Uji daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid smabiloto (Andrographis paniculata [Burm, F] Ness) dan temu putih (Curcuma zedoaria Roscoe) terhadap aktivitas tirosin kinase secara in vitro
UJI DAYA INHIBISI EKSTRAK KASAR FLAVONOID
SAMBILOTO (Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) DAN
TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria Roscoe) TERHADAP
AKTIVITAS TIROSIN KINASE SECARA IN VITRO
TRI RAHAYU
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK
TRI RAHAYU. Perbandingan daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid sambiloto
(Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) dan temu putih (Curcuma zedoaria Roscoe)
terhadap aktivitas tirosin kinase secara in vitro. Dibimbing oleh GUSTINI SYAHBIRIN
dan DYAH ISWANTINI PRADONO.
Tirosin kinase mempunyai peran penting dalam perkembangan sel kanker. Senyawa
yang dapat menjadi inhibitor spesifik tirosin kinase merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk mencari obat antikanker. Senyawa flavonoid berpotensi menghambat
aktivitas tirosin kinase. Berdasarkan uji fitokimia, tanaman sambiloto (A. paniculata
[Burm. F] Ness) dan rimpang temu putih (C. zedoaria Roscoe) mengandung senyawa
flavonoid.
Tanaman sambiloto dan rimpang temu putih diekstraksi dengan metode maserasi. Jenis
pelarut dan nisbah perbandingan mengikuti metode maserasi Markham (1988). Ekstraksi
menggunakan pelarut metanol-air dengan nisbah 9:1 dan 1:1. Setelah itu, dipartisi dengan
pelarut heksana dan kloroform. Rendemen ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan rimpang
temu putih masing-masing sebesar 16,90% dan 19,81%. Selanjutnya, uji toksisitas larva
udang dan penentuan total fenol dilakukan. Daya inhibisi ekstrak kasar sambiloto
konsentrasi 300 ppm terhadap tirosin kinase adalah sebesar 67,19% atau lebih besar dari
kontrol positif (genistein), yaitu sebesar 6,71%. Daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid
rimpang temu putih terhadap tirosin kinase konsentrasi 300 ppm dan 700 ppm masingmasing sebesar 2,83% dan 27,49% atau lebih tinggi dibandingkan genistein. Daya hambat
ekstrak kasar sambiloto terhadap tirosin kinase cukup tinggi sehingga dapat berpotensi
sebagai obat antikanker, sedangkan daya hambat ekstrak kasar flavonoid temu putih lebih
rendah.
ABSTRACT
TRI RAHAYU. In vitro inhibition capacity comparison of sambiloto
(Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) and temu putih (Curcuma zedoaria [Berg]
Roscoe) flavonoid crude extracts to tyrosine kinase activity in vitro. Supervised by
GUSTINI SYAHBIRIN and DYAH ISWANTINI PRADONO.
Tyrosine kinase has an important role in cancer cell development. Screening of
compounds that can be tyrosine kinase specific inhibitors is one of methods that are
useful to search new anticancer medicines. Flavonoid compounds are potential to inhibit
tyrosine kinase activity. Based on phytochemistry test, plants of sambiloto and temu
putih’s rhizome comprised of flavonoid compounds.
Both samples were extracted with maceration method. Flavonoid crude extract of
these two plants was obtained using Markham’s method. These extractions were using
methanol-water solvents with ratios of 9:1 and 1:1. After that, the filtrate partitioned with
hexane and chloroform solvents. Flavonoid crude extract yield of sambiloto’s plants and
temu putih’s rhizomes were 16.90% and 19.81%, respectively. Both flavonoid crude
extracts were and then tested with brine shrimp lethality test and the total phenol was
determined as well. Inhibition capacity of sambiloto’s flavonoid crude extract toward
tyrosine kinase was 67.19% or bigger than positive control (genistein), which was 6.71%
at 300 ppm. Correspond with that result, inhibition capacities of 300 and 700 ppm temu
putih’s flavonoid crude extract were 2.83% and 27.49%, respectively. Inhibition capacity
of sambiloto’s flavonoid crude extract toward tyrosine kinase is quite high so that it can
be a potential anticancer medicine, whereas the inhibition capacity of temu putih’s
flavonoid crude extract was lower.
Judul : Uji Daya Inhibisi Ekstrak Kasar Flavonoid Sambiloto (Andrographis
paniculata [Burm. F] Ness) dan Temu Putih (Curcuma zeodaria Roscoe)
Terhadap Aktivitas Tirosin Kinase secara In Vitro.
Nama : Tri Rahayu
NIM : G44201069
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dra. Gustini Syahbirin, MS
NIP 131 842 414
Dr. Dyah Iswantini Pradono, M.Agr
NIP: 131 956 706
Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono MS
NIP. 131 473 999
Tanggal Lulus:
UJI DAYA INHIBISI EKSTRAK KASAR FLAVONOID
SAMBILOTO (Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) DAN
TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria Roscoe) TERHADAP
AKTIVITAS TIROSIN KINASE SECARA IN VITRO
TRI RAHAYU
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1982 sebagai anak ketiga
dari tiga bersaudara, dari pasangan Sukirman dan Warsi.
Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri 05 Pagi Jakarta pada tahun
1989-1994, lalu dilanjutkan di SMP Negeri 254 Jakarta pada tahun 1994-1997. Pada
tahun 1997-2000, penulis menyelesaikan studi tingkat menengah di SMU Negeri 38, dan
pada akhirnya diterima di Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001
melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Kimia IPB (Himasika) pada tahun 2002/2003. Penulis juga aktif
menjadi asisten di berbagai mata kuliah, di antaranya asisten pratikum Kimia Dasar I dan
II, asisten Kimia Organik I, asisten Kimia Organik TPB, dan asisten Kimia Bahan Alam
untuk mahasiswa D3 Analisis Kimia. Penulis pun pernah melakukan praktik kerja
lapangan di Laboratorium Kimia Uji Pupuk dan Semen, BPMBEI, Deperindag, Jakarta
Timur dari bulan Juli sampai Agustus 2004.
PRAKATA
Alhamdulillahirobbilalamiin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang
maha pengasih lagi penyayang atas berkah dan rahmat-NYA lah karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai Desember 2005, di
Laboratorium Kimia Organik, FMIPA IPB. Tema yang dipilih adalah Uji Daya Inhibisi
Ekstrak Kasar Flavonoid Sambiloto (Andrographis paniculata [Burmf F] Ness) dan
Temu Putih (Curcuma zedoaria [Berg] Roscoe) Terhadap Aktivitas Tirosin Kinase
Secara In Vitro.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dra. Gustini Syahbirin, M.S. dan Dr. Dyah
Iswantini Pradono, M.Agr., selaku pembimbing serta pemberi dana A2. Terima kasih
juga penulis ucapkan kepada Prof. Suminar Achmadi, M.Sc., Drs. M. Farid, dan Budi
Arifin S,Si., Ema Hendryani S,Si., yang banyak memberi saran dan arahan. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, kedua Kakanda-ku, seluruh staf
dan laboran Kimia Organik, Pusat Studi Satwa Primata terutama Pak Uus, teman-teman
Kimia 38 khususnya ‘keluarga Cinte’, Mexindo crew, atas persahabatan, perhatian, ilmu,
semangat yang diberikan serta kebersamaan yang indah dan seluruh pihak yang telah
memberikan dukungan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini berguna dan bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
Tri Rahayu
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...........................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................xi
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Sambiloto ........................................................................................................... 1
Temu putih ......................................................................................................... 3
Flavonoid .......................................................................................................... 3
Kanker ............................................................................................................... 4
Artemia salina Leach ......................................................................................... 4
Tirosin kinase ........... ......................................................................................... 5
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat .................................................................................................. 5
Metode Penelitian ............................................................................................. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air .......................................................................................................... 7
Rendemen Ekstrak Kasar Flavonoid ................................................................... 8
Penapisan Fitokimia ........................................................................................... 9
Penentuan Total Fenol ....................................................................................... 10
Uji Toksisitas Terhadap Larva Udang ............................................................... 11
Daya Inhibisi Ekstrak Kasar Flavonoid Sambiloto Dan Temu Putih
Terhadap Tirosin Kinase .................................................................................... 11
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 14
LAMPIRAN ................................................................................................................... 17
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Kadar air tanaman sambiloto dan rimpang temu putih.............................................. 8
2
Rendemen ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan temu putih .................................. 9
3
Penapisan fitokimia tanaman segar, kering dan ekstrak ........................................... 9
4
Hasil uji total fenol ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan temu putih .................... 10
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman
Tanaman sambiloto ................................................................................................. 2
2
Struktur senyawa terpen pada sambiloto .................................................................. 2
3
Struktur senyawa andrografidin A, B, dan C pada sambiloto ................................... 2
4
Struktur senyawa andrografidin D, E, dan F pada sambiloto .................................... 2
5
Struktur
senyawa
andrografidin
Struktur
senyawa
5-hidroksi-7,8
dimetoksiflavanon, 5-hidroksi-3,7,8,2’-tetrametoksiflavon, dan 5- hidroksi-7,8dimetoksiflavon. pada sambiloto ............................................................................... 2
6
Tanaman dan rimpang temu putih ............................................................................. 3
7
Struktur bisdemetoksikurkumin, kurkumin, dan demetoksikurkumin ...................... 3
8
Struktur germakron, zederon, kurkumrnol, dan kurkumol rimpang temu putih ....... 3
9
Tiga struktur dasar flavonoid .................................................................................... 4
10 Struktur genistein ..................................................................................................... 4
11 Nilai LC50 ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan temu putih .................................. 11
12 Absorbansi uji inhibisi ekstrak kasar flavonoid sambiloto, temu putih, dan
genistein terhadap enzim PTK .................................................................................. 12
13 Daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan flavonoid, genistein pada
konsentrasi 300 ppm ................................................................................................. 12
14 Daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid temu putih dan genistein pada
konsentrasi 700 ppm ................................................................................................. 13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Determinasi tanaman sambiloto ......................................................................... 18
2. Determinasi tanaman temu putih ........................................................................ 19
3. Metode pembuatan pereaksi uji fitokimia........................................................... 20
4. Penentuan kadar air tanaman sambiloto dan temu putih..................................... 21
5. Diagram alir ekstrak kasar flavonoid .................................................................. 22
6. Bagan alir pengujian ekstrak kasar flavonoid tanaman sambiloto dan temu
putih .................................................................................................................... 22
7. Rendemen ekstrak kasar flavonoid tanaman sambiloto dan temu putih ............. 23
8. Hasil uji hayati larva udang ekstrak kasar flavonoid sambiloto ......................... 23
9. Hasil uji hayati larva udang ekstrak kasar flavonoid temu putih ........................ 24
10. Uji daya inhibisi ekstrak kasar tanaman terhadap enzim tirosin kinase.............. 25
1
PENDAHULUAN
Secara geografis Indonesia terletak di
daerah tropis dan menyimpan sumber daya
alam yang beraneka ragam. Salah satunya
adalah variasi pada berbagai jenis flora yang
dimanfaatkan secara turun-temurun sebagai
tanaman obat. Pada saat ini masyarakat
cenderung menggunakan obat tradisional
daripada obat sintetik. Fenomena ini lebih
dikenal sebagai terapi back to nature. Hal ini
tidak lepas dari upaya mencari solusi
pengobatan yang lebih murah, aman, dan
efektif.
Penyakit kanker merupakan salah satu
jenis penyakit yang mematikan, dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Teknik
pengobatan
penyakit
kanker
meliputi
radioterapi, kemoterapi, imunoterapi, terapi
gen, dan pembedahan. Namun teknik tersebut
memerlukan biaya yang sangat besar dan
menimbulkan efek samping seperti mual,
pusing,
diare,
terjadinya
malnutrisi,
pengurangan sel darah putih, serta kebotakan
(Hariani, Hukom, Simadibrata; 2004).
Tanaman yang berpotensi mencegah
maupun mengobati penyebaran sel kanker
antara
lain
sambiloto
(Andrographis
paniculata [Burm. F] Ness) dan temu putih
(Curcuma zedoaria [Berg] Roscoe). American
Institute Cancer Medical Herbs, melaporkan
bahwa temu putih mengandung ribosome
inacting protein (RIP) yang berfungsi sebagai
antikanker, antioksidan, dan antiperadangan.
Selain itu temu putih ternyata dapat
menyembuhkan kanker serviks, meningkatkan
khasiat radioterapi, dan kemoterapi guna
membunuh sel kanker (Dalimartha 1999).
Penelitian yang telah dilakukan oleh
Sukardiman et al. (2001) melaporkan bahwa
ekstrak
metanol
tanaman
sambiloto
mempunyai efek sitotoksik terhadap kultur sel
kanker leukemia. Selain itu, kandungan
senyawa aktif tanaman A. paniculata Ness
yang berfungsi sebagai antikanker telah
dipatenkan oleh US. patent nomor 6,486,196
(Nanduri et al. 2002); dan 6,410,590. Namun
paten tersebut menggunakan sel kanker untuk
mengetahui keaktifan senyawa aktif herbal
sambiloto. Sementara itu, penelitian ini
menggunakan uji inhibisi ekstrak kasar
flavonoid tanaman sambiloto dan rimpang
temu putih terhadap aktivitas tirosin kinase
secara in vitro.
Tirosin kinase merupakan enzim yang
berperan dalam sinyal transduksi sel.
Aktivitas tirosin kinase sebagai reseptor faktor
pertumbuhan dan produk protein onkogen
sangat penting bagi perbanyakan sel. Inhibitor
spesifik tirosin kinase merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk mencari obat
antikanker (Matter 2002). Genistein dan
daidzen adalah contoh inhibitor alami tirosin
kinase (Challem 2002; Rood 1998)
Genistein merupakan senyawa isoflavon
pada biji kedelai. Menurut Dixon dan Ferreira
(2005), genistein mampu menghambat
aktivitas
sel
kanker
(kemoprotektan),
mengobati penyakit kardiovaskular, serta
memiliki aktivitas fitoestrogen. Selain itu,
genistein mampu memerangkap radikal bebas
molekul oksigen sehingga menghambat
pembentukan anion superoksida dari xantin
oksidase (Wei et al. 1995).
Penelitian ini bertujuan menguji daya
inhibisi ekstrak kasar flavonoid tanaman
sambiloto (A. paniculata [Burm. F] Ness) dan
rimpang temu putih (C. zedoaria Roscoe)
terhadap aktivitas tirosin kinase secara in
vitro. Selain itu, dilakukan uji fitokimia, total
fenol dan nilai LC50 (Lampiran 3) kedua
tanaman tersebut.
Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak
kasar flavonoid tanaman sambiloto (A.
paniculata [Burm. F] Ness) dan rimpang temu
putih (C. zedoaria Roscoe) mampu
menghambat aktivitas tirosin kinase secara in
vitro. Tujuan akhir penelitian ini, diharapkan
dapat memberikan informasi dan wawasan
ilmiah tentang potensi ekstrak kasar flavonoid
kedua tanaman tersebut sebagai obat
antikanker.
TINJAUAN PUSTAKA
Sambiloto
Deskripsi Tanaman
Sambiloto atau A. paniculata [Burm. F]
Ness (Lampiran 1) merupakan tanaman yang
sudah tak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia. Walaupun bukan tanaman asli
Indonesia,
masyarakat Indonesia telah
mengenal dan memanfaatkannya sejak 150
tahun yang lalu. Spesimen sambiloto tertua
yang pernah dicatat di Herbarium Bogoriensis
ditemukan pada tahun 1893 di tepian sungai
Ciliwung daerah Bogor, Jawa Barat.
Dalimartha (2000) menyebutkan beberapa
nama dari tanaman sambiloto di antaranya
adalah Justicia paniculata Burm, J. latebrosa
Russ, J. stricta Lamk (sinonim); pepaitan
(Sumatera Barat), sadilata, andiloto (Jawa
Tengah), ki oray (Sunda), ki pait, dan bidara.
Selain itu, sambiloto mempunyai beberapa
nama asing seperti chuan xin liang (Cina),
cong cong (Vietnam), dan kalmegh (India).
2
Taksonomi
Klasifikasi tanaman sambiloto adalah
sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Acanthaceae
Marga
: Andrographis
Jenis
: Andrographis paniculata
[Burm. F] Ness
Morfologi
Tanaman sambiloto (Gambar 1), tergolong
herba yang tumbuh liar di tempat terbuka
dengan ketinggian 1–700 m dpl, seperti
kebun, ataupun tepi sungai. Sambiloto tumbuh
tegak, tingginya 50–90 cm, dengan batang
cabang berbentuk segi empat. Daun tunggal,
bertangkai pendek, panjang sekitar 1–3 cm,
ujung serta pangkalnya runcing. Bentuk
bijinya berbentuk pipih, berwarna coklat, dan
pangkal ujungnya tajam. Bila biji masak akan
pecah membujur menjadi empat keping.
Tanaman sambiloto mudah diperbanyak
dengan biji (WHO 1999).
ditemukan
beberapa turunan glikosida
diterpena yang dinamai neoandrografolida.
Masih banyak pula senyawa minor lain
dengan kandungan tidak lebih dari 1%.
Gambar 2 Struktur senyawa terpen sambiloto.
Senyawa yang telah berhasil diisolasi dari
akar sambiloto antara lain senyawa glikosida
flavanon (andrografidin A) dan glikosida
flavon seperti andrografidin B, C (Gambar 3),
D, E, dan F (Gambar 4) (WHO1999).
Beberapa senyawa flavonoid lain yang juga
telah berhasil diisolasi dari akar sambiloto
antara lain 5-hidroksi-7,8 dimetoksiflavanon,
5-hidroksi-3,7,8,2’-tetrametoksiflavon dan 5hidroksi-7,8-dimetoksiflavon (Gambar 5).
OCH3
H3CO
OCH3
O
O
H3CO
OCH3
O
O H3CO
OH
CH2OH
O
O
OH
OH
OH
CH2OH
OH O
O
Andrografidin B
Andrografidin A
OH
OH
CH2OH
O
O
OH O
Andrografidin C
OH
OH
OH
Gambar 3 Struktur andrografidin A, B, dan C.
Gambar 1 Tanaman sambiloto.
OCH3
H3CO
OCH3
Kandungan senyawa kimia
Penelitian mengenai senyawa aktif
sambiloto pertama kali dilakukan oleh
Boorsman. Pada tahun 1897, ia berhasil
mengisolasi kristal tidak berwarna, yang
berasa pahit, dan dinamai andrografida.
Andrografida diekstraksi dengan pelarut air
dari berbagai bagian tanaman A. paniculata
Ness. Tahun 1910, Gorter melakukan
ekstraksi dengan pelarut etanol 95% sehingga
berhasil mengisolasi senyawa berumus
molekul C20H30O5 lalu disebut andrografolida
(Gambar 2). Setelah itu semakin banyak
ditemukan senyawa aktif dari sambiloto
misalnya neoandrografolida, andrografisida,
dan
andropanosida.
Sama
seperti
andrografolida ketiganya tergolong diterpen
lakton (Anonim 2005).
Turunan oksigen dari senyawa-senyawa
diatas juga terdapat pada sambiloto seperti
deoksiandrografolida, deoksipanikolin, mono
o-metilwitin,
apigenin-7’-4-dimetileter,
dideoksiandrografolida (andrografonin) dan
deoksiandrografosida. Selain itu, telah pula
OCH3
OCH3
H3CO
OCH3
O
H3CO
O
H3CO
OCH3
CH2OH
O
CH2OH
O
OH O
Andrografidin E
Andrografidin D OH
OH
OH
OH
OH
O
CH2OH
O
O
OH O
O
OH O
H3CO
O
Andrografidin F
OH
OH
Gambar 4 Struktur andrografidin D, E dan F.
OCH3
H3CO
9
6
5
10
1 2
4
4'
6' 5'
OCH3
H3CO
2' 3'
1'
O
8
7
OCH3
H3CO
H3CO
O
O
3
OCH3
OH O
OH O
OH O
5-hidroksi-7, 8-dimetoksiflavon 5-hidroksi-3, 7, 8, 2' -tetrametoksiflavon 5-hidroksi-7,8-dimetoksiflavon
Gambar 5 Struktur senyawa 5-hidroksi-7,8
dimetoksiflavanon,
5-hidroksi3,7,8,2’-tetrametoksiflavon, dan 5hidroksi-7,8-dimetoksiflavon.
Efek Farmakologi
Tanaman sambiloto telah digunakan
selama berabad-abad untuk penawar racun
bisa ular, pengobatan infeksi saluran
pernapasan, meningkatkan kekebalan tubuh,
dan menurunkan panas (Flach & Rumawas
1996. Winarto (2003) dalam bukunya
mengutarakan beberapa manfaat tanaman
sambiloto lainnya, yaitu sebagai antibakteri,
3
antioksidan, antitumor, antiperadangan, obat
diabetes, hipertensi dan diare.
Temu Putih
Deskripsi Tanaman
Temu putih (C. zedoaria Roscoe)
merupakan tanaman obat yang dibudidayakan
dibeberapa negara di Asia Tenggara, seperti
Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Di
Indonesia, C. zedoaria Roscoe (Lampiran 2)
ditemukan di berbagai daerah Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Beberapa sinonim nama ilmiah
temu putih antara lain Amomum zedoaria
Christmann (1779), A. latifolium Lamk
(1783), dan Curcuma zerumbet Roxb (1810).
Taksonomi
Klasifikasi tanaman temu putih adalah
sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub-Divisi : Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Jenis
: Curcuma zedoaria [Berg]
Roscoe
Morfologi
Temu putih merupakan tanaman semak,
tingginya sekitar 1–3 meter dengan batang
semu dan berwarna hijau. Di dalam tanah
membentuk rimpang (Gambar 6). Daun
berjenis tunggal, bentuk lonjong dengan ujung
meruncing, pangkal tumpul, berbulu halus,
warna hijau bergaris ungu. Bunganya adalah
bunga majemuk, berbentuk tabung, mahkota
lonjong, dan berwarna putih. (Syukur &
Hernani 2001). Di Indonesia, temu putih
ditemukan sebagai tanaman liar. Tumbuh
pada lahan yang kurang subur dengan
ketinggian sekitar 1000 m dpl (Heyne 1987).
Gambar 6 Tanaman dan rimpang Curcuma
zedoaria Roscoe.
Kandungan senyawa kimia
Rimpang segar temu putih mengandung
air 70%, pati 12%, dan zat lain 18%. Syu et
al. (1998) berhasil mengisolasi senyawa
bioaktif seperti kurkumin, demetoksikurkumi
dan bisdemetoksikurkumin (Gambar 7).
Kandungan zat lain diantaranya senyawa
kimia jenis seskuiterpen. Contoh senyawa
seskuiterpen antara lain germakron, zederon,
kurkumenol, dan kurkumol (Gambar 8).
H
O
O
1. R1 = R2 = OCH3
2. R1 = H, R2 = OCH3
3. R1 = R2 = H
HO
R1
OH
R2
Gambar 7 Struktur bisdemetoksikurkumin,
kurkumin, dan
demetoksikurkumin.
O
O
O
germakron
zederon
H
OH
O
kurkumenol
O
OH
kurkumol
Gambar 8 Struktur germakron, zederon,
kurkumrnol, dan kurkumol.
Efek Farmakologi
Rimpang temu putih berkhasiat sebagai
antiflogostik, kholeretik, stomakik, antipiretik
dan pelega perut (Soedibyo M 1995). Secara
empiris, rimpang temu putih digunakan
sebagai antiperadangan (Utami 2000; Iswari
1998), antioksidan (Chyau et al. 2002),
antikanker, dan melancarkan sirkulasi darah.
Beberapa penelitian telah melaporkan
beberapa khasiat ekstrak C. zedoaria Roscoe.
Seperti penelitian Jang et al. (2001) yang
menyatakan bahwa ekstrak kasar metanol
rimpang temu putih dilaporkan mampu
menghambat faktor nekrosis tumor-alfa (TNFalfa). Menurut Iswantini et al. (2003),
rimpang temu putih mengandung senyawa
terpenoid, alkaloid, dan flavonoid yang
berpotensi sebagai antikanker. Selain itu,
fraksi 15 (eluen kloroform:etil asetat nisbah
7:3) ekstrak kasar flavonoid mempunyai daya
hambat terhadap tirosin kinase sebesar 93,4%.
Flavonoid
Flavonoid merupakan suatu golongan dari
fenolik yang dicirikan dengan struktur dasar
C6-C3-C6, artinya kerangka karbonnya terdiri
dari dua gugus C6 (cincin benzena
4
tersubstitusi) dihubungkan dengan rantai
alifatik tiga karbon (Robinson 1993). Terdapat
tiga jenis struktur flavonoid (Gambar 9), yaitu
1,3-diarilpropana atau flavonoid, 1,2diarilpropana atau isoflavonoid, dan 1,1diarilpropana atau neoflavonoid. Flavonoid
alam ditemukan dalam bentuk flavonoid-Oglikosida, yaitu suatu kombinasi antara gula
dan gugus flavonoid. Gula dapat terikat
langsung pada inti benzena flavonoid dengan
suatu ikatan karbon-oksigen.
Flavonoid
Neoflavonoid
Isoflavonoid
Gambar 9 Tiga struktur dasar flavonoid.
Chen & Han (2000) mengungkapkan
bahwa flavonoid pada tanaman, seperti teh,
dapat berpotensi menghambat pertumbuhan
sel kanker. Senyawa flavonoid jenis
isoflavonoid dilaporkan memiliki aktivitas
antimikrob dan digunakan oleh tanaman untuk
melawan penyakit. Salah satu jenis
isoflavonoid yang diketahui berfungsi sebagai
antimikrob
adalah
genistein
(4',5,7trihidroksiisoflavon). Selain itu, genistein
(Gambar 10) mampu menghambat kerja
tirosin kinase dan DNA topoimerase.
Genistein dapat menghalangi fosforilasi
tirosin termediasi-EGF di dalam sel karsinoma
epidermal manusia.
Gambar 10 Struktur genistein.
Kanker
Kanker merupakan penyakit sel yang
disebabkan karena penurunan atau kehilangan
daya pengendalian sel normal. Menurut
Schunack et al. (1990) sel kanker memiliki
beberapa sifat umum, yaitu pertumbuhan
berlebihan (umumnya berbentuk tumor),
gangguan diferensiasi sel dan jaringan. Selain
itu, sel kanker bersifat invasif atau mampu
tumbuh dijaringan sekitarnya dan dapat pula
menyebar ketempat lain, sehingga dapat
menyebabkan pertumbuhan baru. Sel kanker
memiliki hereditas bawaan. Hereditas bawaan,
yaitu turunan sel kanker dapat mengakibatkan
kanker. Siswandono & Soekardjo (1995)
berpendapat
bahwa
tumor
yang
membahayakan atau tumor ganas disebut
kanker.
Karakter sel kanker berbeda dengan
jaringan sel normal, contohnya seperti pada
sistem enzim. Pada umumnya sel kanker
memiliki keragaman jenis enzim yang lebih
sedikit dibandingkan dengan sel normal.
Namun pada sel kanker jenis enzim
pertumbuhan,
seperti
tirosin
kinase,
jumlahnya lebih besar.
Beberapa cara untuk mengatasi penyakit
kanker dapat diobati dengan berbagai cara,
seperti operasi atau pembedahan, terapi
radiasi,
dan
kemoterapi.
Kemoterapi
merupakan
cara
pengobatan
dengan
menggunakan obat antikanker. Antikanker
diharapkan memiliki toksisitas selektif,
artinya menghancurkan sel kanker tanpa
merusak sel jaringan normal. Antikanker
dapat diperoleh dari senyawa metabolit
sekunder suatu tanaman yang relatif aman
bagi tubuh manusia. Senyawa metabolit
sekunder yang telah terbukti sebagai
antikanker antara lain alkaloid, kukurbitasin,
diterpenoid, flavonoid, dan lignan.
Uji Toksisitas Terhadap Larva Udang
(Artemia salina Leach)
Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan
untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu
senyawa. Prinsip uji toksisitas adalah
komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika
diberikan pada dosis yang tinggi dan obat
ialah racun dari suatu bahan bioaktif dosis
rendah (Hamburger & Hostettmann 1991).
Meyer et al. (1982), memperkenalkan suatu
metode uji toksisitas terhadap larva A. salina
Leach (brine shrimp lethality test (BSTL)).
BSLT digunakan sebagai metode untuk
memantau adanya aktivitas farmakologik
(termasuk antikanker) dari suatu ekstrak
tanaman. Metode ini telah digunakan oleh
Lembaga Kanker Nasional Indonesia dalam
menapis komponen antineoplastik dari
berbagai jenis tanaman.
Uji dilakukan untuk mengamati tingkat
kematian larva A. salina Leach yang
disebabkan oleh ekstrak kasar tanaman.
Tingkat kematian atau mortalitas, selanjutnya
dianalisis menggunakan analisis probit ntuk
(lethal
menentukan
konsentrasi
LC50
concentration 50%, yaitu konsentrasi yang
menyebabkan kematian populasi larva A.
salina Leach sebesar 50% dari populasi total).
5
Senyawa yang mempunyai nilai LC50 lebih
kecil dari 1000 ppm dikatakan memiliki
potensi bioaktivitas (Meyer et al. 1982).
BSLT memiliki kelebihan, antara lain
biaya relatif murah, sederhana, cepat, praktis,
tidak memerlukan teknik perawatan khusus,
jumlah sampel yang digunakan relatif sedikit,
dan tidak memerlukan serum hewan. Selain
itu, hasil uji berkorelasi baik dengan beberapa
metode uji sitotoksik (Meyer et al. 1982).
siklooksigenase khususnya siklooksigenase II
dan DNA topoisomerase II. Efek analgesik
dan antiperadangan topoisomerase DNA
digunakan sebagai target utama dalam
penemuan
obat
antikanker.
Inhibitor
topoisomerase umumnya memiliki efek
stabilisasi lanjutan dari reaksi kovalen
topoisomerase, sehingga terlibat dalam
pembelahan DNA serta penghancuran sel
kanker (Sismindari 2003).
Tirosin Kinase
BAHAN DAN METODE
Tirosin kinase merupakan enzim yang
mengkatalisis transfer gugus fosforil dari ATP
ke tirosin pada substrat protein sehingga akan
mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi
substrat (Voller et al. 1986). Tirosin kinase
dikenal juga dengan tirosil protein kinase
(Mahlmann
2000).
Protein
kinase
dikelompokkan menjadi (1) protein kinase
serin dan treonin, serta (2) protein kinase yang
memfosforilasi jenis spesifik residu tirosin.
Akseptor dalam reaksi fosforilasi protein
terjadi dalam sel ketika jumlah ATP
berlimpah. Pada reaksi fosforilasi, gugus
fosforil terminal (gama) milik ATP
dipindahkan oleh protein kinase ke gugus
serin, treonin, atau tirosin. Enzim tersebut
mengatalisis transfer gugus fosforil dari ATP
ke tirosin pada suatu substrat protein yang
berakibat berubahnya struktur dan fungsi
substrat itu (O’Dwyer et al. 2000). Tirosin
kinase dikenal juga dengan tirosilprotein
kinase, protein kinase (tirosin), atau gen lck
tirosin kinase. Mutasi yang menyebabkan
aktivitas tirosin kinase yang tidak terkendali
akan mengakibatkan kanker (Mahlmann
2000).
Aktivitas tirosin kinase dapat dihambat
oleh beberapa senyawa metabolit sekunder
seperti flavonoid. Beberapa penelitian
menunjukkan potensi flavonoid dalam
menghambat
aktivitas
tirosin
kinase.
Dardanela D (2005), melaporkan bahwa
senyawa
polifenol
tanaman
dapat
menghambat aktivitas dari EGFR (epidermal
growth factor receptor). EGFR merupakan
suatu reseptor faktor pertumbuhan epidermal.
Selain itu, pada penelitiannya, Dardanela D
(2005), melaporkan bahwa ekstrak kasar
flavonoid buah mengkudu, buah mahkota
dewa, meniran, dan keladi tikus memiliki
daya hambat terhadap aktivitas tirosin kinase
yang lebih tinggi dibandingkan kontrol positif,
yaitu genistein.
Enzim lain yang selalu dilibatkan pada
pertumbuhan
sel
kanker
adalah
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan ialah pereaksi
Mayer, Dragendorf dan Wagner (Lampiran 3),
rimpang temu putih diperoleh dari kebun
tanaman obat Karyasari, Leuwiliang Bogor,
sedang sampel tanaman sambiloto didapat dari
kebun tanaman obat Pusat Studi Biofarmaka,
Bogor, etanol, metanol, kloroform, air, H2SO4,
NaOH, serbuk logam Mg dan Zn, amil
alkohol, eter, asam asetat anhidrida, HCl
pekat, H2SO4 pekat, FeCl3, pereaksi FolinCiocalteau, Na2CO3, larva udang, air laut,
aquades, asam galat, dan kit untuk uji aktivitas
tirosin kinase dengan metode ELISA (enzyme
linked immunosorbent assay).
Alat yang digunakan ialah alat-alat gelas,
alat-alat ekstraksi, labu penguap putar, cawan
porselin, pipet mohr, pipet volumetrik, neraca
analitik, aerator, oven, tabung mikrofuse,
spektrofotometer 20 sinar tampak, mikropipet,
inkubator, dan peralatan ELISA.
Metode Penelitian
Penentuan Kadar Air
Bagian tanaman yang sudah dibersihkan,
kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40 oC
sampai memiliki kadar air ± 10%.
Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara
mengeringkan cawan porselin pada suhu 105
o
C selama 30 menit, kemudian didinginkan
dalam eksikator lalu ditimbang. Serbuk
tanaman kering ditimbang sebanyak 3 gram,
lalu dimasukkan ke dalam cawan porselin dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC
selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam
eksikator dan ditimbang. Prosedur dilakukan
berulang-ulang hingga diperoleh bobot tetap.
Penentuan kadar air sampel segar dilakukan
dengan cara yang sama. Setelah sampel segar
dibersihkan, lalu dipotong kecil. Kemudian
dikeringkan dalam oven suhu 105 oC, hingga
didapat bobot yang konstan. Data kadar air
terlampir pada Lampiran 4.
6
Ekstraksi Flavonoid (Metode Markham
1988)
Rimpang temu putih dan daun-batang
sambiloto dibersihkan dengan air, diiris tipis,
dikeringudarakan lalu dikering oven pada
suhu (40-50) oC selama 4 sampai 5 hari.
diperoleh kadar air ± 10%, masing-masing
sebesar 4 sampai 5 hari. Setelah kering,
sampel kering diblender hingga diperoleh
serbuk dengan butiran–butiran yang cukup
halus. Serbuk tersebut ditimbang dan
selanjutnya digunakan sebagai sampel.
Kedua sampel, yaitu sambiloto dan temu
putih masing-masing diambil sebanyak 50 g
kemudian direndam (metode maserasi) dalam
200 mL pelarut metanol-air nisbah 9:1
sebanyak dua kali. Setelah itu, sampel
disaring dan diambil filtratnya. Residunya
dimaserasi kembali dengan 200 mL pelarut
metanol-air nisbah 1:1 sebanyak satu kali.
Kemudian dipisahkan antara filtrat dan
residunya. Setiap meserasi dilakukan selama
2x24 jam disertai pengadukan teratur. Seluruh
filtrat yang diperoleh dikumpulkan menjadi
satu. Filtrat kemudian dipekatkan dengan labu
penguap putar sampai diperoleh volume
menjadi sepertiga volume semula.
Ekstrak hasil pemekatan kemudian
dipartisi dengan heksana (teknis) sebanyak
dua kali. Lapisan MeOH-H2O dipisahkan dari
lapisan heksana, kemudian dipartisi dengan
kloroform (p.a) sebanyak satu kali. Lapisan
MeOH-H2O kemudian dipisahkan dari lapisan
kloroform. Proses partisi menggunakan
corong pisah. Fraksi air-MeOH digabungkan
dan diuapkan pelarutnya dengan labu penguap
putar hingga seluruh pelarut organik hilang.
Ekstrak hasil pemekatan labu penguap putar
kemudian di kering beku selama 24 jam untuk
menghilangkan
sisa-sisa
pelarut
air.
(Lampiran 5). Sedangkan Lampiran 6
menggambarkan beberapa penguji terhadap
ekstrak kasar flavonoid yang telah didapat.
Rendemen (Lampiran 7) ekstrak kasar
flavonoid dihitung berdasarkan perhitungan
berikut: (Bobot ekstrak kasar flavonoid) g × 100%
(1 - kadar air )× (bobot sampel) g
Uji Fitokimia (Metode Harborne 1996)
Uji Alkaloid. Sebanyak 1 gram ekstrak
dilarutkan dengan kloroform dan beberapa
tetes NH4OH kemudian disaring dalam tabung
reaksi tertutup. Ekstrak kloroform dalam
tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4
2 M lalu lapisan asamnya dipisahkan dalam
tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini
diteteskan
pada
lempeng
tetes
dan
ditambahkan pereaksi Dragendorf, Mayer dan
Wagner yang akan menimbulkan endapan
dengan warna berturut-turut merah jingga,
putih, dan coklat.
Uji Flavonoid. Sebanyak 5 mL filtrat
ditambahkan serbuk magnesium (0,5 gram), 1
mL alkohol klorhidrat (campuran HCl 37%
dan etanol 95% dengan volume sama), dan
amil alkohol, kemudian dikocok kuat-kuat.
Terbentuknya warna merah, kuning, dan
jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan
adanya golongan flavonoid.
Sebanyak 1 mL ekstrak ditambah dengan 1
mL metanol 95%, 0.5 g Zn, dan 2 tetes HCl
2N, didiamkan selama 2 menit lalu ditambah
1 mL HCl pekat. Uji akan positif untuk
glikosida flavonoid bila dalam 2–5 menit
terbentuk warna merah intensif.
Uji Terpenoid dan Steroid. Sebanyak 2
gram ekstrak tanaman dilarutkan dengan 25
mL etanol panas (50oC) kemudian disaring ke
dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai
kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak
eter dipindahkan ke dalam lempeng tetes lalu
ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan
1 tetes H2SO4 pekat (uji Lieberman-Buchard).
Warna merah atau ungu menunjukkan
kandungan terpenoid, sedangkan warna hijau
atau biru menunjukkan kandungan steroid.
Uji Saponin. Sebanyak 1 gram ekstrak
tanaman dimasukkan ke dalam gelas piala dan
ditambahkan 100 mL air panas dan dididihkan
selama 5 menit kemudian disaring.
Selanjutnya,
filtrat
digunakan
untuk
pengujian. Uji saponin dilakukan dengan
pengocokan 10 mL filtrat ke dalam tabung
tertutup selama 10 menit. Timbulnya busa
hingga selang waktu 10 menit (buih stabil)
menunjukkan adanya saponin.
Uji Tanin. Sepuluh 1 gram ekstrak
tanaman ditambahkan 100 mL air panas,
dididihkan selama 5 menit dan disaring.
Sebagian
filtrat
ditambahkan
FeCl3.
Terbentuknya warna biru tua atau hitam
kehijauan menunjukkan terdapatnya tanin.
Penentuan Total Fenol
Sebanyak 5 mg ekstrak kering dilarutkan
dalam 2 ml etanol 95% kemudian
ditambahkan 5 ml aquades dan 0,5 mL reagen
folin-ciocalteau 50% (v/v), lalu didiamkan 5
menit. Setelah itu ditambahkan 1 mL Na2CO3
5% (b/v), lalu dihomogenisasi dan diinkubasi
dalam gelap selama 1 jam. Kemudian
dihomogenisasi kembali dan diukur pada
panjang gelombang 725 nm dan 760 nm.
7
Uji Toksisitas dengan Penentuan Nilai LC50
Penetasan Kista A. Salina Leach. Kista
A. Salina diambil sebanyak 50 mg lalu
dimasukkan ke dalam vial yang berisi air laut.
Setelah diaerasi kista dibiarkan selama 48 jam
di bawah pencahayaan lampu agar menetas
sempurna. Larva yang sudah menetas diambil
untuk digunakan dalam uji toksisitas.
Uji toksisitas terhadap A. Salina Leach.
Sebanyak 10 ekor larva A. Salina dimasukkan
ke dalam vial yang berisi air laut lalu
ditambahkan larutan ekstrak kasar flavonoid
sambiloto (Lampiran 8) dan temu putih
(Lampiran 9) sehingga konsentrasi akhirnya
menjadi 1000, 500, 100 dan 10 ppm.
Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan
menghitung jumlah larva yang mati dari total
larva yang dimasukkan ke dalam vial.
Perhitungan larva udang menggunakan
bantuan kaca pembesar. Pengolahan data
persen mortalitas kumulatif digunakan analisis
probit LC50 dengan selang kepercayaan 95%.
Kontrol dilakukan dengan air laut tanpa
penambahan ekstrak.
Penentuan daya inhibisi ekstrak terhadap
aktivitas tirosin kinase
Pelapisan 96-wells Microtiter Plate
Pelapisan dilakukan dengan cara-cara
berikut. Plastik penutup dilepaskan dari
tempatnya, kemudian jumlah sumur yang
diperlukan ditempatkan dalam plate holder.
Sampel larutan stok substrat tirosin kinase
(PGT, Polimer sintetik acak Poli-Glu-Tyr)
dicairkan dan sebanyak 125 μL substrat
tersebut ditambahkan masing-masing sumur,
lalu mikrotiter ditutup. Kemudian plate
diinkubasi sepanjang malam pada suhu 37 °C.
Setelah itu, larutan PTK substrat yang tidak
terlapis dibuang dan masing-masing sumur
dicuci dengan 200 μL bufer pencuci (PBSTween 20), kemudian bufer pencuci dibuang
dan sumur dikeringkan selama 2 jam dengan
suhu 37 °C.
Pengujian Protein Tirosin Kinase
Pelarut bufer tirosin kinase (BTK) dengan
konsentrasi 1x dibuat dengan cara, BTK
konsentrasi 10x sebanyak 1 mL dilarutkan
dengan 9 mL air deionisasi. Selanjutnya, 32,5
μL EGFR
(130U) dicairkan, kemudian
ditambah 292,5 μL BTK (1x) (setiap 10μl
mengandung 4 U), campuran diaduk dan
disimpan dalam es. Larutan stok ATP
sebanyak 128 μL dilarutkan dengan 3,2 mL
BTK (1x), diaduk perlahan dan disimpan
dalam es. Setelah itu, vial sebanyak 5
disiapkan, 1 vial untuk kontrol EGFR, 1 vial
untuk genistein dan 3 vial untuk masingmasing sampel. EGFR sebanyak 20 μL
dimasukkan ke dalam setiap vial, kemudian
ditambahkan 20 μL sampel 300 ppm, 20 μL
genistein 300 ppm (sebagai pembanding), dan
20 μL air bebas ion sebagai kontrol.
BTK sebanyak 90 μL (1x) yang
mengandung ATP dimasukkan ke dalam
masing-masing
sumur.
Setelah
itu,
ditambahkan 20 μL larutan sampel yang berisi
EGFR ke dalam setiap sumur (duplo).
Sehingga tiap sumur mengandung 10 μL
sampel 300 ppm dan 10 μL EGFR 4U dengan
konsentrasi ATP (adenosin trifosfat) 0,3 mM.
Selanjutnya, sumur-sumur ditutup dan
diinkubasi pada temperatur kamar selama 30
menit. Campuran dikeluarkan dari masingmasing sumur, dan sumur dicuci dengan 200
μL bufer pencuci dengan lima kali
pengulangan.
Larutan antibodi konjugat (HRP, Hoerse
Radish Peroxidase) sebanyak 100 μL dengan
pelarutan yang tepat dimasukkan ke dalam
sumur. Sumur ditutup dan diinkubasi kembali
selama 30 menit pada temperatur ruangan..
Setelah itu, larutan antibodi dikeluarkan dari
sumur, kemudian masing-masing sumur
dicuci dengan 200 μL bufer pencuci,
pencucian dilakukan lima kali. Substrat OPD
sebanyak 100 μL segar ditambahkan pada
masing-masing sumur dan diinkubasi selama
tujuh menit dalam keadaan gelap pada suhu
ruangan. Larutan substrat peroksidase segar
dibuat dengan cara pelarutan satu tablet OPD
(O-fenilenadiamina) dan satu tablet urea
hidrogen peroksida dalam 20 mL air
deionisasi, dicampurkan sampai larut, dan
dihindarkan dari cahaya sampai digunakan,
larutan ini tidak untuk disimpan.
Warna jingga kuning akan muncul dalam
sumur yang positif. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 100 μL H2SO4 2,5 N sebagai
larutan penghenti pada masing-masing sumur.
Sumur
diukur
absorbans-nya
dengan
mikroplate ELISA yang ditetapkan pada 490
nm. Pengukuran harus dalam waktu 30 menit
dari
penambahan
larutan
penghenti.
Perhitungan persen inhibisi ekstrak kasar
flavonoid pada Lampiran 9.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Pengeringan bagian tanaman segar
dilakukan pada suhu 40 oC. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya perubahan kimia
8
yang tidak diinginkan pada sampel. Suhu ini
relatif aman serta mencegah terjadinya
kerusakan pada senyawa metabolit sekunder
tertentu, khususnya senyawa flavonoid.
Flavonoid merupakan golongan senyawa
fenol yang memiliki sistem aromatik
terkonjugasi. Sistem aromatik terkonjugasi ini
mudah rusak pada suhu tinggi. Selain itu,
beberapa golongan flavonoid memiliki ikatan
glikosida dengan molekul gula. Ikatan
glikosida akan mudah rusak atau putus pada
suhu tinggi.
Penentuan kadar air dilakukan untuk
mengetahui kandungan air yang terdapat
dalam sampel tanaman. Dengan mengetahui
kadar air suatu sampel, dapat dilakukan cara
penanganan terbaik untuk menghindari
pengaruh
aktivitas
mikroorganisme.
Penentuan kadar air pada sampel kering
tanaman juga berfungsi sebagai faktor koreksi
terhadap hasil rendemen ekstrak kasar
flavonoid yang diperoleh.
Berdasarkan Tabel 1, kadar air rimpang
temu putih segar adalah sebesar 82,81%. Hal
ini berarti air yang terkandung dalam rimpang
temu putih segar masih sangat besar. Namun
setelah proses pengeringan selama 4 hari,
kadar air rimpang temu putih ternyata berubah
menjadi 10,42%. Sampel segar daun
sambiloto memiliki kadar air sebesar 78,34%.
Setelah didapatkan bobot kering yang stabil,
ternyata kadar airnya berkurang sebesar
67,30% menjadi 11,04%. Kadar air batang
kering sambiloto adalah 9,24% atau telah
terjadi pengurangan sebesar 50,40% setelah
pengeringan selama empat hari. Proses
pengeringan menyebabkan kandungan air
pada sampel berkurang cukup besar.
Tabel 1 Data kadar air tanaman sambiloto dan
rimpang temu putih
Sampel
Kadar air (%)
Batang segar sambiloto
59,64
Daun segar sambiloto
78,34
Batang kering sambiloto
9,24
Daun kering sambiloto
11,04
Rimpang segar temu putih
82,81
Rimpang kering temu putih
10,42
Rendemen Ekstrak Kasar Flavonoid
Ekstraksi rimpang temu putih dan tanaman
sambiloto kering dilakukan dengan metode
maserasi
atau
perendaman.
Maserasi
dilakukan hingga larutan ekstrak menjadi
pucat atau menunjukkan hasil uji fitokimia
yang negatif. Hal ini bertujuan memperoleh
ekstrak yang optimum. Metode maserasi
digunakan untuk mengekstrak sampel atau
senyawa target yang tidak tahan panas, tetapi
metode ini membutuhkan jumlah pelarut
cukup banyak.
Sebelumnya, sampel kering dimaserasi
dengan heksana. Hal ini bertujuan untuk
menghilangkan senyawa-senyawa non polar
seperti lemak sehingga diharapkan tidak
mengganggu
proses
ekstraksi
tahap
selanjutnya. Pelarut yang digunakan untuk
ekstraksi adalah metanol-air dengan dua
nisbah yang berbeda, yaitu 9:1 dan 1:1.
Ekstrak senyawa aktif dari suatu jaringan
tanaman dengan berbagai jenis pelarut pada
tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan
untuk memperoleh hasil yang optimal, baik
jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang
terkandung dalam sampel. Pelarut MeOH-air
nisbah 9:1 bertujuan untuk menarik senyawasenyawa semipolar contohnya flavonoid,
sedang nisbah 1:1 berfungsi untuk menarik
senyawa metabolit yang bersifat polar seperti
flavonoid-O-glikosida.
Proses
ekstraksi
dengan
maserasi
mengalami prinsip kelarutan adalah like
dissolve like, yaitu pelarut polar akan
melarutkan senyawa polar, dan sebaliknya
pelarut kurang polar akan melarutkan senyawa
yang kurang polar. Flavonoid-O-glikosida
memiliki molekul gula. Molekul gula
mempunyai gugus hidroksil. Gugus hidroksil
bersifat polar, sehingga akan mudah larut
dalam pelarut dengan kepolaran yang tinggi.
Semakin banyak gugus monosakarida yang
berikatan dengan senyawa flavonoid (ikatan
glikosida) maka akan lebih bersifat polar. Hal
ini disebabkan karena bertambahnya gugus
hidroksil. Pelarut MeOH-H2O perbandingan
1:1 memiliki kepolaran yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perbandingan 1:9.
Pelarut MeOH-H2O perbandingan 1:9 akan
menarik senyawa dengan tingkat kepolaran
yang lebih rendah. Contohnya senyawa
flavonoid yang tidak memilki ikatan glikosida
dengan molekul gula sederhana. Flavonoid ini
kurang polar bila dibandingkan dengan
flavonoid O-glikosida atau C-glikosida.
Setelah didapat ekstrak metanol, langkah
selanjutnya adalah mempartisinya dengan
pelarut heksana dan kloroform. Partisi ini
bertujuan memisahkan senyawa-senyawa
nonpolar sampai sedikit polar dari target
senyawa akhir ekstraksi, yaitu golongan
flavonoid.
Berdasarkan Tabel 2, rendemen ekstrak
sambiloto adalah sebesar 16,90 %. Ekstrak
akhir berupa pasta berwarna hijau tua pekat.
Ekstrak akhir temu putih berbentuk pasta
9
berwarna coklat pekat. Rendeman ekstrak
temu putih ialah sebesar 19,81 % (Lampiran
5).
Tabel 2 Rendemen ekstrak kasar flavonoid
rimpang temu putih dan batang-daun
sambiloto
Sampel
Sambiloto
Temu putih
Rendemen
16,90
19,81
Wujud
Pasta hijau pekat
Pasta cokelat pekat
Rendemen ekstrak temu putih lebih besar
bila dibandingkan dengan tanaman sambiloto.
Walaupun selisih rendemen kedua ekstrak
tidak terlalu signifikan, yaitu sebesar 2,91%.
Hal ini dapat disebabkan karena rimpang temu
putih mengandung molekul pati, yaitu sekitar
12 %. Pati merupakan senyawa polisakarida.
Polisakarida merupakan rantai panjang atau
gabungan beberapa molekul monosakarida.
Senyawa polisakarida mempunyai gugus
hidroksil yang cukup besar, sehingga bersifat
polar. Rendemen ekstrak kasar flavonoid temu
putih dapat disebabkan oleh banyaknya
senyawa pati yang tertarik saat proses
ekstraksi dengan pelarut yang bersifat polar.
Ekstrak kasar flavonoid tanaman sambiloto
dan temu putih masih berupa pasta walaupun
telah dilakukan pengering beku kira-kira 48
jam. Hal ini dapat disebabkan karena waktu
yang kurang lama saat pengering beku.
Penapisan Fitokimia
Bagian tanaman yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bagian batang dan daun
sambiloto dan rimpang temu putih. Alasan
pemilihan
bagian
tanaman
tersebut
berdasarkan kebiasaan pada masyarakat. Uji
fitokimia dilakukan pada sampel tanaman
segar dan kering serta ekstrak kasar flavonoid.
Uji fitokimia merupakan suatu uji kualitatif
awal untuk mengetahui kandungan senyawa
suatu tanaman atau ekstrak. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui kandungan senyawa aktif
yang terdapat sampel pada tiap-tiap kondisi,
yaitu saat segar, setelah dikeringkan dan
dalam bentuk ekstrak.
Uji fitokimia kedua jenis sampel daun
sambiloto (Tabel 3) menunjukkan bahwa
kandungan senyawa dalam kedua jenis daun
sama secara kualitatif, yaitu mengandung
golongan senyawa alkaloid, flavonoid
glikosida, flavonoid aglikon, tanin, dan
steroid, tetapi tidak menunjukkan adanya
senyawa saponin dan terpenoid. Sedangkan
menurut Novalina (2003), daun sambiloto
mengandung senyawa terpenoid dan saponin,
perbedaan ini dapat disebabkan oleh
perbedaan cara analisis serta perbedaan asal
tanaman.
Informasi tempat pengambilan
sampel tanaman perlu diketahui karena
senyawa metabolit sekunder sangat bervariasi
dan tergantung pada lingkungan tempat
tumbuh antara lain tipe tanah tempat tanaman
tersebut tumbuh, curah hujan, intensitas sinar
matahari, dan lain sebagainya. Selain itu,
analisis kuantitatif akan menghasilkan nilai
yang lebih sensitif daripada analisis kualitatif
yang hanya mengandalkan visualisasi
sehingga tidak terlihat dengan jelas adanya
senyawa terpenoid dan saponin pada saat
analisis fitokimia dilakukan.
Tabel 3 Hasil penapisan fitokimia tanaman
segar, kering dan ekstrak
Sampel
TP
Segar
Kering
Ekstrak
SB
Segar
Kering
Ekstrak
Hasil Uji Kualitatif
F (a)
Sa
T
A
F (g)
++
+
+
+
+
++
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+++
+
++
+++
+
Te
S
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
+
Keterangan:
TP
: Temuputih
SB
: Sambiloto
Segar : Rimpang atau tanaman segar
Kering: Rimpang atau tanaman kering
T
: Tanin
Sa
: Saponin
Te
:Triterpenoid
S
: Steroid
A
: Alkaloid
F (g) : Flavonoid glikosida
F (a) : Flavonoid aglikon
(+)
: Hasil uji positif dan kepekatan warna
(-)
: Hasil uji negatif
Uji fitokimia rimpang temu putih segar
menunjukkan bahwa kandungan senyawa
metabolit rimpang segar tidak berbeda dengan
sampel rimpang yang telah dikeringkan (Tabel
3). Proses pengeringan ternyata tidak
mengubah susunan senyawa metabolit
sekunder rimpang temu putih. Rimpang temu
putih segar maupun kering mengandung
senyawa metabolit sekunder alkaloid,
flavonoid aglikon, flavonoid glikosida,
saponin dan terpenoid, sedangkan untuk uji
tanin dan steroid diperoleh hasil yang negatif.
Ekstrak
kasar
flavonoid
tanaman
sambiloto dan temu putih (Tabel 3) ternyata
menunjukkan hasil uji fitokimia yang tidak
sama seperti pada sampel segar dan kering
tanaman. Ekstraksi merupakan metode
pemisahan suatu komponen dari campuran
menggunakan pelarut. Kehilangan suatu
10
komponen metabolit sekunder setelah proses
ekstraksi sangat mungkin terjadi. Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan tingkat kepolaran
antara suatu senyawa metabolit sekunder
dengan pelarut. Hasil uji fitokimia pada
ekstrak
kasar
flavonoid
sambiloto
menunjukkan senyawa tanin dan alkaloid
sudah tidak teridentifikasi. Sedangkan pada
ekstrak kasar flavonoid rimpang temu putih
menunjukkan hasil negatif untuk uji fitokimia
senyawa terpenoid.
Berdasarkan hasil uji fitokimia terhadap
golongan flavonoid dalam ekstrak kasar
flavonoid sambiloto dengan temu putih
menunjukkan perbeda
SAMBILOTO (Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) DAN
TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria Roscoe) TERHADAP
AKTIVITAS TIROSIN KINASE SECARA IN VITRO
TRI RAHAYU
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK
TRI RAHAYU. Perbandingan daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid sambiloto
(Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) dan temu putih (Curcuma zedoaria Roscoe)
terhadap aktivitas tirosin kinase secara in vitro. Dibimbing oleh GUSTINI SYAHBIRIN
dan DYAH ISWANTINI PRADONO.
Tirosin kinase mempunyai peran penting dalam perkembangan sel kanker. Senyawa
yang dapat menjadi inhibitor spesifik tirosin kinase merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk mencari obat antikanker. Senyawa flavonoid berpotensi menghambat
aktivitas tirosin kinase. Berdasarkan uji fitokimia, tanaman sambiloto (A. paniculata
[Burm. F] Ness) dan rimpang temu putih (C. zedoaria Roscoe) mengandung senyawa
flavonoid.
Tanaman sambiloto dan rimpang temu putih diekstraksi dengan metode maserasi. Jenis
pelarut dan nisbah perbandingan mengikuti metode maserasi Markham (1988). Ekstraksi
menggunakan pelarut metanol-air dengan nisbah 9:1 dan 1:1. Setelah itu, dipartisi dengan
pelarut heksana dan kloroform. Rendemen ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan rimpang
temu putih masing-masing sebesar 16,90% dan 19,81%. Selanjutnya, uji toksisitas larva
udang dan penentuan total fenol dilakukan. Daya inhibisi ekstrak kasar sambiloto
konsentrasi 300 ppm terhadap tirosin kinase adalah sebesar 67,19% atau lebih besar dari
kontrol positif (genistein), yaitu sebesar 6,71%. Daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid
rimpang temu putih terhadap tirosin kinase konsentrasi 300 ppm dan 700 ppm masingmasing sebesar 2,83% dan 27,49% atau lebih tinggi dibandingkan genistein. Daya hambat
ekstrak kasar sambiloto terhadap tirosin kinase cukup tinggi sehingga dapat berpotensi
sebagai obat antikanker, sedangkan daya hambat ekstrak kasar flavonoid temu putih lebih
rendah.
ABSTRACT
TRI RAHAYU. In vitro inhibition capacity comparison of sambiloto
(Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) and temu putih (Curcuma zedoaria [Berg]
Roscoe) flavonoid crude extracts to tyrosine kinase activity in vitro. Supervised by
GUSTINI SYAHBIRIN and DYAH ISWANTINI PRADONO.
Tyrosine kinase has an important role in cancer cell development. Screening of
compounds that can be tyrosine kinase specific inhibitors is one of methods that are
useful to search new anticancer medicines. Flavonoid compounds are potential to inhibit
tyrosine kinase activity. Based on phytochemistry test, plants of sambiloto and temu
putih’s rhizome comprised of flavonoid compounds.
Both samples were extracted with maceration method. Flavonoid crude extract of
these two plants was obtained using Markham’s method. These extractions were using
methanol-water solvents with ratios of 9:1 and 1:1. After that, the filtrate partitioned with
hexane and chloroform solvents. Flavonoid crude extract yield of sambiloto’s plants and
temu putih’s rhizomes were 16.90% and 19.81%, respectively. Both flavonoid crude
extracts were and then tested with brine shrimp lethality test and the total phenol was
determined as well. Inhibition capacity of sambiloto’s flavonoid crude extract toward
tyrosine kinase was 67.19% or bigger than positive control (genistein), which was 6.71%
at 300 ppm. Correspond with that result, inhibition capacities of 300 and 700 ppm temu
putih’s flavonoid crude extract were 2.83% and 27.49%, respectively. Inhibition capacity
of sambiloto’s flavonoid crude extract toward tyrosine kinase is quite high so that it can
be a potential anticancer medicine, whereas the inhibition capacity of temu putih’s
flavonoid crude extract was lower.
Judul : Uji Daya Inhibisi Ekstrak Kasar Flavonoid Sambiloto (Andrographis
paniculata [Burm. F] Ness) dan Temu Putih (Curcuma zeodaria Roscoe)
Terhadap Aktivitas Tirosin Kinase secara In Vitro.
Nama : Tri Rahayu
NIM : G44201069
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dra. Gustini Syahbirin, MS
NIP 131 842 414
Dr. Dyah Iswantini Pradono, M.Agr
NIP: 131 956 706
Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono MS
NIP. 131 473 999
Tanggal Lulus:
UJI DAYA INHIBISI EKSTRAK KASAR FLAVONOID
SAMBILOTO (Andrographis paniculata [Burm. F] Ness) DAN
TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria Roscoe) TERHADAP
AKTIVITAS TIROSIN KINASE SECARA IN VITRO
TRI RAHAYU
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1982 sebagai anak ketiga
dari tiga bersaudara, dari pasangan Sukirman dan Warsi.
Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri 05 Pagi Jakarta pada tahun
1989-1994, lalu dilanjutkan di SMP Negeri 254 Jakarta pada tahun 1994-1997. Pada
tahun 1997-2000, penulis menyelesaikan studi tingkat menengah di SMU Negeri 38, dan
pada akhirnya diterima di Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001
melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan
Himpunan Mahasiswa Kimia IPB (Himasika) pada tahun 2002/2003. Penulis juga aktif
menjadi asisten di berbagai mata kuliah, di antaranya asisten pratikum Kimia Dasar I dan
II, asisten Kimia Organik I, asisten Kimia Organik TPB, dan asisten Kimia Bahan Alam
untuk mahasiswa D3 Analisis Kimia. Penulis pun pernah melakukan praktik kerja
lapangan di Laboratorium Kimia Uji Pupuk dan Semen, BPMBEI, Deperindag, Jakarta
Timur dari bulan Juli sampai Agustus 2004.
PRAKATA
Alhamdulillahirobbilalamiin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang
maha pengasih lagi penyayang atas berkah dan rahmat-NYA lah karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai Desember 2005, di
Laboratorium Kimia Organik, FMIPA IPB. Tema yang dipilih adalah Uji Daya Inhibisi
Ekstrak Kasar Flavonoid Sambiloto (Andrographis paniculata [Burmf F] Ness) dan
Temu Putih (Curcuma zedoaria [Berg] Roscoe) Terhadap Aktivitas Tirosin Kinase
Secara In Vitro.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dra. Gustini Syahbirin, M.S. dan Dr. Dyah
Iswantini Pradono, M.Agr., selaku pembimbing serta pemberi dana A2. Terima kasih
juga penulis ucapkan kepada Prof. Suminar Achmadi, M.Sc., Drs. M. Farid, dan Budi
Arifin S,Si., Ema Hendryani S,Si., yang banyak memberi saran dan arahan. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, kedua Kakanda-ku, seluruh staf
dan laboran Kimia Organik, Pusat Studi Satwa Primata terutama Pak Uus, teman-teman
Kimia 38 khususnya ‘keluarga Cinte’, Mexindo crew, atas persahabatan, perhatian, ilmu,
semangat yang diberikan serta kebersamaan yang indah dan seluruh pihak yang telah
memberikan dukungan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini berguna dan bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
Tri Rahayu
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...........................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................xi
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Sambiloto ........................................................................................................... 1
Temu putih ......................................................................................................... 3
Flavonoid .......................................................................................................... 3
Kanker ............................................................................................................... 4
Artemia salina Leach ......................................................................................... 4
Tirosin kinase ........... ......................................................................................... 5
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat .................................................................................................. 5
Metode Penelitian ............................................................................................. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air .......................................................................................................... 7
Rendemen Ekstrak Kasar Flavonoid ................................................................... 8
Penapisan Fitokimia ........................................................................................... 9
Penentuan Total Fenol ....................................................................................... 10
Uji Toksisitas Terhadap Larva Udang ............................................................... 11
Daya Inhibisi Ekstrak Kasar Flavonoid Sambiloto Dan Temu Putih
Terhadap Tirosin Kinase .................................................................................... 11
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 14
LAMPIRAN ................................................................................................................... 17
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Kadar air tanaman sambiloto dan rimpang temu putih.............................................. 8
2
Rendemen ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan temu putih .................................. 9
3
Penapisan fitokimia tanaman segar, kering dan ekstrak ........................................... 9
4
Hasil uji total fenol ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan temu putih .................... 10
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman
Tanaman sambiloto ................................................................................................. 2
2
Struktur senyawa terpen pada sambiloto .................................................................. 2
3
Struktur senyawa andrografidin A, B, dan C pada sambiloto ................................... 2
4
Struktur senyawa andrografidin D, E, dan F pada sambiloto .................................... 2
5
Struktur
senyawa
andrografidin
Struktur
senyawa
5-hidroksi-7,8
dimetoksiflavanon, 5-hidroksi-3,7,8,2’-tetrametoksiflavon, dan 5- hidroksi-7,8dimetoksiflavon. pada sambiloto ............................................................................... 2
6
Tanaman dan rimpang temu putih ............................................................................. 3
7
Struktur bisdemetoksikurkumin, kurkumin, dan demetoksikurkumin ...................... 3
8
Struktur germakron, zederon, kurkumrnol, dan kurkumol rimpang temu putih ....... 3
9
Tiga struktur dasar flavonoid .................................................................................... 4
10 Struktur genistein ..................................................................................................... 4
11 Nilai LC50 ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan temu putih .................................. 11
12 Absorbansi uji inhibisi ekstrak kasar flavonoid sambiloto, temu putih, dan
genistein terhadap enzim PTK .................................................................................. 12
13 Daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid sambiloto dan flavonoid, genistein pada
konsentrasi 300 ppm ................................................................................................. 12
14 Daya inhibisi ekstrak kasar flavonoid temu putih dan genistein pada
konsentrasi 700 ppm ................................................................................................. 13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Determinasi tanaman sambiloto ......................................................................... 18
2. Determinasi tanaman temu putih ........................................................................ 19
3. Metode pembuatan pereaksi uji fitokimia........................................................... 20
4. Penentuan kadar air tanaman sambiloto dan temu putih..................................... 21
5. Diagram alir ekstrak kasar flavonoid .................................................................. 22
6. Bagan alir pengujian ekstrak kasar flavonoid tanaman sambiloto dan temu
putih .................................................................................................................... 22
7. Rendemen ekstrak kasar flavonoid tanaman sambiloto dan temu putih ............. 23
8. Hasil uji hayati larva udang ekstrak kasar flavonoid sambiloto ......................... 23
9. Hasil uji hayati larva udang ekstrak kasar flavonoid temu putih ........................ 24
10. Uji daya inhibisi ekstrak kasar tanaman terhadap enzim tirosin kinase.............. 25
1
PENDAHULUAN
Secara geografis Indonesia terletak di
daerah tropis dan menyimpan sumber daya
alam yang beraneka ragam. Salah satunya
adalah variasi pada berbagai jenis flora yang
dimanfaatkan secara turun-temurun sebagai
tanaman obat. Pada saat ini masyarakat
cenderung menggunakan obat tradisional
daripada obat sintetik. Fenomena ini lebih
dikenal sebagai terapi back to nature. Hal ini
tidak lepas dari upaya mencari solusi
pengobatan yang lebih murah, aman, dan
efektif.
Penyakit kanker merupakan salah satu
jenis penyakit yang mematikan, dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Teknik
pengobatan
penyakit
kanker
meliputi
radioterapi, kemoterapi, imunoterapi, terapi
gen, dan pembedahan. Namun teknik tersebut
memerlukan biaya yang sangat besar dan
menimbulkan efek samping seperti mual,
pusing,
diare,
terjadinya
malnutrisi,
pengurangan sel darah putih, serta kebotakan
(Hariani, Hukom, Simadibrata; 2004).
Tanaman yang berpotensi mencegah
maupun mengobati penyebaran sel kanker
antara
lain
sambiloto
(Andrographis
paniculata [Burm. F] Ness) dan temu putih
(Curcuma zedoaria [Berg] Roscoe). American
Institute Cancer Medical Herbs, melaporkan
bahwa temu putih mengandung ribosome
inacting protein (RIP) yang berfungsi sebagai
antikanker, antioksidan, dan antiperadangan.
Selain itu temu putih ternyata dapat
menyembuhkan kanker serviks, meningkatkan
khasiat radioterapi, dan kemoterapi guna
membunuh sel kanker (Dalimartha 1999).
Penelitian yang telah dilakukan oleh
Sukardiman et al. (2001) melaporkan bahwa
ekstrak
metanol
tanaman
sambiloto
mempunyai efek sitotoksik terhadap kultur sel
kanker leukemia. Selain itu, kandungan
senyawa aktif tanaman A. paniculata Ness
yang berfungsi sebagai antikanker telah
dipatenkan oleh US. patent nomor 6,486,196
(Nanduri et al. 2002); dan 6,410,590. Namun
paten tersebut menggunakan sel kanker untuk
mengetahui keaktifan senyawa aktif herbal
sambiloto. Sementara itu, penelitian ini
menggunakan uji inhibisi ekstrak kasar
flavonoid tanaman sambiloto dan rimpang
temu putih terhadap aktivitas tirosin kinase
secara in vitro.
Tirosin kinase merupakan enzim yang
berperan dalam sinyal transduksi sel.
Aktivitas tirosin kinase sebagai reseptor faktor
pertumbuhan dan produk protein onkogen
sangat penting bagi perbanyakan sel. Inhibitor
spesifik tirosin kinase merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk mencari obat
antikanker (Matter 2002). Genistein dan
daidzen adalah contoh inhibitor alami tirosin
kinase (Challem 2002; Rood 1998)
Genistein merupakan senyawa isoflavon
pada biji kedelai. Menurut Dixon dan Ferreira
(2005), genistein mampu menghambat
aktivitas
sel
kanker
(kemoprotektan),
mengobati penyakit kardiovaskular, serta
memiliki aktivitas fitoestrogen. Selain itu,
genistein mampu memerangkap radikal bebas
molekul oksigen sehingga menghambat
pembentukan anion superoksida dari xantin
oksidase (Wei et al. 1995).
Penelitian ini bertujuan menguji daya
inhibisi ekstrak kasar flavonoid tanaman
sambiloto (A. paniculata [Burm. F] Ness) dan
rimpang temu putih (C. zedoaria Roscoe)
terhadap aktivitas tirosin kinase secara in
vitro. Selain itu, dilakukan uji fitokimia, total
fenol dan nilai LC50 (Lampiran 3) kedua
tanaman tersebut.
Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak
kasar flavonoid tanaman sambiloto (A.
paniculata [Burm. F] Ness) dan rimpang temu
putih (C. zedoaria Roscoe) mampu
menghambat aktivitas tirosin kinase secara in
vitro. Tujuan akhir penelitian ini, diharapkan
dapat memberikan informasi dan wawasan
ilmiah tentang potensi ekstrak kasar flavonoid
kedua tanaman tersebut sebagai obat
antikanker.
TINJAUAN PUSTAKA
Sambiloto
Deskripsi Tanaman
Sambiloto atau A. paniculata [Burm. F]
Ness (Lampiran 1) merupakan tanaman yang
sudah tak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia. Walaupun bukan tanaman asli
Indonesia,
masyarakat Indonesia telah
mengenal dan memanfaatkannya sejak 150
tahun yang lalu. Spesimen sambiloto tertua
yang pernah dicatat di Herbarium Bogoriensis
ditemukan pada tahun 1893 di tepian sungai
Ciliwung daerah Bogor, Jawa Barat.
Dalimartha (2000) menyebutkan beberapa
nama dari tanaman sambiloto di antaranya
adalah Justicia paniculata Burm, J. latebrosa
Russ, J. stricta Lamk (sinonim); pepaitan
(Sumatera Barat), sadilata, andiloto (Jawa
Tengah), ki oray (Sunda), ki pait, dan bidara.
Selain itu, sambiloto mempunyai beberapa
nama asing seperti chuan xin liang (Cina),
cong cong (Vietnam), dan kalmegh (India).
2
Taksonomi
Klasifikasi tanaman sambiloto adalah
sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Acanthaceae
Marga
: Andrographis
Jenis
: Andrographis paniculata
[Burm. F] Ness
Morfologi
Tanaman sambiloto (Gambar 1), tergolong
herba yang tumbuh liar di tempat terbuka
dengan ketinggian 1–700 m dpl, seperti
kebun, ataupun tepi sungai. Sambiloto tumbuh
tegak, tingginya 50–90 cm, dengan batang
cabang berbentuk segi empat. Daun tunggal,
bertangkai pendek, panjang sekitar 1–3 cm,
ujung serta pangkalnya runcing. Bentuk
bijinya berbentuk pipih, berwarna coklat, dan
pangkal ujungnya tajam. Bila biji masak akan
pecah membujur menjadi empat keping.
Tanaman sambiloto mudah diperbanyak
dengan biji (WHO 1999).
ditemukan
beberapa turunan glikosida
diterpena yang dinamai neoandrografolida.
Masih banyak pula senyawa minor lain
dengan kandungan tidak lebih dari 1%.
Gambar 2 Struktur senyawa terpen sambiloto.
Senyawa yang telah berhasil diisolasi dari
akar sambiloto antara lain senyawa glikosida
flavanon (andrografidin A) dan glikosida
flavon seperti andrografidin B, C (Gambar 3),
D, E, dan F (Gambar 4) (WHO1999).
Beberapa senyawa flavonoid lain yang juga
telah berhasil diisolasi dari akar sambiloto
antara lain 5-hidroksi-7,8 dimetoksiflavanon,
5-hidroksi-3,7,8,2’-tetrametoksiflavon dan 5hidroksi-7,8-dimetoksiflavon (Gambar 5).
OCH3
H3CO
OCH3
O
O
H3CO
OCH3
O
O H3CO
OH
CH2OH
O
O
OH
OH
OH
CH2OH
OH O
O
Andrografidin B
Andrografidin A
OH
OH
CH2OH
O
O
OH O
Andrografidin C
OH
OH
OH
Gambar 3 Struktur andrografidin A, B, dan C.
Gambar 1 Tanaman sambiloto.
OCH3
H3CO
OCH3
Kandungan senyawa kimia
Penelitian mengenai senyawa aktif
sambiloto pertama kali dilakukan oleh
Boorsman. Pada tahun 1897, ia berhasil
mengisolasi kristal tidak berwarna, yang
berasa pahit, dan dinamai andrografida.
Andrografida diekstraksi dengan pelarut air
dari berbagai bagian tanaman A. paniculata
Ness. Tahun 1910, Gorter melakukan
ekstraksi dengan pelarut etanol 95% sehingga
berhasil mengisolasi senyawa berumus
molekul C20H30O5 lalu disebut andrografolida
(Gambar 2). Setelah itu semakin banyak
ditemukan senyawa aktif dari sambiloto
misalnya neoandrografolida, andrografisida,
dan
andropanosida.
Sama
seperti
andrografolida ketiganya tergolong diterpen
lakton (Anonim 2005).
Turunan oksigen dari senyawa-senyawa
diatas juga terdapat pada sambiloto seperti
deoksiandrografolida, deoksipanikolin, mono
o-metilwitin,
apigenin-7’-4-dimetileter,
dideoksiandrografolida (andrografonin) dan
deoksiandrografosida. Selain itu, telah pula
OCH3
OCH3
H3CO
OCH3
O
H3CO
O
H3CO
OCH3
CH2OH
O
CH2OH
O
OH O
Andrografidin E
Andrografidin D OH
OH
OH
OH
OH
O
CH2OH
O
O
OH O
O
OH O
H3CO
O
Andrografidin F
OH
OH
Gambar 4 Struktur andrografidin D, E dan F.
OCH3
H3CO
9
6
5
10
1 2
4
4'
6' 5'
OCH3
H3CO
2' 3'
1'
O
8
7
OCH3
H3CO
H3CO
O
O
3
OCH3
OH O
OH O
OH O
5-hidroksi-7, 8-dimetoksiflavon 5-hidroksi-3, 7, 8, 2' -tetrametoksiflavon 5-hidroksi-7,8-dimetoksiflavon
Gambar 5 Struktur senyawa 5-hidroksi-7,8
dimetoksiflavanon,
5-hidroksi3,7,8,2’-tetrametoksiflavon, dan 5hidroksi-7,8-dimetoksiflavon.
Efek Farmakologi
Tanaman sambiloto telah digunakan
selama berabad-abad untuk penawar racun
bisa ular, pengobatan infeksi saluran
pernapasan, meningkatkan kekebalan tubuh,
dan menurunkan panas (Flach & Rumawas
1996. Winarto (2003) dalam bukunya
mengutarakan beberapa manfaat tanaman
sambiloto lainnya, yaitu sebagai antibakteri,
3
antioksidan, antitumor, antiperadangan, obat
diabetes, hipertensi dan diare.
Temu Putih
Deskripsi Tanaman
Temu putih (C. zedoaria Roscoe)
merupakan tanaman obat yang dibudidayakan
dibeberapa negara di Asia Tenggara, seperti
Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Di
Indonesia, C. zedoaria Roscoe (Lampiran 2)
ditemukan di berbagai daerah Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Beberapa sinonim nama ilmiah
temu putih antara lain Amomum zedoaria
Christmann (1779), A. latifolium Lamk
(1783), dan Curcuma zerumbet Roxb (1810).
Taksonomi
Klasifikasi tanaman temu putih adalah
sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub-Divisi : Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Jenis
: Curcuma zedoaria [Berg]
Roscoe
Morfologi
Temu putih merupakan tanaman semak,
tingginya sekitar 1–3 meter dengan batang
semu dan berwarna hijau. Di dalam tanah
membentuk rimpang (Gambar 6). Daun
berjenis tunggal, bentuk lonjong dengan ujung
meruncing, pangkal tumpul, berbulu halus,
warna hijau bergaris ungu. Bunganya adalah
bunga majemuk, berbentuk tabung, mahkota
lonjong, dan berwarna putih. (Syukur &
Hernani 2001). Di Indonesia, temu putih
ditemukan sebagai tanaman liar. Tumbuh
pada lahan yang kurang subur dengan
ketinggian sekitar 1000 m dpl (Heyne 1987).
Gambar 6 Tanaman dan rimpang Curcuma
zedoaria Roscoe.
Kandungan senyawa kimia
Rimpang segar temu putih mengandung
air 70%, pati 12%, dan zat lain 18%. Syu et
al. (1998) berhasil mengisolasi senyawa
bioaktif seperti kurkumin, demetoksikurkumi
dan bisdemetoksikurkumin (Gambar 7).
Kandungan zat lain diantaranya senyawa
kimia jenis seskuiterpen. Contoh senyawa
seskuiterpen antara lain germakron, zederon,
kurkumenol, dan kurkumol (Gambar 8).
H
O
O
1. R1 = R2 = OCH3
2. R1 = H, R2 = OCH3
3. R1 = R2 = H
HO
R1
OH
R2
Gambar 7 Struktur bisdemetoksikurkumin,
kurkumin, dan
demetoksikurkumin.
O
O
O
germakron
zederon
H
OH
O
kurkumenol
O
OH
kurkumol
Gambar 8 Struktur germakron, zederon,
kurkumrnol, dan kurkumol.
Efek Farmakologi
Rimpang temu putih berkhasiat sebagai
antiflogostik, kholeretik, stomakik, antipiretik
dan pelega perut (Soedibyo M 1995). Secara
empiris, rimpang temu putih digunakan
sebagai antiperadangan (Utami 2000; Iswari
1998), antioksidan (Chyau et al. 2002),
antikanker, dan melancarkan sirkulasi darah.
Beberapa penelitian telah melaporkan
beberapa khasiat ekstrak C. zedoaria Roscoe.
Seperti penelitian Jang et al. (2001) yang
menyatakan bahwa ekstrak kasar metanol
rimpang temu putih dilaporkan mampu
menghambat faktor nekrosis tumor-alfa (TNFalfa). Menurut Iswantini et al. (2003),
rimpang temu putih mengandung senyawa
terpenoid, alkaloid, dan flavonoid yang
berpotensi sebagai antikanker. Selain itu,
fraksi 15 (eluen kloroform:etil asetat nisbah
7:3) ekstrak kasar flavonoid mempunyai daya
hambat terhadap tirosin kinase sebesar 93,4%.
Flavonoid
Flavonoid merupakan suatu golongan dari
fenolik yang dicirikan dengan struktur dasar
C6-C3-C6, artinya kerangka karbonnya terdiri
dari dua gugus C6 (cincin benzena
4
tersubstitusi) dihubungkan dengan rantai
alifatik tiga karbon (Robinson 1993). Terdapat
tiga jenis struktur flavonoid (Gambar 9), yaitu
1,3-diarilpropana atau flavonoid, 1,2diarilpropana atau isoflavonoid, dan 1,1diarilpropana atau neoflavonoid. Flavonoid
alam ditemukan dalam bentuk flavonoid-Oglikosida, yaitu suatu kombinasi antara gula
dan gugus flavonoid. Gula dapat terikat
langsung pada inti benzena flavonoid dengan
suatu ikatan karbon-oksigen.
Flavonoid
Neoflavonoid
Isoflavonoid
Gambar 9 Tiga struktur dasar flavonoid.
Chen & Han (2000) mengungkapkan
bahwa flavonoid pada tanaman, seperti teh,
dapat berpotensi menghambat pertumbuhan
sel kanker. Senyawa flavonoid jenis
isoflavonoid dilaporkan memiliki aktivitas
antimikrob dan digunakan oleh tanaman untuk
melawan penyakit. Salah satu jenis
isoflavonoid yang diketahui berfungsi sebagai
antimikrob
adalah
genistein
(4',5,7trihidroksiisoflavon). Selain itu, genistein
(Gambar 10) mampu menghambat kerja
tirosin kinase dan DNA topoimerase.
Genistein dapat menghalangi fosforilasi
tirosin termediasi-EGF di dalam sel karsinoma
epidermal manusia.
Gambar 10 Struktur genistein.
Kanker
Kanker merupakan penyakit sel yang
disebabkan karena penurunan atau kehilangan
daya pengendalian sel normal. Menurut
Schunack et al. (1990) sel kanker memiliki
beberapa sifat umum, yaitu pertumbuhan
berlebihan (umumnya berbentuk tumor),
gangguan diferensiasi sel dan jaringan. Selain
itu, sel kanker bersifat invasif atau mampu
tumbuh dijaringan sekitarnya dan dapat pula
menyebar ketempat lain, sehingga dapat
menyebabkan pertumbuhan baru. Sel kanker
memiliki hereditas bawaan. Hereditas bawaan,
yaitu turunan sel kanker dapat mengakibatkan
kanker. Siswandono & Soekardjo (1995)
berpendapat
bahwa
tumor
yang
membahayakan atau tumor ganas disebut
kanker.
Karakter sel kanker berbeda dengan
jaringan sel normal, contohnya seperti pada
sistem enzim. Pada umumnya sel kanker
memiliki keragaman jenis enzim yang lebih
sedikit dibandingkan dengan sel normal.
Namun pada sel kanker jenis enzim
pertumbuhan,
seperti
tirosin
kinase,
jumlahnya lebih besar.
Beberapa cara untuk mengatasi penyakit
kanker dapat diobati dengan berbagai cara,
seperti operasi atau pembedahan, terapi
radiasi,
dan
kemoterapi.
Kemoterapi
merupakan
cara
pengobatan
dengan
menggunakan obat antikanker. Antikanker
diharapkan memiliki toksisitas selektif,
artinya menghancurkan sel kanker tanpa
merusak sel jaringan normal. Antikanker
dapat diperoleh dari senyawa metabolit
sekunder suatu tanaman yang relatif aman
bagi tubuh manusia. Senyawa metabolit
sekunder yang telah terbukti sebagai
antikanker antara lain alkaloid, kukurbitasin,
diterpenoid, flavonoid, dan lignan.
Uji Toksisitas Terhadap Larva Udang
(Artemia salina Leach)
Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan
untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu
senyawa. Prinsip uji toksisitas adalah
komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika
diberikan pada dosis yang tinggi dan obat
ialah racun dari suatu bahan bioaktif dosis
rendah (Hamburger & Hostettmann 1991).
Meyer et al. (1982), memperkenalkan suatu
metode uji toksisitas terhadap larva A. salina
Leach (brine shrimp lethality test (BSTL)).
BSLT digunakan sebagai metode untuk
memantau adanya aktivitas farmakologik
(termasuk antikanker) dari suatu ekstrak
tanaman. Metode ini telah digunakan oleh
Lembaga Kanker Nasional Indonesia dalam
menapis komponen antineoplastik dari
berbagai jenis tanaman.
Uji dilakukan untuk mengamati tingkat
kematian larva A. salina Leach yang
disebabkan oleh ekstrak kasar tanaman.
Tingkat kematian atau mortalitas, selanjutnya
dianalisis menggunakan analisis probit ntuk
(lethal
menentukan
konsentrasi
LC50
concentration 50%, yaitu konsentrasi yang
menyebabkan kematian populasi larva A.
salina Leach sebesar 50% dari populasi total).
5
Senyawa yang mempunyai nilai LC50 lebih
kecil dari 1000 ppm dikatakan memiliki
potensi bioaktivitas (Meyer et al. 1982).
BSLT memiliki kelebihan, antara lain
biaya relatif murah, sederhana, cepat, praktis,
tidak memerlukan teknik perawatan khusus,
jumlah sampel yang digunakan relatif sedikit,
dan tidak memerlukan serum hewan. Selain
itu, hasil uji berkorelasi baik dengan beberapa
metode uji sitotoksik (Meyer et al. 1982).
siklooksigenase khususnya siklooksigenase II
dan DNA topoisomerase II. Efek analgesik
dan antiperadangan topoisomerase DNA
digunakan sebagai target utama dalam
penemuan
obat
antikanker.
Inhibitor
topoisomerase umumnya memiliki efek
stabilisasi lanjutan dari reaksi kovalen
topoisomerase, sehingga terlibat dalam
pembelahan DNA serta penghancuran sel
kanker (Sismindari 2003).
Tirosin Kinase
BAHAN DAN METODE
Tirosin kinase merupakan enzim yang
mengkatalisis transfer gugus fosforil dari ATP
ke tirosin pada substrat protein sehingga akan
mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi
substrat (Voller et al. 1986). Tirosin kinase
dikenal juga dengan tirosil protein kinase
(Mahlmann
2000).
Protein
kinase
dikelompokkan menjadi (1) protein kinase
serin dan treonin, serta (2) protein kinase yang
memfosforilasi jenis spesifik residu tirosin.
Akseptor dalam reaksi fosforilasi protein
terjadi dalam sel ketika jumlah ATP
berlimpah. Pada reaksi fosforilasi, gugus
fosforil terminal (gama) milik ATP
dipindahkan oleh protein kinase ke gugus
serin, treonin, atau tirosin. Enzim tersebut
mengatalisis transfer gugus fosforil dari ATP
ke tirosin pada suatu substrat protein yang
berakibat berubahnya struktur dan fungsi
substrat itu (O’Dwyer et al. 2000). Tirosin
kinase dikenal juga dengan tirosilprotein
kinase, protein kinase (tirosin), atau gen lck
tirosin kinase. Mutasi yang menyebabkan
aktivitas tirosin kinase yang tidak terkendali
akan mengakibatkan kanker (Mahlmann
2000).
Aktivitas tirosin kinase dapat dihambat
oleh beberapa senyawa metabolit sekunder
seperti flavonoid. Beberapa penelitian
menunjukkan potensi flavonoid dalam
menghambat
aktivitas
tirosin
kinase.
Dardanela D (2005), melaporkan bahwa
senyawa
polifenol
tanaman
dapat
menghambat aktivitas dari EGFR (epidermal
growth factor receptor). EGFR merupakan
suatu reseptor faktor pertumbuhan epidermal.
Selain itu, pada penelitiannya, Dardanela D
(2005), melaporkan bahwa ekstrak kasar
flavonoid buah mengkudu, buah mahkota
dewa, meniran, dan keladi tikus memiliki
daya hambat terhadap aktivitas tirosin kinase
yang lebih tinggi dibandingkan kontrol positif,
yaitu genistein.
Enzim lain yang selalu dilibatkan pada
pertumbuhan
sel
kanker
adalah
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan ialah pereaksi
Mayer, Dragendorf dan Wagner (Lampiran 3),
rimpang temu putih diperoleh dari kebun
tanaman obat Karyasari, Leuwiliang Bogor,
sedang sampel tanaman sambiloto didapat dari
kebun tanaman obat Pusat Studi Biofarmaka,
Bogor, etanol, metanol, kloroform, air, H2SO4,
NaOH, serbuk logam Mg dan Zn, amil
alkohol, eter, asam asetat anhidrida, HCl
pekat, H2SO4 pekat, FeCl3, pereaksi FolinCiocalteau, Na2CO3, larva udang, air laut,
aquades, asam galat, dan kit untuk uji aktivitas
tirosin kinase dengan metode ELISA (enzyme
linked immunosorbent assay).
Alat yang digunakan ialah alat-alat gelas,
alat-alat ekstraksi, labu penguap putar, cawan
porselin, pipet mohr, pipet volumetrik, neraca
analitik, aerator, oven, tabung mikrofuse,
spektrofotometer 20 sinar tampak, mikropipet,
inkubator, dan peralatan ELISA.
Metode Penelitian
Penentuan Kadar Air
Bagian tanaman yang sudah dibersihkan,
kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40 oC
sampai memiliki kadar air ± 10%.
Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara
mengeringkan cawan porselin pada suhu 105
o
C selama 30 menit, kemudian didinginkan
dalam eksikator lalu ditimbang. Serbuk
tanaman kering ditimbang sebanyak 3 gram,
lalu dimasukkan ke dalam cawan porselin dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC
selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam
eksikator dan ditimbang. Prosedur dilakukan
berulang-ulang hingga diperoleh bobot tetap.
Penentuan kadar air sampel segar dilakukan
dengan cara yang sama. Setelah sampel segar
dibersihkan, lalu dipotong kecil. Kemudian
dikeringkan dalam oven suhu 105 oC, hingga
didapat bobot yang konstan. Data kadar air
terlampir pada Lampiran 4.
6
Ekstraksi Flavonoid (Metode Markham
1988)
Rimpang temu putih dan daun-batang
sambiloto dibersihkan dengan air, diiris tipis,
dikeringudarakan lalu dikering oven pada
suhu (40-50) oC selama 4 sampai 5 hari.
diperoleh kadar air ± 10%, masing-masing
sebesar 4 sampai 5 hari. Setelah kering,
sampel kering diblender hingga diperoleh
serbuk dengan butiran–butiran yang cukup
halus. Serbuk tersebut ditimbang dan
selanjutnya digunakan sebagai sampel.
Kedua sampel, yaitu sambiloto dan temu
putih masing-masing diambil sebanyak 50 g
kemudian direndam (metode maserasi) dalam
200 mL pelarut metanol-air nisbah 9:1
sebanyak dua kali. Setelah itu, sampel
disaring dan diambil filtratnya. Residunya
dimaserasi kembali dengan 200 mL pelarut
metanol-air nisbah 1:1 sebanyak satu kali.
Kemudian dipisahkan antara filtrat dan
residunya. Setiap meserasi dilakukan selama
2x24 jam disertai pengadukan teratur. Seluruh
filtrat yang diperoleh dikumpulkan menjadi
satu. Filtrat kemudian dipekatkan dengan labu
penguap putar sampai diperoleh volume
menjadi sepertiga volume semula.
Ekstrak hasil pemekatan kemudian
dipartisi dengan heksana (teknis) sebanyak
dua kali. Lapisan MeOH-H2O dipisahkan dari
lapisan heksana, kemudian dipartisi dengan
kloroform (p.a) sebanyak satu kali. Lapisan
MeOH-H2O kemudian dipisahkan dari lapisan
kloroform. Proses partisi menggunakan
corong pisah. Fraksi air-MeOH digabungkan
dan diuapkan pelarutnya dengan labu penguap
putar hingga seluruh pelarut organik hilang.
Ekstrak hasil pemekatan labu penguap putar
kemudian di kering beku selama 24 jam untuk
menghilangkan
sisa-sisa
pelarut
air.
(Lampiran 5). Sedangkan Lampiran 6
menggambarkan beberapa penguji terhadap
ekstrak kasar flavonoid yang telah didapat.
Rendemen (Lampiran 7) ekstrak kasar
flavonoid dihitung berdasarkan perhitungan
berikut: (Bobot ekstrak kasar flavonoid) g × 100%
(1 - kadar air )× (bobot sampel) g
Uji Fitokimia (Metode Harborne 1996)
Uji Alkaloid. Sebanyak 1 gram ekstrak
dilarutkan dengan kloroform dan beberapa
tetes NH4OH kemudian disaring dalam tabung
reaksi tertutup. Ekstrak kloroform dalam
tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4
2 M lalu lapisan asamnya dipisahkan dalam
tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini
diteteskan
pada
lempeng
tetes
dan
ditambahkan pereaksi Dragendorf, Mayer dan
Wagner yang akan menimbulkan endapan
dengan warna berturut-turut merah jingga,
putih, dan coklat.
Uji Flavonoid. Sebanyak 5 mL filtrat
ditambahkan serbuk magnesium (0,5 gram), 1
mL alkohol klorhidrat (campuran HCl 37%
dan etanol 95% dengan volume sama), dan
amil alkohol, kemudian dikocok kuat-kuat.
Terbentuknya warna merah, kuning, dan
jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan
adanya golongan flavonoid.
Sebanyak 1 mL ekstrak ditambah dengan 1
mL metanol 95%, 0.5 g Zn, dan 2 tetes HCl
2N, didiamkan selama 2 menit lalu ditambah
1 mL HCl pekat. Uji akan positif untuk
glikosida flavonoid bila dalam 2–5 menit
terbentuk warna merah intensif.
Uji Terpenoid dan Steroid. Sebanyak 2
gram ekstrak tanaman dilarutkan dengan 25
mL etanol panas (50oC) kemudian disaring ke
dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai
kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak
eter dipindahkan ke dalam lempeng tetes lalu
ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan
1 tetes H2SO4 pekat (uji Lieberman-Buchard).
Warna merah atau ungu menunjukkan
kandungan terpenoid, sedangkan warna hijau
atau biru menunjukkan kandungan steroid.
Uji Saponin. Sebanyak 1 gram ekstrak
tanaman dimasukkan ke dalam gelas piala dan
ditambahkan 100 mL air panas dan dididihkan
selama 5 menit kemudian disaring.
Selanjutnya,
filtrat
digunakan
untuk
pengujian. Uji saponin dilakukan dengan
pengocokan 10 mL filtrat ke dalam tabung
tertutup selama 10 menit. Timbulnya busa
hingga selang waktu 10 menit (buih stabil)
menunjukkan adanya saponin.
Uji Tanin. Sepuluh 1 gram ekstrak
tanaman ditambahkan 100 mL air panas,
dididihkan selama 5 menit dan disaring.
Sebagian
filtrat
ditambahkan
FeCl3.
Terbentuknya warna biru tua atau hitam
kehijauan menunjukkan terdapatnya tanin.
Penentuan Total Fenol
Sebanyak 5 mg ekstrak kering dilarutkan
dalam 2 ml etanol 95% kemudian
ditambahkan 5 ml aquades dan 0,5 mL reagen
folin-ciocalteau 50% (v/v), lalu didiamkan 5
menit. Setelah itu ditambahkan 1 mL Na2CO3
5% (b/v), lalu dihomogenisasi dan diinkubasi
dalam gelap selama 1 jam. Kemudian
dihomogenisasi kembali dan diukur pada
panjang gelombang 725 nm dan 760 nm.
7
Uji Toksisitas dengan Penentuan Nilai LC50
Penetasan Kista A. Salina Leach. Kista
A. Salina diambil sebanyak 50 mg lalu
dimasukkan ke dalam vial yang berisi air laut.
Setelah diaerasi kista dibiarkan selama 48 jam
di bawah pencahayaan lampu agar menetas
sempurna. Larva yang sudah menetas diambil
untuk digunakan dalam uji toksisitas.
Uji toksisitas terhadap A. Salina Leach.
Sebanyak 10 ekor larva A. Salina dimasukkan
ke dalam vial yang berisi air laut lalu
ditambahkan larutan ekstrak kasar flavonoid
sambiloto (Lampiran 8) dan temu putih
(Lampiran 9) sehingga konsentrasi akhirnya
menjadi 1000, 500, 100 dan 10 ppm.
Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan
menghitung jumlah larva yang mati dari total
larva yang dimasukkan ke dalam vial.
Perhitungan larva udang menggunakan
bantuan kaca pembesar. Pengolahan data
persen mortalitas kumulatif digunakan analisis
probit LC50 dengan selang kepercayaan 95%.
Kontrol dilakukan dengan air laut tanpa
penambahan ekstrak.
Penentuan daya inhibisi ekstrak terhadap
aktivitas tirosin kinase
Pelapisan 96-wells Microtiter Plate
Pelapisan dilakukan dengan cara-cara
berikut. Plastik penutup dilepaskan dari
tempatnya, kemudian jumlah sumur yang
diperlukan ditempatkan dalam plate holder.
Sampel larutan stok substrat tirosin kinase
(PGT, Polimer sintetik acak Poli-Glu-Tyr)
dicairkan dan sebanyak 125 μL substrat
tersebut ditambahkan masing-masing sumur,
lalu mikrotiter ditutup. Kemudian plate
diinkubasi sepanjang malam pada suhu 37 °C.
Setelah itu, larutan PTK substrat yang tidak
terlapis dibuang dan masing-masing sumur
dicuci dengan 200 μL bufer pencuci (PBSTween 20), kemudian bufer pencuci dibuang
dan sumur dikeringkan selama 2 jam dengan
suhu 37 °C.
Pengujian Protein Tirosin Kinase
Pelarut bufer tirosin kinase (BTK) dengan
konsentrasi 1x dibuat dengan cara, BTK
konsentrasi 10x sebanyak 1 mL dilarutkan
dengan 9 mL air deionisasi. Selanjutnya, 32,5
μL EGFR
(130U) dicairkan, kemudian
ditambah 292,5 μL BTK (1x) (setiap 10μl
mengandung 4 U), campuran diaduk dan
disimpan dalam es. Larutan stok ATP
sebanyak 128 μL dilarutkan dengan 3,2 mL
BTK (1x), diaduk perlahan dan disimpan
dalam es. Setelah itu, vial sebanyak 5
disiapkan, 1 vial untuk kontrol EGFR, 1 vial
untuk genistein dan 3 vial untuk masingmasing sampel. EGFR sebanyak 20 μL
dimasukkan ke dalam setiap vial, kemudian
ditambahkan 20 μL sampel 300 ppm, 20 μL
genistein 300 ppm (sebagai pembanding), dan
20 μL air bebas ion sebagai kontrol.
BTK sebanyak 90 μL (1x) yang
mengandung ATP dimasukkan ke dalam
masing-masing
sumur.
Setelah
itu,
ditambahkan 20 μL larutan sampel yang berisi
EGFR ke dalam setiap sumur (duplo).
Sehingga tiap sumur mengandung 10 μL
sampel 300 ppm dan 10 μL EGFR 4U dengan
konsentrasi ATP (adenosin trifosfat) 0,3 mM.
Selanjutnya, sumur-sumur ditutup dan
diinkubasi pada temperatur kamar selama 30
menit. Campuran dikeluarkan dari masingmasing sumur, dan sumur dicuci dengan 200
μL bufer pencuci dengan lima kali
pengulangan.
Larutan antibodi konjugat (HRP, Hoerse
Radish Peroxidase) sebanyak 100 μL dengan
pelarutan yang tepat dimasukkan ke dalam
sumur. Sumur ditutup dan diinkubasi kembali
selama 30 menit pada temperatur ruangan..
Setelah itu, larutan antibodi dikeluarkan dari
sumur, kemudian masing-masing sumur
dicuci dengan 200 μL bufer pencuci,
pencucian dilakukan lima kali. Substrat OPD
sebanyak 100 μL segar ditambahkan pada
masing-masing sumur dan diinkubasi selama
tujuh menit dalam keadaan gelap pada suhu
ruangan. Larutan substrat peroksidase segar
dibuat dengan cara pelarutan satu tablet OPD
(O-fenilenadiamina) dan satu tablet urea
hidrogen peroksida dalam 20 mL air
deionisasi, dicampurkan sampai larut, dan
dihindarkan dari cahaya sampai digunakan,
larutan ini tidak untuk disimpan.
Warna jingga kuning akan muncul dalam
sumur yang positif. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 100 μL H2SO4 2,5 N sebagai
larutan penghenti pada masing-masing sumur.
Sumur
diukur
absorbans-nya
dengan
mikroplate ELISA yang ditetapkan pada 490
nm. Pengukuran harus dalam waktu 30 menit
dari
penambahan
larutan
penghenti.
Perhitungan persen inhibisi ekstrak kasar
flavonoid pada Lampiran 9.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Pengeringan bagian tanaman segar
dilakukan pada suhu 40 oC. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya perubahan kimia
8
yang tidak diinginkan pada sampel. Suhu ini
relatif aman serta mencegah terjadinya
kerusakan pada senyawa metabolit sekunder
tertentu, khususnya senyawa flavonoid.
Flavonoid merupakan golongan senyawa
fenol yang memiliki sistem aromatik
terkonjugasi. Sistem aromatik terkonjugasi ini
mudah rusak pada suhu tinggi. Selain itu,
beberapa golongan flavonoid memiliki ikatan
glikosida dengan molekul gula. Ikatan
glikosida akan mudah rusak atau putus pada
suhu tinggi.
Penentuan kadar air dilakukan untuk
mengetahui kandungan air yang terdapat
dalam sampel tanaman. Dengan mengetahui
kadar air suatu sampel, dapat dilakukan cara
penanganan terbaik untuk menghindari
pengaruh
aktivitas
mikroorganisme.
Penentuan kadar air pada sampel kering
tanaman juga berfungsi sebagai faktor koreksi
terhadap hasil rendemen ekstrak kasar
flavonoid yang diperoleh.
Berdasarkan Tabel 1, kadar air rimpang
temu putih segar adalah sebesar 82,81%. Hal
ini berarti air yang terkandung dalam rimpang
temu putih segar masih sangat besar. Namun
setelah proses pengeringan selama 4 hari,
kadar air rimpang temu putih ternyata berubah
menjadi 10,42%. Sampel segar daun
sambiloto memiliki kadar air sebesar 78,34%.
Setelah didapatkan bobot kering yang stabil,
ternyata kadar airnya berkurang sebesar
67,30% menjadi 11,04%. Kadar air batang
kering sambiloto adalah 9,24% atau telah
terjadi pengurangan sebesar 50,40% setelah
pengeringan selama empat hari. Proses
pengeringan menyebabkan kandungan air
pada sampel berkurang cukup besar.
Tabel 1 Data kadar air tanaman sambiloto dan
rimpang temu putih
Sampel
Kadar air (%)
Batang segar sambiloto
59,64
Daun segar sambiloto
78,34
Batang kering sambiloto
9,24
Daun kering sambiloto
11,04
Rimpang segar temu putih
82,81
Rimpang kering temu putih
10,42
Rendemen Ekstrak Kasar Flavonoid
Ekstraksi rimpang temu putih dan tanaman
sambiloto kering dilakukan dengan metode
maserasi
atau
perendaman.
Maserasi
dilakukan hingga larutan ekstrak menjadi
pucat atau menunjukkan hasil uji fitokimia
yang negatif. Hal ini bertujuan memperoleh
ekstrak yang optimum. Metode maserasi
digunakan untuk mengekstrak sampel atau
senyawa target yang tidak tahan panas, tetapi
metode ini membutuhkan jumlah pelarut
cukup banyak.
Sebelumnya, sampel kering dimaserasi
dengan heksana. Hal ini bertujuan untuk
menghilangkan senyawa-senyawa non polar
seperti lemak sehingga diharapkan tidak
mengganggu
proses
ekstraksi
tahap
selanjutnya. Pelarut yang digunakan untuk
ekstraksi adalah metanol-air dengan dua
nisbah yang berbeda, yaitu 9:1 dan 1:1.
Ekstrak senyawa aktif dari suatu jaringan
tanaman dengan berbagai jenis pelarut pada
tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan
untuk memperoleh hasil yang optimal, baik
jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang
terkandung dalam sampel. Pelarut MeOH-air
nisbah 9:1 bertujuan untuk menarik senyawasenyawa semipolar contohnya flavonoid,
sedang nisbah 1:1 berfungsi untuk menarik
senyawa metabolit yang bersifat polar seperti
flavonoid-O-glikosida.
Proses
ekstraksi
dengan
maserasi
mengalami prinsip kelarutan adalah like
dissolve like, yaitu pelarut polar akan
melarutkan senyawa polar, dan sebaliknya
pelarut kurang polar akan melarutkan senyawa
yang kurang polar. Flavonoid-O-glikosida
memiliki molekul gula. Molekul gula
mempunyai gugus hidroksil. Gugus hidroksil
bersifat polar, sehingga akan mudah larut
dalam pelarut dengan kepolaran yang tinggi.
Semakin banyak gugus monosakarida yang
berikatan dengan senyawa flavonoid (ikatan
glikosida) maka akan lebih bersifat polar. Hal
ini disebabkan karena bertambahnya gugus
hidroksil. Pelarut MeOH-H2O perbandingan
1:1 memiliki kepolaran yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perbandingan 1:9.
Pelarut MeOH-H2O perbandingan 1:9 akan
menarik senyawa dengan tingkat kepolaran
yang lebih rendah. Contohnya senyawa
flavonoid yang tidak memilki ikatan glikosida
dengan molekul gula sederhana. Flavonoid ini
kurang polar bila dibandingkan dengan
flavonoid O-glikosida atau C-glikosida.
Setelah didapat ekstrak metanol, langkah
selanjutnya adalah mempartisinya dengan
pelarut heksana dan kloroform. Partisi ini
bertujuan memisahkan senyawa-senyawa
nonpolar sampai sedikit polar dari target
senyawa akhir ekstraksi, yaitu golongan
flavonoid.
Berdasarkan Tabel 2, rendemen ekstrak
sambiloto adalah sebesar 16,90 %. Ekstrak
akhir berupa pasta berwarna hijau tua pekat.
Ekstrak akhir temu putih berbentuk pasta
9
berwarna coklat pekat. Rendeman ekstrak
temu putih ialah sebesar 19,81 % (Lampiran
5).
Tabel 2 Rendemen ekstrak kasar flavonoid
rimpang temu putih dan batang-daun
sambiloto
Sampel
Sambiloto
Temu putih
Rendemen
16,90
19,81
Wujud
Pasta hijau pekat
Pasta cokelat pekat
Rendemen ekstrak temu putih lebih besar
bila dibandingkan dengan tanaman sambiloto.
Walaupun selisih rendemen kedua ekstrak
tidak terlalu signifikan, yaitu sebesar 2,91%.
Hal ini dapat disebabkan karena rimpang temu
putih mengandung molekul pati, yaitu sekitar
12 %. Pati merupakan senyawa polisakarida.
Polisakarida merupakan rantai panjang atau
gabungan beberapa molekul monosakarida.
Senyawa polisakarida mempunyai gugus
hidroksil yang cukup besar, sehingga bersifat
polar. Rendemen ekstrak kasar flavonoid temu
putih dapat disebabkan oleh banyaknya
senyawa pati yang tertarik saat proses
ekstraksi dengan pelarut yang bersifat polar.
Ekstrak kasar flavonoid tanaman sambiloto
dan temu putih masih berupa pasta walaupun
telah dilakukan pengering beku kira-kira 48
jam. Hal ini dapat disebabkan karena waktu
yang kurang lama saat pengering beku.
Penapisan Fitokimia
Bagian tanaman yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bagian batang dan daun
sambiloto dan rimpang temu putih. Alasan
pemilihan
bagian
tanaman
tersebut
berdasarkan kebiasaan pada masyarakat. Uji
fitokimia dilakukan pada sampel tanaman
segar dan kering serta ekstrak kasar flavonoid.
Uji fitokimia merupakan suatu uji kualitatif
awal untuk mengetahui kandungan senyawa
suatu tanaman atau ekstrak. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui kandungan senyawa aktif
yang terdapat sampel pada tiap-tiap kondisi,
yaitu saat segar, setelah dikeringkan dan
dalam bentuk ekstrak.
Uji fitokimia kedua jenis sampel daun
sambiloto (Tabel 3) menunjukkan bahwa
kandungan senyawa dalam kedua jenis daun
sama secara kualitatif, yaitu mengandung
golongan senyawa alkaloid, flavonoid
glikosida, flavonoid aglikon, tanin, dan
steroid, tetapi tidak menunjukkan adanya
senyawa saponin dan terpenoid. Sedangkan
menurut Novalina (2003), daun sambiloto
mengandung senyawa terpenoid dan saponin,
perbedaan ini dapat disebabkan oleh
perbedaan cara analisis serta perbedaan asal
tanaman.
Informasi tempat pengambilan
sampel tanaman perlu diketahui karena
senyawa metabolit sekunder sangat bervariasi
dan tergantung pada lingkungan tempat
tumbuh antara lain tipe tanah tempat tanaman
tersebut tumbuh, curah hujan, intensitas sinar
matahari, dan lain sebagainya. Selain itu,
analisis kuantitatif akan menghasilkan nilai
yang lebih sensitif daripada analisis kualitatif
yang hanya mengandalkan visualisasi
sehingga tidak terlihat dengan jelas adanya
senyawa terpenoid dan saponin pada saat
analisis fitokimia dilakukan.
Tabel 3 Hasil penapisan fitokimia tanaman
segar, kering dan ekstrak
Sampel
TP
Segar
Kering
Ekstrak
SB
Segar
Kering
Ekstrak
Hasil Uji Kualitatif
F (a)
Sa
T
A
F (g)
++
+
+
+
+
++
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+++
+
++
+++
+
Te
S
-
+
+
-
-
+
+
-
-
+
+
+
Keterangan:
TP
: Temuputih
SB
: Sambiloto
Segar : Rimpang atau tanaman segar
Kering: Rimpang atau tanaman kering
T
: Tanin
Sa
: Saponin
Te
:Triterpenoid
S
: Steroid
A
: Alkaloid
F (g) : Flavonoid glikosida
F (a) : Flavonoid aglikon
(+)
: Hasil uji positif dan kepekatan warna
(-)
: Hasil uji negatif
Uji fitokimia rimpang temu putih segar
menunjukkan bahwa kandungan senyawa
metabolit rimpang segar tidak berbeda dengan
sampel rimpang yang telah dikeringkan (Tabel
3). Proses pengeringan ternyata tidak
mengubah susunan senyawa metabolit
sekunder rimpang temu putih. Rimpang temu
putih segar maupun kering mengandung
senyawa metabolit sekunder alkaloid,
flavonoid aglikon, flavonoid glikosida,
saponin dan terpenoid, sedangkan untuk uji
tanin dan steroid diperoleh hasil yang negatif.
Ekstrak
kasar
flavonoid
tanaman
sambiloto dan temu putih (Tabel 3) ternyata
menunjukkan hasil uji fitokimia yang tidak
sama seperti pada sampel segar dan kering
tanaman. Ekstraksi merupakan metode
pemisahan suatu komponen dari campuran
menggunakan pelarut. Kehilangan suatu
10
komponen metabolit sekunder setelah proses
ekstraksi sangat mungkin terjadi. Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan tingkat kepolaran
antara suatu senyawa metabolit sekunder
dengan pelarut. Hasil uji fitokimia pada
ekstrak
kasar
flavonoid
sambiloto
menunjukkan senyawa tanin dan alkaloid
sudah tidak teridentifikasi. Sedangkan pada
ekstrak kasar flavonoid rimpang temu putih
menunjukkan hasil negatif untuk uji fitokimia
senyawa terpenoid.
Berdasarkan hasil uji fitokimia terhadap
golongan flavonoid dalam ekstrak kasar
flavonoid sambiloto dengan temu putih
menunjukkan perbeda