Isolasi dan Pemurnian Xantorizol dari Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

ISOLASI DAN PEMURNIAN XANTORIZOL DARI TEMU
LAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

WINA APRIANI SUTISNA

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

ABSTRAK
WINA APRIANI SUTISNA. Isolasi dan Pemurnian Xantorizol dari Temu Lawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Dibimbing oleh LATIFAH KOSIM
DARUSMAN dan RUDI HERYANTO.
Xantorizol adalah komponen aktif utama dalam minyak atsiri temu lawak.
Xantorizol berfungsi sebagai antifungi, antibakteri, antioksidan dan anti-inflamasi.
Xantorizol sebelumnya telah berhasil diisolasi dengan menggunakan berbagai
metode, salah satunya yaitu metode Asriani (2010) dengan cara ekstraksi pelarut
(etanol 96%), asetilasi, Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP) dan
deasetilasi yang menghasilkan xantorizol dengan kemurnian 99%. Xantorizol
yang diperoleh masih belum murni karena ditemukan adanya campuran dengan

senyawa lain. Penelitian ini melakukan isolasi xantorizol menggunakan tiga
metode modifikasi dari metode Asriani. Metode modifikasi I yaitu melakukan dua
kali ekstraksi, yaitu menggunakan pelarut etanol dan heksana. Metode modifikasi
II yaitu melakukan tiga kali ekstraksi, yaitu menggunakan pelarut etanol, heksana,
dan dietil eter. Metode modifikasi III yaitu melakukan dua kali ekstraksi
menggunakan pelarut etanol dan heksana serta melakukan KLTP tahap II pada
ekstrak hasil deasetilasi. Metode modifikasi I dan II masing-masing menghasilkan
xantorizol dengan kemurnian 78.1 dan 80.1% untuk ekstrak etanol, serta 80.1 dan
88.1% untuk ekstrak heksana. Metode modifikasi III berhasil mengisolasi
xantorizol dengan kemurnian yang paling tinggi yaitu 94.3%. Hasil analisis GCMS menunjukkan salah satu dari dua puncak yang muncul yaitu pada waktu
retensi 11.44 menit dengan luas area 94.3% dan BM 218.0 adalah xantorizol.
Hasil ketiga metode modifikasi masih lebih rendah dari metode Asriani, sehingga
metode Asriani masih lebih baik dan lebih efisien.
Kata kunci: isolasi, pemurnian, xantorizol, temu lawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.)

ABSTRACT
WINA APRIANI SUTISNA. Isolation and Purification of Xanthorrhizol from
Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Under direction of LATIFAH
KOSIM DARUSMAN and RUDI HERYANTO.

Xanthorrhizol is the main active component in the essential oil of temu lawak
(Curcuma xanthorriza Roxb.). Xanthorrhizol has antifungal, antibacterial,
antioxidant, and anti-inflammatory activities. Xanthorrhizol is isolated by Asriani
(2010) using solvent extraction (ethanol 96%), acetylation, Preparative Thin
Layer Chromatography (PTLC), and deacetylation, which produce xanthorrhizol
with 99% purity. The xanthorrhizol obtained is not pure because there are still
other compounds in the mixture. This research perfoms xanthorrhizol isolation
using three different modifications based on Asriani’s method. The modified
method I conducts two-times extraction: ethanol and hexane extractions. The
modified method II conducts three-times extraction: ethanol, hexane, and diethyl
ether extractions. The modified method III conducts two-times extraction using
ethanol and hexane as solvents, and also conduct PTLC phase II in order to
extract the deacetylated product. The modification method I and II produce
xanthorrhizol with purity 78.1 and 80.1 % for ethanol extract, and 80.1 and 88.1
% for hexane extract, respectively. Modified method III is able to isolate
xanthorrhizol with the highest purity, i.e. 94.3%. GC-MS analysis to the product
shows that one of the two peaks appeared at the retention time of 11.44 minutes
with an area of 94.3% and MW 218.0 is xanthorrhizol. The results from all of
these modified methods were lower than Asriani’s method, which comes to the
conclusion that Asriani’s method is better and more efficient.

Key words: isolation, purification, xanthorrhizol, temu lawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.)

ISOLASI DAN PEMURNIAN XANTORIZOL DARI TEMU
LAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

WINA APRIANI SUTISNA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

Judul : Isolasi dan Pemurnian Xantorizol dari Temu Lawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.)

Nama : Wina Apriani Sutisna
NIM : G44070032

Disetujui

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS
NIP 19530824 197603 2 001

Rudi Heryanto, S.Si., M.Si
NIP 19760428 200501 1 002

Diketahui
Ketua Departemen Kimia,

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS.
NIP 19501227 197603 2 002


Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul
Isolasi dan Pemurnian Xantorizol dari Temu Lawak (Curcuma Xanthorrhiza
Roxb.). Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2011 sampai Februari 2012
yang bertempat di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut
Pertanian Bogor, dan Pusat Studi Biofarmaka Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Ir. Latifah K.
Darusman, MS selaku pembimbing pertama dan Rudi Heryanto, S.Si, M.Si selaku
pembimbing kedua atas bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama
penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada
Pusat Studi Biofarmaka yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
meneliti dalam materi temu lawak. Terima kasih juga atas bantuan yang telah
diberikan oleh para staf Laboratorium Kimia Analitik (Pak Eman, Bu Nunung,
Pak Dede, Pak Engkos) dan staf Laboratorium Biofarmaka (Mba Wiwi, Bu
Nunuk, Pak Zaim, Mas Antonio, Mas Endi, Mba Ina) yang telah membantu dalam
teknis penelitian. Kemudian terima kasih penulis ucapkan untuk rekan-rekan kerja

di Laboratorium Kimia Analitik (Pita, Ilfa, Hanifah, Ichsan, Niati, Kak Redo, Mba
Meysi, Teh Diah, Teh Irma) yang telah ikut memberikan bantuan teknis, serta tak
lupa untuk Mamah, Bapak, dan keluarga yang senantiasa mendoakan penulis.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.

Bogor, Juni 2012

Wina Apriani Sutisna

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 April 1989 dari Bapak Entis
Sutisna dan Ibu Nuni Rusmini. Penulis merupakan putri kedua dari dua
bersaudara.
Tahun 2001 penulis menyelesaikan sekolah di SDN Ciwidey II dan pada
tahun 2004 penulis menyelesaikan sekolah di SMPN 1 Ciwidey. Tahun 2007
penulis lulus dari SMAN 1 Ciwidey dan pada tahun yang sama lulus seleksi
masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Program Studi
Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten
praktikum Kimia Dasar pada tahun ajaran 2009-2010, asisten Kimia Analitik I

dan Kimia Analitik Layanan untuk Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan
serta Program Studi Biologi tahun ajaran 2010-2011, asisten Pendidikan Agama
Islam tahun ajaran 2010-2011, serta asisten Kimia Bahan Alam pada tahun ajaran
2011-2012. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di Balai
Penelitian Ternak Ciawi dari bulan Juli sampai Agustus 2010. Selain itu, penulis
aktif berorganisasi di Ikatan Keluarga Muslim TPB IPB pada tahun 2007-2008,
Bina Desa BEM KM IPB pada tahun 2009-2010, dan Lembaga Dakwah Kampus
Al-Hurriyyah IPB dari tahun 2007-2011.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... ix
PENDAHULUAN ..................................................................................................1
METODE ................................................................................................................3
Bahan dan Alat .....................................................................................................3
Lingkup Kerja ......................................................................................................3
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................................4
Metode Modifikasi I ............................................................................................4
Metode Modifikasi II ...........................................................................................8

Metode Modifikasi III.........................................................................................10
Perbandingan Hasil Isolasi Metode Asriani dengan Metode Modifikasi ...........11
SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................12
Simpulan ............................................................................................................12
Saran ...................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................12
LAMPIRAN ...........................................................................................................15

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Tanaman Temu Lawak......................................................................................2

2

Irisan Rimpang Temu Lawak ............................................................................2

3


Struktur Kimia Xantorizol ................................................................................ 2

4

Perbandingan Spektrum FTIR Ekstrak Etanol dan Ekstrak Heksana
Metode Modifikasi I Sebelum dan Setelah Asetilasi ........................................5

5

Skema Reaksi Asetilasi Xantorizol ................................................................... 5

6

Profil KLTP Ekstrak Etanol dan Ekstrak Heksana ........................................... 6

7

Perbandingan Spektrum FTIR Ekstrak Etanol dan Ekstrak Heksana
Metode Modifikasi I Sebelum dan Setelah Deasetilasi ....................................7


8

Profil KLT Ekstrak Etanol dan Ekstrak Heksana Hasil Deasetilasi .................8

9

Perbandingan Spektrum FTIR Ekstrak Etanol dan Ekstrak Heksana
Metode Modifikasi II Sebelum dan Setelah Asetilasi.......................................9

10 Profil KLT Dugaan Xantorizol Ekstrak Etanol dan Ekstrak Heksana
Metode Modifikasi II ........................................................................................9
11 Perbandingan Spektrum FTIR Ekstrak Etanol dan Ekstrak Heksana
Metode Modifikasi II Sebelum dan Setelah Deasetilasi .................................10
12 Profil KLT Dugaan Xantorizol Hasil KLTP Tahap II ....................................11
13 Struktur Molekul 2-Etoksikarbonil Benzotiol ................................................13

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1


Bagan Alir Penelitian.. .................................................................................... 15

2

Data Kadar Air ................................................................................................ 16

3

Profil Kromatogram Standar Xantorizol 100 ppm.......................................... 17

4

Profil Kromatogram Ekstrak Etanol Metode Modifikasi I ............................. 18

5

Profil Kromatogram Ekstrak Heksana Metode Modifikasi I .......................... 19

6

Profil Kromatogram Ekstrak Etanol Metode Modifikasi II ............................ 20

7

Profil Kromatogram Ekstrak Heksana Metode Modifikasi II......................... 21

8

Profil Kromatogram Standar Xantorizol 50 ppm............................................ 22

9

Profil Kromatogram Dugaan Xantorizol Ekstrak Etanol Metode
Modifikasi I .....................................................................................................23

10 Profil Kromatogram Dugaan Xantorizol Ekstrak Heksana Metode
Modifikasi I .....................................................................................................24
11 Profil Kromatogram Dugaan Xantorizol Ekstrak Etanol Metode
Modifikasi II ...................................................................................................25
12 Profil Kromatogram Dugaan Xantorizol Ekstrak Heksana Metode
Modifikasi II ...................................................................................................26
13 Profil HPLC Standar Xantorizol 50 ppm ........................................................27
14 Profil HPLC Dugaan Xantorizol Ekstrak Heksana Metode Modifikasi III ....28
15 Data Hasil Analisis GC-MS ............................................................................29
16 Data Kemurnian dan Rendemen Xantorizol dari Ketiga Metode
Modifikasi .......................................................................................................31

PENDAHULUAN
Tanaman obat merupakan komoditas yang
sangat spesifik, karena persyaratan standar
mutu ditetapkan sesuai dengan kandungan
senyawa aktif yang berkhasiat obat. Salah satu
jenis tanaman obat yang potensial untuk
dikembangkan adalah temu lawak (Kiswanto
2009). Di antara tanaman obat yang termasuk
suku Zingiberaceae, simplisia temu lawak
merupakan bahan yang terbanyak dipakai di
dalam negeri untuk pabrik jamu atau obat
tradisional. Konsumsi rata-rata simplisia temu
lawak adalah 219.973 kg/tahun, jahe 182.045
kg/tahun, dan kencur 53.904 kg/tahun. Selain
digunakan di dalam negeri, simplisia temu
lawak juga diekspor ke Singapura, Jerman,
dan Taiwan (Syukur & Hernani 2002).
Produk setengah jadi dari tanaman temu
lawak adalah simplisia, pati, minyak, dan
ekstrak.
Produk
industrinya
adalah
makanan/minuman, kosmetika, sirup, instan,
bedak, tablet dan kapsul (Deptan 2005).
Secara tradisional, temu lawak sangat populer
digunakan sebagai pelengkap ramuan jamu.
Temu lawak berkhasiat sebagai penurun
kolesterol, merangsang keluarnya ASI
(Santosa & Gunawan 1999), memperlancar
produksi empedu, menghilangkan rasa nyeri,
menurunkan panas badan, membunuh bakteri,
mengobati jerawat, dan mencegah penyakit
hati (MTIC 2002).
Rimpang temu lawak sejak lama dikenal
sebagai bahan ramuan obat. Aroma dan warna
khas dari rimpang temu lawak adalah berbau
tajam dan daging umbinya berwarna
kekuning-kuningan
(Mahendra
2005).
Kandungan minyak atsiri dalam rimpang
terdiri atas kurkumin, kamfer, glukosida, zat
pati,
felandren,
mirsen,
isofuranogermacreene,
dan
xantorizol
(Duryatmo 2003). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa komponen aktif utama
dalam minyak atsiri temu lawak yang juga
merupakan senyawa khas dari rimpang temu
lawak adalah xantorizol (Asriani 2010).
Xantorizol mempunyai kemampuan sebagai
antifungi (Rukayadi et al. 2006), antibakteri
(Rukayadi & Hwang 2006), antioksidan dan
antiinflamasi (Lim et al. 2005), antikanker
(Ceah et al. 2006, 2009), serta berpotensi
untuk menanggulangi flu burung (Darusman
et al. 2007).
Isolasi xantorizol sebelumnya telah
dilakukan oleh Hwang (2000) menggunakan
metode ekstraksi pelarut (metanol 75%),
kolom kromatografi, serta reaksi asetilasi dan
deasetilasi. Akan tetapi rendemen yang

dihasilkan masih rendah. Asriani (2010)
melakukan modifikasi pada metode Hwang
yaitu dengan mengganti pelarut yang
digunakan dengan etanol 96% dan tanpa
melalui tahap kolom kromatografi untuk
menghindari kehilangan sampel yang cukup
besar, proses asetilasi dilakukan terhadap
ekstrak kasar sebelum pemurnian untuk
memperoleh xantorizol dengan rendemen
yang lebih besar, serta pemurnian dilakukan
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis
Preparatif (KLTP). Secara garis besar, metode
Asriani adalah ekstraksi pelarut (etanol 96%),
asetilasi, deasetilasi, dan KLTP.
Rendemen yang dihasilkan dari metode
Asriani ini adalah 0.140% (b/b), lebih besar
daripada metode Hwang, yaitu hanya 0.064%
(b/b). Akan tetapi, metode Asriani (2010)
belum berhasil memisahkan xantorizol dengan
baik, karena masih diperoleh campuran
dengan senyawa lain yang tidak diketahui
identitasnya. Pada penelitian ini dilakukan
isolasi xantorizol menggunakan tiga metode
modifikasi dari metode Asriani (2010).
Metode modifikasi I yaitu dengan
melakukan
proses
ekstraksi
kembali
menggunakan pelarut heksana pada ekstrak
kasar hasil ekstraksi dengan etanol. Xantorizol
cenderung bersifat lebih non-polar sehingga
ekstraksi ulang dengan heksana diduga dapat
melarutkan xantorizol dan menghilangkan
senyawa yang lebih polar dari xantorizol.
Metode modifikasi II yaitu dengan melakukan
proses ekstraksi kembali menggunakan
pelarut heksana serta dietil eter pada ekstrak
kasar hasil ekstraksi dengan etanol.
Modifikasi
ini
selain
bertujuan
menghilangkan senyawa yang lebih polar juga
untuk menghilangkan kemungkinan senyawasenyawa yang bersifat lebih non polar dari
xantorizol. Cheah et al (2009) telah berhasil
mengisolasi xantorizol menggunakan pelarut
dietil
eter.
Profil
kromatogramnya
menunjukkan 100% area peak-nya adalah
xantorizol. Metode modifikasi III yaitu
melakukan ekstraksi kembali dengan heksana
pada ekstrak kasar hasil ekstraksi dengan
etanol serta melakukan KLTP tahap II pada
ekstrak hasil deasetilasi. Modifikasi ini
dilakukan ketika profil KLT hasil deasetilasi
menunjukkan masih terdapatnya spot lain
selain xantorizol, sehingga diharapkan dapat
memisahkan xantorizol dengan baik tanpa ada
campuran dengan senyawa lain lagi.
Penelitian
ini
bertujuan
memperoleh
xantorizol murni dari temu lawak dengan
melakukan modifikasi pada metode yang
digunakan oleh Asriani (2010).

2

TINJAUAN PUSTAKA
Temu Lawak (Curcuma Xanthorrhiza
Roxb.) dan Komposisi Kimianya
Temu lawak (Curcuma Xanthorrhiza
Roxb) (Gambar 1) dikenal dengan temu
lawak (Jawa), koneng gede (Sunda), dan
temulabak (Madura). Temu lawak banyak
ditemukan di hutan-hutan daerah tropis
(Mahendra 2005). Curcuma berasal dari kata
Arab kurkum yang berarti kuning, sedangkan
xanthorrhiza berasal dari kata Yunani xantos
yang berarti kuning dan rhiza yang berarti
akar. Dalam bahasa Indonesia disebut temu
lawak yang berarti akar kuning. Dalam
klasifikasi botani, temu lawak termasuk dalam
dunia plantae, divisi spermatophyta, subdivisi
angiospermae, genus Curcuma, dan spesies
Curcuma Xanthorrhiza Roxb (Widiastuty
2006).

terganggu, cacingan, kekurangan air susu,
eksema, sembelit, kencing darah, ayan, radang
ginjal, demam kuning, pelepas gas dalam
perut, anti-HIV (Syukur dan Hernani 2002),
pelembab pada kosmetik (Tilaar et al. 2008),
dan anti jerawat (Batubara 2008).

Gambar

2

Irisan rimpang temu
(Suryandari 2008)

lawak

Menurut Kiswanto (2009), kandungan
kimia rimpang temu lawak yang memberi arti
pada penggunaannya sebagai sumber bahan
pangan, bahan baku industri, atau bahan baku
obat dapat dibedakan atas beberapa fraksi,
yaitu fraksi pati, kurkuminoid, dan minyak
atsiri.
Xantorizol dan Aktivitas Biologisnya
Xantorizol adalah komponen khas minyak
atsiri dari rimpang temu lawak yang termasuk
ke dalam kelompok terpena teroksigenasi.
Xantorizol memiliki rumus molekul C15H22O
dengan bobot molekul sebesar 218.335 g/mol.
Nama IUPAC-nya 5-(1,5-dimetilheks-4-enil)2-metilfenol. Rumus struktur xantorizol dapat
dilihat pada Gambar 3.

Gambar 1 Tanaman temu lawak (Anonim
2010)
Temu lawak termasuk jenis tumbuhan
herba yang batang pohonnya berbentuk batang
semu dan tingginya dapat mencapai 2 meter
(Mahendra 2005). Rimpang temu lawak sejak
lama dikenal sebagai bahan ramuan obat.
Rimpang temu lawak berukuran besar,
bercabang-cabang, dan berwarna coklat
kemerahan atau kuning tua. Daging rimpang
berwarna jingga tua atau kecoklatan,
beraroma tajam yang menyengat dan rasanya
pahit (MTIC 2002). Gambar irisan rimpang
temu lawak dapat dilihat pada Gambar 2.
Temu lawak secara tradisional telah
banyak digunakan di negara-negara Asia
Tenggara sebagai pangan dan obat-obatan
(Rukayadi et al. 2006). Rimpang temu lawak
digunakan sebagai obat kejang, malaria,
mencret, kurang nafsu makan, kurang darah,
cacar air, radang lambung, getah empedu

Gambar

3 Struktur kimia xantorizol
(Rukayadi & Hwang 2005)

Kandungan xantorizol pada rimpang temu
lawak dapat diukur dengan menggunakan
kromatografi gas (GC), spektrofotometri
ultraviolet (UV), maupun kromatografi cair
kinerja tinggi (HPLC) (Widiastuty 2006).
Xantorizol mempunyai kemampuan sebagai
antifungi pada spesies candida, sehingga
dimungkinkan dapat digunakan untuk

3

pengobatan candidiasis (Rukayadi et al.
2006), dapat mencegah dan menghilangkan
biofilm yang dibentuk oleh Streptococcus
mutans (Rukayadi & Hwang 2006; Kim et al.
2002), antimetastatik (Choi et al. 2005),
antioksidan dan antiinflamasi (Lim et al.
2005), detoksifikasi, neuroprotektif, dan
antiaging (Hwang 2008), serta kombinasinya
dengan kurkumin dapat menghambat sel
kanker payudara MDA-MB-231 (Cheah et al.
2009). Selain itu, temu lawak berpotensi pula
untuk menanggulangi flu burung (Darusman
2007).
Ekstraksi
Salah satu metode ekstraksi yang sering
digunakan adalah metode maserasi. Maserasi
merupakan proses perendaman sampel dengan
pelarut organik yang digunakan pada suhu
ruangan. Proses ini sangat menguntungkan
dalam isolasi senyawa bahan alam karena
dengan perendaman sampel tumbuhan akan
terjadi pemecahan dinding dan membran sel
akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan
di luar sel sehingga metabolit sekunder yang
ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam
pelarut organik dan eksraksi senyawa akan
sempurna karena dapat diatur lama
perendaman yang dilakukan (Lenny dan
Zuhra 2005).
Hwang (2000) melakukan ekstraksi
xantorizol dengan menggunakan pelarut
metanol 75%, sedangkan Asriani (2010)
melakukan ekstraksi dengan menggunakan
pelarut etanol 96%. Rendemen ekstrak yang
lebih besar diperoleh dengan menggunakan
metode Asriani (2010), namun masih terdapat
senyawa pengganggu pada hasil akhirnya.
Cheah et al. (2009) berhasil mengisolasi
xantorizol dengan menggunakan pelarut dietil
eter namun metode yang digunakan masih
kurang efisien.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Beberapa
metode
kromatografi
memberikan cara pemisahan paling kuat di
laboratorium kimia. Kata “kromatografi”
mengandung makna warna namun tidak ada
hubungan langsung kecuali senyawa pertama
yang dipisahkan dengan cara ini adalah
pigmen hijau tumbuhan (Gritter et al. 1991).
Kromatografi digunakan untuk memisahkan
substansi campuran menjadi komponenkomponennya. Seluruh bentuk kromatografi
bekerja berdasarkan prinsip ini. Semua

kromatografi
memiliki fase
diam (dapat
berupa padatan, atau kombinasi cairanpadatan) dan fase gerak (berupa cairan atau
gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam
dan membawa komponen-komponen yang
terdapat dalam campuran. Komponenkomponen yang berbeda bergerak pada laju
yang berbeda (Clark 2007).
KLT dipakai secara luas untuk pemisahan
analitik dan preparatif. KLT preparatif
digunakan untuk menghasilkan fraksi murni
senyawa. Telah banyak penelitian yang
dilakukan menggunakan KLT preparatif untuk
isolasi dan pemurnian bahan-bahan alam,
diantaranya pemurnian moniliformin dari
jagung putih halus (Burmeister et al 1979),
isolasi
komponen
antimikroba
dari
Sphaeranthus indicus (Sangeetha et al 2010),
dan isolasi triterpenoid glikosida dari kulit
Terminalia Arjuna (Patnaik 2007). Asriani
(2010) menggunakan KLT preparatif untuk
memisahkan xantorizol terasetilasi dengan
pelarut heksana:etil asetat (10:1), namun
masih ditemukan senyawa pengganggu pada
hasil akhirnya.

METODE
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat
kaca, pipet ukur, hot plate, shaker, oven,
rotavapor, instrumen Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT/HPLC), instrumen
Fourier Transformation-Infra Red (FT-IR),
dan
Gas
Chromatography-Mass
Spectrophotometry (GC-MS).
Bahan-bahan yang digunakan adalah
simplisia temu lawak, etanol 96%, etanol p.a.,
natrium sulfat anhidrat, silika gel, dietil eter,
heksana teknis, heksana p.a., etil asetat,
petroleum eter, resin penukar kation jenis
Amberlite IR 120 tipe H+, HCl 6 M, metanol,
HCl, KOH, dan standar xantorizol.
Lingkup Kerja
Penelitian terdiri dari beberapa tahap
(Lampiran 1).
Penentuan Kadar Air (AOAC 2000)
Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam
oven bersuhu 105ºC selama 3 jam. Setelah
dibiarkan dingin dalam eksikator, cawan
kosong ditimbang. Kemudian ditambahkan 3
gram sampel temu lawak dan dimasukkan ke

4

dalam oven bersuhu 105ºC hingga bobotnya
konstan.
Metode Modifikasi I
a. Ekstraksi
Sebanyak 250 gram simplisia temu lawak
diekstraksi dengan cara maserasi dengan
pelarut etanol 96% (v/v) selama 6 jam sambil
sesekali diaduk, kemudian didiamkan sampai
24 jam. Maserat dipisahkan, dan proses
diulang dua kali dengan jenis dan jumlah
pelarut yang sama. Semua maserat
dikumpulkan dan disaring dengan kertas
saring. Kemudian ditambahkan natrium sulfat
anhidrat untuk menghilangkan kandungan air
yang masih ada. Selanjutnya disaring kembali
sebanyak dua kali dan diuapkan dengan
penguap vakum. Ekstrak kasar yang sudah
dipekatkan membentuk dua fase sehingga
dilakukan partisi menggunakan metode
Sajuthi (2001) dengan cara menambahkan 200
ml heksana. Fase heksana dan fase etanol
kemudian dianalisis kandungan xantorizolnya
dengan metode HPLC. Sistem HPLC yang
digunakan ialah kolom C18, detektor UV-Vis,
volume injeksi 10 µL, elusi gradien (elusi
H3PO4 dan metanol), dan suhu kolom 40˚C.
b. Asetilasi
Ekstrak kental yang diperoleh selanjutnya
diasetilasi menggunakan prosedur yang sama
dengan prosedur asetilasi metode Asriani
yaitu dengan cara melarutkannya ke dalam
piridin:asetat anhidrat (1:1, v/v) dengan
perbandingan sampel dan pelarut 1:20 (b/v)
dan direaksikan selama 24 jam pada suhu
kamar. Produk asetilasi kemudian dicirikan
dengan KLT dan FTIR.
c. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Preparatif
Senyawa hasil asetilasi yang diperoleh
difraksinasi lanjut dengan KLT preparatif
menggunakan eluen heksana:etil asetat (10:1,
v/v).
d. Deasetilasi
Deasetilasi dilakukan dengan cara
melarutkannya ke dalam metanol, lalu
ditambahkan KOH hingga konsentrasi 3-7%,
kemudian dimasukkan ke dalam resin penukar
kation selama 3 jam sehingga diperoleh
senyawa xantorizol. Pencirian dilakukan
dengan menggunakan KLT, FTIR, dan HPLC.
Metode Modifikasi II
Metode modifikasi II ini sama seperti
metode modifikasi I, namun setelah
diekstraksi dengan heksana dilakukan
ekstraksi kembali dengan dietil eter

menggunakan metode Najib (2008). Ekstrak
etanol dan heksana masing-masing dilarutkan
dalam dietil eter (1:5), kemudian diaduk
dengan pengaduk magnetik. Fraksi yang larut
dalam dietil eter dikeluarkan dari labu, dan ke
dalam labu ditambahkan lagi dietil eter yang
baru lalu diaduk. Proses partisi ini dilakukan
hingga pelarut dietil eter yang ditambahkan
menjadi bening. Fraksi larut dietil eter
dikumpulkan dan diuapkan untuk selanjutnya
dilakukan proses asetilasi, KLTP, dan
deasetilasi.
Metode Modifikasi III
Metode
modifikasi
III
merupakan
tambahan dari metode modifikasi I, yaitu
dilakukan KLTP tahap II menggunakan eluen
yang sama pada ekstrak hasil deasetilasi dari
metode modifikasi I. Hasil KLTP dicirikan
dengan KLT analitik, HPLC, dan GC-MS.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode Modifikasi I
Penentuan kadar air
Penentuan kadar air simplisia temu lawak
yang digunakan dilakukan selama 10 hari,
yaitu sampai bobot sampel konstan.
Berdasarkan data pada Lampiran 2, diperoleh
kadar air sampel sebesar 12.81%. Kadar air
temu lawak yang diperoleh digunakan untuk
mengetahui bobot temu lawak kering yang
sebenarnya sehingga persen rendemen
xantorizol dan ekstrak kasarnya dapat
diketahui.
Ekstraksi temu lawak
Ekstraksi 250 g temu lawak dengan etanol
96% menghasilkan ekstrak kasar etanol
sebanyak 25.6436 gram (11.86%). Hasil
ekstraksi tersebut membentuk dua fase
disebabkan kandungan lemak yang besar
sehingga tidak dapat dilakukan analisis HPLC
untuk mengetahui kandungan xantorizol
awalnya. Oleh karena itu dilakukan partisi
dengan heksana menggunakan metode Sajuthi
(2001) dan diperoleh ekstrak dalam fraksi
etanol sebanyak 7.8847 gram (30.75%),
sedangkan ekstrak dalam fraksi heksana
sebanyak 9.1121 gram (35.53%).
Analisis
HPLC
dilakukan
untuk
mengetahui kandungan xantorizol pada
masing-masing ekstrak. Standar xantorizol

5

Sebelum asetilasi
Setelah asetilasi

(a)

Sebelum asetilasi
Setelah asetilasi

(b)
Gambar 4 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol (a) dan ekstrak heksana (b)
metode modifikasi I sebelum dan setelah asetilasi
yang digunakan sebesar 100 ppm dengan
profil kromatografi pada Lampiran 3. Hasil
analisis HPLC dari masing-masing ekstrak
menunjukkan kandungan xantorizol dalam
fraksi heksana lebih besar daripada fraksi
etanol. Pada Lampiran 4 dan 5 dapat dilihat
bahwa area peak xantorizol pada fraksi
heksana sebesar 1332780, sedangkan pada
fraksi etanol hanya sebesar 639406. Dengan
demikian, jika dibandingkan dengan area peak
standar xantorizol, kandungan xantorizol pada
fraksi etanol dan heksana masing-masing
adalah 312.1 ppm dan 8132.6 ppm.

Asetilasi
Asetilasi
masing-masing
ekstrak
menggunakan piridin:asetat anhidrat (1:1, v/v)
menghasilkan ekstrak etanol sebanyak 3.6885
gram dan ekstrak heksana sebanyak 6.7686
gram. Skema reaksi asetilasi xantorizol dapat
dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Skema reaksi asetilasi xantorizol
(Cheah et al 2009)

6

Perbandingan spektrum IR sebelum dan
setelah asetilasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Hasil analisis FTIR untuk ekstrak etanol
setelah asetilasi menunjukkan adanya serapan
pada bilangan gelombang 1764 cm-1 yang
mempresentasikan adanya gugus asetil,
sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi
tidak ditemukan. Begitu pula dengan hasil
analisis FTIR dari ekstrak heksana, terdapat
serapan pada bilangan gelombang 1767 cm-1,
sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi
tidak ditemukan. Selain itu, jika dilihat dari
keberadaan gugus –OH, pada spektrum
ekstrak etanol dan heksana sebelum asetilasi
terdapat serapan yang lebar pada bilangan
gelombang 3400 cm-1, sedangkan pada
spektrum ekstrak setelah asetilasi juga
ditemukan namun intensitasnya jauh lebih
kecil.
Reaksi asetilasi xantorizol juga dapat
diduga berdasarkan efek konjugasi dan
induksi dari gugus-gugus fungsi yang terlibat.
Gugus asetil dari anhidrida asetat akan
cenderung memilih terikat pada gugus fenol
dibandingkan terikat pada cincin benzena dari
struktur xantorizol. Hal ini dikarenakan efek
induksi dari atom oksigen (O) yang lebih
dominan dibandingkan efek konjugasi.
Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
(KLTP)
Ekstrak etanol dan heksana hasil asetilasi
selanjutnya difraksinasi dengan KLTP
menggunakan eluen heksana:etil asetat (10:1).
Hasil kromatografi dapat dilihat pada Gambar
6. Hasil KLTP ekstrak etanol menghasilkan 8
fraksi,
sedangkan
ekstrak
heksana
menghasilkan 12 fraksi.
Terlihat spot dugaan xantorizol terasetilasi
berwarna kuning dengan nilai Rf sebesar 0.75

Dugaan
xantorizol
terasetilasi
(a)

Gambar 6 Profil KLTP (a) ekstrak etanol dan
(b)
(b) ekstrak heksana

(6a) dan 0.71 (6b). Larik tersebut dikerok, lalu
dilarutkan dalam etanol dan diuapkan dengan
rotavapor untuk memperoleh fraksi xantorizol
terasetilasi dari masing-masing ekstrak.
Deasetilasi
Fraksi xantorizol terasetilasi selanjutnya
dideasetilasi dengan menggunakan resin
penukar kation jenis Amberlite IR 120 tipe H+
sehingga menghasilkan fraksi dugaan
xantorizol dengan prinsip menukarkan
kembali ion asetil yang diperoleh dari hasil
asetilasi dengan ion H+ yang berasal dari
resin. Fraksi dugaan xantorizol tersebut
dikarakterisasi dengan FTIR, HPLC, dan KLT
analitik. Perbandingan spektrum IR ekstrak
etanol dan heksana sebelum dan setelah
asetilasi dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil
analisis FTIR ekstrak etanol menunjukkan
adanya kembali serapan yang lebar pada
bilangan gelombang 3439.26 cm-1 yang
menunjukkan terbentuknya kembali gugus –
OH xantorizol. Kemudian telah hilangnya
gugus asetil ditunjukkan dengan hilangnya
pula serapan pada daerah 1700 cm-1. Hal ini
menunjukkan bahwa reaksi deasetilasi
berhasil dengan baik. Spektrum IR ekstrak
heksana menunjukkan masih adanya serapan
dengan intensitas cukup besar pada daerah
serapan 1700 cm-1, sedangkan pada daerah
serapan 3300 cm-1 terdapat serapan cukup
lebar namun tidak terlalu berbeda dengan
serapan sebelum deasetilasi. Dengan demikian
xantorizol pada ekstrak heksana belum
terdeasetilasi seluruhnya.
Hasil analisis HPLC dugaan xantorizol
dari ekstrak etanol dan heksana dapat dilihat
pada Lampiran 9 dan 10. Berdasarkan hasil
kromatogram ekstrak etanol, terlihat peak
dugaan xantorizol dengan luas area cukup
besar pada waktu retensi 6.384 menit. Sama
halnya pada kromatogram ekstrak heksana,
terlihat peak dugaan xantorizol yang besar
pada waktu retensi 6.394. Jika dibandingkan
dengan kromatogram standar xantorizol
(Lampiran 8) yang menunjukkan waktu
retensi xantorizol adalah 6.407 menit, maka
metode ini diduga berhasil mengisolasi
xantorizol.
Diketahui bahwa xantorizol pada ekstrak
etanol memiliki persen area peak sebesar
78.15%, sedangkan xantorizol pada ekstrak
heksana memiliki persen area peak sebesar
80.09%. Kemudian dari data luas area
xantorizol masing-masing ekstrak diperoleh
konsentrasi xantorizol pada ekstrak etanol
sebesar 138.24 ppm sedangkan pada ekstrak

7

Sebelum deasetilasi
Setelah deasetilasi

(a)

Sebelum deasetilasi
Setelah deasetilasi

(b)
Gambar 7 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol (a) dan ekstrak heksana (b)
metode modifikasi I sebelum dan setelah deasetilasi
heksana sebesar 706.15 ppm.
Dengan demikian xantorizol yang
diperoleh pada ekstrak heksana memiliki
kemurnian dan konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan pada ekstrak etanol. Namun
berdasarkan perhitungan dengan standar,
ekstrak etanol memiliki kemurnian 87.5%,
sedangkan ekstrak heksana hanya 61.43%.
Hasil KLT analitik dugaan xantorizol
dapat dilihat pada Gambar 8. Spot dugaan
xantorizol pada ekstrak etanol memiliki nilai
Rf sebesar 0.49, sedangkan pada ekstrak
heksana memiliki nilai Rf 0.51. Hasil KLT
dari kedua ekstrak menunjukkan masih
adanya dua spot lain dengan nilai Rf 0.75 dan
0.81, sehingga metode modifikasi I ini belum
berhasil mengisolasi xantorizol dengan murni.
Spot lain yang muncul tersebut diduga salah

satunya adalah xantorizol yang masih
terasetilasi karena belum optimalnya proses
deasetilasi yang dilakukan. Berdasrkan hasil
perhitungan diketahui kandungan xantorizol
-5
total pada sampel adalah 3.9 x 10 %.
Metode modifikasi I ini awalnya

Dugaan
xantorizol

Gambar 8 Profil KLT (a) ekstrak etanol dan
(b) ekstrak heksana hasil deasetilasi

8

merupakan verifikasi dari metode Asriani.
Akan tetapi, hasil ekstraksi dengan etanol
menghasilkan ekstrak kasar yang membentuk
dua fase sehingga dilakukan partisi dengan
heksana dan ternyata xantorizol justru lebih
banyak
terlarut
di
dalam
heksana
dibandingkan etanol. Hal ini menyebabkan
tidak dapat dilakukannya verifikasi metode
Asriani.
Metode Modifikasi II
Ekstraksi 250 g temu lawak dengan etanol
96% menghasilkan ekstrak kasar etanol
sebanyak 27,1933 gram. Sama halnya dengan
metode modifikasi I, hasil ekstraksi tersebut
membentuk dua fase sehingga dilakukan
partisi dengan heksana dan dihasilkan ekstrak
(b) sebanyak 6.4100 gram
dalam fraksi etanol
(23.57%), sedangkan ekstrak dalam fraksi
heksana sebanyak 8.5787 gram (31.55%).
Begitu pula dengan hasil analisis HPLC dari
masing-masing ekstrak, kandungan xantorizol
dalam fraksi heksana lebih besar daripada
fraksi etanol. Pada Lampiran 6 dan 7 dapat
dilihat bahwa area peak xantorizol pada fraksi
heksana sebesar 1480080, sedangkan pada
fraksi etanol hanya sebesar 676609. Dengan
demikian, kandungan xantorizol pada fraksi
etanol dan heksana masing-masing adalah
330.3 ppm dan 9031.5 ppm. Hal ini
disebabkan sifat xantorizol yang cenderung
non-polar sehingga lebih terlarut ke dalam
pelarut non-polar.
Masing-masing ekstrak diekstraksi ulang
dengan dietil eter menggunakan metode Najib
(2008).
Hal
ini
bertujuan
untuk
menghilangkan kemungkinan senyawa yg
lebih non-polar dari xantorizol. Ekstraksi
ulang dengan dietil eter menghasilkan ekstrak
sebanyak 2.1010 gram (32.78%) untuk ekstrak
etanol, dan 0.2828 gram (3.30%) untuk
ekstrak heksana.
Asetilasi masing-masing ekstrak dilakukan
menggunakan metode yang sama dengan
Asriani
(2010),
yaitu
menggunakan
piridin:asetat anhidrat (1:1, v/v). Dihasilkan
ekstrak etanol sebanyak 1.8067 gram
(85.99%) dan ekstrak heksana sebanyak
0.2253 gram (79.67%). Ekstrak sebelum dan
sesudah asetilasi dianalisis dengan FTIR.
Hasil analisis FTIR untuk ekstrak etanol dan
heksana sebelum dan setelah asetilasi dapat
dilihat pada Gambar 9.
Hasil analisis FTIR untuk ekstrak etanol
setelah asetilasi menunjukkan adanya serapan
pada bilangan gelombang 1765 cm-1 yang
mempresentasikan adanya gugus asetil,

sedangkan pada spektrum sebelum asetilasi
tidak ditemukan. Begitu pula dengan hasil
analisis FTIR dari ekstrak heksana, terdapat
serapan pada bilangan gelombang 1752 cm-1,
sedangkan pada spektrum ekstrak sebelum
asetilasi tidak ditemukan. Selain itu, sama
halnya dengan ekstrak hasil metode
modifikasi I, pada spektrum ekstrak etanol
dan heksana sebelum asetilasi terdapat
serapan yang lebar pada bilangan gelombang
3400 cm-1, sedangkan pada spektrum ekstrak
setelah asetilasi juga ditemukan namun
intensitasnya jauh lebih kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa proses asetilasi berhasil
dilakukan namun efisiensi reaksi tidak
mencapai 100%.
Ekstrak etanol dan heksana hasil asetilasi
selanjutnya difraksinasi dengan KLTP
menggunakan eluen yang sama dengan
metode Asriani (2010), yaitu heksana:etil
asetat (10:1). Hasil KLTP menunjukkan
terdapat 9 fraksi pada ekstrak etanol dan 11
fraksi pada ekstrak heksana. Terlihat spot
dugaan xantorizol dengan nilai Rf sebesar
0.71. Larik tersebut dikerok, lalu dilarutkan
dalam etanol dan diuapkan dengan rotavapor
untuk
memperoleh
fraksi
xantorizol
terasetilasi dari masing-masing ekstrak.
Fraksi xantorizol terasetilasi selanjutnya
dideasetilasi menggunakan resin penukar
kation jenis Amberlite IR 120 sehingga
menghasilkan fraksi dugaan xantorizol.
Setelah itu fraksi dugaan xantorizol tersebut
dikarakterisasi dengan KLT analitik, FTIR
dan HPLC. Hasil KLT analitik dari kedua
ekstrak dapat dilihat pada Gambar 10. Spot
dugaan xantorizol pada ekstrak etanol
memiliki nilai Rf 0.47, sedangkan pada
ekstrak heksana memiliki nilai Rf sebesar
0.54. Spot dugaan xantorizol pada ekstrak
etanol memiliki nilai Rf lebih kecil karena laju
elusi tidak lurus. Laju elusi sempat berbelok
ke samping kiri.
Profil
kromatografi
kedua
ekstrak
menunjukkan masih adanya beberapa spot lain
sehingga xantorizol yang diperoleh dari
metode ini masih belum murni. Diduga spotspot tersebut adalah senyawa turunan
xantorizol
yang
masih
terasetilasi.
Perbandingan spektrum IR sebelum dan
setelah deasetilasi dapat dilihat pada Gambar
11. Berdasarkan spektrum FTIR yang
diperoleh, baik pada ekstrak etanol maupun
heksana terlihat kembali serapan dengan
intensitas yang cukup besar pada daerah
serapan 3400 cm-1 yang menunjukkan telah
terbentuknya kembali gugus –OH dari
xantorizol.

9

Sebelum asetilasi
Setelah asetilasi

(a)

Sebelum asetilasi
Setelah asetilasi

(b)
Gambar 9 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol (a) dan ekstrak heksana (b)
metode modifikasi II sebelum dan setelah asetilasi

Dugaan
xantorizol

(a)
Gambar

(b)
10

Profil KLT fraksi dugaan
xantorizol (a) ekstrak etanol
dan (b) ekstrak heksana metode
modifikasi II

Jika dilihat dari serapan gugus asetil, pada

spektrum ekstrak etanol sudah tidak terdapat
serapan pada daerah 1760 cm-1, namun pada
ekstrak heksana masih terdapat serapan
dengan
intensitas
rendah.
Hal
ini
menunjukkan masih terdapatnya xantorizol
yang belum terdeasetilasi.
Hasil analisis HPLC ekstrak etanol dan
heksana metode modifikasi dapat dilihat pada
Lampiran 11 dan 12. Berdasarkan hasil
kromatogram ekstrak etanol, terlihat peak
dugaan xantorizol dengan luas area cukup
besar pada waktu retensi 6.365 menit. Sama
halnya pada kromatogram ekstrak heksana,
terlihat peak dugaan xantorizol yang besar
pada waktu retensi 6.369. Jika dibandingkan
dengan kromatogram standar xantorizol

10

Sebelum deasetilasi
Setelah deasetilasi

(a)

Sebelum deasetilasi
Setelah deasetilasi

(b)
Gambar 11 Perbandingan spektrum FTIR ekstrak etanol (a) dan ekstrak heksana
(b) metode modifikasi II sebelum dan setelah deasetilasi
(Lampiran 8) yang menunjukkan waktu
retensi xantorizol sebesar 6.047 menit, maka
metode modifikasi II ini diduga berhasil
mengisolasi xantorizol. Diketahui bahwa
xantorizol pada ekstrak etanol memiliki
persen area peak sebesar 80.09%, sedangkan
xantorizol pada ekstrak heksana memiliki
persen area peak sebesar 88.07%. Kemudian
dari data luas area xantorizol masing-masing
ekstrak diperoleh konsentrasi xantorizol pada
ekstrak etanol sebesar 105.10 ppm sedangkan
pada ekstrak heksana sebesar 267.50 ppm.
Namun berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan data kromatogram standar,
xantorizol pada ekstrak etanol hanya memiliki
kemurnian 62.5%, sedangkan pada ekstrak

heksana hanya 65%. Xantorizol pada ekstrak
heksana memiliki konsentrasi dan kemurnian
yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etanol.
Berdasarkan hasil perhitungan xantorizol dari
kedua ekstrak, diketahui kandungan xantorizol
-5
total pada sampel adalah 1.7 x 10 %.
Dengan demikian metode ini b
erhasil
mengisolasi xantorizol namun belum 100%
murni.
Metode Modifikasi III
Metode modifikasi III ini merupakan
tambahan dari metode modifikasi I, yaitu
dilakukan KLTP tahap II pada ekstrak hasil
deasetilasi dari metode modifikasi I. Ekstrak

11

heksana dipilih karena memiliki kemurnian
dan konsentrai yang lebih tinggi dibandingkan
ekstrak etanol. KLTP tahap II ini masih
menggunakan eluen yang sama yaitu
heksana:etil asetat (10:1). Hasil KLTP tahap II
dicirikan dengan KLT analitik, HPLC, dan
GC-MS. Profil KLT fraksi dugaan xantorizol
hasil KLTP tahap II dapat dilihat pada
Gambar 12. Terlihat bahwa hanya ada satu
spot pada hasil KLT tersebut yang diduga
adalah xantorizol dengan nilai Rf sebesar
0.42, sehingga metode ini diduga berhasil
mengisolasi xantorizol dengan murni.

xantorizol

Gambar 12 Profil KLT dugaan xantorizol
hasil KLTP tahap II
Berdasarkan hasil analisis HPLC pada
Lampiran 14, terlihat satu peak yang luas pada
waktu retensi 6.360 menit dengan luas area
sebesar 97.604%. Jika dibandingkan dengan
kromatogram standar xantorizol (Lampiran
13), waktu retensi xantorizol adalah 6.366
menit dengan luas area sebesar 95.258%. Hal
ini menunjukkan metode ini berhasil
mengisolasi xantorizol dengan kemurnian
yang lebih tinggi daripada standar xantorizol
yang digunakan. Namun berdasarkan hasil
perhitungan dengan menggunakan data
kromatogram standar xantorizol, diketahui
kemurnian xantorizol yang diperoleh adalah
90%. Kemudian pada hasil analisis HPLC
terlihat masih adanya dua peak lain yang
muncul yaitu pada waktu retensi 2.454 dan
3.991 menit dengan persen area masingmasing sebesar 1.435% dan 0.961%. Jika
diperhatikan, pada semua hasil analisis HPLC
baik standar xantorizol maupun sampel, selalu
muncul peak pada waktu retensi sekitar 2.4
menit, sehingga diduga peak yang muncul
tersebut merupakan pelarut. Dengan demikian
hasil analisis HPLC menunjukkan bahwa
xantorizol yang diisolasi masih belum murni
karena masih ditemukan campuran dengan
satu senyawa lain yang belum teridentifikasi
Hal ini dibuktikan pula dengan hasil
analisis GC-MS pada Lampiran 15.
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh dua
puncak pada waktu retensi 11.36 dan 11.44

menit. Puncak pada waktu retensi 11.4 menit
dipastikan merupakan xantorizol dengan BM
218.0, sedangkan puncak pada waktu retensi
11.36 teridentifikasi sebagai senyawa 2etoksikarbonil benzotiazol. Jika dibandingkan
dengan puncak pada waktu retensi 11.36,
puncak xantorizol memiliki luas area yang
jauh lebih besar yaitu 6930703, sedangkan
puncak pada waktu retensi 11.36 hanya
memiliki luas area 422232, sehingga jika
xantorizol tersebut dianggap murni 100%,
maka pengotor pada isolat tersebut sebesar
6.09%. Akan tetapi berdasarkan perhitungan
total keseluruhan, diperoleh luas area sebesar
94.26% untuk xantorizol, dan 5.74% untuk
senyawa 2-etoksikarbonil benzotiazol. Puncak
lain yang muncul tersebut memiliki waktu
retensi yang cukup berdekatan dengan
xantorizol. Hal ini menunjukkan senyawa
tersebut memiliki kepolaran yang hampir
sama dengan xantorizol sehingga sulit
dipisahkan. Dengan demikian metode
modifikasi III ini pun belum berhasil
mengisolasi xantorizol dengan kemurnian
100%, yaitu hanya diperoleh xantorizol
dengan kemurnian 97.60%.
Perbandingan Hasil Isolasi Xantorizol
menggunakan Metode Asriani dengan
Metode Modifikasi
Perbandingan kemurnian dan rendemen
xantorizol hasil isolasi menggunakan metode
Asriani dengan metode modifikasi dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1 Data kemurnian dan rendemen
xantorizol hasil isolasi dengan
metode Asriani dan metode
modifikasi
Metode
Asriani
 Ekstrak
etanol
Modifikasi I
 Ekstrak
etanol
 Ekstrak
heksana
Modifikasi II
 Ekstrak
etanol
 Ekstrak
heksana
Modifikasi III
 Ekstrak
heksana
a
b

Kemurnian
(%)a

Kemurnian
(%)b

Rendemen
(%)

99.5

-

0.1400

78.1

87.50

0.0061

80.1

61.43

0.0426

80.1

62.50

0.0033

88.1

65.00

0.0013

97.6

90.00

0.0090

berdasarkan persen area (HPLC)
berdasarkan perhitungan dengan standar

12

Berdasarkan data pada tabel di atas,
terlihat bahwa kemurnian xantorizol yang
paling tinggi dihasilkan dengan metode
Asriani, yaitu 99.5%. Contoh perhitungan
kemurnian dan rendemen dari masing-masing
metode modifikasi dapat dilihat pada
Lampiran 16. Tambahan proses ekstraksi
dengan heksana maupun dietil eter yang
dilakukan pada metode modifikasi I dan II
belum dapat memisahkan xantorizol dengan
baik, begitu pula halnya dengan KLTP tahap
II yang dilakukan pada metode modifikasi III.
Pada isolat tersebut masih ditemukan
campuran dengan satu senyawa lain yang
kepolarannya hampir sama dengan xantorizol.
Senyawa tersebut teridentifikasi sebagai
senyawa
2-etoksikarbonil
benzotiazol
(Gambar 13).

kemurnian paling tinggi dibandingkan metode
modifikasi lainnya, namun metode modifikasi
III pun belum bisa menghasilkan xantorizol
dengan kemurnian 100% dan masih lebih
rendah dari metode Asriani. Berdasarkan data
rendemen xantorizol yang dihasilkan pun,
masih jauh lebih tinggi metode Asriani. Jika
dibandingkan dengan data dari kromatogram
xantorizol ekstrak kasar, diketahui telah
banyak xantorizol yang hilang selama proses
isolasi. Hal ini disebabkan tahapan proses
yang lebih banyak dibandingkan metode
Asriani. Dengan demikian metode Asriani
masih lebih baik dan lebih efisien.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Gambar 13 Struktur molekul 2-etoksikarbonil
benzotiazol
Berdasarkan hasil analisis GC-MS,
senyawa 2-etoksikarbonil benzotiazol tersebut
memiliki nilai Rf yang lebih kecil daripada
xantorizol. Kolom yang digunakan pada
instrumen GC-MS adalah kolom HP-5 yang
merupakan jenis kolom non-polar. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa senyawa
tersebut bersifat lebih polar daripada
xantorizol karena keluar dari kolom lebih dulu
dibandingkan xantorizol. Xantorizol hasil
isolasi dengan metode Asriani (2010) juga
menunjukkan masih adanya campuran dengan
satu senyawa lain yang belum teridentifikasi.
Berdasarkan hasil analisis KLT-nya, senyawa
tersebut memiliki nilai Rf yang lebih kecil
dibandingkan xantorizol. Senyawa tersebut
lebih lama tertahan pada silika gel sehingga
dapat diketahui bahwa senyawa tersebut lebih
polar daripada xantorizol. Dengan demikian
dapat diduga bahwa senyawa yang belum
teridentifikasi pada hasil isolasi dengan
metode Asriani adalah senyawa yang sama
dengan hasil isolasi dari metode modifikasi III
yaitu senyawa 2-etoksikarbonil benzotiazol.
Penyebab tidak murninya xantorizol yang
dihasilkan diduga karena belum optimalnya
proses asetilasi dan deasetilasi yang dilakukan
sehingga xantorizol belum terasetilasi dan
terdeasetilasi seluruhnya, juga diduga karena
terbentuknya senyawa turunan xantorizol.
Meskipun menghasilkan xantorizol dengan

Ketiga metode modifikasi yang dilakukan
berhasil mengisolasi xantorizol namun belum
100% murni karena masih ditemukan
campuran dengan senyawa lain. Kemurnian
xantorizol yang paling tinggi dihasilkan
dengan menggunakan metode modifikasi III.
Akan tetapi hasil tersebut masih lebih rendah
dibandingkan dengan metode Asriani. Dengan
demikian metode Asriani masih lebih baik dan
lebih efisien daripada metode modifikasi yang
digunakan.
Saran
Perlu dilakukan optimasi reaksi asetilasi
dan deasetilasi untuk memastikan xantorizol
berhasil terasetilasi dan terdeasetilasi kembali
seluruhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Temu lawak. Earthcare
Enterprises.
[terhubung
berkala].
http://www.earthcare.com.au/slides/temula
wak.htm. [8 Desember 2011].

AOAC. 2000. Official Methods of Analysis of
The Association Official Analytical
Chemists. Washington DC: AOAC
International.

Asriani D. 2010. Isolasi xantorizol dari temu
lawak terpilih berdasarkan nomor harapan

13

[tesis]. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.

Batubara I, Mitsunaga T, Ohashi H. 2008.
Antiacne potency of Temu Lawak. The
First International Symposium on Temu
Lawak. Bogor, 27-29 Mei. Bogor: Pusat
Studi Biofarmaka. Hlm. 93-101.

Burmeister HR, Ciegler A, Fesonder RF.
1979. Moniliformin, a metabolite from
Fusarium monoliforme NRRL 6332:
purification and toxicity. Applied and
Environmental Microbiology 37 (1): 1113.

Cheah et al. 2009. Combined xanthorrhizolcurcumin exhibits synergistic growth
inhibitory activity via apoptosis induction
in human breast cancer cells MDA-MB231. Cancer Cell International 9:1.

Choi et al. 2005. Xanthorrhizol, a natural
sesquiterpenoid
from
Curcuma
xanthorrhiza, has an anti-metastatic
potential in experimental mouse lung
metastasis model. Biochemical and
Biophysical Research Communications
326:210–217

Clark J. 2007. Kromatografi lapis tipis. Situs
Kimia Indonesia. [terhubung berkala].
http://www.chem-istry.org/materi_kimia/instrumen_analisis/
kromatografi1/kromatografi_lapis_tipis/.
[8 Februari 2011].

Darusman et al. 2007. Potensi temu lawak
terstandar untuk menanggulangi flu
burung.
[terhubung
berkala].
http://www.repository.ipb.ac.id/bitstream/
handle/123456789/.../2007lkd_latif.doc?...
2. [8 Februari 2011].

[Deptan] Departemen Pertanian. 2005.
Prospek
dan
Arah
Pengembangan
Agribisnis Tanaman Obat. Jakarta: Badan
Litbang Pertanian.

Duryatmo S. 2003. Aneka Ramuan Berkhasiat
dari Temu-Temuan. Jakarta: Puspa