yang dirasa oleh pasien dan keluarganya sebagai pihak awam yang dirugikan, dan dirasakan juga oleh para pelaksana pelayanan kesehatan
seperti dokter danatau dokter gigi serta rumah sakit yang merasa pihaknya dirugikan pula. Sehingga sengketa medik berdasarkan dari penjelasan yang
telah dipaparkan memiliki arti bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluaga pasien dengan dokter danatau
dokter gigi sebagai tenaga kesehatan maupun rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dikarenakan adanya kesalahan
prosedur pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien maupun kelalaian yang dilakukan tenaga ahli kesehatan yang dalam hal ini adalah
dokter danatau dokter gigi. Perlu adanya kajian bahwa bagaimanakah penyelesaian sengketa medik nantinya yang memang dapat memberikan
jawaban serta rasa adil bagi para pihak yang bersengketa dalam sengketa medik.
2. Penyelesaian Sengketa Medik
Jika ditinjau dari para pihak yang bersengketa dalam sengketa medik, antara pasien dengan dokter atau pasien dengan Rumah Sakit,
maka sengketa medik masuk kedalam ranah hukum Perdata Wila Chandrawila 2001 : 7, namun tidak dipungkiri bahwa sengketa medik pun
berada di ranah hukum pidana ataupun hukum administrasi. Penyelesaian sengketa terbagi menjadi dua, yaitu penyelesaian sengketa melalui litigasi
dan non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui litigasi terbagi dibeberapa lingkup peradilan. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan
bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya serta oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Adapun peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi :
1 Badan Peradilan Umum Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum 2
Badan Peradilan Agama Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
3 Badan Peradilan Militer Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer 4
Badan Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Adapun cara penyelesaian sengketa dalam Hukum Acara Perdata, terdapat
asas-asas di dalamnya yaitu Sudikno 1993 :10 : 1
Asas Hakim Bersifat Menunggu 2
Asas Hakim Pasif 3
Asas Sifat Terbukanya Persidangan 4
Asas Mendengar Kedua Belah Pihak 5
Asas Putusan Harus Disertai Alasan 6
Asas Beracara Dikenakan Biaya 7
Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Hukum Acara Pidana yang disebut juga sebagai Hukum Pidana Formal lebih mengatur bagaimana cara pemerintah menjaga kelangsungan
pelaksanaan hukum pidana material. Adapun asas-asas dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut Andi Hamzah 1987 : 20-33 :
1 Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan.
2 Asas praduga tak bersalah presumption of innocence
3 Asas oportunitas
4 Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum
5 Asas semua orang diperlakukan sama didepan hakim
6 Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan
tetap 7
Asas tersangkaterdakwa berhak atas bantuan hukum 8
Asas akusator, inksitor 9
Asas pemeriksaan hakim langsung dan lisan Sengketa medik yang terjadi antara pasien dengan dokter danatau
dokter gigi serta Rumah Sakit dapat diselesaikan dengan 2 cara, yaitu melalui jalur litigasi dan non litigasi.
Proses penyelesaian sengketa menurut Suyud Margono, dibagi menjadi Suyud Margono 2010 :18-25 :
1 Proses Adjudikatif
Yang masuk dalam proses ini adalah penyelesaian sengketa melalui Litigasi dan melalui Arbitrase. Kedua cara
penyelesaian sengketa tersebut ditempuh dengan proses administrasidan peradilan.
2 Proses Konsensual
Dalam proses ini, penyelesaian sengketa ditempuh dengan melalui Ombudsman, Pencari Fakta Bersifat Netral
Neutral Fact-Finding, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi. 3
Proses Adjudikasi Semu Proses ini, penyelesaian sengketa ditempuh dengan melalui
Mediasi-Arbitrase, Persidangan
Mini Mini
Trial, Pemeriksaan Juri Secara Sumir Summary Jury Trial, dan
Evaluasi Netral Secara Dini Early Netral Evaluation. Dalam situasi sengketa, perbedaan pendapat dan berdebatan yang
berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan Suyud Margono 2010 : 28. Begitu juga dengan sengketa
medik yang terjadi antara pasien dengan dokter danatau dokter gigi serta Rumah Sakit. Keduanya merasa memiliki hak yang sama-sama harus
dipenuhi. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan dua cara yaitu
melalui proses litigasi maupun non-litigasi. Salah satu cara dalam proses non-litigasi adalah melalui Mediasi Eddi Junaedi 2011 : 16. Litigasi
adalah sebuah proses dimana pengadilan menjatuhakan keputusan yang mengikat para pihak yang berselisih dalam suatu proses hukum yang
terdapat dalam suatu tingkatan. Proses litigasi dilakukan pada masing- masing tingkatan peradilan, baik peradilan tingkat pertama, tingkat
banding, hingga tingkat kasasi. Kedua proses, antara litigasi maupun mediasi sama sekali berbeda, tetepai kedua cara tersebut merupakan
bentuk penyelesaian sengketa medik. Litigasi banyak digunakan untuk
penyelesaian sengketa medik, tetapi mediasi mulai dikenal efektif dalam menyelesaikan sengketa medik. Perlu diingat bahwa kedua cara tersebut
sebenarnya saling bergantung, dimana sebelum melakukan proses litigasi harus menempuh dengan cara mediasi terlebih dahulu. Proses litigasi
memiliki ciri yang paling menonjol yaitu biaya yang cukup tinggi, waktu yang lama, beban psikologis yang tinggi, ditambah formalitas dan
kompleksitas dari proses litigasi Eddi Juanedi 2011 : 17. Pengertian yang dipaparkan oleh Eddi Junaedi menyadarkan bahwa kerugian dalam proses
litigasi bagi dokter danatau dokter gigi dan juga Rumah Sakit adalah dari sisi dampak reputasi yang menurun bagi Rumah Sakit dan biaya premi
asuransi dokter danatau dokter gigi yang meningkat. Hal tersebut menyebabkan secara psikologis pada masyarakat tetap akan menilai citra
buruk pada Rumah Sakit atau dokter danatau dokter gigi yang sedang menjalankan proses Litigasi.
Berkaitan dengan masing-masing hak yang harus dipenuhi, maka terdapat salah satu metode penyelesaian sengketa yang memberikan win
win solution yaitu salah satunya dengan cara mediasi. Medisi dalam penyelesaian sengketa kesehatan diatur dalam Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 29 bahwa “Dalam hal
tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi”. Mediasi antara pasien dengan dokter danatau dokter gigi serta Rumah Sakit dilakukan oleh mediator. Pasien yang memiliki keluhan atas
pelayan kesehatan dapat melaporkan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia apabila berkaitan dengan dokter danatau dokter gigi
ataupun oleh lembaga nonstruktural seperti Badan Pengawas Rumah Sakit BPRS yang memiliki fungsi dan wewenang untuk mengawasi kinerja
Rumah Sakit. Perihal pembuktian dalam litigasi, dalam penulisan tesis ini lebih
mengarah dalam ranah hukum perdata sesuai dengan batasan masalah. Prinsip pembuktian Retnowulan 1995:58 dalam hukum acara perdata
sangat sederhana, apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatan, maka gugatannya akan ditolak,
sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan. Hakim sendirilah yang akan menentukan pihak mana yang memikul beban
pembuktian. Dalam hukum acara perdata, untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim, yang terpenting adalah alat-alat bukti
yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa saja yang menang dan siapa yang kalah. Dengan kata lain
dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja. Alat bukti yang sah Retnowulan 1995:61 dalam hukum Perdata diatur dalam
Pasal 164 H.I.R yaitu : a
Bukti Surat; Dalam hukum acara perdata, bukti tertulis merupakan alat
bukti yang penting dan paling utama di banding yang lain, terdiri dari surat biasa bukan akta, akta otentik, akta
dibawah tangan
.
b Bukti Saksi;
Saksi adalah seseorang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian atau peristiwa hukum yang
diperkarakan. c
Persangkaan; Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang
atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum
.
d Pengakuan;
Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam
proses pemeriksaan
suatu perkara.Pernyataan
atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang
pengadilan. Keterangan itu merupakan pengakuan, bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan
benar untuk keseluruhan atau sebagian. e
Sumpahan. Sumpah sebagai alat bukti adalah suatu keterangan atau
pernyatan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan: agar orang yang bersumpah dalam memberi
keterangan atau
pernyataan itu
takut atas
murka Tuhan apabila dia berbohong; takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap
sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Pembuktian dalam persidangan diranah hukum perdata tertulis pada Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaing berbunyi
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut
”. Dengan kata lain dalam sengketa medik harus dibuktikan dahulu adanya kesalahankelalaian dari dokter danatau dokter
gigi yang bersangkutan dan kerugian yang diderita pasien. Cara pembuktian ini akan cenderung lebih membebani pasien dianggap berada
dalam posisi yang lemah karena sudah mengalami kerugian baik secara fisik, psikis, waktu, dan biaya. Adapun pembuktian dalam sengketa medik
dapat menggunakan prinsip dalam hukum perlindungan konsumen yaitu adanya prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Presumtion of liability principle
Celina Tri 2009 : 54 . Prinsip ini memiliki arti bahwa
tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, maksudnya pelaku usaha selalu dianggap bertanggung jawab terhadap konsumen, pengecualiannya
pelaku usaha akan tidak dinyatakan bertanggung jawab apabila dapat membuktikan kesalahannya. Hal ini menganut adanya pembebanan
pembuktian terbalik omkering van bewiklat. Pasal 19 Ayat 1 Undang- Undang Negara Republik Indonesia nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Kemudian diperjelas dengan Pasal 28
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa p embuktian terhadap
ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan
tanggungjawab pelaku usaha. Terlihat bahwa dalam aturan tersebut
mengangkat prinsip pembuktian terbalik dan cenderung lebih meringankan beban pasien dalam sengketa medik.
Selain dengan adanya prinsip pembuktian terbalik di persidangan dalam sengketa medik, adapun pasien juga mempunyai hak atas isi rekam
medik Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang kemudian
ditegaskan kembali pada Pasal 52 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang
berbunyi : “
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3; b.
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c.
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d.
menolak tindakan medis; dan e.
mendapatkan isi rekam medis. ”
Hak pasien atas isi rekam medis juga tidak boleh diabaikan apabila dibutuhkan untuk pembuktian dipersidangan. Sehingga berdasarkan
peraturan hukum yang ada, pihak penyelenggara pelayanan kesehatan baik dokter danatau dokter gigi dan rumah sakit, tidak dibenarkan apabila ada
pasien ataupun keluarga pasien yang meminta isi rekam medis tersebut tidak diberikan oleh rumah sakit ataupun dokter danatau dokter gigi yang
bersangkutan.
Tata cara penyelesaian dalam proses penyelesaian sengketa non litigasi Alternative Despute Resolution ialah berawal dari kesepakatan
para pihak untuk ditempuh melalui penyelesaian sengketa alternatif dengan dibantu dengan bantuan lembaga ADR penasihat ahli, mediator,
negosiator, ataupun konsiliator melalukan proses penyelesaian sengketa alternatif yang telah dipilih, kemudian menghasilkan keputusan yang
mengikat para pihak. Perbedaan dari hasil akhir antara penyelesaian sengketa melalui litigasi dan non litigasi ialah dalam litigasi khusus dalam
hukum acara perdata sifat putusan hakim bersifat akhir memberikan sanksi bagi yang terbukti melakukan wanprsetasi atau perbuatan melawan
hukum, sedangkan dalam non litigasi, keputusan terkhir adalah kesepakatan masing-masing pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa yang dituliskan diatas memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing terlampir pada Tabel 1. Sengketa medik
yang dialami pasien dengan dokter danatau dokter gigi serta Rumah Sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan salah
satu cara penyelesaian sengketa tersebut, apakah melalui jalur litigasi atau arbitrase yang memberikan win and lose solution ataukah melalui jalur
penyelesaian sengketa alternatif seperti ; mediasi, negosiasi, dan konsiliasi yang juga memberikan win win solution.
3. Tanggung Jawab Dokter danatau Dokter Gigi Dalam Pelayanan