Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus (Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin)

(1)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS

(Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21

HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bST (bovine Somatotropin)

MEETHA RAMADHANITA PARDEDE

SKRIPSI

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007


(2)

ABSTRAK

MEETHA RAMADHANITA PARDEDE. Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus (Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin)

.

Dibimbing oleh ARYANI S. SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari penyuntikan bovine Somatotropin (bST) pada perkembangan ambing tikus usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari, sebagai upaya dalam memperbaiki produktivitas ambing. Parameter penelitian meliputi pertumbuhan ambing yang dilakukan pada 36 ekor tikus, yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kelompok hormon bST 9 mg /kg BB (H), kelompok minyak bST 0 mg/kg BB (M), dan kelompok kontrol/K (tidak mendapat perlakuan apapun). Penyuntikan dilakukan pada saat kebuntingan hari ke-4 hingga hari ke-12 secara intramuskular. Tikus disampling pada hari kebuntingan 13, 17 dan 21 untuk diambil ambingnya. Analisa ambing dilakukan berdasarkan bobot basah (BB), berat kering bebas lemak (BKBL), penentuan konsentrasi DNA dan RNA dengan spektrofotometer. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penyuntikan bST secara umum tidak mempengaruhi kualitas ambing pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari. Walaupun terlihat ada peningkatan konsentrasi asam deoksiribonukleat (DNA) tetapi tidak diikuti dengan peningkatan konsentrasi asam ribonukleat (RNA) pada sel.


(3)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS

(Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21

HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bST (bovine Somatotropin)

MEETHA RAMADHANITA PARDEDE

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007


(4)

Judul : Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus

(Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin)

Nama : Meetha Ramadhanita Pardede NIM : B04103060

Disetujui

Dr. Drh. Aryani S Satyaningtijas, M.Sc Drs. Pudji Achmadi

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan FKH IPB


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta pada tanggal 16 Mei 1986. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Adikner Pardede, BBA dan Ibu Hj. Yogya Purwiyani, BSc.

Tahun 1997 penulis lulus dari SD Negeri Kreo 10, Tangerang, Banten. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SLTP Negeri 267, Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan studi di SMU Negeri 32 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis aktif di Koran Kampus IPB 2004/2005 sebagai anggota sementara, Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar 2005/2006, Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas 2006/2007, Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB Departemen Sosial dan Kemahasiswaan 2005/2006, Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan cabang FKH IPB 2006/2007. Penulis juga pernah melaksanakan magang di Peternakan Domba Garut, Balai Inseminasi Buatan Cipelang, Balai Inseminasi Buatan Lembang. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul ”Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus (Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin).


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus (Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin)”, ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. drh. Aryani S. Satya ningtijas, M.Sc, Drs. Pudji Achmadi dan Dr. Nastiti Kusumorini sebagai dosen pembimbing penelitian, atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi. Dr. Drh. Hera Maheshwari sebagai dosen penguji seminar dan sidang. 2. Bapak Harnowo Permadi sebagai pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan FKH IPB.

3. Ibu dan Ayah serta kakakku (Geetha n’ Neetha) dan Adikku (Veetha n’ Beetha) atas dorongan, do’a dan kasih sayang yang telah dicurahkan.

4. Program hibah kompetisi A3 yang sudah mendanai penelitian. Staf pengajar Fisiologi

5. dan Farmakologi serta tenaga penunjangnya.

6. Mamoy, Intan, Nie’, Wied, Uliel, Atin, Dompu, Riki, Indah, Lina, Indra, Riska, Tias, Nisa, Chenty dll.

7. Teman-teman Gymnolaemnata 40, serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saran dan kritik penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak yang membutuhkan.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ...

DAFTAR TABEL………... v vi

DAFTAR GAMBAR. ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN………... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1

Tujuan ……….. 2

Hipotesa ………... 2

Manfaat………... 2

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Tikus ……… 3

Anatomi dan Fisiologi Ambing …………...……….. 7

Somatotropin (ST) ....……… 11

Efek Metabolik Hormon Pertumbuhan ... 11

Pengaturan Sekresi Hormon Pertumbuhan ... 12

Bovine Somatotropin (bST) ... 13

Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) ……... 15

Ribo Nucleic Acid (DNA) …….……... 16

Sintetis Protein... 17

METODOLOGI Waktu dan Tempat ...………...…… 18

Alat dan bahan ...………...…… 18

Metode Penelitian ………...… 18

Parameter ... 23

Analisis Statistik ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ………...………… 24

KESIMPULAN DAN SARAN …………...……… 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data biologis tikus putih (Rattus norvegicus) ... 4

2 Konsentrasi standar DNA …………... 20

3 Konsentrasi reagen untuk uji kadar DNA ... 21

4 Konsentrasi standar RNA .……..…………... 22

5 Labeling untuk pewarnaan dan pengujian kadar RNA ... 22

6 Data bobot basah dan BKBL ambing pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari ... 24

7 Data konsentrasi DNA dan total DNA ambing pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari ... 26 8 Data konsentrasi RNA dan total RNA ambing pada usia

kebuntingan 13, 17 dan 21 hari ...

29


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Posisi Ambing Tikus ... 8

2 Makroskopis Ambing Tikus ... 8

3a Anatomi ambing ... 9

3b Anatomi ambing ... 10

4 Proses Produksi Rekombinan bST ... 15

5 Efek bST terhadap bobot basah ambing ... 24

6 Efek bST terhadap BKBL ambing ... 25

7 Efek bST terhadap konsentrasi DNA ambing ... 26

8 Efek bST terhadap konsentrasi total DNA ambing ... 26

9 Efek bST terhadap konsentrasi RNA ambing ... 29


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 38

2 Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 38

3 Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 38

4 Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 39

5 Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 39

6 Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 39

7 Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 40

8 Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 40

9 Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 40

10 Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 41

11 Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 41

12 Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 41

13 Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 42

14 Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 42

15 Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 42

16 Konsentrasi Total RNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 43

17 Konsentrasi Total RNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 43


(11)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS

(Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21

HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bST (bovine Somatotropin)

MEETHA RAMADHANITA PARDEDE

SKRIPSI

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007


(12)

ABSTRAK

MEETHA RAMADHANITA PARDEDE. Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus (Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin)

.

Dibimbing oleh ARYANI S. SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari penyuntikan bovine Somatotropin (bST) pada perkembangan ambing tikus usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari, sebagai upaya dalam memperbaiki produktivitas ambing. Parameter penelitian meliputi pertumbuhan ambing yang dilakukan pada 36 ekor tikus, yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kelompok hormon bST 9 mg /kg BB (H), kelompok minyak bST 0 mg/kg BB (M), dan kelompok kontrol/K (tidak mendapat perlakuan apapun). Penyuntikan dilakukan pada saat kebuntingan hari ke-4 hingga hari ke-12 secara intramuskular. Tikus disampling pada hari kebuntingan 13, 17 dan 21 untuk diambil ambingnya. Analisa ambing dilakukan berdasarkan bobot basah (BB), berat kering bebas lemak (BKBL), penentuan konsentrasi DNA dan RNA dengan spektrofotometer. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penyuntikan bST secara umum tidak mempengaruhi kualitas ambing pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari. Walaupun terlihat ada peningkatan konsentrasi asam deoksiribonukleat (DNA) tetapi tidak diikuti dengan peningkatan konsentrasi asam ribonukleat (RNA) pada sel.


(13)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS

(Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21

HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bST (bovine Somatotropin)

MEETHA RAMADHANITA PARDEDE

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007


(14)

Judul : Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus

(Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin)

Nama : Meetha Ramadhanita Pardede NIM : B04103060

Disetujui

Dr. Drh. Aryani S Satyaningtijas, M.Sc Drs. Pudji Achmadi

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan FKH IPB


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta pada tanggal 16 Mei 1986. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Adikner Pardede, BBA dan Ibu Hj. Yogya Purwiyani, BSc.

Tahun 1997 penulis lulus dari SD Negeri Kreo 10, Tangerang, Banten. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SLTP Negeri 267, Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan studi di SMU Negeri 32 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis aktif di Koran Kampus IPB 2004/2005 sebagai anggota sementara, Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar 2005/2006, Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas 2006/2007, Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB Departemen Sosial dan Kemahasiswaan 2005/2006, Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan cabang FKH IPB 2006/2007. Penulis juga pernah melaksanakan magang di Peternakan Domba Garut, Balai Inseminasi Buatan Cipelang, Balai Inseminasi Buatan Lembang. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul ”Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus (Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin).


(16)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “Perkembangan dan Pertumbuhan Ambing Tikus (Rattus norvegicus) Pada Usia Kebuntingan 13, 17, dan 21 Hari Akibat Penyuntikan bST (bovine Somatotropin)”, ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. drh. Aryani S. Satya ningtijas, M.Sc, Drs. Pudji Achmadi dan Dr. Nastiti Kusumorini sebagai dosen pembimbing penelitian, atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi. Dr. Drh. Hera Maheshwari sebagai dosen penguji seminar dan sidang. 2. Bapak Harnowo Permadi sebagai pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan FKH IPB.

3. Ibu dan Ayah serta kakakku (Geetha n’ Neetha) dan Adikku (Veetha n’ Beetha) atas dorongan, do’a dan kasih sayang yang telah dicurahkan.

4. Program hibah kompetisi A3 yang sudah mendanai penelitian. Staf pengajar Fisiologi

5. dan Farmakologi serta tenaga penunjangnya.

6. Mamoy, Intan, Nie’, Wied, Uliel, Atin, Dompu, Riki, Indah, Lina, Indra, Riska, Tias, Nisa, Chenty dll.

7. Teman-teman Gymnolaemnata 40, serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saran dan kritik penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak yang membutuhkan.


(17)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ...

DAFTAR TABEL………... v vi

DAFTAR GAMBAR. ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN………... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1

Tujuan ……….. 2

Hipotesa ………... 2

Manfaat………... 2

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Tikus ……… 3

Anatomi dan Fisiologi Ambing …………...……….. 7

Somatotropin (ST) ....……… 11

Efek Metabolik Hormon Pertumbuhan ... 11

Pengaturan Sekresi Hormon Pertumbuhan ... 12

Bovine Somatotropin (bST) ... 13

Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) ……... 15

Ribo Nucleic Acid (DNA) …….……... 16

Sintetis Protein... 17

METODOLOGI Waktu dan Tempat ...………...…… 18

Alat dan bahan ...………...…… 18

Metode Penelitian ………...… 18

Parameter ... 23

Analisis Statistik ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ………...………… 24

KESIMPULAN DAN SARAN …………...……… 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data biologis tikus putih (Rattus norvegicus) ... 4

2 Konsentrasi standar DNA …………... 20

3 Konsentrasi reagen untuk uji kadar DNA ... 21

4 Konsentrasi standar RNA .……..…………... 22

5 Labeling untuk pewarnaan dan pengujian kadar RNA ... 22

6 Data bobot basah dan BKBL ambing pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari ... 24

7 Data konsentrasi DNA dan total DNA ambing pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari ... 26 8 Data konsentrasi RNA dan total RNA ambing pada usia

kebuntingan 13, 17 dan 21 hari ...

29


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Posisi Ambing Tikus ... 8

2 Makroskopis Ambing Tikus ... 8

3a Anatomi ambing ... 9

3b Anatomi ambing ... 10

4 Proses Produksi Rekombinan bST ... 15

5 Efek bST terhadap bobot basah ambing ... 24

6 Efek bST terhadap BKBL ambing ... 25

7 Efek bST terhadap konsentrasi DNA ambing ... 26

8 Efek bST terhadap konsentrasi total DNA ambing ... 26

9 Efek bST terhadap konsentrasi RNA ambing ... 29


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 38

2 Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 38

3 Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 38

4 Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 39

5 Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 39

6 Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 39

7 Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 40

8 Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 40

9 Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 40

10 Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 41

11 Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 41

12 Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 41

13 Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 42

14 Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 42

15 Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari ... 42

16 Konsentrasi Total RNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari ... 43

17 Konsentrasi Total RNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari ... 43


(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesadaran akan pentingnya kecerdasan individual menuntut setiap keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi anggota keluarganya. Susu sebagai pelengkap nutrisi yang tidak dapat digantikan oleh bahan makanan lainnya menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Alasan tersebut memicu usaha untuk meningkatkan produksi susu sebagai akibat kenaikan permintaan nasional. Untuk dapat memenuhi kebutuhan susu di Indonesia, telah banyak dilakukan usaha-usaha yang dapat menaikkan produksi susu secara nasional, antara lain dengan jalan perbaikan manajemen, pengawasan terhadap penyakit, peningkatan mutu genetik, import sapi perah dan lain sebagainya. Berbagai usaha telah dilaksanakan, namun ternyata produksi susu dalam negeri belum dapat tercukupi secara ma ksimal, hal ini disebabkan masih rendahnya usaha dalam menghasilkan ternak yang dapat tumbuh dan berproduksi cepat serta ekonomis, seperti domba atau kambing yang merupakan hewan politokus (hewan yang dapat melahirkan >1 ekor dalam satu kelahiran). Oleh karena itu sangat diperlukan langkah strategis untuk memperbaiki produksi ternak atau kinerja reproduksinya antara lain dengan memperbaiki produktivitas induk dengan penambahan hormon dari luar.

Pertumbuhan dan reproduksi dikendalikan oleh kerja hormon. Menurut Ernest Starling pada permulaan abad ke-20, hormon didefinisikan sebagai suatu zat atau bahan yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin yang tidak mempunyai saluran atau disebarkan melalui peredaran darah dan memberikan efek tertentu pada sel-sel jaringan tubuh (Gadjahnata 1989). Sejak 1950 penggunaan hormon secara eksogenous sebagai growth promotors di USA telah dilakukan secara luas. Bovine Somatotropin (bST) merupakan salah satu rekayasa genetika growth promotor yang ditujukan untuk meningkatkan berat badan tanpa harus memberi pakan dalam jumlah banyak (overfeeding). Efek bST adalah mempengaruhi proses metabolisme yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, transportasi asam amino ke dalam sel, metabolisme karbohidrat, glukoneogenesis dalam hati, mobilisasi lemak tubuh serta memacu pertumbuhan


(22)

(Guyton dan Hall 1997). Berdasarkan pada efek bST inilah penelitian tentang pengaruh penyuntikan bST dilakukan untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan ambing.

Kapasitasi pertumbuhan dari sintesa ambing sangat tergantung pada populasi sel-sel epitel ambing, yaitu sel-sel yang terlibat dalam sintesa air susu. Indikator untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan ambing adalah dengan melihat proliferasi sel, yang dapat digambarkan melalui konsentrasi asam deoksiribonukleat (DNA) dan untuk mengetahui aktivitas sintesis protein di sel dapat dilihat dari konsentrasi asam ribonukleat (RNA). Susu yang dihasilkan dari ambing yang tumbuh dan berkembang secara optimal akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Anak yang mendapatkan asupan nutrisi yang cukup akan memiliki daya tahan hidup di usia lepas sapih.

Tujuan

Mengamati perkembangan dan pertumbuhan ambing tikus pada usia kehamilan 13, 17, dan 21 melalui analisa kadar DNA dan RNA.

Hipotesa

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bST dapat memperbaiki perkembangan dan pertumbuhan ambing pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari.

Manfaat

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi tambahan tentang perkembangan fisiologi reproduksi ambing hewan politokus hingga periode laktasi sebagai suatu respon pemberian somatotropin. Informasi ini akan berguna sebagai landasan dan pertimbangan aplikasi penggunaan somatotropin dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi peternak berkaitan dengan upaya perbaikan reproduksi dalam mencapai tingkat produksi ternak yang optimal.


(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Umum Tikus

Tikus putih (Rattus norvegicus) digunakan sebagai hewan percobaan karena memiliki beberapa keunggulan antara lain penanganan dan pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, sehat, dan bersih, kemampuan reproduksi tinggi dengan masa kebuntingan singkat (Malole dan Pramono 1989), mempunyai pertumbuhan yang cepat, temperamen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi (Robinson 1979). Data biologis tikus ini yang disajikan pada Tabel 1.

Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Ballenger (2001) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakan sesama jenis atau persilangan. Galur yang paling sering digunakan untuk penelitian menurut Inglis (1980) yaitu:

1. Sprague-Dawley (albino)

Galur ini berasal dari peternakan Sprague-Dawley, Madison, Wisconsin. Ciri-ciri galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit dan ekornya yang panjang melebihi panjang tubuh adalah ciri-ciri yang paling tampak. Bobot badan jantan pada umur 12 minggu mencapai 240 g, sedangkan betina mencapai 200 g. Pemberian pakan pada tikus Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15-20 g per 100 g BB untuk jantan dan 10-15 g per 100 g BB untuk betina. Galur ini mempunyai pertumbuhan


(24)

yang cepat, temperamen yang baik dan kemampua n laktasi yang tinggi (Robinson 1979).

2. Wistar (albino)

Galur ini berasal dari Insti tut Wistar, Philadelphia, Pennsylvania. Hewan ini mempunyai telinga yang panjang dan kepala yang lebih lebar. Ekornya tidak sama dengan panjang tubuh seperti galur Sprague-Dawley (Inglis 1980). 3. Long-Evans (hooded)

Galur ini mempunyai kepala, bahu, dan terkadang bagian dorsal berwarna sebagai tanda. Warnanya bisa bervariasi dari hitam sampai krem. Hewan ini lebih kecil dibandingkan kedua galur di atas. Hewan ini merupakan hasil persilangan antara Wistar dengan tikus liar (Inglis 1980).

Tabel 1 Data Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Kriteria Keterangan

Lama hidup

Lama produksi ekonomis Lama bunting

Kawin sesudah beranak Umur disapih

Umur dewasa Umur dikawinkan Siklus kelamin Siklus estrus (birahi) Lama estrus Perkawinan Berat dewasa Berat lahir Jumlah anak Susu Puting susu Perkawinan kelompok Kecepatan tumbuh

2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun 1 tahun

20-22 hari 1-24 jam 21 hari 40-60 hari

10 minggu (jantan dan betina) Poliestrus

4-5 hari 9-20 jam

Pada waktu estrus

300-400 g jantan; 250-300 g betina 5-6 g

Rata-rata 9 dan 20 ekor

73% Air, 14-16% lemak, 9-10% protein, 2-3% gula.

12 puting: 3 pasang di daerah dada dan 3 pasang di daerah perut

3 betina dengan 1 jantan 5 g/hari


(25)

Menurut Robinson (1979) pertumbuhan dan perkembangan tubuh tikus tergantung pada efisiensi makanan yang diberikan dan juga sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal tubuh tikus itu sendiri. Beberapa faktor penting yang dapat meningkatkan metabolisme basal tubuh hewan antara lain suhu lingkungan yang tinggi atau rendah, jenis kelamin, umur, keadaan psikologis hewan, suhu badan, kadar hormon tiroid dan kadar epinefrin dan norepinefrin dalam sirkulasi (Ganong 2002). Namun, pola pertumbuhan bervariasi antar suatu spesies dengan spesies lainnya, tikus dapat terus tumbuh walaupun dengan kecepatan yang terus menurun (Baker et al. 1980).

Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35-90 hari dan testis turun/keluar pada umur 20-50 hari. Anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus mulai dikawinkan pada umur 65-110 hari, yaitu pada saat bobot badan betina mencapai 250 g dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut tergantung dari galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Siklus birahi berlangsung empat-lima hari dengan lama estrus 12 jam setiap siklus dan seperti halnya pada mencit, birahi terjadi pada malam hari. Birahi pada tikus betina dipengaruhi oleh bau pejantan (Malole dan Pramono 1989).

Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada umumnya tikus mulai kawin pada umur 8-9 minggu, tetapi disarankan mengawinkan hewan tersebut sebelum umur 10-12 minggu. Masa birahi terbagi menjadi empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Tikus merupakan spesies poli estrus yang siklusnya berulang-ulang sepanjang tahun tanpa banyak variasi, apabila tidak diganggu oleh kebuntingan atau kebuntingan semu (Turner dan Bagnara 1988). Masa kebuntingan tikus berlangsung 21-23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya bentuk perubahan kelenjar ambing. Tikus jarang menunjukkan kebuntingan semu. Seperti pada mencit kita dapat mengetahui kebuntingan pada saat umur 10-14 hari setelah ditemukan sumbat vagina dengan cara meraba perut tikus. Menurut Hafez (1970), mortalitas pre dan post implantasi pada mencit, salah satunya disebabkan oleh temperatur yang tinggi atau terlalu rendah. Temperatur yang terlalu ekstrim selama kebuntingan mempunyai pengaruh terhadap ukuran fetal pada beberapa spesies.


(26)

Sebagai hewan nocturnal, tikus aktif melakukan kegiatan di malam hari termasuk kegiatan reproduksi. Untuk mengetahui terjadinya perkawinan pada tikus dapat diperiksa dengan melakukan usapan vagina atau melihat adanya vaginal plug (sumbat vagina) tikus betina keesokan harinya. Siklus reproduksi tikus betina dipengaruhi oleh faktor-faktor eksterosaptif seperti cahaya, suhu, status nutrisi, dan hubungan sosial (Turner dan Bagnara 1988). Siklus berahi tikus dapat dibagi menjadi empat fase (Turner dan Bagnara 1988), yaitu:

• Proestrus

Fase ini merupakan fase persiapan, yaitu fase yang mendahului estrus dan berlangsung selama 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Pada fase ini terjadi involusi fungsional corpus luteum serta pembengkakan praovulasi folikel. Folikel ovari yang tumbuh penuh (mature) akan meningkatkan sekresi estrogen di dalam darah. Pengaruh dari estrogen akan meningkatkan pertumbuhan uterus dan frekuensi mitosis endometrium selama fase folikuler. Pada fase ini gambaran epitel vagina didominasi oleh sel-sel epitel berinti, yang muncul secara tunggal atau berbentuk lapisan (Turner dan Bagnara 1988).

• Estrus

Fase ini merupakan periode birahi dan keinginan untuk kopulasi (betina bersedia menerima pejantan untuk kawin) dimungkinkan hanya pada saat ini. Setiap siklus berlangsung selama 12 jam dan estrus dimulai pada malam hari. Kondisi ini berakhir 9 sampai 15 jam di bawah pengaruh FSH. Pada fase ini folikel ovari tumbuh dengan cepat dan terjadi sekresi estrogen yang tinggi. Estrus juga terjadi saat fase folikuler. Uterus mengalami pembesaran progresif dan menjadi bengkak karena akumulasi cairan lumen. Cairan yang terkumpul di dalam uterus menyebabkan uterus menjadi sangat kontraktil. Mukosa vagina mengalami banyak mitosis dalam pembentukan sel-sel baru. Penimbunan sel-sel tersebut pada lapisan permukaan menjadi squamosa dan menanduk. Sel-sel menanduk ini terkelupas ke dalam lumen vagina pada saat pemeriksaan preparat ulas vagina dan dipakai sebagai petunjuk estrus. Menjelang estrus berakhir di dalam lumen vagina terdapat massa seperti keju yang terdiri atas sel-sel menanduk dengan inti berdegenerasi, namun ditemukan sedikit saja leukosit. Ovulasi terjadi selama estrus dan didahului oleh perubahan histologik di dalam folikel yang


(27)

menunjukkan adanya luteinisasi awal. Banyak cairan lumen yang hilang sebelum ovulasi. Apabila terjadi kebuntingan, siklus terganggu selama masa gestasi (Turner dan Bagnara 1988).

• Metestrus

Fase ini terjadi sesudah ovulasi dan berlangsung kira-kira 21 jam. Pada umumnya fase ini masih didapatkan gejala-gejala estrus, tetapi betina menolak untuk kopulasi. Pada fase ini kadar estrogen menurun, folikel pecah dan mengalami reorganisasi kemudian mulai terbentuk korpus luteum sehingga sekresi progesteron meningkat dan berlanjut hingga fase diestrus. Ovari mengandung korpus luteum dan folikel-folikel kecil, uterus mengalami vaskularisasi dan kontraktilitas berkurang (Turner dan Bagnara 1988).

• Diestrus

Fase ini berakhir antara 60-70 jam. Pada masa tersebut terjadi regresi fungsional korpus luteum. Uterus kecil, anemik dan sedikit kontraktil. Mukosa vagina tipis dan lekosit bermigrasi melintasinya, memberikan preparat apus vagina hampir semata-mata terdiri atas sel-sel ini (Turner dan Bagnara 1988). Anatomi dan Fisiologi Ambing

Hewan tingkat tinggi berkembang biak dengan alat kelamin sehingga fungsi alat reproduksi sangat ditentukan oleh anatominya. Pertumbuhan dan perkembangan alat kelamin ini dapat mengoptimalkan fungsi alat reproduksinya. Alat reproduksi hewan betina terdiri dari alat kelamin primer yaitu ovari, yang berfungsi memproduksi ovum, dan hormon betina. Alat reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii, uterus, cervix, vagina, dan vulva. Fungsi dari alat-alat ini adalah menerima dan mempersatukan sel kelamin jantan dan betina (Salisbury dan Vandemark 1961). Alat kelamin asesori pada betina yaitu ambing yang berfungsi sekresi dari air susu untuk makanan anak. Ambing tikus mempunyai enam pasang puting susu, yaitu masing-masing tiga pasang pada bagian dada dan perut (Hafez 1970) yang terlihat pada Gambar 1. Secara makroskopis jaringan ambing tikus menyerupai lemak dapat dilihat pada Gambar 2.


(28)

Gambar 1. Posisi Ambing Tikus

Gambar 2. Makroskopis Ambing Tikus

Awal perkembangan ambing masa fetus berasal dari perkembangan lapisan epitel kulit, pada sapi terjadi saat umur fetus 7-8 minggu. Pada bulan ke-5 terjadi pembentukan puting susu. Perkembangan dan pertumbuhan ambing fetus akan terus berlangsung hingga hewan tersebut lahir dan dewasa. Setelah dewasa ambing akan berkembang sejalan dengan perubahan sekresi hormon-hormon reproduksi dan hewan semasa bunting. Perbanyakan saluran pada sapi bunting terjadi saat kebuntingan trimester pertama . Menjelang bulan ke-4 tampak pertumbuhan alveoli (pergantian tenunan lemak oleh saluran yang keluar dari


(29)

saluran interlobuler), bulan ke-5 lobuli terbentuk dan jaringan ikat mengandung banyak pembuluh darah. Bulan ke-6 terjadi pembesaran alveoli dengan sekresi seperti madu. Pada bulan ke-7 sampai 9 terbentuk alveoli tambahan dan terjadi kenaikan aktivitas sekretori. Dua puluh hari sebelum partus aktivitas sekretori semakin meningkat disertai pembesaran ambing. Saat kebuntingan 8-9 bulan susu mulai disekresikan dari kelenjar susu (Ressang dan Nasution 1989).

Tiap spesies hewan memiliki perbedaan anatomi dan waktu perkembangan maupun letak dari ambing, tetapi struktur dasarnya sama. Struktur dasar ambing terdiri dari jaringan sekresi, parenkima, dan jaringan pengikat atau stroma. Sel-sel epitel sekresi disebut alveoli dan terbentuk dalam kelompok yang disebut lobulus. Setiap alveolus bermuara pada duktus kecil. Duktus kecil ini bermuara pada duktus yang lebih besar yang kemudian bergabung dalam duktus yang lebih besar lagi dan akhirnya bermuara ke luar tubuh (Wodzicka dan Tomaszewska 1991). Pola sistem duktus bervariasi diantara spesies ternak seperti Gambar 3a dan b.

Gambar 3a. Anatomi ambing Sumber: Guyton dan Hall (1997)


(30)

Gambar 3b. Anatomi Ambing Sumber : Ressang dan Nasution (1989)

Secara umum pertumbuhan dan perkembangan anatomi ambing dipengaruhi oleh hormon-hormon ovari essensial (estrogen dan progesteron) untuk sekresi air susu. Estrogen merupakan hormon steroid alamiah yang dihasilkan oleh sel theka interna folikel de graaf ovarium. Selain di ovarium, estrogen juga terdapat pada jaringan tubuh lain seperti testes, adrenal, dan plasenta (Guyton 1994). Estrogen adalah hormon yang menimbulkan estrus atau birahi pada hewan betina (Toelihere 1985) dan berfungsi dalam sifat alat kelamin sekunder yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan dari duktus kelenjar ambing. Sedangkan progesteron berfungsi melanjutkan apa yang telah dikerjakan oleh estrogen dalam merangsang perkembangan yang sempurna dari alveoli kelenjar ambing. Sampai sepertiga terakhir dari periode kebuntingan, estrogen dan progesteron merangsang perkembangan kelenjar ambing secara lengkap (Frandson 1992).


(31)

Jaringan kelenjar susu berkembang paralel dengan perkembangan usia kebuntingan dan peningkatan konsentrasi progesteron dan estradiol. Namun sedikitnya terdapat empat hormon lain yang juga penting pada pertumbuhan sistem duktus (Guyton dan Hall 1997), diantaranya: hormon pertumbuhan, prolaktin, glukokortikoid adrenal, dan insulin. Hormon-hormon ini diperlukan untuk menyediakan asam amino, asam lemak, glukosa, dan kalsium yang diperlukan untuk sekresi air susu pada periode laktasi. Selain itu plasenta juga menyekresikan sejumlah besar hormon yang mempunyai sifat laktogenik ringan. Somatotropin (ST)

Hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) yang disebut juga hormon somatotropik atau somatotropin berbeda dengan hormon-hormon lainnya yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis, karena berfungsi terhadap seluruh ata u hampir seluruh jaringan tubuh. GH merupakan molekul protein kecil yang terdiri atas 191 asam amino yang dihubungkan dengan rantai tunggal dan mempunyai berat molekul 22.005 (Guyton dan Hall 1997). Banyak persamaan dalam rangkaian asam amino pada hormon pertumbuhan manusia, sapi dan babi, tetapi hormon pertumbuhan manusia hanya aktif pada manusia atau primata. Sedangkan hormon pertumbuhan sapi juga efektif untuk merangsang pertumbuhan tikus tetapi tidak untuk manusia (Harper et al. 1980).

• Efek Metabolik Hormon Pertumbuhan

Hormon pertumbuhan menyebabkan pertumbuhan seluruh jaringan tubuh yang mampu tumbuh, menambah ukuran sel dan meningkatkan proses mitosis yang diikuti dengan bertambahnya jumlah sel dan differensiasi khusus dari beberapa tipe sel (Guyton dan Hall 1997). Hormon ini juga berfungsi sebagai hormon laktogenik (prolaktin) dan laktogen plasenta manusia (Harper et al. 1980). Selain itu hormon pertumbuhan juga merangsang pertumbuhan somatomedin (sulfasi), dari hati dan mungkin ginjal, yang dapat menghasilkan banyak efek anabolik seperti pertumbuhan tulang (Guyton dan Hall 1997). Somatomedin disebut juga faktor pertumbuhan yang sama seperti Insulin Like Growth Factor (IGF) yang biasanya secara ketat mengikuti sekresi hormon pertumbuhan.


(32)

Efek lain hormon pertumbuhan terhadap efek metabolik lainnya (Guyton dan Hall 1997), seperti:

1. Peningkatan kecepatan sintesis protein diseluruh sel-sel tubuh

2. Meningkatkan mobilisasi asam lemak dari jaringan adiposa, meningkatkan asam lemak dalam darah, dan meningkatkan penggunaan asam lemak untuk energi

3. Menurunkan pemakaian glukosa di seluruh tubuh 4. Metabolisme ion atau mineral

5. Sifat-sifat prolaktin

Pengaruh hormon pertumbuhan dalam sintesis protein adalah menaikkan transpor asam amino ke dalam sel (Harper et al. 1980), bertambahnya pengangkutan asam amino melewati membran sel, peningkatan translansi RNA yang menyebabkan sintesis protein dalam ribosom, peningkatan transkripsi DNA untuk membentuk RNA, dan penurunan katabolisme protein dan asam amino (Guyton dan Hall 1997). Hormon ini menaikkan sintesis kolagen karena hormon ini kaya akan hidroksiprolin (Harper et al. 1980). Sifat-sifat prolaktin yang dihasilkan hormon pertumbuhan yaitu berkaitan erat dengan perangsangan kelenjar susu (laktogenesis) (Harper et al. 1980).

• Pengaturan Sekresi Hormon Pertumbuhan

Hormon pertumbuhan disekresikan terutama selama waktu pertumbuhan, sedikit disekresikan saat dewasa dan pada saat usia tua sekresi turun 25% dari kadar saat dewasa. Kadar hormon dapat berubah tiap beberapa menit, hal ini jelas berkaitan dengan keadaan nutrisi ataupun stress (Guyton dan Hall 1997).

Sekresi hormon pertumbuhan dikontrol hampir seluruhnya sebagai respons terhadap dua faktor yang disekresikan di dalam hipotalamus dan kemudian ditransfer ke kelenjar hipofisis anterior melalui pembuluh portal hipothalamus-hipofisial. Kedua hormon yang dilepas tersebut merupakan hormon pelepas hormon pertumbuhan (GHRH) dan hormon penghambat hormon pertumbuhan (GHIH). Inti hipothalamus yang mensekresikan hormon pelepas hormon pertumbuhan yaitu inti ventromedial yang merupakan daerah hipothalamus yang


(33)

peka terhadap keadaan hipoglikemia dan menimbulkan rasa lapar (mengubah naluri perilaku makan) (Guyton dan Hall 1997).

Reseptor somatotropin banyak didapat pada permukaan sel seperti hati, otot, tulang, dan jaringan adiposa (Granner 1997). Ikatan hormon dengan reseptor pada permukaan membran sel akan meningkatkan permeabilitas membran plasma sehingga meningkatkan permeabilitas ion-ion dan zat-zat lain yang mempunyai konfigurasi sedemikian rupa. Selain itu ikatan hormon-reseptor dapat menyebabkan hiperpolarisasi membran plasma sehingga memungkinkan pemasukan ion-ion dan zat-zat anorganik ke dalam sel. Selanjutnya perubahan ini akan diikuti dengan proses -proses dalam sitoplasma dan juga modulasi enzim adenilat siklase yang akan merangsang sintesis cAMP, yaitu dengan cara second messenger yang bekerja mempengaruhi fungsi sel (Guyton dan Hall 1997).

Hormon pelepas hormon pertumbuhan mengaktifkan sistem adenil siklase di dalam sel, meningkatkan kadar dari siklik adenosin monofosfat (cAMP). cAMP selanjutnya memberikan dua efek yaitu efek jangka pendek dan jangka panjang. Efek jangka pendek yaitu meningkatkan efek transpor ion kalsium ke dalam sel dan menyebabkan bersatunya vesikel sekretoris hormon pertumbuhan dengan membran sel dan pelepasan hormon pertumbuhan. Efek jangka panjang adalah meningkatkan transkripsi di dalam inti gen yang menyebabkan sintesis hormon pertumbuhan yang baru (Guyton dan Hall 1997).

Pada ambing tidak ditemukan reseptor untuk somatotropin (Prosser dan Mepham 1989; Akers 2002). Sehingga diasumsikan bahwa somatotropin tidak mempunyai efek langsung pada fungsi sel sekretori ambing (Prosser dan Mepham 1989). Tetapi menurut Manalu (1994) efek bST terhadap fungsi sekresi kelanjar susu adalah melalui mediasi pengaruh somatotropin oleh IGF-I secara tidak langsung. Peningkatan IGF-I didasarkan pada peningkatan aliran darah dalam ambing (Prosser dan Mepham 1989).

Bovine Somatotropin (bST)

Bovine Somatoropin adalah growth hormone yang secara alami dihasilkan oleh kelenjar pituitari sapi yang ditujukan untuk meningkatkan berat badan tanpa harus memberi pakan dalam jumlah banyak (overfeeding) dan mempengaruhi


(34)

proses metabolisme yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, transportasi asam amino ke dalam sel, metabolisme karbohidrat, glukoneogenesis dalam hati, mobilisasi lemak tubuh serta memacu pertumbuhan (Guyton dan Hall 1997). Efek bST menurut Crooker et al. (1994) yaitu :

1. bST mengkoordinir pemanfaatan dari bahan gizi.

2. bST memberikan respon 10 – 15% peningkatan produksi susu yang diharapkan.

3. bST meningkatkan efisiensi dari pemanfaatan makanan 5 – 15%

4. Food and Drug Administration telah menetapkan daging dan susu yang diperoleh dari perlakuan bST aman untuk dikonsumsi.

5. Sapi atau hewan yang mendapat perlakuan bST sehat.

6. bST tidak meningkatkan efek dari perlakuan antibiotik sebelumnya.

bST juga dapat dihasilkan dari suatu rekayasa genetika DNA sapi yang ditampilkan pada Gambar 4, dimana gen yang berfungsi mengendalikan atau meng-kode produksi dari bST dimasukkan secara in vitro pada bakteri Eschericia coli yang terdapat pada saluran pencernaan. Hasil dari bakteri tersebut akan dimurnikan dan disuntikan kembali ke sapi sebagai suatu penambahan hormon pertumbuhan dari luar (Hartwig 1991). Secara alami bST yang dihasilkan langsung maupun tidak langsung berefek dalam mengkoordinir metabolisme dari berbagai organ dan jaringan pendukung dalam produksi susu.


(35)

Gambar 4. Proses produksi rekombinan bST Sumber: Crooker etal. (1994)

Deoxyribo Nucleic Acid (DNA)

Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) merupakan unit paling kecil yang terdapat dalam sel organisme hidup. DNA bersama dengan protein dan molekul Ribo Nucleic Acid (RNA), terdapat dalam inti sel dan saling berikatan membentuk kromosom yang merupakan komponen yang penting dalam semua makhluk hidup (Muladno 2002). Peningkatan kadar DNA merefleksikan bahwa adanya peningkatan mitosis sel (Guyton dan Hall 1997; Bigsby dan Cunha 1986).


(36)

Menurut Lehninger (1998) DNA merupakan molekul yang menyimpan informasi genetik dan memiliki sifat-sifat fungsional utama pada materi genetik yaitu kromosom dan gen. Kromosom disusun oleh dua substansi yang berlainan yaitu protein dan asam nukleat (Pai 1987).

Asam nukleat merupakan makromolekul yang mengandung unit-unit (nukleotida). DNA merupakan rantai polimer (polinukleotida) yang tersusun dari unit-unit monomer (nukleotida). Tiap nukleotida mengandung deoksiribosa (molekul gula pentosa yang kehilangan gugus OH pada rantai C kedua), asam fosfat, dan suatu basa (purin dan pirimidin) yang mengandung nitrogen (Smith 1991). Rangkaian DNA ini berfungsi untuk memenuhi tujuan utama, yaitu untuk sumber informasi genetik dalam proses semua molekul protein pada sel serta organisme hidup dan berperan dalam mewariskan material genetik kepada anak atau generasi berikutnya (Granner 1995) dan mengatur rangkaian asam amino di dalam protein yang disintesis di dalam sel (Guyton dan Hall 1997). Pada tahun 1953, Frances Crick dan James Watson menemukan suatu model DNA sebagai suatu struktur heliks beruntai ganda dalam kromosom. Struktur heliks ini berfungsi sebagai cetakan bagi replikasi DNA selama proses pembelahan sel keturunan/anak yang bersifat komplementer (Lehninger 1998).

Menurut Powell (1997) molekul DNA ada yang berperan sebagai gen dan ada yang berperan sebagai bukan gen, hingga kini sekitar 15% molekul DNA berupa gen dan selebihnya bukan gen. Gen dapat digunakan sebagai kriteria seleksi karena gen merupakan sumber informasi dari penampilan ternak seperti gen pengontrol produksi susu, kekerasan daging dan kerentanan terhadap suatu penyakit (Kaiin 1995).

Ribo Nucleic Acid (RNA)

Seperti halnya dengan DNA, RNA mengandung informasi melalui rangkaian spesifik ribonukleatida purin dan pirimidin yang terpolimerasi yang ditemukan di dalam sel (Lehninger 1998). Informasi pada RNA, yang terdapat pada rangkaian spesifik nukleotida, hampir semuanya berasal dari molekul DNA untai ganda (double heliks). RNA berperan dalam model pembentuk untuk sintesis protein yang dinamakan mRNA (Harper et al. 1980; Guyton dan Hall


(37)

1997). Konsentrasi RNA (µ g/mg) merupakan indikator aktivitas dari sintesis protein (Harper et al. 1980; Guyton dan Hall 1997). Menurut Guyton dan Hall 1997, Ada tiga jenis RNA yang terpisah, masing-masing memainkan peranan yang tidak saling bergantung dan berbeda seluruhnya dalam pembentukan protein, diantaranya:

1. Messenger RNA, yang membawa kode genetik ke sitoplasma untuk mengatur pembentukan protein.

2. Transfer RNA, yang mengangkut asam amino yang telah diaktifkan ke ribosom untuk digunakan dalam pemasangan molekul-molekul protein. 3. Ribosomal RNA, bersama dengan kira-kira 75 protein yang berbeda

membentuk ribosom, struktur fisik dan kimia dimana molekul protein sesungguhnya dibentuk.

Sintesis Protein

Protein dibentuk melalui serangkain proses yang meliputi transkripsi dari DNA menjadi mRNA dan proses translasi dari mRNA menjadi asam amino (Muladno 2002). Protein adalah makromolekul pembentuk struktur sel. Salah satu sifat sel hidup adalah tumbuh, berkembang dan berproliferasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup individual. Materi genetik sel memiliki fungsional utama mengarahkan sintesis protein yang berlangsung dalam dua proses, yaitu transkripsi dan translasi (Hardjosubroto 1999). Pengiriman kode genetik diawali dengan proses transkripsi dan molekul DNA menjadi molekul RNA. Enzim polimerase mensintesis molekul RNA menjadi mRNA yang kemudian diterjemahkan menjadi serangkaian asam amino untuk membentuk protein yang berfungsi dalam pembentukan berbagai jaringan tubuh seperti otot, kulit, rambut dan beberapa protein bersifat enzimatis yang berperan dalam proses anabolisme dan katabolisme (Muladno 2002).


(38)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, mulai bulan Mei 2006 sampai Desember 2006.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotak plastik (sebagai tempat pemeliharaan tikus), kawat kasa penutup, jaring-jaring kawat, tempat pakan tikus, botol minum tikus, spoit, scalpel, pinset, gunting, jarum pentul, objek gelas, mikroskop, timbangan analitik, penangas air, sentrifuge, refrigerator, pipet, spektrofotometer, penggaris, gelas kimia kecil, alumunium foil, mangkuk alumunium, tabung reaksi, sumbat, pensil, dan kamera digital.

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus bunting. Bahan-bahan yang digunakan adalah pakan tikus, sekam (kulit padi yang kering), bST (9 mg/kg BB), corn oil, TCA 5%, (5 gr TCA 5%/100 ml H2O),

P-nitrofenilhidrazin (50 mg/10 ml alkohol absolut atau etanol 96%), n-butilasetat, NaOH 2 N (8.16 gr NaOH 985 dalam 100 ml H2O), standar DNA (10 mg stock

DNA + 25 ml H2O), KOH 1 N, HCL 6 N, Fecl3 0.1%, orcinol, standar RNA stock

(20 mg RNA10 ml H2O), eter, methanol, alkohol 70%, formalin, pewarna

Giemsa.

Metoda Penelitian Tahap Persiapan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus bunting dari spesies Rattus norvegicus, galur Sprague-Dawley paritas ke dua dan berumur ± 16 minggu dan tikus jantan berumur 16 minggu untuk mengawini betina. Selama penelitian, tikus percobaan dipelihara di Fasilitas Hewan Coba FKH IPB dan dikandangkan secara individu dalam kandang yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm yang dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya dan tempat pakan serta air minum diberikan ad libitum.


(39)

Perkawinan hewan percobaan dilakukan secara alamiah di dalam satu kandang. Positif kebuntingan ditandai dengan adanya sperma dalam ulasan vagina dan tercatat sebagai hari pertama kebuntingan (H1). Tikus betina yang didiagnosa positif bunting dikandangkan secara individual (dipisahkan dari pejantannya) dan dilakukan perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah penyuntikan hormon bovine Somatotropin/bST (Sustained-release Formula) secara intramuskular dengan dosis 9 mg/kg BB.

Sebanyak 36 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam 3 kelompok percobaan yaitu : K (Kelompok Kontrol) yang tidak diberi perlakuan apapun, M (Kelompok Minyak) yang disuntik dengan minyak nabati dengan dosis 9 mg/kg BB (bST 0 mg/kg BB) dan H (Kelompok Hormon) yang disuntik dengan hormon soma totropin dengan dosis 9 mg/kg berat badan (Azain et al. 1993). Penyuntikan diberikan secara intramuskular (IM) pada bagian paha kaki belakang kiri dan kanan secara bergantian dan dilakukan setiap hari dimulai pada saat kebuntingan berusia 4 hari dan berakhir pada saat 12 hari kebuntingan.

Setelah itu tikus bunting disampling pada usia kebuntingan 13, 17, dan 21 hari dan diambil ambingnya. Ambing ditimbang sebagai bobot basah (BB) dan ambing ditambahkan formalin 70% sebagai larutan fiksator (buffer) selama dua jam, Kemudian ambing ditaruh dalam mangkuk-mangkuk kecil untuk dioven dengan suhu 700C selama 4-7 hari untuk mendapatkan ambing yang kering bebas lemak. Ambing yang telah kering ditimbang sebagai bobot kering bebas lemak (BKBL) dan digerus hingga berupa serbuk (powder). Ambing dalam keadaan kering tanpa lemak ini dianalisa secara kimia guna mengetahui kadar DNA dan RNA berdasarkan modifikasi oleh Manalu dan Sumaryadi (1998). Kadar DNA ini diukur untuk mengetahui aktifitas proliferasi sel sedangkan kadar RNA merupakan indikator aktifitas sintesis protein di sel.

Penentuan Kadar DNA

Prinsip dari metode ini adalah terjadinya hidrolisis DNA dalam TCA. Hidrolisis ini akan mengakibatkan terjadinya reaksi pewarnaan spesifik dengan p-nitrofenilhidrazin dan NaOH serta pemecahan ikatan deoksiribose oleh pemanasan. Pengembangan warna berakhir dengan penambahan n-butilasetat dan konsentrasi DNA yang didasarkan kepekatan warna larutan dapat dibaca dengan


(40)

spektrofotometer dengan panjang gelombang 560 µ m (Manalu dan Sumaryadi 1998).

Tahap awal dari penentuan kadar DNA adalah tahap ekstraksi sampel. Sampel berupa bahan kering bebas lemak ditimbang sebanyak ± 12.5 mg dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setiap sampel ditambahkan TCA 5% sebanyak 2.5 ml, tabung reaksi ditutup dengan tutup beraluminium foil, kemudian dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 20 menit. Setelah itu, didinginkan dalam penangas air dingin selama 5 menit kemudian disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 20 menit. Proses sentrifuge ini menghasilkan supernatan (1). Supernatan ini dituang ke dalam tabung reaksi dan disimpan. Endapan yang diperoleh diekstraksi ulang. Dari hasil eks traksi ini diperoleh supernatan (2). Supernatan (1) dan (2) dicampurkan, kemudian diencerkan dengan TCA 5% hingga volumenya menjadi 7.5 ml, kemudian disimpan dalam refrigerator/ice box selama satu malam.

Tahap berikutnya adalah pewarnaan dan pengujian kadar DNA. Hal pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan tabung reaksi yang telah diberi label untuk pembuatan blank, standar dan juga semua sampel. Standar DNA dibuat dengan konsentrasi seperti pada Tabel 2. Selanjutnya masing-masing tabung diisi reagen sesuai yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2 Konsentrasi standar DNA Konsentrasi

(µg/ml) Standar Absorbent

0 Blank (1 ml H2O) 0

5 12.5 µl stock + 987.5 µl H2O 0.003

10 25 µl stock + 975 µl H2O 0.069

20 50 µl stock + 950 µl H2O 0.088

50 125 µl stock + 875 µl H2O 0.145

100 250 µl stock + 750 µl H2O 0.194

200 500 µl stock + 500 µl H2O 0.317


(41)

Tabel 3 Konsentrasi reagen untuk uji kadar DNA

Tabung p-nitrofenil

Hidrazin TCA 5% Vol. akhir

Blank

Standar 400 1 ml 0.1 ml 1 ml 2.1 ml

Standar 200 1 ml 0.1 ml 1 ml 2.1 ml

. .

Standar 5 1 ml 0.1 ml 1 ml 2.1 ml

Sampel 1 1 ml 0.1 ml 1 ml 2.1 ml

Sampel 2 1 ml 0.1 ml 1 ml 2.1 ml

. .

Sampel 36 1 ml 0.1 ml 1 ml 2.1 ml

Semua tabung ditutup dengan aluminium foil dan diletakkan kembali pada penangas air mendidih selama 20 menit, kemudian didinginkan selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan n-butilasetat (2.5 ml) dan dikocok selama 7 kali, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Aliquots yang terbentuk diambil 1.5 ml dan ditambahkan 0.5 ml NaOH 2 N pada setiap tabung. Larutan diencerkan dengan ditambahkan H2O sebanyak 0.5 ml. Larutan

divorteks, selanjutnya dibaca dengan spektrofotometer U-2001 Merk Hitachi ? 560 slit 0,03. Sebelumnya alat dipanaskan 15 menit dan setiap 25 sampel distandarisasi lagi untuk blanko.

Faktor pengenceran sampel adalah 12.5 mg BKBL/7.5 ml TCA 5% = 1.67 mg BKBL/ml. Sampel yang dibaca sebanyak 1 ml = 1 x 1.67 = 1.67 mg BKBL. Misal hasil baca spektrofotometer = Y µg/ml. Jadi konsentrasi DNA sampel = Y/1.67 µg/mg BKBL.

Prosedur penentuan kadar RNA

Tahap awal dari penentuan kadar RNA adalah tahap ekstraksi sampel. Sampel berupa bahan kering bebas lemak ditimbang sebanyak ± 12.5 mg dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setiap sampel ditambahkan KOH 1 N sebanyak 1.5 ml, kemudian tabung reaksi ditemp atkan pada penangas air 37oC selama 5 jam. Setelah itu, tabung reaksi ditempatkan di dalam wadah yang berisi es dan ditambahkan 150 µl HCL 6 N. Masih di tempat yang sama, larutan ditambahi 1.65 ml TCA 5% sehingga terbentuk larutan putih keruh. Larutan yang


(42)

terbentuk disentrifuge dengan kecepatan 1800 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil ekstraksi pertama dan kedua diencerkan samp ai volume 7.5 ml dengan TCA 5%. Tahap berikutnya setelah tahap ekstraksi adalah tahap pewarnaan, kedua tahap ini harus dilakukan pada hari yang sama.

Tahap pewarnaan dan pengujian RNA diawali dengan mempersiapkan tabung reaksi untuk blank, standar dan samp el. Untuk pembuatan standar RNA, digunakan stock RNA standar stock 2 mg/ml (2000 µg/ml). Standar RNA dibuat dengan ketentuan seperti pada Tabel 4. Selanjutnya masing-masing tabung diisi reagen sesuai yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4 Konsentrasi standar RNA Konsentrasi

(µg/ml) Standar Absorbent

0 Blank (1 ml H2O + 1 mlTCA 5%) 0

10 5 µl stock + 995 µl H2O 0.078

20 10 µl stock + 990 µl H2O 0.190

40 20 µl stock + 980 µl H2O 0.482

60 30 µl stock + 970 µl H2O 0.706

80 40 µl stock + 960 µl H2O 0.845

100 50 µl stock + 950 µl H2O 1.133

200 100 µl + 900 µl H2O 2.171

Tabel 5 Labeling untuk pewarnaan dan pengujian kadar RNA

Tabung FeCl3 0.1% Orcinol Vol. akhir

Blank 1 ml H2O

1 ml TCA 5%

Standar a 0.5 ml standar 200 1 ml 0.1 ml 1.6 ml Standar b 0.5 ml standar 100 1 ml 0.1 ml 1.6 ml

. .

Standar h 0.5 ml standar 0 1 ml 0.1 ml 1.6 ml

Sampel 1 0.5 ml sampel 1 1 ml 0.1 ml 1.6 ml

Sampel 2 0.5 ml sampel 2 1 ml 0.1 ml 1.6 ml

. .

Sampel 36 0.5 ml sampel 36 1 ml 0.1 ml 1.6 ml Larutan akan berwarna kuning, selanjutnya semua tabung ditutup dengan tutup beraluminium foil dan diletakkan pada penangas air mendidih selama 30 menit dan diusahakan pemanasan merata untuk setiap tabung sehingga larutan akan berwarna hijau. Konsentrasi RNA di dalam tabung dibaca dengan


(43)

spektrofotometer U-2001 Merk Hitachi panjang gelombang 670 µm dan sebelumnya alat dipanaskan 15 menit, setiap 25 sampel distandarisasi lagi untuk blanko.

Faktor pengenceran sampel adalah 12.5 mg BKBL/7.5 ml TCA 5% = 1.67 mg BKBL/ml. Sampel yang dibaca sebanyak 0.5 ml = 0.5 x 1.67 = 0.835 mg BKBL. Misalkan hasil baca spektrofotometer = Y µg/ml. Jadi konsentrasi RNA sampel = Y/0.835 µg/mg BKBL

Parameter

Parameter yang diamati dalam percobaan ini adalah pertumbuhan dan perkembangan ambing yang digambarkan melalui bobot ambing, konsentrasi kandungan DNA dan RNA dilakukan pada hari 13, 17 dan 21 hari kebuntingan. Bobot ambing didasarkan pada bobot basah dan bobot kering bebas lemak. Bobot basah langsung diukur setelah pembukaan abdomen (setiap sampling). Bobot kering bebas lemak diukur setelah preparat dikeringkan dalam oven pada suhu 700C hingga kering, kemudian ditimbang dengan timbangan analitik. Sampel kering selanjutnya dibuat tepung untuk keperluan analisis kandungan DNA dan RNA. Analisis kandungan DNA menggunakan metoda reaksi pewarnaan spesifik p-nitrofenilhidrazin dan NaOH, kandungan RNA menggunakan metoda reaksi spesifik pewarnaan dengan orsinol serta pemecahan ikatan deoksiribose oleh pemanasan (Manalu dan Sumaryadi 1998).

Analisis Statistik

Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistika dengan analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak langkap. Jika perlakuan berpengaruh nyata dan sangat nyata dilanjutkan dengan uji selisih beda terkecil (Steel dan Torrie 1993).


(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian bST pada tikus sudah banyak dilakukan sebelumnya dengan pengamatan terhadap parameter yang berbeda-beda. Penggunaan bST pada tikus berdasarkan hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa growth hormone sapi efektif untuk merangsang pertumbuhan tikus tetapi tidak untuk manusia (Harper et al. 1980). Pemakaian dosis bST 9 mg/kg BB secara intramuscular juga digunakan pada tikus putih (Rattus novergicus) karena tidak menyebabkan kematian pada tikus (Azain et al. 1993). Menurut Vernon (1988), growth hormone mempunyai banyak pengaruh hampir pada semua aspek metabolisme. Efek penyuntikan bST terhadap perkembangan dan pertumbuhan ambing tikus bunting dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Data bobot basah dan BKBL ambing pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari

Parameter Usia Kebuntingan (hari) Kontrol (K) bST 0 mg/KgBB (M) bST 9mg/KgBB (H) P value Bobot basah (g)

13 8,62 ± 1,32a 8,86 ± 1,04a 6,48 ± 1,19b 0,03 17 6,21 ± 0,41a 8,87 ± 4,26a 9,77 ± 0,69a 0,16 21 8,10 ± 0,87a 8,09 ± 1,82a 8,06 ± 0,89a 0,99 Bobot kering

bebas lemak (BKBL) (g)

13 4,32 ± 0,98a 2,02 ± 1,28b 1,83 ± 0,59b 0,01 17 2,67 ± 0,26a 3,08 ± 0,97a 3,31 ± 1,02a 0,56 21 4,31 ± 0,76a 3,51 ± 0,79a 3,14 ± 0,47a 0,09 Keterangan : huruf superscript pada baris yang sama menunjukkan bahwa data tidak

berbeda nyata (p>0.05).

0 2 4 6 8 10 12

13 17 21

Hari kebuntingan

Bobot basah (g)

Kontrol Minyak Hormon


(45)

0 1 2 3 4 5

13 17 21

Hari kebuntingan

BKBL (g)

Kontrol Minyak Hormon

Gambar 6. Efek bST terhadap BKBL ambing

Pertumbuhan merupakan suatu fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh somatotropin, somatomedin dan hormon-hormon lainnya seperti hormon tiroid, androgen, glukokortikoid, estrogen dan insulin. Pertumbuhan secara normal disertai oleh rangkaian perubahan yang melibatkan peningkatan protein dan penambahan panjang serta ukuran, tidak sekedar peningkatan berat, yang dapat disebabkan oleh pembentukan lemak atau retensi garam dan air (Ganong 2002).

Sebagai parameter pertumbuhan dan perkembangan ambing tikus selama kebuntingan pada penelitian ini adalah bobot ambing (bobot basah dan bobot kering bebas lemak) (Adelien 1996) seperti yang disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 5 dan 6. Komponen ambing terdiri atas sistem saluran, sel-sel epitel dan jaringan basal tempat sel-sel sekretoris bertaut, jaringan ini disebut sebagai jaringan kolagen (Anderson 1986). Kolagen merupakan jaringan ikat pendukung pada ambing (Schmidt 1971). Bobot kering bebas lemak merupakan suatu tolak ukur pertumbuhan dan perkembangan kolagen ambing. Bobot kering bebas lemak ambing diperoleh dari ambing yang dikeringkan pada oven 70oC. Bobot basah digunakan sebagai tolak ukur retensi air ambing akibat terbentuknya susu untuk anak (Adelien 1996).

Secara umum penyuntikan somatotropin menunjukkan tidak berpengaruh pada bobot ambing (bobot basah dan bobot kering bebas lemak) usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari. Namun pada usia kebuntingan 13 hari, bobot ambing kelompok H lebih rendah dibandingkan dengan kelompok K dan M (P<0.05).


(46)

Konsentrasi DNA pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7 di bawah ini.

Tabel 7 Data konsentrasi DNA dan total DNA pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari

Parameter Usia Kebuntin gan (hari) Kontrol (K) bST 0 mg/KgBB (M) bST 9mg/KgBB (H) P value Konsentrasi DNA (µg/mg BKBL)

13 8,62 ± 1,32a 8,86 ± 1,04a 6,48 ± 1,19b 0,03 17 6,21 ± 0,41a 8,87 ± 4,26a 9,77 ± 0,69a 0,16 21 8,10 ± 0,87a 8,09 ± 1,82a 8,06 ± 0,89a 0,99 Total DNA

(µg/Total BKBL)

13 4,32 ± 0,98a 2,02 ± 1,28b 1,83 ± 0,59b 0,01 17 2,67 ± 0,26a 3,08 ± 0,97a 3,31 ± 1,02a 0,56 21 4,31 ± 0,76a 3,51 ± 0,79a 3,14 ± 0,47a 0,09 Keterangan : huruf superscript pada baris yang sama menunjukkan bahwa data tidak

berbeda nyata (p>0.05).

0 10 20 30 40 50 60 70 80

13 17 21

Hari kebuntingan

Konsentrasi DNA (µ

g/mg BKBL)

Kontrol Minyak Hormon

Gambar 7. Efek bST terhadap konsentrasi DNA ambing 0 50 100 150 200 250

13 17 21

Hari kebuntingan

Konsentrasi total DNA

g/total BKBL)

Kontrol Minyak Hormon


(47)

Konsentrasi total DNA (Gambar 8) pada kelompok H yang lebih rendah pada usia kebuntingan 13 hari dibandingkan dengan kelompok K dan M. Pemberian bST yang dihentikan pada usia kebuntingan 12 hari, tidak menyebabkan proliferasi sel. Pada usia kebuntingan 12 hari tikus sedang mengalami masa plasentasi, sehingga diduga bahwa efek bST yang diberikan lebih ditujukan untuk pertumbuhan dan perkembangan plasenta daripada untuk perkembangan ambing.

Ambing tikus berkembang secara drastis dari usia kebuntingan 12 sampai 20 hari dan memungkinkan hari ke-20 pertumbuhan dan perkembangan ambing sudah mencapai puncak untuk segera siap mensintesis susu bagi anak yang akan lahir (Adelien dan Manalu 1996). Sesuai dengan penelitian Hernawati (2001) bahwa kenaikan bobot ambing tikus yang disuperovulasi terlihat nyata pada fase luteal, dimana fase ini didominasi oleh hormon progesteron yang termasuk dalam kelompok hormon mammogenik yang turut mengontrol pertumbuhan dan perkembangan ambing (Anderson 1986; Forsyth 1986) untuk sekresi air susu (Guyton dan Hall 1997). Estrogen dan progesteron berfungsi dalam pertumbuhan sel parenkim ambing normal masa persiapan laktasi (Guyton dan Hall 1997), estrogen dan progesteron juga mempunyai pengaruh pada sintesis protein dan kolagen dan cenderung meningkat pada menjelang kelahiran.

Sejalan dengan bertambahnya usia kebuntingan, menurut Nalbandov (1990) menunjukkan bahwa organ bertambah berat akibat meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis yang lebih besar. Perkembangan bobot ambing yang disuntik somatotropin 9 mg/ kg BB pada usia kebuntingan 17 dan 21 hari adalah perkembangan fisiologis dalam persiapan proses laktasi, dimana hormo n-hormon mammogenik lainnya juga sudah meningkat. Jaringan kelenjar susu berkembang paralel sesuai dengan perkembangan usia kebuntingan dan peningkatan konsentrasi progesteron dan estradiol selama masa kebuntingan (Adelien dan Manalu 1996), hormon-hormon mammogenik seperti progesteron, estrogen dan laktogen plasenta (Anderson 1986; Forsyth 1986) yang mengontrol pertumbuhan dan perkembangan ambing. Menurut Manalu dan Sumaryadi (1995) melaporkan bahwa peningkatan progesteron dan estrogen secara bersamaan berpengaruh sebesar 46,3% terhadap peningkatan tumbuh kembang ambing.


(48)

Selama kebuntingan, hormon progesteron akan berperan dalam perkembangan lobula alveola, sedangkan estrogen berperan terhadap percabangan saluran ambing. Elevasi kedua hormon tersebut berta nggung jawab dalam mengendalikan pertumbuhan allometrik ambing (Convey 1974; Tucker 1987) untuk persiapan laktasi. Kurangnya konsentrasi hormon-hormon tersebut akan menyebabkan penurunan tingkat perkembangan ambing.

Konsentrasi DNA (Gambar 7) merupakan pencerminan dari pertumbuhan dan perkembangan populasi sel-sel epitel ambing yang dipengaruhi oleh peningkatan estrogen dan progesteron selama kebuntingan (Guyton dan Hall 1997; Bigsby dan Cunha 1986), kemudian diikuti dengan hormon prolaktin, hormon pertumb uhan endogenous dan hormon metabolisme lainnya seperti tiroksin dan kortisol (Tucker 1986). Sifat-sifat prolaktin yang dihasilkan hormon pertumbuhan yaitu berkaitan erat dengan perangsangan kelenjar susu (laktogenesis) (Harper et al. 1980). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudatri (2006) bahwa penyuntikan bST mengakibatkan peningkatan DNA ovarium yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan peningkatan kadar DNA merefleksikan bahwa adanya peningkatan mitosis sel. Vernon (1988) somatotropin meningkatkan jumlah sel-sel tubuh melalui percepatan sintesis DNA pada otot dan hati (Manalu 1994).

Untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan total jumlah sel ambing ditunjukkan dari konsentrasi total DNA (Schmidt 1971). Total DNA merupakan hasil perkalian antara bobot kering bebas lemak dengan konsentrasi DNA (µg/mg). Total DNA memberikan gambaran index dari jumlah sel epitel ambing secara keseluruhan, kadar DNA per 100 g berat badan, atau mg kadar DNA dari bobot kering bebas lemak per 100 berat badan (Schmidt 1971).

Secara umum penyuntikkan bST 9 mg/kg BB tidak memberikan suatu perubahan yang nyata terhadap konsentrasi total DNA usia kebuntingan 13 hari. Sedangkan pada usia kebuntingan 17 dan 21 hari pertumbuhan dan perkembangan ambing untuk proses laktasi sudah mulai dipersiapkan. Hal ini yang menyebabkan terjadinya peningkatan proliferasi sel yang digambarkan oleh peningkatan total DNA (Gambar 8).


(49)

Tabel 8 Data konsentrasi RNA dan total RNA usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari Parameter Usia Kebun tingan (hari) Kontrol (K) bST 0 mg/KgBB (M) bST 9mg/KgBB (H) P value Konsentrasi RNA (µg/mg BKBL)

13 65.64 ± 26.99a 54.22 ± 10.61a 95.79 ± 51.58a 0,25 17 65.63 ± 20.79a 59.06 ± 10.29b 65.97 ± 14.55a 0,78 21 59.46 ± 11.548b 59.92 ± 3.861b 75.16 ± 2.592a 0,02 Total RNA

(µg/Total BKBL)

13 234.1 ± 219.9a 104.2 ± 57.1a 196.6 ± 155.0a 0,52 17 207.53 ± 108.75a 207.22 ± 76.75a 192.91 ± 69.75a 0,96 21 188.96 ± 54.86a 208.17 ± 37.86a 235.93 ± 38.02a 0,36 Keterangan : huruf superscript pada baris yang sama menunjukkan bahwa data tidak

berbeda nyata (p>0.05).

40 50 60 70 80 90 100

13 17 21

Hari kebuntingan

Konsentrasi RNA (µ

g/mg

BKBL)

Kontrol Minyak Hormon

Gambar 9. Efek bST terhadap konsentrasi RNA ambing

50 100 150 200 250

13 17 21

Hari kebuntingan

Konsentrasi total RNA

g/total BKBL)

Kontrol Minyak Hormon

Gambar 10. Efek bST terhadap konsentrasi total RNA ambing

Peningkatan total DNA pada usia kebuntingan 21 hari diikuti oleh peningkatan RNA, ini menunjukkan bahwa aktivitas sintesa sel ambing sudah mulai terjadi. Sesuai dengan penelitian Hernawati (2001) total DNA meningkat pada fase luteal yang merupakan sinergis dari pertumbuhan dan perkembangan


(50)

ambing, akibat pengaruh progesteron (sekresi hormon mammogenik) (Turner dan Bagnara 1988). Pada usia kebuntingan 17, peningkatan total DNA (Gambar 8) yang terjadi tidak dikuti dengan peningkatan RNA (Gambar 9). Hal ini memungkinkan meskipun terjadi peningkatan proliferasi sel tetapi aktivitas selnya tidak meningkat. Suatu tampilan yang baik bagi sebuah sel adalah bila sel tersebut aktif melakukan sintesa, sehingga dapat dikatakan bahwa sel-sel ambing tikus yang disuntik bST pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari tidak melakukan aktivitas sintesis (Tabel 8).

Pengaruh hormon pertumbuhan dalam sintesis protein adalah menaikkan transpor asam amino ke dalam sel (Harper et al. 1980), bertambahnya pengangkutan asam amino melewati membran sel, peningkatan translansi Ribo Nucleic Acid (RNA) yang menyebabkan sintesis protein dalam ribosom, peningkatan transkripsi Deoxyiribo Nucleic Acid (DNA) untuk membentuk RNA, dan penurunan katabolisme protein dan asam amino (Guyton dan Hall 1997).

RNA berfungsi dalam membantu proses translasi informasi genetika dari DNA ke ribosom menjadi struktur protein atau biosintesis rantai-rantai polipeptida dengan sekuen asam amino (Lehninger 1998). RNA disintesa dari cetakan DNA dengan proses transkripsi, dan protein disintesa pada cetakan mRNA yang prosesnya dinamakan translasi. Kadar RNA µg/mg BKBL merupakan aktivitas dari sintesis protein (Harper et al. 1980; Guyton dan Hall 1997).

Menurut Eddy (2006), juga melaporkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh pada penyuntikan soma totropin terhadap kadar RNA hati. Hal ini diperkuat oleh penelitian Sudatri (2006), yaitu penyuntikan somatotropin meningkatkan kadar DNA namun tidak diikuti dengan aktivitas sintesis (kadar RNA) ovarium, meskipun terlihat berbeda namun tidak menunjukkan perbedaan nyata secara statistika.

Pada Gambar 9. secara bertahap menunjukkan fluktuasi dari konsentrasi RNA. Sesuai dengan penelitian Radcliff et al. (2006) menunjukkan bahwa sebelum menghasilkan kadar IGF-I, mRNA mengalami peningkatan dan penurunan (fluktuasi) secara bertahap hingga partus. IGF-I mempunyai peran penting dalam mengatur metabolisme sel mammalia, pertumbuhan dan


(51)

differensiasi, seperti somatotropin melalui IGF-1 mengaktivasi anabolisme protein pada kulit seperti peningkatan sintesis kolagen dan elastin (Harper et al. 1980). Hal ini diperkuat oleh Peel dan Bates (1987) bahwa konsentrasi RNA otot kerangka domba yang sedang tumbuh meningkat dengan perlakuan somatotropin (hal ini diduga mencerminkan jumlah ribosom dan kapasitas untuk sintesa protein) dan terjadi peningkatan marginal dalam sintesa protein per gram RNA, peningkatan ini memberikan suatu efisiensi dari sintesis protein (Manalu 1994). Vernon (1988) menyatakan bahwa penggunaan somatotropin lebih lanjut akan merangsang sintesa protein dalam hati dan sintesis asam amino dan protein dalam otot (Manalu 1994).

Konsentrasi total RNA merupakan hasil perkalian antara bobot kering bebas lemak dengan konsentrasi RNA µg/mg. Hasil analisis Tabel 8. secara umum menunjukkan bahwa penyuntikan bST tidak memberikan pengaruh pada konsentrasi total RNA usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari dibandingkan dengan kontrol (Gambar 10). Hal ini disebabkan penyuntikan bST tidak memberikan pengaruh pada bobot kering bebas lemak maupun konsentrasi RNA. Menurut Muslim (2005), sapi yang disuntik somatotropin akan mengurangi laju involusi sel-sel ambing dibandingkan dengan sapi yang tidak disuntik somatotropin (tidak mendapat perlakuan apapun). Radclif et al. (2006) menyatakan bahwa fluktuasi mRNA yang disebabkan penyuntikan somatotropin dihubungkan dengan suatu penurunan progesterone dan suatu peningkatan estradiol sebelum proses kelahiran. Pengaruh somatotropin juga tergantung pada status nutrisi hewan percobaan (Manalu 1994).

Konsentrasi DNA pada kelompok tikus yang mendapatkan bST 0 mg/kg BB (kelompok M) juga nampak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, hal ini diduga bahwa baik pada tikus kelompok M dan H keduanya mengalami cekaman sehingga kemungkinan ada efek bST endogen yang terpicu karena stress. Stress dapat menyebabkan peningkatan adrenalin yang mempengaruhi hipothalamus untuk mengeluarkan Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) yang mempengaruhi hipofise untuk mengeluarkan Growth Hormone (Lawrence dan Fowler 2002).


(52)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penyuntikan bST tidak memberikan pengaruh yang nyata pada bobot basah, bobot kering bebas lemak, konsentrasi total DNA dan RNA ambing tikus pada usia kebuntingan 13, 17 dan 21 hari.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas bST pada pertumbuhan dan perkembangan ambing pada saat akhir kebuntingan sampai dengan laktasi. 2. Perlu dilakukan analisa kualitatif konsentrasi DNA atau RNA secara

histologi ambing.

3. Perlu dikaji kemungkinan adanya faktor-faktor pertumbuhan lain yang berperan pada pertumbuhan dan perkembangan ambing.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Adelien TE. 1996. Hubungan Antara Peningkatan Konsentrasi Estradiol dan Progesteron dalam Serum Induk dengan Perkembangan Fetus dan Kelenjar Susu Selam Kebuntingan Pada Tikus Putih (Rattus Sp.) [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Adelien TE, W Manalu. 1996. Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Ambing Tikus Selama Kebuntingan Dikaitkan dengan Jumlah Fetus yang Dikandung dan Konsentrasi Progesteron dan Estradiol di dalam Serum Induk. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor

Akers RM. 2002. Lactation and The Mammary Gland. Iowa: Iowa State Press. Anderson RR. 1986. Hormonal Control of Mammary Gland Growth and Growth

Pattern in Goats During Pregnancy and Lactation. J Dairy Sci 64: 427-432 Azain MJ et al. 1993. Comparison of The Growth Promoting Properties of Daily

Versus Continous Administration of Somatotropin in Female Rats with Intact Pituitaries.J Anim Sci 71: 384-392

Ballenger L. 2001. Rattus norvegicus. Animal Diversity Web.

Http://animaldiversity.ummz.umi ch.edu/site/accounts/information/Rattus_ norvegicus.html. [2004]

Baker HJ, JR Lindsey, S Weisbroth. 1980. The Laboratory Rat. Academic Press. London.

Bigsby RM, Cunha GH. 1986. Estrogen Stimulation of Deoxyribonucleic Acid Synthesis in Uterine Epithel Cells which Lack Estrogen Receptors. Journal Endocrinology 119 (1): 390-396

Convey EM. 1974. Serum Hormone Concentration in Ruminant During Mammary Growth Lactogenesis and Lactation: A Review. J Dairy Sci 57: 905-917

Croocker BA et al. 1994. Dairy Research and Bovine Somatotropin.

Http://www.extension.umn.edu/distribution/livestocksystems/DI6337.html

[2004]

Eddy L. 2006. Suplementasi Somatotropin untuk memperbaiki Tamp ilan Fisiologis Tikus Jantan Umur 6 dan 12 Bulan [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. MS. Soedarsono, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(54)

Forsyth. 1986. Variations Among Species in The Endocrine Control of Mammary Growth and Function : The Role Prolactin, Growth Hormone and Placental Lactogen. J Dairy Sci 69: 886-903

Gadjahnata KHO. 1989. Biologi Kedokteran I. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.

Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran. Brahm UP et al., penerjemah. Ed ke-20. Jakarta: EGC.

Granner DK. 1997. Biokimia Harper. Ed ke-22. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran Bagian III. Ed ke-7. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC, JE Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Editor: Irawati Setiawan. Jakarta: EGC.

Hafez ESE. 1970. Reproduction and Breeding Techniques for Laboratory Animals. Philadelphia: Departement of Gynecology-Obstetries and Departement of Physiology Wayne States University of Medicine Detroit, Michigan.

Hardjosubroto W. 1999. Pengantar Genetik Hewan. Yogyakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

Harper HA et al. 1980. Biokimia. Ed ke-17. Editor: Dr. Martin Muliawan. Jakarta: EGC.

Hartwig NR. 1991. Biotechnology Information Series Bovine Somatotropin (bST). Http://www.extension.iastate.edu/Publications/NCR488.pdf. [2004] Hernawati. 2001. Pengaruh Superovulasi pada Laju Ovulasi, Konsentrasi Estradiol dan Progesteron, serta Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Kelenjar Susu Tikus Putih (Rattus Sp.) Selama Siklus Estrus [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Inglis JK. 1980. Introduction to laboratory animal science and technology. Oxford: Pergamon Press.

Kaiin EM. 1995. Teknologi DNA Pada Peternakan. Bogor: Warta Boitek vol 15 (1) Puslitbang-LIPI.

Lawrence TLJ, VR Fowler. 2002. Growth of Farm Animal. CABI Publishing. New York.


(55)

Lehninger AL. 1998. Dasar-dasar Biokimia. Editor: Dr. Ir. Maggy Thenawidjaja. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Malole MBM, CS Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Manalu W. 1994. Menyongsong Aplikasi Hasil Bioteknologi dalam Industri Peternakan: Suatu Ulasan Mengenai Kegunaan Somatotropin Untuk Meningkatkan Produksi Susu dan Dampaknya Terhadap Kesehatan dan Reproduksi Sapi Perah Serta Masa Depannya dalam Industri Sapi Perah di Indonesia. Jurnal Media Veteriner 1(1): 19-26

Manalu W. 2001. Somatotropin dalam industri peternakan sapi perah. Prosiding Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak : Bandung, 3 februari 2001. Bandung : Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. hlm 1-5

Muladno. 2002. Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. Muslim G. 2005. Efek Penggunaan Somatotropin Pada Produksi Susu dan

Termoregulasi Sapi Perah Peranakan Fries Holland [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Peel JM, PC Bates. 1987. Collagen and Non-Collagen Protein Turn Over in Skeletal Muscle of Growth Hormone-Treated Lambs. J Endrocinol 115 : R1-R4

Pai AC. 1987. Dasar-dasar Genetika. Muchidin Apandi, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga

Powell BC. 1997. Molecular Genetics of Sheep. Australia: Departement of Animal Science.

Prosser CG, TB Mepham. 1989. Mechanism of Action of Bovine Somatotropin in Increasing in Dairy Ruminants. In : Use of Somatotropin in Livestock Production. Sejresen K, M Vestergaard, AN Sorensen (eds). New York: Elsevier Applied Science. Pp : 1-17

Radcliff et al. 2006. Partial Feed Restriction Decerease Growth Hormone Receptor 1A mRNA Expression in Postpartum Dairy Cows. J Dairy Sci 89 : 611-619

Ressang AA, Nasution AM. 1989. Pedoman Mata Pelajaran Ilmu Kesehatan Susu (Milk Hygiene). Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).


(1)

Lampiran 1. Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 13,70 6,85 4,85 0,037 Error 9 12,71 1,41

Total 11 26,41

Level N Mean StDev h 4 6,483 1,191 k 4 8,623 1,321 m 4 8,858 1,037

Lampiran 2. Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 27,35 13,68 2,19 0,168 Error 9 56,32 6,26

Total 11 83,67

Level N Mean StDev h 4 9,770 0,690 k 4 6,215 0,413 m 4 8,875 4,258

Lampiran 3. Bobot Basah Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari Source DF SS MS F P

kode 2 0,00 0,00 0,00 0,999 Error 9 14,56 1,62

Total 11 14,56

Level N Mean StDev h 4 8,063 0,891 k 4 8,100 0,869 m 4 8,098 1,817


(2)

Lampiran 4. Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 15,333 7,666 7,85 0,011 Error 9 8,787 0,976

Total 11 24,120

Level N Mean StDev h 4 1,8325 0,5874

k 4 4,3175 0,9760 m 4 2,0175 1,2772

Lampiran 5. Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 0,835 0,418 0,61 0,564 Error 9 6,146 0,683

Total 11 6,981

Level N Mean StDev h 4 3,3075 1,0159 k 4 2,6700 0,2650 m 4 3,0800 0,9728

Lampiran 6. Bobot Kering Bebas Lemak Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 2,929 1,464 3,07 0,096 Error 9 4,292 0,477

Total 11 7,221

Level N Mean StDev h 4 3,1275 0,4811 k 4 4,3125 0,7575 m 4 3,5075 0,7908


(3)

Lampiran 7. Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 622 311 1,67 0,242 Error 9 1676 186

Total 11 2298

Level N Mean StDev h 4 47,71 12,26 k 4 30,09 7,11

m 4 38,41 18,91

Lampiran 8. Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 4783 2391 6,48 0,018 Error 9 3323 369

Total 11 8106

Level N Mean StDev

h 4 67,61 27,96 k 4 18,83 9,18

m 4 40,27 15,54

Lampiran 9. Konsentrasi DNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 2217 1109 5,44 0,028 Error 9 1833 204

Total 11 4050

Level N Mean StDev h 4 54,10 4,66 k 4 24,42 16,37


(4)

Lampiran 10. Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 315 158 0,02 0,984 Error 9 88518 9835

Total 11 88834

Level N Mean StDev h 4 151,24 63,25 k 4 161,56 88,47 m 4 150,21 132,96

Lampiran 11. Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 127074 63537 3,61 0,071 Error 9 158298 17589

Total 11 285372

Level N Mean StDev

h 4 345,4 187,4 k 4 95,2 47,9

m 4 247,1 123,8

Lampiran 12. Konsentrasi Total DNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 108243 54121 5,99 0,022 Error 9 81354 9039

Total 11 189596

Level N Mean StDev

h 4 293,64 41,75 k 4 117,00 45,32


(5)

Lampiran 13. Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 3690 1845 1,58 0,258 Error 9 10504 1167

Total 11 14194

Level N Mean StDev h 4 95,79 51,58 k 4 65,64 26,99 m 4 54,22 10,61

Lampiran 14. Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 122 61 0,24 0,789 Error 9 2250 250

Total 11 2371

Level N Mean StDev h 4 65,97 14,55 k 4 65,63 20,79 m 4 59,06 10,29

Lampiran 15. Konsentrasi RNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 638,7 319,4 6,18 0,020 Error 9 464,9 51,7

Total 11 1103,6

Level N Mean StDev

h 4 75,162 2,592 k 4 59,457 11,548


(6)

Lampiran 16. Konsentrasi Total RNA Ambing Usia Kebuntingan 13 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 24368 12184 0,66 0,542 Error 9 167194 18577

Total 11 191562

Level N Mean StDev h 4 170,3 138,0 k 4 196,8 184,6 m 4 90,8 51,3

Lampiran 17. Konsentrasi Total RNA Ambing Usia Kebuntingan 17 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 371 185 0,03 0,968 Error 9 51135 5682

Total 11 51506

Level N Mean StDev h 4 167,41 61,68 k 4 175,71 93,98 m 4 180,90 66,39

Lampiran 18. Konsentrasi Total RNA Ambing Usia Kebuntingan 21 Hari

Source DF SS MS F P kode 2 2680 1340 0,80 0,480 Error 9 15126 1681

Total 11 17806

Level N Mean StDev h 4 200,79 34,31 k 4 164,25 49,20 m 4 184,44 38,00