Perkembangan Tulang Anak Tikus Jantan Dari Induk Yang Diberi Ekstrak Etanol Purwoceng Pada Hari Ke 13-21 Kebuntingan
PERKEMBANGAN TULANG ANAK TIKUS JANTAN DARI
INDUK YANG DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR
PURWOCENG PADA HARI KE 13-21 KEBUNTINGAN
RISKA AMALIA NUR JANNAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan tulang
anak tikus jantan dari induk yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada hari ke 1321 kebuntingan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Riska Amalia Nur Jannah
NIM B04110079
ABSTRAK
RISKA AMALIA NUR JANNAH. Perkembangan Tulang Anak Tikus Jantan dari
Induk yang diberi Ekstrak Etanol Purwoceng Pada Hari Ke 13-21 Kebuntingan.
Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.
Purwoceng adalah tanaman asli Indonesia yang akarnya memiliki khasiat
terhadap sistem reproduksi. Flavonoid adalah bahan aktif yang menjadi bagian dari
kandungan purwoceng. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh ekstrak
etanol purwoceng yang diberikan selama 13-21 hari kebuntingan terhadap
pertumbuhan tulang pada anak tikus jantan. Penelitian ini menggunakan 8 ekor
anak tikus betina bunting yang mempunyai jumlah anak rata-rata 7-9 ekor. Tikus
ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok purwoceng
yang diberi ekstrak etanol purwoceng dengan dosis 25 mg/ml untuk 300 gram BB.
Pengukuran tulang meliputi hidung sampai os occipital, os atlas sampai os sacrum,
os scapula sampai os phalanx, dan os femur sampai os phalanx dan dilakukan
selama 7 minggu dimulai hari pertama lahir. Data dianalisis dengan metode sidik
ragam (ANOVA-Analysis of Variance). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak etanol purwoceng meningkatkan pertumbuhan panjang os occipital, os atlas
sampai os sacrum, os scapula sampai os phalanx, dan os femur sampai os phalanx.
Perkembangan os atlas sampai os sacrum meningkat secara signifikan
dibandingkan kontrol.
Kata kunci: panjang tulang, purwoceng, tikus.
ABSTRACT
RISKA AMALIA NUR JANNAH. Bone Development of Male Pups Rats from Rat
Given Root Extract Purwoceng during day 13-21 of pregnancy. Supervised by
ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.
Purwoceng is an Indonesian indigenous plant which has effect to reproduction
system. Flavonoid is an active compound as a part of the ingredient of purwoceng. This
research was conducted to observe the effect of etanol extract of purwoceng root
that administered during day 13 until 21 of pregnancy on the bone growth of pup
male rat. This research used 8 female pregnant rats which have 7-9 pups and were
divided into two groups. The purwoceng group were given 25 mg/ml of the extract
for 300 g body weight. The measured bones were from nose to os occipital, os atlas
until os sacrum, os scapula up to os phalanx, and from os femur to os phalanx and
has been done for 7 weeks, starting from 1 day old of age. Data were analized by
ANOVA test. The results showed that purwoceng roots etanol extract increased the
length development of os occipital, os atlas until os sacrum, os scapula until os
phalanx, and os femur until os phalanx. The increment of os atlas until os sacrum
was significant as compare to control.
Keywords: bone, purwoceng, rat.
PERKEMBANGAN TULANG ANAK TIKUS JANTAN DARI
INDUK YANG DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR
PURWOCENG PADA HARI KE 13-21 KEBUNTINGAN
RISKA AMALIA NUR JANNAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Februari sampai Mei 2015 ini, berjudul “Perkembangan
tulang anak tikus jantan dari induk yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada hari
ke 13-21 kebuntingan.” Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Aryani Sismin
Satyaningtijas MSc dan Drs Pudji Achmadi MSi atas bimbingan, arahan, motivasi,
waktu, pemikiran, pengertian dan kesabaran selama proses penelitian dan
penyusunan tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Min
Rahminiwati MS PhD sebagai pembimbing akademik. Selain itu, penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB yaitu Ibu
Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dengan tulus dan hormat kepada
H. Sukardjo (papah), Hj. Nuril Mubarokh (Mamah), dan Happy Maria Ulfa (kakak)
yang turut memberi doa dan dukungan baik moral maupun material sehingga
penulis dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada teman satu tim Wahyu Sri Wulandari, Meilany Cyntia, Rio
Topan, dan Maulana Sydik atas kerja sama dan dukungan selama penelitian. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Tito Gustien AS yang selalu memberikan
semangat dan motivasi. Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada
teman-teman FKH angkatan 48 dan seluruh Civitas Akademik Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat berterima kasih dan terbuka
untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2015
Riska Amalia Nur Jannah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Purwoceng
2
Biologi Tikus
3
Testosteron
3
METODE
4
Bahan
4
Alat
4
Prosedur Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
SIMPULAN DAN SARAN
9
Simpulan
9
Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
9
LAMPIRAN
12
RIWAYAT HIDUP
16
DAFTAR TABEL
1 Rataan panjang tulang anak tikus jantan yang diberi ekstrak etanol
purwoceng selama 13-21 hari kebuntingan
7
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Pimpinella alpina KDS
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley
Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina
Cara pengukuran perkembangan tulang anak tikus jantan
2
3
6
6
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis
12
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai berbagai macam tanaman herbal yang sangat
berkhasiat. Hutan tropika Indonesia ditumbuhi sekitar 30.000 spesies tumbuhan
berbunga dan diperkirakan sekitar 3.689 spesies di antaranya merupakan tumbuhan
herbal (Endjo dan Hernami 2004). Penggunaan tanaman herbal sebagai ramuan
telah dikenal sejak dahulu. Tanaman herbal sekarang telah banyak beredar di
pasaran dan digunakan sebagai alternatif untuk proses penyembuhan penyakit atau
untuk proses peningkatkan stamina. Hal ini disebabkan harga tanaman herbal yang
relatif murah, mudah didapat dan efek samping yang ditimbulkan sangat minimal.
Masyarakat di daerah pedalaman masih mempercayakan penyembuhan penyakit
dengan memanfaatkan tanaman herbal yang ada di alam.
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman herbal yang akarnya
diketahui berkhasiat sebagai diuretikum dan afrodisiak, yakni mampu
meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi (Rahayu dan Sunarlim 2002).
Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiak antara lain adalah turunan steroid,
saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah
(Anwar 2001). Purwoceng mengandung senyawa kimia yang terdiri dari saponin,
sterol, sejumlah kecil alkaloid, oligosakarida. Sterol yang terkandung dalam ekstrak
purwoceng adalah sitosterol dan stigmasterol yang merupakan prekursor
testosteron yang dapat dikonversi menjadi testosteron di jaringan perifer sedangkan
senyawa aktif lain merangsang susunan saraf pusat untuk memproduksi Luteinizing
Hormone (LH). Purwoceng dengan kandungan sterolnya juga mampu
meningkatkan produksi hormon LH sampai 29.2% (Nasihun 2009). Target sel dari
LH adalah sel Leydig pada testis untuk mensekresi testosteron, yang merupakan
hormon steroid dari kelompok androgen (Hafez 2000).
Reseptor androgen juga terdapat pada osteoblas dan mampu menstimulasi
proliferasi osteoblas dengan bantuan vitamin D. Androgen juga mempengaruhi
ekspresi molekul adhesif seperti fibronektin yang memfasilitasi ikatan sel-sel tulang
dengan matrik ekstraseluler yang merupakan syarat penting fungsi osteoblastik
(Nieschlag dan Behre 2004).
Purwoceng dengan bahan aktifnya yang berupa sterol akan dirubah menjadi
testosteron dan diharapkan dapat berikatan dengan reseptor androgen pada
osteoblas sehingga mampu meningkatkan perkembangan tulang. Berdasarkan
penelitian terdahulu, purwoceng yang diberikan pada induk tikus betina yang
bunting pada hari kebuntingan yang berbeda yaitu selama 1-13 hari kebuntingan
berpengaruh terhadap perkembangan tulang anak tikus jantan dari induk yang
diberi akar ekstrak purwoceng dengan dosis 25 mg/ml 300g berat badan (BB)
(Zhaahir 2014). Penelitian ini melihat pengaruh pemberian ekstrak purwoceng
(Pimpinella alpina) terhadap perkembangan tulang anak tikus jantan dari induk
yang diberi akar ekstrak purwoceng dengan dosis 25 mg/ml untuk 300 g berat badan
selama 13-21 hari kebuntingan.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol
akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13-21 hari kebuntingan pada tikus
putih terhadap perkembangan tulang anak jantan (Rattus norvegicus).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa informasi dan
pengetahuan mengenai pengaruh pemberian ekstrak etanol akar purwoceng
terhadap perkembangan tulang anak tikus putih jantan (Rattus norvegicus).
TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng
Gambar 1 Pimpinella alpina KDS (Darwati dan Roostika 2006)
Purwoceng merupakan tanaman herbal bernilai ekonomi tinggi. Akar
tanaman ini juga dilaporkan berkhasiat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah
seksual dan menimbulkan ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), seduhan
purwoceng juga digunakan sebagai minuman tonik untuk meningkatkan stamina
tubuh (Ajijah et al. 2010). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiak
diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang
dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo
et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada tanaman herbal purwoceng
adalah senyawa sitoesterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya.
Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid merupakan antioksidan.
Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15 atom karbon
sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari 6 senyawa polifenol
menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid.
Flavonoid merupakan fitoestrogen yaitu senyawa mirip estrogen yang dapat
ditemukan pada tanaman.
3
Biologi Tikus
Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan
atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara
(Malole dan Pramono 1989). Hewan percobaan ini memiliki beberapa keunggulan
yaitu penanganan dan pemeliharaannya mudah, umur relatif pendek, sifat
reproduksi menyerupai mamalia besar, lama kebuntingan singkat, angka kelahiran
tinggi, siklus estrus pendek dan karakteristik setiap fase siklus jelas (Malole &
Pramono 1989). Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan
sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar,
Long-Evans dan Sprague-Dawley (Weihe 1989). Tikus yang banyak digunakan
sebagai hewan percobaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus).
Gambar 2 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (Tocang 2010)
Testosteron
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Caropeboka (1980) menyatakan
bahwa ekstrak akar purwoceng memiliki aktivitas androgenik. Istilah androgen
digunakan secara kolektif untuk senyawa-senyawa yang kerja biologiknya sama
dengan testosteron. Androgen memiliki beberapa fungsi utama yaitu merangsang
perkembangan, aktivitas organ-organ reproduksi, dan sifat-sifat seks sekunder,
sedangkan kerja kombinasinya disebut kerja androgenik. Androgen utama pada
jantan adalah testosteron yang disekresikan oleh sel Leydig akibat adanya
perangsangan LH (Hafez 2000). Luteinizing Hormone (LH) merupakan hormon
yang diproduksi hipofisis anterior dan berperan merangsang sel-sel dalam testis
untuk memproduksi testosteron. Sel Leydig memiliki jumlah yang sangat banyak
pada individu baru lahir dan pada masa pubertas. Testosteron dalam bentuk aktif
yaitu dehidrotestosteron lebih banyak yang terikat pada sel target. Efek total yang
ditimbulkannya adalah hasil penjumlahan dari pengaruh metabolit reduksi 5αdihidrotestosteron dan turunan estrogennya, yaitu estradiol (Kee dan Hayes 1994).
Kadar testosteron yang mengalami peningkatan pada sel Leydig akan
mempengaruhi peningkatan kadar esterogen. Esterogen yang meningkat akan
mempercepat pertumbuhan tulang (Fernandez et al. 2006).
4
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai Mei 2015. Penelitian
ini dilakukan di bagian Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan di Kandang Hewan Coba,
Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium FKH IPB.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa
kotak plastik, tutup kandang berupa kawat, botol minum tikus, spoit, timbangan
analitik digital, sonde lambung, gunting, objek gelas, mikroskop, pipet, cotton
swab, tisue, kapas, kertas nama, spidol, tabung Erlenmeyer, gelas ukur, corong,
blender, pompa vacum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller,
oven, wadah porselin, termometer. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini
yaitu tikus, pakan tikus (pellet), ekstrak purwoceng, etanol 70%, eter, NaCl
fisiologis 0.9%, sekam, dan akuades.
Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Akar tanaman purwoceng dikeringkan terlebih dahulu dibawah panas sinar
matahari dengan suhu kurang dari 50 ºC. Akar purwoceng yang telah kering
selanjutnya dipotong kecil dan dihaluskan menggunakan blender sampai berupa
bubuk (simplisia). Serbuk yang dihasilkan sebanyak 700 g direndam dalam 3.5 L
etanol 70% bahan pelarut dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen,
kemudian disaring dengan menggunakan kain saring untuk mendapatkan filtratnya.
Hasil filtrat disimpan ke dalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali
dalam 3.5 L etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk supaya homogen.
Setelah itu, larutan disaring dan filtratnya disatukan dengan hasil ekstrak yang
pertama ke dalam erlenmeyer ukuran 5 L. Filtrat tersebut kemudian diuapkan
dengan menggunakan Rotavapor Buchi pada suhu 48 ºC dengan kecepatan putaran
permenit (rpm) sebesar 60 rpm untuk menguapkan pelarut etanol 70% dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pengering pada suhu sekitar 45 ºC selama
48 jam untuk menguapkan airnya. Hasil dari pengeringan dalam oven adalah
ekstrak kental yang berwarna coklat. Ekstrak kental purwoceng disimpan pada
wadah kaca steril dalam kulkas. Ekstrak tersebut dapat diencerkan kembali dengan
akuades jika ingin digunakan pada hewan coba sesuai dosis perlakauan.
5
Tahap Persiapan Hewan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor tikus putih
(Rattus norvegicus) dari galur Sprague-Dawley yang telah mencapai dewasa
kelamin (50-60 hari) dengan jenis kelamin betina dan memiliki bobot badan ratarata 300 g. Adaptasi merupakan tahap penyesuaian hewan coba terhadap
lingkungan sebelum masuk tahap perkawinan. Tahap ini berlangsung selama 3
minggu, pada saat tahap adaptasi dilakukan pemeriksaan feses terhadap keberadaan
telur cacing dengan metode natif. Metode natif dilakukan dengan cara menyiapkan
kaca objek yang telah ditetesi NaCl fisiologis 0.9% yang telah ditambahkan sedikit
feses dari tikus yang akan diperiksa lalu ditutup dengan cover glass dan diamati
dibawah mikroskop. Jika hasil pengamatan menunjukkan adanya telur cacing maka
tikus diganti. Tikus ini dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat
dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 20 cm. Kandang tersebut dilengkapi dengan
jaring kawat sebagai penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta
botol air minum ad libitum yang dijepit pada jaring kawat. Tikus-tikus tersebut
diberikan pakan pelet sehari dua kali (pagi dan sore hari).
Tahap selanjutnya adalah tahap perkawinan. Tikus ini dikawinkan secara
alamiah dengan mencampurkan jantan dan betina dalam satu kandang.dengan rasio
perbandingan antara jantan dan betina 1:1. Setiap hari dilakukan pengamatan pada
tikus betina untuk melihat kebuntingan. Kebuntingan ini ditandai dengan
bertambahya bobot badan tikus dan melihat ada tidaknya spermatozoa yang
mengelilingi sel kornifikasi pada preparat ulas vagina dengan menggunakan
mikroskop perbesaran 40 kali. Keberadaan spermatozoa yang mengelilingi sel
kornifikasi mengindikasikan bahwa tikus betina telah dikawini dan tikus betina
biasanya langsung mengalami kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan
dari tikus jantan dan ditempatkan pada satu kandang dan selanjutnya masuk ke
tahap perlakuan (Baker et al.1980).
Tahap Perlakuan Hewan
Tahap awal perlakuan adalah tahap pengelompokkan 20 ekor tikus betina
bunting dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu 10 ekor tikus
betina bunting untuk kontrol diberikan air minum dan kelompok kedua yaitu 10
ekor tikus betina bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng secara oral
dengan menggunakan sonde lambung dosisnya 25 mg/ml untuk 300 g BB pada
tikus. Pemberian air tersebut bertujuan agar kedua kelompok tersebut mendapatkan
perlakuan yang sama, sehingga tingkat stress antara kedua kelompok sama.
Pemberian air dan ekstrak etanol purwoceng diberikan pada hari ke 13-21
kebuntingan dengan cara mencekok induk tikus bunting menggunakan sonde
lambung 1 kali sehari. Selanjutnya dipelihara hingga tikus-tikus tersebut
melahirkan. Anak-anak tikus yang dilahirkan selanjutnya diambil dari 8 ekor induk
yang melahirkan anak tikus berjumlah rata-rata 7-9 ekor dan rasio anak jantan dan
betina sama banyak. Masing-masing kelompok yaitu kelompok kontrol air dan
kelompok perlakuan ekstrak etanol akar purwoceng terdiri dari 4 ekor induk. Anakanak tikus jantan diambil untuk dilakukan pengamatan. Cara membedakan jenis
kelamin tikus dilihat dari jarak celah anogenital. Perbandingan jarak anogenital
6
tikus jantan dan tikus betina menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998) dapat dilihat
berdasarkan gambar berikut.
Gambar 3 Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina
Tahap Pengamatan Hewan Coba
Pengamatan dilakukan pada anak tikus yang berkelamin jantan dengan cara
mengukur panjang os occipital, os atlas sampai os sacrum, os scapula sampai os
phalanx, dan os femur sampai os phalanx. Jumlah anak yang diamati sebanyak 10
ekor. Pengukuran dilakukan pada hari pertama kelahiran anak sampai dengan hari
ke-49 dengan pengulangan satu kali dalam seminggu. Pengukuran dilakukan
dengan cara mengukur kepala dengan menggunakan rol meter ketelitian mm
(milimeter) dari huruf X sampai huruf Y, punggung mulai dari huruf q sampai huruf
z, kaki depan a1 sampai a2, dan kaki belakang b1 sampai b2 (Hrapkiewicz dan
Medina 1998). Tampilan pengukuran tulang anak tikus dapat dilihat pada gambar
4.
Gambar 4 Cara pengukuran perkembangan tulang anak tikus jantan (X = hidung;
Y = os occipital; Q = os atlas; Z = os sacrum; a1 = bagian proksimal
osscapula; a2 bagian distal jari kaki depan; b1 = bagian proksimal os
femur; b2 = bagian distal jari kaki belakang)
7
Prosedur Analisis Data
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku.
Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik dengan analisis sidik
ragam (ANOVA-Analysis of Variance) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel
dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan tulang tikus anak jantan dari induk yang diberi akar ekstrak
purwoceng dengan dosis 25 mg/ml untuk 300 g berat badan selama 13-21 hari
kebuntingan dapat dilihat pada Tabel 1. Parameter tulang yang diukur adalah os
occipital, os atlas sampai os sacrum, os scapula sampai os phalanx, dan os femur
sampai os phalanx.
Tabel 1 Rataan panjang tulang anak tikus jantan yang diberi ekstrak etanol
purwoceng selama 13-21 hari kebuntingan
Hari ke28
35
42
49
Kepala os occipital (cm)
P 2.10±0.08
2.98±0.3* 3.58±0.29 3.84±0.25 4.21±0.16 4.35±0.15 4.45±0.12
K 1.89±0.14
2.65±0.2* 3.25±0.24 3.89±0.08 4.11±0.08 4.22±0.09 4.44± 0.12
Punggung os atlas sampai os sacrum (cm)
P 3.81±0.4*
4.88±0.59 5.60±0.6* 6.88±0.3* 7.45±0.2* 7.83±0.14 8.73±0.1*
K 3.52±0.3*
4.38±0.27 5.31±0.1* 6.16±0.1* 6.70±0.2* 7.15±0.14 7.99±0.1*
Kaki Depan Kanan dan Kiri os scapula sampai os phalanx (cm)
P 2.03±0.28
2.49±0.28 3.05±0.1* 3.50±0.21 3.95±0.37 4.29±0.20 4.54± 0.24
K 1.85±0.25
2.41±0.15 3.16±0.1* 3.42±0.15 3.79±0.24 4.23±0.18 4.40± 0.13
Kaki Belakang Kanan dan Kiri os femur sampai os phalanx (cm)
P 1.59±0.10
2.79±0.27 3.49±0.1* 4.14±0.34 4.55±0.19 5.26±0.2* 5.49±0.2*
K 1.79±0.25
2.69±0.20 3.58±0.1* 3.81±0.17 4.33±0.30 4.63±0.1* 5.04±0.1*
*Signifikan pada taraf nyata 5% (P: Perlakuan ; K: Kontrol)
7
14
21
Hasil yang diperoleh pada Tabel 1 menyatakan bahwa secara umum tulang
anak tikus jantan yang berasal dari induk yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada
13-21 hari kebuntingan lebih panjang dari tulang anak tikus kontrol. Pertambahan
perkembangan tulang menunjukkan ada perbedaan sangat nyata pada os atlas
sampai os sacrum. Sementara pada perkembangan tulang yang lain seperti
perkembangan os occipital, .pengaruh pemberian ekstrak purwoceng berbeda nyata
pada hari ke-14, os scapula sampai os phalanx menunjukkan berbeda nyata pada
hari ke-21, sedangkan pada perkembangan os femur sampai os phalanx berbeda
nyata pada umur ke-21 hari, ke-42 hari dan umur ke-49 hari.
Berdasarkan hasil pengukuran selama penelitian diperoleh hasil bahwa anak
tikus jantan pasca kelahiran (hari ke-1) pada perlakuan purwoceng menunjukkan
perkembangan tulang os occipital, os atlas sampai os sacrum, os scapula sampai
os phalanx, dan os femur sampai os phalanx lebih panjang daripada kelompok
kontrol. Pengukuran panjang os occipital, os atlas sampai os sacrum, os scapula
sampai os phalanx, dan os femur sampai os phalanx selama 7 minggu pengamatan
8
diperoleh hasil perkembangan tulang anak tikus betina untuk purwoceng lebih
panjang dibandingkan kontrol. Pertumbuhan panjang tulang anak tikus jantan
setelah lahir mengalami peningkatan sejalan dengan aktivitasnya yang meningkat
seperti mencari makan, exercise, kawin, bunting, dan lain-lain (Sridianti 2014).
Pertumbuhan kaki belakang os femur sampai os phalanx pada anak tikus jantan
lebih panjang dibandingkan kaki depannya disebabkan oleh stimulasi mekanik
seperti latihan fisik selama masa pertumbuhan. Stimulus mekanis seperti latihan
fisik yaitu melompat, berdiri, berjalan dan lain-lain (Mahmudati 2009). Hal tersebut
yang menyebabkan ukuran panjang tulang kaki belakang anak tikus jantan lebih
panjang dibandingkan kaki depannya.
Purwoceng memiliki kandungan yaitu flavonoid dan steroid yang
merupakan prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi estrogen.
Jika dibandingkan keduanya, flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan
steroid, karena pada hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat,
sedangkan steroid positif lemah (Balitro 2011). Kosin (1992) melakukan penelitian
terhadap anak ayam jantan, hasilnya adalah efek androgenik ekstrak purwoceng
terhadap peningkatan pertumbuhan ukuran jengger. Nasihun (2009) telah
membuktikan bahwa pemberian ekstrak purwoceng pada tikus jantan
meningkatkan kadar testosteron karena di dalam purwoceng terdapat senyawa
steroid. Zat tersebut menjadi pemicu peningkatan hormon testosteron pada tikus.
Steroid merupakan prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi
estrogen. Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas androgenik dari ekstrak
akar purwoceng.
Biosintesis estrogen melibatkan hidroksilasi dari prekursor androgen yang
dimediasi oleh kompleks enzim aromatase (Favaro dan Cagnon 2007). Ekstrak
etanol akar purwoceng akan berpengaruh terhadap peningkatan kadar testosteron
pada pada anak tikus jantan. Dengan meningkatnya kadar testosteron pada sel
Leydig maka akan mempengaruhi pula peningkatan kadar estrogen. Estrogen
meningkatkan absorbsi kalsium dan inhibisi sintesis osteoklast. Tulang sebagai
jaringan keras dicirikan dengan kehadiran sel-sel osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
Pertumbuhan dan perkembangan tulang dikontrol oleh ketiga sel tersebut.
Osteoblas berkembang dari osteoprogenitor yang terdapat di bagian dalam
periosteum dan sumsum tulang. Osteoblas memiliki fungsi sebagai penghasil
matriks organik (yang terdiri atas protein kolagen dan nonkolagen) serta mengatur
proses mineralisasi (kalsium-fosfat) pembentuk osteoid. Osteoblas yang terbenam
didalam matriks tulang akan berubah menjadi sel osteosit. Osteosit akan tetap
terhubung oleh osteblas maupun osteosit yang lainnya (Monologas 2000). Osteoklas
merupakan sel dengan beberapa inti sel dan berkembang dari hematopoetic stem
cells serta memiliki fungsi dalam meresorpsi tulang (Orwoll 2003).Osifikasi adalah
sebuah proses pembentukan tulang. Pembentukan tulang dimulai dari
perkembangan jaringan penyambung seperti tulangrawan (kartilago) yang
berkembang menjadi tulang keras. Terdapat dua jenis proses pembentukan tulang,
yaitu: a. Osifikasi endokondral:pembentukan tulang dari tulang rawan, terjadi pada
tulang panjang; b. Osifikasi intramembranosus: pembentukan tulang dari mesenkim,
seperti tulang pipih pada tengkorak (Clarke 2008).
Reseptor androgen terdapat pada osteoblas dan mampu menstimulasi
proliferasi osteoblas dengan bantuan vitamin D. Androgen juga mempengaruhi
ekspresi molekul adhesif seperti fibronektin yang memfasilitasi ikatan sel-sel tulang
9
dengan matrik estraseluler. Hal tersebut merupakan syarat penting fungsi
osteoblastik. Androgen dapat meningkatkan massa tulang dari proses tersebut
(Nieschlag dan Behre 2004).
Estrogen dan sitokin adalah regulator penting untuk proses pembentukan
osteoclast. Estrogen dependent osteoclast cytokines meliputi Tumor Necoris Factor
(TNF-α) dan interleukin (IL-6) diturunkan oleh hormon estrogen (Li et al. 2009).
Estrogen menghambat proliferasi dan diferensiasi osteoclast precursor, yang secara
langsung dipengaruhi oleh keberadaan sitokin (Duhe 2003). Reseptor estrogen
terdapat pada osteoblast dan osteoclast. Kerja reseptor estrogen tersebut
diperantarai oleh sitokin, terutama oleh IL-1, IL-6, TNF-α, dan Granulocyte
Monosit-Colony Stimulating Factor (GM-CSF) (Hania 2008). Peningkatan
estrogen yang dihasilkan akan mempercepat pertumbuhan tulang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) pada hari ke
13-21 kebuntingan dapat memberikan peningkatan terhadap perkembangan os
occipital pada umur ke-14 hari, kaki os scapula sampai os phalanx menunjukkan
berbeda nyata pada umur ke-21 hari, sedangkan pada perkembangan tulang kaki
belakang os femur sampai os phalanx berbeda nyata pada umur ke-21 hari, ke-42
hari dan umur ke-49 hari.
Saran
Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng
(Pimpinella alpina) dengan dosis yang optimum dan dilakukan pada masa laktasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ajijah N, Darwati I, Yudiwanti, Roostika I. 2010. Pengaruh suhu inkubasi terhadap
pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molk.). J Litri. 16:56-63.
Anwar NS. 2001. Manfaat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya
untuk menjaga stamina. Makalah pada seminar setengah hari “Menguak
Manfaat herbal bagi Vitalitas Seksual”. Jakarta, 13 Oktober 2001. Hlm 8.
Balitro (Balai Penelitian Tanaman dan Aromatik). 2011. Hasil uji fitokimia dari
akar purwoceng. Bogor (ID): Laboratorium Balai Penelitian Tanaman dan
Aromatik.
Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The laboratory rat: Research
Application Vol 2. London (GB): Academic Pr Inc.
10
Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina terhadap sistem
reproduksi tikus [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Clarke B. 2008. Normal bone anatomy and physiology. Clin J Am Soc Nephrol.
3:S131-S139.
Darwati I, Roostika I. 2006. Status penelitian purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah. 12(1):6-7.
Duhe SA. 2003. Swimming versus Voluntary Running Exercise on Bone Health in
Ovariectomized Retired Breeder Rats. [internet]. [diacu 30 Juli 2015].
Tersedia
dari:
http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0626103161512/unrestricted/Duhe thesis.pdf.
Endjo D, Hernami. 2004. Gulma Berkhasiat . Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Favaro WJ, Cagnon VHA. 2007. Immunolocalization of androgen and oestrogen
reseptors in the ventral lobe of rats (Rattus norvegicus) prostate after longterm treatment with etanol and nicotine. Int. J. Androl. 31:609-618.
Fernandez I, Gracia MAA, Pingarron MC, Jerez LB. 2006. Physiological Bases of
Bone Begeneration II. The remodeling process. 11:151-157.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.
Guyton AC. 2000. Alih Bahasa Irawati. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta
(ID): EGC. 11: 1029-1041.
Hania HM. 2008. Occurrence of Osteoporosis Among Menopausal Women in Gaza
Strip [tesis]. Gaza: Islamic University.
Hill PA, Orth M. 1998. Bone remodelling. British Journal of Orthodontic.25:101107.
Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Cinical Laboratory Animal Medicine: An
Introduction. Iowa State University Press: State Avenue.
Kee JL, Hayes ER. 1994. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Anugerah
P, penerjemah; Asih Y, editor. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC.
Terjemahan dari: Pharmacology: A Nursing Process Aproach. Hlm 678.
Kosin AM. 1992. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar Pimpinella alpina
Molk. (Purwoceng) terhadap anak ayam jantan [skripsi]. Bogor (ID):
Universitas Pakuan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Jurusan Biologi.
Li N, Qin LP, Han T, Wu YB, Zhang QY, Zhang H. 2009. Inhibitory effects of
Morinda officinalis extract on bone loss in ovariectomized rats. Molecules 14:
2049- 2061.
Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan
Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor (ID): IPB Pr.
Mahmudati N. 2009. Activation estrogen receptor α extracelluler signal regulated
kinase (erk1/2) expression on osteoblast in influencing bone density in the
female young rat after exercise training. [disertasi]. Surabaya
(ID).Universitas Airlangga.
Monologas SC, Kousteni, Jilka. 2002. Sex steroid and bone. Recent in Hormon
Research. 57: 385–409.
Nasihun T. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina
Molk) terhadap Peningkatan Indikator Vitalitas Pria Studi Eksperimental
pada Tikus Jantan Sprague Dawley. J Sains Medika. Vol 1 (1):54-55.
11
Nieschlag E, Behre HM. 2004. Testosterone Action, Deficiency, Substitution. 3rd
Ed. Cambridge (GB): Univ Press. pp. 241-243.
Orwoll ES. 2003. Toward an expanded understanding of the role of the periosteum
in skeletal health. J. Bone Miner. Res. 18:949-954.
Raggatt JL, Nicola CP. 2010. Cellular and Molecular Mechanisms of Bone
Remodelling. J. Of Bio. Che. 285: 33.
Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2005. Ciri agronomis, mutu
dan lingkungan tumbuhan tanaman langka purwoceng (Pimpinella pruatjan
MOLK.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Indonesia XXVIII; Bogor,
15-16 September 2005.
Rahayu S, Sunarlim N. 2002. Konservasi tumbuhan langka purwoceng melalui
pertumbuhan minimal. Buletin Plasma Nutfah. 8(1):29-33.
Seibel MJ. 2005. Biochemical markers of bone turnover part I : biochemistry and
variability. Clin Biochem Rev. 26: 97-122.
Sridianti. 2014. Fungsi tulang manusia secara umum[internet]. [diacu 8 juni 2015].
Tersedia dari: http://www.sridianti.com/fungsi-tulang-manusia-secaraumum.html. Vol (edisi):lokasi. Tulang.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Pr.
Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, penerjemah.
Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and
Procedures of Statistics.
Tangalayuk RR, I Nyoman S, dan Iwan HU. 2015. Kadar Kalsium dan Fosfor Pada
Tulang Tikus Betina Normal. J.Vet 12(3): 229-234.
Tocang. 2010. Agen tikus putih[internet]. [diacu 10 Maret 2015]. Tersedia dari:
http://tocang.blogspot.com/2010/07/agen-tikus-putih.html.
Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetricts and
Gynecology. J. Dairy Sci. Vol 44 (4): 836-42.
Weihe WH. 1989. The Laboratory Rat. In the UFAW Hand Book on the Care and
Management of laboratory Animals 6th. TB Poole, Robinson,
editor.Terjemahan dari: Longman Scientific & Technical. England (GB):
Bath Pr.
Yuliati, Sari GM, Setyawan S, Hendromartana S, 2007. Pemberian Tambahan
Kalsium Pada Masa Pertumbuhan Terhadap Tebal Tulang kortikal dan
Trabekula. Majalah Ilmu Faal. 6(3): 169-172.
Zhaahir M. 2014. Tampilan Anak Tikus Jantan (Rattus novergicus) dari Induk yang
Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 Hari
Kebuntingan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
12
LAMPIRAN
The SAS System 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class
Levels
Values
perlakuan
2
Pk
hari
1
H1
Number of Observations Read
Number of Observations Used
16
16
The SAS System 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
Squares
Source
DF
Model
1
0.33062500
0.33062500
Error
14
2.20375000
0.15741071
Corrected Total
15
Mean Square
F Value Pr > F
2.10
0.1693
2.53437500
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.130456
10.81432
0.396750
3.668750
Source
perlakuan
hari
perlakuan*hari
Source
perlakuan
hari
perlakuan*hari
DF
1
0
DF
1
0
Type I SS
Mean Square
F Value Pr > F
0.33062500
0.33062500
2.10
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
Type III SS
Mean Square
0.1693
F Value Pr > F
0.33062500
0.33062500
2.10
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
0.1693
13
The SAS System 3
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
14
Error Mean Square
0.157411
Number of Means
2
Critical Range
.4255
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
A
A
A
3.8125
8
Purwoceng
3.5250
8
Kontrol
perlakuan
The SAS System 4
The GLM Procedure
------------respon----------Mean
Std Dev
Level of
hari
N
H1
N
16
3.66875000
0.41104542
The SAS System 5
The GLM Procedure
Class Level Information
Class
perlakuan
hari
Levels
Values
2 Perlakuan Kontrol
1 H7
Number of Observations Read
Number of Observations Used
The SAS System 6
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
16
16
14
Source
Model
Error
Corrected Total
DF
1
14
15
Sum of
Squares Mean Square F Value Pr > F
1.00000000
1.00000000
4.81 0.0457
2.91000000
0.20785714
3.91000000
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.255754
9.857590
0.455914
4.625000
Source
DF
perlakuan
hari
perlakuan*hari
Source
1
0
DF
perlakuan
hari
perlakuan*hari
1
0
Type I SS
Mean Square
F Value Pr > F
1.00000000
1.00000000
4.81
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
Type III SS
Mean Square
0.0457
F Value Pr > F
1.00000000
1.00000000
4.81
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
0.0457
The SAS System 7
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
14
Error Mean Square
0.207857
Number of Means
2
Critical Range
.4889
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
A
B
4.8750
4.3750
Mean
N
perlakuan
8 Purwoceng
8 Kontrol
15
The SAS System 8
The GLM Procedure
Level of
hari
N
H7
16
------------respon----------Mean
Std Dev
4.62500000
0.51055525
16
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa
Tengah pada tanggal 3 Juni 1993 sebagai anak ke dua dari dua bersaudara pasangan
H. Sukardjo dan Hj. Nuril Mubarokh. Pendidikan SD 1 Negeri Penganten , SMP 1
Negeri Purwodadi , dan SMA 1 Negeri Purwodadi. Penulis lulus dari SMA 1 Negeri
Purwodadi pada tahun 2011. Penulis masuk IPB melalui jalur SNMPTN undangan
dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2011. Penulis pernah
menjadi wakil RT di Asrama Tingkat Persiapan Bersama IPB gedung A4 lorong
2A dan menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan (IMAKAHI) di
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selain itu, penulis pernah juga menjadi bagian
dari Himpunan Profesi Satwaliar sebagai bendahara eksternal selama menjadi
mahasiswa FKH-IPB.
INDUK YANG DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR
PURWOCENG PADA HARI KE 13-21 KEBUNTINGAN
RISKA AMALIA NUR JANNAH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan tulang
anak tikus jantan dari induk yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada hari ke 1321 kebuntingan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Riska Amalia Nur Jannah
NIM B04110079
ABSTRAK
RISKA AMALIA NUR JANNAH. Perkembangan Tulang Anak Tikus Jantan dari
Induk yang diberi Ekstrak Etanol Purwoceng Pada Hari Ke 13-21 Kebuntingan.
Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.
Purwoceng adalah tanaman asli Indonesia yang akarnya memiliki khasiat
terhadap sistem reproduksi. Flavonoid adalah bahan aktif yang menjadi bagian dari
kandungan purwoceng. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh ekstrak
etanol purwoceng yang diberikan selama 13-21 hari kebuntingan terhadap
pertumbuhan tulang pada anak tikus jantan. Penelitian ini menggunakan 8 ekor
anak tikus betina bunting yang mempunyai jumlah anak rata-rata 7-9 ekor. Tikus
ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok purwoceng
yang diberi ekstrak etanol purwoceng dengan dosis 25 mg/ml untuk 300 gram BB.
Pengukuran tulang meliputi hidung sampai os occipital, os atlas sampai os sacrum,
os scapula sampai os phalanx, dan os femur sampai os phalanx dan dilakukan
selama 7 minggu dimulai hari pertama lahir. Data dianalisis dengan metode sidik
ragam (ANOVA-Analysis of Variance). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak etanol purwoceng meningkatkan pertumbuhan panjang os occipital, os atlas
sampai os sacrum, os scapula sampai os phalanx, dan os femur sampai os phalanx.
Perkembangan os atlas sampai os sacrum meningkat secara signifikan
dibandingkan kontrol.
Kata kunci: panjang tulang, purwoceng, tikus.
ABSTRACT
RISKA AMALIA NUR JANNAH. Bone Development of Male Pups Rats from Rat
Given Root Extract Purwoceng during day 13-21 of pregnancy. Supervised by
ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.
Purwoceng is an Indonesian indigenous plant which has effect to reproduction
system. Flavonoid is an active compound as a part of the ingredient of purwoceng. This
research was conducted to observe the effect of etanol extract of purwoceng root
that administered during day 13 until 21 of pregnancy on the bone growth of pup
male rat. This research used 8 female pregnant rats which have 7-9 pups and were
divided into two groups. The purwoceng group were given 25 mg/ml of the extract
for 300 g body weight. The measured bones were from nose to os occipital, os atlas
until os sacrum, os scapula up to os phalanx, and from os femur to os phalanx and
has been done for 7 weeks, starting from 1 day old of age. Data were analized by
ANOVA test. The results showed that purwoceng roots etanol extract increased the
length development of os occipital, os atlas until os sacrum, os scapula until os
phalanx, and os femur until os phalanx. The increment of os atlas until os sacrum
was significant as compare to control.
Keywords: bone, purwoceng, rat.
PERKEMBANGAN TULANG ANAK TIKUS JANTAN DARI
INDUK YANG DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR
PURWOCENG PADA HARI KE 13-21 KEBUNTINGAN
RISKA AMALIA NUR JANNAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Februari sampai Mei 2015 ini, berjudul “Perkembangan
tulang anak tikus jantan dari induk yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada hari
ke 13-21 kebuntingan.” Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Aryani Sismin
Satyaningtijas MSc dan Drs Pudji Achmadi MSi atas bimbingan, arahan, motivasi,
waktu, pemikiran, pengertian dan kesabaran selama proses penelitian dan
penyusunan tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Min
Rahminiwati MS PhD sebagai pembimbing akademik. Selain itu, penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB yaitu Ibu
Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dengan tulus dan hormat kepada
H. Sukardjo (papah), Hj. Nuril Mubarokh (Mamah), dan Happy Maria Ulfa (kakak)
yang turut memberi doa dan dukungan baik moral maupun material sehingga
penulis dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada teman satu tim Wahyu Sri Wulandari, Meilany Cyntia, Rio
Topan, dan Maulana Sydik atas kerja sama dan dukungan selama penelitian. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Tito Gustien AS yang selalu memberikan
semangat dan motivasi. Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada
teman-teman FKH angkatan 48 dan seluruh Civitas Akademik Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat berterima kasih dan terbuka
untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2015
Riska Amalia Nur Jannah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Purwoceng
2
Biologi Tikus
3
Testosteron
3
METODE
4
Bahan
4
Alat
4
Prosedur Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
SIMPULAN DAN SARAN
9
Simpulan
9
Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
9
LAMPIRAN
12
RIWAYAT HIDUP
16
DAFTAR TABEL
1 Rataan panjang tulang anak tikus jantan yang diberi ekstrak etanol
purwoceng selama 13-21 hari kebuntingan
7
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Pimpinella alpina KDS
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley
Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina
Cara pengukuran perkembangan tulang anak tikus jantan
2
3
6
6
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis
12
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai berbagai macam tanaman herbal yang sangat
berkhasiat. Hutan tropika Indonesia ditumbuhi sekitar 30.000 spesies tumbuhan
berbunga dan diperkirakan sekitar 3.689 spesies di antaranya merupakan tumbuhan
herbal (Endjo dan Hernami 2004). Penggunaan tanaman herbal sebagai ramuan
telah dikenal sejak dahulu. Tanaman herbal sekarang telah banyak beredar di
pasaran dan digunakan sebagai alternatif untuk proses penyembuhan penyakit atau
untuk proses peningkatkan stamina. Hal ini disebabkan harga tanaman herbal yang
relatif murah, mudah didapat dan efek samping yang ditimbulkan sangat minimal.
Masyarakat di daerah pedalaman masih mempercayakan penyembuhan penyakit
dengan memanfaatkan tanaman herbal yang ada di alam.
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman herbal yang akarnya
diketahui berkhasiat sebagai diuretikum dan afrodisiak, yakni mampu
meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi (Rahayu dan Sunarlim 2002).
Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiak antara lain adalah turunan steroid,
saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah
(Anwar 2001). Purwoceng mengandung senyawa kimia yang terdiri dari saponin,
sterol, sejumlah kecil alkaloid, oligosakarida. Sterol yang terkandung dalam ekstrak
purwoceng adalah sitosterol dan stigmasterol yang merupakan prekursor
testosteron yang dapat dikonversi menjadi testosteron di jaringan perifer sedangkan
senyawa aktif lain merangsang susunan saraf pusat untuk memproduksi Luteinizing
Hormone (LH). Purwoceng dengan kandungan sterolnya juga mampu
meningkatkan produksi hormon LH sampai 29.2% (Nasihun 2009). Target sel dari
LH adalah sel Leydig pada testis untuk mensekresi testosteron, yang merupakan
hormon steroid dari kelompok androgen (Hafez 2000).
Reseptor androgen juga terdapat pada osteoblas dan mampu menstimulasi
proliferasi osteoblas dengan bantuan vitamin D. Androgen juga mempengaruhi
ekspresi molekul adhesif seperti fibronektin yang memfasilitasi ikatan sel-sel tulang
dengan matrik ekstraseluler yang merupakan syarat penting fungsi osteoblastik
(Nieschlag dan Behre 2004).
Purwoceng dengan bahan aktifnya yang berupa sterol akan dirubah menjadi
testosteron dan diharapkan dapat berikatan dengan reseptor androgen pada
osteoblas sehingga mampu meningkatkan perkembangan tulang. Berdasarkan
penelitian terdahulu, purwoceng yang diberikan pada induk tikus betina yang
bunting pada hari kebuntingan yang berbeda yaitu selama 1-13 hari kebuntingan
berpengaruh terhadap perkembangan tulang anak tikus jantan dari induk yang
diberi akar ekstrak purwoceng dengan dosis 25 mg/ml 300g berat badan (BB)
(Zhaahir 2014). Penelitian ini melihat pengaruh pemberian ekstrak purwoceng
(Pimpinella alpina) terhadap perkembangan tulang anak tikus jantan dari induk
yang diberi akar ekstrak purwoceng dengan dosis 25 mg/ml untuk 300 g berat badan
selama 13-21 hari kebuntingan.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol
akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13-21 hari kebuntingan pada tikus
putih terhadap perkembangan tulang anak jantan (Rattus norvegicus).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa informasi dan
pengetahuan mengenai pengaruh pemberian ekstrak etanol akar purwoceng
terhadap perkembangan tulang anak tikus putih jantan (Rattus norvegicus).
TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng
Gambar 1 Pimpinella alpina KDS (Darwati dan Roostika 2006)
Purwoceng merupakan tanaman herbal bernilai ekonomi tinggi. Akar
tanaman ini juga dilaporkan berkhasiat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah
seksual dan menimbulkan ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), seduhan
purwoceng juga digunakan sebagai minuman tonik untuk meningkatkan stamina
tubuh (Ajijah et al. 2010). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiak
diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang
dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo
et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada tanaman herbal purwoceng
adalah senyawa sitoesterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya.
Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid merupakan antioksidan.
Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15 atom karbon
sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari 6 senyawa polifenol
menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid.
Flavonoid merupakan fitoestrogen yaitu senyawa mirip estrogen yang dapat
ditemukan pada tanaman.
3
Biologi Tikus
Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan
atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara
(Malole dan Pramono 1989). Hewan percobaan ini memiliki beberapa keunggulan
yaitu penanganan dan pemeliharaannya mudah, umur relatif pendek, sifat
reproduksi menyerupai mamalia besar, lama kebuntingan singkat, angka kelahiran
tinggi, siklus estrus pendek dan karakteristik setiap fase siklus jelas (Malole &
Pramono 1989). Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan
sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar,
Long-Evans dan Sprague-Dawley (Weihe 1989). Tikus yang banyak digunakan
sebagai hewan percobaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus).
Gambar 2 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (Tocang 2010)
Testosteron
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Caropeboka (1980) menyatakan
bahwa ekstrak akar purwoceng memiliki aktivitas androgenik. Istilah androgen
digunakan secara kolektif untuk senyawa-senyawa yang kerja biologiknya sama
dengan testosteron. Androgen memiliki beberapa fungsi utama yaitu merangsang
perkembangan, aktivitas organ-organ reproduksi, dan sifat-sifat seks sekunder,
sedangkan kerja kombinasinya disebut kerja androgenik. Androgen utama pada
jantan adalah testosteron yang disekresikan oleh sel Leydig akibat adanya
perangsangan LH (Hafez 2000). Luteinizing Hormone (LH) merupakan hormon
yang diproduksi hipofisis anterior dan berperan merangsang sel-sel dalam testis
untuk memproduksi testosteron. Sel Leydig memiliki jumlah yang sangat banyak
pada individu baru lahir dan pada masa pubertas. Testosteron dalam bentuk aktif
yaitu dehidrotestosteron lebih banyak yang terikat pada sel target. Efek total yang
ditimbulkannya adalah hasil penjumlahan dari pengaruh metabolit reduksi 5αdihidrotestosteron dan turunan estrogennya, yaitu estradiol (Kee dan Hayes 1994).
Kadar testosteron yang mengalami peningkatan pada sel Leydig akan
mempengaruhi peningkatan kadar esterogen. Esterogen yang meningkat akan
mempercepat pertumbuhan tulang (Fernandez et al. 2006).
4
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai Mei 2015. Penelitian
ini dilakukan di bagian Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan di Kandang Hewan Coba,
Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium FKH IPB.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa
kotak plastik, tutup kandang berupa kawat, botol minum tikus, spoit, timbangan
analitik digital, sonde lambung, gunting, objek gelas, mikroskop, pipet, cotton
swab, tisue, kapas, kertas nama, spidol, tabung Erlenmeyer, gelas ukur, corong,
blender, pompa vacum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller,
oven, wadah porselin, termometer. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini
yaitu tikus, pakan tikus (pellet), ekstrak purwoceng, etanol 70%, eter, NaCl
fisiologis 0.9%, sekam, dan akuades.
Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Akar tanaman purwoceng dikeringkan terlebih dahulu dibawah panas sinar
matahari dengan suhu kurang dari 50 ºC. Akar purwoceng yang telah kering
selanjutnya dipotong kecil dan dihaluskan menggunakan blender sampai berupa
bubuk (simplisia). Serbuk yang dihasilkan sebanyak 700 g direndam dalam 3.5 L
etanol 70% bahan pelarut dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen,
kemudian disaring dengan menggunakan kain saring untuk mendapatkan filtratnya.
Hasil filtrat disimpan ke dalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali
dalam 3.5 L etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk supaya homogen.
Setelah itu, larutan disaring dan filtratnya disatukan dengan hasil ekstrak yang
pertama ke dalam erlenmeyer ukuran 5 L. Filtrat tersebut kemudian diuapkan
dengan menggunakan Rotavapor Buchi pada suhu 48 ºC dengan kecepatan putaran
permenit (rpm) sebesar 60 rpm untuk menguapkan pelarut etanol 70% dan
selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pengering pada suhu sekitar 45 ºC selama
48 jam untuk menguapkan airnya. Hasil dari pengeringan dalam oven adalah
ekstrak kental yang berwarna coklat. Ekstrak kental purwoceng disimpan pada
wadah kaca steril dalam kulkas. Ekstrak tersebut dapat diencerkan kembali dengan
akuades jika ingin digunakan pada hewan coba sesuai dosis perlakauan.
5
Tahap Persiapan Hewan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor tikus putih
(Rattus norvegicus) dari galur Sprague-Dawley yang telah mencapai dewasa
kelamin (50-60 hari) dengan jenis kelamin betina dan memiliki bobot badan ratarata 300 g. Adaptasi merupakan tahap penyesuaian hewan coba terhadap
lingkungan sebelum masuk tahap perkawinan. Tahap ini berlangsung selama 3
minggu, pada saat tahap adaptasi dilakukan pemeriksaan feses terhadap keberadaan
telur cacing dengan metode natif. Metode natif dilakukan dengan cara menyiapkan
kaca objek yang telah ditetesi NaCl fisiologis 0.9% yang telah ditambahkan sedikit
feses dari tikus yang akan diperiksa lalu ditutup dengan cover glass dan diamati
dibawah mikroskop. Jika hasil pengamatan menunjukkan adanya telur cacing maka
tikus diganti. Tikus ini dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat
dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 20 cm. Kandang tersebut dilengkapi dengan
jaring kawat sebagai penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta
botol air minum ad libitum yang dijepit pada jaring kawat. Tikus-tikus tersebut
diberikan pakan pelet sehari dua kali (pagi dan sore hari).
Tahap selanjutnya adalah tahap perkawinan. Tikus ini dikawinkan secara
alamiah dengan mencampurkan jantan dan betina dalam satu kandang.dengan rasio
perbandingan antara jantan dan betina 1:1. Setiap hari dilakukan pengamatan pada
tikus betina untuk melihat kebuntingan. Kebuntingan ini ditandai dengan
bertambahya bobot badan tikus dan melihat ada tidaknya spermatozoa yang
mengelilingi sel kornifikasi pada preparat ulas vagina dengan menggunakan
mikroskop perbesaran 40 kali. Keberadaan spermatozoa yang mengelilingi sel
kornifikasi mengindikasikan bahwa tikus betina telah dikawini dan tikus betina
biasanya langsung mengalami kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan
dari tikus jantan dan ditempatkan pada satu kandang dan selanjutnya masuk ke
tahap perlakuan (Baker et al.1980).
Tahap Perlakuan Hewan
Tahap awal perlakuan adalah tahap pengelompokkan 20 ekor tikus betina
bunting dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu 10 ekor tikus
betina bunting untuk kontrol diberikan air minum dan kelompok kedua yaitu 10
ekor tikus betina bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng secara oral
dengan menggunakan sonde lambung dosisnya 25 mg/ml untuk 300 g BB pada
tikus. Pemberian air tersebut bertujuan agar kedua kelompok tersebut mendapatkan
perlakuan yang sama, sehingga tingkat stress antara kedua kelompok sama.
Pemberian air dan ekstrak etanol purwoceng diberikan pada hari ke 13-21
kebuntingan dengan cara mencekok induk tikus bunting menggunakan sonde
lambung 1 kali sehari. Selanjutnya dipelihara hingga tikus-tikus tersebut
melahirkan. Anak-anak tikus yang dilahirkan selanjutnya diambil dari 8 ekor induk
yang melahirkan anak tikus berjumlah rata-rata 7-9 ekor dan rasio anak jantan dan
betina sama banyak. Masing-masing kelompok yaitu kelompok kontrol air dan
kelompok perlakuan ekstrak etanol akar purwoceng terdiri dari 4 ekor induk. Anakanak tikus jantan diambil untuk dilakukan pengamatan. Cara membedakan jenis
kelamin tikus dilihat dari jarak celah anogenital. Perbandingan jarak anogenital
6
tikus jantan dan tikus betina menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998) dapat dilihat
berdasarkan gambar berikut.
Gambar 3 Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina
Tahap Pengamatan Hewan Coba
Pengamatan dilakukan pada anak tikus yang berkelamin jantan dengan cara
mengukur panjang os occipital, os atlas sampai os sacrum, os scapula sampai os
phalanx, dan os femur sampai os phalanx. Jumlah anak yang diamati sebanyak 10
ekor. Pengukuran dilakukan pada hari pertama kelahiran anak sampai dengan hari
ke-49 dengan pengulangan satu kali dalam seminggu. Pengukuran dilakukan
dengan cara mengukur kepala dengan menggunakan rol meter ketelitian mm
(milimeter) dari huruf X sampai huruf Y, punggung mulai dari huruf q sampai huruf
z, kaki depan a1 sampai a2, dan kaki belakang b1 sampai b2 (Hrapkiewicz dan
Medina 1998). Tampilan pengukuran tulang anak tikus dapat dilihat pada gambar
4.
Gambar 4 Cara pengukuran perkembangan tulang anak tikus jantan (X = hidung;
Y = os occipital; Q = os atlas; Z = os sacrum; a1 = bagian proksimal
osscapula; a2 bagian distal jari kaki depan; b1 = bagian proksimal os
femur; b2 = bagian distal jari kaki belakang)
7
Prosedur Analisis Data
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku.
Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik dengan analisis sidik
ragam (ANOVA-Analysis of Variance) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel
dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan tulang tikus anak jantan dari induk yang diberi akar ekstrak
purwoceng dengan dosis 25 mg/ml untuk 300 g berat badan selama 13-21 hari
kebuntingan dapat dilihat pada Tabel 1. Parameter tulang yang diukur adalah os
occipital, os atlas sampai os sacrum, os scapula sampai os phalanx, dan os femur
sampai os phalanx.
Tabel 1 Rataan panjang tulang anak tikus jantan yang diberi ekstrak etanol
purwoceng selama 13-21 hari kebuntingan
Hari ke28
35
42
49
Kepala os occipital (cm)
P 2.10±0.08
2.98±0.3* 3.58±0.29 3.84±0.25 4.21±0.16 4.35±0.15 4.45±0.12
K 1.89±0.14
2.65±0.2* 3.25±0.24 3.89±0.08 4.11±0.08 4.22±0.09 4.44± 0.12
Punggung os atlas sampai os sacrum (cm)
P 3.81±0.4*
4.88±0.59 5.60±0.6* 6.88±0.3* 7.45±0.2* 7.83±0.14 8.73±0.1*
K 3.52±0.3*
4.38±0.27 5.31±0.1* 6.16±0.1* 6.70±0.2* 7.15±0.14 7.99±0.1*
Kaki Depan Kanan dan Kiri os scapula sampai os phalanx (cm)
P 2.03±0.28
2.49±0.28 3.05±0.1* 3.50±0.21 3.95±0.37 4.29±0.20 4.54± 0.24
K 1.85±0.25
2.41±0.15 3.16±0.1* 3.42±0.15 3.79±0.24 4.23±0.18 4.40± 0.13
Kaki Belakang Kanan dan Kiri os femur sampai os phalanx (cm)
P 1.59±0.10
2.79±0.27 3.49±0.1* 4.14±0.34 4.55±0.19 5.26±0.2* 5.49±0.2*
K 1.79±0.25
2.69±0.20 3.58±0.1* 3.81±0.17 4.33±0.30 4.63±0.1* 5.04±0.1*
*Signifikan pada taraf nyata 5% (P: Perlakuan ; K: Kontrol)
7
14
21
Hasil yang diperoleh pada Tabel 1 menyatakan bahwa secara umum tulang
anak tikus jantan yang berasal dari induk yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada
13-21 hari kebuntingan lebih panjang dari tulang anak tikus kontrol. Pertambahan
perkembangan tulang menunjukkan ada perbedaan sangat nyata pada os atlas
sampai os sacrum. Sementara pada perkembangan tulang yang lain seperti
perkembangan os occipital, .pengaruh pemberian ekstrak purwoceng berbeda nyata
pada hari ke-14, os scapula sampai os phalanx menunjukkan berbeda nyata pada
hari ke-21, sedangkan pada perkembangan os femur sampai os phalanx berbeda
nyata pada umur ke-21 hari, ke-42 hari dan umur ke-49 hari.
Berdasarkan hasil pengukuran selama penelitian diperoleh hasil bahwa anak
tikus jantan pasca kelahiran (hari ke-1) pada perlakuan purwoceng menunjukkan
perkembangan tulang os occipital, os atlas sampai os sacrum, os scapula sampai
os phalanx, dan os femur sampai os phalanx lebih panjang daripada kelompok
kontrol. Pengukuran panjang os occipital, os atlas sampai os sacrum, os scapula
sampai os phalanx, dan os femur sampai os phalanx selama 7 minggu pengamatan
8
diperoleh hasil perkembangan tulang anak tikus betina untuk purwoceng lebih
panjang dibandingkan kontrol. Pertumbuhan panjang tulang anak tikus jantan
setelah lahir mengalami peningkatan sejalan dengan aktivitasnya yang meningkat
seperti mencari makan, exercise, kawin, bunting, dan lain-lain (Sridianti 2014).
Pertumbuhan kaki belakang os femur sampai os phalanx pada anak tikus jantan
lebih panjang dibandingkan kaki depannya disebabkan oleh stimulasi mekanik
seperti latihan fisik selama masa pertumbuhan. Stimulus mekanis seperti latihan
fisik yaitu melompat, berdiri, berjalan dan lain-lain (Mahmudati 2009). Hal tersebut
yang menyebabkan ukuran panjang tulang kaki belakang anak tikus jantan lebih
panjang dibandingkan kaki depannya.
Purwoceng memiliki kandungan yaitu flavonoid dan steroid yang
merupakan prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi estrogen.
Jika dibandingkan keduanya, flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan
steroid, karena pada hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat,
sedangkan steroid positif lemah (Balitro 2011). Kosin (1992) melakukan penelitian
terhadap anak ayam jantan, hasilnya adalah efek androgenik ekstrak purwoceng
terhadap peningkatan pertumbuhan ukuran jengger. Nasihun (2009) telah
membuktikan bahwa pemberian ekstrak purwoceng pada tikus jantan
meningkatkan kadar testosteron karena di dalam purwoceng terdapat senyawa
steroid. Zat tersebut menjadi pemicu peningkatan hormon testosteron pada tikus.
Steroid merupakan prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi
estrogen. Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas androgenik dari ekstrak
akar purwoceng.
Biosintesis estrogen melibatkan hidroksilasi dari prekursor androgen yang
dimediasi oleh kompleks enzim aromatase (Favaro dan Cagnon 2007). Ekstrak
etanol akar purwoceng akan berpengaruh terhadap peningkatan kadar testosteron
pada pada anak tikus jantan. Dengan meningkatnya kadar testosteron pada sel
Leydig maka akan mempengaruhi pula peningkatan kadar estrogen. Estrogen
meningkatkan absorbsi kalsium dan inhibisi sintesis osteoklast. Tulang sebagai
jaringan keras dicirikan dengan kehadiran sel-sel osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
Pertumbuhan dan perkembangan tulang dikontrol oleh ketiga sel tersebut.
Osteoblas berkembang dari osteoprogenitor yang terdapat di bagian dalam
periosteum dan sumsum tulang. Osteoblas memiliki fungsi sebagai penghasil
matriks organik (yang terdiri atas protein kolagen dan nonkolagen) serta mengatur
proses mineralisasi (kalsium-fosfat) pembentuk osteoid. Osteoblas yang terbenam
didalam matriks tulang akan berubah menjadi sel osteosit. Osteosit akan tetap
terhubung oleh osteblas maupun osteosit yang lainnya (Monologas 2000). Osteoklas
merupakan sel dengan beberapa inti sel dan berkembang dari hematopoetic stem
cells serta memiliki fungsi dalam meresorpsi tulang (Orwoll 2003).Osifikasi adalah
sebuah proses pembentukan tulang. Pembentukan tulang dimulai dari
perkembangan jaringan penyambung seperti tulangrawan (kartilago) yang
berkembang menjadi tulang keras. Terdapat dua jenis proses pembentukan tulang,
yaitu: a. Osifikasi endokondral:pembentukan tulang dari tulang rawan, terjadi pada
tulang panjang; b. Osifikasi intramembranosus: pembentukan tulang dari mesenkim,
seperti tulang pipih pada tengkorak (Clarke 2008).
Reseptor androgen terdapat pada osteoblas dan mampu menstimulasi
proliferasi osteoblas dengan bantuan vitamin D. Androgen juga mempengaruhi
ekspresi molekul adhesif seperti fibronektin yang memfasilitasi ikatan sel-sel tulang
9
dengan matrik estraseluler. Hal tersebut merupakan syarat penting fungsi
osteoblastik. Androgen dapat meningkatkan massa tulang dari proses tersebut
(Nieschlag dan Behre 2004).
Estrogen dan sitokin adalah regulator penting untuk proses pembentukan
osteoclast. Estrogen dependent osteoclast cytokines meliputi Tumor Necoris Factor
(TNF-α) dan interleukin (IL-6) diturunkan oleh hormon estrogen (Li et al. 2009).
Estrogen menghambat proliferasi dan diferensiasi osteoclast precursor, yang secara
langsung dipengaruhi oleh keberadaan sitokin (Duhe 2003). Reseptor estrogen
terdapat pada osteoblast dan osteoclast. Kerja reseptor estrogen tersebut
diperantarai oleh sitokin, terutama oleh IL-1, IL-6, TNF-α, dan Granulocyte
Monosit-Colony Stimulating Factor (GM-CSF) (Hania 2008). Peningkatan
estrogen yang dihasilkan akan mempercepat pertumbuhan tulang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) pada hari ke
13-21 kebuntingan dapat memberikan peningkatan terhadap perkembangan os
occipital pada umur ke-14 hari, kaki os scapula sampai os phalanx menunjukkan
berbeda nyata pada umur ke-21 hari, sedangkan pada perkembangan tulang kaki
belakang os femur sampai os phalanx berbeda nyata pada umur ke-21 hari, ke-42
hari dan umur ke-49 hari.
Saran
Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng
(Pimpinella alpina) dengan dosis yang optimum dan dilakukan pada masa laktasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ajijah N, Darwati I, Yudiwanti, Roostika I. 2010. Pengaruh suhu inkubasi terhadap
pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molk.). J Litri. 16:56-63.
Anwar NS. 2001. Manfaat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya
untuk menjaga stamina. Makalah pada seminar setengah hari “Menguak
Manfaat herbal bagi Vitalitas Seksual”. Jakarta, 13 Oktober 2001. Hlm 8.
Balitro (Balai Penelitian Tanaman dan Aromatik). 2011. Hasil uji fitokimia dari
akar purwoceng. Bogor (ID): Laboratorium Balai Penelitian Tanaman dan
Aromatik.
Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The laboratory rat: Research
Application Vol 2. London (GB): Academic Pr Inc.
10
Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina terhadap sistem
reproduksi tikus [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Clarke B. 2008. Normal bone anatomy and physiology. Clin J Am Soc Nephrol.
3:S131-S139.
Darwati I, Roostika I. 2006. Status penelitian purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah. 12(1):6-7.
Duhe SA. 2003. Swimming versus Voluntary Running Exercise on Bone Health in
Ovariectomized Retired Breeder Rats. [internet]. [diacu 30 Juli 2015].
Tersedia
dari:
http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0626103161512/unrestricted/Duhe thesis.pdf.
Endjo D, Hernami. 2004. Gulma Berkhasiat . Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Favaro WJ, Cagnon VHA. 2007. Immunolocalization of androgen and oestrogen
reseptors in the ventral lobe of rats (Rattus norvegicus) prostate after longterm treatment with etanol and nicotine. Int. J. Androl. 31:609-618.
Fernandez I, Gracia MAA, Pingarron MC, Jerez LB. 2006. Physiological Bases of
Bone Begeneration II. The remodeling process. 11:151-157.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.
Guyton AC. 2000. Alih Bahasa Irawati. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta
(ID): EGC. 11: 1029-1041.
Hania HM. 2008. Occurrence of Osteoporosis Among Menopausal Women in Gaza
Strip [tesis]. Gaza: Islamic University.
Hill PA, Orth M. 1998. Bone remodelling. British Journal of Orthodontic.25:101107.
Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Cinical Laboratory Animal Medicine: An
Introduction. Iowa State University Press: State Avenue.
Kee JL, Hayes ER. 1994. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Anugerah
P, penerjemah; Asih Y, editor. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC.
Terjemahan dari: Pharmacology: A Nursing Process Aproach. Hlm 678.
Kosin AM. 1992. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar Pimpinella alpina
Molk. (Purwoceng) terhadap anak ayam jantan [skripsi]. Bogor (ID):
Universitas Pakuan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Jurusan Biologi.
Li N, Qin LP, Han T, Wu YB, Zhang QY, Zhang H. 2009. Inhibitory effects of
Morinda officinalis extract on bone loss in ovariectomized rats. Molecules 14:
2049- 2061.
Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan
Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor (ID): IPB Pr.
Mahmudati N. 2009. Activation estrogen receptor α extracelluler signal regulated
kinase (erk1/2) expression on osteoblast in influencing bone density in the
female young rat after exercise training. [disertasi]. Surabaya
(ID).Universitas Airlangga.
Monologas SC, Kousteni, Jilka. 2002. Sex steroid and bone. Recent in Hormon
Research. 57: 385–409.
Nasihun T. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina
Molk) terhadap Peningkatan Indikator Vitalitas Pria Studi Eksperimental
pada Tikus Jantan Sprague Dawley. J Sains Medika. Vol 1 (1):54-55.
11
Nieschlag E, Behre HM. 2004. Testosterone Action, Deficiency, Substitution. 3rd
Ed. Cambridge (GB): Univ Press. pp. 241-243.
Orwoll ES. 2003. Toward an expanded understanding of the role of the periosteum
in skeletal health. J. Bone Miner. Res. 18:949-954.
Raggatt JL, Nicola CP. 2010. Cellular and Molecular Mechanisms of Bone
Remodelling. J. Of Bio. Che. 285: 33.
Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2005. Ciri agronomis, mutu
dan lingkungan tumbuhan tanaman langka purwoceng (Pimpinella pruatjan
MOLK.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Indonesia XXVIII; Bogor,
15-16 September 2005.
Rahayu S, Sunarlim N. 2002. Konservasi tumbuhan langka purwoceng melalui
pertumbuhan minimal. Buletin Plasma Nutfah. 8(1):29-33.
Seibel MJ. 2005. Biochemical markers of bone turnover part I : biochemistry and
variability. Clin Biochem Rev. 26: 97-122.
Sridianti. 2014. Fungsi tulang manusia secara umum[internet]. [diacu 8 juni 2015].
Tersedia dari: http://www.sridianti.com/fungsi-tulang-manusia-secaraumum.html. Vol (edisi):lokasi. Tulang.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Pr.
Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, penerjemah.
Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and
Procedures of Statistics.
Tangalayuk RR, I Nyoman S, dan Iwan HU. 2015. Kadar Kalsium dan Fosfor Pada
Tulang Tikus Betina Normal. J.Vet 12(3): 229-234.
Tocang. 2010. Agen tikus putih[internet]. [diacu 10 Maret 2015]. Tersedia dari:
http://tocang.blogspot.com/2010/07/agen-tikus-putih.html.
Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetricts and
Gynecology. J. Dairy Sci. Vol 44 (4): 836-42.
Weihe WH. 1989. The Laboratory Rat. In the UFAW Hand Book on the Care and
Management of laboratory Animals 6th. TB Poole, Robinson,
editor.Terjemahan dari: Longman Scientific & Technical. England (GB):
Bath Pr.
Yuliati, Sari GM, Setyawan S, Hendromartana S, 2007. Pemberian Tambahan
Kalsium Pada Masa Pertumbuhan Terhadap Tebal Tulang kortikal dan
Trabekula. Majalah Ilmu Faal. 6(3): 169-172.
Zhaahir M. 2014. Tampilan Anak Tikus Jantan (Rattus novergicus) dari Induk yang
Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 Hari
Kebuntingan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
12
LAMPIRAN
The SAS System 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class
Levels
Values
perlakuan
2
Pk
hari
1
H1
Number of Observations Read
Number of Observations Used
16
16
The SAS System 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
Squares
Source
DF
Model
1
0.33062500
0.33062500
Error
14
2.20375000
0.15741071
Corrected Total
15
Mean Square
F Value Pr > F
2.10
0.1693
2.53437500
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.130456
10.81432
0.396750
3.668750
Source
perlakuan
hari
perlakuan*hari
Source
perlakuan
hari
perlakuan*hari
DF
1
0
DF
1
0
Type I SS
Mean Square
F Value Pr > F
0.33062500
0.33062500
2.10
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
Type III SS
Mean Square
0.1693
F Value Pr > F
0.33062500
0.33062500
2.10
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
0.1693
13
The SAS System 3
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
14
Error Mean Square
0.157411
Number of Means
2
Critical Range
.4255
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
A
A
A
3.8125
8
Purwoceng
3.5250
8
Kontrol
perlakuan
The SAS System 4
The GLM Procedure
------------respon----------Mean
Std Dev
Level of
hari
N
H1
N
16
3.66875000
0.41104542
The SAS System 5
The GLM Procedure
Class Level Information
Class
perlakuan
hari
Levels
Values
2 Perlakuan Kontrol
1 H7
Number of Observations Read
Number of Observations Used
The SAS System 6
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
16
16
14
Source
Model
Error
Corrected Total
DF
1
14
15
Sum of
Squares Mean Square F Value Pr > F
1.00000000
1.00000000
4.81 0.0457
2.91000000
0.20785714
3.91000000
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.255754
9.857590
0.455914
4.625000
Source
DF
perlakuan
hari
perlakuan*hari
Source
1
0
DF
perlakuan
hari
perlakuan*hari
1
0
Type I SS
Mean Square
F Value Pr > F
1.00000000
1.00000000
4.81
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
Type III SS
Mean Square
0.0457
F Value Pr > F
1.00000000
1.00000000
4.81
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
0.0457
The SAS System 7
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
14
Error Mean Square
0.207857
Number of Means
2
Critical Range
.4889
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
A
B
4.8750
4.3750
Mean
N
perlakuan
8 Purwoceng
8 Kontrol
15
The SAS System 8
The GLM Procedure
Level of
hari
N
H7
16
------------respon----------Mean
Std Dev
4.62500000
0.51055525
16
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan Provinsi Jawa
Tengah pada tanggal 3 Juni 1993 sebagai anak ke dua dari dua bersaudara pasangan
H. Sukardjo dan Hj. Nuril Mubarokh. Pendidikan SD 1 Negeri Penganten , SMP 1
Negeri Purwodadi , dan SMA 1 Negeri Purwodadi. Penulis lulus dari SMA 1 Negeri
Purwodadi pada tahun 2011. Penulis masuk IPB melalui jalur SNMPTN undangan
dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2011. Penulis pernah
menjadi wakil RT di Asrama Tingkat Persiapan Bersama IPB gedung A4 lorong
2A dan menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan (IMAKAHI) di
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selain itu, penulis pernah juga menjadi bagian
dari Himpunan Profesi Satwaliar sebagai bendahara eksternal selama menjadi
mahasiswa FKH-IPB.