EFEKTIVITAS KANTOR PENGENDALIAN PERTANAHAN DAERAH (KPPD) DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG MELALUI IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH (IPPT)

(1)

i (IPPT)

(Studi di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman)

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar

Magister Ilmu Pemerintahan

TESIS

Disusun Oleh: Deliana Vita Sari Djakaria

20131040011

PROGRAM STUDI

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i (IPPT)

(Studi di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman)

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar

Magister Ilmu Pemerintahan

TESIS

Disusun Oleh: Deliana Vita Sari Djakaria

20131040011

PROGRAM STUDI

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

ii Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Deliana Vita Sari Djakaria NPM : 20131040011

Jenjang : Strata Dua (S2)

Menyatakan bahwa Tesis dengan judul “EFEKTIVITAS KANTOR PENGENDALIAN PERTANAHAN DAERAH (KPPD) DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG MELALUI IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH (IPPT) (Studi di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman)” adalah benar hasil penelitian saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk dan disebutkan sumbernya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh kesadaran.

Yogyakarta, Desember 2016

Pembuat pernyataan

Deliana Vita Sari Djakaria 20131040011


(4)

iii

EFEKTIVITAS KANTOR PENGENDALIAN PERTANAHAN DAERAH (KPPD) DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG MELALUI IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH

(IPPT)

(Studi di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman)

TESIS

Diajukan oleh:

Nama : Deliana Vita Sari Djakaria NPM : 20131040011

Telah disetujui oleh: Dosen Pembimbing

Rahmawati Husein, MCP., Ph.D

Yogyakarta, Desember 2016 Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Dyah Mutiarin, M.Si NIK: 19711108201004 163 089


(5)

iv

Judul : EFEKTIVITAS KANTOR PENGENDALIAN PERTANAHAN DAERAH (KPPD) DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

MELALUI IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH (IPPT) (Studi Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman)

Ditulis oleh : Deliana Vita Sari Djakaria NPM : 20131040011

Pembimbing : Rahmawati Husein, MCP., Ph.D

Yogyakarta, Desember 2016

Ketua Penguji

Rahmawati Husein, MCP., Ph.D

Tim Penguji

Penguji I Penguji II


(6)

v

Telah melaksanakan ujian tesis pada hari Kamis Tanggal 27 Oktober 2016 pukul 10.00 WIB bertempat di Gedung Pascasarjana ruang Studi Hall MIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk diberikan persetujuan revisi tesis, oleh:

Nama : Deliana Vita Sari Djakaria NPM : 20131040011

Judul : EFEKTIVITAS KANTOR PENGENDALIAN PERTANAHAN

DAERAH (KPPD) DALAM PENGENDALIAN

PEMANFAATAN RUANG MELALUI IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH (IPPT) (Studi Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman)

Pembimbing : Rahmawati Husein, MCP., Ph.D (……….) Penguji I : Dyah Mutiarin M. Si (……….) Penguji II : Dr. Zuli Qodir Dr. (……….)

Yogyakarta, Desember 2016

Mengetahui Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Dyah Mutiarin, M.Si NIK: 19711108201004 163 089


(7)

vi

Judul : EFEKTIVITAS KANTOR PENGENDALIAN PERTANAHAN DAERAH (KPPD) DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

MELALUI IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH (IPPT) (Studi Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman

Ditulis oleh : Deliana Vita Sari Djakaria NIM : 20131040011

Telah dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar dalam Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Yogyakarta, Desember 2016

Mengetahui Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Dyah Mutiarin, M.Si NIK: 19711108201004 163 089


(8)

vii

Tesis ini aku persembahkan untuk…

Orang tuaku tercinta. Papa TENG HENDRIK dan mama Hj.

WIRDA PAKAYA. Semoga selalu tercurahkan rahmat kesehatan dari Allah SWT kepada papa dan mama. Terima kasih, atas kasih sayang, doa, dan dukungan papa dan mama. Terima kasih juga telah berusaha untuk mewujudkan cita-cita anak kalian ini, mengantarkan Alink ke masa depan yang In Shaa Allah lebih baik, sesuai dengan isi dari doa mama papa. Maafkan Alink yang selalu membuat kalian khawatir. Kalian adalah orang tua yang terbaik di dunia.

Mertuaku tercinta. Papa ISMAIL AKUB dan mama MEIN

MANTU. Semoga selalu dalam lindungan-Nya. Terima kasih selalu mendoakan dan mendukung Alink. Semoga Alink bisa menjadi anak yang dapat memberi kebahagiaan kepada kalian. Terima kasih juga telah melahirkan anak yang saat ini menjadi suami.

Kakak-kakakku tersayang. DESI INDRIANI DJAKARIA dan

DEWI MARFIANTI DJAKARIA. Terima kasih telah

mengantarkan adik kalian ke masa depan yang lebih baik. Terima kasih juga telah membantu dalam materi. Terima kasih juga buat kakak ipar YORDANIAL HAMZA dan M. SYUKUR.


(9)

viii

KATILI.terima kasih selalu menyemangati kakak kalian ini.

Suamiku tercinta. BRIPTU APRIANTO AKUB. Terima kasih

selalu menjadi teman diskusi terbaik, selalu menyemangati untuk cepat lulus, selalu menjadi salah satu alasan untuk cepat pulang, selalu sabar mendengarkan keluh kesah dari istrimu yg sering ngeluh. Semoga selalu seperti itu lelaki peyabarku. You are my everything.

Ponakan-ponakan bude yang tersayang. VINZA MAKAYLA

HAMZA, M. ARKAHFI REZKI HAMZA, M. ARSAFIN ADITYA HAMZA, KINARA SADIKA MUNHAK HAMZA, ASYFA ADINKA SEANA HAMZA, KEYSA AURELIA PUTRI M SYUKUR, MAULIDYA WAHDANIA M SYUKUR, DAN SITTI KHUMAIRA M SYUKUR. Kalian selalu bisa membuat bude rindu dengan senyuman dan canda kalian. Semoga menjadi anak yang membanggakan orang tua.

Teman-teman yang selalu mendukung Alink. Ka ITA, LINA,


(10)

ix

Puji syukur akhirnya tesis ini berhasil diselesaikan dengan penuh perjuangan. Selain sebagai syarat untuk mendapatkan gelar M.IP dari Program Studi Magister Ilmu Pemrintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tesis ini merupakan jawaban atas rasa penasaran penulis tentang efektivitas KPPD dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terimakasih kepada semua pihak yang telas membantu dalam penulisan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Rahmawati Husein,MCP., PhD yang telah dengan sabar membimbing penulisan tesis ini dari awal sampai dengan proses penjilidtan, masukan, kritikan serta motivasi dari beliau adalah ilmu serta pengalaman yang berharga untuk penulis.

Terima Kasih kepada Dr. Dyah Mutiarin, M.Si dan Pak Dr. Zuli Qodir atas kritakan, saran serta kesediaan waktu membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini; kepada sahabat MIP (Ummi Zakiyah , Yulia Chandri, Eko, mas Sakir, mas Eki, kaka Azam yang tidak pernah lelah menyemangati dan mengingat untuk segera lulus) dan Teman-Teman MIP 06 dan MIP 07 teman diskusi terbaik. Tidak lupa juga terima kasih


(11)

x

Terima kasih kepada seluruh dosen, staff dan karyawan di lingkungan Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan ilmu, pengalaman, dukungan dan kemudahan selama melakukan studi dan penulisan tesis.

Penulis menyadari betul akan kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis dalam menyusun hasil penelitian ini. Maka dengan sangat rendah hati tulisan ini disampaikan kepada pembaca untuk ditanggapi dan diberikan saran serta kritik yang membangun demi kesempurnaan hasil penelitian ini, dan segala kekurangan dan kelemahan yang ada merupakan tanggung jawab penulis. Semoga karya ini bisa bermanfaat.

Yogyakarta, Desember 2016 Penulis,


(12)

xi

Izin penggunaan pemanfaatan tanah masih menjadi suatu permasalahan yang cukup rumit di Indonesia. Pemanfaatan ruang dibanyak daerah di Indonesia, dalam pelaksanaannya tidak selalu sejalan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pelanggaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, tekanan perkembangan pasar terhadap ruang, belum jelasnya mekanisme pengendalian dan lemahnya penegakan hukum. Pengendalian pemanfaatan ruang pada saat ini tidak efesien dan efektif, karena instrumen perizinan yang merupakan langkah awal dalam pengendalian pemanfaatan ruang sering saling bertentangan dan bahkan melanggar rencana tata ruang yang ada, contohnya di daerah Kecamatan Gamping banyak sekali pembangunan perumahan.

Pemanfaatan ruang sudah diatur dengan kebijakan dalam penyusunan RTRW (rencana tata ruang wilayah) melalui mekanisme pengendalian, dimana dalam mekanisme tersebut terdapat kegiatan pengawasan dan penertiban. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengawal berjalannya RTRW secara konsisten. Instrumen yang digunakan adalah melalui mekanisme perizinan pemanfaatan ruang. Izin Peruntukan Penggunaan Tanah atau disingkat IPPT menjadi tolak ukur bagi keberhasilan sebuah produk tata ruang ditinjau dari kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana pemanfaatan ruang yang ada dalam rencana tata ruang tersebut sebagai sebuah instrumen pengendalian pemanfaatan ruang.

Tujuan dalam penelitian ini yaitu mengetahui tentang Efektivitas Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) menjalankan dan menerapkan prosedur proses pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) di Kecamatan Gamping Kecamatan Sleman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu menggunakan pendekatan pada kenyataan yaitu data primer dan data sekunder. yang berhubungan dengan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, efektivitas KPPD dalam pengendalian pemanfaatan tanah belum efektif, dilihat dari empat indikator yang diteliti. Empat indicator tersebut yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Pengendalian pemanfaatan ruang di Kecamatan Gamping belum efektif, sebab mas5h banyak pelanggaran hukum dan peruntukan tanah yang tidak sesuai dengan yang ditentukan. Hal ini bisa dilihat dari empat indicator yang diteliti, yaitu; pengendalian melalui pengaturan perizinan, instrument ekonomi, pengendalian melalui pengadaan prasarana, dan pengendalian dengan melibatkan masyarakat/swasta.


(13)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

LEMBAR REVISI ... v

PENGESAHAN PROGRAM STUDI ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Rumusan Masalah ... 14

I.3 Tujuan Penelitan ... 15

I.4 Kegunaan Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Penelitian Terdahulu ... 16

II.2 Kerangka Teori ... 24

II.2.1 Pengendalian Pemanfaatan Ruang ... 24

II.2.2 Perubahan Pemanfaatan lahan... 34

II.2.3 Tata Cara Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang ... 37

II.2.4 Kedudukan Pemerintah dalam Penataan Ruang .. 63

II.2.5 Efektivitas Implementasi ... 71

II.3 Kerangka Pemikiran ... 97

II.4 Definisi Konseptual ... 97

II.5 Definisi Operasional ... 98

BAB III METODE PENELITIAN III.1 Jenis Penelitian ... 101

III.2 Lokasi Penelitian ... 103

III.3 Jenis Data ... 104

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 105

III.5 Unit Analisis Data ... 108


(14)

xiii

IV.1.2 Visi dan Misi Kabupaten Sleman ... 113

IV.1.3 Letak dan Luas Wilayah... 119

IV.1.4 Karakteristik Wilayah ... 123

IV.1.5 Kependudukan... 126

IV.2 Deskripsi Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah Kabupaten Sleman ... 127

IV.2.1 Dasar Hukum ... 127

IV.2.2 Visi dan Misi ... 128

IV.2.3 Tugas dan Fungsi ... 130

IV.2.4 Struktur Organisasi... 131

IV.3 Kebijakan Penataan Ruang Di Kabupaten Sleman ... 134

IV.3.1 Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Lindung ... 134

IV.3.2 Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Budidaya .. 135

IV.4 Konsep Tentang Tata Ruang ... 141

IV.4.1 Penataan Ruang ... 141

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN V.1 Efektivitas Pengendalian Pemanfaatan Ruang ... 150

V.1.1 Komunikasi KPPD Kab. Sleman dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang ... 150

V.1.2 Pengendalian Melalui Pengaturan oleh Pemerintah dalam Bentuk Perizinan ... 163

V.1.3 Instrumen Ekonomi ... 199

V.1.4 Pengendalian melalui pengadaan prasarana ... 208

V.1.5 Pengendalian dengan Melibatkan Masyarakat ... 214

V.2 Sumber Daya ... 226

V.2.1 Staf yang Terlibat dalam Pengendalian Pemanfaatan ruang ... 227

V.2.2 Informasi Dalam Melakukan Tugas Pengendalian Pemanfaatan Ruang ... 247

V.2.3 Wewenang Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah Kabupaten Sleman ... 261

V.2.4 Fasilitas ... 272

V.3 Disposisi ... 275


(15)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 296 LAMPIRAN


(16)

xv

Tabel I.1 Perubahan sawah/tegalan ke permukiman/tempat usaha

di Kabupaten Sleman tahun 1995 dan 2003 ... 9

Tabel I.2 Daftar perumahan di Kabupaten Sleman periode tahun 1990-1996 dan periode tahun 2002-2012 ... 11

Tabel II.1 Matrix Penelitian Terdahulu ... 21

Tabel III.1 Unit analisis Data ... 108

Tabel III.2 Teknik Pengambilan Sampel/Narasumber ... 109

Tabel IV.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Sleman . 120 Tabel IV.2 Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Sleman... 122

Tabel IV.3 Jumlah Penduduk Kabupaten Sleman Menurut Kecamatan ... 127

Tabel IV.4 Data Pegawai Kantor PengendalianPertanahan Daerah Kabupaten Sleman ... 133

Tabel V.1 Jumlah dan Jenis IPPT yang dikeluarkan Tahun 2014-2015 ... 187

Tabel V.2 IPPT yang diizinkan dan ditolak dari tahun 2010-2015 di Kabupaten Sleman ... 192

Tabel V.3 Jumlah dan jenis IPPT yang dikeluarkan di Kacamatan Gamping Tahun 2014-2015 ... 194

Tabel V.4 Permohonan izin yang masuk dan keluar di Kacamatan Gamping Tahun 2014-2015 ... 195


(17)

xvi

Gambar II.1 Pendendalian Pemanfaatan Ruang ... 34 Gambar II.2 Diagram alur izin IPPT (izin lokasi, izin penggunaan

tanah dan izin perubahan penggunaan tanah) ... 62 Gambar IV.1 Peta Administrasi Kabupaten Sleman ... 121 Gambar IV.2 Susunan organisasi Kantor Pengendalian

Pertanahan Daerah ... 132 Gambar IV.3 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman

Tahun 2005-2014 ... 139 Gambar V.1 Dokumentasi kegiatan bimbingan teknis KPPD

dengan instansi terkait ... 162 Gambar V.2 Dokumen yang secara hirarki harus ada ... 167 Gambar V.3 Bagan yang menggambarkan alur prosedur IPPT ... 186 Gambar V.4 Pelanggaran pemohon izin yang tidak menggunakan

izin sesuai dengan permohonannya ... 219 Gambar V.5 Rumah hunian yang dibangun di atas sarana irigasi .... 257 Gambar V.6 Papan Peringatan di Kacamatan Gamping... 259


(18)

xvii Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Surat Penunjukan Dosen Pembimbing

Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian dari Kantor KESBANGPOL Kabupaten Sleman


(19)

xi

Izin penggunaan pemanfaatan tanah masih menjadi suatu permasalahan yang cukup rumit di Indonesia. Pemanfaatan ruang dibanyak daerah di Indonesia, dalam pelaksanaannya tidak selalu sejalan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pelanggaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, tekanan perkembangan pasar terhadap ruang, belum jelasnya mekanisme pengendalian dan lemahnya penegakan hukum. Pengendalian pemanfaatan ruang pada saat ini tidak efesien dan efektif, karena instrumen perizinan yang merupakan langkah awal dalam pengendalian pemanfaatan ruang sering saling bertentangan dan bahkan melanggar rencana tata ruang yang ada, contohnya di daerah Kecamatan Gamping banyak sekali pembangunan perumahan.

Pemanfaatan ruang sudah diatur dengan kebijakan dalam penyusunan RTRW (rencana tata ruang wilayah) melalui mekanisme pengendalian, dimana dalam mekanisme tersebut terdapat kegiatan pengawasan dan penertiban. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengawal berjalannya RTRW secara konsisten. Instrumen yang digunakan adalah melalui mekanisme perizinan pemanfaatan ruang. Izin Peruntukan Penggunaan Tanah atau disingkat IPPT menjadi tolak ukur bagi keberhasilan sebuah produk tata ruang ditinjau dari kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana pemanfaatan ruang yang ada dalam rencana tata ruang tersebut sebagai sebuah instrumen pengendalian pemanfaatan ruang.

Tujuan dalam penelitian ini yaitu mengetahui tentang Efektivitas Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) menjalankan dan menerapkan prosedur proses pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) di Kecamatan Gamping Kecamatan Sleman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu menggunakan pendekatan pada kenyataan yaitu data primer dan data sekunder. yang berhubungan dengan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, efektivitas KPPD dalam pengendalian pemanfaatan tanah belum efektif, dilihat dari empat indikator yang diteliti. Empat indicator tersebut yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Pengendalian pemanfaatan ruang di Kecamatan Gamping belum efektif, sebab mas5h banyak pelanggaran hukum dan peruntukan tanah yang tidak sesuai dengan yang ditentukan. Hal ini bisa dilihat dari empat indicator yang diteliti, yaitu; pengendalian melalui pengaturan perizinan, instrument ekonomi, pengendalian melalui pengadaan prasarana, dan pengendalian dengan melibatkan masyarakat/swasta.


(20)

1 I.1 Latar Belakang

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penataan ruang. Pemanfaatan ruang dibanyak daerah di Indonesia, dalam pelaksanaan sering atau tidak selalu sejalan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian atau pelanggaran tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, tekanan perkembangan pasar terhadap ruang, belum jelasnya mekanisme pengendalian dan lemahnya penegakan hukum (Law enforcement), (Taufik: 2005).

Kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek-aspek pelaksanaan (pemanfaatan ruang) atau sebaliknya bahwa pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang. Syahid (2003) menyebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang pada saat ini tidak efesien dan efektif, karena instrumen perizinan yang merupakan langkah awal dalam pengendalian pemanfaatan ruang sering saling bertentangan dan bahkan melanggar rencana tata ruang yang ada, contohnya di daerah Kecamatan Gamping banyak


(21)

sekali pembangunan perumahan. Disisi lain, meningkatnya kegiatan pembangunan berakibat pada kebutuhan akan lahan bertambah. Hal ini berakibat alokasi peruntukan lahan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang tidak lagi mampu mengakomodasi perkembangan yang terjadi sehingga terjadi pelanggaran tersebut (Taufik: 2005).

Pemanfaatan tanah sangat dipengaruhi oleh tuntutan pelaku pasar, berkembang pesat dan sebagian besar menerobos ke dalam fungsi lahan kegiatan lain. Akibatnya muncul fenomena perubahan pemanfaatan lahan yang sering kali menimbulkan dampak negara terhadap lingkungan dan transportasi. Oleh karena itu diperlukan upaya pengendalian pemanfaatan lahan yang dirumuskan berdasarkan pola perkembangan pemanfaaan lahan dan kesesuaiannya dengan tata ruang (Taufik: 2005).

Pemanfaatan ruang sudah diatur dengan kebijakan dalam penyusunan RTRW (rencana tata ruang wilayah) melalui mekanisme pengendalian, dimana dalam mekanisme tersebut terdapat kegiatan pengawasan dan penertiban. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengawal berjalannya RTRW secara konsisten. Instrumen yang digunakan adalah melalui mekanisme perizinan pemanfaatan ruang seperti izin prinsip, izin lokasi dan perizinan lain yang berhubungan


(22)

dengan pemanfaatan ruang, termasuk di dalam izin mendirikan bangunan (Taufik: 2005).

Izin Peruntukan Penggunaan Tanah atau disingkat IPPT menjadi tolak ukur bagi keberhasilan sebuah produk tata ruang ditinjau dari kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana pemanfaatan ruang yang ada dalam rencana tata ruang tersebut sebagai sebuah instrumen pengendalian pemanfaatan ruang (Wicaksono: 2015). IPPT baru dilaksanankan sejak ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 19 Tahun 2001. Peraturan Daerah ini mengakomodasikan dan mengintegrasikan berbagai jenis izin pemanfaatan lahan atau penggunaan lahan yang ada seperti izin lokasi, dan izin prinsip yang sebelumnya dilaksanakan oleh berbagai instansi di daerah, seperti BPN dan bagian Tata Pemerintahan di Sekretarian Daerah. Lebih terintegrasi lagi pelaksanannya setelah dibentuk Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) pada tahun 2004 yang mempunyai kewenangan melaksanakan urusan daerah dibidang pertanahan termasuk pengendaliannya (Wicaksono: 2015).

Guna meningkatkan efektivitas pemanfaatan ruang dilakukan upaya pengendalian tata ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT), site plan dan izin mendirikan banguan (IMB). Izin


(23)

Peruntukan Penggunaan Tanah merupakan izin awal dalam pemanfaatan lahan, sehingga site plan dan IMB bisa diberikan apabila seseorang atau badan telah mendapatkan IPPT terlebih dahulu. Izin ini harus didapatkan oleh masyarakat sebelum menggunakan lahan untuk berbagai kepentingan yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya, lingkungan dan sesuai dengan tata ruang (Taufik: 2005).

Dalam pelaksanaannya IPPT pertama kali masih ditangani oleh beberapa instansi yang mempunyai bidang urusan pertanahan. Instansi tersebut antara lain Kantor Pertanahan, bagian Tata Pertanahan Sekda, bagian Pemerintahan Sekda, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah dan Perhubungan (Kimpraswilgub). Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat memberikan sebagian urusan pemerintahan dibidang pertanahan kepada daerah, dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2003 Tentang membentuk instansi atau lembaga pemerintahan daerah yang secara khusus menangani urusan Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2003 tentang perubahan pertama atas Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2000 tentang organisasi perangkat daerah (Wicaksono: 2015).


(24)

Penelitian ini berangkat dari adanya teori penataan ruang yang seharusnya dengan perencanaan yang ada maka pemanfaatan ruang di daerah berjalan sesuai dengan rencana atau tidak terjadi pelaksanaan rencana tata ruang. Namun pada kenyataannya pelanggaran terhadap rencana tata ruang masih banyak terjadi. Hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan ruang sebagian dari proses penataan ruang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pelanggaran banyak dilakukan oleh masyarakat dan badan pemerintah sendiri yang berkewajiban mengendalikan pemanfaatan ruang tersebut.

Dengan kondisi tersebut maka diperlukan adanya mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang, agar rencana tata ruang ditaati. Pemanfaatan ruang harus senantiasa memperlihatkan daya dukung lingkungan sehingga kesinambungan keberadaan ruang akan terjaga bagi generasi yang akan datang. Sebagai instrumen pengendalian pemanfaaatan tata ruang salah satunya adalah izin pemanfaatan ruang. Di Kabupaten Sleman salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang adalah melalui mekanisme izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT), sebagai syarat awal bagi seluruh penggunaan lahan. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang izin penggunaan tanah. IPPT ini terdiri dari lima jenis izin yang berkaitan dengan penggunaan lahan (Wicaksono: 2015), yaitu :


(25)

1. Izin lokasi

2. Izin pemanfaatan lahan

3. Izin perubahan penggunaan tanah atau yang lebih dikenal dengan izin peringatan

4. Izin konsolidasi tanah

5. Izin penetapan pembangunan untuk kepentingan umum.

Dengan perizinan tersebut tidak ada perubahan penggunanan lahan yang tidak seizin pemerintah dengan keluasan berapapun sehingga diharapkan pemanfaatan ruang benar-benar terkendali.

Berangkat dari ditetapkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang yang berimplikasi pada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan penata ruang daerah. Proses perencanaan penataan ruang daerah menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang menjadi dasar bagi pelaksanan pembangunan secara keruangan atau bersifat spasial. Rencana tata ruang menjadi dasar bagi perencanan pembangunan pemerintahan melalui program dan kegiatan yang dilaksanakan setiap tahun. Demikian juga menjadi pijakan semua unsur daerah untuk mentaati, termasuk pihak swasta dan masyarakat (Taufik: 2005).


(26)

Di Kabupaten Sleman terjadi perubahan fungsi lahan dengan mudah dilakukan, padahal Kabupaten Sleman telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah. Menurut Nurmandi (2006:250):

Pembangunan perumahan “Merapi View‟ merupakan salah satu contoh kesulitan Pemda untuk konsekuen dengan melaksanakan tata ruang wilayah. Proyek ini ditulangpungggungi oleh “orang” berpengaruh di Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga terpaksa izin prinsip dan izin lokasi dikeluarkan.

Disisi lain dengan semakin meningkatnya pembangunan, baik diskala kota atau daerah membutuhkan lahan yang terus meningkat. Ketersediaan lahan sebagai sumber daya alam terbatas dan tidak akan pernah bertambah. Oleh karena itu, sering terjadi konflik dalam penggunaan lahan, baik konflik dalam hal kepemilikan, penguasaan maupun konflik peruntukannya dikaitkan dengan arahan fungsi lahan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Konflik ini juga terjadi sebagai konflik horizontal antar masyarakat, maupun vertikal antara pemerintah dengan masyarakat. Konflik antara pemerintah dan masyarakat bisa terjadi karena kebutuhan penggunaan lahan, artinya ketika pemerintah memerlukan lahan maka akan melakukan pengadaan tanah dengan jalan membebaskan lahan masyarakat dengan cara menyewa, membeli


(27)

atau mencabut hak atas tanah. Hal ini seringkali menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan menghambat pembangunan. Konflik lain yang terjadi adalah kepentingan pemerintah untuk rencana tata ruang dengan kebutuhan masyarakat untuk melakukan aktifitas diatas lahan yang di miliki atau di kuasai sering sekali tidak sesuai dengan rencana tata ruang (Wicaksono: 2015).

Sejak tahun 1988-2002 di Kabupaten Sleman atau selama 14 tahun terdapat peningkatan lahan terbangun yang sebelumnya sawah, tegalan dan peruntukan lain disemua wilayah kecamatan. Wilayah kecamatan yang perubahan penggunaan lahannya tertinggi tiga besar dari 17 (tujuh belas) adalah masing-masing Kecamatan Gamping, Kecamatan Ngaglik dan Kecamatan Depok. Dalam kurun waktu tersebut peningkatan peruntukan pekarangan (build up area) sebesar 867 ha (1,5% dari total wilayah Kabupaten Sleman), yang terutama berasal dari lahan sawah (697 ha; 2,7% dari total lahan sawah), sebagian besar lainnya dari kategori lain-lain yang meliputi lahan tandus, belukar dan hutan (143,6 ha) dan sebagian kecil tegalan (26 ha). Bila diperhatikan secara keruangan, pergeseran penggunaan lahan terjadi pada kawasan-kawasan yang tumbuh menjadi perkotaan di sepanjang jalan-jalan utama dan di sekitar kawasan perguruan tinggi. Jalan-jalan yang pesat pertumbuhannya


(28)

seperti Jalan Ringroad Utara dan Ringroad Barat, Jalan Yogya-Prambanan, Jalan Godean, Jalan Kaliurang, Jalan Yogya-Magelang dan Jalan Yogya-Wates (Alhalik: 2006).

Berikut gambaran perubahan lahan persawahan dan tegalan di Kabupaten Sleman yang menjadi tempat usaha dan permukiman tahun 1995 dan tahun 2003.

Tabel I.1

Perubahan sawah/tegalan ke permukiman/tempat usaha di Kabupaten Sleman tahun 1995 dan 2003

No Kecamatan

Luas (Ha) 1995 Luas (Ha) 2003 Persen (%) 1995 Persen (%) 2003

1 Godean 1,983 0,5076 7.91 2.51

2 Gamping 3,6255 4,9065 14.47 24.26

3 Depok 2,2800 3,0456 9.10 15.26

4 Berbah 0.8464 0,7976 3.38 3.94

5 Mlati 1,8156 1,1392 7.25 5.63

6 Ngaglik 5,6981 3,1591 22.74 15.62 7 Cangkringan 0,3222 0,0500 1.29 0.25

8 Ngemplak 2,5037 0,0907 9.99 0.45

9 Pakem 1,4030 0,4799 5.60 2.37

10 Sleman 1,5076 1,8480 6.02 9.14

11 Moyodan 0,2370 0,0579 0.95 0.29

12 Seyegan 0,2780 0,2442 1.11 1.21

13 Turi 0,3475 0,1869 1.39 0.92

14 Minggir 0,0780 - 0.31 0.00

15 Kalasan 1,1840 0,4996 4.72 2.47

16 Tempel 0,8075 3,1660 3.22 15.65

17 Pranbanan 0,1414 0,0500 0.56 0.25

Total 25,0639 19,2285 100 100


(29)

Pada tabel I.1 diatas nampaknya bahwa pada tahun 1995 di Kecamatan Gamping terdapat perubahan fungsi lahan dari sawah/tegalan ke lahan non pertanian sebesar 14.47%, sementara di tahun 2003 meningkat menjadi 24.26% dan merupakan perubahan terbesar dari kecamatan-kecamatan yang berbatasan langsung dengan wilayah administrasi Kota Yogyakarta.

Perkembangan perumahan di Yogyakarta sangatlah tinggi, dimana sejak tahun 1973 hingga tahun 2001 telah dibangun 35.356 unit rumah yang tersebar di 269 lokasi di seluruh DIY. Dari data yang ada, Kabupaten Sleman mengalami perkembangan pembangunan perumahan yang cukup besar dari tahun 2004 hingga tahun 2009, yaitu 700 kompleks perumahan dengan skala kecil, menengah maupun skala yang besar. Pada tahun 2010, tercatat ada sebanyak 51 izin pemanfaatan tanah untuk perumahan di beberapa lokasi. Pada tahun 2011 dikeluarkan sebanyak 33 izin pemanfaatan tanah untuk perumahan, sebanyak 25 buah merupakan lokasi perumahan baru (Nugroho: 2012).

Jenis izin pemanfaatan tanah yang paling banyak peruntukannya adalah untuk perumahan, baik skala kecil terdiri 4-10 rumah per setiap unitnya, atau perumahan skala besar. Demikian juga perumahan yang bertaraf sedang maupun perumahan mewah.


(30)

Sebagaiman diketahui wilayah Kabupaten Sleman menjadi tujuan para pengembang untuk menanamkan modalnya membangun perumahan. Dari jumlah 391 izin pemanfaatan tanah yang diberikan lebih 150 buah izin merupakan izin untuk pembangunan perumahan/rumah, belum lagi izin yang diberikan untuk pembangunan rumah pondokan atau rumah pertokoan (ruko). Jadi saat ini perumahan di Kabupaten Sleman jumlahnya mencapai ratusan lokasi dari berbagai pengembang yang ada. Pada saat pameran properti perumahan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Sleman pada tahun 2005, tercatat ada 59 pengembang yang mengikuti dan memiliki properti perumahan di Kabupaten Sleman (Wicaksono: 2015).

Tabel I.2

Daftar perumahan di Kabupaten Sleman periode tahun 1990-1996 dan periode tahun 2002-2012

No Kecamatan Tahun

1990-1996

Tahun 2002-2012

1 Depok 19 13

2 Gamping 4 10

3 Mlati - 17

4 Ngaglik 18 21

5 Ngemplak 12 4

Jumlah 53 65


(31)

Dari tabel I.2 diatas bisa dilihat pertambahan perumahan dari tahun ke tahun di Kabupaten Sleman meningkat pesat, pertumbuhan yang paling pesat terjadi di Kecamatan Ngaglik yaitu pada tahun 1990-1996 terdapat 18 perumahan, kemudian di tahun 2002-2012 bertambah 21 perumahan baru yang dibangun oleh pembangun. Sedangkan di Kecamatan depok juga mengalami peningkatan yang begitu besar yaitu di tahun 1990-1996 berjumlah 19, kemudian di tahun 2002-2012 bertambah 13 perumahan. Di kecamatan gamping cukup terjadi peningkatan dari tahun 1990-1996 hanya 4 perumahan tapi terjadi peningkatan perumahan pada tahun 2001-2012 yaitu sebanyak 10 perumahan yang dibangun.

Jenis izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) yang paling banyak adalah izin perubahan penggunaan tanah atau pengeringan sebanyak 236 buah, yang diberikan untuk pembangunan rumah tinggal pribadi/perseorangan. Selanjutnya ada;ah izin PT, yang diberikan untuk kegiatan usaha, sebanyak 64 buah izin. Izin yang lain relatif sedikit dan tidak ada izin konsolidasi tanah yang diurus warga (Wicaksono: 2015).

Kecamatan Gamping yang paling terlihat pertumbuhan yang sangat pesat, itu bisa dilihat perkembangan di daerah Banyunogo (Desa Banyuraden dan Desa Nogotirto) yang merupakan pintu


(32)

masuk dan langsung berbatasan dengan kota Yogyakarta bagian barat. Secara administrasi, sebagian wilayah kawasan Banyunogo yang masuk dalam kawasan perencanaan hanya pencangkup 7 dusun dari 16 dusun yang ada di kedua desa tersebut, luas bagian wilayah yang masuk dalam kawasn perencanaan sebesar kurang lebih 365.35 ha (12.2 %) dari luas wilayah Kecamatan Gamping (Taufik: 2005).

Beberapa hal yang mempengaruhi perkembangan kawasan Banyunogo itu antara lain karena predikat fungsional kawasan Banyunogo dalam perannya antara pertumbuhan dan perkembangan kota-kota, arahan perkembangan dari kepentingan perencanaan yang lebih luas kawasan Banyunogo hadir sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem perkembangan kota-kota. Secara fungsional, kawasan Banyunogo memiliki dua peranan penting. Pertama, kawasan Banyunogo mengembang fungsi sebagai wadah kegiatan bagi warga masyrakatnya sendiri dalam memenuhi kebutuhan. Kedua, peran kawasan Banyunogo dalam fungsi eksternal merupakan kawasan yang memiliki hubungan yang saling berkaitan dengan kota Yogyakarta dalam jajaran tertentu yang membentuk suatu komunitas kota yang saling mendukung dalam memenuhi kebutuhannya untuk aktifitas kehidupan manusia secara lebih luas (Taufik: 2005).


(33)

Di Kecamatan Gamping terdapat ancaman pada lahan persawahan untuk pembangunan perumahan baik yang dibangun oleh developer maupun perorangan, kondisi ini akan semakin mempersempit lahan pertanahan dan tidak menutup kemungkinan akan merambah ke daerah cagar budaya yang terdapat di sekitar lahan persawahan di kawasan Banyunogo Kecamatan Gamping. Berdasarkan gambaran tersebut, kemungkinan terjadinya konflik penggunaan dan pemanfaatan serta pengaturan ruang menjadi lebih besar (Taufik:2005), oleh karena itu perencanaan pemanfaatan ruang di kawasan Banyunogo dapat dipandang suatu kegiatan yang perlu segera ditangani oleh Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah Kabupaten Sleman dengan menggunakan salah satu instrumen yaitu dengan izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT).

I.2 Rumusan Masalah

Izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) digunakan sebagai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang di daerah Kabupaten Sleman. Maka rumusan permasalahannya adalah Efektivitas Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) menjalankan dan menerapkan prosedur proses pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman ?


(34)

I.3 Tujuan Penelitan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tentang Efektivitas Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) menjalankan dan menerapkan prosedur proses pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) di Kecamatan Gamping Kecamatan Sleman.

I.4 Kegunaan Penelitian a. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan bahan pertimbangan untuk meningkatkan langkah-langkah untuk mengetahui sejauh mana strategi Kantor Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD) melakukan pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah agar mengikuti rencana tata ruang yang sudah ditetapkan. b. Manfaat teoritis

Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana strategi KPPD melakukan pengendalian pemanfaatan ruang melalui perizinan peruntukan penggunaan tanah (IPPT) mengatasi pemasalahan pemanfaatan lahan yang semestinya berdasarkan rencana tata ruang tata wilayah yang telah ditetapkan.


(35)

16 II.1 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian tentang pengendalian pemanfaatan ruang yang telah dilakukan antara lain :

Penelitian pertama, tesis dengan judul efektivitas pengendalian tata ruang kasus pengendalian di Kota Singkawang Propinsi Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan oleh Andrizal (2007), Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efekivitas dalam pengendalian tata ruang yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu, perangkat peraturan, kapasitas aparatur dan kapasitas masyarakat yang diperkirakan mempengaruhi pengendalian tata ruang dalam penelitian ini, sedangkan efektivitas diukur dengan melihat perbandingan antara bangunan berizin dan bangunan tidak berizin.

Penelitian ini dilakukan di Kota Singkawang yang merupakan kota yang baru terbenuk pada tahun 2001 dan merupakan kota kedua terbesar di Propinsi Kalimantan Barat. Hasil


(36)

penelitiannya bahwa pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Singkawang pada saat ini tidak efektif dan efisien, faktor terpenting yang menyebabkan adalah kurang dan tidak jelasnya perangkat peraturan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang yang dimiliki oleh pemerintah daerah, peraturan yang dimiliki hanya mengenai perizinan.

Penelitian kedua oleh Taufik Rokhman (2005) penelitian berjudul efektivitas implementasi izin penggunaan tanah (IPT) sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten Sleman. Pemerintah Kabupaten Sleman telah memiliki peraturan IPT sebagai alat pengendalian pemanfaatan tanah, namum demikian dalam pelaksanaannya masih banyak terjadi kekurangan, antara lain acuan penggunaan tanah (rencana tata ruang dan Perda tentang IPT) maupun mekanisme proses pengurusan IPT itu sendiri. Masih banyak perumahan yang dibangun pengenbang belum memiliki IPT, mayoritas perumahan yang belum mengantongi IPT tersebut telah selesai dibangun, padahal IPT merupakan syarat yang harus dimiliki oleh pengembang sebelum dibangun perumahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa imlementasi IPT didalam upaya pengendalian pembangunan perumahan oleh pengembang belum efektif, ini dibuktikan dengan


(37)

adanya kenyataan bahwa di wilayah penelitian dari 12 (duabelas) lokasi hanya 1 (satu) lokasi yang telah mengantongi IPT.

Penelitian ketiga, penelitian ini dilakukan oleh Satria Wicaksono (2015) dengan judul pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan penggunaan tanah di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Pengendalian pemanfaatan ruang saat ini tidak efektif dan efisien karena instrumen perizinan yang merupakan langkah awal dalam pengendalian pemanfaatan ruang sering saling bertentangan dan bahkan melanggar tata ruang yang ada di Kabupaten Sleman untuk mengendalikan pemanfaatan ruang salah satu instrumen yang digunakan adalah IPPT. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian atau ketidaksesuaian pengguna lahan dibandingkan dengan IPPT yang diberikan, menganalisis kinerja dan efektivitas IPPT dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hasil penelitian menunjukan bahwa IPPT secara umum belum secara efektif bisa mengendalikan pemanfaatan lahan pada khusunya dan pengendalian pemanfaatan ruang secara umum.

Penelitian keempat, penelitian dengan judul pengendalian pemanfaatan lahan rawa studi kasus ruas jalan Patal-Pusri Kecamatan Ilir timur II Kota Palembang, penelitian dilakukan oleh


(38)

Amir Usman (2004). Tujuan penelitiannya yaitu untuk mengetahui tingkat efektivitas proses pengendalian lahan rawa ruas jalan Patal-Pusri Kecamatan Ilir timur II Kota Palembang dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efektifitas proses pengendalian penimbunan rawa pada suatu kawasan, terutama pada jalur sepanjang ruas jalan Patal-Pusri Kecamatan Ilir timur II Kota Palembang. Tolak ukur efektifitas pengendalian rawa adalah Perda Nomor 13 Tahun 2002.

Dari hasil analisis efektif kebijaksanaan ini dilihat dari periode tahun 1992-2002, dimana terjadi perubahan pemanfaatan lahan. Berdasarkan data rekapitulasi (IMB) dan mengacu pada RTRW Kota Palembang. Hal ini menunjukan efektifitas pemberlakuan Perda Nomor 13 Tahun 2002 sangat rendah karena pelanggaran tidak berkurang sedikitpun tapi malah berkembang sangat pesat. Masalah sosialisasi dan penegakan hukum yang kurang tegas merupakan penyebab dari pelanggaran ini.

Penelitian kelima, penelitian ini dilakukan oleh Sri Restuti Nur Hidayah (2008) dengan judul persepsi masyarakat terhadap gagasan sistem pengendalian pemanfaatan lahan partisipatif di Kabupaten Sleman. Tujuan penelitian ini adalah unuk mengetahui apakah kemungkinan sistem pengendalian pemanfaatan ruang


(39)

secara partisipatif bisa ditetapkan di masyarakat desa dan masyarakat kota khususnya di Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukukan adanya dugaan bahwa respon masyarakat desa lebih bersifat emosional karena ikatan ketetanggaan yang kental, sehingga jenis kegiatan yang akan dibangun dianggap perlu minta persetujuan warga terlebih dahulu. Sedangkan respon masyarakat kota kemungkinan lebih bersifat rasional yaitu berdasarkan aspek gangguan yang ditimbuklan oleh kegiatan tersebut, sehingga perlu tidaknya persetujuan tergantung pada besar kecilnya gangguan yang akan ditimbulkan oleh suatu kegiatan.

Penelitian keenam, penelitian dilakukan oleh Ahi (MPKD: 2001), meneliti tentang Pengaruh faktor organisasi pada efektivitas perizinan sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang (perizinan kegiatan industri di Kota Kudus). Hasil penelitiannya faktor organisasi mempengaruhi terhadap efektivitas penerapan perizinan sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota Kudus Khususnya dalam mengarahkan pembangunan industri besar pada zona perubahan sesuai dengan RUTRK yang telah ditetapkan.


(40)

Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, maka perbedaan yang lebih menonjol adalah penelitian ini terletak pada pembahasan tentang sejauh mana Kanor Pengendalian Pertanahan Daerah Kabupaten Sleman (KPPD) melakukan pengendalian pemanfaatan ruang dengan melihat salah satu instrumen pengendalian yaitu izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) di Kacamatan Gamping Kabupaten Sleman.

Tabel: II.1

Matrix Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti

Tahun Terbit

Judul Penelitian Temuan/Hasil Penelitian 1 Andrizal

(2007)

Efektivitas

pengendalian tata ruang kasus pengendalian di Kota Singkawang Propinsi

Kalimantan Barat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efekivitas dalam pengendalian tata ruang yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, variabel-variabel dalam penelitian ini yaitu, perangkat peraturan, kapasitas aparatur dan kapasitas masyarakat yang diperkirakan mempengaruhi pengendalian tata ruang dalam penelitian ini, sedangkan efektivitas diukur dengan melihat perbandingan antara bangunan berizin dan bangunan tidak berizin. 2 Taufik

Rokhman (2005)

Efektivitas

implementasi izin penggunaan tanah (IPT) sebagai instrumen

pengendalian

Masih banyak perumahan yang dibangun pengenbang belum memiliki IPT, mayoritas perumahan yang belum mengantongi IPT tersebut telah selesai


(41)

pemanfaatan ruang di Kabupaten Sleman.

dibangun, padahal IPT merupakan syarat yang harus dimiliki oleh pengembang sebelum dibangun perumahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa imlementasi IPT didalam upaya pengendalian pembangunan perumahan oleh pengembang belum efektif, ini dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa di wilayah penelitian dari 12 (duabelas) lokasi hanya 1 (satu) lokasi yang telah mengantongi IPT. 3 Satria

Wicaksono (2015)

Pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin peruntukan

penggunaan tanah di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian atau ketidaksesuaian pengguna lahan dibandingkan dengan IPPT yang diberikan, menganalisis kinerja dan efektivitas IPPT dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Hasil penelitian menunjukan bahwa IPPT secara umum belum secara efektif bisa mengendalikan pemanfaatan lahan pada khusunya dan pengendalian pemanfaatab ruang secara umum.

4 Amir Usman (2004)

Pengendalian pemanfaatan lahan rawa studi kasus ruas jalan Patal-Pusri Kecamatan Ilir timur II Kota Palembang

Dari hasil analisis efektif kebijaksanaan ini dilihat dari periode tahun 1992-2002, dimana terjadi perubahan pemanfaatan lahan. Berdasarkan data rekapitulasi (IMB) dan mengacu pada RTRW Kota Palembang. Hal ini menunjukan efektifitas pemberlakuan Perda Nomor 13 Tahun 2002 sangat rendah karena pelanggaran tidak berkurang sedikitpun tapi malah berkembang sangat pesat. Masalah sosialisasi dan


(42)

penegakan hukum yang kurang tegas merupakan penyebab dari pelanggaran ini. 5 Sri Restuti Nur

Hidayah (2008)

Persepsi masyarakat

terhadap gagasan sistem

pengendalian pemanfaatan lahan partisipatif di Kabupaten Sleman

Hasil penelitian menunjukukan adanya dugaan bahwa respon masyarakat desa lebih bersifat karena ikatan ketetanggaan yang kental, sehingga jenis kegiatan yang akan dibangun dianggap perlu minta persetujuan warga terlebih dahulu. Sedangkan respon masyarakat kota kemungkinan lebih bersifat rasional yaitu berdasarkan aspek gangguan yang ditimbuklan oleh kegiatan tersebut, sehingga perlu tidaknya persetujuan tergantung pada besar kecilnya gangguan yang akan ditimbulkan oleh suatu kegiatan.

6 AHI (2001) Pengaruh faktor organisasi pada efektivitas

perizinan sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang (perizinan kegiatan industri di Kota Kudus).

faktor organisasi mempengaruhi terhadap efektivitas penerapan perizinan sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota Kudus Khususnya dalam mengarahkan pembangunan industri besar pada zona perubahan sesuai dengan RUTRK yang telah ditetapkan.


(43)

II.2 Kerangka Teori

II.2.1 Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian adalah segala urusan atau kegiatan menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki serta sesuai pula dengan ketentuan dan kebijakan yang berlaku. Sujamto, 1986 (dalam Andrizal: 2007).

Pengendalian tata ruang atau pemanfaatan ruang menurut Undang-undang penataan ruang merupakan kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang, pengawasan diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi. Penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi (Andrizal: 2007).

Pengendalian dilakukan agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian dilakukan melalui kegiatan pengawasan, dalam hal ini adalah usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan


(44)

fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Pengendalian dilakukan dengan penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Pengendalian pemanfaatan ruang selain melalui kegiatan pengawasan dan penertiban juga meliputi mekanisme perizinan. Ditjen Bangda Pepdagri, 2000 (dalam Satria Wicaksono: 2015).

Pemanfaatan ruang tidak bisa dilepaskan dengan pemanfaatan permukaan guna lahan, karena pada umumnya pemanfaatan ruang yang terjadi adalah pemanfaatan daratan atau permukaan tanah atau lahan. Oleh karena itu, pengendalian pemanfaatan ruang bisa dikatakan identik dengan pengendalian pemanfaatan ruang atau pengendalian alih fungsi lain lahan itu sendiri. Pengendalian dan pengawasan pengembangan tanah atau lahan adalah suatu upaya untuk dapat secara kontinyu dan konsisten mengarahkan pemanfaatan, penggunaan dan pengembangan tanah secara terarah, efisien dan efektif sesuai dengan rencana tata ruang yang telah di tetapkan. Jayadinata, 1999 (dalam Usman: 2004)


(45)

Pengendalian pemanfaatan ruang adalah proses kegiatan yang mengikuti, mengamati, dan mendudukan pelaksanaan pembangunan di lapangan agar supaya berdaya guna dan berhasil guna mencapai tujuan yang ditetapkan sesuai dengan rencana dan kebijakan yang telah ditentukan (Permendagri Nomor 9 Tahun 1988).

Menurut Bernstein, 1994 (dalam Andrizal: 2007) menyatakan secara umum upaya pengendalian dapat dilakukan melalui empat instrumen, yaitu:

1. Pengendalian melalui pengaturan oleh pemerintah yang biasanya diterapkan dalam bentuk perizinan bagi kagiatan-kegiatan tertentu yang terkait dengan pemanfaatan lahan (regulatory instrumrns)

2. Instrumrn ekonomi, yakni pengendalian melalui tindakan-tindakan yang bersifat ekonomis seperti pemberian insentif dan disinsentif, penerapan pajak atau retribusi bagi kegiatan pembangunan disuatu kawasan sesuai dengan kepentingannya

3. Pengendalian yang dilakukan melalui pengadaan prasarana dasar pada suatu tempat yang diharapkan dapat berkembang sesuai fungsinya


(46)

4. Pengendalian yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat atau swasta, baik berupa partisipasi maupun dalam bentuk kemitraan

Menurut Green (dalam Fanani: 2014), bentuk pengendalian penggunaan lahan kedalam kelompok bahasan yaitu pengendalian perencanaan (planning control) dan pengendalian bangunan (building planning). Pengendalian perencanaan menurutnya dapat berupa suatu rencana suatu pembangunan (development plan), bagian dari pengendalian bangunan menurutnya adalah peraturan bangunan. Berhubung dengan hal itu, pengendalian dan pengawasan pengembangan lahan di dasarkan kepada : 1. Kebijakan umum pertanahan (Land policy)

2. Rencana tata ruang yang pengembangannya telah dilandasi oleh kesepakatan bersama masyarakat 3. Komitmen nasional mengenai pemanfaatan dan

penggunaan lahan untuk kepentingan perkembangan sosial dan ekonomi

4. Kriteria pengakomodasikan dinamika perkembangan masyarakat


(47)

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di lapangan sering kali terjadi tidak sesuai. Hal ini bisa dipahami dengan mengetahui faktor penggunan lahan, yang menurut pendapat Kaiser, dkk, 1979 (dalam Fanani: 2014) adalah pertama sistem aktifitas kota. Sistem aktifitas kota adalah cara manusia dan lembaganya seperti lembaga rumah tangga, lembaga perusahan, lembaga pemerintahan dan lain-lain. Mengorganisasikan berbagai aktifitasnya dalam rangka mengetahui berbagai kebutuhan hidupnya dan berinteraksi satu dengan lainnya dalam waktu dan ruang.

Kedua, sistem pengembangan lahan yaitu suatu proses konversi dan rekonversi lahan dan proses penyesuaiannya untuk berbagai penggunaan lahan dalam skala waktu dan ruang sesuai dengan sistem aktifitas kotanya. Dalam kaitannya dengan lahan perkotaan sistem ini berpengaruhi dalam penyediaan lahan kota dan didalam perkembangnya dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi kota dan penguasaan ilmu dan teknologi dalam mengeliminasian adanya limitasi terhadap lahan yang dimanfaatkan.


(48)

Ketiga, sistem lingkungan adalah sistem kehidupan biotik dan abiotik karena proses ilmiah yang bertitik tolak pada kehidupan tumbuhan dan hewan, dan proses-proses fundamental yang berhubungan dengan air dan udara. Sistem ini menyediakan tempat bagi kelangsungan hidup manusia yang habitat serta sumber daya lain guna mendukung kehidupan manusia. Sistem lingkungan dalam hal ini lebih berfungsi sebagai sumber daya yang mendukung sistem tersebut di atas dan berada pada posisi penyedian lahan.

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu piraniti dari manajemen pengelolaan kota yang sangat diperlukan oleh pemerintah daerah untuk memastikan bahwa perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruang telah berlangsung sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Dengan adanya kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, maka akan dapat diketahui dan sekaligus dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya penyimpangan fungsi ruang yang tidak terkendali dan tidak terarah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang (Fanani: 2014).


(49)

Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang akan berfungsi secara efektif dan efisien bilamana didasarkan pada sistem pengendalian yang menyediakan informasi yang akurat tentang adanya penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi di lapangan dan ketegasan untuk memberikan reaksi yang tetap bagi penyelesaiaan simpangan-simpangan yang terjadi di lapangan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Maryatun: 2005).

Sejalan dengan hal tersebut, Smith Marc T (dalam Maryatun:2005) mengatakan bahwa pengendalian penggunaan lahan erat hubungannya dengan manajemen pertumbuhan yang merupakan alat unuk mengimplemantasikan rencana fisik/keruangan. Tujuan atau sasaran pengendalian penggunaan lahan adalah manajemen pertumbuhan (growth manajement) yaitu implementasi peraturan-peraturan pemerintah yang mengendalikan tipe, lokasi, kualitas, skala, kecepatan urutan/waktu pengembangan. Growth manajement yang canggih terkait erat dengan rencana tata guna lahan komprehensif dan kebijakan pengembangan yang spesifik.


(50)

Manajemen pertumbuhan dilakukan melalui empat perangkat/instrumen:

1. Instrumen pengaturan, seperti permintaan perizinan lokasi, perizinan bangunan, zoning merupakan konsep yang sederhana, yaitu membagi wilayah keruangan menjadi zona-zona atau distrik-distrik. Tiga hal yang diatur dalam zona ini : (1) guna lahan dan bangunan; (2) intensitas penggunaan lahan dan ukuran, peraturan zoning diwujudkan peta zoning dengan macam-macam zona. Perizinan lokasi adalah perizinan pembangunan perumahan atau kegiatan fungsional lainnya yang dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengendalikan pengembangan pemanfaatan dan penggunaan lahan dan mengarahkan ke lokasi-lokasi yang tepat guna dari segi peyediaan sarana prasarana. Sedangkan perizinan bangunan adalah perizinan untuk melaksanakan pembangunan fisik diatas lahan yang telah ditetapkan izin lokasi.

2. Instrumen kebijakan penempatan fasilitas pelayanan umum untuk mengarahkan pembangunan seperti kebijakan pemenuhan fasilitas infrastruktur, seperti


(51)

kebijakan pembangunan transportasi berupa pembangunan jalan antar kota dan perumahan, yaitu dengan memberikan subsidi perumahan.

3. Instrumen sumber-sumber pendapatan seperti pajak 4. Instrumen pengeluaran atau belanja langsung dan

tidak langsung pemerintah seperti pemberian lahan dan insentif pajak perumahan

Syahrul Ibrahim, 1998 (dalam Maryatun: 2005) menguraikan tentang mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang yaitu sebagai berikut:

1. Pengawasan, suatu usaha atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang yang dilakukan dalam bentuk:

a. Pelaporan, usaha atau kegiatan memberikan informasi secara objektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan rencana tata ruang

b. Pemantauan, usaha atau kegiatan mengamati, mangawasi dan memeriksa dengan cermat


(52)

perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang c. Evaluasi, usaha atau kegiatan menilai kemajuan

kegiatan pemanfaatan ruang secara keseluruhan setelah terlebih dahulu dilakukan kegiatan pelaporan dan pemantauan untuk mencapai tujuan rencana tata ruang

2. Penertiban, usaha atau kegiatan untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Pengenaan sanksi berkenan dengan penertiban adalah (1) sanksi administratif, dapat berupa tindakan pembatalan izin dan pemcabutan hak. (2) sanksi perdata, dapat berupa tindakan pengenaan denda atau pengenaan ganti rugi. (3) sanksi pidana, dapat berupa tindakan penahanan atau kurungan.


(53)

Gambar: II.1 Pendendalian Pemanfaatan Ruang.

Sumber: Maryatun, 2005

II.2.2 Perubahan Pemanfaatan lahan

Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana merupakan gejala umum yang terjadi di kota-kota besar yang pesat pertumbuhannya. Perubahan pemanfaatan lahan dari peruntukan yang direncanakan umumnya disebabkan oleh ketidaksesuaian antara pertimbangan yang mendasari arahan rencana dengan pertimbangan pelaku pasar. Disatu sisi, peruntukan lahan harus mempertimbangkan kepentingan umum serta ketentuan teknis dan lingkungan yang berlaku, sedangkan disisi lainnya kepentingan pasar dan dunia usaha mempunyai kekuatan yang tidak selalu dapat ditahan. Kedua faktor yang saling berlawanan ini diserasikan untuk Laporan perubahan pemanfaata an ruang Pengawasan Pemanfaatan Penertiban Pemanfaatan Pengendalian Pemanfaatan Pemantauan penyipangan pemanfaatan ruang Evaluasi rencana pemanfaata an ruang Sanksi administratif Sanksi perdata Sanksi pidana


(54)

memperoleh arahan pemanfaatan lahan yang optimal, yaitu yang dapat mengakomodasi kebutuhan pasar dengan meminimumkan dampak sampingnya dapat merugikan kepentingan umum. Optimasi yang memuaskan semua pelaku yang terlibat tidak selalu dapat tercapai, dan ini juga tidak selalu sama untuk kasus-kasus dan lokasi pemanfaatan lahan yang dihadapi (Fanani: 2014).

Perubahan pemanfaatan lahan dapat mengacu pada dua hal yang berbeda, yaitu pemanfaatan lahan sebelumnya atau rencana tata ruang perubahan yang mengacu pada pemanfaatan sebelumnya adalah suatu pemanfaatan baru atas lahan yang berbeda dengan pemanfaatan lahan yang sebelumnya, sedangkan perubahan yang mengacu pada rencana tata ruang adalah pemanfaatan baru atas tanah atau lahan yang tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam rencana tata ruang wilayah yang telah disahkan Permendagri No. 4 Tahun 1996 tentang pedoman perubahan pemanfaatan lahan kota. (Fanani: 2014).


(55)

Jenis perubahan pemanfaatan lahan dapat dibagi menjadi tiga cakupan yaitu sebagai berikut (Fanani:2014): 1. Perubahan fungsi (use), adalah perubahan jenis

kegiatan

2. Perubahan intesnitas, mencakup antara lain KBD, KLB, dan kepadatan bangunan

3. Perubahan teknis bangunan, mencakup antara lain perubahan GSB, tinggi bangunan, dan perubahan minor lainnya tanpa mengubah fungsi dan intensitasnya.

Konfik atau ketidaksesuaian kepentingan antara dua pihak atau lebih terhadap satu atau lebih masalah, sering terjadi dalam perubahan pemanfaatan lahan. Pihak-pihak yang sering konflik ini berkaitan langsung dengan aktor-aktor yang terlibat didalam perubahan pemanfaatan tanah (Taufik: 2005), yaitu :

1. Developer (Investor), merupakan pihak yang menuntut perubahan pemanfaatan lahan yang biasanya lebih memperhitungkan keuntungan yang akan dipengaruhi dari pada memperhitungkan dampak eksternalitas negatif terhadap pihak lain, dan


(56)

bila disadari pun developer atau investor tidak mau menanggungnya.

2. Pemerintah, adalah pihak yang berhadapan dan langsung dengan dampak negatif perubahan pemanfaatan lahan serta terhadap penataan dan pelayanan kota secara keseluruhan.

3. Masyarakat, adalah pihak yang sering terkena dampak negatif suatu perubahan pemanfaatan lahan, seperti kemacatan lalu lintas, berkurangnya kenyamanan dan privasi.

II.2.3 Tata Cara Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Tata cara pelaksanaan pengendalian atau peraturan pemanfaatan ruang bisa dilihat dalam beberapa prosedur, yaitu sebagai berikut (Fanani: 2014)

1. Prosedur pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pembangunan

Peraturan pelaksanaan ruang diterapkan pada: (1) pembangunan baru; (2) peremajaan lingkungan; dan (3) perbaikan lingkungan. Pada kawasan yang sudah terbangun terdapat beberapa alternatif pelaksanaan


(57)

peraturan penataan ruang: (1) dikenakan secara langsung; (2) dikenakan pada saat akan melakukan rahabilitasi atau pembangunan kembali; dan (3) diberi jangka waktu untuk menyesuaikan dengan rencana. 2. Prosedur perubahan pemanfaatan ruang

Prakarsa perubahan pemanfaatan ruang dapat diajukan oleh masyarakat yang terdiri dari kelompok masyarakat termasuk perorangan, badan hukum, maupun badan usaha, pemerintah kabupaten/kota, dan dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota. a. Prosedur perubahan sementara

1. Permohonan mengajukan usulan kepada Walikota/Bupati

2. Dinas tata kota atau dinas yang berwenang dalam penataan ruang melakukan kajian terhadap usulan pemohon

3. Hasil kajian dibahas ditingkat pimpinan 4. Hasil tersebut ditindaklanjuti dengan


(58)

5. Apabila disepakati hasil dengar pendapat diberikan kepada Walikota/Bupati akan ditindaklanjuti

b. Prosedur perubahan tetap, mengikuti proses teknis perubahan kecil dan besar

c. Prosedur perubahan kecil:

1. Pemohon mengajikan permohonan perubahan disertai dengan persyaratan administrasi

2. Pemeriksaan kelengkapan administrasi dan pemeriksaan kesesuaian dengan rencana (RTRW,RDTR, RTRK,dan RTBL)

3. Rumusan rekomendasi keputusan dan besarnya biaya yang harus dikenakan

4. Pengambilan keputusan

5. Penentuan besarnya tarif retribusi yang harus dibayar oleh pemohon

6. Pembayaran retribusi bila pemohon sesuai dengan besar yang ditentukan bila tidak mengajukan keberatan pada tim penilai 7. Pengesahan perubahan


(59)

8. Penertiban izin perubahan pemanfaatan ruang

9. Penertiban izin mendirikan bangunan (perubahan)

d. Prosedur perubahan besar

1. Pomohon mengajukan permohonan perubahan disertai dengan persyaratan administrasi

2. Pemeriksaan kelengkapan administrasi dan pemeriksaan kesesuaian dengan rencana (RTRW, RDTR, RTRK dan RTBL)

3. Pemeriksaan terhadap visi dan misi pembangunan kota untuk perubahan yang diajukan dengan penilaian teknis planologis serta dampak sosial ekonomi yang juga berlaku untuk perubahan besar lainnya, yaitu spot zoning dan penambahan intensitas ≥10% dan ketentuan teknis yang ada dalam rencana


(60)

5. Perumusan rekomendasi keputusan yang didasarkan pada penilaian seluruh aspek dari permohonan yang diajukan baik dalam dampak positif, dampak negatif maupun pertimbangan dari masyarakat sekitar. Rekomendasi ini hendaknya mengikat pengambilan keputusan. Apabila rekomendasi tunggal, maka pengembalian keputusan harus memutuskan sesuai rekomendasi dan bila terdiri atas beberapa alternatif pengambilan keputusan sesuai rekomendasi dan bila terdiri dari beberapa alternatif pengambilan keputusan harus mengambil keputusan salah satu dari yang direkomendasikan

6. Pengambilan keputusan 7. Penentuan besarnya retribusi 8. Penarikan retribusi

9. Pembayaran retribusi 10. Pengesahan perubahan


(61)

11. Penertiban izin perubahan pemanfaatan lahan

12. Penertiban izin mendirikan bangunan

e. Prosedur administrasi perubahan pemanfaatan ruang

1. Prosedur administrasi perubahan kecil

Setiap permohonan pemohon perlu melakukan prmohonan perubahan kepada lembaga berwenang untuk mengeluarkan izin perencanaan dan mengetahui ketentuan teknis pendirian suatu bangunan. Karena tidak melibatkan perubahan pemanfaatan lahan, maka dalam pengeluaran izinnya tidak harus mendapatkan persetujuan dari pihak perwakilan rakyat. Lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan izin perencanaan dapat segera langsung memberikan keputusan apakah suatu permohonan dapat dikabulkan atau tidak .Permohonan ini harus dikenakan sejumlah biaya atau retribusi karena meskipun dinilai


(62)

kecil tetap telah melakukan penyimpangan terhadap rencana yang telah ditetapkan. 2. Prosedur administrasi perubahan besar

a. Seluruh dampak baik yang positif maupun negatif yang mungkin muncul akibat pembangunan

b. Visi dan misi pengembangan kota serta seluruh kebijksanaan dan program rencana yang akan dijalankan

c. Melibatkan pihak perwakilan rakyat dalam pengambilan keputusan atas suatu permohonan perubahan pemanfaatan lahan mengingat dampak yang mungkin terjadi akan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Selain itu mengingat bahwa rencana yang telah ditetapkan merupakan produk hukum yang ditetapkan dengan Perda yang harus mendapatkan persetujuan dari DPRD


(63)

d. Mempertimbangkan seluruh pendapat dan keberatan dari berbagai pihak dengan melakukan public hearing (dengar pendapat) untuk mendapatkan opini dari berbagai pihak. Dengar pendapat ini dilaksanakan oleh pihak yang berwenang yang juga menetukan hari, waktu dan tempat pelaksanaan serta melakukan pemberitahuan kepada khalayak dan diikuti oleh masyarakat yang diperkirakan akan terkena dampaknya secara langsung, msayarakat yang keberatan dengan permohonan pembangunan ataupun orang-orang yang peduli dengan masalah permohonan izin pembangunan ini. Dengar pendapat ini dilakukan dalam rangka membantu dalam memutuskan suatu permohonan pembangunan


(64)

3. Prosedur pengenaan atau penerapan insentif dan disinsentif

a. Hanya pemerintah daerah yang berhak memberikan insentif dan disinsentif b. Pemerintah daerah menerapkan kegiatan

atau pemanfaatan ruang yang akan diberikan insentif dan disinsentif pada suatu kawasan atau wilayah tertentu, sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan akan berdasarkan kriteria pengenaan insentif dan disinsentif

c. Pemerintah menerapkan jenis insentif dan disinsentif pada jenis kegiatan atau pemanfaatan ruang pada kawasan atau wilayah tersebut

d. Pemerintah memberlakukan atau menerapkan jenis insentif dan disinsentif tersebut pada saat permohonan pembangunan diajukan baik oleh


(65)

perorangan, kelompok masyarakat maupun badan hukum

4. Prosedur peran masyarakat

Bentuk peran serta masyarakat dalam peraturan pemanfaatan ruang dijelaskan sebagai berikut:

a. Dalam pelaksanaan peraturan zonasi 1. Bantuan pemikiran dan

pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan peraturan zonasi

2. Penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata ruang dan program pembangunan termasuk pelaksana peraturan zonasi

3. Perubahan atau konversi pemanfaatan ruang yang sesuai dengan peraturan zonasi

4. Bantuan teknik dan pengolahan dalam pemanfaatan ruang


(66)

5. Kegiatan menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup

b. Dalam pengendalian pelaksana peraturan zonasi

1. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang skala kota, kecamatan dan kawasan, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksana pemanfaatan ruang kawasan yang dimaksud dan/atau sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya lainnya

2. Memberikan masukan atau laporan tentang masalah yang berkaitan dengan perubahan atau penyimpangan pemanfaatan ruang dari peraturan zonasi yang telah disepakati


(67)

3. Bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang c. Tata cara peran serta masyarakat dalam

pelaksanaan peraturan zonasi disesuaikan dengan jangka waktu pelaksana prosesnya sendiri, antara lain: 1. Bersifat periodik, jangkah

menengah, dapat dibuat panetia khusus yang sifatnya ad-hoc atau tidak permanen. Panetia khusus ini dibentuk untuk lingkup perencanaan RTRW kota/kabupaten RDTR maupun RTRK/RTBL

2. Bersifat sepanjang waktu atau sewaktu-waktu karena berbasis pada kasus-kasus yang terjadi dapat dibentuk komite perencanaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi khusus dibidang perencanaan kota dan bersifat independen serta


(68)

mempunyai kewenangan legal formal untuk menindaklanjuti persoalan-persoalan penataan ruang II.2.3.1 Perizinan Pemanfaatan Ruang

Dalam pasal 37 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, menjelaskan bahwa ketentuan perizinan dalam hal ini adalah izin permanfaatan ruang diatur oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Di Kabupaten Sleman, izin pemanfaatan ruang diatur dalam Perda Kabupaten Sleman Nomor 19 Tahun 2001 tentang izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) dalam pasal 4 dijelaskan bahwa IPPT terdiri atas: izin lokasi, izin pemanfaaan tanah, izin perubahan penggunaan tanah, izin konsolidasi tanah, dan izin penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Adapun ketentuan-ketentuan mengenai


(69)

masing-masing jenis izin telah diatur dalam Perda tersebut (Wicaksono: 2015).

Dalam pasal 2 Perda Nomor 19 Tahun 2001 tentang izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) tersebut dijelaskan bahwa setiap orang pribadi dan atau badan yang menggunakan tanah untuk kegiatan pembangunan fisik dan atau untuk keperluan lain yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya dan lingkungan wajib memperoleh izin peruntukan penggunaan tanah dari bupati. Jadi tidak semua jenis banguan atau kegiatan diwajibkan mendapatkan IPPT namun hanya diwajibkan bagi kegiatan yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial dan lingkungan. Bagi jenis bagunan atau kegiatan diluar ketentuan IPPT maka ada ketentuan lain yaitu wajib mendapatkan izin gangguan (HO), kecuali rumah tinggal pribadi /perseorangan hanya wajib izin mendirikan bangunan (IMB). Namum demikian izin gangguan (HO) ini juga diwajibkan bagi jenis


(70)

usaha/kegiatan yang wajib IPPT sebelum operasional kegiatan (Hidayah: 2008).

Perizinan pemanfaatan ruang terdiri atas tiga jenis perizinan yang memiliki struktur, sebagai berikut:

1. Perizinan peruntukan dan perolehan lahan berkaitan dengan penetapan lokasi investasi dan perolehan tanah dalam bentuk izin lokasi.

2. Perizinan pengembangan pemanfaatan lahan berkaitan dengan rencana pengembangan kualitas ruang dalam bentuk Persetujuan Site Plan.

3. Perizinan mendirikan bangunan berkaitan dengan pembangunan tata ruang dan tata bangunan dalam bentuk Izin Mendirikan Bangunan.

Izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan dalam rangka pengerahan lokasi penanaman modal sesuai dengan peraturan daerah tentang tata ruang wilayah


(71)

sekaligus sebagai izin untuk pelaksanaan perolehan tanah, serta berlaku pula sebagai pemindahan hak atas tanah. Pada prinsipnya izin lokasi merupakan instrumen pelaksanaan tata ruang (pembangunan) untuk kepentingan penanaman modal (investment). Oleh karena itu, harus dicatat bahwa mendiskusikan izin lokasi selalu terkait dengan sektor swasta. Namun demikian, sektor publik juga terkadang memerlukan izin lokasi untuk proyek pemerintah. Dalam pembangunan perumahan dan permukiman, Izin Lokasi merupakan jenis izin pertama yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan pembebasan tanah yang akan dikembangkan untuk proyek perumahan dan permukiman tersebut. Pengembangan suatu kawasan dengan luasan lebih dari satu hektar mengharuskan pemrakarsa untuk memiliki Izin Lokasi tersebut, yang didefinisikan izin penunjukkan penggunaan tanah yang diberikan kepada suatu perusahaan, seluas yang


(72)

benar-benar diperlukan untuk pembangunan perumahan. (Johannes Tulung, 2004, dalam Alkhalik, 2006)

Adapun peraturan mengenai izin gangguan (HO) di Kabupaten Sleman tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2001 tentang izin gangguan. Dalam petunjuk pelasanaan Perda tersebut yaitu keputusan Bupati Sleman Nomor 15/Kep.KDH/A/2004, khususnya pada formulir pendaftaran yang tertuang dalam lampiran keputusan bupati tersebut, ada form bukti persetujuan tetangga sebelah depan, belakang, kanan dan kiri, dimana tetangga tersebut keberatan atau tidak keberatan yang disertai dengan nama dan tangga tangan (Hidayah: 2008).

Sedangkan ketentuan mengenai jenis peruntukan tanah yang wajib memiliki izin pemanfaatan tanah tertuang dalam pasal 9 keputusan Bupati Sleman Nomor


(73)

53/Kep.KDH/A/2003 tentang petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman nomor 19 Tahun 2001 tentang izin peruntukan penggunaan tanah, bahwa jenis peruntukan tanah yang wajib dimiliki izin pemanfaatan tanah sebagai berikut (Hidayah: 2008):

1. Permukiman

a. Perumahan dengan ketentuan ≥ 4 unit dalam 1 lokasi

b. Pondokan dengan ketentuan ≥ 10 kamar tidur

c. Rumah sewa dengan ketentuan ≥ 4 unit dalam 1 lokasi

2. Pendidikan

a. Perguruan tinggi dengan ketentuan untuk semua keluasan

b. SD/SLTP/SMU dengan ketentuan untuk semua keluasan


(74)

c. Taman kanak-kanak atau kelompok bermain dengan ketentuan untuk semua keluasan

d. LPK/kursus dengan ketentuan luas lantai ≥ 100 M2 atau ditepi jalan arteri/kolektor primeil untuk semua keluasan

3. Perkantoran atau sejenisnya dengan ketentuan untuk semua keluasan

4. Perhotelan dan sejenisnya dengan ketentuan untuk semua keluasan

5. Perdagangan/jasa

6. Industri dan gudang kecuali industri rumah tangga dengan ketentuan untuk semua keluasaan

7. Rumah sakit/balai pengobatan/rumah bersalin dengan ketentuan untuk semua keluasan

8. Perternakan dengan ketentuan untuk semua keluasan


(75)

9. Sarana ibadah umum dengan ketentuan untuk semua keluasan

10. Sarana olahraga dengan ketentuan luas tanah ≥ 5000 M2

11. Pembengunan makam baru/perluasan makam untuk umum dengan ketentuan untuk semua keluasan

12. Tower/menara dengan ketentuan luas tanah ≥ 25 M2/dengan ketinggian tower ≥ 20 M 13. Tempat pembuangan sampah/depo sampah

dengan ketentuan luas tanah ≥ 100 M2 14. Stasiun televisi/radio dengan ketentuan

untuk semua keluasan

15. Rumah produksi hiburan dengan ketentuan untuk semua keluasan

Menurut Undang-undang Penataan Ruang, disebutkan mengenai perizinan dan pemanfaatan ruang antara lain sebagai berikut : 1. Perizinan pemanfaatan ruang adalah salah

satu bentuk pengendalian pemanfaatan ruang dapat berlangsung sesuai fungsi


(1)

Penyampaian isi tugas pengendalian belum merata kepada seluruh para pelaksana tugas. Pada indikator komunikasi ini ada sub indikator lagi, yaitu tranmisi, kejelasan dan konsisten. Dari ketiganya tranmisi atau penyaluran komunikasi ini yang cukup banyak terdapat kesalahan. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh KPPD.

Sumber daya di KPPD belum efektif. Dilihat dari aspek yang diteliti, yaitu staf, informasi, wewenang dan fasilitas. Staf yang menjadi faktor utama KPPD belum efektif. Dari kualitas dan kuantitas kurang baik, staf di Kantor KPPD jumlahnya kurang, dan tingkat pendidikan para staf KPPD tidak memenuhi untuk tugas pengendalian. Hampir setengah dari jumlah staf KPPD tingkat pendidikannya hanya SMA.

Disposisi di KPPD belum diberlakukan. Aspek yang diteliti yaitu pengangkatan birokrat dan insentif. Pengangkatan birokrat belum berlaku di KPPD, dan pemberian insentif kepada pegawai yang berprestasi tidak ada di KPPD.

Struktur birokrasi pada KPPD tidak ada SOP yang dibuat sehingga tanggung jawab pada tugas pengendalian belum bisa dilihat. Dalam melakukan tugas pengendalian KPPD kekurangan pegawai sehingga kualitas dan kuantitas tidak seimbang dalam melaksanakan tugas. Terbukti masih banyak pelanggaran pengguna tanah di Kecamatan Gamping, cukup banyak juga terdapat ahli fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan tanah khususnya dan pengendalian ruang umumnya, belum berjalan secara efektif. Kinerja IPPT secara umum belum menunjukan hasil yang baik. Dilihat dari pengendalian melalui pengaturan perizinan, banyak pelangaaran terutama pada aspek izin perubahan penggunaan tanah. Banyak dari tanah persawahan dirubah ke tanah pekarangan. Pada tahun 2015 terdapat permohonan izin yang masuk sebanyak 541 dan izin yang keluar sebanyak 360. Jumlah ini lebih banyak jadi permohonan izin untuk peruntukan izin tanah yang lain.


(2)

Instrumen ekonomi aspek yang diteliti, yaitu pemberian insentif dan disinsentif serta panarikan retribusi. Pemberian insentif dan disinsentif belum diberlakukan di Kabupaten Sleman. Diaman masyarakat yang mengurus izin pemanfaatan tanah yang sesuai dengan peraturan yang ada tidak mendapatkan penghargaan, dan pemohon izin yang tidak mengikuti prosedur tata ruangpun hanya mendapatkan sanksi berupa pembongkaran bangunan yang dibangun, belum adanya hukum penjara bagi pelanggar.

Pengendalian melalui pengadaan prasarana di Kecamatan Gamping masih sangat minim, fasilitas umum di Kabupaten Gamping masih kurang. Belum ada ruang terbuka hijau.

Pengendalian dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Aspek yang diteliti yaitu, masyarakat melalukan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang dan memberikan masukan atau laporan tentang masalah yang berkaitan dengan perubahan atau penyimpangan pemanfaatan ruang. Masyarakat diminta melapor kepada KPPD jika terdapat pelanggaran pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan tata ruang. Namum banyak masyarakat yang t\belum paham akan tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga jika terdapat pelanggran yang dilakukan masyarakat hanya diam.

VI. 2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Peraturan tentang IPPT perlu ditinjau lagi, sebab peraturan-peraturan yang ada masih belum dipahami oleh masyarakat, dan peraturan IPPT belum efektif pelaksanaannya. 2. Perlu diperbaiki cara penyampaian tugas pengendalian pertanahan kepada para pelaksana.


(3)

3. Perlu dilakukan peningkatan kemampuan sumber daya manusia pegawai KPPD Kabupaten Sleman, baik dari kualitas maupun kuantitas yang melaksanakan tugas pengendalian pertanahan melalui IPPT.

4. Hal yang menyangkut peraturan IPPT, baik dalam bentuk peraturan daerah atau ketentuan petunjuk pelaksanaan lainnya, perlu diteliti kembali agar aturan yang dibuat itu benar-benar komprehensif, tidak tumpang tindih dan menghindari celah untuk dipersepsikan lain oleh masyarakat.

5. Pelaksanaan koordinasi perlu diperbaiki agar tidak menimbulkan penilaian yang tumpang tindih antar instansi saat memberikan pertimbangan izin. Perlu diperjelas kembali tugas dari setiap instansi dalam tim IPPT, sesuai bidang kewenangan masing-masing.

6. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap IPPT dan tata raung memang perlu ditingkatkan melalui upaya-upaya yang efektif. Sosialisasi perlu dilakukan sesering mungkin, sebab walaupun IPPT telah berjalan lebih dari 10 tahun, tetapi masih banyak warga masyarakat yang belum mengetahui, atau ada yang mengetahui, tetapi tidak paham.

7. Pengawasan terhadap IPPT perlu dilakukan secara konsisten. Pengawasan harus dilakukan secara rutin, tanpa memandang ada atau tidak ada laporan pelanggaran masyarakat. Oleh karena itu, perlunya alokasi dana yang cukup untuk mengawal ditegakkannya peraturan daerah tentang IPPT ini. Pemberian sanksi yang tegas pada pelanggar IPPT perlu ditegaskan, terlebih lagi bagi yang melanggar penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Ketidaktegasan pemerintah dalam penetapan sanksi, akan membuat masyarakat merasa tidak takut atau jera untuk melanggar.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alhalik, 2006. Efektivitas Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman

Agustina, Nofitri, 2011. Kajian Pngendalian Pemanfaatan Ruang Di Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat. Nusa Tenggara Barat

Andrizal. 2007. Efektivitas Pengendalian Tata Ruang Kasus Pengendalian Pembangunan di Kota Singkawang.

Budihardjo, Eko, 1995. Pendekatan Sistem Dalam Tata Ruang Pembangunan Daerah. Penerbit Gadjah Mada Yogya. Yogyakarta

Budihardjo, Eko, 1997. Tata Ruang Perkotaan. Penerbit PT, Alumni Bandung Dunn. William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan oleh

Wibawa Samudara, et.al., Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press.Yogjakarta

Fanani, Fahril, 2014. Kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Dalam Penerapan Paraturan Zonasi Sebagai Instrumen Pengendalian

Pemanfaatan Ruang Di Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Yogyakarta. Fitriyani, Santi Putri, 2014. Bentuk dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam

Pengelolaan Prasarana Sanitasi Program Sanimas di Kampung Warungboto Kota Yogyakarta

Hidayah, Sri Restuti Nur, 2008. Persepsi Masyarakat Terhadap Gagasan Sistem Pengendalian Pemanfaatan Lahan Partisipatif di Kabupaten Sleman.

Kodoatie, Robert J, 2005. Pengantar Manajemen Infrastruktur. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Maleong, Lexy J, 2005. Metodologi Peneliian Kualitatif, Edisi Revisi, Remaja


(5)

Maryatun, Erny, 2005. Efektivitas Perizinan sebagai Salah Satu Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang (Studi Kasus Pemanfaatan Rencana Tata Ruang RDTRK) Di Desa Sidoarum dan Desa Sidokarto Kecamatan Godean Kabupaten Sleman. MPKD-UGM. Yogyakarta.

Mazmanaian, D. Dan Paul, S. 1983. Implementation and Public Policy. Harper Collins. New York

Nugroho, Anung Kasuwardi, 2012. Strategi Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah Kabupaten Sleman Dalam Mengendalikan Lahan Pertanian Di Kabupaten Sleman.

Nurmandi, Achmad, 2006. Manajemen Perkotaan; Aktor, Organisasi, Pengelolaan Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia,

(Yogyakarta: Sinergi Publishing & Laboratorium Ilmu Pemerintahan dan Manajemen Publik FISIP UMY, 2006), hal 250

Purwanto, Erwan Agus. 2012. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Gava Media. Jogjakarta.

Rokhman, Taufik, 2005. Efektivitas Implementasi IPT sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Sleman.

Setijaningrum, Erna, 2005. Keefektifan Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lahan Eks Tanah Ganjaran di Kota Surabaya.

Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (mixed methods). Bandung. Alfa Beta, 2012

Usman, Amir, 2004. Pengendalian Pemanfaatan Lahan Rawa studi kasus Ruas Jalan Patal-Pusri Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang.

Wicaksono, Satria, 2015. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui IPPT di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman.


(6)

Yulianti, Bani Putri, 2015. Evaluasi Penataan Permukiman Kumuh (studi kasus Program Peremajaan Kawasan Tegalpanggung di Kota Yogyakarta. Peraturan-peraturan:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1992. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2003. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1997. Peraturan Mentri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1997 Tentang Pemetaan Penggunaan Tanah Perkotaan, Kemampuan Tanah dan

Penggunaan Simbol/Warna untuk Perjanjian dalam Peta

Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Kabupaten Sleman. 2001. Peraturan Daerah Kabupeten Sleman Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Izin Peruntukan Penggunaan Tanah

Peraturan Pemerintah Kabupaten Sleman. 2003. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Perubahan Pertama atas Perda Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2000 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sleman.