Campur kode dan alih kode dalam proses belajar mengajar di MTs. Nurul Ummah Ciampea Bogor

CAMPUR KODE DAN ALIH KODE
DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
DI MTs. NURUL UMMAH CIAMPEA, BOGOR

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

EMY OKTAVIA
NIM: 1811013000028

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M

ABSTRAK

EMY OKTAVIA, 1811013000028; “Campur Kode dan Alih Kode dalam Proses
Belajar Mengajar di MTs. Nurul Ummah Ciampea, Bogor”. Penelitian pada siswa
kelas VIII MTs. Nurul Ummah Nagrog Cibuntu Ciampea Bogor. Skripsi Jakarta:
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Penelitian ini berawal dari ketertarikan penulis melihat adanya campur kode dan
alih kode yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Penulis juga ingin
melihat manfaat atau fungsi penggunaan campur kode dan alih kode yang sering
digunakan dalam proses belajar mengajar di MTs. Nurul Ummah Nagrog Cibuntu
Ciampea, Bogor. Untuk memahami campur kode dan alih kode dalam proses
belajar mengajar, penulis mendata dan mengkalsifikasikan terlebih dahulu campur
kode dan alih kode dalam proses belajar mengajar di MTs. Nurul Ummah Nagrog
Cibuntu Ciampea, Bogor.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi penggunaan
campur kode dan alih kode dalam proses belajar mengajar di MTs. Nurul Ummah
Nagrog Cibuntu Ciampea bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
pengamatan dan dokumentasi. Pelaksanaan pengumpulan data dengan
menggunakan metode pengamatan dan dokumentasi (rekam) dilakukan pada saat
proses belajar mengajar dimulai sampai proses belajar mengajar berakhir.
Penelitian dilakukan pada siswa kelas VIII MTs. Nurul Ummah Nagrog Cibuntu

Ciampea Bogor, tahun pelajaran 2013/2014.
Hasil penelitian diperoleh data dari segi bentuk dan fungsi campur kode dan alih
kode. Dari hasil klasifikasi bentuk data campur kode penggunaan bahasa Sunda
dalam proses belajar mengajar yang diperoleh yaitu bentuk yang sering muncul
adalah dari segi bentuk kata dan kalimat, sedangkan hasil klasifikasi bentuk data
alih kode penggunaan bahasa Sunda yang sering muncul adalah dari bentuk segi
kalimat. Dari fungsi campur kode dan alih kode bahasa Sunda yang digunakan
dalam proses belajar mengajar di MTs. Nurul Ummah Nagrog Cibuntu Ciampea,
Bogor yaitu untuk mejalin keakraban, memberikan penjelasan, penegasan kepada
peserta didik serta memahami dan mengetahui materi lebih dalam bagi peserta didik.
Kata Kunci: campur kode, alih kode, proses belajar mengajar.

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, hidayah dan karunia-NYA sehingga penulis
diberikan kesempatan dan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi ini, shalawat
berserta salam semoga tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW, beserta

keluarga dan sahabatnya.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan,
bimbingan, petunjuk, dan dorongan baik moril maupun materil dari berbagai
pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada:
1.

Nurlena Rifa’i M.A., Ph,D., Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA. M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, yang
selalu memberikan arahan, saran, dan masukan kepada seluruh mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menempuh perkuliahan.


3.

Dr. Nuryani, S.Pd. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan arahan, masukan, petunjuk dan ilmu yang sangat bermanfaat
serta waktu yang telah diluangkan dalam membimbing dalam penyelesaian
skripsi ini.

4.

Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta
bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

ii

5.

Yudi Saepul Rizal, M.Pd., selaku Kepala MTs. Nurul Ummah Nagrog
Cibuntu Ciampea Bogor, yang telah memberikan kesempatan dan izin kepada

penulis untuk melaksanakan penelitian.

6.

Keluarga besar KH. Syibli, yang selalu mendoakan penulis untuk tetap
semangat menuntut ilmu yang Allah ridhoi.

7.

Ibunda tersayang Salmah, yang selalu memberikan motivasi dan doanya serta
dengan tulus menjaga buah hati penulis selama menempuh perkuliahan
hingga selesai.

8.

Suami tercinta Yudi Saepul Rizal, M.Pd., yang selalu memberikan bantuan
dan dukungan moril maupun materil, serta anak-anakku tercinta ananda
Fazrian Awal Al Fharabi, Zahra Abie Nabila, Faris Syahba Salzabil, yang
selalu menjadikan penyemangat dalam menempuh perkuliahan ini hingga
selesai.


9.

Nawawi, S.Pd.I. dan Elis Fadliyah, S.Pd., yang turut serta dalam membantu
dalam penyusunan skipsi ini.

10. Teman-teman seperjuangan PBSI Dual Mode, yang telah memberikan saran
dan informasinya.
Terimakasih tidak lupa saya sampaikan kepada semua pihak yang tidak
tersebutkan namun telah memberikan kontribusi yang sangat berharga hingga
terselesaikannya skripsi ini. Akhir kata harapan penulis semoga skripsi ini
bermanfaat bagi seluruh pembaca dan lembaga-lembaga pendidikan sebagai
perbandingan maupun dasar untuk penelitian lebih lanjut. Penulis sangat
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan
saran yang membangun tetap penulis harapakan untuk perbaikan di masa yang
akan datang.
Jakarta, Juli 2014

Penulis


iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................

i

KATA PENGANTAR......................................................................................

ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................

iv

DAFTAR TABEL.............................................................................................

vi


DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... vii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 3
C. Batasan Masalah ........................................................................ 3
D. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
E. Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian ..................................................................... 4

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Sosiolinguistik............................................................................. 5
B. Kedwibahasaan .......................................................................... 6
C. Campur Kode.............................................................................. 8
D. Alih Kode................................................................................... 13
E. Sintaksis..................................................................................... 17

F. Variasi bahasa............................................................................ 21
G. Bahasa Pengantar dalam Proses Belajar Mengajar ................... 23
H. Penelitian yang Relevan ............................................................ 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 26
B. Metode dan Desain Penelitian .................................................. 27
C. Objek Penelitian ........................................................................ 27
D. Subjek Penelitian ...................................................................... 28
iv

E. Prosedur Penelitian .................................................................... 28
F. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 28
G. Instrumen Penelitian .................................................................. 30
H. Teknik Analisis Data ................................................................. 31

BAB IV

PEMBAHASAN
A. Latar Belakang MTs. Nurul Ummah ......................................... 33

B. Profil MTs. Nurul Ummah ........................................................ 34
C. Visi, Misi, dan Tujuan Madrasah ............................................... 34
D. Keadaan Pendidik dan peserta didik ......................................... 35
E. Deskripsi dan Analisis Data Campur Kode dan Alih Kode
dalam Proses Belajar Mengajar MTs. Nurul Ummah ............... 38

BAB V

PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................... 84
B. Saran ......................................................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

v

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1


Jadwal Pengumpulan Data

Tabel 1.2

Analisis Bentuk Campur Kode

Tabel 1.3

Analisis bentuk Alih Kode

Tabel 2.1

Profil Madrasah

Tabel 2.2

Staf Pengajar MTs. Nurul Ummah

Tabel 2.3

Data Campur Kode

Tabel 2.4

Data Alih Kode

vi

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1

Transkripsi Kegiatan Proses Belajar Mengajar

Lampiran 2

Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 3

Surat Keterangan Penelitian

Lampiran 4

Surat Izin Penelitian

vii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penggunaan bahasa Indonesia adalah sarana untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam pikiran, alat komunikasi sebagai penyampai pesan, sekaligus
merupakan wujud dalam perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Sebagai
bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa Indonesia mempunyai
status istimewa sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Berbahasa adalah
aktivitas sosial, dan sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi memegang
peranan yang penting dalam berbagai ranah, seperti pemerintahan, keluarga,
agama, etnik, maupun pendidikan.
Kegiatan berbahasa bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya.
Dalam ranah pendidikan, bahasa Indonesia merupakan pengantar dalam proses
belajar mengajar. Bahasa menjadi media yang digunakan oleh pendidik dalam
menyampaikan materi pelajaran. Melalui bahasa, peserta didik dapat memahami
apa yang disampaikan pendidik. Melalui bahasa pula, peserta didik dapat
mengatasi kesulitannya dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan aspek linguistik terdapat istilah bilingualisme dalam bahasa
Indonesia disebut kedwibahasaan “berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau
dua kode bahasa, masyarakat tutur yang terbuka dan mempunyai hubungan
dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak
bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akbitnya ”.1 Dengan
adanya kontak komunikasi yang dwibahasa sehingga melahirkan alih kode dan
campur kode.
Kontak bahasa yang terjadi di dalam diri dwibahasawan menyebabkan saling
pengaruh antara B1 dan B2. “Penggunaan sistem bahasa tertentu pada bahasa
lainnya disebut transfer”.2 Penguasaaan dua bahasa atau lebih oleh seorang
1

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta
2010), h. 84.
2
Henry Tarigan dan Djago Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 2011), h. 16.

1

2

penutur bahasa memungkinkan terjadinya dampak negatif maupun positif. Bila
sistem yang digunakan itu bersifat membantu karena kesejajaran maka transfer itu
disebut transfer positif yang

mengakibatkan terjadinya pembaharuan yang

sifatnya menguntungkan kedua bahasa. Sebaliknya, bila sistem yang digunakan
itu berlainan atau bertentangan dan bersifat mengacaukan karena perbedaan
sistem bahasa disebut transfer negatif, ini menyebabkan timbulnya kesulitan
dalam pengajaran B2 sekaligus merupakan salah satu sumber kesalahan berbahasa
yang akhirnya melahirkan interferensi, yaitu penyimpangan dari norma-norma
bahasa sebagai akibat pengenalan terhadap bahasa lain.
Alih kode dan campur kode ini terjadi karena faktor kebiasaan akibat dari
pergaulan antara penutur bahasa. Alih kode dan campur kode terjadi karena faktor
keinginan menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang disebabkan oleh keinginan
pendidik untuk menyampaikan materi yang dapat dipahami peserta didik dengan
baik, sementara peserta didik lebih memahami segala sesuatu hal yang ingin
diketahui dengan menggunakan alih kode dan campur kode.
Faktor ini dapat terjadi karena adanya kontak langsung dengan penutur yang
dalam hal ini pendidik dengan peserta didik. Pada umumnya dalam proses belajar
mengajar di MTs. Nurul Ummah, pendidik dan peserta didik senantiasa
menggunakan alih kode dan campur kode dalam tuturannya. Hal ini dilakukan
agar proses belajar mengajar dapat dipahami satu sama lain. Dalam dunia
pendidikan, alih kode dan campur kode masih dapat kita lihat, khususnya dalam
interaksi belajar mengajar di sekolah. Hal ini bisa terjadi karena warga sekolah
menguasai lebih dari satu bahasa.
Dari observasi awal di MTs. Nurul Ummah, penulis menemukan bahwa
dalam proses belajar mengajar masih terdapat unsur-unsur bahasa daerah yakni
bahasa Sunda sebagai pengantar. Misalnya, “Maksudna kumaha?” (Maksudnya
bagaimana?)”. Dari ungkapan tersebut, diketahui bahwa terjadi fenomena alih
kode dan campur kode Sunda bahasa Indonesia . Hal ini bukan sesuatu yang
mustahil terjadi mengingat latar belakang bahasa peserta didik dan pendidik yang
sebagian besar menguasai bahasa Sunda sebagai bahasa pertama (B-1).

3

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

masalah

tersebut,

permasalahan

dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bentuk campur kode dan alih kode dalam proses belajar mengajar di
MTs. Nurul Ummah Ciampea, Bogor.
2. Manfaat penggunaan campur kode dan alih kode bagi pendidik dan
peserta didik dalam proses belajar mengajar di MTs. Nurul Ummah
Ciampea, Bogor.
3. Berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar dengan adanya alih kode
dan campur kode di MTs. Nurul Ummah Ciampea, Bogor.
4. Kendala yang dihadapi pendidik dan peserta didik dengan adanya alih
kode dan campur kode dalam proses belajar mengajar di MTs. Nurul
Ummah Ciampea, Bogor.

C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dengan fenomena kebahasaan
campur kode dan alih kode yang ditemukan, penulis mencoba meneliti campur
kode dan alih kode bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia dalam Proses
Belajar Mengajar khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia kelas VIII
MTs. Nurul Ummah Ciampea, Bogor.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah penelitian yang telah ditetapkan agar dalam
pelaksanaan penelitian dapat mencapai tujuan dengan baik, maka masalah yang
diteliti harus dirumuskan. Rumusan masalah yang ditetapkan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk campur kode dan alih kode dalam proses belajar
mengajar di MTs. Nurul Ummah Ciampea, Bogor?
2. Apa fungsi campur kode dan alih kode dalam proses belajar mengajar di
MTs. Nurul Ummah Ciampea, Bogor?

4

E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, dapat
dirumuskan tujuan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan bentuk campur kode dan alih kode dalam proses
belajar mengajar di MTs. Nurul Ummah Ciampea, Bogor.
2. Untuk mendeskripsikan fungsi penggunaan campur kode dan alih kode
dalam proses belajar mengajar di MTs. Nurul Ummah Ciampea, Bogor.

F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah dapat mengembangkan teori
sosiolingustik, khususnya mengenai alih kode dan campur kode serta bahasa
dalam proses belajar mengajar.
2. Manfaat Praktis
a. Guru bahasa Indonesia
Memberikan sumbangan informasi tentang bahasa yang seharusnya dipakai
dalam proses belajar mengajar sehingga pendidik dan peserta didik mengetahui
bahwa alih kode dan campur kode tidak diperkenankan digunakan dalam proses
belajar mengajar di dalam kelas, khususnya dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia.
b. Peserta Didik
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara langsung bagi peserta didik
untuk memberikan sumbangan pengetahuan tentang penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar dalam proses belajar mengajar.
c. Peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain sebagai
bahan perbandingan untuk melakukan penelitian sejenis.

BAB II
LANDASAN TEORI
Teori adalah sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik dalam
gejala sosial yang ingin diteliti dan teori adalah alat bantu dari ilmu dengan cara
memberikan definisi dari tiap-tiap jenis data yag akan dibuat abstraksinya. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang terkait. Semua teori
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
A. Sosiolinguistik
“Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik,
dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat”.1 “Sebagai objek
dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa,
sebagaimana yang dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau
didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia”.2
Fishman memaparkan “sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi
bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini
selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam suatu
masyarakat tutur”.3 Sementara, Apel mengatakan “sosiolinguistik memandang
bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari
masyarakat dan kebudayaan tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan
pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi
konkret”.4
“Linguistik atau ilmu bahasa adalah disiplin ilmu yang mempelajari bahasa
secara luas dan umum. Secara luas berarti cakupannya meliputi semua aspek dan
komponen bahasa. Secara umum berarti sasarannya tidak hanya terbatas pada
salah satu bahasa saja (misalnya bahasa Indonesia saja). Akan tetapi semua bahasa

1

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta
2010), h. 2.
2
Ibid, h. 3.
3
Ibid,
4
Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 6.

5

6

yang ada di dunia. Secara garis besar cakupan linguistik meliputi dua lingkup,
yaitu lingkup mikrolinguistik dan lingkup makrolinguistik”.5
1.

Mikrolinguistik

Mikrolingiuistik adalah lingkup linguistik yang mempelajari bahasa dalam
rangka kepentingan ilmu bahasa itu sendiri, tanpa mengaitkan dengan ilmu lain
dan tanpa memikirkan bagaimana penerapan ilmu tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
2.

Makrolinguistik

Makrolinguistik adalah lingkup linguistik yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan dunia di luar bahasa, yang berhubungan dengan ilmu lain dan
bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah diuraikan oleh para pakar di atas
dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang
bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan
antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.
Linguistik menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya.

B. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan merupakan fenomena yang menggejala di setiap negara di
dunia ini termasuk Indonesia. Di samping itu, bahasa Indonesia digunakan sebagai
bahasa resmi dan bahasa nasional. Selain itu, keterlibatan dengan negara lain
yang memiliki bahasa yang berbeda juga merupakan fakta yang menyebabkan
timbulnya kedwibahasaan. Teori kedwibahasaan sangat terkait dengan alih kode
dan campur kode, karena alih kode dan campur kode merupakan aspek
kedwibahasaan. Selain itu, subjek yang diteliti merupakan masyarakat
kedwibahasaan yang cenderung melakukan alih kode dan campur kode.
Pendapat

beberapa

para

ahli

sehubungan

dengan

kedwibahasaan.

Encyclopedia Britanica mendefinisikan “penguasaan dua bahasa atau lebih
kedwibahasaan atau keanekabahasaan adalah suatu keterampilan khusus,

5

Soeparno, Dasar-dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 21-22.

7

kedwibahasaan dan keanekabahasaan merupakan istilah yang relatif karena tipe
dan jenjang penguasaan bahasa seseorang berbeda”.6 Sementara, bloomfield
mendefinisikan kedwibahasaan adalah “penguasaan dua bahasa secara sempurna,
tentu saja penguasaan dua bahasa itu tidak dapat dijelaskan secara tepat karena
penguasaan itu berjenjang atau relatif”.7
Kedwibahasaan adalah hasil dari pemerolehan bahasa, kedwibahasaan
menimbulkan interferensi dan interferensi merupakan salah satu faktor penyebab
kesalahan berbahasa”.8 Sementara, Weinreich mengatakan bahwa „kedwibahasaan
the pratice of alternately using two languages (kebiasaan menggunakan dua
bahasa atau lebih secara bergantian)”.9 Faktor yang mendorong terjadinya
bilingualisme atau kedwibahsaan adalah adanya kontak bahasa di dalam otak.
Bilingualisme adalah kasus yang hampir dialami oleh separuh lebih orang
Indonesia. Masyarakat Indonesia rata-rata menguasai bahasa daerah dan bahasa
Indonesia, khususnya ragam lisan.
Lado menyatakan bahwa “kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara
dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya”.10 Sementara itu, Weinreich
“membedakan kemampuan bilingualisme menjadi tiga tipe’,11 yaitu:
1.

Kedwibahasaan Majemuk

Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa
kemampuan berbahasa salah satu bahasa yang lebih baik dari pada kemampuan
berbahasa yang lain.
2.

Kedwibahasaan Koordinatif

Kedwibahasaan koordinatif adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa
pemakaian dua bahasa sama baiknya oleh individu. Proses kedwibahasaan ini
terjadi karena seorang individu memiliki pengalaman yang berbeda dalam
menguasai dua bahasa sehingga jarang sekali dipertukarkan pemakainnya.
6

Henry Tarigan dan Djago Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 2011), h. 8.
7
Ibid, h. 8.
8
Ibid, h. 15.
9
Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 23.
10
Nuryani, dan Dona Aji Kurnia Putra, Psikolinguistik, (Ciputat: Mazhab, 2013), h. 176
11
Ibid, h. 177.

8

3.

Kedwibahasaan Subordinatif

Kedwibahasaan Subordinatif merupakan kedwibahasaan yang menunjukkan
bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan unsur B2 atau
sebaliknya.
Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar yang telah di uraikan di atas
mengenai kedwibahasaan dapat penulis simpulkan bahwa, kedwibahasaan adalah
peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian oleh
penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam
keadaan saling kontak pada diri penutur secara individual. Kedwibahasaan ini
sangat terkait dengan campur kode dan alih kode yang akan penulis teliti, karena
campur kode dan alih kode merupakan aspek kedwibahasaan.

C. Campur Kode
Pembahasan mengenai campur kode, biasanya diikuti dengan pembicaraan
tentang campur kode. Campur kode terjadi apabila seseorang penutur bahasa,
misalnya bahasa Indonesia memasukan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam
pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara
dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya,
sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan
serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Nababan memaparkan ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah
kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa formal, jarang terjadi
campur kode kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata
atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai
sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa
asing”.12 Campur kode adalah ”sebuah kode utama atau dasar yang digunakan dan
memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat
dalam peristiwa tutur hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa
fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode”.13
12

Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 87
Abdul Chaer dan Leonie, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.114

13

9

Sementara Pieter muysken menjelaskan bahwa “a am using the term codemixing to refer to all cases where lexical items and grammatical features from
two languages appear in one sentence” “(penggunaan istilah campur kode
diartikan apabila bagian-bagian kebahasaan atau struktur bahasa dari dua bahasa
muncul dalam kalimat)”.14 Seorang penutur yang dalam berbahasa Indonesia
banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah
melakukan campur kode. Thelander menjelaskan, “apabila di dalam suatu
peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari
klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid pharases), dan masing-masing
klausa atau frase itu tidak ada lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka
peristiwa yang terjadi adalah campur kode”.15
Dari beberapa pendapat dan pandangan para ahli mengenai campur kode
dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan peristiwa penggunaan bahasa
atau unsur bahasa lain ke dalam suatu bahasa atau peristiwa pencampuran bahasa
atau seorang penutur yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan
serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur
kode. Peristiwa campur kode dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari pada saat
melakukan interaksi.
Terjadinya campur kode biasanya disebabkan oleh tidak adanya padanan kata
dalam bahasa yang digunakan untuk menyatakan suatu maksud. Sesuai dengan
kesimpulan di atas, keterkaitan teori campur kode dengan penelitian ini mencakup
campur kode bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia dalam proses belajar
mengajar di MTs. Nurul Ummah Ciampea Bogor.
1.

Faktor Penyebab Campur Kode

Campur kode muncul karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang menjadi
faktor terjadinya campur kode itu. Pada penjelasan sebelumnya telah dibahas
menganai ciri-ciri peristiwa campur kode, yaitu tidak dituntut oleh situasi dan

14

Made Iwan Indrawan Jendra, Sosiolinguistic The Study Of Societies Languages, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), h.78.
15
Chaer dan Leonie ofcit , h.115.

10

konteks pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran
dan fungsi kebahasaan yang biasanya terjadi pada situasi yang santai.
Berdasarkan hal tersebut, Suwito memaparkan beberapa faktor yang melatar
belakangi terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut.
a. Faktor peran
Yang termasuk peran adalah status sosial, pendidikan, serta golongan dari
peserta bicara atau penutur bahasa tersebut.
b. Faktor ragam
Ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur pada waktu
melakukan campur kode, yang akan menempati pada hirarki status sosial.
c. Faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
Yang termasuk faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang
menandai sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang
lain terhadapnya. Jendra mengatakan bahwa “setiap peristiwa wicara (speech
event) yang mungkin terjadi atas beberapa tindak tutur (speech act) akan
melibatkan unsur pembicara dan pembicara lainnya (penutur dan petutur), media
bahasa yang digunakan, dan tujuan pembicaraan”16.
Lebih lanjut, Jendra menjelaskan bahwa ketiga faktor penyebab itu dapat
dibagi lagi menjadi dua bagian pokok, umpamanya peserta pembicaraan dapat
disempitkan menjadi penutur, sedangkan dua faktor yang lain (faktor media
bahasa yang digunakan dan faktor tujuan pembicaraan) dapat disempit lagi
menjadi faktor kebahasaan.
d. Faktor Penutur
Pembicara kadang-kadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasa
karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pembicara kadang-kadang
melakukan campur kode antara bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena
kebiasaan dan kesantaian. Contoh: “Ok, urang kudu stand by”.

16

Jendre dalam weebesite:http://datayuni.blogspot.com/2010/06/campur-code.html

11

e. Faktor Bahasa
Dalam proses belajar mengajar media yang digunakan dalam berkomunikasi
adalah

bahasa

lisan.

Penutur

dalam

pemakaian

bahasanya

sering

mencampurkannya bahasanya dengan bahasa lain sehingga terjadi campur kode.
Misalnya hal itu ditempuh dengan jalan menjelaskan atau mengamati istilahistilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan istilah-istilah atau kata-kata dari
bahasa daerah maupun Bahasa Asing sehingga dapat lebih dipahami. Contoh:
“Kita harus enjoy dalam bekerja”. Uraian tentang faktor-faktor penyebab
terjadinya campur kode yang dipaparkan di atas sangat terkait dengan penelitian
yang dilakukan.
2.

Jenis-jenis Campur Kode

Berdasarkan unsur serapan yang menimbulkan terjadinya campur kode itu,
campur kode dibagi menjadi tiga bagian17. Bagian-bagian tersebut akan diuraikan
di bawah ini.
a. Campur Kode ke Luar (outer code mixing)
Dalam hal ini, “campur kode keluar adalah campur kode yang menyerap
unsur- unsur bahasa asing”. Misalnya, dalam peristiwa campur kode pada
pemakaian bahasa Indonesia terdapat sisipan dari bahasa asing seperti bahasa
Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa Cina, dan lain sebagainya. Lebih
konkret contoh berikut akan memperjelas pengertian campur kode keluar :
“Maybe, tapi saya belum berani memastikannya”.
Kalimat di atas menunjukkan sebuah kalimat yang bercampur kode.
Dikatakan bercampur kode karena dalam kalimat tersebut terdapat kata dari
bahasa asing yaitu bahasa Inggris (Maybe). Oleh karena itu, kalimat itu
bercampur kode keluar. Teori campur kode keluar di atas tidak terkait dengan
penelitian ini karena subjek yang diteliti adalah pendidik dan peserta didik yang
mencampurkan bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, dalam penelitian
ini yang diteliti adalah campur kode ke dalam.

17

Ibid, datayuni.blogspot.com

12

b. Campur Kode ke Dalam (Inner Code Mixing)
Mengenai definisi tentang campur kode ke dalam, ada beberapa ahli yang
memiliki pandangan yang hampir sama. Suwito mengatakan bahwa seorang yang
dalam pemakaian bahasa Indonesianya banyak menyisipkan unsur- unsur bahasa
daerah, atau sebaliknya. Maka, penutur tersebut bercampur kode ke dalam.
Sementara itu, Jendra menyatakan campur kode ke dalam adalah jenis kode yang
menyerap unsur-unsur bahasa sunda yang sekerabat.
Gejala campur kode pada peristiwa tururan bahasa Indonesia terdapat di
dalamnya unsur-unsur bahasa daerah seperti bahasa Bali, bahasa Jawa, bahasa
Sunda, dan sebagainya. Lebih jelasnya, berikut contoh kalimat yang bercampur
kode ke dalam: “Sebelum pelajaran dilanjutkan, sok saha nu bade naros?”. Dari
teori mengenai campur kode ke dalam di atas, dapat ditentukan bahwa teori
campur kode ke dalam terkait dengan penelitian ini karena latar belakang
kedwibahasaan yang dimiliki guru dan siswa yang bahasa ibunya adalah bahasa
Sunda. Campur kode yang diteliti termasuk dalam kategori jenis campur kode ke
dalam.
c. Campur Kode Campuran
Definisi mengenai campur kode campuran ialah “campur kode yang di dalam
(mungkin klausa atau kalimat) telah menyerap unsur bahasa Bali/Melayu/Sunda
(bahasa daerah) dan bahasa asing”18. Selanjutnya Jendra lebih tegas mengatakan
bahwa campur kode campuran merupakan unsur serapan yang diterima oleh
bahasa penyerap dengan pembagian menjadi dua bagian seperti (inner dan outer
code mixing) telah pula dilakukan. Misalnya “seorang mahasiswa hendaknya bisa
eling dan established”.
Kalimat di atas menunjukkan sebuah kalimat yang bercampur kode
campuran. Jika kita melihat kata eling (ingat) yang berasal dari bahasa daerah
yaitu bahasa Sunda, kalimat tersebut merupakan campur kode ke dalam. Namun,
jika kita melihat kata estabilished yang berasal dari bahasa asing (bahasa Inggris)
maka kalimat di atas merupakan kalimat yang bercampur kode ke luar. Jadi secara
18

Ibid, datayuni.blogspot.com

13

keseluruhan kalimat di atas dimaksukkan dalam kalimat yang bercampur dengan
kode campuran karena dalam kalimat di atas terdapat unsur bahasa daerah (bahasa
Sunda) dan bahasa asing (bahasa Inggris).
Dari paparan di atas, dapat ditentukan bahwa tidak ada keterkaitan antara
teori campur kode campuran dengan penelitian ini. Ini disebabkan oleh dalam
penelitian ini subjek yang diteliti yaitu guru dan siwa cenderung menggunakan
Bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar.
D. Alih Kode
Alih kode adalah Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam proses
belajar mengajar dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari
ragam santai menjadi ragam resmi, atau ragam resmi ke ragam santai.19
Pengertian
alih

kode

serupa
itu

mengenai
sebagai

alih
“gejala

kode,
peralihan

Appel

mendefinisikan

pemakaian

bahasa

karena berubahnya situasi”.20 Dell Hymes menyatakan “Code switching has
become a common term for alternate use of two or more language, or varieties of
language, or even speech styles” ( alih kode telah menjadi istilah umum untuk
alternatif kita dari dua atau lebih bahasa, variasi bahasa, atau bahkan gaya
bicara)”.21
Pietro menyatakan bahwa “Code switching is the use of more than one
language by communicants in the execution of a speech act” (alih kode terjadi
dalam suatu tuturan yang menggunakan lebih dari satu bahasa)”.22 Sementara
wardhaugh membedakan alih kode atas dua bagian, yaitu situational codeswitching dan metaporical code-switching. Situational code-switching terjadi bila
bahasa yang digunakan berubah sesuai dengan situasi tempat para penutur berada.
Mereka berbicara dalam suatu bahasa dalam suatu situasi dan dalam bahasa yang
lain pada situasi yang lain pula. Dalam hal ini tidak terjadi perubahan topik. Jika
19

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta
2010), h. 107.
20
Ibid, h. 107.
21
Made Iwan Indrawan Jendra, Sosiolinguistic The Study Of Societies Languages, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), h. 74.
22
Ibid, h. 74.

14

suatu topik menghendaki perubahan bahasa yang digunakan, maka alih kode yang
terjadi disebut metaporical code-switching”.23 Selanjutnya, Soewito membedakan
adanya dua macam alih kode yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern. “Alih
kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya, sedangkan alih kode ekstern adalah
alih kode terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada
dalam verbal reportoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing”.24

1. Faktor Penyebab Alih Kode
Fishman mengemukakan penyebab terjadinya alih kode yaitu, “siapa
berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.25
Dalam berbagai kepustkaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu
disebutkan antara lain:26
a. Pembicara atau penutur
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk
mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu. Alih kode untuk
memperoleh „keuntungan” ini biasanya dilakukan oleh si penutur yang dalam
peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
b. Pendengar atau lawan tutur
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode,
misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan
tutur itu. Dalam hal lain biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang
atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamanya.
c. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa
yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur
dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
23

Achmad HP dan Alek Abdullah, Linguistik Umum, (Jakarta: Erlangga, 2012), h. 161.
Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta
2010),h. 114.
25
Ibid, h. 108.
26
Ibid, h. 108-111.
24

15

d. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode peristiwa
peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur terjadi
untuk menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu.
e. Perubahan topik pembicaraan
Berubahnya topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode,
perpindahan topik yang menyebabkan terjadinya perubahan situasi dari situasi
formal menjadi situasi tidak formal merupakan penyebab ganda.
Di samping perubahan situasi, setiap bahasa dan ragam-ragamnya itu
mempunyai fungsi pemakaian tertentu. Maka, menurut Widjajakusumah
penyebab terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia adalah
karena:27
a. kehadiran orang ketiga;
b. perindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis;
c. beralihnya suasana bicara;
d. ingin dianggap terpelajar;
e. ingin menjaukan jarak;
f. menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda;
g. mengutip pembicaraan orang lain;
h. terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia;
i. mitra bicaranya lebih mudah;
j. berada ditempat umum;
k. menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda;
l. beralih media/sarana bicara.
sedangkan penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda adalah
karena:
a. perginya orang ketiga;
b. topiknya beralih dari hal teknis ke hal nonteknis;

27

Ibid, h. 112-113.

16

c. suasana beralih dari remi ke tidak resmi; dari situasi kesundaan
keindonesiaan;
d. merasa ganjil untuk tidak berbahasa sunda dengan orang sekampung;
e. ingin mendekati jarak;
f. ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa sunda halus, dan
berakrab-akrab dengan bahasa Sunda kasar;
g. mengutip dari peristiwa bicara yang lain;
h. terpengaruh oleh lawan bicara yang berbahasa Sunda;
i. perginya generasi muda, mitra bicara lain yang lebih muda;
j. merasa di rumah sendiri, bukan di tempat umum;
k. ingin menunjukkan bahasa pertamanya adalah bahasa Sunda;
l. beralih bicara biasa tanpa alat-alat seperti telepon.
Di samping faktor penyebab terjadinya alih kode yang dipaparkan di atas,
masih banyak faktor atau variabel lain yang dapat menyebabkan terjadinya
peristiwa alih kode. Penyebab-penyebab ini biasanya sangat berkaitan dengan
peristiwa tutur (Speech Event) yaitu “terjadinya atau berlangsungnya interaksi
linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan
situasi tertentu”.28
2. Jenis-jenis Alih Kode
Hasil pengelompokan secara tatabahasa dalam alih kode ada beberapa jenis
yaitu:29
a. Tag code-switching (alih kode bentuk kalimat)
“A tag code-switching happens when a bilingual inserts short expressions
(tag) from different language at the end of his/her utterances. Here are
there examples”.

28

Ibid, h. 47.
Made Iwan Indrawan Jendra, Sosiolinguistic The Study Of Societies Languages, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), h. 75-76.
29

17

Alih kode bentuk kalimat terjadi ketika seseorang yang bilingual memasukan
atau menggunakan ungkapan pendek/singkat dari bahasa yang lain atau berbeda
diakhir ungkapan yang dia ucapkan.
b. Inter-sentential code-switching (alih kode antar kalimat)
“An inter-sentential code-switching happens when there is a complete
sentence in a foreign language uttered between two sentences in a base
language”.
Alih kode antar kalimat terjadi apabila adanya kalimat utuh dalam bahasa
asing diungkapkan antara dua kalimat.
c. Intra-sentential code-switching (alih kode intra kalimat)
“An intra-sentential code-switching is found when a word, a phrase, or a
clause, of aforeign language is found within the sentence in a base
lnguage”.
Alih kode intra kalimat terjadi ketika sebuah frase atau sebuah klausa dalam
bahasa asing ditemukan dalam kalimat dalam pokok bahasa.
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa pengalihan bahasa indonesia kebahasa
sunda atau bahasa sunda kebahasa indonesia yang dilakukan dengan sadar dan
bersebab oleh adalah tercakup ke dalam peristiwa alih kode.
E. Sintaksis
Dalam kajian linguistik tidak terlepas dari kajian tata bahasa yang di
dalamnya mencakup bidang dan sub disiplin yang salah satu diantaranya adalah
linguistik deskriptif yang mengkaji tentang saintaksis. Sintaksis merupakan
subdisiplin linguistik yang menelaah struktur bahasa dari tatanan frasa sampai
dengan kalimat.30 Kajian sintaksis diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kata
Para ahli bahasa tradisional pada umumnya memberi pengertian kata
berdasarkan arti dan ortografi, menurut mereka kata adalah deretan huruf yang
diapit oleh dua buh spasi dan mempunyai satu arti31.
Kata merupakan bentuk yang, ke dalam mempunyai susunan fonologi yang
stabil dan tidak berubah, dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam
30
31

Soeparno, Dasar-dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 24.
Achmad HP dan Alek Abdullah, Linguistik Umum, (Jakarta: Erlangga, 2012), h. 61.

18

kalimat. Batasan atau konsep itu menyiratkan dua hal. Pertama bahwa setiap kata
mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta
tidak dapat diselipi atau disela oleh fonem lain.32

2. Frasa
Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi unsur klausa.33 Sedangkan Cook, Elson, dan Pickett
memaparkan frasa adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan
gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa.34
Berdasarkan distribusi dengan golongan atau kategori kata, frase digolongkan
menjadi empat golongan yaitu:35
a. Frase Nominal
Frase nominal adalah frase yang memiliki distribusi yang sama dengan kata
nominal.
b. Frase Verbal
Frase verbal adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata
verbal. Persamaan distribusi itu ada dapat diketahui dengan jelas dari adanya
jajaran.
c. Frase Bilangan (numerial)
Frase bilangan adalah frase yang empunyai distribusi yang sama dengan kata
bilangan
d. Frase Keterangan
Frase keterangan adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan
kata keterangan.
e. Frase Depan (preposisional)
Frase depan atau preposisional adalah frase yang terdiri dari kata depan
sebagai penanda.

32

Abdul Chaer, Morfologi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 63
M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis, (Yogyakarta: Karyono, 2005), h. 138
34
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Sintaksis, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 96.
35
Ramlan, op.cit, h. 144-163.
33

19

3. Klausa
Klausa adalah “satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurangkurangnya terdiri dari subyek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk
menjadi kalimat”.36 Berdasarkan fungsi P (predikat), klausa dapat digolongkan
menjadi empat golongan yaitu37:
1) Klausa Nominal
Klausa nominal adalah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frase golongan
N.
2) Klausa Verbal
Klausa verbal adalah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frase golongan
V.
3) Klausa Bilangan (numerial)
Klausa bilangan atau klausa numerial adalah klausa yang P-nya terdiri dari
kata atau frase golongan Bil.
4) Klausa Depan (preposisional)
Klausa depan atau klausa preposisional adalah klausa yang P-nya terdiri dari
frase depan, yaitu frase yang diawai oleh kata depan sebagai penanda.
4. Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai
pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa”.38
Sementara Djoko Kentjo memaparkan bahwa “kalimat adalah satuan sintaksis
yang disusun dari konsitituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi
dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final”.39 Kalimat
juga diartikan pada salah satu satuan tuturan artinya “kalimat adalah satuan yang
merupakan suatu keseluruhan yang memiliki intonasi tetentu sebagai pemarkah
keseluruhan itu”.40
36

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 124
M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis, (Yogyakarta: Karyono, 2005), h. 129-137.
38
Kridalaksana, op.cit, h. 103
39
Abdul Chaer, linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 240
40
Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), h.
161.

37

20

Berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat dapat digolongkan
menjadi tiga golongan yaitu:41
a. Kalimat Berita
Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain
sehingga tanggapan yang diharapkan berupa perhatian seperti tercermin pada
pandangan mata yang menunjukkan adanya perhatian.
b. Kalimat Tanya
Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesutu. Kalimat ini memiliki pola
intonasi yang berbeda dengan pola intonasi kalimat berita.
c. Kalimat Suruh/Perintah
Kalimat suruh atau kalimat perintah berfungsi dalam hubungan situasi,
kalimat suruh atau perintah mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari
orang yang diajak berbicara.
5. Singkatan/Penyingkatan/Akronim
Penyingkatan merupakan “gabungan dari huruf, atau bunyi, depan dari setiap
kata yang membentuknya. Bentuk tersebut biasanya merupakan bentuk penuh
yang bagian akhirnya dilesapkan”.42 Akronimisasi adalah “proses pembentukan
sebuah kata dengan cara menyingkat sebuah konsep yang direalisasikan dalam
sebuah konstruksi lebih dari sebuah kata, proses ini menghasilkan sebuah kata
yang disebut akronim, jadi akronim adalah sebuah singkatan”.43
Sementara Kamus Linguistik menjelaskan bahwa “singkatan/akronimi adalah
proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain
yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit-banyak memenuhi
kaidah fonatik suatu bahasa”.44

41

M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis, (Yogyakarta: Karyono, 2005), h. 26-39.
Makyun Subuki, Semantik Pengantar Memahami Makna Bahasa, (Jakarta: Transpustaka, 2011),
h. 67.
43
Abdul Chaer, Morfologi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 236.
44
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 5.
42

21

F. Variasi Bahasa
Variasi bahasa adalah “keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor
tertentu”.45 Sedangkan Ragam bahasa secara garis besar terbagi atas ragam bahasa
tulis dan ragam bahasa lisan. Ragam bahasa lisan ditandai dengan penggunaan
lafal atau pengucapan, intonsi, kosakata (baku atau tidak baku), dan penyusunan
kalimat yang agak longgar. “Ragam lisan menghendaki orang kedua atau teman
berbicara. Ragam ini terikat dengan situasi, kondisi, ruang, dan waktu”.46
Bahasa yang baik adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan situasi dan
kondisi. Hal ini biasanya berhubungan dengan nilai rasa, sedangkan bahasa yang
benar adalah “bahasa yang sesuai dengan kaidah yang ada, bahasa yang baik dan
benar harus menggunakan tatabahasa, sistem ejaan, artikulasi, dan kalimat yang
sesuai dengan aturan bahasa”.47
1. Istilah Variasi Bahasa
Mengenai variasi bahasa ini terdapat istilah yang perlu diketahui yaitu:48
a. Idiolek
Aidiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan
karena setiap orang mempunyai ciri khas bahasanyamasing-masing.
b. Dialek
Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu.
c. Ragam
Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu.untuk itu situasi formal
digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar,
untuk situasi tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam
non standar.

45

Soeparno, Dasar-dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 71.
Ramlan A. Gani dan Mahmudah Fitriyah Z.A, Disiplin Berbahasa Indonesia, (Jakarta: FITK
PRESS, 2011), h. 4.
47
Ibid, h. 6.
48
Abdul Chaer, linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h.55-56.

46

22

2. Macam-macam Variasi Bahasa
Penggunaan variasi atau ragam bahasa ini sering kita temukan salah satunya
adalah di dalam ruang lingkup sekolah dalam proses belajar mengajar. Bila dilihat
dari latar belakang budaya, suku dan etnik masyarakat di lingkungan sekolah
tentunya ragam bahasa yang digunakan pun akan bervariasi. Berikut beberapa
variasi bahasa berdasarkan macamnya:49
a. Variasi Kronologis
Variasi bahasa ini disebabkan oleh faktor keurutan waktu atau masa.
Perbedaan pemakaian bahasa telah mengakibatkan perbedaan wujud pemakaian
bahasa.
b. Variasi Geografis
Variasi bahasa ini disebabkan oleh perbedaan geografis atau faktor regional
atau sering juga disebut variasi regional.
c. Variasi Sosial
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan sosiologis, realisasi variasi sosial ini
berupa sosiolek.
d. Variasi Fungsional
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan fungsi pemakaian bahasa, sampai
berapa jauh fungsi-fungsi bahasa itu dimanifestasikan akan tampak pada wujud
variasi fungsional atau yang populer dengan sebutan fungsiolek.
e. Variasi Gaya/Style
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan gaya. Gaya adalah cara berbahasa
seseorang dalam perpormansinya secara terencana maupun tidak, baik secara lisan
maupun tertulis.
f. Variasi Kultural
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan budaya masyarakat pemakainya. Suatu
bahasa yang dipergunakan oleh penutur asli atau penutur pribumi kadang-kadang
mengalami perubahan dengan masuknya budaya lain.

49

Soeparno, Dasar-dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 71-78.

23

g. Variasi Individual
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan perorangan. Wujud varietasnya
dinamakan idiolek. Setiap individu penutur memiliki ciri tuturan yang berbeda
dengan penutur lain.
Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa variasi bahasa atau ragam
bahasa ini dapat menyebabkan terjadinya penggunaan alih kode dan campur kode,
dan ini sangat berkaitan dengan penelitian yang penulis teliti.

G. Bahasa Pengantar dalam Proses Belajar Mengajar
1. Pengertian Proses Belajar Mengajar
Proses Belajar Menga