestari, menurut
Ostrom (1990) diperlukan prinsip-prinsip desain kelembagaannya yaitu 1) batasbatas terdefinisi dengan jelas, 2) Kongruen atau sebangun, 3) pengaturan pilihan
kolektif, 4) monitoring, 5) penetapan sanksi, 6) mekanisme resolusi konflik, 7)
pengakuan minimal dari hak-hak yang diatur, dan 8) kelompok pengguna inti

10

(bagi CPRs yang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar).
Berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan Sesaot, kerangka kerja ini
dapat untuk menganalisis kelembagaan para pihak, baik kelembagaan masyarakat,
pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi serta pihak-pihak lain, seperti NGO
dan lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Kompleksitas permasalahan, baik di
tingkat kebijakan (mulai dari pemerintah pusat sampai daerah), sampai dengan
arena aksi dikaji menggunakan framework tersebut. Kelembagaan yang telah
berjalan dapat dianalisis dengan seperangkat prinsip diatas untuk mengetahui
apakah sumberdaya hutan Sesaot tersebut dapat dikelola secara baik dan lestai
atau tidak.
Analisis Kebijakan
Kebijakan merupakan suatu ketetapan yang didalamnya terdapat prinsipprinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi ini merangkum dari definisi
kebijakan yang dibuat oleh Ealau dan Prewit (1973) dan Titmuss (1974). Menurut
Ealau dan Prewitt kebijakan adalah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh
perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari pembuat kebijakan maupun yang
terkena kebijakan, sedangkan menurut Titmuss, kebijakan adalah prinsip-prinsip
yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan
senantiasa beriorientasi kepada masalah dan tindakan (Suharto 2008).
Kebijakan juga diartikan sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi
pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak. Menurut Pador dan Sembiring (2009), kebijakan berbeda
dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang
perilaku, maka kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin
memperoleh hasil yang diinginkan.
Pembuatan kebijakan ditujukan untuk menjadi pedoman bagi pengaturan
suatu urusan agar hasil-hasil yang diinginkan tercapai. Kebijakan yang mengatur
urusan-urusan publik sering disebut dengan kebijakan publik, yang dapat diartikan
sebagai keputusan-keputusan yang mengikat banyak orang pada tataran strategis
yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Idealnya pembuatan kebijakan adalah
berdasarkan kebutuhan dan realitas apa yang akan diatur. Pembuatan dan
implementasi kebijakan yang tidak tepat disamping dapat mengakibatkan tujuan
yang tidak tercapai juga menimbulkan ketidakpastian hukum, dan jika hal ini
berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, akan dapat
menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan konflik atas sumberdaya alam.
Penelitian kebijakan telah berkembang yang dilakukan antara lain untuk
menganalisis mekanisme proses pembuatan sampai pada dampak
implementasinya. Menurut Danim (2005) penelitian kebijakan termasuk dalam
kelompok penelitian terapan atau dalam lingkup penelitian sosial yang dalam
aplikasinya mengikuti prosedur umum penelitian yang berlaku. Penelitian
kebijakan adalah penelitian yang mendukung kebijakan. Ann Majchrzak (1984)
dalam Danim (2005) menjelaskan bahwa penelitian kebijakan adalah proses
penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau analisis terhadap

11

masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk membantu
pengambil kebijakan memecahkan masalah dengan jalan menyediakan
rekomendasi yang berorientasi pada tindakan atau tingkah laku pragmatis.
Istilah lain yang berkaitan dengan penelitian kebijakan adalah analisis
kebijakan. Analisis kebijakan merupakan penelitian yang ditujukan untuk
mengkaji proses pembuatan kebijakan (Danim 2005). Dunn (2003)
mendefinisikan analisis kebijakan sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan
tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Pador dan Sembiring (2009) yang
mengutip Quade, menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah serangkaian
tindakan untuk menghasilkan, mengumpulkan dan menyajikan informasi
sedemikian rupa untuk membantu pada pembuat kebijakan dalam pengambilan
keputusan.
Menurut Suharto (2005) analisis kebijakan merupakan bagian dari
penelitian kebijakan, dimana penelitian kebijakan setara dengan penggabungan
antara penelitian sosial dasar dengan analisis kebijakan, sebagai penelitian yang
memusatkan diri pada masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental.
Terdapat 3 (tiga) elemen dalam kebijakan yang menjadi target analisis, yaitu
faktor determinan utama, isi kebijakan, dan dampak kebijakan, baik yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan (Widodo 2008).
Metodologi analisis kebijakan memadukan berbagai disiplin ilmu, seperti
ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan filsafat. Sifatnya sebagian bersifat
deskriptif dan normatif, yaitu menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim
pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa kini,
dan masa depan (Dunn 2003). Secara umum analisis kebijakan publik bertujuan
untuk:
1. Memahami latar belakang dan tujuan lahirnya sebuah kebijakan
2. Memetakan interaksi kepentingan para pihak dalam proses lahirnya
kebijakan.
3. Memahami apa saja prinsip-prinsip penting yang dikembangkan dalam
sebuah kebijakan.
4. Memahami bagaimana kelembagaan kebijakan dibangun.
5. Memahami permasalahan implementasi kebijakan.
6. Merumuskan pemecahan masalah kebijakan, perbaikan atau alternatif
kebijakan baru (Pandor dan Sembiring 2009).
Menurut Suharto (2005) langkah-langkah melakukan analisis kebijakan
bukan merupakan proses yang kaku, tetapi dinamis dan cair. Faktor-faktor yang
mempengaruhi adalah hakekat masalah, tujuan analisis, strategi yang akan
diterapkan, dan ketersediaan sumberdaya. Tahapan analisis kebijakan secara
umum meliputi : 1) mendefinisikan masalah kebijakan (masalah sosial); 2)
mengumpulkan bukti tentang masalah; 3) mengkaji penyebab masalah; 4)
mengevaluasi kebijakan yang ada; 5) mengembangkan alternatif kebijakan, dan
6) menyeleksi alternatif kebijakan yang terbaik. Model pembuatan kebijakan
konvensional digambarkan sebagai proses linear dimana keputusan-keputusan
rasional diambil oleh mereka yang mempunyai otoritas dan tanggung jawab pada
sebuah area kebijakan tertentu (IDS 2006). Padahal proses kebijakan merupakan

12

proses yang komplek terkait dengan bagaimana kebijakan di mengerti, di bangun,
diimplementasikan, dan di jangkau oleh aktor-aktor yang terlibat.
Tinjauan lebih jauh dari proses-proses kebijakan menghasil 3 (tiga)
pendekatan untuk memahami pembuatan kebijakan, yaitu pertama menekankan
pada politik ekonomi dan interaksi antara Negara dan masyarakat, serta kelompok
kepentingan yang berbeda. Kedua sejarah dan praktek-praktek yang terhubung
untuk mengubah diskursus, dan bagaimana hal itu membentuk dan memandu
masalah-masalah kebijakan dan tindakan aksi. Sedangkan ketiga terkait dengan
aturan-aturan dan perantaan (atau kapasitas untuk membuat perbedaan) dari aktoraktor individu (IDS 2006). Dari kompleksitas proses tersebut maka kemudian
berkembang bahwa pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal yang saling
berhubungan dan mempengaruhi, yaitu pengetahuan dan diskursus/narasi
kebijakan, aktor-aktor dan jaringannya dankepentingan politik, seperti
digambarkan berikut ini.

Gambar 3 Diagram untuk memahami proses kebijakan
Analisis Stakeholder
Stakeholder atau sering diterjemahkan menjadi pemangku kepentingan
adalah “orang-orang” yang mempunyai hak dan kepentingan di dalam sistem
(Meyers 2001 dalam Suporaharjo 2005). Para pihak dapat berupa perorangan,
komunitas, kelompok sosial, organisasi dan atau instansi baik swasta maupun
pemerintah. Selanjutnya Meyers menyebutkan bahwa secara kategoris, para pihak
dapat dikelompokkan menjadi kelompok primer atau sekunder, yang dilakukan
menurut penilaian apakah stakeholder terpengaruh langsung oleh sistem atau
sebaliknya berpengaruh langsung terhadap sistem. Cara lain adalah penggolongan
stakeholder dalam organisasi, yaitu kelompok internal, kelompok interface, dan
kelompok eksternal.
Proses menemukenali para pihak yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya alam baik peran, kepentingan, kekuatan, sampai dengan jaringan
yang dimiliki sangat penting untuk menerapkan tujuan-tujuan tertentu, seperti

13

penyelesaian konflik atas sumberdaya alam dan implementasi atas rencana dan
program kerja sebuah organisasi yang sedang melakukan pengelolaan sumberdaya
alam. Proses tersebut termasuk dalam kegiatan analisis stakeholder.
Menurut Grimble dan Chan (dalam Suporaharjo 2005), definisi umum dari
analisis stakeholder adalah suatu pendekatan dan prosedur untuk mencapai
pemahaman suatu sistem dengan cara mengidentifikasi aktor-aktor kunci di dalam
sistem, dan menilai kepentingan masing-masing di dalam sistem tersebut.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang peran dan
kepentingan para pihak serta untuk merancang proyek dan kebijakan yang lebih
baik bagi pengelolaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan. Selanjutnya
disebutkan bahwa berkaitan dengan upaya peningkatan proyek dan perbaikan
kebijakan, analisis stakeholder ditujukan untuk :
a. Meningkatkan efektifitas kebijakan dan proyek di lapangan dengan cara
mempertimbangkan secara eksplisit kepentingan dan tantangan stakeholder,
mengidentifikasi dan menangani konflik atas sumberdaya alam antar
kelompok stakeholder, dan memberikan pertimbangan awal bagi cara-cara
membangun kebersamaan dan sifat saling melengkapi kepentingan dan
peluang-peluang kerjasama dan kompromi.
b. Menanggapi secara lebih baik dampak sosial dari implementasi kebijakan dan
proyek.
Menurut GTZ (2007) terdapat 10 building bloks untuk melakukan analisis
stakeholder yaitu identifikasi stakeholder kunci, pemetaan stakeholder, pilihanpilihan profil stakeholder dan pilihan-pilihan strategi, kekuasaan dan sumber
kekuasaan, kepentingan dan lingkup aksi stakeholder, pengaruh dan keterlibatan
stakeholder, analisis kekuatan stakeholder, membangun kepercayaan, eksklusi dan
pemberdayaan, dan gender (merupakan cross cutting building block dalam
keadilan gender dalam pembangunan). Masing-masing building blok mempunyai
teknik dan metode penilaian sendiri-sendiri yang dapat dipakai atau di adaptasi
secara fleksibel tergantung dari situasi, kebutuhan, harapan, dan ide-ide dari
stakeholder yang terlibat.
Metode analisis stakeholder yang lain adalah yang dikembangkan oleh
Meyers dan IIED yaitu analisis 4R (Right, Responsibility, Revenues and
Relationship) (Suporaharjo 2005). Alat ini berguna untuk meninjau kembali,
menegosiasikan, dan membangun kembali peran para stakeholder sesuai dengan
tuntutan kebutuhan. Secara umum metode ini adalah untuk proses internalisasi
dan penguatan peran stakeholder dengan cara mengeksplorasi perannya atas
komponen right (hak stakeholder), responsibility (tanggung jawab stakeholder),
revenues (keuntungan yang diperoleh stakeholder), dan relationship (relasi
stakeholder).
Konflik
Konflik adalah bagian hidup manusia. Tanpa konflik, kemajuan akan sulit
dicapai. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menghadapi, mengatasi dan
mengelola konflik (Hautojarvi 1997 dalam Suporaharjo 2005). Susan (2008)
bahkan menyebut bahwa konflik merupakan unsur terpenting dalam kehidupan

14

manusia 1, karena manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus) yang
selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik secara sukarela
maupun terpaksa. Secara sederhana konflik adalah pertentangan yang ditandai
oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.
Konflik berarti persepsi mengenai per