Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina Yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan

PERKEMBANGAN TULANG ANAK TIKUS BETINA YANG
INDUKNYA DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG
SELAMA 13–21 HARI KEBUNTINGAN

RIO TOPAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan
Tulang Anak Tikus Betina yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng
Selama 13–21 Hari Kebuntingan” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Rio Topan
NIM B04110089

ABSTRAK
RIO TOPAN. Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina yang Induknya Diberi
Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan. Dibimbing
oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.
Tulang merupakan bagian dari sistem gerak yang menentukan performa dari
hewan. Perkembangan tulang dimulai pada hari ke-10 kebuntingan pada saat
organogenesis. Perkembangan tulang melalui proses proliferasi dan diferensiasi
osteoblas yang diatur oleh growth factor seperti insulin like growth factor (IGF I
dan II), bone morphogenic proteins (BMPs), fibroblast growth factor (FGF), dan
flatelet-derived growth factor (PDGF) dan estrogen. Penelitian ini bertujuan
menguji khasiat fitoestrogen pada akar purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap
pertumbuhan tulang anak tikus betina. Penelitian ini menggunakan dua puluh ekor
tikus bunting yang terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas
sepuluh ekor tikus bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng dengan
dosis 25 mg/ml per 300 g bobot badan pada kebuntingan hari ke-13–21.

Kelompok kedua terdiri atas sepuluh tikus bunting yang diberi air pada 13–21 hari
kebuntingan sebagai kontrol. Anak tikus betina yang menjadi sampel diambil dari
induk yang melahirkan anak dengan jumlah 8–9 ekor. Perkembangan tulang dari
anak tikus diukur dari hari pertama kelahiran sampai dengan berusia tujuh minggu
(49 hari). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa, perkembangan tulang anak tikus
betina yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng lebih panjang dibandingkan
kelompok anak tikus kontrol.
Kata kunci: Fitoestrogens, purwoceng, tikus, dan tulang

ABSTRACT
RIO TOPAN. Bones Development of Female Pups During Administration of
Extract Ethanol Purwoceng at 13rd–21st Days of Pregnancy. Supervised by
ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.
Bones is an animal locomotion system which determines the performance of
animals. Bones development start at the 10th day of pregnancy during
organogenesis. The development of bone are through proliferation and
differentiation process of osteoblast which is regulated by growth factor such as
insulin like growth factor (IGF I and II), bone morphogenic proteins (BMPs),
fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor (PDGF) and
estrogen. This research was aimed to known the efficacy of phytoestrogens

contained in purwoceng (Pimpinella alpina) on bone growth of female pups. This
research have used twenty pregnancy rats, twenty of rats being two groups. The
first group were ten pregnant rats which were given purwoceng root ethanol
extract at a dose of 25 mg / ml per 300 g body weight and second group were
given water orally at 13–21 gestation. All samples of females pups were taken
from selected rats which has delivered 8–9 pups. The bones development of

female pups were measured since the first day of delivery until seven weeks (49
days). The result of this research is female pups of purwoceng group had a longers
bones than control group.
Keywords: Phytoestrogens, purwoceng, rats, and bones

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERKEMBANGAN TULANG ANAK TIKUS BETINA YANG
INDUKNYA DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG
SELAMA 13–21 HARI KEBUNTINGAN

RIO TOPAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Alhamdulillahhirobbila’alamin puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga karya
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 sampai dengan Mei 2015 ini ialah khasiat
ekstrak akar purwoceng, dengan judul Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina
yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari
Kebuntingan.
Penulis menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu
Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas MSc dan Bapak Drs Pudji Achmadi MSi
selaku komisi pembimbing, yang senantiasa memotivasi dan membimbing
penulis, kepada Bapak Edi, beserta staf Laboratorium Fisiologi Departemen
Anatomi Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB yang telah membantu kegiatan
penelitian ini. Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ibu
Semi Rahayu, ayah Joyo Suparto, serta kakak saya Ria Lestari dan Dedi Sopian
atas segala dukungan, do’a-do’a disela-sela sujudnya, dan kasih sayangnya.
Kepada teman-teman satu bimbingan skripsi Wahyu, Meycin, Enje, dan Maul.
Penulis juga mengucapkan terimakasih atas do’a dan kasih sayang rekan-rekan
satu perjuangan Ganglion terkhusus Citra Vetia Sari.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Agustus 2015
Rio Topan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Purwoceng (Pimpinella alpina)

2

Klasifikasi dan Karakteristik Tikus Putih (Rattus norvegicus)

3

Tulang (Osteogenesis)

4

Estrogen

5

METODE

5


Tempat dan Waktu Penelitian

5

Alat dan Bahan

5

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

5

Tahap Persiapan Hewan

6

Tahap Perlakuan Hewan Coba

6


Tahap Pengamatan Hewan Coba

7

Analisis Statistik

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

8
12

Simpulan

12

Saran


12

DAFTAR PUSTAKA

12

LAMPIRAN

16

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1

Nilai rataan panjang tulang anak tikus betina yang induknya diberi 8
ekstrak etanol akar purwoceng selama hari ke-13 sampai dengan ke21 kebuntingan

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Tanaman purwoceng
Tikus putih galur Sprague Dawley
Proses perkembangan tulang sejak masa embrional

3
3
4

4

Titik orientasi pengukuran panjang tulang

7

DAFTAR LAMPIRAN
1

Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang kepala tikus

16

2

Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang punggung tikus

16

3

Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang kaki depan tikus

17

4

Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang kaki belakang 17
tikus

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tulang merupakan jaringan dengan konsistensi padat yang berfungsi
sebagai penyusun kerangka dan tempat pembentukan sel-sel darah. Pada seekor
hewan ada bermacam-macam bentuk tulang yaitu: tulang panjang, tulang pendek,
tulang pipih, dan tulang tidak beraturan. Material tulang terdiri dari komponen
penyusun yaitu bahan organik dan anorganik. Mineral seperti kalsium (Ca) dan
fosfat (P) merupakan contoh dari materi anorganik, sedangkan komponen organik
yaitu protein dan glikosamin (Sherwood 2004; Baron 2006). Tulang sudah
terbentuk saat individu masih berada di dalam kandungan dan mengalami
perkembangan setelah lahir dengan proses organogenesis (Theiler 1989).
Pembentukan jaringan tulang diistilahkan dengan proses osifikasi. Tahap
osifikasi terdiri dari dua proses yaitu osifikasi intramembranous dan osifikasi
endokondrial (intracartilagenosa). Pada osifikasi intramembranous atau osifikasi
primer terjadi diferensial mesenkim nonskeletal membentuk tulang dermal,
contohnya pembentukan tulang dari membran fibrosa dikepala menutupi bakal
otak. Tahapan osifikasi endokondrial (intracartilaginosa) terjadi perubahan tulang
rawan hialin embrio menjadi lebih keras konsistensinya. Kedua proses tersebut
berlangsung pada saat fetus berada di dalam uterus (Samuelson 2007).
Proses osifikasi melibatkan berbagai komponen sel penyusun tulang, yaitu
osteosit, osteoblast, dan osteoklas. Proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas
dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan (growth factor) yang dihasilkan osteoblas.
Beberapa growth factor yang berperan yaitu insulin like growth factor (IGF I dan
II), bone morphogenis proteins (BMPs), fibroblast growth factor (FGF), dan
platelete-derived growth factor (PDGF) (Chen et al. 2004; Asahina et al. 2007).
Menurut Houfbauer et al. (1999) dan Ogita et al. (2008) growth factor
mempengaruhi perkembangan tulang dengan bekerja secara autokrin dan parakrin,
serta dipengaruhi oleh adanya hormon estrogen. Guyton dan Hall (2007)
menyatakan bahwa sel osteoblas merupakan target utama dari hormon estrogen
untuk melepaskan beberapa growth factor.
Akar purwoceng (Pimpinella alpina) mengandung senyawa flavonoid yang
dikenal sebagai substansi estrogenik dan juga berbagai steroid yang digunakan
sebagai prekusor estrogen. Menurut Darwati dan Roostika (2006) kandungan
senyawa pada akar purwoceng yaitu kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan
beberapa senyawa gula. Estrogen berpengaruh terhadap proses osifikasi yaitu
meningkatkan proses osteogenesis (Bord et al. 2001; McDougal et al. 2002). Pada
penelitian ini akan dilakukan pengujian efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng
pada pertumbuhan tulang anak tikus betina melalui pemberian saat tikus sedang
pada usia kebuntingan 13 sampai dengan 21 hari. Pada saat usia kebuntingan 13
sampai dengan 21 hari tersebut fetus sedang berada pada tahap organogenesis.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas ekstrak etanol akar
purwoceng (Pimpinella alpina) pada tikus bunting usia ke-13 sampai dengan 21
hari terhadap pertumbuhan panjang tulang anak tikus betina.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
khasiat tanaman purwoceng (Pimpinella alpina) dengan metode yang diberikan
pada tikus betina bunting terhadap anak tikus berjenis kelamin betina (Rattus
norvegicus).

Hipotesis
H0

H1

Hipotesis yang dapat ditarik berdasarkan latar belakang diatas adalah:
: Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama hari
ke-13 sampai dengan ke-21 masa kebuntingan tidak berpengaruh terhadap
perkembangan panjang tulang anak tikus (Rattus norvegicus) betina yang
dilahirkan.
: Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama hari
ke-13 sampai dengan ke-21 masa kebuntingan berpengaruh terhadap
perkembangan panjang tulang anak tikus (Rattus norvegicus) betina yang
dilahirkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng (Pimpinella alpina)
Purwoceng (Pimpinella alpina) telah lama dikenal sebagai salah satu
tanaman obat khas Jawa Tengah. Purwoceng tumbuh subur di dataran tinggi
Dieng, Jawa Tengah pada ketinggian 2000 sampai 3000 m dpl. Tumbuhan ini
dapat digunakan sebagai tanaman obat terutama bagian akarnya. Menurut Darwati
dan Roostika (2006) tanaman purwoceng terbukti secara empirik berkhasiat
sebagai afrodisiak, yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau
menambah stamina. Dalam akar purwoceng mengandung bergapten, isobergapten,
dan sphondin yang semuanya termasuk kedalam kelompok furanokumarin, selain
itu di dalam akar purwoceng juga mengandung senyawa kumarin, saponin, sterol,
alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula (Darwati dan Roostika 2006). Balitro
(2011) menyebutkan bahwa melalui uji fitokimia pada purwoceng didapatkan zatzat yaitu alkaloid, tannin, flavonoid, triterfenoid, steroid, dan glikosida.
Ekstrak tanaman purwoceng berpengaruh terhadap peningkatan kadar
hormon LH (Luteinizing Hormon) dan testosteron pada tikus jantan galur Sprague
Dawley (Nasihun 2009). Menurut Satyaningtijas et al. (2014) pemberian ekstrak
akar purwoceng dengan dosis 25 mg/cc per 300 g bobot badan tikus mampu

3
mempercepat pertambahan bobot badan, bobot ovarium cenderung meningkat,
dan uterus tikus betina bunting serta meningkatkan rasio jumlah titik implantasi
dan korpus luteum.

Gambar 1 Tanaman purwoceng
(Sumber: Darwati dan Roostika 2006)
Klasifikasi dan Karakteristik Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tikus putih yang selama ini sering dijadikan sebagai penelitian telah
diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan
cocok untuk berbagai penelitian (Malole & Pramono 1989). Tikus yang sudah
menyebar keseluruh dunia dan digunakan secara luas untuk penelitian di
laboraturium ataupun sebagai hewan kesayangan eksotik adalah tikus putih yang
berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya dengan Norwegia seperti
yang digunakan pada nama latinnya (Malole & Pramono 1989). Tikus yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Rattus norvegicus, galur Sprague Dawley.

Gambar 2 Tikus putih galur Sprague Dawley
(Sumber: Dokumen penulis)
Terdapat lima macam “basic stock” tikus putih (Albino Normay rat,
Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu Long
Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar. Sprague Dawley
memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih
panjang daripada badannya. Long Evans memiliki ukuran badan yang lebih kecil
dibandingkan dengan Sprague Dawley dan memiliki warna gelap pada bagian atas
kepala dan pada bagian depan tubuh. Wistar berkepala dengan ukuran yang besar
dan memiliki ekor yang relative lebih pendek (Baker et al. 1980).

4
Tulang (Osteogenesis)
Tulang mengalami perkembangan yaitu perubahan ukuran dan
konsistensinya selama masa embrional sampai tahap dewasa. Pada tulang dengan
bentuk panjang atau biasa disebut dengan tulang pipa, didalamnya terjadi proses
pembentukan sel-sel darah merah. Secara anatomis tulang memiliki dua bagian
yaitu epifise dan diafise. Perkembangan tulang panjang terjadi dibagian epifisi
yaitu pada bagian kedua ujungnya.

Gambar 2 Proses perkembangan tulang sejak masa embrional
(Sumber: Science source 2015)
Jaringan tulang secara berkala mengalami perbaharuan berupa proses
remodeling. Proses ini terjadi secara kompleks yang melibatkan resopsi tulang
diikuti pembentukan tulang baru. Remodeling tulang dilakukan untuk pengaturan
homeostatis kalsium, memperbaiki jaringan yang rusak akibat pergerakan fisik,
kerusakan minor akibat faktor stress, dan pembentukan kerangka pada masa
pertumbuhan (Hill dan Orth 1998; Fernandez et al. 2006). Pada perkembangan
tulang remodeling melibatkan osteoblas dan osteoklas melalui mekanisme signal
parakrin dan autokrin. Osteoklas berfungsi dalam meresopsi tulang, sedangkan
osteoblas menghasilkan matriks organik (protein kolagen dan nonkolagen) dan
mengatur proses mineralisasi pembentuk dari osteoid. Osteoklas berkembang dari
hematopoietic stem cells, sedangkan osteoblas berkembang dari osteoprogenitor
yang tedapat dibagian dalam periosteum dan sumsum tulang (Orwoll 2003).
Berdasarkan hasil penelitian Djuwita et al. (2012) proliferasi dan diferensiasi
osteoblas menjadi osteosit dapat diinduksi dengan pemberian ekstrak batang
Cissus quadrangula (Salibs.) dengan konsentrasi 0.6 mg/ml ke dalam medium
kultur.
Metabolisme tulang melibatkan banyak faktor, namun demikian estrogen
merupakan salah satu faktor yang cukup potensial terhadap pengaturan masa
tulang (Monologas et al. 2002; Gennari et al. 2004). Pada tahap embrional sel
osteoprogenitor yang merupakan jaringan penghubung memiliki kemampuan
untuk melakukan mitosis. Sel ini berfungsi sebagai sumber sel baru dari osteoblas
dan osteoklas (Compston 2002). Menurut Bord et al. (2001) dan McDougal et al.
(2002) estrogen dapat meningkatkan aktivitas osteogenesis. Mahmudati (2011)
melaporkan tentang peran estrogen atau fitoestrogen pada metabolisme tulang usia
menopause dan menyimpulkan bahwa estrogen berpengaruh terhadap proses
pembongkaran tulang dengan cara menghambat pematangan osteoklas sehingga
bisa menghambat resopsi tulang.

5
Estrogen
Estrogen merupakan hormon golongan steroid yang memiliki fungsi untuk
pertumbuhan dan diferensiasi organ reproduksi, selain itu juga merupakan faktor
penting dalam pemeliharaan kesehatan tulang (Enmark et al. 1997). Estrogen
dapat meningkatkan osteogenesis (Bord et al. 2001; McDougal et al. 2002).
Hormon ini juga bekerja menekan aktivitas resopsi tulang sehingga dapat
menghambat proses kerapuhan tulang. Aktivitas antiresoptif tersebut dapat pula
dihasilkan melalui kerja estrogen pada osteoblas, yang secara tidak langsung
mempengaruhi aktivitas osteoklas. Estrogen terbukti dapat mengurangi laju
penurunan masa tulang dan risiko fraktur pada wanita yang mengalami
osteoporosis. Menurut Sihombing et al. (2012) terapi sulih hormon yang
digunakan untuk mengganti defisiensi estrogen ialah fitoestrogen, progesteron,
selain itu juga kalsium dan vitamin D.
Aksi biologi estrogen dapat mempengaruhi faktor pertumbuhan yaitu
insulin like growth factor 1 (IGF-1) sehingga terjadi reaksi silang antara IGF-1
dengan estrogen (Kato et al. 2000). Faktor pertumbuhan tersebut berperan pada
proses proliferasi dan diferesiasi osteoblas. Insulin like growth factor 1 terdapat
pada ekstrak tulang dari berbagai spesies dan diketahui sebagai salah satu
mitogenik yang jumlahnya cukup banyak, baik pada fetus maupun tulang dewasa.
Estrogen memiliki beberapa target organ dalam kerjanya yaitu: endometrium
(Matsuzaki et al. 1999), uterus, oviduk, servik dan vagina (Wang et al. 2006),
tulang, otak, pembuluh darah dan jantung, sistem imun, kulit, ginjal, dan paru
(Wierman 2007).

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2015 sampai dengan
Mei 2015 di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus, serbuk
gergaji, ekstrak purwoceng, etanol 70%, NaCl 0.9%, dan akuades. Peralatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus (kotak plastik dan kawat
kasa berukuran 30 × 20 × 20 cm), botol minum tikus, spoit 1 cc, sonde lambung
tikus, gelas objek, mikroskop, pewarna Giemsa, timbangan analitik digital, pipet,
cotton swab, kapas, kain saring, kertas label, tabung Erlenmeyer, gelas ukur,
corong, blender, pompa vacum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R205), chiller, oven, wadah porselin, termometer.
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Akar tanaman purwoceng dikeringkan dibawah panas sinar matahari
dengan suhu tidak lebih dari 50 °C. Akar yang telah kering tersebut kemudian

6
dipotong-potong untuk kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga
menjadi serbuk. Serbuk hasil blender kemudian ditimbang sebanyak 350 g
kemudian direndam dalam 3.5 l etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam.
Dilakukan pengadukan selama proses perendaman dalam 2 jam sekali. Hasil dari
perendaman kemudian disaring dengan kain saring untuk diambil filtratnya.
Filtrat hasil penyaringan disimpan kedalam tabung Erlenmeyer, sedangkan
ampasnya dilakukan perendaman kembali seperti tahap sebelumnya untuk
mendapatkan hasil filtrat yang sama. Filtrat hasil penyaringan pertama dan kedua
ditampung kedalam tabung Erlenmeyer berukuran 5 l. Filtrat tersebut kemudian
diuapkan mengunakan rotary evaporator Buchi dengan suhu 48 °C pada
kecepatan putaran permenit sebesar 60 rpm. Penguapan tersebut bertujuan untuk
menguapkan bahan pelarut yaitu etanol 70%. Kandungan air pada hasil penguapan
juga diuapkan dengan cara memasukkan bahan kedalam oven pengering pada
suhu 45 °C selama 48 jam untuk menguapkan airnya. Hasil pengeringan tadi
adalah ekstrak kental berwarna coklat. Ekstrak kental bisa disimpan di dalam
botol kaca steril dan dapat diencerkan kembali dengan akuades jika ingin diujikan
pada hewan coba sesuai dosis perlakuan. Dosis pada penelitian ini mengunakan
larutan ekstrak etanol akar purwoceng sebesar 25 mg/ml per 300 g bobot badan
tikus.
Tahap Persiapan Hewan
Tikus yang digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian ini adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) dengan galur Sprague Dawley sebanyak dua puluh ekor
betina dan dua puluh ekor jantan. Tikus dipelihara di dalam kotak plastik
berukuran 30 cm × 20 cm × 20 cm dengan kawat penutup yang dilengkapi dengan
botol minum diatasnya. Serutan kayu diberikan sebagai alas tikus dengan
ketebalan 2 cm. Pengantian sekam dan pencucian kandang dilakukan sebanyak
satu kali dalam seminggu. Periode aklimatisasi ini dilakukan selama 3 minggu
dengan melakukan pemeriksaan feses terhadap adanya cacing. Jika pada feses
ditemukan adanya indikasi telur cacing maupun cacing dewasa, maka tikus
tersebut ditukar dengan yang sehat. Pemeriksaan menggunakan metode preparat
natif, yaitu dengan meneteskan NaCl fisiologis diatas
gelas objek dan
menambahkan beberapa bagian feses yang akan diperiksa kemudian diamati
dibawah mikroskop. Tikus dikandangkan secara individu dengan pemberian
pakan dan minum ad libitum.
Tikus kemudian dikawinkan untuk mendapatkan betina bunting yang akan
digunakan sebagai perlakuan. Tikus jantan dikawinkan secara alamiah dengan
seekor betina di dalam satu kandang yang sama. Pada hari selanjutnya dilakukan
pengulasan vagina pada tikus betina. Jika pada ulasan vagina tersebut didapatkan
banyak spermatozoa, maka pada hari tersebut diindikasikan telah terjadi
perkawinan. Tikus betina bunting dikandangkan secara individu dengan
pemberian pakan sebanyak 10% dari BB dan minum ad libitum.
Tahap Perlakuan Hewan Coba
Tahap perlakuan dimulai dengan membagi hewan coba menjadi dua
kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kedua kelompok ini

7
yang masing-masing terdiri dari sepuluh ekor tikus bunting yang akan diberi
ekstrak etanol akar purwoceng pada hari ke-13 sampai dengan hari kelahiran,
sedangkan kelompok kontrol dicekok air mineral. Pemberian air mineral tersebut
bertujuan agar kedua kelompok tersebut mendapatkan perlakuan yang sama,
sehingga tingkat stres antara kedua kelompok sama. Ekstrak etanol akar
purwoceng diberikan dengan dosis 25 mg/ml per 300 g bobot tikus betina. Dosis
yang diberikan mengacu pada penelitian Nasihun (2009) mengenai kajian
pengaruh ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk) terhadap peningkatan
indikator vitalitas pria dengan studi eksperimental pada tikus jantan Sprague
Dawley. Tikus yang telah melahirkan kemudian dilakukan sexing untuk
membedakan anak jantan dan betina. Anak tikus betina yang diukur panjang
tulangya adalah anak yang lahir dari induk dengan jumlah rataan anak sebanyak
8–9 ekor per induk, bobot lahir berkisar antara 5–6 g, dan rasio perbandingan
jumlah rasio antara jantan dengan betina yang mendekati.
Tahap Pengamatan Hewan Coba
Pengamatan dilakukan pada anak tikus yang berkelamin betina dengan
cara mengukur panjang tulang kepala, tulang punggung, kaki depan, dan kaki
belakang. Jumlah anak yang diamati sebanyak 9 ekor. Pengukuran dilakukan pada
hari pertama kelahiran anak sampai dengan minggu ketujuh dengan pengulangan
satu kali dalam seminggu. Pengukuran dikakukan dengan cara mengukur kepala
dari huruf X sampai huruf Y, punggung mulai dari huruf q sampai huruf z, kaki
depan a1 sampai a2, dan kaki belakang b1 sampai b2 (Hrapkiewicz dan Medina
1998).

Gambar 4 Titik orientasi pengukuran panjang tulang
(Sumber: Hrapkiewicz dan Medina 1998)
Keterangan gambar: X= hidung ;Y= os occipital ;Q= os atlas ; Z= os sacrum ; a1 = bagian
proximal os scapula ; a2 = bagian distal kaki depan ; b1 = bagian proximal os femur ; b2 =
bagian distal kaki belakang.

Analisis Statistik
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku.
Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik dengan analisis sidik

8
ragam (ANOVA-Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel
dan Torrie 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina)
pada anak tikus betina terhadap panjang tulang disajikan pada Tabel 1. Secara
umum pertumbuhan tulang dari anak tikus yang induknya dicekok ekstrak etanol
akar purwoceng dengan dosis 25 mg/ml per 300 g BB selama hari ke-13 sampai
dengan ke-21 kebuntingan lebih panjang dibandingkan tikus kontrol yang hanya
diberi air. Dalam penelitian ini parameter panjang tulang kepala dilakukan
pengukuran dari hidung sampai os occipital melalui os temporal, tulang punggung
yaitu dari os atlas sampai os sacrum, kaki depan diukur dari os scapula bagian
proximal sampai os phalanx 1 bagian distal, dan kaki belakang dari os femur
bagian proximal sampai ke os phalanx 1 bagian distal (Hrapkiewicz dan Medina
1998).
Tabel 1 Nilai rataan panjang tulang anak tikus betina yang induknya diberi ekstrak
etanol akar purwoceng selama
hari ke-13 sampai dengan ke-21
kebuntingan
K
l.

1

2

Minggu ke4

3

5

6

7

3.87±0.17*

4.23±0.23*

4.37±0.23*

3.95±0.29
4.23±0.21*
Punggung (cm)

4.53±0.12*

4.65±0.13*

6.40±0.86*

7.37±0.71*

8.10±0.42*

6.47±0.75
7.81±0.23*
Kaki Depan (cm)

8.00±0.56*

8.56±0.64*

3.76±0.67*

4.40±0.20

4.45±0.28

3.78±0.34* 4.05±0.44*
Kaki Belakang (cm)

4.48±0.92

4.71±0.27

Kepala (cm)
K

1.96±0.16

3.07±0.26

3.51±0.23*

P

2.13±0.13

2.95±0.28

3.83±0.23*

K

3.66±0.28

4.48±0.30

4.98±0.56

P

3.64±0.56

4.68±0.36

5.37±0.62

K

1.90±0.25

2.58±0.32

2.97±0.36

P

1.90±0.27

2.35±0.32

3.01±0.17

K

1.74±0.36

2.61±0.31

3.44±0.31

P

1.66±0.12

2.50±0.33

3.51±0.35

3.85±0.27

5.95±0.39

3.44±0.42*

4.05±0.57*

4.57±0.82

5.26±0.35*

5.55±0.36

4.58±0.56*

4.85±0.62

5.70±0.23*

5.87±0.61

*

Kl.= Kelompok; K= kontrol; P= purwoceng signifikan pada taraf nyata 5%.

Perbedaan panjang tulang pada kedua kelompok tikus ini mulai terlihat
pada minggu ke-3 yaitu pada tulang kepala, minggu ke-4 pada kaki depan serta
kaki belakang, dan minggu ke-5 pada tulang punggung. Data yang dihasilkan pada
tulang kepala menunjukkan perbedaan yang nyata (P