Frambusia

(1)

REFERAT

FRAMBUSIA

KHAIRINA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

I. PENDAHULUAN ... 1

II. SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI ... 1

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS ... 2

IV. GEJALA KLINIS ... 2

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM ... 7

VI. DIAGNOSIS BANDING... 8

VII. PENATALAKSANAAN ... 9

VIII. PROGNOSIS ... 10

IX. KESIMPULAN ... 10


(3)

FRAMBUSIA

I. PENDAHULUAN

Penyakit frambusia yang juga dikenal dengan pian di Prancis, bouba di Spanyol dan paru di Malaysia adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman Treponema pallidum subspesies pertenue.

Treponema termasuk dalam famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Terdapat empat morfologi subspesies Treponema pallidum yang identik yaitu : T.pallidum subspesies

pallidum yang menyebabkan penyakit sifilis, T.pallidum subspesies pertenue yang menyebabkan penyakit frambusia, T.pallidum subspesies endemicum yang menyebabkan penyakit bejel (sifilis endemik) dan T. pallidum subspesies carateum yang menyebabkan penyakit pinta.

1-4

Penyakit frambusia biasanya menyerang pada anak-anak usia dibawah 15 tahun dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta pada masyarakat dengan sosio ekonomi rendah.

3,5

Penyakit ini menyebar ke kulit ekstragenital dengan kontak melalui bekas lesi yang terbuka, luka lecet, atau luka bekas gigitan.

2-4,6-8

4

Pengobatan penyakit frambusia sangat mudah yaitu dengan Benzatin Penisilin sekali suntik dapat menyembuhkan luka-luka akibat penyakit ini.

2,4

II. SEJARAH DAN EPIDEMIOLOGI

Di dunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika (seperti Ghana, Togo, Benin) , Asia (seperti Indonesia, Papua dan Pulau Solomon), Amerika Selatan (seperti Colombia, Guyana, Peru, Ekuador dan Brazil) dan Amerika Tengah serta Kepulauan Pasifik. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu 1954-1963, ditemukan penurunan kasus yang dramatis. Selama periode 1990-an, frambusia merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang hanya terdapat di tiga negara Asia Tenggara yaitu India, Indonesia dan Timor Leste.

Di Indonesia, penyakit ini seharusnya sudah dapat dibasmi sejak Pelita III karena penanganannya sangat sederhana, tetapi kenyataannya penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan.

10


(4)

Program Nasional Departemen Kesehatan Penyakit Lepra dan Frambusia melaporkan peningkatan yang tetap sejumlah kasus yang baru sejak tahun 2001. Program ini melaporkan 7751 kasus baru dari 5 propinsi sampai akhir Oktober 2009 dan 7400 kasus diantaranya dilaporkan di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan daerah endemik.11

Penyakit ini terjadi pada daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi dan suhu panas secara terus menerus diatas 27

0

C yaitu Afrika, Amerika Selatan, Caribbean, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Penyakit ini banyak ditemui pada penduduk pedesaan, terutama di daerah yang padat penduduk, sosial ekonomi rendah, serta kebersihan yang kurang baik perorangan maupun lingkungan.1-4.6,9

Frambusia paling sering terjadi pada anak-anak dibawah umur 15 tahun dengan insidensi puncak pada umur 6-10 tahun. Frambusia pada usia muda lebih banyak pada laki-laki sedangkan pada usia dewasa lebih banyak pada perempuan.

2-4,6-8

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Frambusia disebabkan oleh T.pallidum subspesies pertenue yang berbentuk spiral yang pertama kali ditemukan oleh Castellani pada tahun 1905. Treponema pertenue bersifat tidak tahan kering, tidak tahan dingin dan tidak tahan panas. Secara morfologi, Treponema pertenue sulit dibedakan dengan Treponema pallidum. Treponema pertenue berkembang biak sangat lambat yaitu setiap 30-33 jam pada manusia dan binatang percobaan,dimana hamster merupakan host yang paling baik untuk subspesies pertenue ini, tetapi tidak dapat tumbuh dalam media kultur.

Frambusia didapat dari kontak langsung dengan kulit yang mengalami abrasi, tergigit atau ekskoriasi. Beberapa ahli berpendapat penyakit ini dapat ditansmisikan oleh serangga ataupun peralatan-peralatan yang dipakai bersama. Apabila Treponema pertenue yang masuk kedalam kulit cukup virulen dan banyak, dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia maka Treponema pertenue akan berkembang biak dan menyebar di dalam tubuh kemudian menimbulkan gejala penyakit. Sebaliknya jika Treponema pertenue

yang masuk kedalam kulit tidak cukup virulen dan tidak banyak, dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia maka Treponema pertenue tidak dapat berkembang biak dan mati tanpa menimbulkan gejala penyakit.

3,4,12

1-4,6,8,13

IV. GEJALA KLINIS

Manifestasi klinis dari frambusia dibagi menjadi stadium dini (termasuk primer dan skunder) dan stadium lanjut penyakit (tersier).


(5)

- Stadium Primer

Setelah masa inkubasi selama 10-90 hari (rata-rata 3 minggu), lesi primer atau yang disebut dengan “mother yaw” muncul pada tempat inokulasi, biasanya pada bagian tubuh yang terpapar, terutama ekstremitas bawah. Ciri-ciri lesi primer yaitu: tidak keras, sering gatal, menginfiltrasi, diikuti dengan nodul kecil eritematosa yang tumbuh dengan ukuran 1 – 5 cm. Permukaan lesi primer ini berbentuk papilomatosa dan berkrusta. Lesi primer biasanya hanya satu, tetapi dapat ditemukan adanya lesi satelit, yang akan bersatu membentuk plak.Lesi primer ini pada akhirnya menjadi ulkus dengan dasar lesi berbentuk seperti buah frambus (rasberry),yang akan dilapisi oleh krusta kuning. Buba-buba tersebut biasanya terletak berdekatan (diikuti dengan pembesaran kelenjar limfe). Lesi mother yaw akan sembuh spontan dalam 2–6 bulan,meninggalkan jaringan parut atrofi dan hipopigmentasi di daerah sentral.Simptom konstitusional jarang muncul.

Gambar 1. Lesi primer frambusia (mother yaw)

2-4,6,12-14

*dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 3

- Stadium Sekunder

Stadium sekunder frambusia dimulai beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah induk frambusia muncul. Stadium sekunder jauh lebih luas dan dihubungkan dengan morbiditas yang lebih tinggi.

Kulit :

Banyak lesi kulit menyerupai bentuk yang lebih kecil dari lesi primer, karena itu, disebut anak frambusia, pianomas, atau framboesias. Lesi-lesi ini berwarna kemerahan, berair, berbentuk veruka atau seperti tumbuhan, berkrusta, papul yang tidak gatal dan plak. Seiring dengan pertumbuhan lesi frambusia, lesi-lesi ini mengalami erosi dan dilapisi dengan lapisan fibrin eksudat yang sangat infeksius. Lesi ini akan mengering dan menimbulkan krusta. Eksudat yang terbentuk akan menarik serangga untuk hinggap dan menimbulkan rasa sakit pada penderita. Bercak


(6)

papuloskuamosa dan plak yang kering dapat muncul pada bagian tubuh manapun. Pada daerah lipatan tubuh (aksila, lipatan anus), lesi ini menyerupai kondiloma lata. Pada membran mukosa, lesi ini mirip dengan lesi mukosa yang hipertropi. Lesi kadang-kadang dapat berbentuk anular atau sirkular yang menyerupai lesi pada infeksi jamur yang disebut “tinea frambusia”. Lesi pada wajah sering berbentuk lesi seboroik atau berbentuk psoriasis. 2,3,7,14

Gambar 2. Lesi sekunder pada kulit yang menyerupai infeksi jamur *dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 3

Palmoplantar :

Terdapat bentuk plak hiperkeratosis pada telapak tangan dan telapak kaki, berfisura sampai menimbulkan infeksi sekunder yang sakit sehingga membentuk karakteristik gaya jalan seperti kepiting (“crablike gait”). Paronikia (pianic onychia), membentuk makula dan papula hyperkeratosis dalam lipatan-lipatan kuku. 1,2,3,6,14

Gambar 3. Plak hiperkeratosis, berfisura pada telapak kaki *dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 2


(7)

Tulang/tulang rawan :

Periostits dan osteitis ditandai dengan rasa sakit pada tangan, lengan bawah, tungkai dan kaki. Perubahan awal pada tulang biasanya dapat dilihat dengan radiografi biasa, dan penebalan periosteum sering dapat dipalpasi. Polidaktilis dapat menyebabkan pembengkakan pada kedua jari bagian proksimal menyerupai lobak (radishlike). 1-3

Gambar 4. Osteoperiostitis pada tibia dan fibula *dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 13

Konstitusional :

Arthralgia, limfadenopati generalisata, sakit kepala, dan malaise biasanya menunjukkan perubahan cairan cerebrospinal yang asimptomatik. Semua gejala umumnya reversible, hilang dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kekambuhan mungkin terjadi sampai jangka waktu 5 tahun, yang diikuti dengan pemberantasan baik dari organisme ataupun periode laten yang tidak tentu masanya.2,3

- Stadium Tersier

Pada sekitar 10 persen kasus, masa laten berakhir setelah 5 – 10 tahun, diikuti oleh stadium akhir dengan lesi pada kulit dan lesi pada tulang, dan kadang-kadang disertai dengan gangguan oftalmologi dan gangguan neurologi. 1,2,3,6,7,12

Kulit :

Nodul gumatosa kutan dan subkutan (guma frambusia) mengalami nekrosis sentral dan mengalami ulserasi, menyebabkan lesi tersebar dan dalam. Gabungan ulkus


(8)

akan membentuk lesi sirkuler dan serpiginosa yang akan sembuh kemudian membentuk jaringan parut dan kontraktur. Hiperkeratosis palmoplantar akan menyebabkan keratoderma kronik. Limfadenopati periartikular dapat terjadi pada siku dan lutut. 1,2,3,6,7,12

Tulang dan tulang rawan :

Perubahan skeletal terjadi pada stadium akhir penyakit frambusia. Perubahan skeletal ini termasuk periostitis hipertrofi, hidrartrosis, osteitis dan periostitis gumatosa, dan osteomielitis. Hipertrofi tulang dianggap sebagai akibat osteitis kronik, yang akan menyebabkan cekungan pada tulang tibia . Osteitis hipertrofi bilateral dari prosessus maksila bagian nasal dengan pembengkakan tulang nasal berkembang perlahan-lahan antara 5 sampai 20 tahun. Akibat frambusia yang paling berbahaya, yang terjadi kira-kira 1 persen dari pasien yang tidak diobati, adalah rhinofaringitis mutilans (gangosa), atau destruksi hebat dari tulang nasal, maksila, bibir atas dan bagian tengah wajah dengan adanya perforasi dari hidung dan palatum. 2,3,6

Gambar 5. sabre deformity pada tibia *dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 15

Gangguan oftalmologi dan neurologi :

Walaupun penyakit oftalmologi, neurologi dan kardiovaskuler tidak biasa terjadi bersamaan dengan frambusia, tetapi pada beberapa kasus frambusia dilaporkan adanya atrofi diskus optikus, mieloneuropati dan aneurisma. 2,3


(9)

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

- Pemeriksaan Langsung

2,3,6,16

Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap

• Mikroskop fluoresensi

Spesimen yang berasal dari lesi kulit dilihat bentuk dan pergerakannya dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-turut jika hasil pada pemeriksaan hari pertama dan kedua negarif. Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pandang.

Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi dan dilihat apakah dijumpai T.pallidum.

- Pemeriksaan Serologis2,3,6,7,12,16

Pemeriksaan serologis untuk frambusia sama dengan tes serologi untuk sifilis venereal, yaitu:

-Tes serologis non treponemal, yaitu : Rapid plasma reagin test (RPR)

-Antigen di campur dengan serum pasien dan digoyang atau diputar selama beberapa menit. Pada RPR reagens ditambahkan dengan charcoal sehingga hasil reaksi flokulasi jauh lebih mudah dilihat.

Venereal Disease Research Laboratory test (VDRL)

VDRL memakai formula antigen yang terdiri dari kardiopilin 0,03%, kholesterol 0,9%, dan lesitin ± 0,21%.Tes VDRL digunakan untuk screening dan menilai hasil pengobatan. Selain hasil reaktif, nonreaktif atau reaktif lemah, tes VDRL juga memberikan hasil kuantitatif dalam bentuk titer.

- T.pallidum haemagglutination assay (TPHA) Tes serologis treponemal, yaitu :

TPHA merupakan tes treponemal yang menerapkan teknik hemaglutinasi tidak langsung untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap T.pallidum. Dalam tes ini dipakai sel darah merah unggas yang dilapisi dengan komponen T.pallidum. Jika


(10)

serum pasien mengandung antibodi spesifik terhadap T.pallidum , maka akan terjadi hemaglutinasi dan membentuk pola yang khas pada pelat mikrotitrasi. - Microhaemagglutination assay T.pallidum (MHA-TP)

Menggunakan sel-sel darah merah yang dibalut antigen dari T.pallidum strain Nichols. Serum sebelum pengobatan mempunyai reaksi non spesifik. Apabila dijumpai aglutinasi dengan pola rough jagged maka dikatakan positif.

- Fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-ABS)

FTA-ABS merupakan tes antibodi imunofluoresensi tidak langsung. Serum yang akan dites diencerkan 1/5 dari sorben, yaitu ekstrak hasil kultur T.pallidum strain Reiter. Sorben akan menyerap antibodi treponema nonpatogen yang diperkirakan ada dalam serum pasien. Kemudian serum diteteskan pada gelas objek yang pada permukaannya telah terfiksasi antigen T.pallidum. Kemudian diteteskan konjugat berupa globulin antihuman yang telah dilabel dengan fluoresein. Jika di dalam serum pasien terdapat antibodi spesifik terhadap T.pallidum, maka kuman akan terlihat bersinar di bawah mikroskop fluoresensi.

- Histopatologi 6,12,17,18

Pada lesi awal menunjukkan akantosis, spongiosis dan papilomatosis dengan mikroabses intraepidermal. Terdapat infiltrat inflamasi yang sedang sampai padat yang terdiri dari plasma sel, limfosit, makrofag, neutrofil dan eusinofil. Treponema dapat diidentifikasi dengan pewarnaan silver. Pada lesi ulserasi lanjut mirip dengan sifilis tersier pada kulit.

VI. DIAGNOSIS BANDING

Lesi pada kulit dapat didiagnosis banding dengan :

2,3,12,13

- Sifilis venereal - Sifilis endemik - Pinta

- Kusta - Impetigo - Ektima - Tungiasis - Kromomikosis

- Leishmaniasis kutaneus - Sarkoidosis, psoriasis


(11)

- Defisiensi vitamin - Skabies

- Infeksi virus

Lesi pada tulang dapat didiagnosis banding dengan : - Sifilis venereal

- Sifilis endemik - Tuberkulosis

- Osteomyelitis bakterial - Sickle cell anaemia

Lesi pada Rhinopharyngeal dapat didiagnosis banding dengan : - Espundia

- Rhinosporidiosis - Rhinoscleroma - Tuberkulosis - Kusta

- South American blastomycosis

VII. PENATALAKSANAAN

Pengobatan yang disarankan untuk frambusia adalah :

2,3,4,6,12,13

- Dewasa dan anak – anak diatas 10 tahun :

• Benzathin Penicillin 1,2 juta unit injeksi secara intramuscular dosis tunggal - Anak – anak dibawah 10 tahun :

• Benzathin Penicillin 0,6 juta unit injeksi secara intramuskular dosis tunggal - Anak – anak diatas 8 tahun yang alergi penicillin :

• Tetrasiklin 4 x 250 mg selama 15 hari , atau

• Eritromisin 8 mg/kg BB 4 x sehari selama 15 hari - Dewasa yang alergi penicillin :

• Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 15 hari , atau

• Doksisiklin 2 x 100 mg atau


(12)

VIII. PROGNOSIS

Setelah pengobatan dengan penicillin, lesi infeksi dini pada frambusia sembuh dalam 2 minggu. Pengenalan awal dan pengobatan pada penderita frambusia dapat mencegah perkembangan manifestasi pasien yang lebih lanjut. Tanpa pengobatan yang teratur, sekuele lanjut akan dapat menyebabkan kecacatan. 12

IX. KESIMPULAN

Penyakit frambusia adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh

Treponema pallidum subspesies pertenue yang terjadi pada daerah tropis terutama di daerah yang padat penduduk, sosial ekonomi rendah, serta kebersihan yang kurang baik.

Frambusia didapat dari kontak langsung dan tidak langsung. Manifestasi klinis dari frambusia dibagi menjadi stadium awal (termasuk lesi primer yang disebut “mother yaw” dan lesi sekunder yang dimulai beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah lesi primer) dan stadium akhir penyakit (tersier) yang terjadi pada 10% kasus dengan lesi pada kulit dan tulang.

Diagnosis frambusia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan serologi dan histopatologi. Pengobatan untuk frambusia adalah injeksi Benzathin Penicillin 1,2 juta unit secara intramuskular.


(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Meheus A, Ndowa FJ. Endemic Treponematoses. Dalam : Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wassherheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts DH, penyunting. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke – 4. United States of America : McGraw Hill Companies; 2008. h.685-8

2. Sanchez MR. Endemic (Non-Venereal) Treponematoses. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lffell Dj, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw Hill Companies; 2008. h.1977-83.

3. Farnsworth N, Rosen T. Endemic treponematosis : review and update. Clinics in Dermatology. 2006; 24; 181 – 190.

4. Pedoman pemberantasan penyakit frambusia. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan 2004.

5. Lukehart SA. Biology of Treponemas. Dalam : Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wassherheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts DH, penyunting. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke – 4. United States of America : McGraw Hill Companies; 2008. h.667-57.

6. James WD, Berger TG, Elston DM, editor. Andrew’s diseases of the skin clinical dermatology, Edisi ke-10. United States of America : Saunders Elsevier; 2006.

7. Walker SL, Hay RJ. Yaws – a review of the last 50 years. International Journal of Dermatology. 2000; 39; 258 – 60.

8. Yaws and other endemic treponematoses. World Health Organization 2010. Available from : http//www.who.int/yaws/en.

9. Frambusia. Pustaka Kedokteran. 4 November 2009, Available from :

10.Frambusia. Himapid FKM Unhas. 22 April 2009. Available from :

11.Current situation of Yaws in Indonesia. Report from the MOH, Indonesia 2009.

Available from

12.Engelkens HJH. Endemic Treponematoses : Yaws, Pinta and Endemic Syphilis. Dalam : Harper J, Oranje A, Prose N, penyunting. Textbook of Pediatric Dermatology. Edisi ke-2. UK : Blackwell Publishing; 2006. h.523-31.


(14)

13.Klein NC. Yaws.Department of Medicine, Division of Infectious Disease,Suny School of Medicine at Stony Brook. 4 November 2009. Available from :

14.Paller AS, Mancini AJ, editor. Hurwitz clinical pediatric dermatology, edisi ke-3. United States of America : Saunders Elsevier; 2006.

15.Yaws. Health Grades. 23 Agustus 2011. Available from :

16.Hutapea NO. Sifilis. Dalam : Daili SF, Makes WI, Zubier F, Judanarso J, penyunting. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005. h. 70-88. 17.Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial Infections. Dalam : Burns T, Breathnach S, Cox N,

Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. UK : Wiley Blackwell; 2010. h. 30.1-30.82.

18.Sanchez RL, Raimer SS. Infiltrates by Plasma Cells, Mast Cells and Histiocytes. Dalam : Sanchez RL, Raimer SS, penyunting. Vademecum Dermatopathology. USA : Landes Bioscience; 2001. h. 95-109.


(1)

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

- Pemeriksaan Langsung

2,3,6,16

Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap

• Mikroskop fluoresensi

Spesimen yang berasal dari lesi kulit dilihat bentuk dan pergerakannya dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-turut jika hasil pada pemeriksaan hari pertama dan kedua negarif. Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pandang.

Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi dan dilihat apakah dijumpai T.pallidum.

- Pemeriksaan Serologis 2,3,6,7,12,16

Pemeriksaan serologis untuk frambusia sama dengan tes serologi untuk sifilis venereal, yaitu:

-Tes serologis non treponemal, yaitu : Rapid plasma reagin test (RPR)

-Antigen di campur dengan serum pasien dan digoyang atau diputar selama beberapa menit. Pada RPR reagens ditambahkan dengan charcoal sehingga hasil reaksi flokulasi jauh lebih mudah dilihat.

Venereal Disease Research Laboratory test (VDRL)

VDRL memakai formula antigen yang terdiri dari kardiopilin 0,03%, kholesterol 0,9%, dan lesitin ± 0,21%.Tes VDRL digunakan untuk screening dan menilai hasil pengobatan. Selain hasil reaktif, nonreaktif atau reaktif lemah, tes VDRL juga memberikan hasil kuantitatif dalam bentuk titer.

- T.pallidum haemagglutination assay (TPHA) Tes serologis treponemal, yaitu :

TPHA merupakan tes treponemal yang menerapkan teknik hemaglutinasi tidak langsung untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap T.pallidum. Dalam tes ini dipakai sel darah merah unggas yang dilapisi dengan komponen T.pallidum. Jika


(2)

serum pasien mengandung antibodi spesifik terhadap T.pallidum , maka akan terjadi hemaglutinasi dan membentuk pola yang khas pada pelat mikrotitrasi. - Microhaemagglutination assay T.pallidum (MHA-TP)

Menggunakan sel-sel darah merah yang dibalut antigen dari T.pallidum strain Nichols. Serum sebelum pengobatan mempunyai reaksi non spesifik. Apabila dijumpai aglutinasi dengan pola rough jagged maka dikatakan positif.

- Fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-ABS)

FTA-ABS merupakan tes antibodi imunofluoresensi tidak langsung. Serum yang akan dites diencerkan 1/5 dari sorben, yaitu ekstrak hasil kultur T.pallidum strain Reiter. Sorben akan menyerap antibodi treponema nonpatogen yang diperkirakan ada dalam serum pasien. Kemudian serum diteteskan pada gelas objek yang pada permukaannya telah terfiksasi antigen T.pallidum. Kemudian diteteskan konjugat berupa globulin antihuman yang telah dilabel dengan fluoresein. Jika di dalam serum pasien terdapat antibodi spesifik terhadap T.pallidum, maka kuman akan terlihat bersinar di bawah mikroskop fluoresensi.

- Histopatologi 6,12,17,18

Pada lesi awal menunjukkan akantosis, spongiosis dan papilomatosis dengan mikroabses intraepidermal. Terdapat infiltrat inflamasi yang sedang sampai padat yang terdiri dari plasma sel, limfosit, makrofag, neutrofil dan eusinofil. Treponema dapat diidentifikasi dengan pewarnaan silver. Pada lesi ulserasi lanjut mirip dengan sifilis tersier pada kulit.

VI. DIAGNOSIS BANDING

Lesi pada kulit dapat didiagnosis banding dengan :

2,3,12,13

- Sifilis venereal - Sifilis endemik - Pinta

- Kusta - Impetigo - Ektima - Tungiasis - Kromomikosis


(3)

- Defisiensi vitamin - Skabies

- Infeksi virus

Lesi pada tulang dapat didiagnosis banding dengan : - Sifilis venereal

- Sifilis endemik - Tuberkulosis

- Osteomyelitis bakterial - Sickle cell anaemia

Lesi pada Rhinopharyngeal dapat didiagnosis banding dengan : - Espundia

- Rhinosporidiosis - Rhinoscleroma - Tuberkulosis - Kusta

- South American blastomycosis

VII. PENATALAKSANAAN

Pengobatan yang disarankan untuk frambusia adalah :

2,3,4,6,12,13

- Dewasa dan anak – anak diatas 10 tahun :

• Benzathin Penicillin 1,2 juta unit injeksi secara intramuscular dosis tunggal - Anak – anak dibawah 10 tahun :

• Benzathin Penicillin 0,6 juta unit injeksi secara intramuskular dosis tunggal - Anak – anak diatas 8 tahun yang alergi penicillin :

• Tetrasiklin 4 x 250 mg selama 15 hari , atau • Eritromisin 8 mg/kg BB 4 x sehari selama 15 hari - Dewasa yang alergi penicillin :

• Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 15 hari , atau • Doksisiklin 2 x 100 mg atau


(4)

VIII. PROGNOSIS

Setelah pengobatan dengan penicillin, lesi infeksi dini pada frambusia sembuh dalam 2 minggu. Pengenalan awal dan pengobatan pada penderita frambusia dapat mencegah perkembangan manifestasi pasien yang lebih lanjut. Tanpa pengobatan yang teratur, sekuele lanjut akan dapat menyebabkan kecacatan. 12

IX. KESIMPULAN

Penyakit frambusia adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pertenue yang terjadi pada daerah tropis terutama di daerah yang padat penduduk, sosial ekonomi rendah, serta kebersihan yang kurang baik.

Frambusia didapat dari kontak langsung dan tidak langsung. Manifestasi klinis dari frambusia dibagi menjadi stadium awal (termasuk lesi primer yang disebut “mother yaw” dan lesi sekunder yang dimulai beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah lesi primer) dan stadium akhir penyakit (tersier) yang terjadi pada 10% kasus dengan lesi pada kulit dan tulang.

Diagnosis frambusia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan serologi dan histopatologi. Pengobatan untuk frambusia adalah injeksi Benzathin Penicillin 1,2 juta unit secara intramuskular.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Meheus A, Ndowa FJ. Endemic Treponematoses. Dalam : Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wassherheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts DH, penyunting. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke – 4. United States of America : McGraw Hill Companies; 2008. h.685-8

2. Sanchez MR. Endemic (Non-Venereal) Treponematoses. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Lffell Dj, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw Hill Companies; 2008. h.1977-83.

3. Farnsworth N, Rosen T. Endemic treponematosis : review and update. Clinics in Dermatology. 2006; 24; 181 – 190.

4. Pedoman pemberantasan penyakit frambusia. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan 2004.

5. Lukehart SA. Biology of Treponemas. Dalam : Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wassherheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts DH, penyunting. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke – 4. United States of America : McGraw Hill Companies; 2008. h.667-57.

6. James WD, Berger TG, Elston DM, editor. Andrew’s diseases of the skin clinical dermatology, Edisi ke-10. United States of America : Saunders Elsevier; 2006.

7. Walker SL, Hay RJ. Yaws – a review of the last 50 years. International Journal of Dermatology. 2000; 39; 258 – 60.

8. Yaws and other endemic treponematoses. World Health Organization 2010. Available from : http//www.who.int/yaws/en.

9. Frambusia. Pustaka Kedokteran. 4 November 2009, Available from :

10.Frambusia. Himapid FKM Unhas. 22 April 2009. Available from :

11.Current situation of Yaws in Indonesia. Report from the MOH, Indonesia 2009. Available from 12.Engelkens HJH. Endemic Treponematoses : Yaws, Pinta and Endemic Syphilis.

Dalam : Harper J, Oranje A, Prose N, penyunting. Textbook of Pediatric Dermatology. Edisi ke-2. UK : Blackwell Publishing; 2006. h.523-31.


(6)

13.Klein NC. Yaws.Department of Medicine, Division of Infectious Disease,Suny School of Medicine at Stony Brook. 4 November 2009. Available from :

14.Paller AS, Mancini AJ, editor. Hurwitz clinical pediatric dermatology, edisi ke-3. United States of America : Saunders Elsevier; 2006.

15.Yaws. Health Grades. 23 Agustus 2011. Available from :

16.Hutapea NO. Sifilis. Dalam : Daili SF, Makes WI, Zubier F, Judanarso J, penyunting. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005. h. 70-88. 17.Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial Infections. Dalam : Burns T, Breathnach S, Cox N,

Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. UK : Wiley Blackwell; 2010. h. 30.1-30.82.

18.Sanchez RL, Raimer SS. Infiltrates by Plasma Cells, Mast Cells and Histiocytes. Dalam : Sanchez RL, Raimer SS, penyunting. Vademecum Dermatopathology. USA : Landes Bioscience; 2001. h. 95-109.