Analisis Dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Dalam Mendukung Green City Kota Ungaran Kabupaten Semarang

ANALISIS DAN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG
TERBUKA HIJAU DALAM MENDUKUNG GREEN CITY
KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG

ANTONIUS DWI YUNIANTO
A156130244

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis dan Arahan
Pengembangan Ruang Terbuka Hijau dalam Mendukung Green City Kota
Ungaran Kabupaten Semarang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Antonius Dwi Yunianto
NIM A156130244

RINGKASAN
ANTONIUS DWI YUNIANTO. Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang
Terbuka Hijau dalam Mendukung Green City Kota Ungaran Kabupaten
Semarang. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan KHURSATUL
MUNIBAH.
Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan kebutuhan penting
bagi sebuah wilayah perkotaan dan merupakan amanat Undang-Undang Penataan
Ruang. Kota Ungaran saat ini memiliki luasan RTH publik yang masih dibawah
20%. Hal tersebut menjadikan Kota Ungaran belum memenuhi salah satu syarat
dalam menuju Green City. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian terkait
analisis kondisi eksisting RTH berdasar kebutuhan penduduk dan kebutuhan luas
wilayah sehingga dapat dirumuskan suatu arahan pengembangan RTH dalam
mendukung Kota Ungaran menuju Green City. Tujuan penelitian ini adalah: (1)
Mengidentifikasi dan menganalisis luas dan dsitribusi kondisi eksisting RTH; (2)

Menganalisis kebutuhan RTH Kota Ungaran guna memenuhi ketentuan yang
ditetapkan undang-undang yang berlaku; (3) Menganalisis areal yang berpotensi
untuk pengembangan RTH (4) Menyusun perencanaan RTH yang berbasis konsep
Kota Hijau (Green Planning); dan (5) Menyusun perancangan RTH yang berbasis
konsep Kota Hijau (Green Design). Analisis dilakukan dengan menggunakan
metode Patch Analysis, Analisis RTH berbasis kebutuhan penduduk dan luas
wilayah dan Analytic Hierarchy Process (AHP).
Hasil pemetaan RTH yang ada di Kota Ungaran seluas 2.190,7 ha atau
sebesar 71,6% dari luas wilayah. RTH tersebut terdiri dari RTH privat seluas
2.112,7 ha atau 69,0% dan RTH publik seluas 77,9 ha atau sebesar 2,5%.
Pemetaan tersebut menunjukan prosentase RTH privat sudah mencukupi
kebutuhan minimal sebesar 10%. RTH publik mengalami masalah kekurangan
luasan yaitu masih kurang dari 20%. Distribusi RTH publik tertinggi terdapat
pada Kelurahan Beji (0,6%) dan terendah Kelurahan Nyatnyono yang belum
tersedia RTH publik.
Hasil analisis kebutuhan RTH publik berdasarkan jumlah penduduk pada
tahun 2012 seluas 195,5 ha atau 6,9%. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk
pada tahun 2032 kebutuhan RTH publik seluas 292,4 ha atau 9,6% dari luas
wilayah. Sedangkan kebutuhan RTH publik berdasarkan 20% dari luas wilayah
adalah seluas 612,2 ha. Hasil analisis preferensi stakeholder (AHP), menunjukkan

konsep perencanaan dan perancangan RTH adalah menyebar dan
memperhitungkan jarak terhadap pemukiman dengan bobot nilai sebesar 0,58.
Proses AHP menunjukkan hasil yang konsisten, terlihat dari nilai indeks
konsistensi CI sebesar 0,018 dan rasio CI/RI sebesar 0,016 keduanya dibawah 0,1.
Hasil analisis areal yang berpotensi untuk pengembangan RTH publik
berdasarkan gabungan kriteria green planning adalah seluas 1.099,8 ha. Areal
yang berpotensi untuk pengembangan RTH publik dibagi dalam 3 kelas prioritas,
yaitu kelas 1 seluas 31,9 ha, kelas 2 seluas 485,0 ha dan kelas 3 seluas 612,9 ha.
Areal lahan sawah yang berpotensi untuk cadangan RTH privat seluas 404,0 ha
(13,2%)

Arahan pengembangan RTH berdasarkan pendekatan green planning dibagi
dalam dua bagian, yaitu arahan berfokus pada penambahan luas RTH publik
(minimal 20%) dan arahan berfokus pada upaya menjaga keberadaan RTH privat
(minimal 10%). Arahan pengembangan RTH publik dibagi tiga alternatif, pertama
pengembangan RTH publik berdasarkan pertimbangan gabungan kriteria green
planning (keberimbangan distribusi, ketersediaan aset daerah, prioritas landuse,
jarak, luas minimal, bentuk dan pola ruang). Alternatif kedua merupakan upaya
alih fungsi Hutan Produksi/Hutan Produksi Terbatas (HP/HPT) menjadi Taman
Hutan Raya (TAHURA) serta optimalisasi aset daerah sebagai RTH publik.

Alternatif ketiga merupakan alih fungsi 70% luas HP/HPT menjadi TAHURA
serta optimalisasi 70% luas aset daerah sebagai RTH publik.
Arahan pengembangan RTH berdasarkan pendekatan green design
membagi perancangan berdasarkan hirarki skala pelayanan serta kebutuhan akan
pola aktifitas dan fungsi RTH publik. Berdasarkan pola aktifitas, rancangan dibagi
atas RTH aktif dan RTH pasif. Berdasarkan fungsi RTH dibagi menjadi RTH
fungsi ekologis dan RTH fungsi sosial budaya. Perancangan RTH juga
mempertimbangkan konsep alun-alun sebagai wujud kearifan lokal.

Kata kunci: Green City, Green Design, Green Planning, Ruang Terbuka Hijau

SUMMARY
ANTONIUS DWI YUNIANTO. The Analysis and Guidance for Green Open
Space Development in Supporting Green City of Ungaran City, Semarang
Regency. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS dan KHURSATUL
MUNIBAH.
The availability of the green open space is an important need for an urban
area and is a mandate of the space structuring law. At the moment, the width of
the green open space of Ungaran is still under 20 percent, which makes Ungaran
is not yet to fulfill one of the requirements of being a green city. Because of that a

research is need to be conducted in relation with the existence condition of the
green open space based on the inhabitant's need and width of area's need to create
a development guidance of green open space to support Ungaran in becoming a
green city. The objectives of this research are: (1) To identify and analyze the
width and the distribution of green open space existence condition; (2) To analyze
the green open space needs of ungaran to fulfill the requirements pronounced by
the law; (3) To analyze potential area for green open space development; (4) To
draw a plan of green open space based on the Green City concept (green
planning); (5) To create a design of green open space based on the Green City
concept (Green Design). The analysis will be conducted using the Patch Analysis
method, green open space analysis based on the inhabitant's need and area width,
and the Analytic Hierarchy Process (AHP).
Green Open Space mapping result of Ungaran city is 2.190,7 ha or 71,6%
from area width. The Green Open Space (GOS) consists of 2.112,7 ha private
GOS or 69,0% and 77,9 ha public GOS or 2,5%. That mapping shows that the
percentage of private GOS have fulfilled 10% of the minimum requirement
whereas the public RTH is lack of its capacious which is still under 20%. The
highest distribution of public RTH is at Beji District (0,6%) and the lowest one is
at Nyatnyono District which has not had the public GOS yet.
The analysis result of public GOS needs based on the population in 2012 is

195,5 ha or 6,9%. Based on the total projection of population in 2032 the public
GOS needs is 292,4 ha or 9,6% from the area width. Whereas the needs of public
GOS based on the 20% area width is 612,2 ha. The stakeholder preference
analysis shows that the planning and concept design of GOS are disseminate and
calculate the distance to the residence with 0,58 value. The AHP process shows
consistent result, it is showed from the CI consistency index value which is 0,018
and RI/CI ratio which is 0,016, and both values are under 0,1.
The analysis result of potential public GOS area based on green planning
criteria is 1.099,8 ha. The potential area for public GOS development is divide
into 3 priority class, class 1 is 31,9 ha, class 2 : 485,0 ha and class 3 : 612,9 ha.
The potential of agriculture area that can be developed as the private GOS is 404,0
ha (13,2%).
The direction of GOS development based on the green planning approach is
divided into 2 parts, which are first, focused on the addition of public green open
space (at least 20%) and the direction of focus on efforts to maintain the existence
of private green open space (at least 10%). The direction of public GOS
development is divided into 3 alternatives, which are first, based on green

planning multicriteria (balance distribution of GOS within the area, regional asset
authority, landuse priority, distance to the residence, minimum width, area form

complexity and the area type consideration). The second alternative is an effort to
change the function of Hutan Produksi/Hutan Produksi Terbatas become Taman
Hutan Raya and optimization regional asset authority as public GOS. The third
alternative is an effort to change the function of Hutan Produksi/Hutan Produksi
Terbatas (70% total area) become Taman Hutan Raya and optimization regional
asset authority as public GOS (70% total area).
The direction of GOS development based on the green design approach
divides the plan based on hierarchy of the necessity GOS scale, the necessity of
activity type and public GOS function. Based on the necessity of activity, the
design is divided into active public GOS and passive public GOS. Based on the
public GOS function is divided into ecological public GOS and social culture
aesthetic public GOS. The design concept of GOS is base on alun – alun as local
wisdom concept.

Keywords: Green City, Green Design, Green Open Space, Green Planning

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

v

ANALISIS DAN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG
TERBUKA HIJAU DALAM MENDUKUNG GREEN CITY
KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG

ANTONIUS DWI YUNIANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir R. Siti Rukayah, MT. Dr Ir Drajat
Martianto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Marimin, MS
Dr Ir Naresworo Nugroho, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala kasih dan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini ialah Ruang Terbuka Hijau, dengan judul Analisis dan
Arahan Pengembangan RTH dalam Mendukung Green City Kota Ungaran
Kabupaten Semarang.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Kota Ungaran berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah,
preferensi pemangku kegiatan yang mengacu pada konsep Kota Hijau serta

kesesuaian dengan penggunaan lahan dan karakter setempat. Untuk itu hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi arahan dalam pengembangan RTH di
Kota Ungaran menuju Kota Hijau.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus
selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr Khursatul Munibah, M.Sc. selaku
Anggota Komisi Pembimbing serta Ibu Dr R. Siti Rukayah MT. selaku penguji
luar komisi yang telah banyak memberi arahan, saran dan bimbingan. Penulis
berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dan bermanfaat bagi upaya pengembangan RTH di Kota Ungaran menuju Kota
Hijau.
.

Bogor,

Januari 2015

Antonius Dwi Yunianto
A156130244

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
2
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Kota Hijau (Green City)
Green Planning and Design
Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space)
Jenis dan Tipologi RTH
Penggunaan Lahan dan Perubahan RTH
Kebutuhan dan Kecukupan RTH
Analytic Hierarchy Process (AHP)
Analisis Indeks Lanskap Patch Analysis
Kearifan Lokal Alun-Alun
Teori Figure Ground, Linkage and Place
Partisipasi Masyarakat

5
5
6
7
8
10
11
12
12
13
13
14

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data
Bahan dan Alat
Metode Analisis
Pemetaan dan Identifikasi RTH
Analisis Kebutuhan RTH
Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Analisis Preferensi Stakeholder
Analisis Areal Yang Berpotensi Untuk Pengembangan RTH
Kriteria Aset Daerah
Kriteria Penggunaan Lahan (Landuse)
Kriteria Jarak
Kriteria Luas Minimal
Kriteria Bentuk
Kriteria Pola Ruang
Arahan Pengembangan RTH

15
15
16
16
19
19
19
20
20
21
21
23
24
24
24
24
25
25
25

vii
Pendekatan Green Planning
Pendekatan Green Design
Pendekatan Green Open Space

26
26
30

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Administrasi dan Kondisi Fisik Wilayah
Pengunaan Lahan
Demografi Penduduk
Kondisi Sosial Ekonomi

32
32
35
35
36

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi dan Pemetaan Kondisi RTH Eksisting
Analisis Kebutuhan RTH Publik
Kebutuhan RTH berdasarkan Jumlah Penduduk
Kebutuhan RTH berdasarkan Luas Wilayah
Analisis Preferensi Pengembangan RTH
Analytic Hierarchy Process (AHP)
Areal Yang Berpotensi Untuk Pengembangan RTH
Arahan Pengembangan RTH
Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif I
Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif II
Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif III
Penganggaran Dalam Rencana Pengembangan RTH Publik
Arahan Pengembangan RTH Privat
Arahan Pengembangan Green Design
Perancangan Pada Skala Kota
Perancangan Pada Skala Lingkungan

37
37
42
42
43
44
44
45
47
48
51
53
53
54
54
56
61

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

65
65
66

DAFTAR PUSTAKA

67

LAMPIRAN

71

RIWAYAT HIDUP

87

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Jenis RTH dan Kepemilikan
Jenis RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Jenis dan Sumber Data
Kriteria Stakeholders, Instansi, dan Jumlah Responden
Skala Perbandingan dalam Mengekspresikan Pendapat
Penyusunan Prioritas Areal Yang Berpotensi untuk Pengembangan
RTH
RTH Konsep Green City
Penggunaan Lahan Tahun 2012
Kepadatan Penduduk Tahun 2012
Sektor Lapangan Usaha Yang Dominan
Luas Penggunaan Lahan Sekarang
Perbandingan Model Pertumbuhan
Kebutuhan RTH Publik Berdasarkan Jumlah Penduduk
Kebutuhan RTH Publik Berdasarkan Luas Wilayah
Areal yang Berpotensi untuk Pengembangan RTH Publik
Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif I

9
10
17
19
23
23
30
35
39
39
38
42
43
44
46
49

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Kerangka Pikir Penelitian
Hirarki Green Open Space Perkotaan
Bentuk RTH
Peta Lokasi Penelitian
Hirarki Proses AHP
Pendekatan Bentuk Kota Figure Ground
Pendekatan Konsep Linkage
Pendekatan Konsep Place memberi makna historis
Contoh Konsep RTH Green Design berhierarki
Contoh Konsep Jalur Hijau Green Design
Konsep Green Design Memanfaatkan Area Sempit
Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Peta Administrasi
Peta Curah Hujan
Peta Geologi
Peta Tanah
Penggunaan Lahan Sekarang
Sebaran Spasial RTH
Distribusi RTH Privat dan Publik
Bentuk RTH Publik di Kota Ungaran
Diagram Hasil Pembobotan AHP
Sebaran Spasial Areal yang Berpotensi untuk Pengembangan RTH
Publik

4
8
9
15
22
27
27
28
28
29
29
31
32
33
34
34
37
40
41
41
45
47

ix
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

Sebaran Spasial Arahan Pengembangan RTH Publik
Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif II
Pendekatan Figure Ground untuk RTH Publik
Konsep Rancangan Place and Linkage dan Lokasi Rancangan untuk
RTH Publik
Konsep Model RTH Publik sebagai Landmark
Contoh Model RTH Pada Jalur Pedestrian Yang Lebar
Pemanfaatan Jalur Pedestrian Yang Sempit Berfungsi sebagai RTH
Contoh Model RTH Publik Lingkungan RT
Perspektif Model RTH Publik Lingkungan RT
Contoh Model RTH Publik Lingkungan RW, Kelurahan, Kecamatan
Perspektif Model RTH Publik Lingkungan RW, Kelurahan, Kecamatan
Konsep Alun-Alun Sebagai Model Pengembangan RTH
Pemanfaatan Facade Dinding Difungsikan sebagai RTH

48
52
56
57
58
59
60
61
62
62
63
63
64

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Grafik Hasil Perhitungan Model Pertumbuhan
Hasil Perhitungan AHP Pada Level 1 Kriteria Distribusi RTH
Hasil Perhitungan AHP Pada Level 2 Kriteria Pengembangan RTH
Hasil Perhitungan AHP Level 3 Sub Kriteria Pengembangan RTH
Hasil Akhir Perhitungan AHP
Data Penguasaan Aset Daerah (ha)
Peta Potensi Areal Berdasarkan Jarak
Peta Potensi Areal Berdasarkan Luas Minimal
Peta Potensi Areal Berdasarkan Bentuk (MSI)
Sebaran Spasial Data Cek Lapang
Data Cek Lapang
Citra Quickbird Kota Ungaran

71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
86

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam bentuk ruang publik maupun privat
memiliki peran yang penting bagi kehidupan manusia. RTH berperan penting
dalam pembangunan kota berkelanjutan dan ekologi kota yang mampu memberi
manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan (Chiesura, 2004; Zhou dan Wang, 2011
dalam Yuhong et al., 2014). Manfaat ekologis RTH antara lain karena vegetasi
yang ada mampu berperan dalam membentuk iklim mikro bagi lingkungan sekitar
dan mampu mengurangi efek panas (Buyadi et al., 2013). RTH mampu memberi
ruang bagi manusia dalam mewadahi aktivitas/kebutuhan sosial, baik untuk
olahraga, bersosialisasi dengan manusia lainnya maupun aktivitas sosial budaya
lainnya. RTH juga berperan sebagai wadah bagi aktivitas ekonomi lokal/pasar
(Rukayah et al., 2012).
RTH merupakan area yang harus disediakan oleh sebuah kota. Hal ini
sejalan dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 yang menyebutkan bahwa proporsi RTH
pada wilayah kota minimal 30% dari luas wilayah kota. RTH terdiri atas RTH
publik dan privat dimana proporsi RTH publik minimal sebesar 20% dan RTH
privat 10% dari luas wilayah kota. Distribusi RTH menurut pasal 30 UndangUndang Penataan Ruang disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hirarki
struktur ruang kota.
Terbangunnya jalan tol Semarang-Solo seksi I (Tembalang-Ungaran) turut
mendukung perkembangan ekonomi Kota Ungaran. Sejalan dengan
perkembangan sektor-sektor ekonomi menyebabkan kebutuhan sumberdaya lahan
meningkat untuk penyediaan sarana pendukung (Sitorus et al., 2011). Selain
sektor ekonomi, adanya pertambahan jumlah penduduk cenderung mendorong
perubahan penggunaan lahan dalam hal pemenuhan kebutuhan tempat tinggal.
Perkembangan Kota Ungaran cenderung meningkat tetapi terlihat tidak dibarengi
peningkatan jumlah fasilitas publik, khususnya penyediaan RTH. Sebuah kota
yang semakin berkembang dan tidak mengakomodasi penyediaan lahan untuk
RTH akan mengalami kesulitan dikemudian hari dengan semakin sempitnya lahan
serta naiknya nilai lahan.
Kota Ungaran memiliki beberapa titik ruang terbuka hijau publik yang
dikelola oleh pemerintah daerah dengan luas keseluruhan 2,08 ha (DPU
Kabupaten Semarang, 2013). Jika dibandingkan dengan luas kota Ungaran seluas
3.060,9 ha (BPS, 2013), maka RTH Kota Ungaran hanya 0,07% dari luas kota.
Kondisi ini tentu belum sesuai dengan amanat Undang-Undang Penataan Ruang
yang mensyaratkan luas minimal 20% dari luas kota.
Alun-alun merupakan bentuk kearifan lokal RTH yang terbukti
berkelanjutan (Rukayah et al., 2013). Konsep alun-alun yang ada di Jawa
memiliki ciri adanya pohon beringin yang membentuk sumbu kosmis. Kota
Ungaran memiliki beberapa alun-alun, akan tetapi rancangan yang ada belum
mengacu pada konsep alun-alun sebagai bentuk warisan budaya.
Kota Hijau (Green City) merupakan gambaran ideal pembangunan kota
yang berkelanjutan. Pembangunan kota secara umum berusaha menuju terciptanya
Green City. Kota Hijau memiliki atribut-atribut yang harus dipenuhi dalam upaya

2
mewujudkan kota yang berkelanjutan. Atribut utama dalam Green City adalah
pemenuhan green open space dan green planning and design (Kementerian PU,
2013). Kota Hijau sebagai tujuan utama pembangunan memiliki peran penting
dalam menjamin keseimbangan dan keberlanjutan sektor ekonomi, sektor sosial
dan kelestarian lingkungan wilayah. Kota Ungaran sebagai ibukota Kabupaten
Semarang saat ini berusaha mengarah pada terciptanya Kota Hijau. Upaya Kota
Ungaran ini memang belum optimal terlihat dari penyediaan RTH publik yang
masih belum memenuhi amanat Undang-Undang Penataan Ruang.
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) merupakan upaya pemerintah
pusat guna menstimulasi pemerintah daerah agar dalam pembangunan daerah
mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Kota Ungaran saat ini belum
termasuk sebagai kota pada Program Pengembangan Kota Hijau sehingga
perencanaan pengembangan RTH berbasis Green City (green planning and
design) belum tersedia. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian guna
mengidentifikasi kebutuhan RTH yang nantinya dapat menjadi arahan
pengembangan RTH bagi kota Ungaran dalam menuju Kota Hijau.
Perumusan Masalah
Pembangunan berbasis Kota Hijau berperan penting dalam pencapaian
keberlanjutan dan keseimbangan antara sektor ekonomi, sektor sosial dan sektor
lingkungan. Kota Ungaran saat ini belum mengakomodasi pembangunan berbasis
pada atribut Kota Hijau. Green Open Space sebagai atribut penting dalam
tercapainya Kota Hijau masih belum menjadi prioritas dalam arah pembangunan
Kota Ungaran.
Luas RTH publik di Kota Ungaran sebesar 0,07% (kurang dari 20%)
merupakan persoalan yang masih belum diakomodasi oleh pemerintah setempat.
Hal tersebut dapat dimungkinkan terjadi oleh karena pemerintah daerah belum
memiliki arahan dalam perencanaan dan perancangan RTH yang berbasis Kota
Hijau.
Kota Ungaran saat ini belum memiliki informasi dan data RTH yang baik
serta akurat, terutama data sebaran spasial RTH. Ketersediaan informasi dan data
sangat penting dalam mendukung pengembangan RTH berbasis Kota Hijau.
Permasalahan yang dihadapi kota Ungaran terkait penyediaan RTH
dipengaruhi beberapa faktor diantaranya pertumbuhan aktivitas ekonomi,
pertumbuhan penduduk serta kebijakan pemerintah daerah. Pertumbuhan aktivitas
ekonomi cenderung meningkatkan nilai lahan. Kebijakan pemerintah daerah yang
tidak segera memenuhi kebutuhan lahan RTH akan berhadapan dengan
permasalahan penganggaran seiring naiknya nilai lahan. Jumlah penduduk pada
tahun 2002 sebesar 75.834 jiwa meningkat pada tahun 2012 menjadi 97.736 jiwa
naik sebesar 28,9% selama sepuluh tahun dengan rata-rata per tahun naik 2,9%.
Peningkatan jumlah penduduk secara alami akan meningkatkan kebutuhan lahan
pemukiman yang cenderung memanfaatkan lahan RTH.
Atas dasar perumusan masalah diatas disusun pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
1. Berapa luas dan bagaimana distribusi RTH sekarang di Kota Ungaran?
2. Berapa kebutuhan RTH berdasarkan pendekataan atribut Green City (Green
Open Space)?

3
3. Berapa areal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai RTH?
4. Bagaimana perencanaan RTH (Pendekatan Green Planning) untuk
mendukung Kota Ungaran menuju Green City?
5. Bagaimana konsep perancangan RTH (Pendekatan Green Design) untuk
mendukung Kota Ungaran menuju Green City?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi dan menganalisis luas dan distribusi kondisi eksisting
RTH.
2. Menganalisis kebutuhan RTH Kota Ungaran guna memenuhi ketentuan
yang ditetapkan undang-undang yang berlaku.
3. Menganalisis areal yang berpotensi untuk pengembangan RTH.
4. Menyusun perencanaan RTH yang berbasis konsep Kota Hijau.
5. Menyusun perancangan RTH yang berbasis konsep Kota Hijau
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
memberikan informasi kondisi eksisting RTH yang ada di Kota Ungaran dan
memberi masukan bagi pemerintah daerah dalam mengarahkan perencanaan
pembangunan kota Ungaran yang seimbang antara aspek ekonomi, sosial, budaya
dengan lingkungan dalam hal ini dengan penyediaan RTH.
Kerangka Pemikiran
Penyediaan RTH di Kota Ungaran sebesar 30% (20% RTH publik dan 10%
RTH privat) dari luasan kota merupakan kewajiban yang diamanatkan undangundang. Untuk mengetahui informasi kondisi RTH eksisting di Kota Ungaran
maka pada tahap awal dilakukan identifikasi luasan dan sebaran RTH. Hal ini
dilakukan dengan mengintepretasi citra satelit, verifikasi dengan peta landuse
RTRW serta pengecekan lapangan.
Pada tahap selanjutnya dilakukan pendekatan analisis berbasis atribut Kota
Hijau (Green Planning and Design dan Green Open Space) terhadap kondisi
eksisting RTH Kota Ungaran. Untuk mengetahui preferensi kriteria
pengembangan RTH maka dilakukan pendekatan terhadap pemangku kepentingan
RTH, baik dari unsur pemerintah maupun unsur masyarakat dengan pendekatan
AHP. Selanjutnya dilakukan pendekatan analisis kesesuaian dengan pola dan
struktur ruang dalam RTRW. Analisis ini mencoba pendekatan terhadap pola dan
sebaran RTH yang dievaluasi secara berhierarki berdasarkan struktur ruang kota.
Proses yang dilakukan pada penelitian ini akan berujung pada sebuah
arahan dalam pemenuhan kebutuhan RTH sesuai amanat undang-undang dalam
mendukung Kota Ungaran menuju Kota Hijau. Kerangka pikir penelitian tertera
pada Gambar 1.

4




Pendekatan Pola dan
Struktur Ruang
RTRW

Perumusan masalah :
Luas RTH publik kurang dari 20%
Belum ada data spasial RTH
Belum ada perencanaan dan
perancangan RTH berbasis Green City

Pemetaan /
Identifikasi RTH eksisting

Pendekatan
Atribut Green
City

Analisis Kebutuhan
RTH Kota Ungaran

Pendekatan
Green Open
Space

Arahan Pengembangan
RTH Kota Ungaran
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Pendekatan
Green Planning
and Design

5

TINJAUAN PUSTAKA
Kota Hijau (Green City )
Kota Hijau merupakan gambaran ideal untuk sebuah kota yang mampu
menembus dimensi waktu, dimensi ruang dan budaya (Hestmark, 2000 dalam
Jim, 2004). Pembentukan Kota Hijau yang ideal mengikuti karakter sosial,
ekonomi, politik dan lingkungan fisik (Jim, 2004). Kota Hijau merupakan sebuah
metafora dari pencapaian tujuan-tujuan pembangunan perkotaan berkelanjutan.
Pembangunan perkotaan yang berkelanjutan mampu mengurangi efek polusi,
memberi dampak positif terhadap perbaikan kesehatan lingkungan (Finco et al.,
2003 dalam Jim, 2004). Kunci utama dalam membentuk kota layak huni dan
berkelanjutan adalah dengan melakukan pembangunan ruang terbuka hijau pada
area perkotaan (Jim, 2004). Jamilah et al., (2013) menggunakan pendekatan Kota
Hijau yaitu atribut Green Open Space dalam arahan pengembangan RTH di Kota
Kandangan dengan upaya membangun lahan hijau baru, koridor hijau serta
peningkatan kualitas RTH kota.
Beberapa pengertian Green City dalam Panduan Program Kota Hijau tahun
2013 diantaranya adalah (Kementerian PU, 2013) :
1. Kota Hijau dapat dipahami sebagai kota yang ramah lingkungan dengan
memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin
kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan,
berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan.
2. Kota yang didesain dengan mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan, dihuni oleh orang-orang yang memiliki kesadaran untuk
meminimalisir (penghematan) penggunaan energi, air dan makanan, serta
meminimalisir buangan limbah, percemaran udara dan pencemaran air.
3. Kota yang mengutamakan keseimbangan ekosistem hayati dengan
lingkungan terbangun sehingga tercipta kenyamanan bagi penduduk kota
yang tinggal di dalamnya maupun bagi para pengunjung kota.
4. Kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota-wilayah,
seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun,
keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia
sumberdaya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota.
Atribut Kota Hijau menurut beberapa ahli dan organisasi lingkungan dunia
terdiri dari beberapa atribut, akan tetapi di Indonesia atribut Kota Hijau
dikembangkan menjadi 8 (delapan) atribut (Kementerian PU, 2013). Kedelapan
atribut Kota Hijau tersebut adalah sebagai berikut :
1. Green Planning and Design, perencanaan dan perancangan yang
beradaptasi pada biofisik kawasan.
2. Green Open Space, Peningkatan kuantitas dan kualitas RTH sesuai
karakteristik kota/kabupaten dengan target 30%.

6
3. Green Waste, Usaha untuk zero waste dengan melaksanakan prinsip 3R
yaitu mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur ulang dan
meningkatkan nilai tambah.
4. Green Transportation, Pengembangan sistem transportasi yang
berkelanjutan, misal : transportasi publik, jalur sepeda, dsb.
5. Green Water, Efisiensi pemanfaatan sumberdaya air.
6. Green Energy, Pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah
lingkungan.
7. Green Building, Bangunan hemat energi.
8. Green Community, Kepekaan, kepedulian dan peran serta aktif masyarakat
dalam pengembangan atribut-atribut kota hijau.

Green Planning and Design
Green Planning and Design dapat diartikan sebagai suatu perencanaan dan
perancangan wilayah/kota/kawasan yang memperhatikan kapasitas daya dukung
lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan ruang,
mengutamakan keseimbangan lingkungan alami dan terbangun dalam rangka
mewujudkan kualitas ruang wilayah/kota/kawasan yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan (Kementerian PU, 2013). Bagea (2014) melakukan evaluasi
penerapan Kota Hijau, dimana atribut green planning and design telah mencapai
50% dalam perencanaan di Kota Tangerang. Widasari (2014) melakukan evaluasi
penerapan Kota Hijau di Kota Bekasi, dimana atribut green planning and design
baru mencapai 12,5%. Desdyanza (2014) melakukan evaluasi penerapan Kota
Hijau di Kota Bogor, dimana atribut green planning and design mencapai 12,5%.
Beberapa bentuk dan model Green Planning and Design dalam konsep
Program Pengembangan Kota Hijau adalah sebagai berikut (Kementerian PU,
2013) :
1. Compact City, menekankan pada usaha untuk mengurangi/mengendalikan
perluasan area kota yang dari waktu ke waktu semakin luas yang
diakibatkan oleh urban sprawl. Adanya usaha untuk melakukan simbiosis
antara alam dan populasi tinggi, misalnya dengan pengembangan atau
pembangunan bangunan-bangunan vertikal sehingga kebutuhan akan ruang
terbuka hijau dapat terpenuhi.
2. Mixed-Use Development, merupakan suatu pengembangan produk properti
yang terdiri dari baik itu produk perkantoran, hotel, tempat tinggal,
komersial yang dikembangkan menjadi satu kesatuan atau minimal dua
produk properti yang dibangun dalam satu kesatuan. Konsep ini menjawab
kebutuhan akan optimalisasi return pada suatu lahan untuk pengembangan
produk properti.
3. Kawasan Pejalan Kaki, suatu kawasan khusus bagi pejalan kaki, biasanya
ditempatkan di kawasan tempat bermain anak, di pusat perbelanjaan yang
sebelumnya dibuka untuk lalu lintas kendaraan yang ditutup untuk lalu
lintas kendaraan, pada kasus-kasus tertentu ada kawasan pejalan kaki yang
membolehkan bus atau trem untuk tetap bisa masuk. Kawasan pejalan kaki
biasanya dilengkapi dengan kursi, patung atau taman.

7
4. Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu pendekatan
pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan
maksimalisasi penggunaan angkutan massal seperti Busway/BRT, Kereta
api kota (MRT), Kereta api ringan (LRT), serta dilengkapi jaringan pejalan
kaki/sepeda.

Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space)
Ruang terbuka hijau merupakan entitas alam dan budaya yang penting untuk
sebuah kota (Yuhong et al., 2014). Ruang terbuka hijau memiliki peran penting
dalam pembangunan kota berkelanjutan dan ekologi perkotaan dengan
memberikan manfaat, baik dari sisi lingkungan, sosial dan ekonomi (Zhou dan
Wang, 2011). RTH memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan imaterial
dan kebutuhan non konsumptif (Chiesura, 2004). Menurut Chiesura (2004), ruang
terbuka hijau berperan dalam membangun kota yang berkelanjutan dan memberi
dampak positif dari aspek sosial. Semakin luas dan semakin hijau kondisi RTH
memberi efek positif terhadap kesehatan (Paquet et al., 2013). Dalam penelitian
Dinariana et al., (2009) di Jakarta Utara, RTH memiliki fungsi sebagai daerah
resapan air dipertahankan keberadaannya untuk dioptimalkan sebagai daerah
pengisian air tanah dan penahan abrasi di sepanjang pantai.
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Pemerintah Republik
Indonesia, 2007). Ruang terbuka non hijau adalah ruang terbuka di wilayah
perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras
maupun yang berupa badan air (Kementerian PU, 2008). Ruang terbuka hijau
privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang
pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman
rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Ruang terbuka
hijau publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah
kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
RTH baik yang bersifat publik maupun privat merupakan area yang harus
disediakan oleh sebuah kota. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang tertuang
dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29
yang menyebutkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota minimal 30% dari
luas wilayah kota. RTH dibagi menjadi RTH publik dan privat dimana luasan
RTH publik 20% dan RTH privat 10% dari luas wilayah/kota (Kementerian PU,
2007).
RTH memiliki dua fungsi yaitu fungsi utama dan fungsi tambahan.
Berdasarkan Permen PU No 5 tahun 2008, fungsi utama (intrinsik) RTH
diantaranya yaitu fungsi ekologis yaitu memberi jaminan pengadaan RTH menjadi
bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro agar
sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai
peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap
polutan media udara, air dan tanah dan penahan angin. Fungsi tambahan
(ekstrinsik) dibagi dalam tiga kelompok fungsi yaitu fungsi sosial budaya, fungsi

8
ekonomi dan fungsi estetika. Untuk mengoptimalkan fungsi tersebut penyediaan
RTH sebaiknya dilakukan secara berhirarkis dan terpadu dengan sistem struktur
ruang yang ada di perkotaan (Gambar 2).

Gambar 2. Hirarki Green Open Space Perkotaan
(Kementerian PU, 2013)
Jenis dan Tipologi Ruang Terbuka Hijau
Jenis RTH berdasarkan pola aktivitas dibedakan menjadi RTH aktif dan
RTH pasif. RTH aktif dan pasif mengacu pada luas minimal berbasis Koefisien
Dasar Hijau (KDH). KDH adalah angka persentase perbandingan antara luas
seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi
pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan
(Kementerian PU, 2008). RTH aktif memiliki nilai KDH 70%-80%, sedangkan
RTH pasif memiliki nilai KDH 80%-90% (Kementerian PU, 2008). Menurut
penelitian Paquet et al., (2013), jenis, ukuran dan tingkat kehijauan RTH
mempengaruhi kesehatan manusia. Tipologi RTH yang mampu mendukung
kesehatan metabolisme jantung adalah tipe RTH aktif, ukuran yang luas dan
tingkat kehijauan yang tinggi (Paquet et al., 2013).
Tipologi RTH secara fisik dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa
habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non
alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur
hijau jalan. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis
(mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti
hirarki dan struktur ruang perkotaan (Kementerian PU, 2008). Dari segi
kepemilikan, RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat (Tabel 1).

9
Tabel 1. Jenis RTH dan Kepemilikan
No Jenis RTH
1
RTH Pekarangan
a. Pekarangan rumah tinggal
b. Halaman perkantoran, pertokoan dan tempat usaha
c. Taman atap bangunan
2
RTH Taman dan Hutan Kota
a. Taman RT
b. Taman RW
c. Taman kelurahan
d. Taman kecamatan
e. Taman kota
f. Hutan kota
g. Sabuk hijau
3
RTH Jalur Hijau Jalan
a. Pulau jalan dan median jalan
b. Jalur pejalan kaki
c. Ruang dibawah jalan layang
4
RTH Fungsi Tertentu
a. RTH sempadan rel kereta api
b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi
c. RTH sempadan sungai
d. RTH sempadan pantai
e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air
f. Pemakaman

Publik

Privat
v
v
v

v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v

Sumber : Kementerian PU (2008)

RTH dapat berbentuk konsentris, terdistribusi, hierarkis, linier, jaringan atau
mengikuti fisiografi (Gambar 3). Jenis RTH berdasarkan jumlah penduduk dapat
dibagi dalam 5 kategori (Tabel 2).

Gambar 3. Bentuk RTH (Nurisjah, 2005)

10
Tabel 2. Jenis RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

No

Unit
Lingkungan

Tipe RTH

1
2
3

250 jiwa
2500 jiwa
30.000 jiwa

Taman RT
Taman RW
Taman
kelurahan

4

120.000 jiwa

Taman
kecamatan

5

480.000 jiwa

Luas
minimal/
Lokasi
kapita
(m2)
250
1,0
ditengah lingkungan RT
1.250
0,5
dipusat kegiatan RW
9.000
0,3
dikelompokan dengan
sekolah/pusat kelurahan

Luas
minimal/
unit (m2)

24.000

0,2

dikelompokan dengan
sekolah/pusat kecamatan

Pemakaman

disesuaikan

1,2

tersebar

Taman kota
Hutan kota

144.000
disesuaikan

0,3
4,0

disesuaikan

12,5

dipusat wilayah/kota
didalam/kawasan
pinggiran
disesuiakan dengan
kebutuhan

Untuk fungsi
tertentu
Sumber : Kementerian PU (2008)

Dilihat dari fungsinya dapat dibedakan menjadi RTH fungsi ekologis, fungsi
sosial budaya, fungsi estetika, dan fungsi ekonomi. Menurut penelitian Dewi
(2009), RTH dibedakan mengacu pada fungsi, karakter sejarah dan citra zona
kawasan, yaitu zona citra bahari, zona citra kolonial, zona citra komersil dan zona
citra religius. Hasil penelitian Panduro dan Veie (2013) membagi tipologi RTH
berdasarkan kualitas dan kuantitas aksesibilitas RTH, yang dibedakan menjadi 8
yaitu taman kota, RTH alami, RTH danau, taman halaman gereja, lapangan
olahraga, area publik, area pertanian dan sabuk hijau.
Penggunaan Lahan dan Perubahan RTH
Lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air
dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruh terhadap
penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa
lalu dan sekarang (Sitorus, 2003). Penggunaan lahan (land use) merupakan
perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dan terkait dengan kegiatan
manusia pada sebidang lahan (Lillesand dan Kiefer, 1987). Menurut Sitorus
(1989) penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material
maupun spiritual. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan
penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi,
padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi (Hardjowigeno dan Widiatmaka,
2007).

11
Sistem penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi dua pembagian
yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian.
Penggunaan lahan pertanian diantaranya sawah, tegalan, kebun, padang rumput,
hutan produksi dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian diantaranya
penggunaan lahan perkotaan atau perdesaan, industri, rekreasi, pertambangan dan
sebagainya (Arsyad, 1989).
Luas RTH cenderung mengalami penurunan dan perubahan lahan RTH
tersebut dipengaruhi adanya alih fungsi lahan RTH (Sitorus et al., 2011). Faktor
yang mempengaruhi perubahan lahan RTH berdasarkan hasil penelitian Sitorus et
al., (2011) di Jakarta Selatan adalah alokasi RTH dalam RTRW, fasilitas
kesehatan, jumlah pendatang, kepadatan penduduk dan fasilitas pendidikan.
Widiastuti (2012) menyebutkan faktor yang mempengaruhi perubahan lahan RTH
di Kota Bekasi adalah jarak ke pusat kota, luas RTH awal, perubahan lahan
terbangun, jarak terhadap fasilitas sosial, jarak terhadap fasilitas pendidikan dan
perubahan terhadap fasilitas ekonomi. Menurut penelitian Suwarli et al. (2012),
faktor yang mempengaruhi perubahan lahan RTH yang utama adalah jumlah
penduduk selain itu variabel lain yang berpengaruh yaitu jumlah sarana
pendidikan, jumlah pasar, jumlah supermarket, jumlah pemukiman, jumlah
industri, jumlah restoran dan jumlah hotel. Menurut Sitorus et al., (2009), faktor
yang berpengaruh nyata dalam perubahan lahan pertanian sebagai RTH di
Kabupaten Tangerang adalah aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. Faktor yang
berpengaruh nyata dalam perubahan lahan pertanian sebagai RTH berdasarkan
hasil penelitian Sitorus et al., (2011) di Kabupaten Bandung adalah curah hujan
kelas sangat rendah, rendah dan tinggi, penggunaan lahan tahun 1998, kepadatan
penduduk dan pertambahan fasilitas pendidikan. Putri dan Zain (2010), faktor
aksesibilitas merupakan hal krusial yang mendorong perubahan RTH dan
perkembangan Kota Bandung.
Penelitian Sitorus et al., (2012) menyebutkan semakin tinggi hirarki wilayah
kecenderungan perubahan penggunaan lahan semakin kecil, sedangkan perubahan
RTH semakin meningkat. Tridarmayanti (2010) menganalisis perubahan RTH
dengan pendekatan analisis LQ untuk perubahan pemusatan RTH, skalogram
untuk mendapatkan Indeks Perkembangan Kelurahan (IPK). Faktor yang
berpengaruh terhadap perubahan RTH adalah IPK dan jumlah penduduk. Patria
(2010) menyatakan bahwa faktor yang berperan dalam perubahan RTH di Jakarta
Timur adalah ketersediaan lahan kosong dan peningkatan jumlah fasilitas
kesehatan.
Kebutuhan dan Kecukupan RTH
Kebutuhan RTH pada wilayah kota menurut Undang-Undang No 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang adalah sebesar 30% dari luas wilayah kota, dimana
RTH dibagi menjadi RTH publik sebesar minimal 20% dan RTH privat 10%.
Sedangkan kebutuhan RTH kawasan perkotaan menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri No 1 tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan adalah
sebesar 20% dari luas kawasan perkotaan. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No 5 tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di
Kawasan Perkotaan, penyediaan RTH mengacu standar minimal kebutuhan RTH
per penduduk seluas 20 m2.

12
Kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk menurut rekomendasi WHO
adalah 9,5 m2/penduduk (Senanayake et al., 2013). Untuk negara tertentu terdapat
perbedaan luasan seperti di Malaysia 1,9 m2/penduduk, Jepang 5 m2/penduduk,
Inggris 11,5 m2/penduduk, Amerika 60 m2/penduduk, sedangkan Jakarta
mengusulkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2/penduduk (Rifai, 1991
dalam Purnomohadi 2006). Menurut Senanayake et al. (2013), untuk mengetahui
kelayakan suatu area mendapat prioritas untuk penyediaan RTH dapat diketahui
dengan pendekatan jumlah penduduk. Wilayah dengan kepadatan tinggi dan
memiliki nilai luas minimum RTH per kapita rendah termasuk dalam wilayah
yang perlu penyediaan RTH (Senanayake et al., 2013). Widiastuti (2012)
melakukan analisis kecukupan RTH berbasis jumlah penduduk, dimana
berdasarkan jumlah penduduk, di Kota Bekasi sudah tidak mampu memenuhi
luasan kebutuhan RTH sehingga pemenuhan mengacu pada 30% luas wilayah.
Penelitian Rijal (2008) melakukan analisis kebutuhan RTH berdasarkan
pendekatan ekologis dan jumlah penduduk, dimana kebutuhan berdasarkan jumlah
penduduk jauh lebih tinggi.
Analytic Hierarchy Process (AHP)
Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan teori mengenai pengukuran
relatif terhadap skala absolut baik kriteria tangible maupun kriteria intangible
berbasis pada penilaian berpasangan oleh pendapat ahli (Ozdemir dan Saaty,
2006). Suwarli et al., (2012) melakukan analisis preferensi (AHP) untuk
mendapatkan prioritas strategi dalam pengembangan RTH berbasis green
budgeting. Hasil AHP menunjukkan prioritas pengembangan RTH dengan
pengadaan lahan baru dan pembangunan infrastruktur RTH (Suwarli et al., 2012).
Hartati dan Nugroho (2012) menggunakan pendekatan AHP dengan membentuk
model evaluasi dan memberikan bobot terhadap kriteria yang ada. Dalam
penelitiannya, Hartati dan Nugroho (2012) menggabungkan metode AHP dengan
data spasial dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan
prioritas kesesuaian lahan di Kabupaten Semarang. Pancawati (2010)
menggunakan AHP dalam memilih prioritas pengembangan bentuk RTH di Kota
Tangerang, dimana bentuk RTH kawasan memiliki bobot tertinggi disusul bentuk
RTH jalur dan RTH bentuk simpul.
Analisis Indeks Lanskap Patch Analysis
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam identifikasi indeks
lanskap adalah Patch Analysis yang merupakan bagian tools dari aplikasi ArcGis.
Alat analisis yang terdapat dalam model ini terdiri dari 16 alat analisis indeks
lanskap ekologi, yang terbagi dalam lima kelompok, yaitu: kelompok ukuranukuran luas (TA dan LPI), ukuran-ukuran kerapatan dan variabilitas (NP, MPS,
PSSD, PSCV), ukuran-ukuran tepi (TE, ED, MPE), ukuran-ukuran bentuk (MSI,
AWMSI, DLFD, MPFD, AWMPFD) dan ukuran-ukuran keragaman (SHDI dan
SIEI) (MacGarigal dan Marks, 1995 dalam Adi, 2012). Analisis lanskap terhadap
bentuk lahan menjadi fokus utama dalam menentukan arahan perencanaan dan
perancangan RTH. Dari alat analisis yang ada, analisis terhadap kompleksitas
bentuk lanskap (MSI) digunakan sebagai acuan dalam melakukan klasifikasi pola

13
aktivitas dan pola fungsi RTH yang akan direncanakan dan dirancang. Yuhong et
al., (2014) menganalisis kualitas ekologi RTH pada compact city dengan
membagi menjadi dua kriteria indeks lanskap yaitu berdasarkan wilayah dan
berdasarkan landuse. Masing – masing kriteria tersebut menganalisis karakteristik
ukuran (TA, AWMPS), bentuk (AWMSI, AWMPFD), jarak (MENN,
AWMENN) dan batas tepi (TE, ED, MPE) (Yuhong et al., 2014).
Kearifan Lokal Alun-Alun
Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan
maupun kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas
dan sepasang pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses
masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati.
Lapangan inilah yang dinamakan alun-alun. Pola ini tentunya mengikuti pola
kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton
Surakarta dan Yogyakarta (Suwardjoko, 2010). Di samping fungsinya sebagai
lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dahulu alun-alun bukan sekedar
lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni: sebagai ruang terbuka kota
sekaligus tempat kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat. Saat ini, fungsi dan
wajah alun-alun sudah berubah, namun sebagai elemen kota berupa ruang terbuka
umum, ruang publik, masih sangat diperlukan (Suwardjoko, 2010).
Alun-alun merupakan ruang perlambang (pasemon) untuk meninggikan
posisi penguasa, tempat rakyat menghadap penguasa (seba) halaman keraton dan
ruang temu yang merepresentasikan konsep kosmis. Dalam penelitian Rukayah
dan Soetomo (2007), evolusi alun-alun merupakan strategi mengintegrasikan
kebijakan konservasi dan pengembangan wilayah. Dalam penelitian Rukayah et
al., (2013), bentuk square alun – alun merupakan konsep ruang terbuka
tradisional yang memiliki karakter lokal dan mampu berkelanjutan serta bertahan
dari waktu ke waktu. Budiyono et al., (2012) melakukan analisis berbasis Scenic
Beauty Estimation terhadap lanskap di Kota Malang, dimana Taman Alun-Alun
Tugu memiliki nilai tertinggi. Alun-alun dapat menjadi model untuk
pengembangan wilayah pada sebuah kota. Paturusi dan Diartika (2010)
menyebutkan bahwa pendekatan kearifan lokal dapat digunakan untuk upaya
mencapai tujuan Kota Hijau yang berkarakter dan berjatidiri dengan
memanfaatkan ruang terbuka pada area Tri Kahayangan. Wesnawa (2010)
menyebutkan dalam mengoptimalkan pemanfaatan ruang wilayah dapat mengacu
pada bentuk desa adat berbasis kearifan lokal. Kencana dan Arifin (2010)
menganalisis pemanfaatan peninggalan sejarah berupa elemen lanskap berkarakter
lokal sebagai bagian pengembangan wisata berbasis learn by travelling.
Teori Figure Ground, Linkage and Place
Teori Figure Ground, Linkage and Place menekankan bagaimana suatu
tempat/place dibentuk oleh konfigurasi pola ruang fisik (Trancik dalam Rukayah
dan Bharoto, 2012). Figure ground melihat hubungan antara bentuk yang
terbangun/solid dengan ruang terbuka/void. Linkage merupakan penghubung
kawasan satu dengan yang lain. Linkage menghubungkan fungsi-fungsi kawasan

14
perkotaan. Place merupakan pemaknaan suatu kawasan yang dibentuk oleh
adanya ruang terbuka / void. Zaida dan Arifin (2010) mengidentifikasi dua jenis
linkage di Kota Suarakarta, yaitu linkage integrated area pusat kota dan linkage
integrated area open space.
Ruang terbuka publik dapat dinilai baik apabila mampu memberi
kenyamanan dan keamanan (Nasution dan Zahrah, 2012). Dilihat dari dimensi
ukuran fisik, ruang terbuka haruslah jelas dan mudah diakses. Nasution dan
Zahrah (2012) menyebutkan bahwa hal tersebut dapat diwujudkan dengan
menciptakan linkage / hubungan antar ruang terbuka publik serta terintegrasi
dengan pusat transportasi masal maupun dengan landmark sekaligus membentuk
places dengan skala yang proporsional untuk manusia.
Zhiyuan et al., (2014) dalam penelitiannya terkait pemodelan Garden City
mencoba mengaplikasikan metode figure ground, place dan lingkage dimana
social city sebagai gambaran figure ground yang saling terhubung/lingkage
terhadap green open space dan agriculture area yang membentuk gambaran
place. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis jarak optimal antara green
open space dengan pemukiman. Dengan standar kecepatan orang berjalan
1m/detik, jarak yang nyaman antara pemukiman dengan green open space adalah
300 m atau 300 detik (Zhiyuan et al., 2014).
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi dalam pengembangan RTH merupakan upaya mengintegrasikan
RTH sebagai wadah/ruang dengan masyarakat sebagai pelaku dan pengguna.
Prinsip-prinsip peran masyarakat dalam pengembangan RTH adalah (Kementerian
PU, 2008) : 1) menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan
dalam proses pembangunan ruang ruang terbuka hijau; 2) memposisikan
pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pembangunan ruang terbuka hijau; 3)
menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan
keberagaman sosial budayanya; 4) menjunjung tinggi keterbukaan d