DESKRIPSI PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN DI RUMAH SAKIT DALAM KEGIATAN UPAYA PELAYANAN KESEHATAN

(1)

DESKRIPSI PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN DI RUMAH SAKIT DALAM KEGIATAN UPAYA PELAYANAN

KESEHATAN

(Skripsi)

Oleh

Triana Rahmadani

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

KESEHATAN. Oleh

Triana Rahmadani

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Untuk mewujudkan kesehatan masyarakat, diperlukannya penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang terpadu dan menyeluruh yang berupa pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, dengan perlakuan yang nondiskriminatif. Dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan akan melibatkan dokter, rumah sakit sebagai sarana tempat pelaksanaan pelayanan kesehatan berlangsung dan masyarakat sebagai pasien serta kompenen – kompenen lainnya yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan.

Interaksi yang terjadi antara dokter, pasien, dan rumah sakit dalam upaya pelayanan kesehatan menimbulkan hubungan hukum yang mengikat, berdasarkan perjanjian pelayanan kesehatan yang dikenal dengan perjanjian terapeutik. Namun, mengenai perjanjian terapeutik sampai saat ini belum diketahui oleh pasien. Kemungkinan terbesar, ketidaktahuan ini disebabkan kurangnya sosialisasi perjanjian terapeutik pada masyarakat.

Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat hukum normatif dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada, bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami mengenai perjanjian terapeutik secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis, “Siapa saja pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik, bagaimana hubungan pihak-pihak tersebut, dan apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian terapeutik.”

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa perjanjian terapeutik adalah perjanjian yang sah dan tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam Buku III KUHPdt. Perjanjian terapeutik dikategorikan sebagai perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (perjanjian jasa) yang ketentuannya diatur dalam Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUHPdt. Perjanjian terapeutik di rumah sakit melibatkan tiga pihak yang terikat, yaitu dokter, pasien dan rumah sakit, sedangkan tenaga kesehatan lainnya hanya sebatas sebagai pihak yang dilibatkan untuk membantu pekerjaan dokter. Hubungan yang terlahir antara ketiga pihak adalah hubungan timbal balik. Hubungan antara dokter dan pasien terikat dalam pelayanan pemberian jasa, Hubungan dokter dan rumah sakit adalah hubungan dalam kontrak kerja. Dari hubungan hukum yang lahir berdasarkan perjanjian terapeutik


(3)

tersebut maka, para pihak dibebani oleh hak dan kewajiban yang harus dipenuhi agar terjadi keserasian dalam pelaksanaan kegiatan upaya pelayan kesehatan. Kata Kunci: Upaya Pelayanan Kesehatan, Perjanjanjian Terapeutik, Hubungan Hukum


(4)

DESKRIPSI PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN DI RUMAH SAKIT DALAM KEGIATAN UPAYA PELAYANAN

KESEHATAN Oleh

TRIANA RAHMADANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Triana Rahmadani. Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 06 Maret 1993 dan merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. Hi. Hayatuddin dan Ibu Dra. Hj. Ellyda.A.Z. M.Mpd.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak Amartatani di Bandar Lampung pada tahun 1997, Sekolah Dasar Al-Azhar pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama Negeri 20 Bandar Lampung pada tahun 2004 sampai tahun 2007, dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 13 Bandar Lampung pada tahun 2010. Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(8)

MOTO

-kesehatan adalah hak milik paling berharga. Kepuasan adalah harta benda paling bernilai. Kepercayaan adalah kawan paling baik

(Lao Tzu)

Begitu banyak orang menghabiskan kesehatan mereka untuk mendapatkan kekayaan dan kemudian harus menghabiskan kekayaan mereka untuk mendapatkan kembali kesehatan

mereka. (A.J. Reb Materi)

Sukses bukanlah kunci kebahagiaan. Kebahagiaanlah kunci menuju kesuksesan. Jika anda mencintai apa yang anda kerjakan, maka anda akan menjadi orang sukses.


(9)

Persembahan

Alhamdulillah dengan segala ketulusan dan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT yang selalu memberikan kemudahan dalam setiap langkahku,

ku persembahkan karya ini kepada:

Papa, Mama, dan kakak adikku tercinta,

Serta Keluarga besar Almarhum Kakek Abdullah Zahri dan Cik Ihhar Yang selalu senantiasa memberikan kasih sayang dan selalu mendoakan serta mengharapkan keberhasilanku. Terima kasih banyak atas dukungannya selama ini.


(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “DESKRIPSI PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN DI RUMAH SAKIT DALAM KEGIATAN UPAYA PELAYANAN KESEHATAN.” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Peneliti menyadari dalam skripsi ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi diri penulis sendiri, pembaca, serta dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang perlindungan hukum bagi konsumen perumahan.

Penyelesaian penelitian ini merupakan usaha penulis yang tidak lepas dari bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

3. Ibu Dr. Nunung Rodiyah,M.A. sebagai Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dengan penuh kesabaran, kesediaan meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

4. Ibu Yulia Kusuma Wardani.S.H.,LLM., sebagai Pembimbing II yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Bapak Dr. M Fakih, S.H.,M.S., Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;

6. Bapak Dwi Pujo,S.H.,M.H., Pembahas II yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;

7. Yuswanto,S.H.,M.HUM., Pembimbing Akademik, yang telah membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung; 8. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi; 9. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Papa, Mama,

dan Kakak perempuanku Septa heldianti,S.H. Abangku Sudardi,S.H. dan Adikku Tantowi Akbar tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan, perhatian, dan selalu mendoakan serta mengharapkan keberhasilanku sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(12)

11. Sahabat-sahabatku tersayang Happy Dares Ginting, Marsellyna Atalanta, Meutia Kumala Sari, Ni Putu Yudiastuti, Nasrida Yusrina, dan Isti perdana Dipura terimakasih atas persahabatan yang tulus dan dukungannya selama ini. 12.Teman Terbaikku Reza Reno Wibisono terimakasih atas waktu, ketulusan,

perhatian, semangat dan doa yang tidak henti-hentinya diberikan.

13.Teman-teman diluar kampus Universitas Lampung tercinta Rafsan Ade, Raffi, Agung, Rama dan Alvian terimakasih atas dukungan, semangat dan doa yang diberikan.

14.Teman-teman seperjuangan Taufan, Jonathan, Ridwan, Adit, Abram, Nabila, Frederica, Dendri, Shifra, Melia, Gusti, Ivander dan seluruh teman-teman Hukum Keperdataan ’10 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya. Semoga kita semua sukses.

15.Seluruh teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung angkatan 2010. 16.Almamater Tercinta, Fakultas HukumUniversitas Lampung.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

RIWAYAT HIDUP... iv

MOTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

SANWACANA... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan dan Pokok Bahasan... 5

C. Ruang Lingkup... 5

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian perjanjian……… 8

2. Asas-Asas Perjanjian……… 9

3. Jenis-jenis perjanjian………... 11

4. Syarat Sah Perjanjian……… 14

B. Hukum Kesehatan 1. Pengertian hukum kesehatan……… 16

2. Asas-asas hukum kesehatan………. 18

3. Sumber dan ruang lingkup hukum kesehatan…………. 20

4. Pihak-pihak dalam hukum kesehatan……….. 22

C. Perjanjian Terapeutik 1. Pengertian perjanjian terapeutik………. 25

a. Asas-asas perjanjian terapeutik………. 27

b. Syarat sah perjanjian terapeutik……… 29

2. Pola hubungan perjanjian terapeutik……….. 33

3. Sifat dan cirri perjanjian terapeutik……… 36


(14)

D. Sumber data………. 42

E. Metode pengumpulan data………. 43

F. Pengolahan data………... 43

G. Analisis data……… 44

BAB IV. PEMBAHASAN A. Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik………….. 59

B. Hubungan dokter, pasien dan rumah sakit dalam perjanjian terapeutik 1. Hubungan hukum antara dokter dan pasien……… 60

2. Hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit……… 65

3. Hubungan hukum antara dokter, pasien dan rumah sakit…… 67

C. Hak dan kewajiban antara dokter, pasien dan rumah sakit dalam perjanjian terapeutik 1. Hak dan kewajiban dokter………. 69

2. Hak dan kewajiban pasien………. 72

3. Hak dan kewajiban rumah sakit……… 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……… 78

B. Saran……….. 79 DAFTAR ISI


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal penting bagi kesejahteraan masyarakat. Kesehatan yang dimiliki seseorang tidak hanya ditinjau dari segi kesehatan fisik semata melainkan bersifat menyeluruh, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan, dan papan yang sering dikaitkan sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia, hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) yaitu: “Setiap orang berhak atas kesehatan”.

Masyarakat selain berhak atas kesehatan juga berhak atas pelayanan kesehatan. Hal ini sebelumnya telah ditetapkan dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatakan bahwa: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Untuk mewujudkan derajat kesehatan, diperlukannya penyelenggaraan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh yang berupa pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, dengan perlakuan yang nondiskriminatif.


(16)

Kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, yaitu turut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, yang diawali dengan prilaku hidup sehat dari diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, selain didukung oleh masyarakat juga didukung dengan adanya sumber daya kesehatan yang mencakup semua unsur atau komponen yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat tersebut yaitu, segala bentuk dana, tenaga kesehatan, perbekalan kesehatan, farmasi, alat kesehatan serta fasilitas dan pelayanan kesehatan.

Tenaga kesehatan sebagai salah satu sumber daya kesehatan memiliki peran utama dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan. Seseorang dapat dikatakan sebagai tenaga kesehatan jika memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan serta pendidikan dibidang kesehatan. Dalam kewenangannya untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin yang diperoleh dari pemerintah. Tenaga kesehatan terdiri atas para dokter, dokter gigi, apoteker, bidan, perawat, dan sebagainya yang bekerja dibidang kesehatan.

Tenaga kesehatan tersebut melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Hal ini, mengartikan bahwa tenaga kesehatan dan rumah sakit terikat dalam hubungan pekerjaan. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah dokter. Dokter dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan memiliki tugas memberikan jasa pelayanan medis pada pasien berupa penyampaian informasi tentang


(17)

3

kesehatan pasien dan memberikan upaya penyembuhan terhadap penyakit yang diderita pasien tersebut.

Pelaksanaan tindakan kedokteran yang sering disebut sebagai tindakan medis, dapat berupa tindakan preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien.Tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan terlebih dahulu, baik secara lisan ataupun tertulis. Persetujuan tersebut tidak hanya ditujukan pada pasien yang menderita sakit, namun dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan, tindakan medis dapat langsung dilakukan dengan keputusan oleh dokter dan/atau keluarga pasien. Keputusan tersebut didapat setelah dokter memberikan infromasi tentang penyakit yang diderita pasien dan menyampaikan penjelasan tentang perlu diadakannya tindakan medis dalam upaya penyembuhan pasien.

Hubungan dokter dan pasien dan/atau keluarga pasien dalam persetujuan tindakan medis telah melahirkan suatu hubungan hukum yang mengikat dalam pelayanan medis dikenal dengan “Perjanjian Terapeutik”.

Penjelasan perjanjian terapeutik telah dicantumkan didalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, bahwa “Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insan”.


(18)

Istilah perjanjian terapeutik memang tidak dikenal dalam KUHPdt, akan tetapi unsur yang terkandung didalam perjanjian terapeutik memenuhi unsur-unsur yang terdapat didalam perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPdt.

Perjanjian terapeutik juga dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1319 KUHPdt, bahwa untuk semua perjanjian baik yang memiliki suatu nama khusus atau tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tetap tunduk pada peraturan umum mengenai perjanjian pada umumnya, sebagaimana ditentukan dalam Bab I Buku III KUHPdt.

Namun mengenai eksistensi perjanjian terapeutik dalam pelayanan kesehatan sampai saat ini belum diketahui oleh banyak pasien dan/atau keluarga pasien. Kemungkinan terbesar, ketidaktahuan ini disebabkan kurangnya sosialisasi perjanjian terapeutik pada masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan pemikiran yang simpang siur mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam upaya pelayanan kesehatan.

Keadaan di atas inilah yang menjadi alasan yang kuat bagi penulis untuk melakukan penelitian yang ditulis dalam bentuk skripsi yang berjudul “DESKRIPSI PERJANJIAN TERAPEUTIK ANTARA DOKTER DAN PASIEN DI RUMAH SAKIT DALAM KEGIATAN UPAYA PELAYANAN KESEHATAN”.


(19)

5

B.Permasalahan dan Pokok Bahasan

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah. Beberapa masalah tersebut sebagai berikut :

a. Siapakah pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik?

b. Bagaimanakah hubungan para pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik? c. Apakah yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang terikat dalam

perjanjian terapeutik?

2. Pokok Bahasan

Berdasarkan permasalahan, maka yang menjadi pokok bahasan dalam penulisan ini adalah:

a. Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik

b. Hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit di dalam perjanjian terapeutik c. Hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian terapeutik.

C.Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup keberlakuan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, yang berkaitan dengan kesehatan dalam lingkup hukum kesehatan. Proses terjadinya perjanjian terapeutik, pihak-pihak yang terikat didalam perjanjian terapeutik, hubungan, hak dan kewajiban antara dokter, pasien


(20)

dan rumah sakit dalam menjalankan pelayanan kesehatan tindakan medis. Semua ruang lingkup diatas disesuaikan dari bidang hukum keperdataan khususnya hukum perjanjian.

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan memahami hal-hal sebagai berikut;

1. Siapa saja yang terikat dalam perjanjian terapeutik.

2. Hubungan antara pihak-pihak dalam pelaksanaan tindak medis yang disesuaikan dalam perjanjian terapeutik


(21)

7

E.Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Kegunaan secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan perjanjian terapeutik secara rinci sehingga dapat mengetahui proses terjadinya perjanjian terapeutik yang mengikat beberapa pihak di dalamnya hingga menimbulkan sebuah hubungan hukum daripada pihak-pihak yang terikat. Dan mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban dokter, pasien dan rumah sakit di dalam perjanjian terapeutik. Serta diharapkan dapat menjadi penunjang ilmu pengetahuan dibidang hukum keperdataan khususnya dalam lingkup hukum perjanjian dalam bidang kesehatan.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atau masukan pada para dokter, pasien, dan mahasiswa/i lain berkaitan dengan perjanjian terapeutik.

b. Diharapkan dapat membantu menambah wawasan dan pengetahuan mengenai hak dan kewajiban dokter, pasien dan rumah sakit dalam perjanjian terapeutik, agar pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan baik.

c. Sebagai pemenuhan salah satu syarat akademik bagi peneliti untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(22)

1. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPdt yang berbunyi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Jika, dalam KUHPdt ini pengertian perjanjian diartikan hanya mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih, berbeda dengan pendapat dari Soebekti yang mengemukakan pengertian perjanjian yang lebih luas, yaitu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian itu adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal di lingkungan lapangan harta kekayaan.2 Dari ketiga definisi tentang perjanjian tersebut, dapat

diartikan bahwa perjanjian adalah perbuatan/tindakan yang dilakukan dua orang atau lebih untuk melakukan suatu hal hingga tercapainya kata sepakat dari para pihak di lingkungan harta kekayaan. Yang dimaksud harta kekayaan dalam suatu perjanjian tidak hanya harta benda, tetapi kesehatan juga dapat dimaksudkan

1

R. Soebekti, Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, 2002, hlm. 1.

2


(23)

9

sebagai harta kekayaan. Karena kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan manusia dalam menjalani hidup.

Untuk melihat apakah kita berhadapan dengan suatu perjanjian atau bukan, perlunya mengenali unsur-unsur perjanjian, menurut Herlien Budiono unsur-unsur dari perjanjian tersebut ialah, sebagai berikut;

a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih;

b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak; c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;

d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik, dan;

e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan3.

2. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Dalam hal ini asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya. Pada umumnya asas hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat terpengaruh pada waktu dan tempat.

Handri Raharjo menyatakan bahwa terdapata lima asas dalam perjanjian, yaitu:

3

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 5


(24)

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang penting dalam hukum perjanjian. Asas ini merupakan perwujudan manusia yang bebas, pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak berhubungan erat dengan isi perjanjian, yakni kebebasan untuk menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian diadakan.

b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPdt dan disebutkan secara tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditemukan dalam perkataan “semua” menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian.

c. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan menghendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut pelaksanaan prestasi dengan melunasi utang melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.


(25)

11

d. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain, menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang janjinya untuk memenuhi prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin diadakan para pihak.

e. Asas Kebiasaan

Asas kebiasaan diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo Pasal 1347 Kitab Undang-undang Hukum perdata. Menurut asas ini perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan lazim diikuti.4

3. Jenis-Jenis Perjanjian

Jenis-jenis perjanjian tidak secara khusus diatur dalam KUHPdt akan tetapi

J Satrio, mengklasifikasikan jenis-jenis perjanjian sebagai berikut:

a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak

Perjanjian timbal balik (Bilateral Contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda

4


(26)

yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang Membebani.

Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan atas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama.

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator.

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak untuk menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian


(27)

13

itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata dari barangnya 5.

Undang-Undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu : a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;

Perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu diatur dalam Pasal 1601 KUHPdt. Suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihka lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya itu. Dapat juga lazimnya dimasukkan antara hubungan seorang pasien dengan seorang dokter yang diminta jasanya untuk menyembuhkan suatu penyakit.

b. Perjanjian kerja/perburuhan; dan

Perjanjian kerja/perburuhan diatur dalam Pasal 1601a KUHPdt. perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. c. Perjanjian pemborongan-pekerjaan

5


(28)

Perjanjian pemborongan-pekerjaan dibedakan dalam dua macam, yaitu dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut dan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja.

4. Syarat Sah Perjanjian

Perjanjian yang diadakan agar tercapainya tujuan yang dikehendaki harus perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Syarat sah tersebut telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPdt sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

kata sepakat merupakan dasar lahirnya suatu perjanjian. Perjanjian dianggap lahir atau terjadi pada saat dicapainya kata sepakat antara pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing secara timbal balik. Pernyataan sepakat tidak hanya dilakukan dengan secara tegas diucapkan dengan kata-kata, tetapi dapat juga dilakukan dengan perbuatan atau sikap yang mencerminkan adanya kehendak untuk sepakat dalam suatu perjanjian.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Dalam Pasal 1329 KUHPdt dikatakan setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan atau perjanjian, jika ia oleh undang-undang dinyatakan cakap. Seseorang dapat dikatakn tidak cakap jika orang tersebut belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampunan, dan/atau orang-orang perempuan, maksudnya adalah dalam hal-hal yang ditetapkan oleh


(29)

15

undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa harus terdapatnya obyek perjanjian yang tentu dan jelas. Yang dikatakan obyek tidak hanya individu tetapi juga dapat berupa benda. Seperti dalam Pasal 1333 ayat (2) KUHPdt menyatakan bahwa jumlahnya semula boleh belum tentu asal kemudian hari dapat ditentukan. Tetapi jika pada saat perjanjian ditutup obyek sama sekali tidak tentu atau tidak ada adalah tidak boleh. Jadi pada intinya paling tidak macam atau jenis benda dalam perjanjian sudah dapat ditentukan saat akan lahirnya perjanjian.

4. Suatu sebab yang halal

Adanya suatu sebab yang halal dalam KUHPdt tidak dirumuskan apa yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal. Hanya dalam Pasal 1337 dikatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik pengertian bahwa untuk sahnya perjanjian harus memiliki tujuan yang jelas, yang tidak dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.


(30)

B.Hukum Kesehatan

1. Pengertian Hukum Kesehatan

Kemajuan dibidang ilmu kesehatan telah memberikan harapan hidup yang lebih baik pada manusia. Namun terlepas dari keberhasilan ilmu kesehatan terdapat pula berbagai masalah kesehatan didalamnya. Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subyek hukum yang terikat dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiganya membentuk baik hubungan medis maupun hubungan hukum. Untuk mendapatkan penjelasan mengenai hubungan hukum yang terjadi antara dokter, pasien dan rumah sakit, diperlukannya pengertian atau pemahaman tentang nilai, kaidah, peraturan dan pengertian hukum itu sendiri.

Hukum adalah kumpulan peraturan yang berisi kaidah hukum. Jadi, hukum terbentuk berdasarkan adanya nilai, norma dan peraturan didalam kehidupan bermasyarakat, yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan baik didalam kehidupan bermasyarakat maupun didalam bidang kesehatan. maka dari itu dalam hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit juga terdapat hubungan hukum yang mengikat yaitu hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan di masyarakat.

Hukum pada hakekatnya adalah kekuasaan. Hukum mengatur, mengusahakan ketertiban dan membatasi ruang gerak individu.6 Suatu negara yang berlandaskan hukum maka sesuai dengan sifat dan hakikatnya, hukum sangat besar peranannya dalam mengatur setiap hubungan hukum yang timbul, baik antara individu dengan


(31)

17

individu ataupun antara individu dengan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesehatan.7

Undang-undang Kesehatan memberikan pengertian bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Kesehatan pada hakikatnya adalah salah satu penunjang kesejahteraan hidup manusia oleh karena itu, mengenai kesehatan agar terciptanya peningkatan derajat kesehatan dibutuhkan hukum untuk mengatur dan membina segala sesuatu mengenai kesehatan.

Menurut Wila Chandrawila, hukum kesehatan adalah kumpulan peraturan hukum tentang kesehatan. Singkatnya bahwa, seluruh kumpulan peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan adalah hukum kesehatan8. Soekidjo Notoatmodjo menambahkan bahwa pengertian hukum kesehatan tidak hanya sebatas sekumpulan peraturan yang mengatur tentang kesehatan saja, tetapi hukum kesehatan adalah semua hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat atau anggota masyarakat.9

7

Veronica Komalwati, Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik Suatu Tinjauan Yuridis Persetujuan dalam hubungan dokter dan Psien, PT. Citra Aditya Bakti,1999, hlm. 64

8

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Mandar maju, Bandung,2001, hlm. 6

9


(32)

Pelayanan kesehatan merupakan setiap upaya yang diselenggarakan secara mandiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Pelayanan kesehatan menurut Benyamin Lumenta adalah segala upaya kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit, semua upaya dan kegiatan peningkatan serta pemeliharaan kesehatan yang dilakukan oleh pranata sosial atau lembaga dengan suatu populasi tertentu, masyarakat atau komunitas.10

Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum kesehatan bukan hanya mengenai peraturan hukum tentang kesehatan saja tetapi juga hukum kesehatan itu adalah peraturan yang mengatur segala sesuatu dalam bidang kesehatan, termasuk dalam pelayanan kesehatan, yang diselenggarakan dalam bentuk “upaya” pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pihak pemberi yaitu dokter dan penerima pelayanan kesehatan yaitu masyarakat yang disebut sebagai pasien.

2. Asas-Asas Hukum Kesehatan

Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai dasar sosial (the right to health care) yang di topang oleh dua hak dasar individual yang terdiri dari hak

10

Benyamin Lumenta, Pelayanan Medis, Citra, Konflik, dan Harapan, Kanisius, Yogyakarta,1989, hlm. 15


(33)

19

atas informasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri.11 Saat ini segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan diatur pada Undang-Undang Kesehatan.

Di dalam Undang-Undang Kesehatan ini disebutkan asas-asas dalam hukum kesehatan adalah sebagai berikut:

1. Asas prikemanusiaan: yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas prikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa.

2. Asas keseimbangan: berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat antara fisik dan mental, serta antara material dan spiritual.

3. Asas pemanfaatan: berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan prikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.

4. Asas perlindungan: berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan kehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.

5. Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban: berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum

11

Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedoktern; studi tentang Hubungan hukum dalam Mana dokter Sebagai Salah satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1998, hlm. 22


(34)

6. Asas keadilan: berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.

7. Asas Gender dan Asas nondiskriminatif: berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki. 8. Norma-norma agama: berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan

dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat.

Dari semua asas-asas hukum kesehatan di atas dapaat dikatakan bahwa asas hukum kesehatan bertujuan untuk menciptakan derajat kesehatan masyarakat dan memberikan pelayan kesehatan bagi masyarakat dengan seadil-adilnya tanpa membeda-bedakan status sosial.

3. Sumber dan Ruang Lingkup Hukum Kesehatan a. Sumber Hukum Kesehatan

Sumber hukum adalah tempat ditemukannya hukum. Sumber hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu materiil dan formil. Sumber hukum materiil ialah tempat darimana materi hukum diambil. Sedangkan sumber hukum formil ialah tempat darimana suatu ketentuan mendapatkan legitimasi atau kekuatan hukum.

Undang-undang dalam hukum kesehatan adalah sebagai sumber hukum kesehatan. ketetapan atau keputusan penguasa yang dilihat dari isinya merupakan undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum yang berbeda dalam wilayah kompetensinya. Hal ini kemudian dapat disebutkan sebagai undang-undang materiil. Sementara di dalam arti formil, undang-undang-undang-undang berarti keputusan


(35)

21

penguasa yang jika dilihat dari bentuk dan cara terjadinya atau cara pengesahannya.

Kekuatan berlakunya Undang-Undang menyangkut berlakunya Undang-Undang secara operasional. Hukum kesehatan terkait dengan aturan legal yang dibuat untuk kepentingan atau melindungi kesehatan masyarakat. Sejak kemerdekaan sampai saat ini, Indonesia telah tiga kali mengalami pergantian Undang-Undang tentang Kesehatan, sebagai berikut:

1. Undang-Undang Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960

2. Undang-Undang No. 23 tahun1992 tentang Kesehatan

3. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Sampai saat ini, Undang-Undang Kesehatan yang masih menjadi pedoman dalam segala sesuatu mengenai kesehatan ialah Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

b. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan

Ruang lingkup dalam hukum kesehatan yaitu meliputi peraturan dan hukum yang berhubungan dengan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Mengingat banyaknya penyelenggara pelayanan kesehatan, baik dari segi perorangan maupun kolektivitas, di mana masing-masing mempunyai kekhususan antara pihak yang dilayani kesehatannya maupun sifat pelayanan dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, maka hukum kesehatan itu dikelompokkan menjadi berbagai bidang, antara lain:


(36)

1. Hukum Kedokteran dan kedokteran gigi 2. Hukum Keperawatan

3. Hukum farmasi 4. Hukum Rumah Sakit

5. Hukum Kesehatan masyarakat 6. Hukum Kesehatan Lingkungan

7. Hukum Rumah Sakit dan sebagainya. 12

4. Pihak – Pihak dalam Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan adalah semua ketentuan yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Oleh sebab itu di dalam hukum kesehatan mengatur dua kepentingan yang menjadi pihak dalam hukum kesehatan ini, yaitu:

1. Penerima pelayanan, yang harus diatur hak dan kewajibannya, baik perorangan, kelompok atau masyarakat.

2. Penyelenggara pelayanan, yaitu organisasi dan sarana-prasarana pelayanan, yang juga harus diatur hak dan kewajibannya.

Berdasarkan uraian diatas Undang-Undang Kesehatan tidak merinci secara jelas mengenai pihak-pihak yang terikat dalam hukum kesehatan, tetapi hanya memaparkan bahwa yang menjadi penerima pelayanan kesehatan ialah

12


(37)

23

masyarakat sebagai pasien. Sedangkan penyelenggara pelayanan ialah Pemerintah. Pemerintah bertanggungjawab atas pengaturan perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan, khususnya dalam menyediakan tenaga kesehatan dan sarana tempat penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut. Sedangkan Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan saja.

Penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai dan norma agama, sosial budaya, moral dan etika profesi. Dalam lalu lintas hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat sebagai suatu sistem sosial, rumah sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling). Rumah sakit bukan manusia yang dapat berbuat dalam lintas hukum seperti masyarakat sebagai manusia (natuurlijk persoon), melainkan rumah sakit diberi menurut hukum sebagai “persoon” dan karenanya rumah sakit merupakan “rechtspersoon”. Hukum yang telah menjadikan rumah sakit sebagai “rechtspersoon” dan oleh karena itu rumah sakit juga dibebani dengan hak dan kewajiban hukum atas tindakan yang dilakukan ataupun terjadi didalamnya. Dalam kemandiriannya untuk berbuat hukum sebagai subjek hukum inilah rumah sakit melibatkan orang-orang yang menyandang profesi kedokteran atau tenaga kesehatan yang tidak hanya terdiri atas para dokter dan dokter gigi, tetapi juga semua yang mendukung dalam upaya pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan tersebut menurut Soekidjo Notoatmodjo, dijelaskan adanya berbagai macam tenaga kesehatan yang mempunyai bentangan yang


(38)

sangat luas, baik dari segi latar belakang pendidikan maupun jenis pelayanan atau upaya kesehatan yang dilakukan. Jenis tenaga kesehatan tersebut yang di uraikan dalam Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996, yaitu sebagai berikut;

1) Tenaga medis, mencakup: dokter dan dokter gigi 2) Tenaga keperawatan, mencakup: perawat dan bidan

3) Tenaga kefarmasian, mencakup: apoteker, analis dan asisten apoteker

4) Tenaga kesehatan masyarakat, mencakup: epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan, dan sanitarian

5) Tenaga gizi, mencakup: nutrisionis dan asisten

6) Tenaga keterapian fisik, mencakup: fisiotrapis, akupasiterafis, dan terapis wicara

7) Tenaga teknisian medis, yang mencakup: radiografer, radiotrafis, teknisi gizi, teknisi elektromedis, analisis kesehatan, refraksionis, optisien, otorik prostetek, teknisi tranfusi dan perekam medis.13

Para tenaga kesehatan yang telah diuraikan di atas, berada dalam hubungan pekerjaan dengan rumah sakit sebagai tempat untuk menyelenggarakan tugas profesinya dan menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan keahlian (bidang ilmunya) serta diikat oleh etik profesinya.14

13

Soekidjo Notoatmodjo, Op.cit., hlm. 98 14

Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di rumah sakit,


(39)

25

C.Tinjauan Umum Perjanjian Terapeutik 1. Pengertian Perjanjian Terapeutik

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Perjanjian merupakan hubungan timbal balik yang dihasilkan melalui komunikasi, sedangkan terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsur atau nilai pengobatan.

Sedangkan istilah therapeutic adalah terjemahan dari bahasa inggris. Jika diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi terapeutik yang berarti suatu hal dibidang pengobatan.

Jadi, perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik adalah transaksi antara dokter dan pasien untuk mencari atau menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit oleh dokter yang didukung oleh dua macam hak yang sifatnya mendasar dan yang lebih bersifat individual, yaitu hak atas informasi (the right to informations) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination.15

Persetujuan yang terjadi diantara dokter dan pasien bukan dibidang pengobatan saja melainkan lebih luas mencangkup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif maupun promotif maka persetujuan tersebut disebut dengan perjanjian terapeutik16. Perjanjian Terapeutik juga disebut dengan kontrak terapeutik

yang merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan. Dalam hal ini Salim mengutip pendapat Fred Ameln yang mengartikan Kontrak atau Perjanjian

15

Hermein Haditati Koeswadji, Op.cit, hlm. 99.

16

M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, hlm. 39.


(40)

terapeutik dengan “kontrak dimana pihak dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien (inspaningsverbintenis) jarang merupakan kontrak yang sudah pasti (resultastsverbintenis). 17

Hal ini juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Veronica Keomalawati bahwa perjanjian terapeutik itu pada asasnya bertumpu dua macam hak asasi manusia, yaitu Hak untuk menentukan nasib sendiri dan Hak atas informasi.18

Dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, mencantumkan tentang perjanjian terapeutik sebagai berikut : perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”.19

Perjanjian Terapeutik juga diatur dalam Buku III KUHPdt, sebagaimana disebutkan didalam Pasal 1319 KUHPdt yang berbunyi: “Semua perjanjian , baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalan Bab ini dan Bab yang lalu”.

17

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta. 2006, Hal 45

18

Veronica Komalwati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung ,2002, Hlm. 74

19


(41)

27

a. Asas Perjanjian Terapeutik

Perjanjian terapeutik merupakan dasar terjadinya hubungan hukum antara dokter dan pasien, adapun asas-asas yang berlaku pada perjanjian teraputik yaitu, sebagai berikut:

8) Asas Legalitas

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Kesehatan, secara eksplisit tersirat dalam bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan kesehatan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenega kesehatan yang bersangkutan. Pelayanan medis hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam perundang-undangan. Persyaratan dan izin praktik kedokteran diatur dalam perundang-undangan.

1) Asas Keseimbangan

Asas ini termuat dalam Pasal 2 dalam Undang-Undang Kesehatan bahwa penyelengaraan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental serta antara material dan spiritual. Hal ini dapat diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan.

2) Asas Tepat Waktu

Asas ini sangat diperlukan karena keterlambatan penanganan seorang pasien akan dapat berakibat fatal yaitu kematian pasien. Penanganan yang berkesan lambat


(42)

dan asal-asalan terhadap pasien sangat tidak terpuji dan bertentangan dengan asas tepat waktu ini. Kecepatan dan ketepatan penanganan terhadap pasien yang sakit merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan kesembuhan pada pasien.

3) Asas Itikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt, disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, namun Pasal ini tidak menjelaskan artinya. Akan tetapi jika dilihat dari terjemahan dari kata bona fides dalam hukum Romawi berbuat sesuai dengan itikad baik berarti berbuat berdasarkan pengertian yang baik, jujur dan lurus. Arti prinsip tersebut, bahwa setiap orang berkewajiban membantu atau menolong orang lain dalam memajukan kepentingannya, sepanjang tidak menimbulkan risiko bagi dirinya sendiri.

4) Asas Kehati-Hatian

Pada dasarnya setiap orang sebelum melakukan sesuatu dalam hubungan dengan orang lain harus bersikap hati-hati. Dokter sebagai seorang ahli di dalam medik, maka tindakanya harus didasarkan atas ketelitianya dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Dengan demikian, dokter sebagai profesional, bukan hanya dituntut memiliki keahlian dan keterampilan, melainkan juga ketelitian atau kecermatan bertindak. 20

20


(43)

29

b. Syarat Sah Perjanjian Terapeutik

Perjanjian terapeutik secara khusus memang tidak diatur dalam Buku III KUHPdt. Namun, secara umum semua perjanjian yang mengikat, termasuk perjanjian terapeutik harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPdt agar perjanjian tersebut menjadi sah. Adapun unsur-unsur tersebut adalah;

a. Sepakat mengikatkan diri b. Cakap membuat perikatan c. Ada hal tertentu

d. Karena sebab yang halal

Sedangkan khusus bagi perjanjian terapeutik selain harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPdt tersebut juga harus memenuhi unsur lain, hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, yaitu terdapatnya Informed Concent yang artinya persetujuan tindakan medis. jadi, syarat bagi sahnya perjanjian terapeutik harus terpenuhinya 5 (lima) unsur yaitu sebagai berikut:

b. Sepakat mengikatkan diri

dalam hal ini sama dengan syarat sah perjanjian pada umunya. Yaitu, kedua belah pihak atau pihak yang ingin melakukan perjanjian harus dengan keadaan sadar dan bukan dalam paksaan. Dalam perjanjian terapeutik pihak-pihak yang dimaksud ialah dokter dan pasien atau keluarga pasien.


(44)

Dalam hal ini jika dalam Pasal 1329 KUHPdt dikatakan setiap orang yang diperbolehkan oleh undang-undang adalah cakap untuk membuat perjanjian. Sama halnya dalam perjanjian terapeutik setiap orang atau pasien dapat melakukan perjanjian dengan dokter, atau bahkan jika pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri, perjanjian dapat disepakati oleh keluarga pasien atau perwakilan.

d. Ada hal tertentu

dalam hal ini dimaksudkan adalah kesembuhan pasien. Jika dalam KUHPdt diuraikan hal tertentu itu sebagai barang berbeda dalam perjanjian terapeutik yang objeknya adalah informasi tentang penyakit yang diderita pasien dan kesembuhan penyakit pasien.

e. Karena sebab yang halal, dan

dalam hal ini yang dimaksud sebab yang halal adalah bersedianya dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit pasien dan informasi upaya penyembuhan karena suatu sebab yaitu informasi tentang penyakit yang dirasakan oleh pasien.

f. Imformed concent

Syarat sah yang ke lima inilah yang memperkuat perbedaan perjanjian terapeutik dengan perjanjian pada umumnya. Informed concent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien.


(45)

31

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak- pihak dalam pejanjian sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek suatu perjanjian. Dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Sehingga perjanjian yang dibuat tersebut mengikat selama tidak dibatalkan oleh keputusan pengadilan atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan.21

Pelayanan tindakan medis dalam perjanjian terapeutik perlunya persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan atas dasar mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. persetujuan tindakan medis dalam perjanjian terapeutik ini disebut sebagai

Informed Consenst.

Untuk dapat dilakukan tindakan medis baik berupa diagnostik maupun terapeutik, maka diperlukan informed consent yang merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya sehingga masing-masing-masing-masing telah menyatakan informed concent secara timbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah informasi.22

21

Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000 , Hlm. 5 22


(46)

Persetujuan yang dimaksud diatas dapat berupa persetujuan secara lisan maupun isyarat yang menunjukkan sikap-sikap yang memberi kesan setuju. Namun, kedua cara ini dapat merepotkan dokter jika dibelakang hari diingkari. Oleh sebab itu, para dokter diharapkan untuk secara lengkap memberikan informasi kepada pasien dalam bentuk tindakan yang akan atau perlu dilaksanakan dan juga resikonya. Persetujuan dari pasien, dalam hal ini memiliki arti yang cukup luas sebab dengan pasien membubuhkan tanda tangannyadi formulir persetujuan tindakan medis, maka dianggap pasien telah sepakat atau setuju menyerahkan nasibnya pada dokter.

Tindakan medis yang memberlakukan atau yang membutuhkan informed concent

adalah:

1. Pembedahan invasif mayor atau minor

2. Semua prosedur yang menyangkut lebih dari risiko bahaya yang ringan 3. Semua bentuk terapi radiologi

4. Terapi kejut listrik

5. Semua prosedur yang berhubungan dengan percobaan, dan

6. Semua prosedur yang mana formulir concent dibutuhkan oleh undang-undang atau perturan.23

23


(47)

33

2. Pola Hubungan Perjanjian Terapeutik

Hubungan hukum adalah hubungan yang terjadi dalam masyarakat, baik antra subjek hukum dengan subjek hukum maupun antara subjek hukun dengan benda, yang diatur oleh hukum dan menimbulkan akibat hukum yakni hak dan kewajiban. Demikian halnya dalam perjanjian terapeutik, hubungan yang terjadi dalam perjanjian terapeutik adalah hubungan hukum anatar subjek hukum satu dengan subjek hukum lainnya yaitu dokter, pasien dan rumah sakit. Pola hubungan yang terjadi antara dokter, pasien dan rumah sakit dalam perjanjian terapeutik adalah pola hubungan yang melingkar yang dapat dikatakan sebagai pola hubungan timbal balik atau saling membutuhkan.

Perjanjian terapeutik tunduk pada asas-asas perjanjian pada umumnya. perbedaannya adalah di dalam perjanjian terapeutik pihak yang mengikatkan diri adalah orang-orang yang terlibat ataupun dilibatkan dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan. Pihak-pihak dalam kegiatan upaya pelayanan kesehatan ini adalah dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan mengupayakan semaksimal mungkin dalam upaya penyembuhan, masyarakat sebagai pasien penerima jasa pelayanan kesehatan.

Hubungan antara dokter dan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata. Kaidah-kaidah hukum perdata berisi pedoman bagaimana para pihak yang melakukan hubungan melaksanakan hak dan kewajibannya. Seperti telah dituliskan di atas, berbicara mengenai hukum, maka terdapat hak dan


(48)

kewajiban yang timbal balik, dimana hak dokter menjadi kewajiban pasien dan hak pasien menjadi kewajiban dokter. Dilihat dari hubungan hukumnya, antara dokter dan pasien terdapat hubungan yang menimbulkan kesepakatan . Dalam hal ini sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan bagi pasien terbentuklah apa yang dikenal sebagai perikatan.

Doktrin ilmu hukum mengenal dua macam perikatan, yaitu perikatan ikhtiar dan perikatan hasil. Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan oleh dokter adalah upaya semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, prestasi yang harus diberikan oleh dokter berupa hasil tertentu. Kemudian diatur pula tentang dasar dari perikatan, yaitu perikatan terbentuk berdasarkan perjanjian atau undang-undang. Dasar dari perikatan antara dokter dan pasien adalah perjanjian terapeutik.

Pada perikatan atas dasar perjanjian, apabila seorang pasien datang ke tempat praktek dokter dalam arti menerima jasa pelayanan kesehatan dari dokter, maka antara dokter dan pasien terdapat hubungan hukum dalam perjanjian terapeutik. jika berbicara mengenai perjanjian tidak terlepas dari kata kontrak. Yang berarti bahwa, para pihak dalam perjanjian terapeutik yaitu dokter dan pasien bebas menentukan isi perjanjiannya sendiri yang disepakati bersama dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal ini termasuk kedalam asas kebebasan berkontrak.24

24


(49)

35

Rumah sakit adalah salah satu pihak yang dilibatkan dalam perjanjian terapeutik ini yang berfungsi sebagai sarana tempat pelaksanaannya perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien. Rumah sakit juga terikat hubungan hukum. Pola hubungan antara dokter, pasien dan rumah sakit juga merupakan hubungan antara subyek hukum, subyek hukum dan subyek hukum. Yang diatur pula oleh kaidah-kaidah hukum perdata. Dokter dan pasien sebagai subyek hukum pribadi, sedangkan rumah sakit sebagai subyek hukum yang berbadan hukum. Ketiganya dalam kaidah hukum perdata memenuhi hubungan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak. Dokter, pasien dan rumah sakit terikat hubungan yang berdasarkan perjanjian kontraktual yang dapat ditentukan sendiri isi perjanjiannya dengan tidak diluar dari peraturan perundang-undangan, yang telah disebutkan sebelumnya dalam kegiatan upaya pelayanan kesehatan, perjanjian tersebut adalah perjanjian teraputik.

Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), sebagai pedoman peraturan rumah sakit pada Bab I Pasal 1, menjelaskan bahwa: “rumah

sakit adalah suatu sarana yang merupakan bagian dari system kesehatan nasional yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat”. Dengan demikian, dalam Anggaran Dasar PERSI ini juga membenarkan bahwa rumah sakit terikat dalam perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien dalam kegiatan upaya pelayanan kesehatan, sebagaimana rumah sakit adalah sebagai suatu sarana tempat berlangsungnya kegiatan upaya pelayanan kesehatan.


(50)

C. Sifat atau Ciri Perjanjian Terapeutik

Perjanjian terapeutik adalah perjanjian yang dilakukan antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri khusus yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya karena obyek perjanjian terapeutik bukan kesembuhan pasien melainkan, mencari “upaya” yang tepat untuk kesembuhan pasien, yaitu sebagai berikut;

1. Perjanjian terapeutik adalah perjanjian yang dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu scara lisan dan secara tertulis. Terjadinya perjanjian terapeutik secara lisan itu pada saat pasien menemui dokter dan memberitahukan keadaan dirinya dan dokter besedia memberikan informasi tentang keadaan yang dirasakan pasien seperti penyakit apa yang dialami oleh pasien sebenarnya dan memberikan informasi tentang upaya penyembuhan terhadap penyakit yang diderita pasien seperti memberikan obat ringan dan memberikan saran untuk beristirahat. Dan saat itu juga pasien mempercayai informasi yang didapat dari dokter. Kepercayaan pasien terhadap dokter dan bersedianya dokter memberikan informasi inilah yang menimbulkan suatu perjanjian terapeutik secara lisan. Meskipun tidak terdapat kata “sepakat” ataupun “berjanji” dalam kegiatan upaya pelayanan kesehatan yang diberikan dokter terhadap pasien, tetapi dengan gerak tubuh dan/atau isyarat yang dilakukan oleh dokter dan pasien inilah yang dianggap telah menyepakati suatu perjanjian tersebut. dan biasanya perjanjian terapeutik secara lisan ini terjadi pada saat pasien mengalami sakit yang tidak terlalu parah atau penyakit yang tidak


(51)

37

membutuhkan tindakan medis dan rawat inap. sedangkan untuk pasien dalam keadaan sakit yang membutuhkan tindakan medis seperti operasi dan rawat inap, dibutuhkannya perjanjian terapeutik secara tertulis. Dengan maksud untuk menyepakati bersedianya pasien dan/atau keluarga pasien dilakukannya tindakan medis terhadap pasien yang dilakukan oleh dokter dan tim medis sebagai pembantu dokter.

2. Upaya penyembuhan kesehatan yang diberikan oleh dokter kepada pasien tidak bergantung pada hasil. Maksudnya ialah segala upaya pelayanan kesehatan untuk tujuan menyembuhkan penyakit yang diderita pasien, tidak dapat ditentukan hasilnya akan selalu baik. Dokter dalam perjanjian terapeutik ini hanya sebatas melakukan upaya semaksimal mungkin untuk penyembuhan penyakit yang diderita pasien. Hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat di sesuaikan oleh keinginan pasien dan/atau keluarga pasien.

3. Ketidakpastian hasil dari upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter, jika menimbulkan ketidakpuasan pasien dan/atau keluarga pasien terhadap hasil akhir tidak dapat dokter dikatakan wanprestasi dan dokter tetap mendapatkan haknya yaitu pembayaran.

Jadi, sifat atau ciri perjanjian terapeutik dari apa yang telah dipaparkan di atas adalah perjanjian terapeutik juga melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat didalamnya, perjanjian terapeutik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara lisan dan tertulis, perjanjian terapeutik tidak bergantung pada hasil, tetapi hanya sebatas upaya maksimal yang dilakukan dokter, bahwa perjanjian terapeutik tidak mengenal “wanprestasi”, dan ketidakpuasan yang didapat oleh


(52)

pasien dan/atau keluarga pasien terhadap hasil akhir dari upaya maksimal yang dilakukan dokter tidak mempengaruhi hak dokter untuk mendapatkan pembayaran.


(53)

39

KERANGKA PIKIR

Guna memperjelas pembahasan ini, maka penulis membuat kerangka fikir seperti berikut:

Keterangan:

Rumah sakit adalah sarana tempat terlaksananya kegiatan upaya pelayanan kesehatan antara dokter dan pasien. Agar dapat terlaksana dan tercipta pelayanan kesehatan yang terpadu dan menyeluruh, di dalam upaya pelayanan kesehatan ini didasari oleh suatu perjanjian yang disebut sebagai perjanjian terapeutik. setelah diketahui terdapat suatu perjanjian terapeutik didalam upaya pelyanan kesehatan, maka harus diketahui pula pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik tersebut. para pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik akan memiliki hubungan hukum yang mengikat satu sama lain, dari hubungan hukum para pihak inilah maka para pihak yang terikat akan dibebani oleh hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.

Dokter

Hubungan Hukum Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Terikat

Rumah Sakit

Pasien

Perjanjian Terapeutik


(54)

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat mempertanggungjawabkan kebenaranya.1

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang digunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.2 Penelitian ini akan mengkaji tentang Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Kesehatan antara Dokter dan Pasien di Rumah Sakit dengan melihat norma, peraturan perundang-undangan dan literatur yang terkait dengan hukum perjanjian, hukum kesehatan dan perjanjian terapeutik.

1

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Citra Aditya Bakti: Bandung, 2004), hlm.2.

2


(55)

41

B. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dan menguraikan pokok bahasan yang telah disusun dalam penelitian ini adalah tipe deskriptif. Tipe deskriptif bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi) secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undang-undang, peraturan daerah, naskah kontrak atau objek kajian lainnya.3 Untuk itu, penelitian ini akan menggambarkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis mengenai perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien di rumah sakit yang didasari pada peraturan perundang-undangan yang terkait.

C. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, macam-macam pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah :4

1. Pendekatan Undang-Undang (statute appoach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji semua undang-undang dan peraturan yang berhubungan dengan masalah hukum yang sedang diteliti.

2. Pendekatan Historis ( historical appoach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.

3. Pendekatan Konseptual (conceptual appoach), yaitu pendekatan yang dilihat dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum, maka peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

3

Abdulkadir Muhammad, Op, Cit, hlm.102. 4


(56)

pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan pada pendekatan undang. Pendekatan undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi.5

D. Sumber Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.6 Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu data normatif yang bersumber dari perundang-undangan yang menjadi tolak ukur terapan. Bahan hukum primer meliputi:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt)

b. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan c. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran d. Undang-Undang No. 44 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit

e. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

5

Ibid, hlm. 93 6


(57)

43

f. Permenkes RI No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik.

g. Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) h. Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan baku primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan (liberary research). Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulisan dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan tulisan lainnya yang berhubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

F. Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan selanjutnya diolah dengan mengunakan metode:7

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan.

7


(58)

b. Penandaan data (coding), yaitu memberi catatan atau data yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan, atau dokumen). c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,

berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.

d. Sistematisi data (sistematizing), yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistemasi sehingga memudahkan pembahasan.

G. Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif, yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dimengerti untuk ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas.


(59)

V. PENUTUP

KESIMPULAN dan SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Bahwa perjanjian terapeutik adalah perjanjian yang sah menurut KUHPdt dan termasuk dalam golongan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 1601 Bab 7 Buku III KUHPdt.

Dalam perjanjian terapeutik terdapat,

1. Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik yaitu dokter, pasien dan rumah sakit. Dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dengan upaya pelayanan kesehatan maksimal. Pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. dan rumah sakit juga terikat dalam perjanjian terapeutik sebagai sarana tempat terjadi pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan.

2. Interaksi yang terjadi antara dokter dan pasien di rumah sakit, menimbulkan hubungan hukum yang saling mengikat. Hubungan hukum yang terjadi antara dokter dan pasien adalah hubungan perjanjian jasa yang hanya sebatas upaya semaksimal mungkin yang diberikan dokter pada pasien. Sedangkan hubungan yang terjadi antara dokter dan rumah sakit adalah hubungan kerja, yaitu dokter sebagai pekerja.


(60)

3. Pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik akan dibebani oleh hak dan kewajiban, sebagai berikut;

a. kewajiban dokter sebatas memberikan informasi dan mengupayakan penyembuhan semaksimal mungkin tanpa memberikan jaminan kesembuhan. Sedangkan hak dokter menerima pembayaran dari pasien atas jasa yang diberikan dokter kepada pasien

b. kewajiban pasien yaitu membayar jasa dokter. Sedangkan hak pasien mendapatkan informasi tentang kesehatan dirinya dan mendapatkan pelayanan kesehaan dari dokter.

c. kewajiban rumah sakit adalah membuat peraturan untuk dokter, pasien dan pengunjung rumah sakit agar terciptanya kenyamanan dan menyediakan semua kebutuhan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan pelyanan kesehatan di rumah sakit. Sedangkan hak rumah sakit adalah mendapatkan perlindungan hukum.

Pada kesimpulannya pelaksanaan hak dan kewajiban yang dilakukan oleh dokter, pasien di rumah sakit bertujuan agar kegiatan upaya pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan lancar, serasi, dan tanpa adanya diskriminasi.

B.SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis mencoba memberikan saran yaitu sebaiknya Ikatan Dokter Indonesia dapat memberikan sosialisasi mengenai perjanjian terapeutik pada masyarakat. Mengenai perjanjian


(61)

81

terapeutik disarankan dapat dimasukan kedalam materi pembelajaran khususnya mahasiswa kedokteran dan mahasiswa hukum kesehatan. Agar masyarakat dan/atau mahasiswa dapat mengetahui bahwa mereka juga termasuk pihak yang terikat langsung dan memiliki hubungan hukum dengan dokter dan rumah sakit didalam kegiatan upaya pelayanan kesehatan yang dibebani oleh hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.


(62)

Amir Amri dan Hanafiah Jusuf. 2008. Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC. Astuti Kusuma Endang. 2009. Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit.

Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti .

Budiono Herlien. 2011. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Chandrawila wila. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju.

Dahlan sofwan. 2000. Hukum Kesehatan Rambu-rambu Bagi Profesi Dokter. Semarang: UNDIP.

Dewi Indriyanti Alexandra. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Pustaka Book Publisher.

Febrina Shinta dan Triwulan Titik. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Isfandyrie Anny. 2006. Tanggugjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Iskandar Dalmy. 2008. Hukum Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika. Jalalludin. 1992. Psikologi Komunkasi.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Koeswadji Hadiati Harmien. 1984. Hukum dan Masalah Medik. Surabaya: Airlangga Univerity press.

---. 1998. Hukum Kedokteran; Studi tentang Hubungan Hukum dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti. Komalwati Veronica. 1999. Informed Concent dalam Transaksi Terapeutik Suatu Tinjauan

Yuridis Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti .

---. 2002. Peranan Informed Concent dalam Transaksi Terapeutik.

Bandung : PT. Cipta Aditya Bhakti .

Lumenta Bunyamin. 1989. Pelayanan Medis, Vitra, Konflik, dan Harapan. Yogyakarta: Kanisius.

Marjuki Mahmud Peter. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Krncana Perdana Group. Muhammad Abdulkadir. 2000 Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.


(63)

---. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti.

Notoatmodjo Soekidjo.2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Ragarjo Handri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. Jakarta: Pustaka Yustisia. Rahman Hasanudin.2000. legal Drafting. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti . Satrio J. 1992. Hukum Perjanjian. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti.

Salim HS. 2006. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata. Jakarta: Rajawali Press.

Siregar J.P. Charles. 2003. Farmasi Rumah sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC.

Soebekti R. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermesa.

Soekanto sarjono. 2009. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Press.

2. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt)

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Undang-Undang No. 44 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.

Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Permenkes RI No. 29/MENKES/PER/III/2008/ tentang Persetujuan Tindakan Medik.

Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)


(1)

44

b. Penandaan data (coding), yaitu memberi catatan atau data yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan, atau dokumen). c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,

berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.

d. Sistematisi data (sistematizing), yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistemasi sehingga memudahkan pembahasan.

G. Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif, yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dimengerti untuk ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas.


(2)

V. PENUTUP

KESIMPULAN dan SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Bahwa perjanjian terapeutik adalah perjanjian yang sah menurut KUHPdt dan termasuk dalam golongan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 1601 Bab 7 Buku III KUHPdt.

Dalam perjanjian terapeutik terdapat,

1. Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik yaitu dokter, pasien dan rumah sakit. Dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dengan upaya pelayanan kesehatan maksimal. Pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. dan rumah sakit juga terikat dalam perjanjian terapeutik sebagai sarana tempat terjadi pelaksanaan upaya pelayanan kesehatan.

2. Interaksi yang terjadi antara dokter dan pasien di rumah sakit, menimbulkan hubungan hukum yang saling mengikat. Hubungan hukum yang terjadi antara dokter dan pasien adalah hubungan perjanjian jasa yang hanya sebatas upaya semaksimal mungkin yang diberikan dokter pada pasien. Sedangkan hubungan yang terjadi antara dokter dan rumah sakit adalah hubungan kerja, yaitu dokter sebagai pekerja.


(3)

80

3. Pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik akan dibebani oleh hak dan kewajiban, sebagai berikut;

a. kewajiban dokter sebatas memberikan informasi dan mengupayakan penyembuhan semaksimal mungkin tanpa memberikan jaminan kesembuhan. Sedangkan hak dokter menerima pembayaran dari pasien atas jasa yang diberikan dokter kepada pasien

b. kewajiban pasien yaitu membayar jasa dokter. Sedangkan hak pasien mendapatkan informasi tentang kesehatan dirinya dan mendapatkan pelayanan kesehaan dari dokter.

c. kewajiban rumah sakit adalah membuat peraturan untuk dokter, pasien dan pengunjung rumah sakit agar terciptanya kenyamanan dan menyediakan semua kebutuhan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan pelyanan kesehatan di rumah sakit. Sedangkan hak rumah sakit adalah mendapatkan perlindungan hukum.

Pada kesimpulannya pelaksanaan hak dan kewajiban yang dilakukan oleh dokter, pasien di rumah sakit bertujuan agar kegiatan upaya pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan lancar, serasi, dan tanpa adanya diskriminasi.

B.SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis mencoba memberikan saran yaitu sebaiknya Ikatan Dokter Indonesia dapat memberikan sosialisasi mengenai perjanjian terapeutik pada masyarakat. Mengenai perjanjian


(4)

81

terapeutik disarankan dapat dimasukan kedalam materi pembelajaran khususnya mahasiswa kedokteran dan mahasiswa hukum kesehatan. Agar masyarakat dan/atau mahasiswa dapat mengetahui bahwa mereka juga termasuk pihak yang terikat langsung dan memiliki hubungan hukum dengan dokter dan rumah sakit didalam kegiatan upaya pelayanan kesehatan yang dibebani oleh hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-Buku

Amir Amri dan Hanafiah Jusuf. 2008. Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC. Astuti Kusuma Endang. 2009. Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit.

Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti .

Budiono Herlien. 2011. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Chandrawila wila. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju.

Dahlan sofwan. 2000. Hukum Kesehatan Rambu-rambu Bagi Profesi Dokter. Semarang: UNDIP.

Dewi Indriyanti Alexandra. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Pustaka Book Publisher.

Febrina Shinta dan Triwulan Titik. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta: Prestasi Pustaka. Isfandyrie Anny. 2006. Tanggugjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Iskandar Dalmy. 2008. Hukum Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika. Jalalludin. 1992. Psikologi Komunkasi.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Koeswadji Hadiati Harmien. 1984. Hukum dan Masalah Medik. Surabaya: Airlangga Univerity press.

---. 1998. Hukum Kedokteran; Studi tentang Hubungan Hukum dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti. Komalwati Veronica. 1999. Informed Concent dalam Transaksi Terapeutik Suatu Tinjauan

Yuridis Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti .

---. 2002. Peranan Informed Concent dalam Transaksi Terapeutik. Bandung : PT. Cipta Aditya Bhakti .

Lumenta Bunyamin. 1989. Pelayanan Medis, Vitra, Konflik, dan Harapan. Yogyakarta: Kanisius.

Marjuki Mahmud Peter. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Krncana Perdana Group. Muhammad Abdulkadir. 2000 Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.


(6)

---. 2004.Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti.

Notoatmodjo Soekidjo.2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Ragarjo Handri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. Jakarta: Pustaka Yustisia. Rahman Hasanudin.2000. legal Drafting. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti . Satrio J. 1992. Hukum Perjanjian. Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti.

Salim HS. 2006. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata. Jakarta: Rajawali Press.

Siregar J.P. Charles. 2003. Farmasi Rumah sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC. Soebekti R. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermesa.

Soekanto sarjono. 2009. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Press.

2. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt)

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang No. 44 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.

Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Permenkes RI No. 29/MENKES/PER/III/2008/ tentang Persetujuan Tindakan Medik. Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)