Peran Komunitas Hijau Dalam Penataan Ruang Terbuka Hijau Menuju Green City Kota Ciamis Jawa Barat

PERAN KOMUNITAS HIJAU DALAM PENATAAN
RUANG TERBUKA HIJAU MENUJU GREEN CITY
KOTA CIAMIS JAWA BARAT

NINA RATNA WIDYASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Komunitas Hijau
dalam Penataan Ruang Terbuka Hijau Menuju Green City Kota Ciamis Jawa
Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Nina Ratna Widyasari
NIM A156140224

RINGKASAN
NINA RATNA WIDYASARI. Peran Komunitas Hijau dalam Penataan Ruang
Terbuka Hijau Menuju Green City Kota Ciamis Jawa Barat. Dibimbing oleh
ENDRIATMO SOETARTO dan UNTUNG SUDADI.
Kota Ciamis sebagai ibukota Kabupaten Ciamis berfungsi sebagai pusat
pemerintahan, perekonomian dan pelayanan sosial sehingga dalam lima tahun
terakhir mengalami perkembangan dan pembangunan yang cukup pesat di
berbagai sektor, terutama pada sektor ekonomi dan perumahan rakyat.
Pembangunan perkotaan cenderung tidak seimbang karena lebih mengutamakan
pembangunan fisik yang menimbulkan permasalahan lingkungan seperti
meningkatnya suhu udara, polusi, kemiskinan serta sifat individualistis pada
masyarakat. Langkah pemerintah daerah untuk mengatasinya yaitu dengan
menerapkan konsep pembangunan perkotaan berkelanjutan yang diwujudkan
dengan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Kota hijau adalah kota yang
ramah lingkungan yang dibangun berdasarkan keseimbangan antara dimensi

sosial, ekonomi dan lingkungan, serta dimensi tata kelolanya termasuk
kepemimpinan dan kelembagaan yang mantap. Atribut kota hijau yang utama
adalah ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan peran komunitas hijau.
Sebagai perwujudan RTH 30%, pelaksanaan P2KH berlandaskan peran komunitas
hijau.
Penelitian ini dibatasi pada komunitas hijau yang peduli dan berperan aktif
dalam penataan RTH Kota Ciamis. Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
mengidentifikasi simpul-simpul komunitas warga yang telah menggagas dan
berkiprah dalam aktivitas komunitas hijau di Kota Ciamis; (2) menganalisis
kemampuan pemerintah Kabupaten Ciamis dalam inisiasi dan dinamisasi potensi
masyarakat untuk percepatan dan penguatan green city; (3) menganalisis
kebutuhan RTH wilayah Kota Ciamis berdasarkan konsep green city dan (4)
menyusun arahan dinamisasi peran komunitas hijau dalam penataan RTH Kota
Ciamis. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode deskriptif dan A’WOT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Ciamis telah memiliki komunitas
warga peduli lingkungan yang menggagas dan berkiprah sebagai komunitas hijau
secara mandiri atau tergabung dalam Forum Komunitas Hijau, tapi belum terdifusi
dengan baik. Pemerintah Kabupaten Ciamis telah mampu menggagas dan
mendinamisasikan potensi-potensi masyarakat untuk mempercepat dan
menguatkan pencapaian green city melalui program kegiatan rutin dan program

pendukung seperti Kabupaten Konservasi, Gera Balaka (Gerakan Balarea
Babarengan Melak Kalapa) dan Pepeling (Pengantin Peduli Lingkungan).
Kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk sampai tahun 2025, dengan
prediksi jumlah penduduk tertinggi 168.695 jiwa dibutuhkan RTH seluas 337 ha.
Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH masih mencukupi.
Arahan kebijakan pengembangan wilayah berdasarkan peran komunitas
hijau dalam penataan RTH adalah dengan menerapkan bargaining power yang
dapat menaikkan posisi dan peran komunitas hijau menjadi class acion yaitu: 1)
komunitas hijau mengupayakan kegiatan yang mengusung kearifan lokal dan
melibatkan kelembagaan masyarakat, 2) komunitas hijau bekerjasama dengan
swasta dalam kegiatan pengelolaan RTH pada lahan publik seperti taman kota dan

jalur hijau, serta 3) komunitas hijau mengarahkan aktivitas kelembagaan
masyarakat pada bidang pelestarian lingkungan sehingga bisa bekerjasama dengan
instansi-instansi terkait.
Kata kunci: Gera Balaka, Kabupaten Konservasi, Pepeling, P2KH

SUMMARY
NINA RATNA WIDYASARI. Roles of Green Communities in the Green Open
Space Arrangement towards Ciamis City, West Java as a Green City. Supervised

by ENDRIATMO SOETARTO and UNTUNG SUDADI.
As the capitol of Ciamis Regency, Ciamis City serves as center of
government, economicy, and social services which in the last five years has been
performing a remarkably rapid development in various sectors, especially in
economic and public housing. Urban development tends to be unbalanced because
it prioritizes on physical development which causes environmental problems such
as temperatures rise, pollution, poverty and individualistic attitude of the society.
To overcome such a situation the local government has applied concept of
sustainable urban development through the Green City Development Program
(P2KH). Green city is an environmentally friendly city that is built upon a balance
among social, economic and environmental dimensions, as well as the dimensions
of governance, which include a steady institutional and leadership. Green city’s
main attribute is availability of green open space and roles of green community.
The execution of P2KH, as the realization of 30% green open space program, was
based on the roles of green communities.
This study was limited to green communities who care and actively
participate in Ciamis City green open space program. This study aims to: (1)
identify nodes of residents communities who have initiated and participated in
green community activities in Ciamis City; (2) to analyze the ability of Ciamis
regency government in the initiation and dynamization of the community’s

potency to accelerate and strengthen the green city achievement; (3) to analyze
green open space requirement of Ciamis city region based on the green city
concept, and (4) to formulate direction of the dynamization of green community’s
roles in the green open space arrangement of Ciamis city.This study used
descriptive and A'WOT methods.
The results showed that Ciamis City has already citizen communities who
have environmental awareness that have been initiating and acting in green
communities independently or incorporated in Green Community Forum, butthey
has not been diffused well. Ciamis regency government is considered as capable
of initiating and dynamizing the potentcies of society to accelerate and strengthen
the green city achievement through routine activities and support programs such
as Conservation Regency, Gera Balaka (Balarea Babarengan Melak Kalapa
Movement) and Pepeling (Bride’s Environmental Awareness). Based on
population growth estimation until 2025, in which the highest estimated
population of 168.695 people, the green open space requirement of Ciamis city
region would be 337 ha. It indicated that the green open space availibility is still
sufficient.
The direction of regional development policy that based on the roles of
green communities in the arrangement of green open space could be achieved by
raising up their bargaining power and roles into class action level i.e: 1) the green

community seeks activities that brings local wisdom while involving community
institutions, 2) the green community cooperates with private sectors in green open
space management activities at public lands such as city parks and green lines, 3)

the green community directs public institution activities towards sustenance of
environment that make it possible to cooperate with the relevant agencies.
Keywords: Conservation Regency, Gera Balaka, Pepeling, P2KH

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERAN KOMUNITAS HIJAU DALAM PENATAAN
RUANG TERBUKA HIJAU MENUJU GREEN CITY

KOTA CIAMIS JAWA BARAT

NINA RATNA WIDYASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus

4


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah peran serta masyarakat dalam proses
perencanaan dan implementasi program pengembangan wilayah, dengan judul
Peran Komunitas Hijau dalam Penataan Ruang Terbuka Hijau Menuju Green
City Kota Ciamis Jawa Barat.
Rasa hormat serta terima kasih yang setinggi-tingginya penulis haturkan
kepada:
1. Prof. Dr Drs Endriatmo Soetarto, MA dan Dr Ir Untung Sudadi, MSc selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan
bimbingan yang telah diberikan mulai dari tahap awal sampai dengan
penyelesaian tesis ini.
2. Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
3. Segenap dosen, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB.
4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan
beasiswa yang diberikan kepada penulis.

5. Pemerintah Kabupaten Ciamis yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk mengikuti program tugas belajar ini dan melakukan penelitian di
lingkungan pemerintah Kabupaten Ciamis.
6. Rekan-rekan PWL 2014 dan semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
7. Teristimewa suami tercinta Aceng Otong A. dan seluruh keluarga atas segala
dukungan, kesabaran, pengorbanan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016
Nina Ratna Widyasari

5

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR


iv

DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pemikiran Penelitian

1
1
3
4
4

5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Berkelanjutan
Kota Hijau
Ruang Terbuka Hijau
Kebutuhan dan Kecukupan RTH
Partisipasi Masyarakat
Komunitas Hijau
Analisis A'WOT
Penelitian Terdahulu

7
7
8
9
11
13
15
16
16

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Bahan dan Alat Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data

20
20
20
20
20
22

4 PROFIL CIAMIS: KABUPATEN PERLINTASAN
Ciamis Selayang Pandang
Letak Geografis dan Administrasi Kota Ciamis
Kondisi Fisik Kota Ciamis
Topografi dan Hidrologi
Tanah
Iklim dan Curah Hujan
Kondisi Sosial Kota Ciamis
Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Struktur Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
Struktur Penduduk menurut Mata Pencaharian
Kondisi Perekonomian

25
25
26
28
28
28
28
29
29
30
31
31

6
5 RTH DAN PROBLEMATIKANYA
Ciamis Menuju Kota Hijau: Latar Belakang RTH Kota Ciamis
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Ciamis dalam Penataan RTH
Program Pendukung Terkait RTH
RTH Eksisting Kota Ciamis
Kebutuhan vs Kecukupan RTH Kota Ciamis

33
33
34
41
43
46

6 PERAN KOMUNITAS HIJAU DALAM PENATAAN RTH
Komunitas Hijau dan P2KH
Aksi Komunitas Hijau

49
49
52

7 STRATEGI DINAMISASI KOMUNITAS HIJAU DALAM PENATAAN
RTH
55
Trade Off RTH Kota Ciamis
55
Isu-Isu Utama Penataan RTH
56
Arahan Kebijakan Pengembangan Wilayah Berdasarkan Peran Komunitas
Hijau dalam Penataan RTH Kota Ciamis
63
Epilog
64
8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

66
66
66

DAFTAR PUSTAKA

67

LAMPIRAN

72

RIWAYAT HIDUP

81

7

DAFTAR TABEL
1 Alih Fungsi Lahan Kota Ciamis Tahun 2010-2012
2 Standar Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk menurut
Permen PU No. 5 Tahun 2008
3 Jenis Data, Sumber Data, Metode Analisis serta Hasil Yang Diharapkan
4 Luas Wilayah Administrasi Kota Ciamis
5 Jumlah Penduduk Kota Ciamis Tahun 2008-2012
6 PDRB Kecamatan di Wilayah Kota Ciamis Tahun 2012-2013
7 Jenis Kegiatan Terkait RTH Pemerintah Kabupaten Ciamis
8 Anggaran Pemeliharaan dan Penataan RTH DCKKTR
9 Luas RTH Publik dan Privat di Kota Ciamis
10 Komposisi RTH Publik Eksisting di Kota Ciamis
11 Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Ciamis Tahun 2014
12 Kebutuhan RTH Kota Ciamis Berdasarkan Jumlah Penduduk menurut
Permen PU No. 5 Tahun 2008
13 Faktor Internal dan Eksternal dalam Penataan RTH Kota Ciamis
14 Strategi Dinamisasi Komunitas Hijau dalam Penataan RTH Kota
Ciamis
15 Hasil Pembobotan Komponen SWOT
16 Urutan Strategi Dinamisasi Peran Komunitas Hijau dalam Penataan
RTH Kota Ciamis

4
11
21
26
29
31
38
39
44
44
46
48
57
59
60
62

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Kerangka Pemikiran Penelitian
Prisma Berkelanjutan
Tipologi RTH menurut Permen PU Nomor 5 Tahun 2008
Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Peta Batas Administrasi Kota Ciamis
Laju Pertumbuhan Kota Ciamis Tahun 2008-2012
Kepadatan Penduduk Kota Ciamis Tahun 2012
Luas RTH Publik Kota Ciamis
Anggaran Pemeliharaan RTH Tahun 2010-2015
Anggaran Penataan RTH 2010-2015
Sebaran RTH Kota Ciamis Tahun 2014

6
7
10
24
27
30
30
34
39
41
45

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Kepemilikan RTH menurut Permen PU Nomor 5 Tahun 2008
Curah Hujan Bulanan Kota Ciamis
Peta Rencana Kawasan RTHKP Kota Ciamis
Daftar Sekolah Berbudaya Lingkungan Kota Ciamis
Kegiatan Pemeliharaan RTH
Pembangunan pelengkapan RTH
Profil Forum Komunitas Hijau (FKH) Kabupaten Ciamis
RTH di lingkungan sekolah

72
72
73
74
75
75
76
77

8
9 Kegiatan penanaman oleh komunitas hijau
10 Hasil Analisis Pembobotan Komponen SWOT menggunakan Software
Expert Choice 2000
11 Hasil Analisis Pembobotan Antar Faktor Pada Komponen Strengths
(kekuatan) menggunakan Software Expert Choice 2000s
12 Hasil Analisis Pembobotan Antar Faktor Pada Komponen Weaknesses
(kelemahan) menggunakan Software Expert Choice 2000s
13 Hasil Analisis Pembobotan Antar Faktor Pada Komponen
Opportunities (peluang) menggunakan Software Expert Choice 2000s
14 Hasil Analisis Pembobotan Antar Faktor Pada Komponen Threaths
(ancaman) menggunakan Software Expert Choice 2000s

77
78
78
79
79
80

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan perkotaan merupakan pusat kegiatan manusia yang berfungsi
sebagai pusat pemerintahan, perekonomian dan pelayanan sosial. Hal ini
menyebabkan perkembangan pembangunan perkotaan yang pesat, tapi cenderung
mengutamakan pembangunan fisik untuk memenuhi kebutuhan sarana dan
prasarana pendukung. Pembangunan perkotaan yang tidak seimbang akan
menimbulkan permasalahan lingkungan seperti meningkatnya suhu udara
(urbandheat island), polusi, kemiskinan serta sifat individualistis masyarakat,
untuk mengatasinya diperlukan suatu konsep pembangunan perkotaan
berkelanjutan. Kota sebagai pusat kehidupan budaya dan peradaban manusia
harus terus dibenahi dan diarahkan untuk pengembangan pembangunan secara
berkelanjutan (Dollah et al., 2014)
Pembangunan perkotaan berkelanjutan merupakan upaya untuk
mengintegrasikan secara sinergis dari tiga kepentingan utama dalam
pembangunan perkotaan yang meliputi keadilan sosial, mendorong pertumbuhan
dan efisiensi ekonomi, dan perlindungan terhadap kelestarian lingkungan
(Kementerian PU, 2013). Pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan
perkotaan berkelanjutan merumuskan program P2KH (Program Pengembangan
Kota Hijau), yaitu program yang diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Penataan
Ruang Kementerian Pekerjaan Umum dengan mengusung konsep kota hijau
(green city).
Kota hijau merupakan kota ramah lingkungan yang dibangun berdasarkan
keseimbangan antara dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan, serta dimensi tata
kelolanya, termasuk kepemimpinan dan kelembagaan kota yang mantap
(Kementerian PU, 2013). Kota hijau merupakan program yang diterapkan kepada
kota/kabupaten yang bersedia mengikuti P2KH. Kabupaten Ciamis adalah salah
satu kabupaten yang berperan serta dalam kegiatan P2KH. Hal itu diwujudkan
dengan mencanangkan wilayah Kota Ciamis sebagai peserta P2KH pada Februari
2012 oleh Wakil Bupati Ciamis.
Kota hijau mempunyai delapan atribut yang harus dipenuhi, salah satunya
yaitu ketersediaan RTH (ruang terbuka hijau). RTH mempunyai beberapa fungsi
yaitu ekologis, sosial budaya, planologis, ekonomi dan estetika. Selain itu RTH
sebagai infrastruktur kota hijau merupakan sarana untuk mengatasi permasalahan
lingkungan yang muncul di perkotaan. Norton et al. (2015) menyatakan bahwa
implementasi strategis infrastruktur kota hijau misalnya pohon pinggir jalan,
taman, atap dan dinding hijau dapat membantu mengurangi suhu di daerah
perkotaan juga memberikan manfaat lain seperti pengurangan polusi dan sebagai
habitat keanekaragaman hayati.
Purnomohadi (2006) menyatakan bahwa RTH menjadi unsur penting untuk
keberlangsungan kehidupan manusia, khususnya sebagai penyeimbang unsur
bangunan di lingkungan perkotaan. Selain itu kecukupan dan kemudahan akses
masyarakat terhadap RTH di suatu wilayah mempengaruhi kesehatan sosial
masyarakat di sekitarnya. Khotdee et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat

2
hubungan antara aksesibilitas masyarakat terhadap RTH dengan perilaku serta
kesehatan sosial.
Pengembangan kota hijau tidak difokuskan pada pembangunan fisik semata,
tapi diutamakan terhadap pembentukan pola fikir masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan. Nugroho dan Syaodih (2013) menyatakan bahwa dalam
pengembangan kota hijau juga dimaksudkan pembangunan manusia kota yang
berinisiatif dan bekerjasama dalam melakukan perubahan dan gerakan bersama
seluruh unsur pemangku kepentingan kota. Kemitraan masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait yaitu
modal, komitmen, dasar keterampilan, motivasi, komunikasi dan pengaruh politik
(Mathers et al., 2015).
Tujuan kota hijau adalah terbentuk suatu sistem manajemen yang menjamin
keberlanjutan dan eksistensi suatu kota yang menerapkan atribut kota hijau.
Dalam hal ini peran masyarakat sebagai mitra pemerintah daerah perlu
diwujudkan dalam system collaborative community based management
(DCKKTR, 2013). Semakin tinggi kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
pelestarian lingkungan, maka arah pembangunan tidak hanya menjadi sebuah
kebijakan yang menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi sudah menjadi
gerakan bersama yang diikuti oleh seluruh elemen masyarakat.
Masyarakat bergabung dan membentuk berbagai aksi peduli lingkungan
kota dengan membentuk komunitas hijau (green community). Pembentukan
komunitas hijau diperlukan untuk mengupayakan perubahan perilaku warga agar
lebih ramah terhadap lingkungan dan lebih peka terhadap perubahan yang terjadi,
dengan tujuan akhir untuk mendorong perwujudan lingkungan dan hunian yang
nyaman, aman, lestari serta berkelanjutan sesuai dengan aspirasi warga
(DCKKTR, 2014). Komunitas hijau merupakan salah satu atribut penting dalam
mewujudkan kota hijau karena keterlibatan dan rasa memiliki masyarakat akan
menjadi motor gerakan hijau di kawasan perkotaan dan menjamin keberlanjutan
program di masa yang akan datang.
Ketersediaan dan kecukupan RTH di perkotaan selain dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah juga keberadaan komunitas hijau. P2KH merupakan inovasi
program perwujudan RTH perkotaan yang berbasis komunitas (Ekaputra dan
Sudarwani, 2013). Ketersediaan RTH diharapkan mampu memberikan suasana
kota yang hijau, asri, nyaman, ekonomis dan berkelanjutan. Namun laju
pertumbuhan pembangunan perkotaan menuntut pengalihfungsian RTH menjadi
lahan terbangun. Lestari et al. (2014) menyatakan bahwa pengembangan RTH
menuju sustainable city dipengaruhi beberapa faktor yaitu kondisi alam seperti
tanah dan iklim, sistem organisasi, profesionalisme sumber daya alam, serta
kepentingan para stakeholders.
Kabupaten Ciamis mempunyai 5 (lima) Kawasan Perkotaan yaitu:
1) Kawasan Perkotaan Ciamis sebagai Ibukota Kabupaten Ciamis, 2) Kawasan
Perkotaan Cijeungjing, 3) Kawasan Perkotaan Kawali, 4) Kawasan Perkotaan
Cipaku, dan Kawasan Perkotaan Lumbung. Pemerintah Kabupaten Ciamis
menetapkan Kawasan Perkotaan Ciamis yang selanjutnya disebut Kota Ciamis
sebagai wilayah pelaksanaan P2KH. Kota Ciamis mengemban fungsi sebagai
pusat pelayanan skala kabupaten, sehingga dalam periode lima tahun terakhir
berkembang pesat di berbagai sektor terutama ekonomi dan perumahan rakyat.
Permendagri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1980 menyatakan bahwa kota

3
juga berarti suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non
agraris misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamatan yang berfungsi sebagai
pusat pertumbuhan.
Pesatnya perkembangan suatu kota diiringi dengan tuntutan terhadap
kebutuhan ruang secara fisik yang berdampak terhadap ketersediaan RTH.
Menurut Sitorus et al.(2011), perkembangan sektor-sektor ekonomi menyebabkan
kebutuhan sumber daya lahan meningkat untuk penyediaan sarana pendukung.
Ekaputra dan Sudarwani (2013) juga menyatakan bahwa tingginya kebutuhan
lahan untuk pembangunan perkotaan menyebabkan beralihfungsinya kawasankawasan yang sangat berpotensi sebagai kawasan lindung menjadi kawasan
terbangun dan berdampak pada berkurangnya areal hijau di perkotaan dan
sebagian wilayah perdesaan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR)
pasal 29 menyatakan bahwa luas RTH di perkotaan minimal 30% dari luas
wilayah perkotaan dengan proporsi RTH publik 20% dan RTH privat 10%.
Tjumardi (2015) menyatakan bahwa luas RTH publik Kota Ciamis berdasarkan
luas wilayah adalah 506,5 ha (8,5%), sedangkan luas RTH privat Kota Ciamis
adalah 3867,8 ha (64,8%). Hal ini menunjukkan luas RTH publik belum sesuai
dengan ketentuan UUPR yang menyatakan luas minimal 20% dari luas kota,
sedangkan RTH privat melebihi dari ketentuan UUPR.
Keberadaan RTH sangat dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan ruang salah satunya
untuk permukiman. Jumlah penduduk Kota Ciamis dari tahun 2011-2014
mengalami peningkatan sebesar 2.736 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
1,75%. Sancho et al. (2005) menyatakan bahwa pesatnya pertambahan jumlah
penduduk, tingginya arus urbanisasi dan terkonsentrasinya sektor ekonomi di
wilayah perkotaan menyebabkan terjadinya perubahan tata guna lahan yang
mengarah kepada penggunaan lahan untuk tujuan komersil.
Perumusan Masalah
Laju pembangunan yang pesat mempengaruhi ketersediaan RTH, sehingga
harus diperlukan pengendalian dan pengelolaan yang tepat. Alih fungsi lahan Kota
Ciamis secara tabular tahun 2012 menunjukkan bahwa intensitas penggunaan
lahan didominasi oleh perkebunan (35,41%) dan lahan terbangun (32,72%).
Selama tahun 2010-2012 terjadi pengurangan lahan perkebunan (0,74%), tegalan
(0,36%) dan persawahan (0,8%) menjadi lahan terbangun (permukiman dan
perkantoran). Lahan terbangun mendominasi tutupan lahan di pusat kota yaitu
Kelurahan Ciamis, Kertasari, Sindangrasa dan Maleber. Alih fungsi lahan di Kota
Ciamis disajikan pada Tabel 1.
Pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan RTH di suatu
wilayah, tapi karena keterbatasan anggaran dan sumber daya maka tidak
terpenuhi secara optimal. Oleh karena itu diperlukan peran serta masyarakat
dalam upaya pemenuhannya. Pada kondisi yang lebih berkembang, masyarakat
membentuk suatu forum atau komunitas hijau untuk menghimpun anggota
masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap RTH. Keberadaan komunitas
hijau diantaranya dapat membahas permasalahan, mengembangkan konsep dan
melakukan upaya-upaya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah terkait RTH

4
Tabel 1 Alih Fungsi Lahan Kota Ciamis Tahun 2010 – 2012
Luas Lahan (ha)
No Penggunaan Lahan
Ket
2010
%
2012
%
1 Perkebunan
2.161,9 36,15
2.117,7 35,41 Berkurang
2 Ladang / tegalan
146,7 2,45
125,1 2,09 Berkurang
3 Pesawahan
1.658,3 27,73
1.610,6 26,93 Berkurang
4 Semak belukar
36,2 0,60
41,7 0,70 Bertambah
5 Lahan terbangun
1.910,8 31,95
2.016,8 33,72 Bertambah
6 Tubuh air
66.9 1,12
69,1 1,15 Bertambah
Jumlah
5.980,8
5.980,8 100
Sumber: DCKKTR Kab. Ciamis (2012)
Komunitas hijau mempunyai peran penting dalam mendukung terpenuhinya
kebutuhan RTH agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun
karena keberadaan komunitas hijau belum teridentifikasi, maka peran sertanya
belum optimal. Selain itu kegiatan komunitas hijau tidak dapat berjalan sendiri
secara sepenuhnya, sehingga memerlukan dukungan dari pemerintah dalam
bentuk program kegiatan yang bersifat bottom-up (berasal dari potensi
masyarakat) atau top-down (berasal dari kebijakan pemerintah).
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka disusun pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Apakah terdapat simpul-simpul komunitas warga yang telah menggagas dan
berkiprah menjadi komunitas hijau di Kota Ciamis?
2. Seberapa jauh pemerintah Kabupaten Ciamis melakukan inisiasi dan
dinamisasi potensi masyarakat untuk percepatan dan penguatan green city?
3. Berapa luas RTH Kota Ciamis yang dibutuhkan berdasarkan jumlah penduduk
berdasarkan konsep green city ?
4. Bagaimana arahan dinamisasi peran komunitas hijau dalam penataan RTH di
Kota Ciamis ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi simpul-simpul komunitas warga yang telah menggagas dan
berkiprah menjadi komunitas hijau di Kota Ciamis.
2. Menganalisis kemampuan pemerintah Kabupaten Ciamis dalam inisiasi dan
dinamisasi potensi masyarakat untuk percepatan dan penguatan green city.
3. Menganalisis kebutuhan RTH Kota Ciamis berdasarkan jumlah penduduk
berdasarkan konsep green city.
4. Menyusun arahan dinamisasi peran komunitas hijau dalam penataan RTH Kota
Ciamis.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Gambaran dan informasi potensi masyarakat peduli lingkungan di Kota Ciamis
2. Bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Ciamis untuk mengembangkan
alternatif kebijakan publik terkait penataan RTH dengan melibatkan komunitas
hijau.

5
Ruang Lingkup Penelitian
Komunitas hijau yang terdapat di masyarakat sangat beragam, sebagai
bentuk keprihatinan terhadap masalah lingkungan yang timbul. Penelitian ini
dibatasi pada komunitas hijau yang peduli dan berperan aktif dalam penataan
RTH Kota Ciamis.
Kerangka Pemikiran
Kota yang livable merupakan gambaran lingkungan yang nyaman bagi
masyarakat sebagai tempat tinggal dan beraktifitas. Kota tersebut harus dapat
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, salah satunya adalah ketersediaan RTH.
Kecukupan RTH merupakan identitas kota yang layak huni dan berkelanjutan
karena RTH mempunyai fungsi yang terpadu secara sosial dan ekologis.
Pemerintah bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan RTH, tapi
karena keterbatasan anggaran dan sumber daya maka tidak dapat terwujud. Oleh
karena itu harus melibatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan RTH di
suatu wilayah. Masyarakat melakukan perannya dengan membentuk suatu
kelompok peduli lingkungan yang disebut komunitas hijau.
Penelitian diawali dengan melakukan identifikasi terhadap kelompok
masyarakat peduli lingkungan yang telah terbentuk. Selanjutnya dilakukan inisiasi
terhadap kelompok masyarakat peduli lingkungan yang telah berperan sebagai
komunitas hijau. Sedangkan kemampuan pemerintah dalam penataan RTH
diidentifikasi dengan menelaah kebijakan dan ketersediaan anggaran pemerintah.
Kemampuan pemerintah tersebut tersaji dalam program kegiatan rutin dan
pendukung RTH yang telah dilakukan.
Ketersediaan dan kecukupan RTH Kota Ciamis dianalisis berdasarkan
konsep green city. RTH merupakan kebutuhan dasar bagi individu. Kebutuhan
RTH dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, karena setiap individu
mempunyai kebutuhan RTH pada luasan tertentu. Dengan demikian peningkatan
jumlah penduduk meningkatkan kebutuhan RTH.
Pada tahap selanjutnya dilakukan wawancara mendalam dan kuesioner
terhadap pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, swasta dan masyarakat
untuk mengetahui preferensi penataan RTH yang akan menjadi dasar dalam
penataan RTH berdasarkan dinamisasi peran komunitas hijau di Kota Ciamis.
Berdasarkan uraian di atas maka disusun kerangka pemikiran penelitian yang
tersaji pada Gambar 1.

6

Kota Ciamis
RTH
Kelompok Masyarakat

Pemerintah Kabupaten

Identifikasi
Identifikasi

Kebijakan

Komunitas Hijau

Anggaran

Peta RTH Eksisting Kota Ciamis
Ketersediaan RTH
Kecukupan RTH
Pola dan
Struktur Ruang

Analisis Kebutuhan RTH

Konsep
Green City

Arahan Dinamisasi Peran Komunitas
Hijau dalam Penataan RTH

Kota Ciamis menuju Green City

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Berkelanjutan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek
lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini
tanpa mengorbankan generasi yang akan datang.
Munasinghe (1993) menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
mencakup tiga objek dasar yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan yang saling
berhubungan. Didukung dengan pernyataan Serageldin (1996) dalam Rustiadi et
al.(2011) bahwa keberlanjutan pembangunan dilihat dari tiga dimensi
keberlanjutan “a triangular framework” yaitu keberlanjutan secara ekonomi,
sosial dan ekologi. Selanjutnya Spangenberg (1999) dalam Rustiadi et al. (2011)
menyatakan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat
keberlanjutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma
keberlanjutan (prism of sustainability) seperti yang tersaji pada Gambar 2 .

Sumber : Spangenberg JH dan Bonniot O (1988) dalam Fauzi et all. (2013)

Gambar 2. Prisma Keberkelanjutan
Menurut WCED (1988), pembangunan berkelanjutan harus tidak boleh
membahayakan sistem alam yang mendukung kehidupan di muka bumi yaitu
atmosfer, air, tanah dan mahluk hidup. Ernawi (2012) menyatakan bahwa
pemahaman ini mengandung konsekuensi bahwa lingkungan harus dipahami
secara holistik, tidak terbatas kepada aspek fisik-alamiah semata, tetapi juga aspek
sosial, ekonomi, budaya, serta politik masyarakat dalam suatu sistem waktu dan
tempat yang khusus.
Kota berkelanjutan mempunyai indikator yang beragam. Menurut Hadi
(2012), indikator kota berkelanjutan dapat dirangkum menjadi 10 isu utama yaitu :
1. Akses penduduk pada RTH (green open space).

8
Lingkungan sehat yang diukur dari air quality (kualitas udara).
Penggunaan sumber daya yang efisien (energi, air, limbah dan sampah atau
green energy, green water and green waste).
4. Kualitas lingkungan binaan (green building).
5. Aksesibilitas (transportasi umum, jalur sepeda, pejalan kaki)/(green
transportation).
6. Ekonomi hijau (green economy).
7. Bentuk/model partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota berkelanjutan
(green community).
8. Social justice yaitu keadilan sosial berkaitan dengan angka kemiskinan.
9. Kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan kenyamanan hidup.
10. Berbagai aktivitas masyarakat di bidang sosial dan budaya.

2.
3.

Kota Hijau
Kota hijau merupakan konsep pembangunan yang dilaksanakan terus
menerus untuk memupuk semua aset pendukung suatu kota meliputi manusia,
lingkungan alami, lingkungan terbangun, sumber daya alam dan kualitas sarana
prasarana perkotaan. Berdasarkan Kementerian PU (2013) secara terminologi
Kota Hijau merupakan metafora dari Kota Berkelanjutan atau Kota Ekologis yang
didefinisikan sebagai berikut:
1. Kota hijau dapat dipahami sebagai kota yang ramah lingkungan dengan
memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin
kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan,
berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan.
2. Kota yang didesain dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan,
dihuni oleh orang-orang yang memiliki kesadaran untuk meminimalkan
(penghematan) penggunaan energi, air dan makanan, serta meminimalkan
buangan limbah, percemaran udara dan pencemaran air.
3. Kota yang mengutamakan keseimbangan ekosistem hayati dengan lingkungan
terbangun sehingga tercipta kenyamanan bagi penduduk kota yang tinggal di
dalamnya maupun bagi para pengunjung kota.
4. Kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota/wilayah,
seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun,
keunikan dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektualitas, karunia sumber
daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota.
Pada pelaksanaan kota hijau terdapat beberapa atribut yang harus
dikembangkan didalamnya. Terdapat beberapa pendapat mengenai jumlah atribut
kota hijau, namun khusus untuk Indonesia terdiri atas 8 atribut kota hijau
(Kementerian PU, 2013). Adapun atribut kota hijau tersebut adalah :
1. Green Planning and Design, Perencanaan dan perancangan yang beradaptasi
pada biofisik kawasan,
2. Green Open Space, Peningkatan kuantitas dan kualitas RTH sesuai
karakteristik kota dengan target RTH 30% luas kota,

9
3.

4.
5.
6.
7.
8.

Green Waste, Usaha untuk zero waste dengan melaksanakan prinsip 3R
(Reduce, Reuse, Recycle) yaitu mengurangi sampah/limbah, mengembangkan
proses daur ulang dan meningkatkan nilai tambah,
Green Transportation, Pengembangan sistem transportasi ramah lingkungan
yang berkelanjutan, misalnya transportasi publik, jalur sepeda,
Green Water, Efisiensi pemanfaatan sumberdaya air,
Green Energy, Pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah
lingkungan.,
Green Building, Bangunan hemat energi, penerapan bangunan hijau (green
building), taman atap (roof garden) dan taman vertikal (vertical garden).
Green Community, Kepekaan, kepedulian dan peran serta aktif masyarakat
dalam pengembangan atribut-atribut kota hijau.

Pemerintah membentuk program P2KH (Program Pengembangan Kota
Hijau) untuk mewujudkan kota hijau. P2KH adalah suatu upaya pembangunan
kota berkelanjutan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota/Kabupaten dan RDTR (Rencana Detil Tata Ruang) dalam rangka
mewujudkan kota hijau. Pelaksanaan P2KH dilakukan secara bertahap yaitu tahap
inisiasi, implementasi, replikasi dan institusionalisasi lintas sektor. Pada tahap
insisasi P2KH difokuskan pada perwujudan 3 atribut yaitu perencanaan dan
perancangan kota yang ramah lingkungan, perwujudan RTH 30%, dan
peningkatan peran masyarakat melalui komunitas hijau (DCKKTR, 2013).
Ruang Terbuka Hijau
Menurut UUPR, RTH adalah area memanjang dan atau mengelompok yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Kementerian PU (2013), RTH
adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat
langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut
yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan.
Kementerian PU (2008) menyatakan bahwa ruang terbuka non hijau adalah ruang
terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa
lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.
Kualitas lingkungan perkotaan sangat ditentukan oleh ketersediaan RTH.
Berdasarkan Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan (RTHKP), penyelenggaraan RTH
bertujuan untuk: (1) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air,
(2) menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara
lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan
masyarakat, (3) meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana
pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih
(Permen PU, 2008).
Manfaat RTHKP menurut Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 adalah:
a) sarana untuk mencerminkan identitas daerah, b) sarana penelitian, pendidikan
dan penyuluhan, c) sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial,
d) meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan, e) menumbuhkan rasa bangga

10
dan meningkatkan prestise daerah, f) sarana aktifitas sosial bagi anak-anak,
remaja, dewasa dan manula, g) sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat,
h) memperbaiki iklim mikro, dan i) meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.
Secara tipologi RTH dapat dibedakan menjadi beberapa jenis sesuai
dengan fisik, fungsi, struktur dan kepemilikan yang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tipologi RTH menurut Permen PU Nomor 5 Tahun 2008

a.

Berdasarkan Gambar 3 dapat dijelaskan bahwa:
Secara fisik, tipologi RTH dapat dibedakan menjadi:
- RTH alami, berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman
nasional,
- RTH non alami/binaan, seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau
jalur-jalur hijau jalan.

b.

Secara fungsi, tipologi RTH dapat dibedakan menjadi:
- Fungsi ekologis/lingkungan, meliputi alomerasi iklim, perlindungan
hidrologis, pereduksi polutan serta habitat satwa liar.
- Fungsi planologis, merupakan pembatas perkembangan kota secara
horizontal sehingga penyebaran RTHKP harus sejalan dengan penyebaran
struktur kota.
- Fungsi sosial budaya, seluruh lapisan masyarakat membutuhkan RTH
sebagai sarana pengembangan kreatifitas, sarana olah raga, serta sebagai
sarana berinteraksi antar anggota masyarakat.
- Fungsi Estetis, RTH merupakan elemen estetis kota, tanaman dengan
bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan gaya arsitektur
sarana fisik untuk mendapatkan komposisi dengan baik, selain itu jalur
hijau, sungai dapat memberikan sumbangan estetis bagi keindahan kota,
- Fungsi Ekonomi, selain memperoleh manfaat langsung dari adanya
tanaman/pepohonan dalam membentuk kota yang kreatif melalui urban
farming, taman kota menjadi potensi untuk membangkitkan perekonomian
masyarakat.

c.

Secara struktur, tipologi RTH dapat dibedakan menjadi:
- Pola ekologis, mengelompok, memanjang, tersebar,
- Pola planologis, mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan.

11
d.

Secara kepemilikan, tipologi RTH dapat dibedakan menjadi:
- RTH publik, RTH yang dimiliki dan dikelola pemerintah daerah,
- RTH privat, RTH yang dimiliki oleh perseorangan.
Kepemilikan RTH menurut Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 disajikan pada
Lampiran 1.
Kebutuhan dan Kecukupan RTH

Menurut UUPR kebutuhan RTH pada wilayah kota minimal 30% dari luas
wilayah kota dengan komposisi RTH publik 20% dan RTH privat 10%,
sedangkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan RTHKP pasal 9
menyatakan kebutuhan RTHKP adalah minimal 20% dari luas kawasan perkotaan.
Penyediaan RTH di perkotaan dilakukan berdasarkan 2 faktor yaitu luas
wilayah dan jumlah penduduk, terdiri atas:
a. Penyediaan RTH berdasarkan Luas Wilayah
Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai
berikut:
- RTH di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH privat,
- Proporsi RTH pada wilayah perkotaan minimal 30% yang terdiri dari 20%
RTH publik dan 10% terdiri dari RTH privat,
- Apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan
telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang
berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya,
- Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota.
b. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
RTH yang dibutuhkan di suatu wilayah harus disesuaikan dengan jumlah
penduduk, semakin besar jumlah penduduk maka semakin luas RTH yang
harus tersedia. Standar penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk menurut Permen
PU Nomor 5 Tahun 2008

1
2

Unit
Lingkungan
(jiwa)
250
2.500

3

30.000

4

120.000

No

5

480.000

Tipe RTH

Luas
Minimal /
unit (m2)
250
1.250

Luas
Minimal /
Kapita (m2)
1,0
0,5

9.000

0,3

Lokasi

Taman RT
Taman RW
Taman
Kelurahan
Taman
Kecamatan
Pemakaman

24.000

0,2

disesuaikan

1,2

Di tengah lingkungan RT
Di pusat kegiatan RW
dikelompokan dg sekolah /
pusat kelurahan
dikelompokan dg sekolah /
pusat kelurahan
Tersebar

Taman Kota

144.000

0,3

Di pusat wilayah / kota

Hutan Kota

disesuaikan

4,0

Untuk fungsi
tertentu

disesuaikan

12,5

Di dalam /kawasan
pinggiran
Disesuaikan dengan
kebutuhan

12
Kebutuhan luas RTH ditentukan berdasarkan pada jumlah penduduk dan
kebutuhan ruang gerak per individu. Permen PU Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTHKP menyatakan bahwa penyediaan
RTH mengacu standar minimal kebutuhan RTH per penduduk seluas 20 m2. Di
Malaysia luasan hutan kota ditetapkan seluas 1,9 m2/penduduk, di Jepang
ditetapkan sebesar 5,0 m2/penduduk, Dewan Kota Lancashire Inggris menetapkan
11,5 m2/penduduk, Amerika menentukan luasan hutan yang lebih fantastis yaitu
60 m2/penduduk, sedangkan DKI Jakarta mengusulkan luasan taman untuk
bermain dan berolah raga sebesar 1,5 m2/penduduk (Green for Life dalam
Dwiyanto, 2009).
Upaya pemenuhan kebutuhan RTH di suatu wilayah bukan hal yang mudah,
oleh karena itu harus dikaji mengenai isu utama RTH yang timbul di wilayah
tersebut. Menurut Sumarmi (2010), terdapat empat isu utama yang menentukan
ketersediaan dan kelestarian RTH yaitu:
1. Dampak negatif dari sub optimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak
memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak
fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan
selanjutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan)
terjadi terutama dalam bentuk/kejadian penurunan kapasitas dan daya dukung
wilayah:
- Menurunkan kenyamanan kota: penurunan kapasitas dan daya dukung
wilayah (pencemaran meningkat, ketersediaan air tanah menurun, suhu
kota meningkat dan lain-lain)
- Menurunnya keamanan kota
- Menurunnya keindahan alami kota (natural amenities) dan artifak alami
sejarah yang bernilai kultural tinggi
- Menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat (menurunnya kesehatan
masyarakat secara fisik dan psikis)
2. Lemahnya lembaga pengelola RTH
- Belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat
- Belum optimalnya penegakan aturan main pengelola RTH
- Belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola RTH
- Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas.
3. Lemahnya peran stakeholders
- Lemahnya persepsi dan partisipasi masyarakat
- Lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah
4. Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH :
- Belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH
fungsional.
Perwujudan RTH 30% bukan hal yang mudah, diperlukan strategi dalam
pemenuhannya. Menurut Joga (2011) dalam Iswari (2013), strategi yang dapat
diterapkan untuk menuju RTH 30% diantaranya adalah: 1) merencanakan rencana
induk RTH dan melegalisasi perda RTH, 2) menentukan daerah yang tidak boleh
dibangun/dipreservasi, 3) menghijaukan bangunan (green roof/green wall), 4)
menambah lahan RTH baru, 5) meningkatkan kualitas RTH kota, 6) mengakuisisi
RTH privat, 7) mengembangkan koridor hijau, dan 8) meningkatkan peran serta
masyarakat/partisipasi publik.

13
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah suatu keadaan dimana masyarakat ikut
berperan serta dalam suatu kegiatan. Hal itu dapat terjadi apabila masyarakat
merasa berkepentingan serta diberi kesempatan untuk ambil bagian. WCED
(1988) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat setempat sangat penting dalam
pengambilan keputusan yang efektif sehingga dapat membantu mereka
mengemukakan dan melaksanakan kepentingan bersama mereka. Conyers (1994)
mengemukakan bahwa ada dua faktor yang menentukan apakah masyarakat
benar-benar ingin terlibat dalam suatu perencanaan atau tidak yaitu: (1) ada
tidaknya pengaruh hasil keterlibatan masyarakat terhadap rencana akhir, (2) ada
tidaknya pengaruh langsung yang mereka rasakan.
Partisipasi dalam penerapannya melibatkan semua pihak sejak tahap
analisis masalah, perencanaan, pelaksanaan serta evaluasinya. Kementerian PU
(2013) menyatakan bahwa masyarakat harus dilibatkan dari tahap perencanaan
agar kebutuhan mereka terakomodasi mengingat masyarakat adalah yang benarbenar menggunakan serta merasakan baik buruknya fasilitas yang disediakan.
Sumarmi (2010) menyatakan bahwa partisipasi dilihat dari tingkatannya ada tiga
yaitu: (1) tingkat perencanaan (idea planning stage), (2) tingkat pelaksanaan
(implementation stage), dan (3) tingkat pemanfaatan hasil (utilization stage).
Partisipasi masyarakat sangat penting dalam perkembangan pembangunan
di suatu wilayah. Menurut Conyers (1994), terdapat tiga alasan utama mengapa
partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting yaitu: (1) partisipasi
masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program
pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, (2) masyarakat akan lebih
mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam
proses persiapan dan perencanaannya, dan (3) mendorong partisipasi umum di
banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi
bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya menempati posisi tertentu.
Arnstein (1969) merumuskan peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan
rakyat, dengan penentuan tipologi yang dikenal dengan Delapan Tangga Peran
Serta Masyarakat (Eights Rungs On the Ladder of Citizen Participation). Delapan
Tangga Peran Serta Masyarakat yaitu: 1) terapi, 2) manipulasi, 3) informing
(penyampaian informasi), 4) konsultasi, 5) placation (peredaman amarah), 6)
partnership (kemitraan), 7) delegated power (pendelegasian kekuasaan), 8) citizen
control (pengawasan masyarakat).
Arnstein (1969) mengelompokkan delapan tingkat partisipasi tersebut dalam
tiga posisi penting partisipasi yaitu:
1.
Non partisipatif, masyarakat tidak pada posisi tawar dan partisipasi sama
sekali sehingga pemegang kekuasaan bisa memanipulasi dan melakukan
terapi melalui berbagai program.
2.
Tokenisme, masyarakat bisa mendengar (melalui sosialisasi) dan
memberikan suara (melalui konsultasi), akan tetapi tingkatan kekuasaan
untuk memutuskan masih belum ada.
3.
Citizen power, peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat
(citizen partisipation is citizen power).

14
Pemenuhan RTH 30% di suatu wilayah tidak sepenuhnya dapat dilakukan
oleh pemerintah, oleh karena itu diperlukan peran serta masyarakat. Pada area
tertentu seperti proses persiapan terdapat kewenangan pemerintah untuk
merencanakan RTH, tetapi pada area yang lebih luas keterlibatan masyarakat
merupakan hal yang mutlak agar perencanaan tersebut sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dalam menghadapi kompleksitas pertumbuhan kota (Pakpahan, 2008).
Selain itu menurut Sugandhi (2008) dalam Lestari et al. (2014), pelaku-pelaku
pengelolaan RTH meliputi: 1) pemerintah mengadakan pembangunan, 2) swasta
sebagai pelaku ekonomi berkewajiban melaksanakan RTH, 3) masyarakat sebagai
pelaku pengembangan dan pemeliharaan, dan 4) media membentuk opini publik
dan pengawasan.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan RTH dipengaruhi faktor internal
dan eksternal. Sumarmi (2010) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan RTH dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, faktor
internal meliputi pengetahuan, persepsi dan sikap sedangkan faktor eksternal
meliputi sosial, ekonomi, budaya, luas tanah, RTRW, peran pemerintah dalam
pelaksanaan RTH serta penegakan hukum yang berkaitan dengan penataan ruang
dan RTH.
Pengelolaan RTH memerlukan upaya yang sinergi antara pemerintah dan
masyarakat. Penerapan kriteria GEG (Good Environmental Governance) dalam
penataan RTH merupakan parameter yang mendorong terciptanya pemerintahan
yang baik, terutama melalui penguatan masyarakat sipil. Putri et al. (2014)
menyatakan bahwa pemerintah Kota Madiun menerapkan konsep GEG dalam
pengelolaan RTH. Kriteria GEG tersebut yaitu: 1) pemberdayaan masyarakat, 2)
transparansi, 3) desentralisasi yang demokratis, 4) pengakuan hak masyarakat adat
dan masyarakat setempat, 5) pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung
ekosistem, 6) konsistensi dan harmonisasi, 7) kejelasan hukum, dan 8) daya
penegakan hukum (Menteri Lingkungan Hidup, 2007).
Peran serta masyarakat dalam pengembangan RTH dapat dilakukan dengan
memenuhi prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Kementerian PU (2008)
menyatakan bahwa prinsip-prinsip peran masyarakat dalam pengembangan RTH
yaitu: 1) menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam
proses pembangunan RTH, 2) memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam
proses pembangunan RTH, 3) menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta
menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya, 4) menjunjung
tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika, dan 5)
memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesional.
Partisipasi masyarakat mempunyai manfaat sangat besar dalam pemenuhan
RTH. Kementerian PU (2013) menyatakan bahwa manfaat partisipasi masyarakat
dalam penataan RTH adalah: 1) meningkatkan kelayakan hunian serta lingkungan
di sekitarnya, 2) menurunkan tingkat kriminal antisosial serta meningkatkan
keamanan, 3) kontrol dan kesetiakawanan sosial menjadi lebih baik, 4)
masyarakat lebih mengenal lingkungan dan areal hijau mereka. Selain itu Santosa
et al. (1990) dalam Pakpahan (2014) menyatakan bahwa kegunaan peran serta
masyarakat yaitu: 1) menuju masyarakat yang lebih bertanggung jawab, 2)
meningkatkan proses belajar, 3) mengeliminir perasaan terasing, 4) menimbulkan
dukungan dan penerimaan dari rencana pemerintah, 5) menciptakan kesadaran
politik, 6) keputusan dari hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan

15
keinginan masyarakat, 7) menjadi sumber informasi yanag berguna, dan 8)
merupakan komitmen demokrasi.
Komunitas Hijau