Isolasi Xantorizol dari Temulawak Terpilih Berdasarkan Nomor Harapan

ISOLASI XANTORIZOL DARI TEMULAWAK
TERPILIH BERDASARKAN NOMOR HARAPAN

DIAN ASRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
 
 
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Issolasi Xantorizol dari
Temulawak Terpilih Berdasarkan Nomor Harapan adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhit tesis ini.


Bogor, Januari 2010

Dian Asriani
NIM G451060061

ABSTRACT
DIAN ASRIANI. Isolation of Xanthorrhizol from the Selected Temulawak Based
on Promising Line. Under direction of SUMINAR SETIATI ACHMADI,
LATIFAH KOSIM DARUSMAN, and MAHARANI HASANAH.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza), belongs to Zingiberaceae,
empirically used as herbal medicines. One of its bioactive compounds is
xanthorrhizol which is a volatile oil. The research was aimed to determine
promising line A or F of temulawak from Balittro based on the highest
xanthorrhizol content, to establish agrobiophysic environmental condition, and to
get a new separation method (solvent extraction using ethanol 96%, acetylation of
crude extract, separation with preparative thin layer chromatography/TLC, and
deacetylation) which can isolate xanthorrhizol with higher yield than the existing
method (solvent extraction using methanol 75%, separation with coloumn
chromatography step 1, acetylation, separation with column chromatography step
2, and deacetylation). The result showed that the promising line A produced the

highest xanthorrhizol content (0,0382%). According to agrobiophysic parameter of
Cileungsi, temulawak was suitable in environment which has temperature of 2834 ºC, rainfall about 224 mm annual precipitation, and sandy clay soil.
Verification of previous method succesfully isolated xanthorrhizol with 0.064%
(b/b) yield. Modification method which conducted with preparative TLC still
resulted two spots, the first spot was identified as xanthorrhizol with 0.14% (b/b)
yield, while the second was unidentified, supposed to be more polar than
xantorizol. Additional step with the second preparative TLC is still needed to
obtain pure xanthorrhizol.
Keywords: Curcuma xanthorrhiza, temulawak, xanthorrhizol, preparative TLC

RINGKASAN
DIAN ASRIANI. Isolasi Xantorizol dari Temulawak Terpilih Berdasarkan Nomor
Harapan. Dibimbing oleh SUMINAR SETIATI ACHMADI, LATIFAH KOSIM
DARUSMAN, dan MAHARANI HASANAH.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) termasuk ke dalam famili
Zingiberaceae, yang secara empiris banyak digunakan sebagai obat untuk
mengatasi batu empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi, nyeri haid, nyeri
sendi, pelancar ASI, sembelit, dan eksim. Banyaknya ragam manfaat temulawak
baik untuk obat tradisional maupun fitofarmaka adalah karena rimpangnya
mengandung komponen aktif utama yang berkhasiat, yaitu kurkuminoid dan

minyak atsiri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komponen aktif utama
dalam minyak atsiri temulawak yang juga merupakan senyawa khas dari rimpang
temulawak adalah xantorizol. Kandungan dan komposisi senyawa aktif, termasuk
xantorizol, pada temulawak yang merupakan hasil metabolisme sekunder dari
tanaman sangat bergantung pada interaksi antara sifat genetik tanaman dan
kondisi agrobiofisik tanaman yang meliputi iklim, media tanam (jenis tanah), dan
ketinggian. Penelitian ini bertujuan menentukan nomor harapan temulawak A atau
F koleksi Balittro yang terbaik berdasarkan kandungan xantorizol yang tinggi,
menentukan kondisi lingkungan agrobiofisik yang menghasilkan tingkat bahan aktif
tinggi, dan memperoleh metode pemisahan baru yang dapat mengisolasi xantorizol
dengan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode terdahulu (metode
Hwang) yang berhasil mengisolasi xantorizol dari fraksi etil asetat ekstrak metanol
sebanyak 0.2% (b/b) dari rimpang temulawak kering.
Secara garis besar penelitian dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu (1)
pemilihan sampel temulawak dari 2 nomor harapan dan 2 lokasi tanam yang
menghasilkan kadar bioaktif tinggi (xantorizol), dan (2) isolasi xantorizol dari
sampel temulawak terpilih. Pada bagian pertama, dilakukan pemilihan sampel
temulawak yang terdiri atas dua nomor harapan temulawak koleksi Balittro (A dan
F), yang berasal dari dua daerah, yaitu Cileungsi dan Boyolali. Sampel yang
memiliki kadar xantorizol tertinggi merupakan sampel terpilih yang digunakan untuk

tahap penelitian selanjutnya. Kadar xantorizol diukur dengan menggunakan HPLC.
Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan isolasi xantorizol dari temulawak terpilih
menggunakan metode ekstraksi dengan pelarut etanol 96%, asetilasi ekstrak kasar,
dan separasi dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif, serta dilakukan
pula isolasi menggunakan metode Hwang (2000) sebagai metode pembanding untuk
memperoleh informasi mengenai ciri xantorizol. Hwang menggunakan metode
ekstraksi dengan pelarut metanol 75%, separasi kromatografi kolom dua tahap, dan
asetilasi fraksi hasil kolom.
Berdasarkan uji xantorizol, kedua nomor harapan temulawak memiliki
kecenderungan yang berbeda dalam menghasilkan bioaktif. Hasilnya menunjukkan

bahwa lokasi penanaman dan nomor harapan mempunyai pengaruh yang berbeda
nyata pada kandungan xantorizol temulawak. Kandungan xantorizol tertinggi
dihasilkan oleh nomor harapan temulawak A di lokasi Cileungsi, yaitu 0,0382%.
Berdasarkan parameter agrobiofisik di lokasi tanam Cileungsi, temulawak cocok
tumbuh di lingkungan dengan suhu 28-34 ºC, curah hujan 224 mm/tahun dan
tanah liat berpasir.
Berdasarkan hasil isolasi xantorizol menggunakan metode Hwang,
diperoleh informasi ciri senyawa xantorizol yaitu KLT, spektrum FTIR,
kromatogram HPLC, dan LC-MS. Ekstrak kasar metanol diperoleh sebanyak

14.6244 g dari sampel awal 250 g (5.8%). Fraksinasi lanjut dengan etil asetat
menghasilkan ekstrak etil asetat sebanyak 5.7127 g (39.06%). Fraksinasi kolom
kromatografi I menghasilkan 20 fraksi. Berdasarkan hasil KLT, ditentukan fraksi
yang mengandung xantorizol adalah fraksi nomor 4 sampai fraksi nomor 10. Dari
hasil asetilasi diperoleh dua fase, yaitu fase pertama (fase atas) merupakan fase yang
tidak larut air yang mengandung xantorizol terasetilasi, sedangkan fase bawah
merupakan fase yang larut air sehingga diduga tidak terdapat xantorizol. Dari hasil
KLT fase atas, terdeteksi di bawah sinar lampu UV pada λ = 254 nm adanya dua
spot. Spot pertama dengan nilai Rf = 0.86 dapat diidentifikasi sebagai xantorizol
terasetilasi, sedangkan spot kedua dengan nilai Rf = 0.56 diidentifikasi sebagai
xantorizol tak terasetilasi karena hampir sama dengan nilai Rf standar = 0.54.
Fraksinasi lanjut xantorizol terasetilasi dengan kolom kromatografi II, menghasilkan
fraksi 1 dan fraksi 2 yang diduga merupakan fraksi xantorizol terasetilasi tunggal.
Deasetilasi terhadap fraksi tersebut menghasilkan fraksi dugaan xantorizol dengan
rendemen sebesar 0.1608 g (0.064%). Pencirian dilakukan dengan FTIR, HPLC,
dan LC-MS. Berdasarkan spektrum FTIR, terlihat kembali serapan dengan
intensitas yang cukup besar pada bilangan gelombang 3430.88 cm-1 yang
menunjukkan terbentuknya kembali gugus –OH dari xantorizol, dan hilangnya
serapan gugus asetil pada daerah serapan sekitar 1700 cm-1. Dari kromatogram
HPLC, muncul satu puncak pada waktu retensi 14.820 menit dengan luas area

yang cukup besar. Jika dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol
yang menunjukkan puncak xantorizol pada waktu retensi 14.817 menit. Dapat
dikatakan bahwa isolasi dengan melakukan verifikasi metode Hwang berhasil
memperoleh senyawa xantorizol. Hal ini juga diperkuat dengan spektrum hasil
LC-MS yang juga menunjukkan adanya satu puncak pada waktu retensi 2.848
menit dengan bobot molekul 218.03 yang merupakan bobot molekul xantorizol.
Berdasarkan hasil isolasi xantorizol menggunakan metode modifikasi,
diperoleh ekstrak kasar etanol dari 250 g sampel awal adalah sebanyak 18.0454 g
(7.2%). Reaksi asetilasi terhadap ekstrak metanol tersebut menghasilkan dua
lapisan, sama seperti hasil asetilasi pada metode Hwang. Fraksi hasil asetilasi
difraksinasi lebih lanjut dengan KLT preparatif menggunakan eluen yang sama
dengan eluen kolom metode Hwang (heksana:etil asetat=10:1). Hasilnya
menunjukkan bahwa pemisahan berlangsung baik, dengan hasil spot dugaan
xantorizol terasetilasi (fraksi 1, Rf = 0.88) dan xantorizol tak-terasetilasi (fraksi 2,

Rf=0.57). Fraksi xantorizol terasetilasi (0.7456 g) lalu dideasetilasi, sehingga
menghasilkan fraksi dugaan xantorizol dengan rendemen sebanyak 0.1155 g
(0.140%). Dari hasil KLT fraksi dugaan xantorizol, dapat dideteksi dua spot yang
muncul di bawah sinar lampu UV pada λ = 254 nm; spot pertama teridentifikasi
sebagai xantorizol dan spot kedua belum dapat teridentifikasi. Pencirian lain yang

dilakukan adalah dengan FTIR, HPLC, dan LC-MS. Berdasarkan spektrum FTIR
yang diperoleh, terlihat kembali serapan dengan intensitas yang cukup besar pada
bilangan gelombang 3445 cm-1 yang menunjukkan terbentuknya kembali gugus –
OH dari xantorizol dengan intensitas yang lebih besar, namun pada daerah
serapan sekitar 1700 cm-1 masih terdapat serapan dengan intensitas rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa belum semua gugus asetil terdeasetilasi kembali menjadi
gugus -OH. Berdasarkan kromatogram HPLC yang diperoleh, terlihat bahwa
muncul dua puncak pada waktu retensi 6.103 menit dan 14.813 menit. Jika
dibandingkan dengan kromatogram standar xantorizol yang menunjukkan puncak
xantorizol pada waktu retensi 14.817 menit, maka dapat diduga bahwa hasil
isolasi dengan modifikasi metode ini berhasil memperoleh senyawa xantorizol
(puncak kedua) namun belum murni atau masih terdapat campuran dengan satu
senyawa lain (puncak pertama). Hal ini juga diperkuat dengan data hasil LC-MS
yang juga menunjukkan adanya dua puncak yang terdeteksi pada tabel waktu
retensi, yaitu terdapat puncak yang muncul pada waktu retensi 2.9 menit dan
puncak kedua yang muncul pada waktu retensi 16.800 menit. Dapat dipastikan
bahwa puncak pertama adalah xantorizol dengan BM 218.03. Puncak kedua pada
waktu retensi 16.8 menit tidak terdeteksi bobot molekulnya, sehingga tidak dapat
diduga secara pasti jenis dan struktur senyawanya. Namun, berdasarkan waktu
retensi yang lebih besar dibanding waktu retensi xantorizol, dapat diduga bahwa

senyawa tersebut bersifat lebih polar dibandingkan xantorizol.
Rendemen yang dihasilkan dari metode modifikasi adalah 0.140% (b/b). Jika
dibandingkan dengan rendemen verifikasi metode Hwang (2000) yang dilakukan
sebagai metode pembanding pada penelitian ini (0.064%), rendemen yang
diperoleh dari modifikasi metode ini dua kali lebih besar. Namun, dari segi
kemurnian hasil masih kurang, karena masih terdapat dua puncak yang terdeteksi
dari hasil KLT, kromatogram HPLC dan LC-MS, dan puncak kedua belum dapat
teridentifikasi jenis dan strukturnya karena masih memerlukan pemurnian lebih
lanjut, misalnya dengan KLT preparatif tahap II. Berdasarkan hasil KLT, jarak
antara spot 1 (Rf = 0.52) yang diduga merupakan senyawa xantorizol dengan spot
2 (Rf = 0.39) cukup jauh, sehingga masih dimungkinkan untuk dapat dipisahkan
kembali dengan cara KLT preparatif. Kemurnian senyawa xantorizol yang
diperoleh dari metode modifikasi adalah 99.5%, sedangkan Hwang (2000)
berhasil mengisolasi xantorizol dengan kemurnian 99.9%.
Kata kunci: Curcuma xanthorriza, temulawak, xantorizol, KLT preparatif

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
 
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

ISOLASI XANTORIZOL DARI TEMULAWAK
TERPILIH BERDASARKAN NOMOR HARAPAN


DIAN ASRIANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

Judul tesis
Nama
NIM

: Isolasi Xantorizol dari Temulawak Terpilih Berdasarkan Nomor
Harapan
: Dian Asriani

: G451060061

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Suminar S. Achmadi
Ketua

Prof. Dr. Latifah K. Darusman
Anggota

Prof (r). Dr. Maharani Hasanah
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kimia

a.n. Dekan Sekolah Pascasarjana
Sekretaris Program Magister

Prof. Dr. Ir. Latifah. K. Darusman

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S

Tanggal Lulus:

Tanggal Ujian:

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan kemudahan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaian studi pada
program Magister Sains Institut Pertanian Bogor, dengan menghasilkan karya
ilmiah berupa tesis dengan judul Isolasi Xantorizol dari Temulawak Terpilih
Berdasarkan Nomor Harapan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Uji
Biofarmaka Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM IPB, Laboratorium Kimia
Organik dan Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB mulai bulan Mei
2008 sampai bulan Februari 2009. Penelitian ini merupakan bagian dari Kerjasama
Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Tahun 2007 dan
kerja sama antara Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB dengan Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor dengan judul “Potensi Temulawak
Terstandar Untuk Menanggunalangi Flu Burung“.
Selama menempuh studi program magister sains, penulis banyak
mendapatkan bantuan moril dan material dari berbagai pihak. Untuk itu ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Suminar S. Achmadi sebagai
pembimbing utama, Prof. Dr. Latifah K. Darusman dan Prof (r). Dr. Maharani
Hasanah sebagai pembimbing anggota, Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita sebagai
penguji, ketua dan staf pengajar Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana IPB
atas semua ilmu, bimbingan, dan saran yang sangat berarti bagi penulis dalam
menyelesaikan studi. Terima kasih kepada PSB atas dilibatkannya penulis
menjadi bagian dalam penelitian KKP3T dan kepada para staf PSB yang telah
banyak memberi semangat dan bantuan dalam penelitian ini.
Terima kasih tak terhingga khusus kepada kedua orangtuaku yang telah
memberikan dorongan, doa dan pengertian selama penulis menempuh studi. Tak
lupa kepada Wahyu Diana, terima kasih atas doa dan dukungannya. Kepada
teman-temanku di Program Studi Kimia, penulis ucapkan terima kasih karena
telah menjadi teman dan sahabat, semoga pertemanan dan persahabatan yang
tulus tetap terjalin selamanya.
Akhirnya seraya berserah diri ke hadirat Allah SWT, penulis
mempersembahkan karya ini dengan harapan semoga bermanfaat.

Bogor, Januari 2010
Dian Asriani

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 21 Februari 1985 dari Ayah
Irpan Ganda Putra, S.H., M.H. dan Ibu Muasriyah, B.Sc. Penulis merupakan putri
pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Semarang dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB di
Jurusan Kimia FPMIPA hingga berhasil menyelesaikan studi pada bulan Juli
2006. Kemudian pada September 2006 penulis melanjutkan studi ke Program
Magister Kimia Sekolah Pascasarjana IPB.
Sejak tahun 2008 penulis bekerja sebagai dosen honorer di Jurusan Ilmu
Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonusa Esa Unggul (UIEU),
Jakarta, dan pada tahun 2009 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil
di Badan Standardisasi Nasional (BSN).

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................xiv
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang ......................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
Temulawak ................................................................................................
Komposisi Kimia Temulawak .................................................................
Xantorizol ..................................................................................................
Aktivitas Biologis Xantorizol ...................................................................
Isolasi Xantorizol (Hwang 2000) ..............................................................

4
4
6
8
8
9

METODE PENELITIAN ................................................................................. 10
Alat dan Bahan .......................................................................................... 10
Prosedur Penelitian .................................................................................. 10
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 13
Sampel Temulawak Terpilih ..................................................................... 13
Isolasi Xantorizol Metode Hwang............................................................. 15
Isolasi Xantorizol Metode Modifikasi ....................................................... 20
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25
LAMPIRAN .................................................................................................... 29

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi rimpang temulawak ................................................................

6

2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak .................................................

7

3 Komponen minyak temulawak ………………………………………….

7

4 Kandungan xantorizol keempat jenis sampel temulawak ........................

13

5 Ciri agrobiofisik lokasi penanaman temulawak ………………………...

15

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman temulawak dan irisan rimpangnya …........................................

6

2 Struktur kimia xantorizol .........................................................................

8

3 KLT fraksi hasil separasi kolom metode Hwang ………………………

16

4 Skema reaksi asetilasi xantorizol …………………………………………

16

5 Hasil reaksi asetilasi ……………………………………………………

17

6 KLT standar xantorizol dan fraksi xantorizol terasetilasi ………………

17

7 Perbandingan spektrum FTIR sebelum dan setelah asetilasi
(metode Hwang) ……………………..……………………………………

18

8 KLT fraksi xantorizol terasetilasi hasil separasi kolom metode Hwang …..

19

9 KLT fraksi dugaan xantorizol metode Hwang .........................................

20

10 KLT fraksi xantorizol hasil asetilasi ........................................................

22

11 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol sebelum dan setelah
asetilasi (metode modifikasi) ……………………………………………

22

12 KLT preparatif fraksi xantorizol hasil asetilasi metode modifikasi ..........

23

13 KLT fraksi xantorizol 1 dan 2 hasil asetilasi metode modifikasi …………

23

14 KLT fraksi dugaan xantorizol metode modifikasi ....................................

24

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram alir isolasi xantorizol .................................................................

32

2 Analisis statistika pengaruh lokasi tanam dan nomor harapan terhadap
kandungan xantorizol ……………………………………………………

33

3 Contoh kromatogram HPLC pemilihan sampel berdasarkan kadar
xantorizol tertinggi dan contoh perhitungannya …………………………

34

4 a. Spektrum FTIR fraksi aktif xantorizol hasil kolom sebelum asetilasi
(metode Hwang) ...................................................................................

36

b. Spektrum FTIR fraksi aktif xantorizol hasil kolom setelah asetilasi
(metode Hwang) ……………………………………………………

37

c. Spektrum FTIR fraksi dugaan xantorizol (metode Hwang) .................

38

5 Kromatogram HPLC fraksi dugaan xantorizol (metode Hwang) …….…

39

6 Kromatogram HPLC standar xantorizol ...................................................

39

7 Kromatogram LC-MS fraksi dugaan xantorizol (metode Hwang) ……...

40

8 a. Spektrum FTIR sampel ekstrak etanol temulawak sebelum asetilasi
(metode modifikasi) ............................................................................
b. Spektrum FTIR sampel ekstrak etanol temulawak setelah asetilasi
(metode modifikasi) .............................................................................
c. Spektrum FTIR fraksi dugaan xantorizol (metode modifikasi) ...........

41
42
43

9 Beberapa rumus struktur komponen yang mungkin terdapat dalam
temulawak ………………………………………………………………

44

10 Kromatogram HPLC fraksi dugaan xantorizol (metode modifikasi) ……

44

11 Kromatogram LC-MS fraksi dugaan xantorizol (metode modifikasi) …..

45


 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu jenis tumbuhan
dari keluarga Zingiberaceae yang secara empirik banyak digunakan sebagai obat,
baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Secara tradisional temulawak telah
banyak digunakan masyarakat antara lain sebagai obat untuk mengatasi batu
empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi, nyeri haid, nyeri sendi, pelancar
ASI, sembelit, dan eksim. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
banyaknya penelitian ilmiah, temulawak diketahui pula memiliki khasiat sebagai
antioksidan (Masuda et al. 1992), antilipidemia (Yasni et al. 1994), antibakteri
(Hwang et al. 2000, Darusman et al. 2006), dan antijamur (Rukayadi & Hwang
2007). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) juga termasuk sebagai salah satu
tanaman obat unggulan Departemen Pertanian (Deptan) dan Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2004 (Deptan 2004).
Temulawak sangat prospektif untuk dikembangkan menjadi berbagai
produk obat bahan alam seperti minuman kesehatan, pangan fungsional
(nutraseutikal), kosmeseutikal (kometik dan produk kesehatan pribadi), jamu,
herbal terstandar dan fitofarmaka. Kebutuhan industri terhadap temulawak, yaitu
sekitar 3,140 ton/tahun berat segar untuk temulawak yang menempati urutan
pertama terbesar dibandingkan dengan bahan baku obat lainnya untuk keperluan
Industri Obat Tradisional di Jawa Tengah dan sekitar 70% jamu yang beredar di
pasaran mengandung temulawak (Kemala et al. 2003).
Bagian dari tanaman temulawak yang dimanfaatkan adalah rimpangnya.
Banyaknya ragam manfaat temulawak baik untuk obat tradisional maupun
fitofarmaka adalah karena rimpangnya mengandung komponen aktif utama yang
berkhasiat, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid memberikan warna
kuning

pada

rimpang

temulawak,

yang

terdiri

atas

kurkumin

dan

desmetoksikurkumin. Kandungan kimia minyak atsirinya antara lain feladren,
kamfer, turmerol, tolilmetilkarbinol, ar-kurkumen, zingiberen, kuzerenon,
germakron, β-tumeron, dan xantorizol (Rahardjo & Rostiana 2005). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa komponen aktif utama dalam minyak atsiri


 

temulawak yang juga merupakan senyawa khas dari rimpang temulawak adalah
xantorizol.
Kandungan dan komposisi senyawa aktif pada temulawak yang merupakan
hasil metabolisme sekunder dari tanaman sangat bergantung pada interaksi antara
sifat genetik yang ada pada tanaman dan kondisi agrobiofisik yang menjadi
lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh. Menurut Sidik et al. (1995),
produktivitas dan mutu rimpang temulawak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
tempat tumbuh yang meliputi iklim, media tanam (jenis tanah), dan ketinggian. Oleh
karena itu perlu diketahui nomor harapan tanaman temulawak yang unggul dan
lingkungan tumbuh yang sesuai, sehingga diperoleh produksi dan mutu rimpang
yang tinggi.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) memiliki 22 nomor
aksesi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan hasil
karakterisasi dan evaluasi plasma nutfah telah diperoleh enam nomor harapan
temulawak hasil seleksi dari dua puluh nomor aksesi plasma nutfah temulawak
dengan perbedaan produksi rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat lebih
tinggi. Produksi rimpang keenam aksesi tersebut lebih tinggi (2,39–3,37 kg/m2)
dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional (1,07 kg/m2) (Direktorat Aneka
Tanaman 2000). Kandungan minyak atsiri enam nomor harapan tersebut juga
lebih tinggi (6,2–9,8%) dibandingkan dengan persyaratan yang telah ditentukan
oleh Materia Medika Indonesia (5,0%). Kadar kurkuminnya berkisar 1,2–3,6%
dan rata-rata yang terdapat di pasaran adalah lebih kurang 1,93% (Setiyono &
Ajijah 2002).
Pada bagian pertama penelitian ini dilakukan pemilihan sampel dari dua
nomor harapan (A dan F) dan dua lokasi tanam (Cileungsi dan Boyolali) yang
sesuai untuk budidaya temulawak yang memiliki kandungan bioaktif tinggi
(xantorizol). Nomor harapan A dan F dipilih berdasarkan keunggulan produksi
rimpang dan mutu kandungan zat berkhasiat terhadap enam nomor harapan
temulawak yang telah dilakukan pada uji multilokasi oleh tim peneliti Balittro
(Setiono et al. 2006). Selanjutnya temulawak terpilih yang mengandung xantorizol
tertinggi digunakan lebih lanjut untuk keperluan penelitian bagian kedua, yaitu
isolasi xantorizol.


 

Xantorizol merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas
terhadap aktivitas antibakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap kulit
manusia. Xantorizol dapat menghambat berbagai macam bakteri, misalnya
Streptococcus mutans, Bifidobacterium bifidum, Penicilium chrysogenum, dan
beberapa bakteri lainnya (Hwang 2004). Oleh karena itu xantorizol dapat
dimanfaatkan pada berbagai produk, misalnya pada pasta gigi, sabun, pembersih
mulut, permen karet, kosmetik, dan industri farmasi. Hwang et al. (2000) telah
berhasil mengisolasi xantorizol dari fraksi etil asetat ekstrak metanol temulawak
sebanyak 0.2 g dari 100 g rimpang temulawak kering (rendemen 0.2%). Aguilar et
al. (1993) juga telah mengisolasi xantorizol dari ekstrak kloroform akar tanaman
Iostephane heterophylla (asal Meksiko) sebanyak 12.02 g dari 2.8 kg sampel yang
digunakan (rendemen 0.42%). Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan isolasi
xantorizol dari temulawak terpilih menggunakan metode separasi dengan teknik
kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif dan asetilasi ekstrak kasar. Asetilasi ekstrak
kasar sebelum pemurnian dengan KLT preparatif diharapkan dapat menghasilkan
rendemen lebih tinggi. Selain itu dilakukan pula isolasi xantorizol menggunakan
metode Hwang et al. (2000) sebagai metode pembanding untuk memperoleh
informasi mengenai karakteristik xantorizol.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah (a) memilih nomor harapan temulawak A atau F
dari Balittro yang terbaik berdasarkan kandungan xantorizol yang tinggi, (b)
menentukan kondisi lingkungan agrobiofisik yang menghasilkan tingkat bahan aktif
tinggi, dan (c) mendapatkan metode separasi (ekstraksi – asetilasi – separasi dengan
KLT preparatif – deasetilasi) yang dapat memisahkan xantorizol dengan kadar lebih
tinggi daripada metode yang sudah ada (metode Hwang 2000: ekstraksi – separasi
kolom kromatografi tahap 1 – asetilasi – separasi kolom kromatografi tahap 2 deasetilasi).


 

 

TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
Curcuma berasal dari bahasa Yunani, xanthos yang berarti kuning dan
rhizaa yang berarti umbi akar. Jadi Curcuma xanthorrhiza berarti akar kuning.
Temulawak atau koneng gede (Sunda), temo labak (Madura), temulawas
(Malaysia) merupakan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak
terdapat di Ambon, Bali, dan Jawa (Sutarno & Atmawidjojo 2001). Saat ini
tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indocina,
Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa
(Anonim 2005). Dari segi taksonomi, temulawak masuk dalam dunia plantae,
divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, keluarga
Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza.
Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian 5-1800 meter di atas permukaan
laut (m dpl) dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 m dpl.
Pembudidayaan di dataran rendah pada ketinggian 240 m dpl menghasilkan
rimpang yang kandungan patinya lebih tinggi, sebaliknya di dataran tinggi
menghasilkan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding dataran rendah
(Direktorat Aneka Tanaman 2000).
Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan
terlindung dari sinar matahari. Di habitat alamiya, rumpun tanaman ini tumbuh
subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian, temulawak
juga dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini
memiliki daya adaptasi yang tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim tropis
(Afifah & Lentera 2003). Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 15004000 mm/tahun atau daerah bertipe iklim A, B, dan C menurut Schimdt-Ferguson.
Pada daerah iklim C tanaman cepat mengalami fase pertumbuhan mengering pada
bagian daun dan batang semu karena musim hujan yang relatif lebih pendek
dibandingkan daerah dengan tipe iklim A dan B, sedangkan toleransi suhu untuk
pertumbuhan adalah antara 19-35oC (Soediarto 1985).
Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis
tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir, maupun tanah-tanah berat yang


 

berliat. Produksi rimpang yang optimum memerlukan tanah yang subur, gembur,
dan berdrainase baik. Pemupukan anorganik dan organik diperlukan juga untuk
memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur.
Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah
tidak mudah tergenang air (Rahardjo & Rostiana 2005).
Temulawak (Gambar 1a) merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak
dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau
cokelat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat,
berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai 2–9 helai daun dengan bentuk
bundar memanjang sampai lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang
sampai gelap, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–18 cm, panjang tangkai daun
termasuk helaian 43–80 cm. Daun termasuk tipe daun sempurna, artinya tersusun
dari pelepah daun, tangkai daun, dan helai daun (Sidik et al. 1995). Kelopak
bunga berwarna putih berbulu, panjang 8–13 mm, mahkota bunga berbentuk
tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar
memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah,
panjang 1,25–2 cm dan lebar 1 cm (Anonim 2005).
Sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar tunggang. Akar
yang dipunyai adalah rimpang. Rimpang adalah bagian batang di bawah tanah.
Rimpang disebut juga umbi akar, umbi batang atau umbi tinggal. Rimpang
temulawak berukuran paling besar di antara semua rimpang genus Curcuma
dengan diameter sampai 6 cm. Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk
(empu) dan rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti
telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan. Bagian dalamnya
berwarna jingga kecokelatan. Rimpang kedua yang lebih kecil keluar dari rimpang
induk. Arah pertumbuhannya ke samping, berwarna lebih muda dengan bentuk
yang bermacam-macam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih
dari satu tahun, akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam
dan rasanya pahit agak pedas. Produk yang diambil dari tanaman tersebut adalah
rimpang induk yang tumbuh dekat permukaan tanah dengan kedalaman 5–8 cm
(Wahid & Soediarto 1985). Panen dilakukan setelah tanaman daunnya menguning


 

dan kering. Panen yang terbaik adalah ketika tanaman berumur 11-12 bulan
(Darwis et al. 1991). Irisan rimpang temulawak ditunjukkan pada Gambar 1b.

( a)
(b)
Gambar 1 (a) Tanaman temulawak dan (b) irisan rimpang temulawak

Komposisi Kimia Temulawak
Rimpang temulawak mengandung zat warna kuning kurkumin, minyak
atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1988). Kadar dari setiap
komponen tersebut bergantung pada umur panen. Rimpang kering temulawak
mengandung 29–34% karbohidrat, dan 6–10% minyak atsiri, sedangkan rimpang
segar mengandung air 70–80% (Herman 1985). Suwiah (1991) menguraikan
komposisi rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% yang ditunjukkan
pada Tabel 1. Menurut Sinambela (1985), komponen utama rimpang temulawak
adalah fraksi zat warna kurkuminoid dan minyak atsiri. Kadar minyak atsiri
rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka ditunjukkan pada Tabel 2.
Komponen minyak temulawak menurut Liang et al. (1985), Anang 1992, serta
Dickes dan Nicholas (1976) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak
Komponen
Pati
Lemak (fixed oil)
Kurkumin
Serat kasar
Abu
Protein
Minyak atsiri

Sumber: Suwiah (1991)

Persentase (%)
27.62
5.38
1.93
6.89
3.96
6.44
10.96


 

Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak
Sumber
Balai Penelitian dan Pengembangan
Industri Ujung Pandang (1980 dalam Herman 1985)
Meijer dan Kollhaas (1939 dalam Nurdjanah et al. 1994)
Lucker et al. (1976 dalam Liang et al. 1985)

Kadar minyak atsiri (%)
6-10
7,3-9,5
7-11

Sirait et al. (1985)
Rimpang temulawak berumur:
8 bulan
10 bulan
12 bulan
15 bulan

4,6
5,2
5,3
5,1

Tabel 3 Komponen minyak temulawak
I
1. trisiklin
2. α-pinena
3. kamfena
4. β-pinena
5. sabrinena
6. mirsena
7. felandrena
8. limonena
9. 1,8-sineol
10. δ-terpinena
11. β- simen
12. terpionlen
13. δ-elemena
14. kamfor
15. α-bergamolena
16. β-elemena
17. kariofilena
18. allo-aromadendren
19. trans-β-farnesena
20. berneol
21. gerwakrena D
22. zingiberena
23. β-bisabolen
24. β-kurkumena
25. β-kadinena
26. β-seskuifelandrena
27. ar-kurkumen
28. isofuranogermasen
29. turmeron
30. turmerol
31. ar-turmeron
32. xantorizol

II
*seskuiterpen
- β-kurkumena
-α-kurkumena
-1-sikloisoprenmirsean
-zingiberena
-xantorizol
-turunan bisabolen
-epolisid-bisakuron
-bisakuron A
-bisakuron B
-bisakuron C
*ketonseskuiterpena
-turmeron
-α-turmeron
-α-atlanton (0,3%)
-germakron
*monoterpena
-sineol
-d-borneol
-d-α-feladrena
-d-kamfan

Sumber:
I = Liang et al. (1985)
II = Maiwald dan Schwantes (1991 dalam Anang 1992)
III = Dicnes dan Nicholas (1976)

III
-α-lumulena (25,2%)
-kamfan (21,9%)
-zerumbon (21,2%)
-α-kurkumen (0,8%)
-lumulen epolesi (4,6%)
-kamfor (4,2%)
-α-pinena (3,4%)
-borneol dan
α-terpineol (0,6%)
-eukaliptol (1,8%)
-β-kariofilena (1,6%)
-limonena (1,5%)
-linaloal (0,9%)
-3-karena (0,3%)
-lumulena dioksida
-β-pinena (0,6%)


 

Xantorizol
Xantorizol merupakan komponen minyak atsiri rimpang temulawak yang
termasuk ke dalam kelompok terpena teroksigenasi. Xantorizol merupakan
komponen yang khas dari minyak temulawak yang membedakannya dengan minyak
jenis curcuma yang lain (Setijadi 1985, Sirait et al. 1985).
Ciri xantorizol menurut Hwang (2000) adalah sebagai berikut: golongan
seskuiterpena, BM 218 g/mol, tidak berwarna, tak-asiri, stabil terhadap suhu dan
panas, sangat pahit, dan rumus molekulnya ialah C15H22O. Xantorizol larut dalam
DMSO dan etanol 96%. Nama IUPAC (International Union of Pure and Applied
Chemistry) xantorizol adalah 5-(1,5-dimetil-heks-4-enil)-2-metil-fenol. Rumus
strukturnya ditunjukkan pada Gambar 2.

HO
H3 C
Gambar 2 Struktur xantorizol (Hwang 2000)
Aktivitas Hayati Xantorizol
Xantorizol mempunyai daya hambat yang tinggi terhadap bakteri spesies
Streptococus penyebab karies pada gigi. Berdasarkan hal tersebut maka xantorizol
dapat digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi untuk mencegah penyakit
pada gigi (Hwang 2000). Xantorizol juga dapat digunakan sebagai agen potensial
pembentukan biofilm oleh Streptococcus mutans (Rukayadi & Hwang 2007).
Penelitian lain menunjukkan bahwa xantorizol memiliki aktivitas sebagai anti-fungi
pada spesies candida, sehingga dimungkinkan dapat digunakan untuk pengobatan
candidiasis (Rukayadi 2006).
Xantorizol juga memiliki aktivitas hayati sebagai antikanker dan antiinflamasi.
Penelitian Lee et al. (2002) memperlihatkan bahwa xantorizol dapat digunakan
sebagai kandidat inhibitor COX-2 dan iNOS bagi penderita kanker kemopreventif
atau sebagai antiinflamasi. Xantorizol juga dapat digunakan sebagai neuroproteksi.


 

Liem et al. (2005) melaporkan bahwa xantorizol merupakan kandidat efektif untuk
pengobatan penyakit alzheimer dan penyakit saraf lain yang terkait dengan Reactive
Oxygen Species (ROS) dan inflamasi. Yamazaki et al. (1987 dalam Sidik 1995) juga
menyatakan xantorizol mempunyai efek memperpanjang masa tidur yang
diakibatkan oleh pentobarbital dengan cara menghambat aktivitas sitokrom P450,
atau dengan kata lain xantorizol dapat digunakan sebagai antidepresan.
Penelitian lain yang dilakukan Chilwan et al. (1993) yang meneliti efek
insektisida empat jenis rimpang spesies Zingiberaceae, yaitu Curcuma xanthorriza,
C. Zeodoaria, Kaempferia galanga, dan K. pandurata. 17 komponen terbesar
termasuk flavonoid, seskuiterpenoid, dan derivat asam sinamat berhasil diisolasi dan
diidentifikasi menggunakan nuclear magnetic resonance (NMR) dan spektrum
massa. Semua komponen ini diuji toksisitasnya terhadap larva Spodoptera littoralis.
Hasil uji biologis nya menunjukkan bahwa xantorizol dan furanodienon merupakan
senyawa yang paling aktif menunjukkan toksisitas melawan larva yang baru lahir.
Isolasi Xantorizol (Hwang 2000)
Hwang telah berhasil mengisolasi xantorizol dari rimpang tanaman
temulawak menggunakan metode ekstraksi pelarut, kolom kromatografi, dan
reaksi asetilasi dan deasetilasi. Sistem ekstraksi yang dilakukan adalah ekstraksi
bertahap menggunakan pelarut metanol dan etil asetat. Ekstrak kasar yang
diperoleh kemudian diaplikasikan dalam kromatografi kolom menggunakan fase
diam silika gel dan eluen campuran heksana dan etil asetat untuk memperoleh
fraksi aktif yang mengandung xantorizol. Tahap selanjutnya yang dilakukan
Hwang (2000) adalah melakukan asetilasi terhadap fraksi aktif hasil kolom, dan
dilanjutkan dengan mengaplikasikan kembali fraksi aktif terasetilasi tersebut ke
dalam kolom kromatografi untuk memperoleh senyawa tunggal terasetilasi. Tahap
terakhir adalah deasetilasi terhadap fraksi aktif terasetilasi tunggal untuk
memperoleh senyawa xantorizol murni. Identifikasi yang dilakukan adalah dengan
spektroskopi inframerah dan NMR. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hwang
berhasil memperoleh senyawa xantorizol sebanyak 0.2 g dari 100 g sampel
temulawak kering yang digunakan, atau dengan kata lain rendemen yang
diperoleh sebesar 0.2 % dengan kemurnian 99.9%.

 10 
 

METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah evaporator, pelat KLT
silika gel GF254, kolom kromatografi silika gel (Merck; 70-230 mesh; 1×25 cm),
spektrofotometer FTIR merek Shimadzu, HPLC merek Shimadzu, dan LC-MS
merek Shimadzu.
Bahan-bahan yang digunakan adalah temulawak yang berasal dari
Kabupaten Boyolali dan Cileungsi yang masing-masing terdiri atas dua nomor
harapan, yaitu A dan F (Balittro), yang dipanen pada umur 9 bulan setelah tanam,
resin penukar kation jenis Dowex C-211, dan standar xantorizol (diperoleh dari
Prof. Hwang JK, Universitas Yonsei, Korea Selatan).
Prosedur
Secara garis besar penelitian dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu (1)
pemilihan sampel temulawak dari 2 nomor harapan dan 2 lokasi tanam yang
menghasilkan kadar bioaktif tinggi (xantorizol), dan (2) isolasi xantorizol dari
sampel temulawak terpilih.
Pemilihan Sampel Temulawak
Pada bagian pertama, dilakukan pemilihan sampel temulawak yang terdiri
atas dua nomor harapan temulawak yang dimiliki Balittro (A dan F), yang berasal
dari dua daerah, yaitu Cileungsi dan Boyolali. Dengan demikian pada percobaan ini
diamati sebanyak empat sampel, masing-masing sampel terdiri atas tiga ulangan.
Sampel diekstraksi menggunakan etanol 96%, selama enam jam sambil sekali-kali
diaduk, kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan, dan proses
diulang dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat
dikumpulkan kemudian disaring dengan kertas saring Whatman lalu diuapkan
dengan penguap vakum. Ekstrak kental diukur kadar xantorizolnya dengan
menggunakan HPLC. Sistem HPLC yang digunakan ialah kolom C18, detektor
UV-Vis, volume injeksi 10 µL, elusi gradien (eluen H3PO4 dan metanol), dan
suhu kolom 40 ºC (Darusman et al. 2007). Sampel yang memiliki kadar xantorizol

11 
 

tertinggi merupakan sampel terpilih yang digunakan untuk tahap penelitian
selanjutnya.
Isolasi Xantorizol
Pada bagian kedua, dilakukan isolasi xantorizol menggunakan metode
modifikasi ekstraksi pelarut, asetilasi ekstrak kasar, dan kromatografi lapis tipis
preparatif, serta dilakukan pula isolasi menggunakan metode Hwang (2000) sebagai
metode pembanding. Bagan alir isolasi xantorizol ditunjukkan pada Lampiran 1.
Metode Hwang (2000)
Isolasi Ekstrak Kasar
Isolasi ekstrak kasar dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut. Sampel
temulawak terpilih (dari bagian 1) diekstraksi dengan cara maserasi dengan
pelarut metanol 75% (v/v) selama 6 jam sambil sekali-kali diaduk, kemudian
didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan, dan proses diulang 2 kali dengan
jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan kemudian
disaring dengan kertas saring Whatman lalu diuapkan dengan penguap vakum.
Ekstrak kental yang dihasilkan difraksinasi lebih lanjut dengan pelarut etil asetat
kemudian diuapkan lagi sehingga diperoleh fraksi etil asetat dan metanol. Kedua
fraksi tersebut lalu dianalisis dengan KLT menggunakan pelarut heksana:etil
asetat (10:1, v/v). Fraksi yang mengandung senyawa xantorizol (Rf-nya sama
dengan Rf standar) digunakan untuk isolasi lebih lanjut dengan kromatografi
kolom.

Kromatografi Kolom
Ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya difraksinasi menggunakan
kromatografi kolom. Kromatografi kolom dilakukan dengan menggunakan fase
diam berupa silika gel Merck dengan ukuran 70-230 mesh, dimensi 1×25 cm, dan
fase gerak berupa heksana:etil asetat (10:1, v/v). Fraksi-fraksi ditampung setiap 5
ml. Selanjutnya fraksi yang diperoleh dianalisis dengan KLT dan Rf dari fraksi
dibandingkan dengan standar xantorizol. Fraksi yang mempunyai Rf dan jumlah
spot yang sama digabung, kemudian diuapkan sehingga diperoleh fraksi
xantorizol.

12 
 

Asetilasi dan Deasetilasi
Asetilasi dilakukan terhadap fraksi xantorizol hasil kromatografi kolom
dengan cara melarutkannya ke dalam piridin:asetat anhidrat (1:1, v/v) dan
direaksikan selama 24 jam pada suhu kamar. Kemudian senyawa terasetilasi yang
diperoleh dimasukkan ke dalam kolom kromatografi lagi menggunakan eluen
heksana:etil asetat (10:1, v/v) sehingga diperoleh fraksi xantorizol terasetilasi.
Fraksi ini kemudian dicirikan dengan KLT dan FTIR.
Deasetilasi dilakukan terhadap fraksi xantorizol terasetilasi dengan cara
melarutkannya ke dalam metanol, lalu ditambahkan KOH dengan konsentrasi 37%, kemudian dimasukkan ke dalam resin penukar kation selama 3 jam sehingga
diperoleh

senyawa

xantorizol.

Pencirian

dilakukan

menggunakan

KLT,

spektrofotometer FTIR, HPLC, dan LC-MS.
Metode Modifikasi
Isolasi ekstrak kasar dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut. Sampel
temulawak sebanyak 250 g diekstraksi dengan cara maserasi dengan pelarut
etanol 96% (v/v) selama enam jam sambil sekali-kali diaduk, kemudian
didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan, dan proses diulang dua kali
dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan
kemudian disaring dengan kertas saring Whatman lalu diuapkan dengan penguap
vakum. Ekstrak kental yang dihasilkan kemudian dihilangkan kandungan airnya
menggunakan natrium sulfat anhidrat, kemudian diasetilasi menggunakan
prosedur yang sama dengan prosedur asetilasi metode Hwang (2000). Produk
asetilasi kemudian dicirikan (KLT dan FTIR), hasilnya dibandingkan dengan hasil
asetilasi metode Hwang. Selanjutnya senyawa hasil asetilasi tersebut difraksinasi
lanjut dengan KLT preparatif menggunakan eluen yang sama dengan eluen kolom
kromatografi metode Hwang, lalu dideasetilasi. Hasil deasetilasi dicirikan dengan
KLT, FTIR, HPLC, dan LC-MS.

13 
 
 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel Temulawak Terpilih
Pada penelitian ini sampel yang digunakan terdiri atas empat jenis sampel,
yang dibedakan berdasarkan lokasi tanam dan nomor harapan. Lokasi tanam terdiri
atas daerah Cileungsi (Jawa Barat) dan Boyolali (Jawa Tengah). Pemilihan kedua
lokasi tanam tersebut dimaksudkan untuk mewakili kondisi agrobiofisik yang
berbeda sehingga dapat menunjukkan lokasi yang paling sesuai untuk
membudidayakan tanaman temulawak yang memiliki kandungan bioaktif tertinggi
(dalam hal ini xantorizol). Cileungsi mewakili sentra pengembangan budidaya
temulawak di Jawa Barat sedangkan Kragilan (Boyolali) yang mewakili sentra
pengembangan budi daya temulawak di Jawa Tengah. Nomor harapan yang
digunakan sebagai sampel adalah nomor harapan A dan F, yang keduanya
merupakan nomor harapan temulawak yang digunakan oleh Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) untuk uji multilokasi. Nomor harapan A dan
F dipilih berdasarkan keunggulan produksi rimpang dan mutu kandungan zat
berkhasiat dibandingkan enam nomor harapan temulawak lainnya yang telah
dilakukan tim peneliti Balittro (Setiono et al. 2006).
Berdasarkan uji xantorizol, kedua nomor harapan temulawak memiliki
kecenderungan yang berbeda dalam menghasilkan bioaktif. Analisis statistika
pengaruh lokasi tanam dan nomor harapan pada kandungan xantorizol ditunjukkan
pada Lampiran 2. Hasilnya menunjukkan bahwa lokasi penanaman dan nomor
harapan mempunyai pengaruh yang berbeda nyata pada kandungan xantorizol
temulawak. Kandungan xantorizol tertinggi dihasilkan oleh nomor harapan
temulawak A di lokasi Cileungsi, yaitu 0,0382%. Contoh kromatogram HPLC dan
cara perhitungan kadar xantorizol ditunjukkan pada Lampiran 3 dan rekapitulasi
hasil pengukuran kandungan xantorizol dalam keempat jenis sampel ditunjukkan
pada Tabel 4.
Tabel 4 Kandungan xantorizol keempat jenis sampel temulawak
Sampel
Cileungsi A
Boyolali A
Cileungsi F
Boyolali F

Kadar xantorizol (%)
0.0382 (±0.0042); SD = 0.0055
0.0288 (±0.0014); SD = 0.0018
0.0306 (±0.0013); SD = 0.0018
0.0259 (±0.0008); SD = 0.0012

14 
 

Produksi metabolit sekunder pada suatu tanaman dipengaruhi oleh banyak
faktor, di antaranya genetik, nutrisi, enzim, umur tanaman, dan interaksi antara
lingkungan biotik dan abiotik. Setiap faktor memiliki mekanisme biokimiawi
kompleks tertentu yang menyebabkan kedua nomor harapan temulawak
memproduksi bioaktif xantorizol berbeda baik yang ditanam di Cileungsi maupun di
Boyolali.
Kondisi curah hujan di lokasi penelitian menurut Setiyono et al. (2006) adalah
5500-6500 mm/tahun untuk Boyolali dan 223,97 mm/tahun untuk Cileungsi.
Waterman dan Mole (1989; dalam Seigler 1998) menyatakan bahwa kuantitatif dan
kualitatif yang beragam dari metabolit sekunder pada tanaman dapat terjadi sebagai
respons dari cekaman yang ditimbulkan oleh lingkungannya. Curah hujan di
Cileungsi lebih rendah dan kondisi tanah lebih liat dibandingkan Boyolali. Hal ini
diduga merupakan salah satu kondisi cekaman yang memungkinkan terjadinya
induksi dalam produksi xantorizol yang tinggi di lokasi Cileungsi. Meskipun
induksi xantorizol dipengaruhi juga oleh faktor genetik kedua nomor harapan
temulawak tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Khaerana (2007) yang menunjukkan bahwa cekaman kekeringan menyebabkan
meningkatnya kandungan metabolit jenis asiri dalam temulawak. Kondisi
agrobiofisik lokasi penanaman temulawak pada penelitian ini ditunjukkan pada
Tabel 5.
Berdasarkan hasil penelitian, sampel yang menunjukkan kandungan
xantorizol tertinggi dimiliki oleh sampel yang ditanam di Cileungsi dengan nomor
harapan A, maka sampel tersebutlah yang dipilih sebagai sampel untuk keperluan
isolasi xantorizol yang dilakukan pada bagian kedua penelitian ini.

15 
 

Tabel 5 Ciri agrobiofisik lokasi penanaman temulawak
Kondisi agrobiofisik
Cileungsi

Lokasi penanaman temulawak
Boyolali

Kondisi iklim:
Suhu (ºC)
Ketinggian (m dpl)
Curah hujan ( mm/tahun)

28-34
200
223.97

18-35
450
5500-6500

Sifat fisik tanah:
Kandungan komponen (%)
Pasir
Debu
Liat

35.87
24.23
39.90

41.49
37.98
20.53

Sifat kimia tanah:
pH:
H2O
C Organik (%)
N total (%)
C/N rasio
P tersedia (ppm)

4.65
0.95
0.13
7.31
1.06

5.10
0.51
0.09
5.67
23.51

Basa yang dapat dipertukarkan (me/100 ):
Ca
5.39
Mg
1.29
K
0.17
Na
0.25
Total
7.10
Al dd (me/100 g)
2.13
KTK (me/ 100 g)
15.87
Kejenuhan basa (%)
44.74
Sumber: Setiono et al. (2006)

2.31
0.33
0.11
0.18
2.93
0.41
7.27
40.30

Isolasi Xantorizol
Pada bagian kedua penelitian ini dilakukan dua jenis metode isolasi
xantorizol. Metode pertama menggunakan metode Hwang (2000) sebagai metode
pembanding, dan metode kedua menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif
yang digabung dengan modifikasi dari metode Hwang.

Metode Hwang (2000)
Ekstraksi menghasilkan ekstrak kasar metanol sebanyak 14.6244 g dari
sampel awal 250 g (5.8%). Fraksinasi lanjut dengan etil asetat menghasilkan
ekstrak etil asetat sebanyak 5.7127 g (39.06%). Dari hasil fraksinasi kolom
ekstrak etil asetat diperoleh 20 fraksi. Masing-masing fraksi yang diperoleh
tersebut dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dan dibandingkan
de