Ability of forest group member in the community forest management on tegal waru village, Bogor Residence, West Java Province
DI DESA TEGAL WARU, KABUPATEN BOGOR,
PROVINSI JAWA BARAT
SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis saya.
Bogor, Juli 2013
Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas I351090081
(3)
SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS.Ability of Forest Group Member in the Community Forest Management on Tegal Waru Village, Bogor Residence, West Java Province. Supervised by SITI AMANAH and NINUK PURNANINGSIH
Community forest is one alternative to solve problems about unbalance supply-demand on nature forestwood and also poverty around forest area that enhancing high pressure on the forest in Indonesia. The sustainability of community forest management depends on the ability of forest group member to manage the community forest that must have been gained through learning process. This thesis inquires into farmer’s learning process in community forest management, in order to test how external and internal factors influenced ability of forest group member to manage the community forest. The study used explanatory research design with survey method on model community forest area development in Tegal Waru village, Ciampea Sub District, Bogor Regency of West Java. The research was conducted from Februari to December 2012. The data were analyzed descriptively and using multiple regresion method. The findings of the study are: (1) farmer planning ability influenced by farmer’s total income, length time involved in community forest programme, and social norms existing among forest group members; (2) farmer self-organizing ability influenced by number of course attended by farmer, quality of extension material, social norms existing among forest group members, (3) farmer ability to implement influenced by number of course attended by farmer and learner-assistant ability to communicate in the farmer’s learning process; and (4) farmer ability to supervise influenced by farmer’s total income, and production process organization in community Forest.
(4)
SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS. Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh SITI AMANAH dan NINUK PURNANINGSIH.
Semakin menurunnya kualitas sumberdaya hutan pada beberapa dekade terakhir telah mendorong dilakukannya upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan ditentukan oleh kemampuan anggota kelompok mengelola Hutan Rakyat yang diperoleh dari proses pembelajaran. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kemampuan anggota kelompok tani mengelola Hutan Rakyat adalah pertanyaan penelitian dalam studi ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani Hutan Rakyat sekaligus menyusun desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat tersebut. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : (1) Mengidentifikasi kondisi pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian, (2) Menganalisis pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian, (3) Menganalisis faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat, dan (4) Menyusun alternatif desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat dalam rangka mengupayakan perbaikan kondisi lingkungan.
Desain penelitian adalah survey, dan penelitian bersifat penelitian penjelasan (Explanatory Survey) yaitu menjelaskan hubungan kausalitas antara peubah-peubah penelitian melalui pengujian hipotesis. Lokasi penelitian ditentukan secarapurposiveyaitu pada areal model pengembangan Hutan Rakyat. Populasi penelitian adalah petani pengelola Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Seluruh populasi penelitian menjadi sampel penelitian. Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah 55 orang petani Hutan Rakyat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari sampai bulan Juni tahun 2012. Pengumpulan data sekunder dan data primer menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi. Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif menggunakan program SPSS 20, sedangkan statistik inferensial menggunakan metode analisa Regresi Berganda.
Temuan penelitian ini adalah : (1) Kemampuan petani merencanakan pengelolaan Hutan Rakyatnya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan petani, lama petani terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat, dan norma sosial kelompok yang mengikat anggota kelompok tani, (2) Kemampuan petani mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh jumlah pelatihan yang diikuti petani, kualitas materi penyuluhan yang diterima petani, dan norma sosial kelompok yang mengikat anggota kelompok tani; dan (3) Kemampuan petani menerapkan hasil pembelajaran dipengaruhi oleh jumlah pelatihan yang diikuti petani dan kemampuan sumber belajar berkomunikasi dengan petani dalam proses pembelajaran Hutan Rakyat; dan (4) Kemampuan petani mengawasi
(5)
Pembelajaran petani Hutan Rakyat telah mendorong terjadinya perubahan perilaku petani dalam mengelola lahan. Perubahan pengelolaan lahan dari semula pertanian sawah lahan basah menjadi Hutan Rakyat di lahan kebun dengan pola penanaman dan pemeliharaan yang berbeda merupakan bentuk inovasi yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru. Pengelolaan Hutan Rakyat masih menghadapi beberapa permasalahan, yaitu masih rendahnya kesempatan anggota kelompok memperoleh tambahan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan non-formal terkait Hutan Rakyat, belum maksimalnya pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan dari lembaga penyuluhan beserta unit pelaksana teknis terkait, keterbatasan luas lahan, rendahnya pendapatan dan masih kurang memadainya kapasitas anggota kelompok tani dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat.
Kemampuan perencanaan petani dapat meningkat apabila petani memperoleh wawasan yang memadai mengenai nilai penting lahan Hutan Rakyat yang dimilikinya, petani memperoleh kesempatan meningkatkan pendapatannya, terlibat dalam rentang waktu yang cukup pada program Hutan Rakyat sehingga memiliki pengalaman pembelajaran yang memadai dalam mengelola Hutan Rakyat, dan terdapat solidaritas tinggi di antara anggota kelompok tani karena diikat oleh norma sosial kelompok yang kuat. Kemampuan petani mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dapat meningkat apabila petani memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan didukung oleh media kelompok tani dengan solidaritas tinggi di antara anggota kelompoknya. Kemampuan petani menerapkan hasil pembelajaran Hutan Rakyatnya dapat meningkat apabila petani memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan sumber belajar memperoleh bimbingan atau mengikuti pelatihan pengajaran untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan petani sebagai pembelajar. Kemampuan petani mengawasi kegiatan produksi Hutan Rakyat dapat meningkat apabila petani memperoleh wawasan yang cukup mengenai pentingnya aspek pengawasan dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat didukung oleh pelaksanaan kegiatan yang terorganisir dengan baik.
Peningkatan pengelolaan Hutan Rakyat secara keseluruhan dilakukan dengan mengembangkan strategi penguatan kelompok dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat. Kelompok tani merupakan media pembelajaran yang berperan penting bagi petani Hutan Rakyat. Strategi untuk meningkatkan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat lebih ditujukan untuk meningkatkan peran kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dalam pembelajaran petani, sekaligus mendorong bentuk penyuluhan swadaya yang partisipatif.
(6)
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
(7)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Penyuluhan Pembangunan
DI DESA TEGAL WARU, KABUPATEN BOGOR,
PROVINSI JAWA BARAT
SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(8)
(9)
Barat
Nama Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas
NIM 1351090081
Disetujui Komisi Pembimbing
セBャGエ
(
uOセ@Dr Ir SitiAmanafi MSc Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi
Ketua Anggota
Diketahui oleh · _. セ@ N セ@ _r,.
Ketua Program Studi IImu Penyuluhan Pembangunan
(10)
Nama : Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas NIM : I351090081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Ir Siti Amanah MSc Ketua
Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr Ir Siti Amanah MSc Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr
(11)
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 sampai dengan bulan Desember 2012 adalah Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Siti Amanah MSc dan Ibu Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi selaku pembimbing atas saran dan masukan yang diberikan. Kepada Prof Dr Ir Hardjanto MS penulis sampaikan terima kasih atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Julianto, selaku koordinator Penyuluh Kehutanan BKP5K Kotamadya Bogor, Bapak Khaerudin, selaku Penyuluh Kehutanan BP3K Cibungbulang, Bapak Maman Sudirman, S Hut, BPDAS Citarum-Ciliwung, Bapak Encep selaku Ketua Kelompok Tani Saluyu II. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh responden yang telah bersedia menyediakan waktu untuk memberikan informasi pada penelitian ini. Kepada seluruh staf pengajar, sekretariat, dan rekan-rekan PPN, Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan selaku sponsor, serta rekan-rekan di Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan, penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan dan dukungannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, Bapak Ir Soetino Wibowo, Ibu Amrih S, Bapak Ir Drs Didi Sukmana G dan Ibu Ir Dewi Yutikasari atas semua doanya. Kepada adik-adik untuk dukungan dan motivasinya. Terakhir, terima kasih penulis sampaikan kepada suami Widi Achmad Gozali ST dan putri tercinta Ranindradewi Aisyah Putri, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua.
Bogor, Juli 2013
Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas \
(12)
Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 7 November 1975 dari pasangan Soetino Wibowo dan Amrih Setyaning Wulan. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis menghabiskan masa kecil di Bandung, Majalengka, dan Malang.
Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN Neglasari 3 Majalengka, pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri I Malang, dan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Malang, lulus pada tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Padjadjaran melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan memilih Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Sekolah Pasca Sarjana IPB di Fakultas Ekologi Manusia dengan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) diperoleh tahun 2009. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Kementerian Kehutanan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2000, pada tahun yang sama penulis terlibat dalam Research Project on Women and Children Home-Based Workers yang diselenggarakan oleh UNICEF – IRC(International Research Center) Florence, Italy. Selanjutnya penulis bekerja sebagai peneliti di AKATIGA, Pusat Kajian Sosial di Bandung. Pada pertengahan tahun 2003, penulis mulai bekerja di Kementerian Kehutanan dan ditempatkan di Pusat Standardisasi dan Lingkungan sampai sekarang.
(13)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Praktik pengelolaan hutan sejak lama telah dilakukan di Indonesia dan memiliki kaitan erat dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sumber daya hutan bagi masyarakat lokal merupakan satu kesatuan ekosistem yang berperan penting dalam menopang sistem kehidupannya. Nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat terbentuk dari interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungannya, termasuk lingkungan hutan. Hubungan sinergis antara masyarakat dengan sumber daya hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran ketika hutan kemudian dipandang sebagai komoditas ekonomi dalam industrialisasi kehutanan. Pergeseran cara pandang tersebut mendorong munculnya perilaku-perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan, baik perilaku yang tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal pengelolaan hutan maupun perilaku yang cenderung merusak sumber daya hutan
Beberapa studi mengenai pengelolaan sumber daya hutan menunjukkan bahwa perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan berhubungan positif dengan kondisi kelestarian lingkungan hutan. Hutan Rakyat di daerah Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah dirintis dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat dengan membangun kelembagaan Hutan Rakyat yang kuat, mengembangkan dukungan dari Pemerintah Daerah setempat, dan memelihara komitmen yang tinggi dalam mengelola Hutan Rakyat. Hal tersebut ternyata mampu memberikan manfaat ekologis berupa kelestarian lingkungan yang berkesinambungan (Andayani 2003; Lucas 2002). Kearifan masyarakat Gunung Kidul dalam memanfaatkan sumberdaya manusia danlahan sesuai dengan situasi dan kondisinya1 untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak,
1
Tanaman keras berupa Jati, Akasia, dan Sengon biasanya ditebang berdasarkan kebutuhan yang berbeda-beda. Pohon Jati ditebang dan dijual jika petani penanam memerlukan biaya besar seperti menikahkan anak. Pohon Akasia dan pohon Sengon yang lebih cepat hasilnya dijual untuk kebutuhan seperti menyekolahkan anak.
(14)
memberikan kontribusi besar dalam keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat di daerah yang tandus dan gersang tersebut (Simon 2010; Ferdaus 2005). Pengelolaan Repong Damar2 di pesisir Krui, Lampung oleh masyarakat lokal dengan menerapkan kaidah sistem pengelolaan agroforestry tradisional pada suatu lahan secara turun-temurun mampu memelihara kelestarian lingkungan di daerah tersebut. Gambaran tersebut memberikan pemahaman bahwa perilaku masyarakat berperan besar dalam tercapainya kelestarian sumber daya hutan yang berkelanjutan. Upaya penghijauan harus melibatkan masyarakat untuk memperoleh hasil yang maksimal. Salah satu upaya pemberdayaan masyarakat di luar kawasan hutan yang saat ini dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan sebagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia adalah pengembangan Hutan Rakyat.
Hutan Rakyat telah dibangun sejak periode Pelita II dan menunjukkan perkembangan pesat sejak digalakkannya gerakan penghijauan besar-besaran berdasarkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 1976 tentang Inpres Bantuan Proyek Reboisasi dan Penghijauan. Pengusahaan Hutan Rakyat terus berkembang dan bertambah luas baik melalui swadaya masyarakat maupun melalui bantuan pemerintah c.q Kementerian Kehutanan. Berbagai studi menunjukkan bahwa perkembangan Hutan Rakyat telah mampu berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus mendorong kelestarian fungsi lingkungan seperti pencegahan erosi dan banjir, peningkatan kesuburan, serta konservasi air dan tanah di kawasan hutan, lahan dan Daerah Aliran Sungai (DAS)3(Mindawati
2
Repong dalam bahasa Lampung pesisir mengandung pengertian kebun campur. Kata “Damar” merupakan kata yang mengkhususkan pada komoditas jenis tanaman yang paling dominan dalam sistem kebun campur tersebut. Di Jawa, model Repong ini mirip dengan model pekarangan dan Hutan Rakyat yang sudah lanjut, dimana sudah terbentuk lapisan tajuk yang bertingkat-tingkat (multi layer canopy) (Simon 2010; Colchesteret al. 2005)
3
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA atau cathment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.Daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu,tengah danhilir
(15)
2006; Simon 2010). Saat ini Hutan Rakyat sudah terdapat hampir di seluruh Indonesia.
Perkembangan Hutan Rakyat yang telah dicapai sampai saat ini tidak lepas dari kegiatan penyuluhan di bidang kehutanan yang diselenggarakan sejalan dengan program-program penghijauan dan rehabilitasi lahan di bidang kehutanan sejak masa Orde Baru sampai masa Reformasi. Kegiatan penyuluhan kehutanan oleh Dinas instansi terkait maupun oleh penyuluh kehutanan swadaya masyarakat4 tersebut diintegrasikan dengan pembangunan fisik Hutan Rakyat di lahan-lahan milik masyarakat. Kegiatan penyuluhan kehutanan dalam berbagai bentuknya memegang peran penting dalam mendorong keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat (Ferdaus 2005; Hamid dan Sultan 2005; Agustine 2006; Hudiyani 2010).
Provinsi Jawa Barat memiliki potensi besar dalam pembangunan Hutan Rakyat. Kawasan utara Provinsi Jawa Barat merupakan daerah berdataran rendah, kawasan tengah merupakan dataran tinggi bergunung-gunung sedangkan kawasan Selatan berbukit-bukit dan pantai. Provinsi Jawa Barat memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Iklim di Jawa Barat adalah tropis dengan suhu 90C di Puncak Gunung Pangrango dan 340C di Pantai Utara. Curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, namun di beberapa tempat di daerah pegunungan mencapai antara 3.000 sampai dengan 5.000 mm/tahun.
Menurut keadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Jawa Barat, daerah sebelah utara menjadi muara bagi beberapa sungai besar yaitu Citarum, Cimanuk, Ciliwung dan Cisadane. Bagian sebelah selatan Jawa Barat terdapat lebih sedikit sungai besar yang mengalir ke arah Samudera Hindia, yaitu Citanduy dan Cimandiri. Keadaan berbeda juga ditemukan pada perairan laut yang membatasi Jawa Barat. Daerah utara berbatasan dengan Laut Jawa dengan
4
Penyuluh kehutanan swadaya masyarakat adalah anggota masyarakat yang secara swadaya aktif berperan dalam upaya-upaya penyuluhan kehutanan
(16)
perairan dangkal sementara daerah Selatan yang bersebelahan dengan Samudera Hindia memiliki perairan dalam.
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah penyangga ibukota negara dengan luas daratan sekitar 3.707.317,11 Ha.Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.195/Kpts-II/2003, Provinsi Jawa Barat memiliki sumber daya hutan seluas 816.603 Haatau sebesar 22,03 persen dari total luas wilayah provinsiyang berfungsi sebagai Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi. Luasan kawasan hutan tersebut masih di bawah luasan kawasan hutan minimal sebanyak 30 persen sesuaiPasal 18 ayat 2 UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan.Pasal tersebut mengharuskan agar pemerintah menetapkan bahwa bagi provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki luas hutan kurang dari 30 persen perlu menambah luas hutannya. Kekurangan luasan kawasan Hutan Negara tersebut ditutup dari luasan Hutan Rakyat yang mulai banyak dikembangkan di Provinsi Jawa Barat.Hutan Rakyat merupakan lahan milik masyarakat yang difungsikan sebagai hutan dan sebagian besar menerapkan pola-polaagroforestry. Keberadaan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat menjadi penting dalam memenuhi ketentuan minimal adanya kawasan hutan sebanyak 30 persen dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau sesuai sesuai Undang-undang Kehutanan yang berlaku.
Saat ini kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan dan untuk bahan baku industri cenderung semakin meningkat, sedangkan pasokan kayu dari hutan alam (areal HPH) dirasakan tidak mencukupi. Adanya peluang pasar bagi hasil Hutan Rakyat untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu, mendorong peluang berusaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan Hutan Rakyat sampai sejauh ini dipandang mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Pengertian Hutan Rakyat sesuai dengan SK Menhut No.49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dan memiliki penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya yang lebih dari 50 persen dan atau tanaman tahun
(17)
pertama dengan minimal 500 tanaman per Ha. Data terakhir dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2009) diperoleh angka luasan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat sebesar 264.169,7 Ha. Perkembangan luas dan produksi Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat terus meningkat setiap tahunnya. Tanaman Hutan Rakyat yang dominan ditanam di Provinsi Jawa Barat adalah Sengon, Jati, Mahoni, dan Suren. Keberadaan Hutan Rakyat di bagian Hulu dan Tengah DAS sangat mendukung upaya konservasi dikarenakan Hutan Rakyat didominasi oleh tanaman keras yang memiliki fungsi hidroorologis, yang dapat mencegah erosi dan banjir. Oleh karena itu penting untuk mempertahankan upaya konservasi tanah dan air pada wilayah Hulu DAS. Perkembangan Hutan Rakyat yang signifikan tidak lepas dari dukungan kebijakan pembangunan kehutanan di Jawa Barat.
Pembangunan kehutanan di Provinsi Jawa Barat secara spesifik mengarahkan pada program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) melalui kegiatan pengembangan Hutan Rakyat pada lahan-lahan kritis dan lahan-lahan kosong milik masyarakat (Achmad 2008). Saat ini luasan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat sudah mencapai sekitar 185.547,6 Ha (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2006). Pengelolaan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat terbukti mampu memberikan manfaat ekologis penting dalam membantu mengamankan kondisi lingkungan di kawasan-kawasanyang tergolong kritis.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah administrasi di Provinsi Jawa Barat yang memiliki nilai strategis sebagai kawasan konservasi dengan dua Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang melewatinya, yaitu DAS Ciliwung dan DAS Cisadane5. Daerah Aliran sungai Ciliwung-Cisadane telah ditetapkan sebagaikawasan khususstrategis dan penataan ruangnya telah diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 79 Tahun 1985. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa penggunaan lahan di kawasan tersebut termasuk salah satu lokasi di Indonesia yang mengalami perubahan sangat cepat baik dari segi 5
Daerah Aliran sungai Ciliwung-Cisadane termasuk dalam kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang- Bekasi (Jabodetabek) dan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Kedua kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Jabodetabek-Punjur.
(18)
pertumbuhan penduduk maupun perkembangan aktivitas penduduknya, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan yang cukup kompleks dari waktu ke waktu, antara lain terjadinya banjir, tanah longsor, kekeringan, dan perubahan iklim mikro yang intensitasnya semakin meningkat pada waktu-waktu terakhir. Pesatnya pertumbuhan pembangunan di kawasan Bogor Barat diindikasikan dengan berkembangnya industri baik skala industri besar maupun rumahan, meningkatnya kegiatan pertambangan dan terjadinya alih fungsi lahan untuk perumahan, kebun campur dan lahan persawahan sehingga menyebabkan fungsi daerah resapan air (water catchment area) DAS Cisadane sudah tidak berfungsi optimal dan secara tidak langsung memberikan kontribusi berupa ancaman banjir dan genangan di daerah Hilir, yaitu daerah Jakarta dan sekitarnya.
Kesadaran mengenai pentingnya mengembalikan fungsi hulu DAS Cisadanepada kondisi semula untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan lingkungan yang telah mendorong dilaksanakannya upaya-upaya penghijauan melalui peningkatan partisipasi masyarakat pada kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan di kawasan hulu DAS Cisadane dan sub-sub DAS penyangganya. Partisipasi masyarakat lokal, sebagaimana dikemukakan DFID (2003) memegang peran penting dalam pelaksanaan suatu pengelolaan hutan. Upaya penghijauan antara lain dilakukan melalui pengelolaan Hutan Rakyat dengan memanfaatkan lahan-lahan masyarakat setempat yang difungsikan sebagai hutan.
Kondisi hulu DAS Cisadane dan sub-sub DAS penyangganya yang semakin memprihatinkan sampai saat ini masih belum diimbangi dengan perkembangan yang signifikan pada kualitas pengelolaan lingkungan di daerah hulu tersebut. Berdasarkan beberapa penelitian mengenai pengelolaan Hutan Rakyat yang telah dilakukan di Provinsi Jawa Barat banyak diperoleh pemahaman mengenai aspek kelayakan teknis dan finansial pengelolaan Hutan Rakyat, namunmasih belum banyak diperoleh pemahaman terkait dengan perilaku masyarakat lokal dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Pemahaman tersebut diperlukan untuk dapat memberikan kontribusi bagi pemecahan permasalahan lingkungan di DAS Cisadane. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
(19)
pemahaman lebih mendalam mengenai kemampuan anggota kelompok dalam mengelola Hutan Rakyatnya. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan mengenai lokasi areal permodelan pengembangan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru yang terletak di wilayah Sub DAS Ciampea anak sungai DAS Cisadane yang berfungsi penting dalam mendukung konservasi tanah dan air di daerah hulu DAS Cisadane.
1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji pembelajaran petani dalam memperoleh kemampuan pengelolaan Hutan Rakyat secara berkualitas. Secara spesifik penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian berikut ini :
1. Bagaimana kondisi Hutan Rakyat di lokasi penelitian?
2. Bagaimana kemampuan petani mengelola Hutan Rakyat di lokasi penelitian? 3. Faktor-faktor penentu apakah yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat di lahan miliknya? 4. Bagaimana desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan
Rakyat guna mendorong perbaikan kondisi lingkungan secara lebih optimal?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani Hutan Rakyat sekaligus menyusun desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat tersebut. Secara khusus, penelitian ini bertujuan :
1. Mengidentifikasi kondisi pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian 2. Menganalisis pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian
3. Menganalisis faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
4. Menyusun alternatif desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat dalam rangka mengupayakan perbaikan kondisi lingkungan.
(20)
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya berkaitan dengan peningkatan kualitas pengembangan yang dapat diterapkan pada pengelolaan Hutan Rakyat
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam merumuskan strategi untuk mendorong penguatan kelembagaan pada pengelolaan Hutan Rakyat secara lestari.
(21)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Pemberdayaan menurut Carr (2011) merupakan proses membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, memiliki kepercayaan diri, dan mampu mendorong dirinya sendiri dalam kewaspadaan sosial, politik, ekonomi, dan psikologi. Proses tersebut mendampingi individu untuk membentuk pendampingan diri terhadap kekuatan yang sudah ada pada diri mereka dan memaksimalkan kendali serta memanfaatkan kekuasaan yang sudah mereka miliki untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Pengertian proses menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat.
Agarwal (1994) mendefinisikan pemberdayaan sebagai proses meningkatkan kemampuan dari individu atau kelompok yang kurang beruntung untuk mampu merubah hubungan kekuasaan yang sudah ada berdasarkan kepentingan mereka yang menempatkan mereka dalam posisi ekonomi, sosial dan politik yang kurang menguntungkan. Menurut Peterson (2011) pemberdayaan mengacu pada proses dimana individu, kelembagaan, dan masyarakat memperoleh kendali yang lebih besar, pencapaian diri, dan keadilan sosial. Salah satu cara untuk mengembangkan pemberdayaan di masyarakat adalah melalui partisipasi kelompok maupun partisipasi masyarakat dalam kegiatan lainnya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa partisipasi mampu mendorong pemberdayaan dan perubahan sosial dalam berbagai konteks. Masyarakat dapat menjadi berdaya melalui proses partisipasi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, Wright (1990) menyebutkan bahwa partisipasi sebagai pemberdayaan merupakan pendekatan yang memiliki kekuasaan dan secara penuh memiliki kendali terhadap suatu program atau kelembagaan. Partisipasi untuk pemberdayaan digambarkan dalam suatu proses
(22)
mobilisasi struktural, perubahan sosial dan politik. Menurut Iqbal (2007) mengacu pada Tjondronegoro (1992), partisipasi dapat dimaknai dalam konteks keterlibatan kelompok sasaran pada program atau kegiatan dalam konteks pembangunan, dan jenis keterlibatan kelompok sasaran yang termotivasi dan menjadi aktif, bahkan mau berkorban untuk pengembangan kelompok untuk mencapai tujuan spesifik yang sudah disetujui dan ditetapkan bersama dalam program. Hal tersebut sejalan dengan Singh (1993) yang mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah suatu kegiatan yang berorientasi proses.
Berdasarkan uraian definisi dan pengertian diatas, pemberdayaan masyarakatdapat dilihat sebagai upaya pengembangan, penguatan potensi atau daya, dan terciptanya proses pengambilan keputusan secara mandiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial pada masyarakat. Partisipasi masyarakat dan atau berbagai pihak yang terlibat dalam upaya pemberdayaan tersebut berperan penting dalam mendorong keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan, sehingga pada dasarnya upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Meluasnya kesadaran di dunia mengenai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) sebagai konsep dan sebagai tujuan dari pengelolaan hutan telah menggeser kebijakan dari pendekatan pengelolaan hutan yang menekankan pada pemanfaatan kayu menjadi pengelolaan hutan dengan pendekatan yang berorientasi pada masyarakat (people-oriented approach). Pada beberapa dekade terakhir, konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan tersebut memperoleh dukungan kuat dari berbagai pihak.
Salamet al. (2004) mengemukakan bahwa tujuan utama dari pengelolaan hutan yang berkelanjutan adalah memenuhi kebutuhan yang terkait dengan hutan dan aspirasi generasi saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.Tujuan tersebut dapat dicapai dengan memelihara dan meningkatkan nilai penting hutan terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
(23)
Partisipasi masyarakat merupakan agenda utama dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. DFID (2003) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman dengan beragam pendekatan dalam pengelolaan hutan, partisipasi bernilai penting dalam meningkatkan keadilan, efektivitas, dan keberlanjutan. Pengelolaan hutan dengan berorientasi pada masyarakat merupakan pendekatan partisipatif yang sejak tahun 1980-an akhirnya secara luas berhasil mendorong masyarakat di berbagai belahan dunia baik yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan memiliki akses lebih besar dalam pengelolaan kawasan hutan.
Partisipasi masyarakat dalam konteks pengelolaan hutan harus dipandang sebagai gerakan menuju kondisi yang lebih humanis dan demokratis di negara berkembang, yang mengedepankan keadilan dan keberlanjutan. Perbedaan tahapan perkembangan sejarah dan kondisi politik yang berbeda-beda di masing-masing negara, menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap terminologi partisipasi masyarakat berikut penerapannya pada program-grogram nasional di masing-masing negara, khususnya negara-negara berkembang6.
2.1.1 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Hutan Rakyat merupakan konsep perhutanan sosial (Social Forestry) yang memanfaatkan lahan milik petani yang difungsikan sebagai hutan.Konsep Perhutanan Sosial didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan baik di hutan negara maupun hutan hak milik dengan keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaku utama atau mitra utama untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sekaligus mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan.Di Indonesia, kegiatan perhutanan sosial (Social Forestry) sudah dilakukan sejak jaman Kerajaan Mataram pada abad ke-18 ditandai dengan sudah adanya bentuk penanaman dengan teknik agroforestry tradisional pada masa tersebut. Pada saat
6
Program Perhutanan Sosial Terpadu (Intregated Social ForestryProgramme) di Filipina, Program Hutan Desa Thailand (ForestVillage Programme of Thailand) di Thailand, Komunitas Penanaman Kayu Bakar (Community Fuelwood Plantations) di Korea, Hutan Kemasyarakatan (Community Forestry) di Nepal, Pengelolaan Hutan Partisipatif (Partisipatory Forest Management) di India (Singh, 2003), dan Perhutanan Sosial (Social Forestry) di Indonesia.
(24)
yang sama di luar Pulau Jawa, masyarakat lokal melakukan peladangan berpindah sebagai sistem kehutanan tradisional yang turun-temurun (Effendi 2000).
Saat ini, Perhutanan Sosial seringkali dipandang sama dengan pengelolaan berbasis masyarakat yang berkelanjutan (Community Based Forest Management/CBFM) yaitu sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat pada tanah negara, lahan komunal, tanah adat atau Hutan Rakyat untuk memenuhi kebutuhan diri mereka sendiri secara komersial. Pembahasan mengenai definisi pengelolaan hutan berbasis masyarakat menitikberatkan pada dua hal penting, yaitu sumber daya hutan dan keterlibatan masyarakat. Hutan sebagai daerah yang didominasi oleh pohon, termasuk beragam jenis dan bentuk pengelolaannya (dari bentuk sederhana sampai bentuk agroforetry yang kompleks). Masyarakat sebagai pelaku utama dalam setiap pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berperan penting dalam pengambilan keputusan pada pengelolaan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Hutan Rakyat merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan di lahan miliknya sendiri.
Departemen Kehutanan (1990) mengemukakan bahwa tujuan pengembangan Hutan Rakyat adalah untuk penghijauan, membantu masyarakat desa memenuhi kebutuhan kayu bangunan, kayu bakar, kebutuhan bahan baku industri, peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pengembangan Hutan Rakyat adalah sebagai sarana perbaikan lingkungan hidup (environment), peningkatan kesejahteraan (properity) dan keamanan serta keutuhan hutan (security). Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya dalam pengelolaan Hutan Rakyat bersifat langsung dan erat.
Pengertian Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman
(25)
perkayuan (lebih dari 50 persen), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Departemen Kehutanan, 1999). Hutan Rakyat merupakan model penggunaan lahan di pedesaan oleh masyarakat melalui pengembangan sistem tanaman campuran antara tanaman pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan.
Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Semakin terbatasnya kepemilikan tanah menyebabkan peran Hutan Rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan Hutan Rakyat. Pengetahuan lokal menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya.
Karakteristik Hutan Rakyat antara lain adalah tidak merupakan suatu kawasan yang kompak tetapi terpencar-pencar di antara lahan-lahan pedesaan lainnya dan bentuk usahanya tidak selalu murni berupa kayu-kayuan. Hutan Rakyat mengkombinasikan tanaman perkayuan dengan tanaman pangan/palawija yang biasa dikenal dengan istilah agroforestry7. Hasil utama Hutan Rakyat berupa kayu-kayuan baik kayu pertukangan, kayu industri, kayu serat, maupun kayu energi. Hasil sampingan Hutan Rakyat yaitu getah, nira, bunga, buah. Tanaman campuran/tanaman sela sebagai tumpangsari yang terdiri dari tanaman pertanian semusim (padi dan jagung) dan tanaman obat-obatan disamping sebagai sumber penghasilan musiman limbahnya berupa daun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak (Mindawatiet al.2006; Budimanet al.2008).
7
A land-use system in which woody perennials (trees, shrubs, palms, bamboos) are deliberately used on the same land management unit as agricultural crops (woody or not), animals or both, either in some form of spatial arrangement or temporal sequence. In agroforestry systems there are both ecological and economic interactions between the different components (World Agroforestry Centre, 1997)
(26)
Hutan Rakyat sudah berkembang di masyarakat sejak lama dan dilakukan di lahan-lahan milik. Hal tersebut terlihat dari adanya Hutan Rakyat tradisional yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah (swadaya murni), baik terdiri dari tanaman satu jenis, maupun dengan pola tanaman campuran. Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat. Tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat dikarenakan bentuk pengelolaan tersebut banyak memberi manfaat bagi petani dan bukan merupakan hal yang sama sekali baru bagi masyarakat.
2.1.2 Dukungan Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Keterlibatan pemerintah dalam pengembangan Hutan Rakyat ditandai dengan terbitnya Inpres Penghijauan Tahun 1976 mengenai upaya penghijauan pada lahan-lahan milik yang kritis dan terlantar. Pengurusan Hutan Rakyat dilakukan sendiri oleh pemiliknya dengan bimbingan dan pengawasan dari pemerintah.Dengan adanya PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang Kehutanan kepada daerah, maka pengurusan pengelolaan Hutan Rakyat telah diserahkan kepada Dati II yang mencakup pembinaan kegiatan penanaman pohon-pohonan, pemeliharaan, pemanenan, pemanfaatan, pemasaran dan pengembangan.
Pengembangan Hutan Rakyat mengenal tiga pola pengelolaan, yaitu :(1) Hutan Rakyat Swadaya, yaitu Hutan Rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk melaksanakan pembuatan Hutan Rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan, (2) Hutan Rakyat subsidi, yaitu Hutan Rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan Hutan Rakyat, dan(3) Hutan Rakyat kemitraan(Kredit Usaha Hutan Rakyat), yaitu
(27)
Hutan Rakyat yang dibangun berdasarkan kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama tersebut adalah kebutuhan pihak perusahaan terhadap bahan baku dan kebutuhan masyarakat terhadap bantuan modal kerja.
2.2 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat
Menurut Singh (1993) dalam pengelolaan hutan hal penting yang diperlukan dalam memelihara dan mendorong partisipasi masyarakat yang berkelanjutan adalah membangun kelembagaan yang kuat pada masyarakat pengelola hutan. Kelembagaan merupakan hambatan terbesar dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Aspek kelembagaan memegang peranan penting dalam pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan. Kegagalan beberapa program pembangunan kehutanan seringkali terletak pada masih lemahnya aspek kelembagaan baik di tingkat masyarakat maupun unsur-unsur pendukungnya.
Koentjaraningrat (2006) menyatakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan dalam kehidupan masyarakat yang menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Cohen (1992) mengartikan social institutions sebagai pranata-pranata masyarakat yang memiliki pengertian sistem pola-pola sosial yang tersusun rapi dan relatif bersifat permanen serta mengandung perilaku-perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Gunawan (2000) mengemukakan bahwa pranata sosial merupakan struktur sosial beserta perlengkapannya, yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengatur, mengarahkan, dan melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka lembaga sosial umumnya didirikan berdasarkan nilai dan norma dalam masyarakat, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat menciptakan aturan-aturan yang disebut norma sosial yang
(28)
membatasi perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan membentuk suatu sistemnorma yang kemudian menjadi awal terbentuknya lembaga sosial. Sekumpulan nilai dan norma yang telah mengalami proses penerapan ke dalam institusi atau pelembagaan menghasilkan lembaga sosial
Lembaga sosial merupakan suatu konsep yang abstrak, namun demikian terdapat sejumlah ciri dan karakter yang dapat dikenali. Gillin dan Gillin di dalam karyanya yang berjudul "Ciri-ciri Umum Lembaga Sosial" (General Features of Social Institution) sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1994) mengemukakan bahwa lembaga sosial memiliki ciri-ciri antara lain :
1. Merupakan organisasi pola-pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya.
2. Memiliki suatu tingkat kekekalan tertentu. Lembaga sosial merupakan himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok, maka harus dipelihara dan dibakukan.
3. Memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu.
4. Memiliki alat-alat perlengkapan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 5. Memiliki lambang-lambang atau simbol-simbol tertentu yang secara simbolis
menggambar tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.
6. Memiliki tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib, dan lain-lain.
Baga et al.(2009) mengemukakan bahwa suatu kelembagaan (institution) baik sebagai suatu aturan main maupun sebagai suatu organisasi, dicirikan oleh adanya tiga komponen utama, yaitu : (1) batas kewenangan (jurisdictional boundary), (2) hak kepemilikan (property right), dan (3) aturan representasi (rule of representation). Kelembagaan, selain dimaknai sebagai perangkat keras (lembaga atau organisasi), juga melingkupi perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya dan konsistensi kebijakan yang diterapkan pemerintah terhadap lembaga-lembaga masyarakat. Kegagalan kegiatan pembangunan kehutanan seringkali disebabkan oleh masih lemahnya kelembagaan di tingkat masyarakat lokal maupun unsur-unsur pendukungnya. Achmad (2008)
(29)
mengemukakan bahwa kelembagaan Hutan Rakyat terdiri dari kelembagaan sosial, kelembagaan ekonomi, dan kelembagaan pemerintahan/birokrasi.
2.2.1 Kelompok Tani Hutan Rakyat sebagai Kelembagaan Sosial
Bentuk kelembagaan sosial dalam Hutan Rakyat adalah kelompok tani. Kelompok tani merupakan kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh pimpinan seorang kontak tani (Departemen Kehutanan, 1996). Kelompok tani yang berkaitan langsung dengan Hutan Rakyat disebut kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR). KTHR berfungsi sebagai wadah bagi para petani untuk menyalurkan aspirasinya, melaksanakan kegiatan-kegiatan fisik di lapangan secara berkelompok, dan menampung aspirasi anggotanya dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat.
Keberadaan KTHR membantu petani Hutan Rakyat untuk dapat saling berkomunikasi dengan petani Hutan Rakyat lainnya dan juga pihak-pihak lainnya di luar kelompok tani untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi sebagai petani. Kelembagaan sosial lainnya yang turut menunjang perkembangan Hutan Rakyat adalah : (1) Lembaga penelitian dan pengembangan kehutanan, (2) lembaga pendidikan terkait kehutanan (kursus, sekolah, dan perguruan tinggi),(3) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melakukan pendampingan terhadap petani Hutan Rakyat yang tergabung dalam kelompok tani-kelompok tani (Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006; Achmad et al. 2008)
Kelembagaan ekonomi dalam Hutan Rakyat terdiri dari : (1) lembaga-lembaga pemasaran sarana produksi kehutanan, dari mulai produsen sampai dengan pendistribusiannya di tingkat petani, (2) Lembaga-lembaga penunjang kegiatan produksi, antara lain lembaga keuangan/perbankan dan koperasi, dan (3) lembaga-lembaga pemasaran produk kehutanan, dari pengolah hasil kehutanan
(30)
sampai pendistribusian kepada konsumen, (4) Jasa konstruksi, telekomunikasi, dan transportasi (Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006).
Kelembagaan pemerintah/birokrasi memegang peran yang cukup dominan dalam pengembangan Hutan Rakyat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, pada pasal 70 dinyatakan bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota berkewajiban untuk mengembangkan hutan hak melalui pengembangan kelembagaan. Pengelolaan Hutan Rakyat di Jawa Barat ditangani oleh : (1) Departemen Kehutanan, (2) Pemerintah Kabupaten/Kota, selaku regulator kegiatan pengelolaan hutan di Kabupaten/Kota. Penyuluh kehutanan sebagai ujung tombak pengembangan Hutan Rakyat tergabung dalam Dinas-dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, (3) Keterlibatan Dinas-dinas terkait lainnya, yaitu Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM, serta Dinas Perhubungan (Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006; Achmad 2008)
2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat sebagai Bentuk Tindakan Bersama (Collective action)
Pengembangan Hutan Rakyat tidak dapat hanya dilakukan oleh petani. Keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat tidak terlepas dari lembaga-lembaga yang mendukungnya. Kelembagaan Hutan Rakyat bersifat multidimensi. Sinergi dari kelembagaan sosial, ekonomi, dan pemerintah dalam kelembagaan Hutan Rakyat memperlihatkan adanya kompleksitas jaringan (network) multipihak yang saling berkaitan satu sama lain. Keberlanjutan kelembagaan Hutan Rakyat sangat terikat dari manfaat, baik ekonomi, sosial dan politik yang dapat diberikannya bagi pelaku utama yaitu petani, maupun bagi parapihak yang mendukungnya. Kelembagaan Hutan Rakyat dapat lebih dipahami sebagai tindakan bersama (collective action) dari parapihak yang terlibat di dalamnya.
Tindakan bersama (collective action) tersebut didorong oleh adanya kepentingan terhadap sumberdaya, gagasan, dan cita-cita berbagai pihak terkait
(31)
dengan keberadaan Hutan Rakyat. Kelembagaan Hutan Rakyat dalam hal ini menjadi saluran bagi tindakan bersama (collective action) yang didorong oleh kepentingan terhadap manfaat yang diperoleh, legitimasi, dan harapan bersama yang diinginkan. Kompleksitas jaringan multipihak dalam kelembagaan Hutan Rakyat memberikan gambaran bahwa akan selalu terjadi proses pembelajaran yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kapabilitas pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Keberlangsungan kelembagaan Hutan Rakyat terikat dari kemampuan kelembagaan tersebut dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.Penerapan teknologi untuk mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi memerlukan sumberdaya yang berkualitas yang hanya dapat diperoleh dari dilaksanakannya proses pembelajaran.
2.3 Penyuluhan Kehutanan 2.3.1 Penyuluhan secara Umum
Falsafah, pendekatan, definisi, dan strategi penyuluhan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Penyuluhan mengandung pengertian mengenai upaya untuk memperluas penelitian berdasarkan pengetahuan pada sektor pedesaan untuk meningkatkan taraf kehidupan petani meliputi komponen alih teknologi, keterampilan manajerial, dan pendidikan non-formal. Saat ini pemahaman mengenai penyuluhan telah bergeser dari alih teknologi menjadi fasilitasi, dari pelatihan menjadi pembelajaran, termasuk mendampingi pembentukan kelompok tani, dan menjadi patner dengan jangkauan yang luas dengan berbagai pihak.
Jaffe dan Srivatasva (1992) mengemukakan bahwa penyuluhan berlaku sebagai penghubung diantara para petani untuk alih pengetahuan atau keterampilan yang dianggap lebih baik dalam bidang pertanian ataupun sebagai sarana untuk menyebarluaskan kebijakan-kebijakan di bidang pertanian pertanian. Saito dan Weidemann (1991) mengemukakan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran dengan dua tujuan, yaitu menyebarkan informasi dan teknologi pada petani dan mengajar mereka bagaimana menggunakan informasi
(32)
dan teknologi tersebut untuk mengembangkan produktivitas, mendorong petani mampu mengenali kebutuhannya dan memberikan umpan balik dalam bentuk penyuluhan yang sesuai dengan kondisi mereka. Penyuluhan cenderung menjadi lebih efektif ketika hubungan diantara multipihak yang terlibat dalam penyuluhan tersebut mampu mendorong terciptanya komunikasi yang terbuka dan umpan balik yang dinamis (Saito and Weidemann, 1991).
Pengertian penyuluhan menurut Slamet (2003) adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri, bersifat berkelanjutan, menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Penyuluhan dapat pula dipandang sebagai proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama bersifat partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua stakeholder (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan.
Mahaliyanaarachchi (2008) memberikan mendefinisikan penyuluhan sebagai proses pembelajaran nonformal yang berjalan terus-menerus pada suatu periode waktu tertentu dan mengarah pada peningkatan kondisi kehidupan petani dan anggota keluarganya dengan meningkatkan keuntungan dari kegiatan pertanian. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap petani dalam penerapan teknologi pertanian, pelaksanaan kegiatan pertanian dan pemasaran hasil-hasil pertanian.Beberapa studi mengenai dampak ekonomi penyuluhan pertanian menunjukkan adanya dampak positif penyuluhan terhadap adopsi teknologi, produktivitas pertanian dan keuntungan yang diperoleh petani dari lahan pertanian (Fotiet al. 2007).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan menyatakan bahwa penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan proses pembelajaran
(33)
bagi pelaku utama agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Penyuluhan pada hakikatnya adalah proses pembelajaran yang bertujuan menciptakan perubahan perilaku yang diinginkan terdiri dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) terhadap individu atau kelompok tertentu dan bertujuan meningkatkan taraf kehidupan pihak-pihak terlibat di dalamnya.
2.3.2 Penyuluhan Kehutanan
Penyuluhan terpusat pada masalah pertanian di dunia, namun pada saat yang sama pentingnya penyuluhan dalam meningkatkan pengelolaan hutan terus meningkat. Terlepas dari fokus terhadap pertanian tradisional, penyuluhan di bidang kehutanan berkembang menjadi hal yang diperlukan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pengelola hutan. Menurut Glendingin et al. (2001) mengacu pada Sim dan Hilmi (1987) menyatakan bahwa sistem penyuluhan kehutanan berkembang sebagai respon terhadap kebutuhan penyebaran teknologi kehutanan diantara masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Proses pembelajaran dan berbagi pengalaman untuk pengembangan kapasitas sangat penting dalam tercapainya keberhasilan penyuluhan kehutanan. Pada waktu-waktu terakhir terdapat pergeseran paradigma dalam penyuluhan kehutanan dari pendekatan tranfer teknologi menjadi lebih bersifat pendekatan fasilitasi dan partisipatif.
Partisipasi dan dukungan masyarakat menurut Glendingin (2001) mengacu pada Chambers (1983) dan Kramer (1987) menjadi perhatian utama dalam kegiatan kehutanan. Kegiatan pembangunan kehutanan yang dilakukan tidak akan berhasil tanpa adanya keterlibatan masyarakat terhadap pembangunan
(34)
kehutanan tersebut. Penyuluhan kehutanan dipandang sebagai kunci untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan.
Rebugio (1978) mendefinisikan penyuluhan kehutanan sebagai sistem pendidikan nonformal yang dirancang untuk mengembangkan perilaku diantara pengguna hutan dan kapabilitas yang diinginkan dalam rangka upaya konservasi sumberdaya hutan. Penyuluhan kehutanan menurut Anderson dan Farrington (1996) didefinisikan sebagai proses yang sistematis dari pertukaran ide, pengetahuan dan teknik yang mengarah pada perubahan yang menguntungkan dalam sikap mental, praktik, pengetahuan, nilai-nilai, dan perilaku yang bertujuan meningkatkan pengelolaan hutan dan kayu.
Glendingin (2001) mengacu pada Sim dan Hilmi (1987) mengemukakan bahwa penyuluhan merupakan proses menyatukan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan untuk menentukan kebutuhan yang diperlukan, penyelesaian masalah yang dihadapi, pendampingan terhadap masyarakat lokal dan sumberdaya penting, dan pendampingan lainnya yang mungkin diperlukan untuk mengatasi kendala tertentu. Departemen Kehutanan (1996) mengartikan penyuluhan kehutanan sebagai upaya alih-teknologi kehutanan melalui pendidikan luar-sekolah yang ditujukan kepada petani dan kelompok masyarakat lainnya, untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan, dan kemampuannya dalam memanfaatkan lahan miliknya, pengamanan, serta pelestarian sumber daya alam.
Beragam definisi mengenai penyuluhan kehutanan menyebabkan sulit untuk diperoleh satu definisi yang disepakati oleh berbagai pihak. Namun demikian menurut Anderson dan Farrington (1996) dari beragam definisi tersebut dapat ditarik dua pandangan mendasar. Pandangan pertama beranggapan bahwa penyuluhan terikat dengan fungsi alih teknologi dan tidak digabungkan dengan tugas-tugas lainnya. Pandangan kedua beranggapan bahwa penyuluhan harus melihat masyarakat sebagai rekan dan memahami kebutuhan mereka. Fungsi pengembangan manusia menjadi kunci penting dalam pelaksanaannya. Pandangan ini seringkali disebut pendekatan ’utamakan petani’ (farmer first) atau
(35)
’pendekatan pemecahan masalah’. Kerangka pembangunan yang berkelanjutan menitikberatkan keduanya pada kandungan isi (teknologi dan penyebarannya) dan proses (pengembangan kapasitas pemecahan masalah). Penyuluhan kehutanan harus berakar dari kebutuhan untuk memelihara efisiensi maupun keadilan dalam pembangunan kehutanan.
Penyuluhan di bidang agroforestry merupakan salah satu penyuluhan yang dilakukan dalam lingkup penyuluhan kehutanan. Chavangi and Zimmermann (1987) mengemukakan bahwa penyuluhan di bidang agroforestry, tidak seluruhnya merupakan tugas teknis untuk melakukan penanaman pohon, melainkan lebih kepada gabungan tugas teknis, psikologis, sosiologis, kelembagaan, dan politik. Menurut Bukenya et al. (2007) dalam teknologi agroforestry menjadi terkait dengan petani ketika dikomunikasikan pada petani. Petani belajar mengenai teknologi agroforestry melalui cara yang berbeda, misalnya dengan mendengarkan, mengamati, berdiskusi dan menggunakan metode yang diterapkan oleh petugas penyuluhan ketika melaksanakan penyuluhan. Hasil penyuluhan dapat berbeda pada situasi dan tingkat adopsi yang berbeda.
Beberapa metode pendekatan dalam penyuluhan menurut Tengnas (1994) antara lain adalah : (1) pendekatan individu, (2) pendekatan kelompok (pertemuan, pekerjaan lapangan, demontrasi, dukungan untuk kelompok), (3) pendekatan kelas, dan (4) pendekatan penyuluhan masal. Penyuluhan di bidang agroforestry ini salah satunya adalah penyuluhan yang dilaksanakan dalam rangka mendukung pelaksanaan Hutan Rakyat.
2.3.3 Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan di Indonesia
Di Indonesia, penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Sejalan dengan pergeseran kebijakan pembangunan kehutanan dan pelaksanaan otonomi daerah, maka telah dilakukan reorientasi paradigma penyuluhan kehutanan, yang semula merupakan proses alih teknologi dan informasi serta merubah sikap dan perilaku masyarakat
(36)
menjadi “penyuluhan kehutanan adalah proses pemberdayaan masyarakat” (Departemen Kehutanan, 2002). Dengan dasar kerangka pikir paradigma baru tersebut, maka pengertian penyuluhan kehutanan dalam menghadapi era otonomi daerah mencakup dua komponen pokok yaitu: (1)Penguatan dan pengembangan kelembagaan masyarakat sekitar kawasan sumber daya hutan yang berperan sebagai penggerak masyarakat dan selanjutnya tumbuh kesepakatan antar kelompok, antar desa bahkan antar kecamatan. (2)Pendampinganyang dilakukan secara terus menerus sehingga terbentuk kelompok-kelompok masyarakat produktif mandiri berbasis pembangunan kehutanan. Kegiatan penyuluhan kehutanan dalam perjalanannya berhadapan dengan sasaran penyuluhan yang sangat beragam, baik ragam kondisi wilayahnya, maupun keragaman keadaan sosial-ekonominya.
Pelaksanaan kegiatan penyuluhan pada pengelolaan Hutan Rakyat sampai saat ini telah menghasilkan beberapa hal pokok, antara lain : (1) areal Hutan Rakyat yang semakin meluas di berbagai daerah, (2) terbentuknya kelompok-kelompok tani Hutan Rakyat (3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya perbaikan kondisi lingkungan, (4) terbentuknya sentra-sentra industri hasil Hutan Rakyat, dan (4) terjadinya perubahan budaya menanam pada petani dari hanya penanaman tanaman semusim menjadi penanaman tanaman keras. Penyuluhan kehutanan terkait pengelolaan Hutan Rakyat di beberapa daerah di Indonesia harus diakui masih belum berjalan sesuai harapan sehingga berdampak pada kinerja pengelolaan Hutan Rakyat. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan pada akhirnya masih sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi spesifik yang melingkupinya, antara lain kondisi sosial-ekonomi masyarakat sasaran, kondisi wilayah, dan kebijakan yang melingkupinya.
Berdasarkan paparan di atas, penyuluhan kehutanan dapat dimaknai sebagai proses pembelajaran yang tidak hanya terkait dengan materi pembelajaran, namun terkait pula dengan interaksi yang terjadi antara pelaku-pelaku dalam kegiatan pembangunan kehutanan, baik masyarakat lokal dan petugas penyuluhan belajar serta pihak-pihak lain yang terlibat saling belajar satu
(37)
sama lain, dalam konteks penyebaran teknologi kehutanan maupun membentuk perilaku positif dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
2.4 Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Pemberdayaan masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari terjadinya proses pembelajaran dalam masyarakat. Menurut Asyhar (2011) kata pembelajaran merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Inggris, yaitu instruction. Instruction diartikan sebagai proses interaktif antara guru dan siswa yang berlangsung secara dinamis. Penggunaan istilah pembelajaran sebagai pengganti istilah lama Proses Belajar-Mengajar (PBM) tidak hanya mengubah istilah, melainkan mengubahfungsi guru dalam proses pembelajaran. Guru dalam proses pembelajaran tersebut tidak hanya mengajar melainkan membelajarkan peserta didik agar mau belajar.
Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja bertujuan dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Proses pembelajaran menitikberatkan pada bagaimana membuat pembelajar mengalami proses belajar. Pembelajaran yang efektif dapat membuat pebelajar memperoleh keterampilan-keterampilan, pengetahuan, atau sikap-sikap, dan merasa senang belajar dalam pembelajaran tersebut (Yamin 2011).
Proses pembelajaran dilakukan dalam sebuah proses yang sistematis dan setiap komponen dalam sistem tersebut memiliki arti penting dalam keberhasilan belajar pembelajar. Komunikasi dalam proses sistematis tersebut merupakan unsur yang mutlak diperlukan. Proses pembelajaran merupakan suatu proses komunikasi. Konsep komunikasi dalam pembelajaran mengacu pada keseluruhan proses komunikasi informasi atau pesan dari sumber (guru, menteri, atau bahan) kepada penerima (murid) melalui media atau jaringan. Pembelajaran dalam penelitian ini mengadaptasi pengertian sebagai segala sesuatu yang dapat membawa informasi dan pengetahuan dalam interaksi yang berlangsung antara pendidik dengan peserta didik.
(38)
2.4.1 Kelompok Tani sebagai Media Pembelajaran
Pembelajaran dapat dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada pengelolaan Hutan Rakyat, kegiatan pendidikan bagi petani berupa pelatihan keterampilan dan penyuluhan oleh instansi terkait difasilitasi oleh kelompok tani Hutan Rakyat. Kelompok tani Hutan Rakyat berperan penting dalam pembelajaran sosial petani pengelolanya. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Hauser et al. (2010) mengungkapkan bahwa fasilitasi pembelajaran yang dilakukan terhadap kelompok petani tradisional berperan penting dalam mendorong keberhasilan mereka beralih dari petani tradisional berlahan sempit menjadi petani pertanian organik berorientasi pasar. Elemen penting dalam proses pembelajaran yang terjadi di antara komunitas petani berlahan sempit adalah dinamika kelompok yang menghasilkan perubahan perilaku dalam diri petani. Uraian tersebut menggambarkan bahwa proses pembelajaran yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat dapat secara efektif menghasilkan perubahan perilaku pada kelompok yang bersangkutan menuju arah dan kondisi yang lebih baik.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Millar dan Curtis (1997) menemukan bahwa interaksi antar petani, baik diantara mereka sendiri, maupun bersama dengan para ahli dan penyuluh, berdampak pada terjadinya pertukaran pengetahuan yang memfasilitasi proses pembelajaran petani secara lebih mendalam berdasarkan sifat dan tujuan kelompok dimana petani mengorganisasikan diri. Millar dan Curtis (1997) menekankan pula bahwa fasilitasi yang efektif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran kelompok petani.
Beberapa studi lain menunjukkan pula bahwa pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok petani secara efektif mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta sikap mental. Menurut Murcot (1995) dan Chistodoulou dan Gray (1997) sebagaimana dikutip oleh Sherson et al. (2002), pembelajaran dalam kelompok (learning in-group) merupakan media yang efektif untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku seseorang. Keberadaan
(39)
suatu kelompok tani juga membuka kesempatan bagi anggota petani di dalamnya berbagi pengalaman yang mereka miliki dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman dari anggota kelompok secara personal. Studi yang dilakukan oleh Moore (1990) menyatakan bahwa petani lebih menyukai lingkungan pembelajaran kelompok dengan jumlah kecil yang memberi mereka kesempatan untuk dapat saling bertanya, berdiskusi, dan berdebat dibandingkan dengan pola belajar yang bersifat formal di kelas. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Pigg et al. (1980) yang diacu oleh Sherson et al. (2002) bahwa keberhasilan suatu proses pembelajaran terikat pada lingkungan belajar yang relevan terhadap gaya belajar dan kebutuhan pembelajar. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran petani seringkali berlaku efektif ketika diwadahi oleh kelompok tani di mana mereka berinteraksi dan mengorganisasikan diri.
2.4.2 Sumber Belajar
Asyhar (2011) mendefinisikan sumber belajar sebagai semua sumber yang mungkin dapat digunakan oleh peserta didik agar terjadi perilaku belajar. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan kegiatan belajar yang secara fungsional dapat digunakan untuk membantu optimalisasi hasil belajar. Hamdani (2010) mengutip Association for Education and Communication Technology (AECT) menyatakan bahwa sumber belajar adalah semua sumber, baik berupa data, orang, dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar
2.4.3 Faktor-faktor Penentu Pembelajaran
Klausmeier dan Goodwin (1975) dalam bukunya yang berjudul Learning and Human Abilities (Educational Psycology)secara lebih terperinci mengemukakan bahwa terdapat sembilan faktor penentu yang mempengaruhiproses belajarindividu (school learning environment). Faktor-faktor tersebut antara lain adalah : (1) Tujuan pembelajaran (educational and instructional objectives), (2) pokok bahasan (subject matter), (3) bahan ajar
(40)
(instructional material), (4) karakteristik pembelajar (characteristic of the learner), (5) karakteristik pengajar (characteritic of teacher), (6) interaksi kelas (classroominteraction), (7) kelembagaan pembelajaran (organization for instruction), (8) karakteristik fisik (physical characteristic), dan (9) hubungan dengan berbagai pihak dalam lingkungan pembelajar (home-school-community relation). Penjelasan masing-masing peubah tersebut menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) adalah sebagai berikut :
1. Tujuan pendidikan dan pengajaran (educational and instructional objectives)
Bagian tujuan pendidikan ini membahas mengenai, yaitu (1) tujuan yang mempengaruhi arah pendidikan secara luas, (2) mendampingi staf pendidikan dalam membuat keputusan menyusun program pendidikan, (3) mendampingi pengajar membuat keputusan tentang program pengajaran untuk siswa-siswa tertentu. Tujuan pendidikan (educational objective) membahas mengenai tujuan yang ingin dicapai secara global di tingkat nasional dari pelaksanaan pendidikan. Tujuan pengajaran membahas mengenai tujuan di tingkat sekolah yang diterapkan kepada siswa sesuai situasi dan kondisi yang ada.
2. Bahan Ajar (subject matter)
Bagian pokok bahasan ini membahas mengenai materi yang diajarkan pada pelajar, menyangkut didalamnya ragam pokok bahasan dan kompetensi yang diharapkan dimiliki pelajar setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran.
3. Bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan (instructional material and related technology)
Bagian bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan membahas mengenai bahan (materi) yang dapat digunakan untukmencapai tujuan pengajaran bagi siswa. Bahan yang dimaksud tersebut adalah alat bantu yang digunakan pengajar dalam pengajaran bagi siswa. Bahan pengajaran yang digunakan pada
(41)
kegiatan pembelajaran antara lain dalam bentuk buku, booklet, brosur, audio-visual, dan lainnya. Tiga bentuk teknologi yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir, antara lain yaitu pengajaran melalui televisi (televised instruction), pengajaran terprogram (programmed instruction), dan pengajaran melalui komputer (computer-assisted instruction).
4. Karakteristik pembelajar (characteristic of the learner)
Bagian ini membahas mengenai karakteristik pembelajar yang berpengaruh terhadap proses belajar. Informasi mengenai karakteristik pembelajar berguna bagi pengajar dalam proses pembelajaran. Karakteristik tersebut antara lain mencakup : (1) tingkat pencapaian diri (level of achievement), (2) tingkat motivasi (level of motivation), (3) kesehatan, (4) konsep diri (self concept). Pembahasan mengenai karakteristik pembelajar ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan pembelajar untuk belajar dan perkembangan yang dapat dicapai.
5. Karakteristik pengajar (characteristic of teacher)
Karakter individual yang melekat pada diri pengajar berpengaruh besar terhadap efektivitas pengajar dalam pengajaran. Karakteristik pengajar terbagi menjadi karakteristik kognitif dan karakteristik afektif. Rentang perbedaan diantara pengajar dalam hal karakteristik afektif meliputi ketertarikan, sikap, nilai yang dianut, dan integritas kepribadian lebih besar dibandingkan dengan kemampuan intelektual secara umum dan variabel kognitif lainnya. Hal tersebut dikarenakan pendidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk pengajar berdasarkan kemampuan kognitif. Namun demikian, kemampuan afektif pengajar menentukan pula keberhasilan proses pengajaran.
Karakteristik kognitif pengajar antara lain adalah : (1) kemampuan intelektual, (2) nilai akhir pendidikan tinggi yang dijalani, (3) kesiapan terhadap pokok bahasan, dan (4) pemahaman mengenai pengembangan dan pembelajaran anak. Karakteristik afektif pengajar antara lain mencakup: (1) pengetahuan yang
(42)
baik mengenai bahan pengajaran, bersikap hangat, bersikap penuh pengertian dan bersahabat, bertanggung jawab, sistematis, berkemampuan menstimulasi, imajinatif, surgent, memiliki antusias tinggi dan fleksibel. Efektivitas pengajaran ditentukan pula oleh situasi dalam lingkungan pembelajaran.
6. Interaksi kelas (classroom interaction)
Interaksi kelas (classroom interaction) membahas mengenai interaksi yang terjadi antara pengajar dan pembelajar dalam proses pembelajaran di dalam ruangan kelas. Seorang pengajar berinteraksi dengan pembelajar melalui berbicara, tulisan, dan gerak fisik lainnya. Pembelajar melakukan hal yang sama dalam berinteraksi dengan pengajar. Seorang pengajar umumnya yang mengendalikan jenis dan intensitas interaksi tersebut. Ketika pengajar memutuskan untuk mengajar dan pembelajar belajar secara mandiri, maka tidak terdapat interaksi verbal yang dilakukan antara pembelajar dan antara pengajar dan pembelajar. Bentuk interaksi antara pengajar dan pembelajar antara lain adalah diskusi kelas, diskusi panel, sesi tanya-jawab, dan kegiatan kelompok.
Metode interaksi kelas yang paling banyak dilakukan adalah komunikasi antara pengajar dan pembelajar melalui aktivitas fisik berupa bicara (talk) atau menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) mengacu pada pendapat Flanders (1968, 1969) disebut perilaku verbal oral. Pengajar berbicara sebagai respon terhadap pembelajar atau untuk mengawali pembicaraan dalam pengajaran. Sama halnya dengan pengajar, pembelajar pun berbicara sebagai respon terhadap pengajar maupun untuk memulai pembicaraan. Hubungan timbal-balik antara pengajar dan pembelajar tersebut membentuk interaksi yang berkesinambungan.
Interaksi kelas berhubungan dengan kepemimpinan pengajar. Kepemimpinan pengajar dapat dilihat dalam konteks bahwa pengajar memiliki kewenangan (authority) untuk mengambil keputusan yang berdampak pada pembelajar. Pengajar sebagai pemimpin yang efektif mampu mendukung pembelajar, memfasilitasi interaksi dan terjadinya komunikasi diantara pengajar dan pembelajar. Tipe kepemimpinan pengajar berkontribusi dalam efektivitas
(43)
pengajaran oleh pengajar dalam kelas. Berdasarkan studi yang telah dilakukan, aspek kepemimpinan pengajar berhubungan dengan perilaku pembelajar yang dihasilkan.
7. Kelembagaan pengajaran (organization for instruction)
Pengajar tidak dapat secara individual dan mandiri mampu mewujudkan kondisi pembelajaran yang baik untuk pembelajar atau kondisi kerja yang baik untuk sesama pengajar tanpa saling berbagi, bekerjasama, dan berkontribusi sebagai anggota kelompok dalam lingkungan pembelajaran di sekolah. Pengajar bekerja bersama-sama dengan pengajar di lingkungan sekolah. Pengajar juga bekerjasama dengan pengelola sekolah, misalnya kepala sekolah, penasihat, staf administrasi dan lainnya.
Lima kondisi mendasar agar kelompok dapat berfungsi secara efektif antara lain adalah : (1) adanya tujuan bersama yang diyakini anggota kelompok dapat diwujudkan secara kolektif daripada secara mandiri, (2) skema organisasi yang mapan dan efektif dengan hak dan tanggung jawab yang jelas, (3) nilai-nilai yang dipegang anggota kelompok, (4) pemecahan masalah, dan (5) waktu tambahan dari kegiatan mandiri untuk melengkapi perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan kelompok. Keterkaitan pengajar dengan pihak-pihak lain dalam lingkungan pembelajaran tersebut mengindikasikan bahwa pengajar merupakan anggota dari kelembagaan pendidikan secara khusus yang tidak dapat berdiri sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
8. Karakteristik fisik (physical characteristic)
Hubungan antara pengajar dengan pihak-pihak lainnya di dalam proses pembelajaran di sekolah memerlukan dukungan fasilitas fisik untuk mewujudkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Fasilitas fisik tersebut antara lain :(1) bangunan tempat kelembagaan pendidikan dapat menjalankan kegiatannya, (2) spesialisasi/pembagian kerja masing-masing personel yang terlibat dalam kelembagaan pendidikan, (4) materi pengajaran, misalnya panduan pengajaran,
(44)
buku pelajaran, buku latihan, dan lainnya, (3) media pembelajaran yang digunakan, contohnya : brosur, leaflet, alat peraga pengajaran, sarana audio-visual dan lainnya. Kelengkapan fasilitas fisik dalam kegiatan pembelajaran berhubungan dengan efektivitas pembelajaran.
9. Hubungan antara lingkungan rumah-sekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran (home-school-community relation)
Klausmeier dan Goodwin (1975) mengacu pada pendapat Fruth dan Bowles (1974) menyatakan bahwa lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat saling berhubungan dalam konteks penyelenggaraan pembelajaran. Pembelajaran dapat terwujud apabila pengajar dapat memahami lingkungan rumah pembelajar untuk dapat lebih memahami pembelajar yang bersangkutan. Pengajar bergantung pada penerimaan orang tua dan komitmen mereka terhadap program pengajaran yang diberikan kepada anak mereka. Lingkungan keluarga pembelajar dan masyarakat berpengaruh terhadap terbentuknya sikap, kemampuan dan keterampilan pembelajar.
Lembaga pendidikan dan masyarakat dapat diorganisasi menjadi kelompok interaksi yang berfungsi sebagai wadah dimana pengajar dapat memahami keinginan dan aspirasi orang tua pembelajar terhadap pembelajar dan pendidikan secara umum. Sebaliknya orang tua dan masyarakat yang lebih luas dapat mengerti harapan pengajar dan berharap untuk pembelajar. Hal tersebut berarti bahwa secara bersama-sama pengajar, orang tua dan masyarakat dapat berusaha mewujudkan tujuan pembelajaran yang diinginkan.
2.5 Kemampuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Kemampuan petani dalam mengelola suatu kawasan hutan diartikan sebagai kualitas yang melekat dalam diri petani mencakup pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap mental (afektif) dalam pengelolaan hutan sesuai standar tertentu yang diharapkan. Kemampuan tersebut diperoleh dari hasil pembelajaran yang dilakukan oleh petani. Menurut Winkel
(45)
(2009), proses belajar berlangsung di dalam diri pembelajar dan merupakan kejadian internal. Kejadian tersebut dalam pandangan psikologi modern bukan merupakan kejadian tunggal, melainkan suatu rangkaian berbagai kejadian yang berlangsung berurutan. Setiap kejadian menjadi satu fase dalam suatu rangkaian/pola fase, yang bersama-sama membentuk proses belajar yang berlangsung di dalam subyek. Kejadian-kejadian yang terjadi diluar subyek turut berperan dalam menunjang atau menghambat proses belajar yang berlangsung di dalam subyek belajar.
Berdasarkan kejadian-kejadian internal (di dalam subyek belajar sendiri) dan berbagai kejadian eksternal (di luar subyek) dapat ditemukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh seluruh subyek belajar dan sejumlah persyaratan yang patut dipenuhi oleh dalam lingkungan di luar subyek, agar proses pembelajaran berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Gagne (1977) dalam Winkel (2009) mengemukakan bahwa persyaratan dalam subyek disebut kondisi internal, sedangkan persyaratan di luar subyek disebut kondisi ekternal. Kondisi internal dan eksternal diwujudkan dengan cara berbeda pada setiap jenis belajar. Setiap jenis belajar merupakan proses pembelajaran tersendiri.
(46)
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTETIS
3.1 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kajian tentang teori, konsep, dan literatur yang relevan pada bagian Tinjauan Pustaka, penulis merumuskan kerangka pemikiran seperti diuraikan di bawah ini.
Sumber daya hutan memiliki nilai penting dari sisi sosio-kultural, ditinjau dari keberadaannya dan perannya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang telah bergenerasi hidup di dan dari sumber daya hutan. Keterikatan masyarakat terhadap sumber daya hutan tidak sebatas pada aspek produksi hutan dan lahan hutan, tetapi juga fungsi perlindungan dan fungsi tata klimat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara langsung maupun tidak langsung dari ekosistem tersebut, dalam mempertahankan hidup mereka dan peningkatan kesejahteraan mereka.
Pasokan kayu dari Hutan Negara semakin menurun, sehingga perlu alternatif sumber kayu. Kebutuhan kayu di Jawa Barat semakin meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk. Salah satu pemasok kebutuhan tersebut adalah kayu yang berasal dari Hutan Rakyat. Hal tersebut menyebabkan tekanan terhadap potensi kayu di Hutan Rakyat menjadi sangat tinggi. Dorongan kebutuhan hidup petani yang sulit dan keterbatasan pasokan kayu dari luar Jawa`menyebabkan ancaman terhadap kelestarian Hutan Rakyat meningkat.
Semakin menurunnya kualitas sumberdaya hutan pada beberapa dekade terakhir akibat tingginya tekanan terhadap sumberdaya hutan dan kesadaran pentingnya keterlibatan masyarakat di sekitar kawasan telah mendorong dilakukannya upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan mengarah pada upaya pengembangan, penguatan potensi dan kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan dapat secara mandiri mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan sosial dalam pengelolaan
(47)
hutan. Keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan hutan secara keseluruhan.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dapat diperoleh dari Hutan Rakyat. Manfaat yang diperoleh dari Hutan Rakyat dan kemudahan teknologi dalam pengelolaannya melatarbelakangi partisipasi masyarakat dalam pengembangan Hutan Rakyat. Hutan Rakyat harus dikelola secara berkualitas dan berkesinambungan agar dapat memberikan manfaat produksi, ekologis dan ekonomis bagi masyarakat pengelolanya.
Kualitas pengelolaan Hutan Rakyat ditentukan oleh kemampuan anggota kelompok tani Hutan Rakyat dalam mengelola lahan miliknya. Kemampuan petani dalam mengelola suatu kawasan hutan diartikan sebagai kualitas yang melekat dalam diri petani mencakup pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) dalam pengelolaan Hutan Rakyat sesuai dengan standar pengelolaan berdasarkan aspek kelestarian produksi, kelestarian lingkungan, dan kelestarian sosial. Studi mengenai kemampuan dalam pengelolaan Hutan Rakyat merujuk pada teori pembelajaran menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) dan Winkel (2009) di mana kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat merupakan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat berdasarkan kaidah kelestarian. Pembelajaran mengacu pada pemikiran Winkel (1973) dipengaruhi oleh kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal dan eksternal tersebut sejalan dengan pendapat Klausmeier dan Goodwin (1975) mengenai adanya faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya pembelajaran.
Klausmeier dan Goodwin (1975) mengemukakan bahwa terdapat sembilan faktor penentu dalam pembelajaran yaitu : (1) Tujuan pembelajaran petani, (2) pokok bahasan, (3) bahan ajar, (4) karakteristik pembelajar, (5) karakteristik pengajar, (6) interaksi pengajar dan pembelajar, (7) kelembagaan pengajaran, (8) karakteristik fisik, dan (9) hubungan antara lingkungan rumah-sekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran (Tabel 1).
(48)
Faktor-faktor penentu pembelajaran menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) dalam penelitian ini diadopsi untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat, Pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat termanifestasi dalam bentuk kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Tabel 1. Faktor-faktor Penentu Pembelajaran
No. Peubah Uraian
1. Tujuan pendidikan dan pengajaran Cara perumusan dan hasil yang diinginkan
2. Pokok Bahasan Ragam dan kualitasmateri bahasan 3. Bahan pengajaran dan teknologi yang
berkaitan
Ragam, kualitas, dan kelengkapan materi pembelajaran
4. Karakteritik Pembelajar Umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, persepsi, karakter afektif 5. KompetensiPengajar Umur, jenis kelamin, pendidikan,
pengalaman, persepsi, karakter afektif 6. Interaksi Pembelajar-Pengajar Frekuensi dan intensitas
7. Kelembagaan pengajaran Aturan yang berlaku, pembagian tugas, sistem nilai
8. Karakteristik fisik Sarana dan prasarana pembelajaran 9. Hubungan antara lingkungan
rumah-sekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran
Frekuensi dan Intensitas
Sumber : Klausmeier dan Goodwin (1975) diadaptasi untuk konteks Hutan Rakyat
Faktor tujuan pembelajaran berkaitan erat dengan pokok bahasan, bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan, dan karakteristik fisik fasilitas pembelajaran. Keempat faktor ini merupakan bagian dalam kegiatan pembelajaran yang mengarah pada pelaksanaan pembelajaran, materi yang digunakan, dan dukungan dari kelengkapan fisik yang dimiliki. Faktor-faktor tersebut mengarah pada kegiatan pembelajaran yang bertujuan membangun aspek pengetahuan (kognitif), keterampilan, dan sikap petani sehingga memperoleh kemampuan yang diharapkan dalam rangka perbaikan kondisi kehidupannya. Keempat faktor pembelajaran tersebut dikelompokkan dalam peubah kegiatan penyuluhan.
Faktor karakteristik pembelajar dipahami sebagai karakteristik yang melekat secara personal pada diri pembelajar yaitu petani. Karakteristik pengajar
(49)
dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada diri pengajar dalam menyampaikan informasi pengajar meliputi pengetahuan, keterampilan, dan wawasan mengenai sikap. Karakteristik pengajar dalam penelitian ini analog dengan kompetensi sumber belajar.
Faktor interaksi kelas menekankan pada hubungan timbal-balik antara pengajar dan pembelajar. Pembelajar harus berinteraksi dengan pihak lain di luar dirinya agar pembelajaran dapat berhasil. Faktor hubungan antara lingkungan rumah-sekolah-masyarakat dalam pembelajaran menunjukkan adanya keterkaitan pembelajar dengan pihak-pihak lain di luar dirinya, yaitu berasal dari lingkungan rumah/keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kedua faktor tersebut menekankan pembahasan mengenai pentingnya dinamika hubungan antar individu/perorangan dalam efektivitas kegiatan pembelajaran. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan sebagai peubah hubungan interpersonal. Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor penentu pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) faktor (Tabel 2).
Tabel 2. Kelompok Peubah Pembelajaran
No. Peubah Pembelajaran Kelompok Peubah Pembelajaran
1. Tujuan Pembelajaran
Kegiatan Penyuluhan 2. Pokok Bahasan
3. Bahan Pengajaran dan Teknologi yang berkaitan
4. Karakteristik fisik
5. Karakteritik Pembelajar Karakteristik Personal 6. Karakteristik Pengajar Kompetensi Sumber Belajar
7. Kelembagaan Pengajaran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat 8. Interaksi Pengajar-Pembelajar
Hubungan Interpersonal 9. Hubungan antara lingkungan
rumah-sekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran
Kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat adalah kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif, yang melekat pada diri petani sebagai hasil pembelajaran sendiri maupun dengan melibatkan pihak lain dalam mengelola Hutan Rakyatnya. Kemampuan anggota kelompok tani diduga
(50)
dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : (1) Karakteristik personal petani, (2) Kompetensi sumber belajar, (3) Kegiatan penyuluhan, (4) Kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan (5) Hubungan interpersonal (Gambar 1).
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
3.2 Kerangka Operasional
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadapkemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat (Y1), meliputi: Karakteristik Personal (X1), Kompetensi Sumber Belajar (X2), Kegiatan Penyuluhan (X3), Kelembagaan
Kemampuan Anggota Kelompok Tani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Kondisi marjinal masyarakat di
sekitar hutan
HUTAN RAKYAT LESTARI
Pemberdayaan masyarakat melalui Hutan
Rakyat
Partisipasi Masy. dalam Hutan Rakyat
Kebutuhan terhadap bahan baku kayu rakyat
meningkat
Kompetensi Sumber
Belajar
Karakteristik Personal
Hubungan Interpersonal
Kelembagaan Kelompok
Tani
Kegiatan Penyuluhan
Lingkup Amatan Penelitian
PERBAIKAN KONDISI LINGKUNGAN
Kondisi internal
(1)
C. Hasil Uji kelompok peubah X dan Peubah Y1.3 (Kemampuan Penerapan)
REGRESSION
/MISSING LISTWISE
/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN
/DEPENDENT Y1.3
/METHOD=ENTER X1.1 X1.3 X2.2.
Regression
C:\Users\User\Documents\Thesis2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav
Variables Entered/Removeda Model Variables
Entered
Variables Removed
Method
1 X2.2, X1.1,
X1.3b . Enter
a. Dependent Variable: Y1.3 b. All requested variables entered.
Model Summary Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the Estimate 1 .518a .269 .226 1.92084 a. Predictors: (Constant), X2.2, X1.1, X1.3
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 69.079 3 23.026 6.241 .001b Residual 188.171 51 3.690
Total 257.250 54
a. Dependent Variable: Y1.3
b. Predictors: (Constant), X2.2, X1.1, X1.3
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 11.250 2.075 5.420 .000 X1.1 -.030 .021 -.176 -1.444 .155
X1.3 1.139 .293 .478 3.892 .000
X2.2 .271 .118 .278 2.296 .026
(2)
D. Hasil uji kelompok Peubah X dan peubah Y1.4 (Kemampuan Pengawasan)
REGRESSION
/MISSING LISTWISE
/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN
/DEPENDENT Y1.4
/METHOD=ENTER X1.5 X3.2 X4.2.
Regression
[DataSet1]
C:\Users\User\Documents\Thesis2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav
Variables Entered/Removeda
Model Variables Entered
Variables Removed
Method
1 X4.2, X1.5,
X3.2b . Enter
a. Dependent Variable: Y1.4 b. All requested variables entered.
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate 1 .539a .291 .249 2.11866 a. Predictors: (Constant), X4.2, X1.5, X3.2
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 93.865 3 31.288 6.970 .001b Residual 228.924 51 4.489
Total 322.789 54
a. Dependent Variable: Y1.4
b. Predictors: (Constant), X4.2, X1.5, X3.2
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 13.300 2.870 4.633 .000
X1.5 .000 .000 -.414 -3.507 .001
X3.2 -.198 .114 -.207 -1.741 .088
X4.2 .351 .130 .321 2.705 .009
(3)
Lampiran Foto
Foto 1. Lahan Hutan Rakyat Sengon dengan Tanaman Sela Ketela
Pohon
Foto 2. Lahan Hutan Rakyat Sengon
(4)
Foto 4. Tanaman Hutan Rakyat di Lahan Miring
Foto 5. Tanaman Hutan Rakyat yang ditanam di pematang sawah
Foto 6. Pemeliharaan tanaman Hutan Rakyat dengan pupuk kompos
dari ternak dari petani Hutan Rakyat
(5)
Foto 6. Pembibitan Tanaman Hutan Rakyat
Foto 7. Areal Pembibitan Sengon
(6)