Eliminasi Onion Yellow Dwarf Virus Dan Garlic Common Latent Virus Pada Bawang Putih Melalui Elektroterapi Dan Termoterapi Secara In Vitro

ELIMINASI Onion yellow dwarf virus DAN Garlic common latent virus
PADA BAWANG PUTIH MELALUI ELEKTROTERAPI DAN
TERMOTERAPI SECARA IN VITRO

SITI SHOFIYA NASUTION

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Eliminasi Onion yellow
dwarf virus dan Garlic common latent virus pada Bawang Putih melalui
Elektroterapi dan Termoterapi secara In Vitro adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Siti Shofiya Nasution
NIM A352140131

RINGKASAN
SITI SHOFIYA NASUTION. Eliminasi Onion yellow dwarf virus dan Garlic
common latent virus pada Bawang Putih melalui Elektroterapi dan Termoterapi
secara In Vitro. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan DINY
DINARTI.
Bawang putih (Allium sativum) merupakan salah satu komoditas hortikultura
yang digunakan sebagai bumbu di sebagian besar masakan Indonesia. Bawang
putih diperbanyak secara vegetatif sehingga diduga tidak ada klon atau benih yang
bebas dari penyakit. Beberapa jenis patogen diketahui dapat menular antar tanaman
melalui perbanyakan vegetatif termasuk virus. Tanaman bawang putih dapat
terinfeksi oleh virus dari 5 kelompok genus yaitu Allexivirus (Garlic virus-A,
GarV-A; Garlic virus-B, GarV-B; Garlic virus-C, GarV-C; Garlic virus-D, GarVD; Garlic virus-E, GarV-E; Garlic virus-X, GarV-X; Shallot virus X, ShVX; dan
Garlic mite-borne filamentous virus, GarMbFV), Potyvirus (Onion yellow dwarf
virus, OYDV; dan Leek yellow stripe virus, LYSV), Carlavirus (Garlic common
latent virus, GarCLV atau GCLV; dan Shallot latent virus, SLV), Tospovirus (Irish

yellow spot virus, IYSV), dan Fijivirus (Garlic dwarf virus, GDV). Beberapa jenis
virus yang menginfeksi bawang putih tersebut dilaporkan dapat menyebabkan
kehilangan hasil. Oleh karena itu, perlu upaya preventif untuk mengurangi insidensi
penyakit virus melalui penggunaan benih bebas virus.
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan metode eliminasi OYDV dan
GarCLV pada bahan perbanyakan bibit bawang putih melalui aplikasi kombinasi
elektroterapi dan termoterapi secara in vitro. Penelitian dilaksanakan mulai
Desember 2015 sampai September 2016 di Laboratorium Virologi Tumbuhan
Departemen Proteksi Tanaman dan Laboratorium Kultur Jaringan 3 Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel
benih bawang putih lokal diperoleh dari penangkar umbi bawang putih; terdiri atas
4 kultivar yaitu cv. Lumbu Kuning dan cv. Lumbu Hijau dari Jawa Timur, cv.
Tawangmangu Baru dari Jawa Tengah, dan cv. Sangga Sembalun dari Nusa
Tenggara Barat, sedangkan bawang putih konsumsi impor diperoleh dari
supermarket.
Kegiatan penelitian diawali dengan deteksi virus pada sampel bawang putih
menggunakan metode dot immunobinding assay (DIBA) dengan antibodi OYDV,
GarCLV, dan SLV. Deteksi benih bawang putih lokal dilakukan dengan memilih
secara acak 50 umbi pada masing-masing kultivar, sedangkan umbi bawang putih
impor dipilih secara acak 10 umbi dan ditumbuhkan selama 3 minggu di

laboratorium. Daun dikoleksi dan dijadikan sampel untuk deteksi virus. Dua
kultivar dengan insidensi virus tertinggi digunakan sebagai bahan tanam dalam
perlakuan eliminasi. Tunas adventif diberi perlakuan arus elektroterapi pada lima
taraf perlakuan, yaitu 0 mA, 5 mA, 10 mA, 15 mA dan 20 mA masing-masing diberi
aliran arus listrik selama 10 menit. Ujung tunas dipotong sekitar 2 mm yang
digunakan sebagai eksplan. Eksplan dikulturkan pada media MS (Murashigeskoog) dan diinkubasi pada ruang kultur kemudian diberikan termoterapi
berdasarkan masing-masing suhu selama 4 minggu. Perlakuan termoterapi
menggunakan 4 taraf perlakuan suhu, yaitu 23 °C, 28 °C, 33 °C, dan 38 °C. Setelah
4 minggu, tunas dipindahkan ke media inisiasi akar selama 2 minggu. Planlet yang

terbentuk siap diaklimatisasi menggunakan media arang sekam steril selama 2
minggu di laboratorium. Deteksi virus dilakukan pada tanaman bawang putih hasil
aklimatisasi menggunakan metode reverse transcription polymerase chain reaction
(RT-PCR).
Deteksi virus dari sampel bawang putih lokal menunjukkan hasil yang
beragam antar sampel bawang putih. Total insidensi virus sangat tinggi, yaitu 100%
pada cv. Sangga Sembalun, 98% pada cv. Lumbu Hijau, 96% pada cv.
Tawangmangu Baru, dan 92% pada cv. Lumbu Kuning, sedangkan pada bawang
putih konsumsi impor insidensi virus 100%. Lebih dari satu jenis virus ditemukan
pada satu tanaman bawang putih. Jenis virus yang paling banyak menginfeksi

bawang putih lokal adalah OYDV, baik secara tunggal (43.5%) maupun bersama
dengan GarCLV (43.5%), SLV (1%), GarCLV dan SLV (1.5%). Infeksi tunggal
GarCLV dan SLV dideteksi dari sampel bawang putih, yaitu berturut-turut
sebanyak 5.5% dan 1.5%, tetapi infeksi campuran keduanya tidak ditemukan,
sedangkan pada bawang putih konsumsi impor terinfeksi OYDV, GarCLV, dan
SLV sebesar 100%.
Pengamatan tanaman setelah perlakuan suhu menunjukkan bahwa suhu
berpengaruh nyata terhadap persentase hidup eksplan, sedangkan elektroterapi
tidak berpengaruh nyata. Eksplan hidup mencapai 100%, kecuali pada perlakuan
suhu 38 °C menyebabkan eksplan mati. Suhu tinggi dapat memberikan pengaruh
yang kurang baik terhadap jaringan tanaman. Jumlah daun dan tinggi tanaman pada
kedua kultivar dipengaruhi oleh termoterapi. Peningkatan suhu menyebabkan
penurunan pertumbuhan tanaman pada kedua kultivar. Pada cv. Lumbu Hijau,
elektroterapi memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun, sedangkan
interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kedua
parameter tersebut. Kondisi yang berbeda terjadi pada cv. Sangga Sembalun,
elektroterapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun, tetapi
interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun dan
tinggi tanaman.
Perlakuan suhu memberikan pengaruh nyata terhadap persentase tanaman

bebas OYDV, sedangkan perlakuan elektroterapi dan interaksi kedua perlakuan
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase tanaman bebas OYDV.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa termoterapi 33 oC merupakan perlakuan
terbaik dalam mengeliminasi OYDV pada umbi bawang putih meskipun tingkat
efisiensi berbeda pada setiap kultivar. Efisiensi eliminasi OYDV mencapai 60%
pada cv. Lumbu Hijau, sedangkan cv. Sangga Sembalun 40%. Sementara itu, semua
perlakuan dapat mengeliminasi GarCLV sebesar 100% pada kedua kultivar.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kultur ujung tunas 2 mm dapat
menekan insidensi GarCLV. Penelitian lanjutan dibutuhkan dalam meningkatkan
dan mengoptimasi metode termoterapi untuk mendapatkan bahan tanaman bebas
virus tanpa menurunkan pertumbuhan planlet.
Kata kunci: DIBA, planlet bebas virus, RT-PCR

SUMMARY
SITI SHOFIYA NASUTION. In Vitro Elimination of Onion yellow dwarf virus and
Garlic common latent virus Infecting Garlic using Electrotherapy and
Thermoterapy. Supervised by SRI HENDRASTUTI HIDAYAT and DINY
DINARTI.
Garlic (Allium sativum) is an important commodity in Indonesian as it always
become spices in food. Garlics are propagated via vegetative materials, therefore it

is difficult to find clones or disease-free bulbs. Many pathogens can be transmitted
through vegetative propagation including viruses. Garlic plants can be infected by
viruses belonging to five different genera, i.e. Allexivirus (Garlic virus-A, GarV-A;
Garlic virus-B, GarV-B; Garlic virus-C, GarV-C; Garlic virus-D, GarV-D; Garlic
virus-E, GarV-E; Garlic virus-X, GarV-X; Shallot virus X, ShVX; and Garlic miteborne filamentous virus, GarMbFV), Potyvirus (Onion yellow dwarf virus, OYDV;
and Leek yellow stripe virus, LYSV), Carlavirus (Garlic common latent virus,
GarCLV or GCLV; and Shallot latent virus, SLV), Tospovirus (Irish yellow spot
virus, IYSV), and Fijivirus (Garlic dwarf virus, GDV). Virus infection in garlic can
seriously reduce crop yields and cloves quality. Therefore, planting virus-free bulbs
might help reduce disease incidence in the field.
This research was aimed to develop method for elimination of viruses from
garlic bulbs using combination of electrotherapy and thermotherapy in in vitro
propagation approach. Research was conducted since December 2015 to September
2016, in Laboratory of Plant Virology, Departement of Plant Protection, and
Laboratory of Tissue Culture 3 Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural
University (IPB). Four garlic cultivars from seed breeder, i.e. cv. Lumbu Kuning,
cv. Lumbu Hijau from East Java, cv. Sangga Sembalun from East Lombok, and cv.
Tawangmangu Baru from Central Java were used as seed bulbs. Garlic used for
consumption was collected from the market only for virus detection.
Virus detection was first proceeded using dot immunobinding assay (DIBA)

method with spesific antibodies for OYDV, GarCLV, and SLV. From each cultivar,
50 bulbs were taken randomly as seed bulbs and grown for three weeks in the
laboratory. Leaves was collected for virus detection. Two cultivars with high
incidence of viruses were selected as plant material for virus elimination treatment.
The adventitious shoots were given electrotherapy treatment, i.e. 0 mA, 5 mA, 10
mA, 15 mA, and 20 mA, each for 10 min. After the treatment, the adventitious
shoots were excised from basal plates and were cut to about 2 mm as explant. These
explants were then planted in MS (Murashige-skoog) medium and given
thermotherapy treatment with 4 treatments level, i.e. 23 oC, 28 oC, 33 oC, and 38 oC
with 4 weeks incubation period. Afterward, the shoots were planted into rootinitiating media for 2 weeks in the laboratory. Plantlets were planted in sterile husk
charcoal media for 2 weeks in laboratory. Virus detection using reverse
transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) was carried out after
acclimatization phase.
Virus detection showed various results among the bulb samples. Total virus
incidence was very high, i.e. 100% for cv. Sangga Sembalun, 98% for Lumbu
Hijau, 96% for Tawangmangu Baru, and 92% for Lumbu Kuning. More than one
virus was found infect garlic samples. Onion yellow dwarf virus (OYDV) infection

was dominant, both in single infection (43.5%), and mixed infection with GarCLV
(43%), SLV (1%), GarCLV and SLV (1.5%). Single infection of GarCLV (5.5%)

and SLV (1.5%) were detected from garlic sample but the combined infection from
both was not found. This was in contrast to garlic consumption samples, i.e. mix
infection of OYDV, SLV, and GarCLV was found 100 %.
Thermotherapy gave significant effect to life percentage of explant,
meanwhile electrotherapy was not significant. A higher number of developed
explants (100%) were obtained, except from thermotherapy at 38 oC. High
temperature may adversely affect the plant tissues. The average number of leaves
and height of plants were affected by thermotherapy in both cultivars. Increasing
the temperature can inhibit plant growth on both cultivars. On cv. Lumbu Hijau,
electrotherapy gave significant effect on average number of leaves, meanwhile
interaction of thermotherapy and electrotherapy was no significant. On cv. Sangga
Sembalun, electrotherapy gave no significant effect on number of leaves, but
interaction of both treatments showed significant effect on number of leaves and
height of plants.
Thermotherapy treatment showed significant effect on the percentage of
OYDV-free plant, while electrotherapy and interaction of both treatments did not
significantly affect the percentage of OYDV-free plant. The best temperature to
obtain OYDV-free plant was 33 oC although the efficiency to obtain virus-free plant
depends on garlic cultivar used. The efficiency of OYDV elimination reached up to
60% and 40% for cv. Lumbu Hijau and cv. Sangga Sembalun, respectively.

Meanwhile, all treatments were able to suppress incidence of GarCLV up to 100%
on both cultivars. This result indicated that 2 mm-shoot tip culture could suppress
GarCLV. Further studies are needed for improvement and optimization of
thermotherapy techniques to obtain virus-free material without decreasing
multiplication rate of the plantlets.
Keywords: DIBA, RT-PCR, virus-free plantlets

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ELIMINASI Onion yellow dwarf virus DAN Garlic common latent virus
PADA BAWANG PUTIH MELALUI ELEKTROTERAPI DAN
TERMOTERAPI SECARA IN VITRO


SITI SHOFIYA NASUTION

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi

PRAKATA
Ucapan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Eliminasi Onion yellow dwarf virus dan
Garlic common latent virus pada Bawang Putih melalui Elektroterapi dan
Termoterapi secara In Vitro” ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari banyak pihak yang terlibat dalam penyelesaian tesis ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc dan
Dr Ir Diny Dinarti, MSi selaku komisi pembimbing yang memberi arahan, koreksi,
saran membangun dan bimbingan, serta dukungan sejak penentuan topik,
pelaksanaan penelitian, sampai penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi sebagai dosen penguji.
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan biaya penelitian melalui proyek
ACIAR: Increasing Productivity of Allium and Solanaceous Vegetable Crops in
Indonesia and Sub-Tropical Australia.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua, Rustam Efendi
Nasution dan Lisdawati, kakak Firda Wahyuni Nasution, adik Ahmad Fakhri
Nasution, dan Fathin Annisa Nasution yang memberi dukungan penuh kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan magister. Terima kasih kepada
Sari Nurulita SP, MSi yang telah membantu dan membimbing dalam penelitian.
Terima kasih kepada Ibu Siti Kholifah sebagai pranata Laboratorium Kultur
Jaringan 3. Terima kasih kepada rekan-rekan Fitopatologi 2014, rekan-rekan
Laboratorium Virologi Tumbuhan, Laboratorium Kultur Jaringan 3 dan semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan kebersamaannya
selama menjalani studi di PS Fitopatologi IPB. Terima kasih penulis sampaikan
kepada seluruh dosen dan tenaga kependidikan di PS Fitopatologi, Departemen
Proteksi Tanaman IPB, Fakultas Pertanian IPB.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017
Siti Shofiya Nasution

DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Virus pada Bawang Putih
Onion yellow dwarf virus (OYDV)
Garlic common latent virus (GarCLV)
Shallot latent virus (SLV)
Metode Deteksi Virus pada Bawang Putih
Dot Immunobinding Assay (DIBA)
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Elektroterapi
Termoterapi
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Metode
Pengumpulan Sampel Umbi Bawang Putih
Deteksi Virus pada Sampel Bawang Putih
Metode DIBA
Metode RT-PCR
Eliminasi Virus dari Umbi Bawang Putih
Perlakuan Elektroterapi
Kultur Jaringan dan Perlakuan Termoterapi
Rancangan Percobaan dan Peubah Pengamatan
4 HASIL
Gejala Penyakit
Deteksi Virus pada Tanaman Bawang Putih
Pengaruh Elektroterapi dan Termoterapi terhadap Persentase Hidup
Eksplan, Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman
Pengaruh Termoterapi dan Elektroterapi terhadap Eliminasi OYDV
dan GarCLVpada Tanaman Bawang Putih
5 PEMBAHASAN
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
7 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
1
2
2
2
2
3
4
4
5
5
5
6
6
7
7
9
9
9
9
9
10
10
11
11
12
13
14
14
15
17
20
23
25
25
25
26
31
34

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Primer yang digunakan untuk amplifikasi OYDV dan GarCLV
Insidensi beberapa jenis virus pada beberapa kultivar bawang
putih menggunakan metode dot immunobinding assay (DIBA)
Pengaruh elektroterapi dan termoterapi terhadap persentase hidup
eksplan
Pengaruh elektroterapi dan termoterapi terhadap rata-rata jumlah
daun pada 4 MST
Pengaruh elektroterapi dan termoterapi terhadap persentase
tanaman bebas OYDV dan GarCLV

11
15
17
18
21

DAFTAR GAMBAR
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Alur penelitian eliminasi Onion yellow dwarf virus dan Garlic
common latent virus pada bawang putih melalui elektroterapi dan
termoterapi secara in vitro.
Organisasi genom Onion yellow dwarf virus (OYDV)
Organisasi genom Carlavirus
Umbi bawang putih
Perlakuan elektroterapi pada tunas adventif bawang putih
Ukuran ujung tunas 2 mm
Gejala pada sampel tanaman bawang putih
Hasil deteksi sampel daun umbi bawang putih dengan metode
DIBA
Pengaruh termoterapi terhadap eksplan hidup pada 4 MST
Pengaruh elektroterapi dan termoterapi terhadap tinggi tanaman
bawang putih pada 4 MST secara in vitro
Gejala pada tanaman bawang putih 2 minggu setelah aklimatisasi
Hasil amplifikasi RT-PCR tanaman bawang putih setelah
perlakuan elektroterapi dan termoterapi

3

4
5
9
12
12
14
16
18
19
20
22

DAFTAR LAMPIRAN
1

Deskripsi kultivar bawang putih

32

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang putih (Allium sativum) merupakan salah satu komoditas hortikultura
yang digunakan sebagai bumbu di sebagian besar masakan Indonesia serta
digunakan untuk kesehatan dan beberapa hal lainnya. Menurut BPS (2015), impor
bawang putih pada tahun 2014 mencapai 498 228 ton, sedangkan produksi bawang
putih pada tahun 2014 di Indonesia hanya 16 902 ton. Penyebab rendahnya produksi
bawang putih lokal diantaranya adalah luas, produktivitas dan kualitas benih
bawang putih yang rendah, teknik penyimpanan benih bawang putih kurang
memadai, lingkungan tumbuh yang kurang optimum, dan faktor biotik disebabkan
oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama cendawan dan virus
(Wibowo 2006).
Bawang putih selalu diperbanyak secara vegetatif, dimana metode
perbanyakan ini dapat menyebabkan penularan patogen sehingga diduga tidak ada
klon atau benih yang bebas dari penyakit (Conci et al. 2005). Beberapa jenis
patogen diketahui dapat menular antar tanaman melalui perbanyakan vegetatif
termasuk virus. Sebanyak 14 virus yang termasuk dalam 5 kelompok genus
diketahui dapat menginfeksi bawang putih yaitu kelompok Allexivirus (Garlic
virus-A, GarV-A; Garlic virus-B, GarV-B; Garlic virus-C, GarV-C; Garlic virusD, GarV-D; Garlic virus-E, GarV-E; Garlic virus-X, GarV-X; Shallot virus X,
ShVX; dan Garlic mite-borne filamentous virus, GarMbFV), kelompok Potyvirus
(Onion yellow dwarf virus, OYDV; dan Leek yellow stripe virus, LYSV), kelompok
Carlavirus (Garlic common latent virus, GarCLV atau GCLV; dan Shallot latent
virus, SLV), kelompok Tospovirus (Irish yellow spot virus, IYSV), dan kelompok
Fijivirus (Garlic dwarf virus, GDV) (Conci et al. 1992; Van Dijk 1993; Sumi et al.
1993; Barg et al. 1994; Nagakubo et al. 1994; Tsuneyoshi et al. 1998; Chen et al.
2002). Beberapa jenis virus yang menginfeksi bawang putih tersebut dilaporkan
dapat menyebabkan kehilangan hasil. Infeksi virus campuran menghasilkan gejala
pada daun seperti mosaik, klorotik memanjang, umbi mengecil, dan berkurangnya
hasil panen sampai 78% (Walkey & Antil 1989; Lot et al. 1998; Conci et al. 2005;
Lunello et al. 2007). Data dan pengetahuan mengenai jenis virus yang menginfeksi
tanaman bawang putih di Indonesia masih sangat terbatas.
Virus cenderung menyebar ke tanaman sehat setiap siklus pertanaman
sehingga dapat menyebabkan penurunan hasil dan kualitas umbi. Terbatasnya
pengetahuan terkait keberadaan virus di lapangan serta kebiasaan petani menanam
umbi bawang putih terinfeksi virus menyebabkan virus terakumulasi, tersebar luas,
dan bertahan dari generasi ke generasi selama bertahun-tahun. Upaya preventif
untuk mengurangi insidensi penyakit adalah menggunakan bahan tanaman bebas
virus. Penggunaan benih bawang putih bebas virus dapat diperoleh melalui
penerapan metode eliminasi virus, antara lain metode kultur meristem, termoterapi,
elektroterapi, kemoterapi, dan krioterapi (Almaarri et al. 2012). Soliman et al.
(2012) berhasil mengeliminasi OYDV dari umbi bawang putih melalui
elektroterapi dengan perlakuan aliran listrik 15 mA selama 10 menit dan tidak
menyebabkan gangguan pertumbuhan planlet. Torres et al. (2000) berhasil
mengeliminasi virus dari umbi bawang merah menggunakan udara panas pada suhu

2

37 °C selama 35 hari dan tidak menyebabkan gangguan pertumbuhan planlet.
Soliman et al. (2012) berhasil mengeliminasi OYDV dengan perlakuan tunggal
termoterapi pada suhu 38 °C pada umbi bawang putih selama 3 minggu. Efisiensi
elektroterapi dan termoterapi sangat bergantung pada jenis tanaman dan virus
target. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian dasar untuk mengevaluasi
efisiensi kedua perlakuan tersebut terhadap upaya eliminasi virus dari umbi bawang
putih.

Perumusan Masalah
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas bawang putih secara nasional
adalah karena sulitnya mendapatkan umbi yang berkualitas di pasaran. Kualitas
umbi ditentukan oleh umur simpan benih, ukuran benih, umbi benih berwarna cerah
dan mengkilat, umbi benih sehat, padat, tidak keropos, dan tidak lunak, umbi tidak
terserang hama dan penyakit, termasuk yang disebabkan oleh virus. Virus yang
menginfeksi umbi bawang putih bersifat sistemik, apabila sudah berada dalam umbi
sulit untuk dikendalikan serta dapat membawa masalah baru pada pertanaman
berikutnya. Perlakuan elektroterapi dan termoterapi telah digunakan untuk
menekan infeksi beberapa jenis virus pada berbagai jenis eksplan. Aplikasi
elektroterapi dan termoterapi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi eliminasi
virus pada tanaman bawang putih sehingga dapat menekan insidensi penyakit
akibat infeksi virus pada pertanaman bawang putih di Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mendapatkan metode eliminasi virus pada bahan
perbanyakan bawang putih melalui aplikasi kombinasi elektroterapi (0 mA, 5 mA,
10 mA, 15 mA, dan 20 mA) dan termoterapi (23 oC, 28 oC, 33 oC, dan 38 oC) secara
in vitro.

Hipotesis
1. Kombinasi perlakuan elektroterapi dan termoterapi pada eksplan bawang putih
dapat menurunkan insidensi virus pada bawang putih.
2. Perlakuan elektroterapi dan termoterapi tidak menghambat pertumbuhan
eksplan bawang putih.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan metode eliminasi virus
dari umbi tanaman bawang putih untuk memproduksi bibit bebas virus. Penggunaan
bibit bebas virus diharapkan dapat menekan insidensi penyakit di lapangan dan
meningkatkan produktivitas bawang putih di Indonesia.

3

Pengumpulan sampel umbi bawang putih

Deteksi virus dengan metode DIBA
menggunakan antibodi OYDV, GarCLV,
dan SLV

Eliminasi virus melalui aplikasi kombinasi
elektroterapi (0 mA, 5 mA, 10 mA, 15 mA,
20 mA) selama 10 menit dan termoterapi
(23 oC, 28 oC, 33 oC, 38 oC) selama 4
minggu secara in vitro

Aklimatisasi
laboratorium

selama

2

minggu

di

Deteksi virus dengan metode RT-PCR
menggunakan primer spesifik OYDV dan
GarCLV

Luaran yang diharapkan:
1. Mendapatkan metode eliminasi virus pada bahan perbanyakan bawang putih
melalui aplikasi kombinasi elektroterapi dan termoterapi secara in vitro
2. Memperoleh tanaman bebas OYDV dan GarCLV
Gambar 1 Alur penelitian “Eliminasi Onion yellow dwarf virus dan Garlic common
latent virus pada bawang putih melalui elektroterapi dan termoterapi
secara in vitro”.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Virus pada Bawang Putih
Tanaman bawang putih diketahui diinfeksi oleh banyak jenis virus dan
beberapa jenis virus tersebut menurunkan kualitas dan meningkatkan kehilangan
hasil. Kehilangan hasil akibat infeksi virus pada tanaman bawang putih telah
dilaporkan sekitar 25-50% (Dovas et al. 2001). Sebanyak 14 virus yang termasuk
dalam 5 kelompok genus diketahui dapat menginfeksi bawang putih yaitu
kelompok Allexivirus (Garlic virus-A, GarV-A; Garlic virus-B, GarV-B; Garlic
virus-C, GarV-C; Garlic virus-D, GarV-D; Garlic virus-E, GarV-E; Garlic virusX, GarV-X; Shallot virus X, ShVX; dan Garlic mite-borne filamentous virus,
GarMbFV), kelompok Potyvirus (Onion yellow dwarf virus, OYDV; dan Leek
yellow stripe virus, LYSV), kelompok Carlavirus (Garlic common latent virus,
GarCLV atau GCLV; dan Shallot latent virus, SLV), kelompok Tospovirus (Irish
yellow spot virus, IYSV), dan kelompok Fijivirus (Garlic dwarf virus, GDV)
(Conci et al. 1992; van Dijk 1993, Sumi et al. 1993; Barg et al. 1994; Nagakubo et
al. 1994; Tsuneyoshi et al. 1998; Chen et al. 2002).
Onion yellow dwarf virus (OYDV)
Onion yellow dwarf virus (OYDV) merupakan virus yang tergolong dalam
genus Potyvirus famili Potyviridae yang merupakan famili terbesar dalam virus
tanaman dan tergolong positive sense single-stranded RNA (ssRNA(+)). OYDV
memiliki partikel virus berbentuk benang, memanjang (filamentous), lentur
(flexuous), panjang partikel 772-823 nm dengan berat protein selubung 34 kDa
(Takaichi et al. 2001). Virus ini menyerang berbagai jenis bawang, termasuk
bawang putih. Infeksi OYDV pada bawang putih dapat mengganggu kualitas dan
hasil panen mencapai 60% (Lot et al. 1998). Virus ini memiliki titik panas
inaktivasi (TIP) yaitu 60 – 65 oC, batas akhir pengenceran (DEP) yaitu 10-2 – 10-4,
dan lama penyimpanan in vitro (LIV) 2 – 3 hari (Sutic et al. 1999).

Gambar 2 Organisasi genom Onion yellow dwarf virus (OYDV). VPg: Viral
genome-linked protein; P1-Pro: Protein; HC-Pro: Helper component
proteinase; P3: Protein; 6K1: Peptida 1; CI: Cylindrical inclusion
protein; 6K2: Peptida 2; VPg: Viral genome-linked protein; NIa:
Nuclear inclusion a (proteinase); NIb: Nuclear inclusion b (viral
replicase); CP: Coat protein (King et al. 2011).
OYDV ditularkan oleh Myzus persicae dan beberapa famili dari Aphididae
secara nonpersisten dari tanaman bawang putih terinfeksi OYDV ke tanaman sehat
serta dapat ditularkan secara mekanis. OYDV tidak ditularkan melalui biji maupun
serbuk sari. Penyebaran virus secara alami dibantu oleh serangga vektor dan

5

melalui bahan perbanyakan vegetatif dari bawang yang terinfeksi, seperti umbi
(Diekman 1997).
Gejala infeki OYDV pada tanaman bawang putih menunjukkan garis kuning
pada seluruh permukaan daun, klorotik bergaris panjang dengan sedikit warna
kuning (van Dijk 1993), daun melengkung ke bawah, memipih, dan mengeriting.
Gejala yang ditimbulkan juga akan semakin parah jika infeksi dari virus ini disertai
dengan virus lainnya (Diekmann 1997). Menurut Elnagar et al. (2009), infeksi
OYDV pada tanaman bawang putih di lapangan dapat menurunkan tinggi pseudo
batang, jumlah daun, berat tanaman, berat umbi, jumlah siung, dan berat siung
masing-masing sebesar 47.6%, 27.75%, 14%, 56.24%, 58.78%, 47.37% dan
71.92%.
Garlic common latent virus (GarCLV)
Garlic common latent virus (GarCLV atau GCLV) termasuk ke dalam genus
Carlavirus dan termasuk ke dalam famili Betafleviridae yang tergolong positive
sense single-stranded RNA (SSRNA(+)). GarCLV memiliki partikel memanjang
(filamentous) dan lentur (flexious) sekitar 650 nm (Takaichi et al. 2001; Adams et
al. 2004). GarCLV tidak memperlihatkan gejala ketika menginfeksi tunggal tetapi
dapat menghasilkan keparahan berat ketika infeksi campuran dengan virus bawang
putih lainnya, contohnya Potyvirus. GarCLV ditularkan oleh kutudaun dan melalui
perbanyakan vegetatif. Virus ini merupakan virus yang umum menginfeksi bawang
putih (Van Dijk 1993). Takaichi et al. (2001) melaporkan bahwa Carlavirus (SLV
dan GarCLV) tidak memperlihatkan gejala ketika menginfeksi tanaman bawang
putih, tetapi menghasilkan gejala menguning dan mosaik ketika infeksi campuran
dengan Potyvirus.

Gambar 3 Organisasi genom Carlavirus. RdRp: RNA dependent RNA polymerase;
TGB: Triple gene block; CP: Coat protein; NB: Nucleic acid binding
protein (King et al. 2011).
Shallot latent virus (SLV)
Shallot latent virus (SLV) pertama kali dilaporkan di Belanda pada Allium
cepa var. ascalonicum (Bos 1982). Virus ini termasuk genus Carlavirus dan
tergolong positive sense single-stranded RNA (SSRNA(+)), partikel virus
berbentuk filamen sedikit lentur (flexuous) dengan panjang 650 nm. Virus ini dapat
ditularkan melalui kutudaun secara nonpersisten, mekanis, dan melalui
perbanyakan vegetatif khususnya pada bawang putih dan bawang merah
(Diekmann 1997).
Metode Deteksi Virus pada Bawang Putih
Deteksi virus penyebab penyakit pada tanaman, benih, atau bahan vegetatif
sangat diperlukan dalam strategi pengendalian penyakit. Pengamatan gejala

6

merupakan langkah awal dalam diagnosis penyebab penyakit oleh virus. Namun,
pengamatan gejala saja tidak cukup akurat untuk menentukan virus penyebab suatu
penyakit karena gejala yang diduga disebabkan oleh virus bisa saja disebabkan oleh
patogen lain, toksisitas serangga, maupun pengaruh faktor abiotik misalnya
kekurangan dan kelebihan unsur hara, stres lingkungan dan sebagainya (Agrios
2005).
Metode deteksi yang tepat sangat diperlukan dalam mendeteksi dan
mengidentifikasi virus pada suatu tanaman. Deteksi dan identifikasi virus dapat
dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler. Deteksi virus berdasarkan
karakter biologi dapat dilakukan menggunakan tanaman indikator, penularan virus,
dan bentuk partikel. Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein melalui uji serologi
dan sifat asam nukleat (Foster & Taylor 1998; Hull 2002). Beberapa cara yang
digunakan untuk deteksi serologi antara lain presipitasi dalam tabung, gel doublediffusion test, dot immunobinding assay (DIBA), immunoblotting atau western blotting,
dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Harlow & Lane 1999).
Dot Immunobinding Assay (DIBA)
DIBA merupakan uji serologi menggunakan membran Nitropure nitrocellulose
(NPN) yang sangat efektif mendeteksi dan mendiagnosa virus tanaman. Teknik ini
menggunakan gerusan tanaman segar dan diteteskan pada kertas membran (Lin et al.
1990). Metode ini mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi, prosedur yang
digunakan sangat sederhana dan dapat digunakan untuk deteksi rutin dengan jumlah
sampel yang banyak (Dijkstra & De Jager 1998).
DIBA memiliki prinsip kerja yang hampir sama dengan ELISA,
perbedaannya terletak pada antigen atau antibodi yang digunakan, yang nantinya
akan berikatan dengan membran nitrocellulose dan menghasilkan suatu reaksi
enzim dalam bentuk tak terlarut (Hibi & Saito 1985). Prinsip kerja ELISA adalah
antigen (patogen) pada sampel pengujian akan terperangkap secara khusus dan
terkunci oleh fase padat dari spesifik antibodi. Antibodi spesifik kemudian akan
bereaksi dengan antigen yang telah terkunci, sedangkan antibodi yang tidak
bereaksi selanjutnya akan dibersihkan atau dikeluarkan. Antibodi yang telah
berikatan kemudian diuji dengan pemberian substrat yang sesuai dan akan
memberikan warna yang menunjukkan ada atau tidaknya antigen pada sampel yang
diujikan sebagai bentuk pengujian secara kualitatif (Clark 1981).
Metode DIBA telah digunakan untuk mendeteksi virus dengan antibodi
spesifik untuk virus OYDV, SLV dan GarCLV pada sampel umbi dan daun
tanaman bawang yang diperoleh dari uji pertumbuhan (growing on test) (Wulandari
et al. 2015). Kadwati dan Hidayat (2013) menyatakan bahwa tingkat sensitivitas
DIBA dalam mendeteksi Potyvirus cukup sensitif, mampu mendeteksi pengenceran
antigen virus mencapai 10-2 dan pengenceran antibodi hingga 10-1 dan 10-2.
Mahmood et al. (1997) juga menambahkan metode ini juga cukup sensitif untuk
diaplikasikan dan memiliki kesamaan sensitivitas dengan ELISA, akan tetapi lebih
sulit dilakukan kuantifikasi.
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Teknik RT-PCR dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap molekul
RNA hasil transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di dalam sel. PCR
tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan, maka terlebih

7

dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse transcription) terhadap molekul
RNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complementary DNA). Molekul cDNA
tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini
sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum
dilakukan kloning dan analisis, maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun
penyakit genetik (Yuwono 2006).
RT-PCR merupakan teknik yang digunakan untuk mendeteksi virus yang
memiliki genom RNA seperti sebagian besar virus tumbuhan sehingga diperlukan
modifikasi teknik PCR karena molekul sasarannya adalah RNA. RT-PCR
merupakan teknik PCR yang dapat menggandakan RNA menjadi DNA. Teknik RTPCR terdiri atas dua reaksi yaitu reaksi transkripsi balik (reverse transcription)
yang menggunakan genom RNA virus sebagai cetakan dan menghasilkan cDNA
primer (untai tunggal) serta reaksi penggandaan PCR. Primer yang digunakan
sesuai dengan virus yang akan dideteksi (Akin 2006).
Teknik RT-PCR mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dalam mendeteksi
virus tanaman dibandingkan dengan teknik serologi. Hasil deteksi terhadap empat jenis
virus tanaman apel menunjukkan bahwa RT-PCR mendeteksi 8.6% lebih banyak
sampel yang positif dibandingkan pengujian melalui serologi menggunakan ELISA
(Calayani et al. 2006). Takaichi et al. (2001) mengembangkan metode spesifik dan
sangat efisien untuk mendeteksi virus utama pada bawang putih seperti Carlavirus,
Potyvirus, dan Mite-borne mosaic virus menggunakan metode RT-PCR. Spesifik
primer disintesis untuk amplifikasi gen coat protein virus. Identifikasi molekuler
dengan teknik RT-PCR juga telah digunakan untuk mengkarakterisasi Garlic latent
virus (GarLV), Onion yellow dwarf virus (OYDV) dan Leek yellow stripe virus (LYSV)
pada tanaman bawang putih, Shallot yellow stripe virus (SYSV) pada tanaman Allium
fistulosum var. caespitosum (Chen et al. 2002).

Elektroterapi
Elektroterapi adalah metode eliminasi virus dengan menggunakan arus listrik.
Teknik elektroterapi diterapkan untuk mengganggu atau menurunkan
nukleoprotein virus dan menghilangkan aktivitas virulensi virus (Hormozi et al.
2010). Jaringan tanaman yang diberikan perlakuan elektroterapi akan
meningkatkan suhu dalam sel. Sebagian protein partikel virus akan terdenaturasi
dengan meningkatkan suhu dalam sel (Conzalez et al. 2006). Menurut Lozoya
(1996), batang tanaman kentang yang diberi perlakuan elektroterapi dapat
meningkatkan suhu batang tanaman kentang sekitar 4 oC sampai 10 oC, suhu ini
mungkin menekan aktivitas virus tetapi tidak menghambat metabolisme tumbuhan.
Partikel virus mengalami denaturasi ketika bergerak melewati
plasmodesmata (Hull 2002). Inaktivasi struktur nukleoprotein spesifik mencegah
penetrasi partikel virus ke bagian sel yang sehat (Conzalez 2006). Menurut Retivin
dan Opritov (1992), perlakuan elektroterapi dapat merubah pH dalam cairan batang
setelah perlakuan arus listrik yang dapat menghambat replikasi virus.
Termoterapi
Perlakuan panas (termoterapi) merupakan metode yang umum digunakan
untuk memproduksi propagasi tanaman yang bebas virus, viroid dan fitoplasma
(Hadidi et al. 1998). Perlakuan panas dapat dilakukan dengan penggunaan air panas
(hot wáter treatment) maupun udara panas (hot air treatment). Perlakuan
termoterapi melalui air panas memiliki kelebihan membutuhkan waktu yang lebih

8

singkat, tetapi kekurangan dari perlakuan ini tinggi kontaminasi cendawan dan
bakteri yang membahayakan berkembangnya eksplan. Perlakuan termoterapi
menggunakan udara panas merupakan perlakuan efisien yang dapat digunakan
untuk menghasilkan tanaman bebas virus (Torres 2000).
Banyak virus yang dapat dieliminasi dari tanaman inangnya melalui
termoterapi. Awalnya perlakuan panas diperlakukan pada keseluruhan tanaman
pada suhu konstan yang berkisar dari 35-40 °C. Meskipun banyak tanaman yang
mati setelah mendapatkan perlakuan ini, beberapa tanaman yang bertahan dapat
menjadi tanaman yang bebas virus. Metode tersebut dapat mengurangi jumlah virus
pada suhu yang tinggi. Suhu yang lebih tinggi dari suhu optimal yang digunakan
untuk pertumbuhan tanaman dapat menekan multiplikasi patogen dan
meningkatkan degradasi RNA virus (Wang & Valkonen 2008).
Perlakuan termoterapi dapat menghambat replikasi virus di dalam tanaman,
translokasi virus. Perlakuan panas dengan suhu di atas 37 °C mampu menghambat
multiplikasi banyak virus, merusak movement protein yang sangat berperan dalam
transportasi virus dalam tanaman, serta merusak coat protein virus yang juga
berperan dalam translokasi sistemik virus dalam tanaman (Hadidi et al. 1998).
Perlakuan panas tidak hanya berpengaruh terhadap virus di dalam tanaman, tetapi
juga menghambat proses fotosintesis, meningkatkan respirasi gelap, mereduksi
translokasi karbohidrat, mempengaruhi sintesis protein, mempengaruhi
pembelahan sel, pertumbuhan sel dan hormon tumbuhan. Perubahan proses dalam
tumbuhan juga dapat mempengaruhi virus dalam tumbuhan tersebut (Hadidi et al.
1998).
Perlakuan termoterapi memberikan pengaruh dalam perubahan partikel virus
pada perlakuan suhu di atas 35 oC, pecahnya ikatan hidrogen dan disulfida protein
penyelubung virus, diikuti dengan ikatan kovalen fosfodiester asam nukleat
mengakibatkan kemunduran infektivitas virus termasuk penghambatan replikasi
virus, perubahan pH, peningkatan enzim litik, kompetisi antara RNA virus dan
messenger untuk ikatan ribosom (Panattoni et al. 2013).

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai September 2016
di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman dan
Laboratorium Kultur Jaringan 3 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Metode
Pengumpulan Sampel Umbi Bawang Putih
Sampel umbi bawang putih lokal diperoleh dari penangkar umbi bawang
putih, terdiri atas 4 kultivar dari 3 lokasi berbeda, yaitu cv. Lumbu Kuning dan
Lumbu Hijau dari Jawa Timur, cv. Tawangmangu Baru dari Jawa Tengah, cv.
Sangga Sembalun dari Lombok Timur, sedangkan bawang putih konsumsi impor
diperoleh dari supermarket (Gambar 4). Sebanyak 50 umbi untuk masing-masing
kultivar bawang putih lokal diambil secara acak dari 2 kg sampel untuk digunakan
dalam deteksi awal virus, sedangkan bawang putih impor dipilih 10 umbi dari 1 kg
sampel.
A

B

D

C

E

Gambar 4 Umbi bawang putih; Bawang putih konsumsi impor (A); Benih bawang
putih lokal: Cv Sangga Sembalun (B); Cv Lumbu Hijau (C);
Cv Lumbu Kuning (D); dan Cv Tawangmangu Baru (E)
Deteksi Virus pada Sampel Bawang Putih
Deteksi virus dari sampel bawang putih menggunakan dua metode, yaitu
metode dot immunobinding assay (DIBA) untuk deteksi awal pada umbi bawang
putih, dan metode reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR)
untuk deteksi pada planlet bawang putih.

10

Metode DIBA
Umbi yang sudah dipilih dipecah menjadi siung tunggal. Siung diletakkan
pada styrofoam yang telah dilubangi sesuai dengan diameter siung. Styrofoam
kemudian diletakkan pada nampan yang telah diberi air. Gejala pada tanaman
diamati hingga 3 minggu setelah tanam (MST). Daun dikoleksi dan dijadikan
sampel untuk deteksi virus.
Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Asniwita et al. (2012)
menggunakan antibodi GarCLV, SLV, dan OYDV. Masing-masing sampel digerus
dalam tris buffer saline (TBS : Tris-HCl 0.02 M dan NaCl 0.15 M, pH 7.5 Tris-HCl
0.02 M dan NaCl 0.15 M, pH 7.5) dengan perbandingan 1:10 (b:v). Suspensi
tanaman selanjutnya diteteskan ke atas membran nitroselulosa sebanyak 2 μL.
Setelah tetesan sampel kering, membran direndam di dalam 10 mL larutan blocking
skim milk 2% dalam TBS yang mengandung Triton X-100 dengan konsentrasi akhir
2%. Membran kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil digoyang dengan
kecepatan 50 rpm selama 1 jam lalu dicuci 5 kali dengan dH2O, tiap pencucian
berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran
selanjutnya direndam dalam 2.5 mL TBS yang mengandung antibodi 2.5 μL
ditambah skim milk dengan konsentrasi akhir 2%, kemudian membran diinkubasi
semalam pada suhu 4 oC. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan Tween
0.05% dalam TBS (TBST), tiap pencucian berlangsung 5 menit. Membran
selanjutnya direndam dalam 2.5 mL TBS yang mengandung konjugat 2.5 μL
(antibodi kedua) ditambah skim milk dengan konsentrasi akhir 2%, kemudian
membran diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm.
Membran selanjutnya dicuci kembali dengan TBST dan direndam selama 5 menit
dalam 10 mL bufer AP (Tris-HCl 0.1 M, NaCl 0.1 M, MgCl2 5 mM, dan air) yang
mengandung 1 tablet nitro blue tetrazolium (NBT) dan bromo chloro indolil
phosphate (BCIP). Reaksi positif ditandai oleh perubahan warna putih menjadi
ungu pada membran nitroselulosa yang telah ditetesi cairan tanaman dan reaksi
dihentikan dengan merendam membran dalam dH2O. Penghitungan persentase
infeksi virus dilakukan menggunakan rumus berikut:
Jumlah sampel terinfeksi
Persentase infeksi virus =

x 100%
Jumlah sampel yang diuji

Metode RT-PCR
Deteksi virus menggunakan metode RT-PCR dilakukan pada tanaman setelah
aklimatisasi. Metode RT-PCR terdiri atas empat tahap, yaitu ekstraksi RNA total,
sintesis cDNA, amplifikasi cDNA, dan visualisasi dengan elektroforesis.
Ekstraksi RNA Total. Ekstraksi RNA total mengikuti metode yang
dilakukan oleh Doyle dan Doyle (1987) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 0.1 g
sampel daun komposit 4 botol kultur dalam 1 ulangan digerus kemudian
ditambahkan dengan 0.5 mL bufer ekstraksi (1% mercaptoethanol) kemudian
digerus. Selanjutnya, sampel yang telah halus dimasukkan ke dalam tabung
eppendorf dan diinkubasi dalam penangas air dengan suhu 65 oC selama 30 menit
dan setiap 10 menit dibolak-balik. Campuran kemudian didiamkan dalam suhu
ruang selama 2 menit dan ditambahkan 500 µL campuran kloroform:
isoamilalkohol (24:1). Campuran kemudian dihomogenkan selama 1 menit, lalu

11

disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 11 000 rpm. Supernatan yang
terbentuk dipindah ke tabung baru, kemudian ditambahkan isopropanol (2/3
volume supernatan). Campuran disentrifugasi kembali dengan kecepatan 11 000
rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang, dan pelet yang terbentuk ditambahkan
dengan etanol 70% sebanyak 500 µL lalu disentrifugasi selama 5 menit pada
kecepatan 8 000 rpm. Supernatan dibuang, pelet yang terbentuk dikeringkan selama
15 menit kemudian ditambahkan bufer TE (pH 8) sebanyak 50 µL.
Sintesis cDNA. RNA total hasil ekstraksi selanjutnya digunakan untuk proses
transkripsi balik (reverse transcription-RT) menjadi cDNA (complementary DNA)
menggunakan enzim reverse transcriptase. Pereaksi untuk transkripsi balik terdiri
atas 3 µL RNA total, 2 µL 5x bufer RT, 2 µL DTT (dithiothreitol) 50 mM, 1 µL
dNTP 10 mM, 0.35 µL M-MuLV (200 U/µL), 0.5 µL RNAase inhibitor (40U/µL),
1 µL primer Poty 1 dan air bebas nuklease sampai volume total 10 µL. Reaksi RT
dilakukan dalam mesin Automated Thermal Cycler (Gene Amp PCR System 9700;
PE Applied Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus pada suhu 65 oC
selama 5 menit, 42 oC selama 60 menit, dan 70 oC selama 10 menit untuk inaktivasi
enzim M-MuLV. Siapan cDNA hasil amplifikasi ini digunakan sebagai DNA
cetakan dalam reaksi amplifikasi.
Amplifikasi cDNA. Reaksi amplifikasi terdiri atas 12.5 µL Go Taq Green
(Thermoscientific), 0.5 µL MgCl, 1 µL untuk setiap primer (forward dan reverse)
(Tabel 1), 1 µL cDNA, dan ditambahkan air bebas nuklease sampai 25 µL.
Amplifikasi cDNA menggunakan mesin GeneAmp PCR System 9700 sebanyak
tiga tahap. Tahap pertama adalah pradenaturasi selama 3 menit pada suhu 94 oC.
Tahap kedua berlangsung sebanyak 35 siklus, terdiri atas denaturasi selama 30 detik
pada suhu 94 oC, penempelan primer selama 1 menit pada suhu 52 oC (primer
OYDV), 56 oC (primer GarCLV), dan elongasi selama 1 menit pada suhu 72 oC.
Tahap ketiga terdiri atas satu siklus elongasi pada 72 oC selama 7 menit.
Tabel 1 Primer yang digunakan untuk amplifikasi OYDV dan GarCLV
Kode
Ukuran
Sumber
Sikuen primer (5’ – 3’)
primer
target (pb)
rujukan
OYDV-F
CGAAGCAAATTGCCAAGCAG
601
Mahmoud et
OYDV-R
CGATTAGCTGCCCCTCTAAC
al. (2008)
GCLV-F
ATGTCAGTGAGTGAAACAGAGG
960
Parrano et
GCLV-R
CTAGTCTGCATTGTTGGATCC
al. (2012)
OYDV, Onion yellow dwarf virus; GCLV, Garlic common latent virus; R, Primer reverse; F, Primer
forward

Visualisasi dengan Elektroforesis. Amplikon yang diperoleh selanjutnya
dielektroforesis pada tegangan 50 volt selama 50 menit menggunakan 1% gel
agarosa yang dilarutkan dengan bufer 0.5 x TBE. Gel agarosa selanjutnya direndam
dalam 0.1% etidium bromida selama 15 menit dan dicuci dengan H2O, lalu
divisualisasi dibawah UV transilluminator.
Eliminasi Virus dari Umbi Bawang Putih
Perlakuan Elektroterapi
Umbi bawang putih yang sudah dikonfirmasi terinfeksi virus digunakan
sebagai bahan tanaman. Umbi dipecah menjadi siung individual kemudian bagian

12

tunas adventif digunakan sebagai bahan perlakuan. Tunas adventif direndam dalam
kotak elektroforesis yang berisi TBE 0.5x. Tunas tersebut diberi perlakuan arus
elektroterapi selama 10 menit pada masing-masing taraf perlakuan, yaitu 0 mA, 5
mA, 10 mA, 15 mA, dan 20 mA (Gambar 5). Setelah perlakuan elektroterapi, tunas
adventif digunakan sebagai bahan tanaman untuk kultur jaringan.

B

A

Gambar 5 Perlakuan elektroterapi pada tunas adventif bawang putih. Pencatu daya
(Power supply) (A); Kotak elektroforesis (B)
Kultur Jaringan dan Perlakuan Termoterapi
Sterilisasi dilakukan secara bertahap terhadap tunas adventif yang telah diberi
perlakuan elektroterapi. Pertama-tama tunas adventif direndam dalam NaOCl (1%)
selama 10 menit, kemudian dipindah ke dalam NaOCl (0.5%) selama 5 menit,
setelah itu dibilas air steril. Ujung tunas dipotong sekitar 2 mm yang digunakan
sebagai eksplan untuk dikulturkan pada media MS (Murashige-skoog) yang
mengandung 2ip (2 mg L-1) dan GA3 (0.3 mg L-1) (Gambar 6). Sebanyak 1 eksplan
ditumbuhkan pada setiap botol kultur. Eksplan diinkubasi pada ruang kultur dan
diberikan termoterapi berdasarkan masing-masing suhu selama 4 minggu.
Perlakuan termoterapi menggunakan empat taraf perlakuan suhu, yaitu 23 °C,
28 °C, 33 °C, dan 38 °C. Setelah 4 minggu, tunas dipindahkan ke media inisiasi
akar yang mengandung NAA (1 mg L-1) dalam medium ½ MS selama 2 minggu.
Planlet yang terbentuk siap diaklimatisasi.
A

B

Gambar 6 Ukuran ujung tunas 2 mm (A) dan kultur ujung tunas 2 mm pada media
Murashige-skoog (B)

13

Sebelum dipindahkan ke media aklimatisasi, plantlet dikeluarkan dari media
agar, kemudian direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida 2 g L-1 selama 5
menit, kemudian planlet ditiriskan di atas tisu steril. Planlet ditanam pada media
arang sekam steril selama 2 minggu di laboratorium. Deteksi virus dilakukan pada
tanaman bawang putih hasil aklimatisasi menggunakan metode RT-PCR.
Rancangan Percobaan dan Peubah Pengamatan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi,
dengan perlakuan termoterapi (23 °C, 28 °C, 33°C , dan 38 °C) sebagai petak utama
dan perlakuan elektroterapi (0 mA, 5 mA, 10 mA, 15 mA, dan 20 mA) sebagai anak
petak. Masing-masing unit percobaan dilakukan dengan 3 ulangan, masing-masing
ulangan terdiri atas 4 botol kultur dan tiap botol kultur terdapat 1 eksplan. Data
penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui
pengaruh antar perlakuan. Perlakuan yang berpengaruh nyata selanjutnya dilakukan
uji lanjut menggunakan uji selang berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 95%.

4 HASIL
Gejala Penyakit
Sampel umbi bawang putih menunjukkan ciri-ciri benih yang baik yaitu umbi
yang penuh berisi, siung tampak licin, tunas segar, dan berbentuk normal (Wibowo
2006). Masa simpan benih berkisar antara 6 sampai 8 bulan setelah panen. Gejala
yang beragam pada berbagai kultivar ditemukan pada tanaman bawang putih yang
ditumbuhkan di laboratorium. Gejala infeksi virus pada tanaman bawang putih yang
diamati pada 3 MST dapat dibedakan menjadi lima jenis gejala yaitu keriting,
mosaik hijau, permukaan daun mengerut, daun atas berlekuk dan mosaik kuning
(Gambar 7). Gejala lain tidak ditemukan kemungkinan karena penanaman
dilakukan di dalam ruangan laboratorium dengan kondisi lingkungan yang terjaga.
Menurut Moreno et al. (2014), tanaman bawang putih yang terinfeksi virus di
lapangan secara umum menimbulkan gejala daun keriting, mosaik, deformasi daun,
daun menguning, melepuh, bergaris, dan kerdil. Infeksi tunggal atau campuran
dapat menyebabkan gejala yang sama pada tanaman bawang putih. Demikian pula,
gejala yang sama pada tanaman bawang putih dapat disebabkan oleh infeksi jenis
virus yang berbeda.
A

C

B

D

E

Gambar 7 Gejala pada sampel tanaman bawang putih; Keriting (A), Mosaik hijau
(B), Permukaan daun mengerut (C), Daun atas berlekuk (D), dan
Mosaik kuning (E)

15

Pengamatan gejala merupakan langkah awal dalam diagnosis penyebab
penyakit oleh virus. Namun, pengamatan gejala saja tidak cukup akurat untuk
menentukan virus penyebab suatu penyakit karena gejala yang diduga disebabkan
oleh virus bisa saja disebabkan oleh patogen lain, toksisitas serangga, maupun
pengaruh faktor abiotik misalnya kekurangan dan kelebihan unsur hara, cekaman
lingkungan dan sebagainya (Agrios 2005). Oleh karena itu itu, perlu dilakukan
deteksi lebih lanjut untuk memastikan adanya infeksi virus pada tanaman yang
menunjukkan gejala.

Deteksi Virus pada Tanaman Bawang Putih
Deteksi virus dilakukan dengan menumbuhkan umbi terlebih dahulu.
Menurut Wulandari et al. (2015), infeksi virus lebih banyak terdeteksi dari sampel
daun muda dibandingkan dengan sampel dari umbi. Hal in