Pemanfaatan Temu Putih (Curcuma Zedoaria (Berg ) Roscoe) Dalam Meningkatkan Produksi Dan Komposisi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis

(1)

KOMPOSISI SUSU SAPI PERAH PENDERITA

MASTITIS SUBKLINIS

HILDA SUSANTY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Temu Putih (Curcuma zedoaria (berg.) Roscoe) dalam Meningkatkan Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2011

Hilda Susanty NRP D151080071


(3)

HILDA SUSANTY. Utilization of Curcuma Zedoaria to Improve Milk Production and Milk Composition of Sub-clinical Mastitis Dairy Cows. Under supervision by BAGUS P. PURWANTO, ELLYZA NURDIN, MIRNAWATI SUDARWANTO.

The aim of this study was to determine level of utilization of Curcuma zedoaria to improve milk production and milk composition of sub-clinical mastitis dairy cow. Nine heads of sub-clinical mastitis dairy cows were divided into three groups, first group acts as a control, the second group get 0.02% of body weight of Curcuma zedoaria (P1), and third group get 0.04% of body weight of Curcuma zedoaria (P2). The results showed that P1significantly increased 5.3% in milk production. There were no significant changes in milk composition, somatic cell count of sub-clinical mastitis dairy cows and their milk concentration of ImmunoglobulinG (IgG). The IgG had a ranged from 11.1801 to 12.2094 mg/ml.

Key words : sub-clinical mastitis, Curcuma zedoaria, milk production, milk composition, IgG, Dairy cow


(4)

RINGKASAN

HILDA SUSANTY. Pemanfaatan Temu Putih (Curcuma zedoaria (berg.) Roscoe) dalam Meningkatkan Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO, ELLYZA NURDIN, MIRNAWATI SUDARWANTO.

Perbaikan produksi dan komposisi susu sapi perah penderita mastitis subklinis dapat dilakukan melalui perbaikan kondisi ternak dengan peningkatan daya tahan tubuh ternak. Pemanfaatan tanaman obat merupakan salah satu alternatif pencegahan mastitis subklinis, agar tidak menjadi mastitis klinis. Temu putih ( Curcuma zedoaria (berg.) Roscoe) adalah tanaman obat yang mengandung senyawa flavonoid dan terpenoid yang berfungsi sebagai senyawa antioksidan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan temu putih terhadap produksi susu, komposisi susu dan kondisi mastitis subklinis sapi perah serta mengevaluasi daya tahan tubuh sapi melalui pengukuran konsentrasi ImunoglobulinG pada sekresi susu.

Penelitian ini menggunakan sembilan ekor sapi peranakan Fries Holland laktasi ke-2 sampai ke-4 pada bulan laktasi normal (bulan ke-3 sampai ke-5) yang menderita mastitis subklinis positif dua (++), serta produksi susu hampir seragam. Temu putih yang digunakan dalam bentuk simplisia tepung dengan dosis 0% bobot badan (kontrol), 0.02% bobot badan dan 0.04% bobot badan. Penelitian ini menggunakan Rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Untuk melihat pengaruh perlakuan dilakukan analisa keragaman. Peubah yang diukur adalah produksi susu, komposisi susu (kadar lemak, kadar protein, bahan kering dan bahan kering tanpa lemak), kondisi mastitis ternak melalui penghitungan jumlah sel somatis dan daya tahan tubuh ternak melalui penghitungan konsentrasi immunoglobulinG (IgG) dalam susu.

Data pengaruh perlakuan terhadap rata-rata produksi susu setiap kwartir berkisar antara 2387–2838 ml/hari/kwartir, dengan produksi susu tertinggi pada dosis 0.02% bobot badan yaitu sebesar 2838 ml/hari/kwartir mengalami peningkatan sebesar 5.3%. Hasil Analisa keragaman pada penelitian ini memperlihatkan bahwa perlakuan berbeda nyata terhadap produksi susu (P<0.05). Hasil Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa dosis 0.02% bobot badan berbeda dengan dosis 0.04% bobot badan.

Hasil analisa keragaman memperlihatkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar lemak susu. Rata-rata kadar lemak susu pada penelitian ini berkisar antara 3.19% sampai dengan 3.44 %. Secara keseluruhan rata-rata kadar lemak susu pada penelitian ini masih memenuhi syarat mutu segar menurut SNI (1998) dimana kadar lemak minimum untuk susu segar adalah 3.0 %.

Rata-rata kadar protein susu pada penelitian ini berkisar antara 2.99% sampai dengan 3.12 %. Rata-rata kadar protein tertinggi dicapai pada dosis pemberian 0.04% bobot badan yaitu sebesar 3.12%, diikuti kontrol sebesar 3.11%, dan terendah pada dosis pemberian 0.02 bobot badan sebesar 2.99%. Secara keseluruhan rata-rata kadar protein susu pada penelitian ini masih memenuhi syarat mutu susu segar yang ditetapkan SNI (1998) yaitu minimal 2.7%. Analisis keragaman pengaruh perlakuan terhadap kadar protein memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05).


(5)

12.42 %, dan rata-rata kadar bahan kering susu terendah adalah pada dosis pemberian 0.02% bobot badan sebesar 12.01%. Analisa keragaman pengaruh perlakuan terhadap kadar bahan kering pada penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05).

Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) diperoleh dari hasil pengurangan kadar bahan kering susu dengan kadar lemak susu (Sanjaya et al. 2009). Hasil pengamatan selama penelitian kadar BKTL berkisar antara 8.82% sampai dengan 9.11%. Dosis temu putih 0.02% bobot badan meningkatkan kadar bahan kering tanpa lemak susu sebesar 1.4%. Analisa keragaman perlakuan terhadap bahan kering tanpa lemak memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Hasil uji lanjut memperlihatkan bahwa dosis pemberian 0.02% bobot badan berbeda dengan dosis 0.04 bobot badan. Jika dilihat dari nilai minimal BKTL adalah 8.82 % masih memenuhi Standar Nasional (SNI) 01-3141-1998 tentang syarat susu segar khususnya BKTL yaitu sebesar 8.0 %.

Jumlah Sel Somatis (JSS) dalam susu merupakan indikator terbaik untuk memantau status kesehatan kelenjar susu, dan sebagai alat untuk memeriksa infeksi yang terjadi pada kelenjar susu (mastitis). Pengaruh perlakuan terhadap JSS pada penelitian ini berkisar antara 1285 x 103 sel/ml sampai dengan 2127.5 x 103 sel/ml. Hasil analisa keragaman pengaruh perlakuan terhadap JSS memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05).

Konsentrasi ImunoglobulinG (IgG) untuk kontrol sebesar 10.9192mg/ml diikuti dengan dosis pemberian 0.04% bobot badan sebesar 10.9978mg/ml dan konsentrasi terendah pada dosis pemberian 0.02% bobot badan sebesar 10.3386 mg/ml. Pemeriksaan akhir kosentrasi IgG menunjukkan angka yang lebih tinggi dari awal pemeriksaan. Rata-rata pemeriksaan konsentrasi IgG pada akhir pengamatan adalah 11.1801 mg/mL sampai dengan 12.2094 mg/mL. Hasil analisa statistik menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi imunoglobulinG (P>0.05).

Pemberian temu putih 0.02% bobot badan pada ternak penderita mastitis subklinis dapat meningkatkan produksi susu sebesar 5.3% dan kadar bahan kering tanpa lemak sebesar 1.4%, namun tidak mempengaruhi kadar lemak, kadar protein dan kadar bahan kering susu. Pemberian temu putih sebanyak 0.02% dan 0.04% bobot badan belum memperbaiki kondisi mastitis, dan daya tahan tubuh ternak terbukti dengan tidak adanya pengaruh pemberian temu putih terhadap jumlah sel somatik susu dan konsentrasi immunoglobulinG susu sapi perah penderita mastitis subklinis.

Kata Kunci : mastitis subklinis, Curcuma zedoaria, produksi susu, komposisi susu, ImunoglobulinG, sapi perah


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(7)

KOMPOSISI SUSU SAPI PERAH PENDERITA

MASTITIS SUBKLINIS

HILDA SUSANTY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

dalam Meningkatkan Produksi dan Komposisi Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis

Nama : Hilda Susanty

NRP : D151080071

Program Studi / : Ilmu Teknologi Peternakan Mayor

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr Ketua

Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto Dr. Ir. Ellyza Nurdin, MS

Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari 2010 ini adalah pemanfaatan temu putih (Curcuma zedoaria (berg.) Roscoe ) dalam meningkatkan produksi dan komposisi susu sapi perah penderita mastitis subklinis.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir Bagus Priyo Purwanto, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto dan Dr.Ir. Ellyza Nurdin, MS selaku pembimbing anggota, yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian hingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Selain itu, ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak H. Mahfuddin dan keluarga yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian pada usaha

peternakan sapi perah “Barokah” serta semua pegawai yang telah memberikan

bantuan selama penelitian.

Kepada Kementrian Pendidikan Nasional melalui tim BPPS Dirjen Dikti, penulis menyampaikan terima kasih atas biaya yang diberikan selama studi di Program Pascasarjana IPB. Kepada staf laboratorium Kesmavet FKH IPB, staf laboratorium ternak perah IPB, dan staf laboratorium mikrobiologik FKH IPB, penulis menyampaikan terima kasih atas fasilitas dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.

Kepada teman-teman pascasarjana ITP terima kasih atas bantuan dan motifasi yang diberikan selama perkuliahan hingga karya ilmiah ini diselesaikan. Kepada orang tua dan keluarga besar di Padang, penulis sampaikan terima kasih atas doa dan restunya. Kepada suami dan anak-anak tercinta, terima kasih atas pengertian, pengorbanan dan kesabaran yang diberikan selama penulis mengikuti studi, sehingga dapat menyelesaikan studi pada waktunya.

Bogor, Maret 2011 Penulis


(11)

Penulis dilahirkan di Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 26 Nopember 1980 dari ayah Marjohan dan Ibu Nursis. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negri 5 Padang, Sumatera Barat.

Penulis memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada tahun 2002 di Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, Jurusan Produksi Ternak. Tahun 2005 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Andalas sampai sekarang.

Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister Ilmu Teknologi Peternakan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui program BPPS.

Penulis menikah dengan Risnaldi,SE pada tahun 2005 dan dikaruniai dua orang putra yaitu Hilal Jannatul Firdaus (5 tahun) dan Nadim Rahmat Makarim (2 tahun).


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang……….. 1

Tujuan...………. 2

Manfaat... 3

TINJAUAN PUSTAKA Produksi Susu... 4

Komposisi Susu... 6

Mastitis Subklinis...……….….. 7

Kerugian Akibat Mastitis Subklinis………...…..……….... 8

Pemeriksaan Mastitis Subklinis... 9

Pengobatan Mastitis Subklinis... 11

Temu Putih... 13

Aktivitas Biologis Temu Putih... 14

Sistem Kekebalan... 16

MATERI DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 18

Materi Penelitian... 18

Metode Penelitian... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Pendataan dan pemilihan ternak... 24

Uji bakteri patogen... 24

Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Susu... 26

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak Susu... 30

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Protein Susu... 33

Pengaruh Perlakuan terhadap BK dan BKTL Susu... 35

Pengaruh Perlakuan terhadap JSS Susu... ... 38


(13)

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Hubungan sel somatis dengan penurunan produksi susu.……… 5

2. Perubahan komponen susu akibat mastitis... 7

3. Hubungan Jumlah sel somatis dengan penentuan mastitis subklinis….. 11

4. Hasil penapisan fitokimia temu putih ( Curcuma Zedoaria)... 14

5. Konsentrasi immunoglobulin sapi... 17

6. Komposisi zat-zat makanan yang digunakan selama penelitian... 20

7. Hasil uji bakteri patogen susu... 25

8. Rataan produksi susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK…………... 27

9. Rataan produksi susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK ... 28

10. Rataan produksi susu dari kwartir yang terdeteksi MSK……….. 29

11. Rataan kadar lemak susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK…………... 31

12. Rataan kadar lemak susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK…... 32

13. Rataan kadar lemak susu dari kwartir yang terdeteksi MSK………… 32

14. Rataan kadar protein susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK…………... 33

15. Rataan kadar protein susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK…. 34 16. Rataan kadar protein susu dari kwartir yang terdeteksi MSK……….. 34

17. Rataan kadar bahan kering susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK…………... 35

18. Rataan kadar bahan kering susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK……….. 36

19. Rataan kadar bahan kering susu dari kwartir yang terdeteksi MSK…………... 36

20. Rataan kadar bahan kering tanpa lemak susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK... 37

21. Rataan kadar bahan kering tanpa lemak susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK………... 37

22. Rataan kadar bahan kering tanpa lemak susu dari kwartir yang terdeteksi MSK………... 38

23. Pengaruh perlakuan terhadap jumlah sel somatis (JSS) ………. 39


(15)

1. Produksi susu selama laktasi dengan tingkat persistensi yang berbeda.... 6

2. Rimpang temu putih……… 13

3. (A) Rimpang temu putih, (B) Irisan rimpang, (C)Irisan rimpang kering, (D) Simplisia serbuk temu putih ………. 19 4. Pola produksi susu selama penelitian... 26 5. Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi imunoglobulin G……….. 41


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tingkat reaksi, jumlah sel somatis dan interpretasi dari reaksi

California Mastitis Test (CMT)……….………….. 50 2. Determinasi temu putih……….………….. 51 3. Analisis ragam produksi susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi

MSK dan yang tidak terdeteksi MSK ……… 52 4. Analisis ragam produksi susu dari kwartir tidak terdeteksi

MSK………...…. 52 5. Analisis ragam produksi susu dari kwartir yang terdeteksi MSK……... 52 6. Analisis ragam kadar lemak susu dari gabungan kwartir yang

terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK……… 52 7. Analisis ragam kadar lemak susu dari kwartir yang tidak terdeteksi

MSK……… 53 8. Analisis ragam kadar lemak susu dari kwartir yang terdeteksi MSK… 53 9. Analisis ragam kadar protein susu dari gabungan kwartir yang

terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK………. 53 10. Analisis ragam kadar protein susu dari kwartir yang tidak terdeteksi

MSK ………... 53 11. Analisis ragam kadar protein susu dari kwartir yang terdeteksi MSK… 54 12. Analisis ragam kadar bahan kering susu dari gabungan kwartir yang

terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK………. 54 13. Analisis ragam kadar bahan kering susu dari kwartir yang tidak

terdeteksi MSK……… 54

14. Analisis ragam kadar bahan kering susu dari kwartir yang terdeteksi

MSK……… 54 15. Analisis ragam kadar bahan kering tanpa lemak susu dari gabungan

kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK………. 54 16. Analisis ragam kadar bahan kering tanpa lemak susu dari kwartir yang

tidak terdeteksi MSK……….….. 55

17. Analisis ragam kadar bahan kering susu dari kwartir yang terdeteksi

MSK……… 55 18. Analisis ragam jumlah sel somatik……… 55 19. Analisis pengukuran berulang ImunoglobulinG………... 56


(17)

Latar Belakang

Peternakan sapi perah merupakan salah satu komponen subsektor peternakan nasional yang mampu memberikan lahan usaha, meningkatkan kesejahteraan sebagian masyarakat pedesaan, dan memberikan peningkatan perbaikan gizi melalui penyediaan protein hewani berupa susu. Secara nasional, perkembangan sapi perah masih mengalami berbagai masalah seperti secara makro kemampuan produksi susu dalam negeri baru memenuhi 30-35% dari kebutuhan atau permintaan dalam negeri, sedangkan 65-70% sisanya masih bergantung pada bahan baku susu asal luar negeri. Produksi susu nasional tahun 2008 tercatat 646 953 ton, dengan populasi sapi perah 457 577 ekor, dan pada tingkat peternak rata-rata produksi susu sapi perah 8-10 liter/ekor/hari. Tingkat konsumsi per kapita per tahun 3.05 kg/kapita/tahun (Direktorat Jenderal Peternakan 2008).

Rendahnya produksi susu nasional dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor keturunan (genetik), manajemen dan pengendalian penyakit. Salah satu penyakit yang umumnya menyebabkan rendahnya produksi susu adalah mastitis (Sudarwanto 1999, Tyler dan Ensminger 2006). Kejadian mastitis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi, terutama mastitis subklinis. Pada akhir tahun 2006 kasus mastitis subklinis tercatat sekitar 75-83% (Sudarwanto et al.

2006). Mastitis subklinis merupakan masalah utama peternakan sapi perah, karena menyebabkan kerugian yang cukup besar, sehubungan dengan penurunan produksi dan mutu susu, penyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan, serta pengafkiran ternak lebih awal (Sudarwanto 1999, Hurley 2009).

Mastitis subklinis merupakan peradangan jaringan internal ambing tanpa ditemukan gejala klinis baik pada susu maupun ambingnya, namun terjadi peningkatan jumlah sel somatis dan ditemukannya mikroorganisme patogen (Sudarwanto 1999). Penurunan daya tahan tubuh ternak yang disebabkan oleh cekaman lingkungan akan mempermudah terjadinya proses peradangan akibat kontak dengan mikroorganisme penyebab mastitis ( Sudarwanto 1999).


(18)

2

intramammae. Namun penggunaan antibiotik memiliki resiko seperti terdapatnya residu antibiotik dalam susu sehingga membahayakan kesehatan konsumen (Langford et al. 2003). Alternatif lain untuk menghindari penggunaan antibiotik adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh ternak melalui penggunaan tanaman obat (herbal). Tanaman obat umumnya mengandung senyawa antioksidan, antibakteri dan antiinflamasi. Kombinasi senyawa tersebut diperkirakan sangat baik digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ternak sekaligus mengurangi peradangan yang sering menyertai mastitis pada ternak (Shem et al. 2000, Nurdin 2006, 2007).

Salah satu tanaman obat yang diperkirakan dapat dimanfaatkan untuk meningkatan daya tahan tubuh ternak adalah temu putih ( Curcuma zedoaria (berg.) Roscoe). Rimpang temu putih mengandung minyak atsiri yang terdiri dari senyawa-senyawa flavonoid, seskuiterpen yang terdiri atas: zedoarone, kurdiona, epikurkumenol, kurzerena, kurkumol dan isokurkumenol. Zat-zat ini berfungsi sebagai antiinflamasi, analgetik hepatoprotektor dan antioksidan. Selain fungsi tersebut flavonoid dan seskuiterpen juga bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dengan cara meningkatkan fibroblas, membentuk sel-sel limfosit, meningkatkan fagositosis terhadap tumor/kanker (Windono dan Parfati 2002)

Beberapa penelitian melaporkan sediaan rimpang temu putih mengandung flavonoid dan kurkumin yang merupakan senyawa polifenol bersifat sebagai antioksidan atau penangkap radikal bebas. Sifat ini bermanfaat sebagai pencegah kerusakan jaringan (inflamasi) maupun kerusakan DNA yang merupakan inisiasi pada proses karsinogenesis (Heim et al. 2002).

Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian tentang pemanfaatan temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe ) dalam meningkatkan produksi dan komposisi susu serta meningkatakan daya tahan tubuh sapi perah penderita mastitis subklinis.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari pengaruh penggunaan temu putih terhadap produksi susu, komposisi susu dan kondisi mastitis subklinis sapi perah penderita mastitis subklinis.


(19)

2. Mengevaluasi daya tahan tubuh sapi perah penderita mastitis subklinis melalui pengukuran konsentrasi ImunoglobulinG pada sekresi susu.

Manfaat

1. Diharapkan temu putih dapat dijadikan sebagai alternatif dalam meningkatkan produksi dan komposisi susu sapi perah penderita mastitis subklinis.

2. Diharapkan temu putih mampu meningkatkan daya tahan tubuh sapi perah penderita mastitis subklinis, yang pada akhirnya dapat mengatasi mastitis subklinis.

Hipotesis penelitian

Hipotesis yang hendak diuji dalam penelitian ini adalah :

1. Penggunaan temu putih dapat meningkatkan produksi susu dan komposisi susu dengan menurunkan jumlah sel somatis susu sapi perah penderita mastitis subklinis.

2. Penggunaan temu putih meningkatkan daya tahan tubuh sapi perah penderita mastitis subklinis.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi Susu

Susu merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai sangat strategis. Susu adalah sekresi kelenjar susu dari sapi sehat, bersih, diperoleh dengan cara yang benar, tidak ditambah atau dikurangi suatu zat apa pun kedalamnya dan belum mendapat perlakuan apapun (Badan Standarisasi Nasional 1998). Produksi susu merupakan hasil dari proses sintesis dan sekresi komponen organik dan anorganik serta filtrasi aktif dan pasif dari darah oleh sel epitel pada kelenjar susu (Ruegg 2001).

Sekresi susu terjadi selama masa laktasi yaitu selang antara masa beranak dan masa kering kandang selama sepuluh bulan (Phillips 2001, Tyler dan Ensminger 2006). Pada awal laktasi produksi susu terus meningkat dengan cepat dan puncak produksi akan dicapai pada hari ke 30 sampai 60 (Ross et al. 2004). Setelah puncak produksi dicapai selanjutnya produksi susu cenderung menurun sampai masa kering. Kemampuan untuk mempertahankan puncak laktasi secara terus menerus dalam waktu yang lama (persistensi) akan menyebabkan seekor sapi memiliki total produksi yang tinggi (Phillips 2002, Tyler dan Ensminger 2006). Gambar 1 memperlihatkan variasi produksi susu selama masa laktasi dengan tingkat persistensi yang berbeda.

Gambar 1 Produksi susu selama masa laktasi dengan tingkat persistensi yang berbeda (Tyler dan Ensminger 2006)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

5 35 65 95 125 155 185 215 245 275 305

P

roduk

si s

usu (lit

er)

Persistensi sedang Persistensi tinggi

Persistensi rendah


(21)

Sapi perah yang selama masa laktasinya mempunyai produksi susu yang rendah, puncak produksi dicapai lebih awal dan penurunan produksinya juga lebih cepat daripada sapi yang selama masa laktasinya mempunyai produksi susu yang tinggi (Mukhtar 2006).

Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu dalam usaha peternakan yaitu pemuliaan dan reproduksi, penyediaan dan pemberian pakan, pemeliharaan ternak, penyediaan sarana dan prasarana, serta pencegahan dan pengobatan penyakit (Tyler dan Ensminger 2006). Penyakit pada sapi perah mempunyai pengaruh terhadap daya produksi susu. Pengaruhnya berbeda untuk setiap gangguan kesehatan. Salah satu penyakit yang ada hubungannya secara langsung dengan produksi susu adalah radang ambing yang dikenal sebagai mastitis (Sudarwanto 1999, Hurley 2009).

Peradangan atau perlukaan pada ambing menyebabkan pelepasan sel somatis dalam susu, sehingga penghitungan jumlah sel somatis dapat digunakan sebagai indikator memantau status kesehatan kelenjar susu. Berdasarkan jumlah sel somatis dalam susu, ditemukan hubungan yang erat antara jumlah sel somatis dengan turunnya produksi susu (Hortet et al. 1999). Penentuan jumlah sel somatis dalam susu yang menggambarkan penurunan produksi susu, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hubungan jumlah sel somatis dengan penurunan produksi susu

Jumlah sel somatis (sel/ml) Dugaan berkurangnya produksi (kg/ekor/hari )

100.000 200.000 500.000 600.000

0.30* 0.61*

0.7 – 2.0**

1.09*

Sumber : *Hortet et al.(1999), **Nielsen et al. (2009)

Laporan perkiraan penurunan produksi susu akibat mastitis sangat bervariasi tetapi sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa susu yang diproduksi akan menurun dibandingkan kwartir normal. Hirst et al. (1985) mencatat bahwa penurunan produksi terjadi sebesar 14.6 % dari produksi total. Penyusunan Program Pengendalian Mastitis di Jawa Barat, mendapatkan penurunan produksi susu akibat mastitis subklinis sekitar 10-18 % (Sudarwanto 1999) .


(22)

6

Komposisi Susu

Susu sebagian besar terdiri atas air (87.90%) dan sisanya berupa komponen padat yang terdiri atas lemak, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin. Komponen penyusun susu masing-masing individu sangat bervariasi (Boland 2000, Philips 2002). Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat pengaruh spesies, bangsa, kondisi kesehatan, kondisi nutrisi, tingkat laktasi dan umur yang berbeda (Fox dan Mc Sweeney 1998, Fox 2003).

Sebagian besar komponen utama susu disintesa di kelenjar susu dari beberapa jenis prekursor yang diabsorbsi dengan selektif dari darah. Kelenjar susu juga melakukan filtrasi secara selektif terhadap protein, mineral dan vitamin tertentu yang tidak bisa melewatinya, tetapi ditransfer langsung dari darah kedalam susu. Lemak susu disintesis di dalam sitoplasma kelenjar susu, yang sebagian besar dalam bentuk trigliserida (97-98%) dan hanya sebagian kecil terdapat dalam bentuk fosfolipid (2-3%). Lemak susu disintesa di dalam kelenjar susu, 50% berasal dari asam lemak rantai pendek (C4-C14) berupa asetat dan betahidroksi butirat yang dihasilkan oleh fermentasi selulosa didalam rumen. Sebagian lagi dari asam lemak rantai panjang (C16-C18) dari makanan dan cadangan lemak tubuh (Palmquist 2006, Tyler dan Ensminger 2006).

Protein susu merupakan komponen susu yang penting artinya ditinjau dari segi nilai gizi makanan. Sintesis protein susu berasal dari asam amino yang beredar dalam darah sebagai hasil dari penyerapan zat makanan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh yang disintesis oleh sel epitel kelenjar susu. Tiga sumber utama pembentuk protein susu yang berasal dari darah yaitu peptida-peptida, plasma protein dan asam-asam amino bebas. Kasein, β

-laktoglobulin dan α-laktalbumin disintesis didalam sel kelenjar susu, sedangkan

immunoglobulin, seroalbumin dan gamma kasein tidak disintesis didalam kelenjar susu tetapi langsung diserap dari darah dalam bentuk yang sama tanpa mengalami perubahan (Fox dan Mc Sweeney 1998).

Syarat mutu susu segar yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (1998) kadar protein susu minimal 2.7%, dan lemak 3.0%. Komposisi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : 1. Jenis ternak dan keturunannya (hereditas),


(23)

5. Nutrisi/pakan ternak. 6. Lingkungan dan 7. Prosedur pemerahan susu. Keseluruhan faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu faktor lingkungan, genetik dan manajemen (Philips 2001).

Infeksi atau peradangan ambing dapat mempengaruhi komposisi air susu. Infeksi oleh bakteri patogen penyebab mastitis menyebabkan kerusakan sel sekretoris ambing dan menurunkan kemampuan sintesa laktosa, kasein, lemak dan protein, dilain pihak serum albumin atau protein whey dan pH susu akan mengalami peningkatan (Hurley 2009, Jones 2009). Perubahan komposisi susu akibat mastitis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perubahan komponen susu akibat mastitis

Komponen Susu Normal Susu Mastitis

Lemak (%) Laktosa (%) Total Protein (%) Casein (mg/ml) Whey Protein (mg/ml) Serum albumin (mg/ml) Immunoglobulin (mg/ml) Na (mg/100 ml)

K (mg/100 ml) Cl (mg/100 ml) Ca (mg/100 ml) pH 3.45 4.85 3.61 27.9 8.2 0.2 1 57 172.5

80 –130

136 6.65 3.2 4.4 3.59 22,5 13.1 0.7 6 104.6 157.3 >250 49

6.9 – 7.0

Sumber : Jones (2009)

Tabel 2 menginformasikan bahwa susu mastitis, kandungan lemak, laktosa dan casein menurun dan kandungan whey protein meningkat. Kandungan mineral Natrium dan Chlorida terlihat meningkat sedangkan Kalium dan Kalsium menurun. Penurunan protein susu terjadi baik pada kondisi mastitis maupun mastitis subklinis karena adanya enzim proteolitik. Sedangkan penurunan kadar lemak diakibatkan oleh peningkatan jumlah asam lemak terbang dan aktivitas enzim lipase yang dihasilkan oleh sel somatis yang mengakibatkan ketengikan dan penurunan kualitas produk susu (Sudarwanto et al. 2006).

Mastitis Subklinis

Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan ambing disertai perubahan fisik, kimia, mikrobiologik dan adanya kenaikan jumlah sel somatis terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai dengan perubahan patologis pada


(24)

8

jaringan ambing. (Sudarwanto 1999, Tyler dan Ensminger 2006, Jones 2009). Sebagian besar kasus mastitis merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen.

Berdasarkan perubahan patologi anatomi kelenjar susu, terdapat dua tipe mastitis. Pertama mastitis klinis yang ditandai dengan gejala-gejala peradangan yang jelas serta perubahan fisik susu yang dihasilkan. Kedua mastitis subklinis tanpa ditemukan adanya gejala klinis baik pada susu maupun pada ambingnya, namun terjadi peningkatan jumlah sel somatis, ditemukan mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1999).

Pada umumnya mastitis subklinis akan berlanjut menjadi mastitis kronis yang kadang-kadang didahului oleh munculnya mastitis akut ataupun sub-akut. Penyebab mastitis bermacam-macam, mulai dari trauma mekanis pada kelenjar ambing atau puting susu, kekurangan unsur nutrisi, hingga mikroorganisme patogen. Bakteri penyebab mastitis subklinis yang paling sering terdeteksi adalah Staphylococcus aureus disamping beberapa jenis bakteri lain seperti Streptococcus agalactiae dan Escherichia coli ( Sudarwanto et al. 2006, Tyler dan Ensminger, 2006).

Kerugian Akibat Mastitis Subklinis

Dampak negatif mastitis subklinis pada produksi susu sangat substansial. Perkiraan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh mastitis subklinis seekor sapi perah berupa penurunan produksi berkisar antara Rp 3 214 000 per tahun per ekor (Akira 2009). Dibidang peternakan sapi perah di Indonesia, mastitis subklinis masih merupakan masalah paling penting yang merugikan secara ekonomis. Diakui bahwa mastitis menekan pembentukan susu pada kwartir yang terkena atau meradang dan menyebabkan penurunan produksi susu.

Prevalensi mastitis subklinis dibeberapa negara bervariasi, tercatat kejadian mastitis subklinis di propinsi Chiang Mai Thailand berkisar antara 36.4 -83.3% (Boonyayatra dan Chaisri, 2004), Tanzania sebesar 51.6% (Mdegela et al. 2009), New South Wales Australia sebesar 29% (Plozza et al. 2011) dan Punjab Pakistan sebesar 35.25% (Bachaya et al. 2011). Kasus mastitis subklinis di Indonesia tercatat sekitar 75-83% (Sudarwanto et al. 2006).


(25)

Pemeriksaan Mastitis Subklinis

Pemeriksaan mastitis subklinis dilakukan terhadap sekresi susu, bukan pada kelenjar susu, karena mastitis subklinis tidak menunjukkan perubahan baik anatomi kelenjar susu maupun gejala klinis radang. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pemeriksaan secara langsung dan pemeriksaan secara tidak langsung.

Pemeriksaan Langsung. Pemeriksaan langsung mastitis subklinis dilakukan dengan cara menghitung jumlah sel somatis yang terkandung dalam susu menggunakan metode BREED (Sudarwanto 1998). Sel somatis adalah kumpulan sel yang terdiri atas sel limfosit, neutrofil, monosit, makrofag, runtuhan sel epitel dan lain-lain yang dinyatakan dalam Jumlah Sel Somatis (JSS).

Jumlah Sel Somatis dalam susu merupakan indikator terbaik untuk memantau status kesehatan kelenjar susu, dan sebagai alat untuk memeriksa infeksi yang terjadi pada kelenjar susu. Mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF) (Lukman et al. 2009), adalah mastitis yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatis ≥ 400 000/ml dan ditemukan kuman patogen dalam contoh susu pada periode laktasi normal. Jika jumlah sel somatis lebih tinggi dari 400 000 sel/ml susu kwartir, hal ini memberikan indikasi bahwa sapi menderita mastitis. Penemuan agen patogen melalui pemeriksaan bakteriologis memiliki signifikasi yang tinggi dengan keberadaan jumlah sel somatis (Sudarwanto 1999, Jones 2009)

Sel somatis secara sederhana berasal dari sel tubuh dalam jumlah rendah dalam susu normal. Mayoritas sel somatis adalah sel leukosit (sel darah putih) dan beberapa sel jaringan ambing (sel epitel). Sel epitel merupakan bagian normal dari fungsi tubuh dan senantiasa dilepaskan dan diperbaharui didalam proses normal tubuh. Leukosit berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan infeksi dan membantu perbaikan jaringan yang rusak (Crist et al. 1997).

Pemeriksaan tidak Langsung. California Mastitis Test (CMT) dan uji-uji sejenis lainnya termasuk IPB-1 memperkirakan jumlah sel somatis yang terkandung dalam susu. Skor yang didapatkan relatif sesuai dengan jumlah sel somatis yang terdapat dalam susu. Sel somatis dalam susu cenderung meningkat selama pemerahan dan tetap tinggi beberapa jam kemudian, bahkan hal yang sama terjadi


(26)

10

pada kwartir yang tidak terinfeksi. Hasil pengujian yang akurat bisa didapatkan jika dilakukan tepat sebelum sapi diperah dengan membuang susu awal (Sudarwanto dan Sudarnika 2008a).

Ditinjau dari reaksi komponen bahan yang terkandung didalamnya, uji CMT bekerja berdasarkan pada kemampuan suatu detergen anionik berupa Na-Lauryl Sulphat untuk melarutkan membran sel somatis dan inti sel somatis. Komponen DNA yang terkandung didalam nukleus akan terbebas dan bereaksi dengan komponen pereaksi CMT membentuk gel. Jika DNA yang terkandung dalam sampel susu tersebut jumlahnya banyak, maka gel yang terbentuk akan memiliki viskositas yang tinggi (Sanjaya et al. 2009).

Beberapa kelebihan penggunaan metode CMT adalah : (1) memiliki akurasi yang baik dalam menghitung konsentrasi sel somatis, dan memiliki korelasi dengan uji yang dipergunakan untuk memeriksa mastitis sub klinis secara tak langsung, (2) CMT sensitif dan dapat digunakan untuk menguji sampel susu kwartir, susu individu dan susu kandang, (3) mudah dilakukan dikandang dan mudah dioperasikan oleh petugas kandang.

Metode IPB-1 adalah hasil modifikasi metode CMT dan telah terbukti dapat digunakan untuk menguji sampel susu dalam berbagai jenis sampel (kwartir, individu, susu gabungan) di Indonesia (Sudarwanto 1993).

Tabel 3 Hubungan Jumlah sel somatis dengan penentuan mastitis subklinis

Mastitis Subklinis Jumlah sel somatis (x1000 sel/ml)

(Test IPB-1) Minimum maksimum

Negatif

Positif 1+

Positif 2++

Positif 3+++

160 400 1000 1880

880 1440 3560 7780

Sumber : Sudarwanto et al.(2006)

Hasil penelitian Sudarwanto (1998) menunjukkan pereaksi IPB-1 memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CMT, WST, AMP mod-1 dan AMP mod-2. Hubungan antara nilai skor IPB-1 dan jumlah rata-rata sel somatis disajikan dalam Tabel 3.

Tes IPB-1 menunjukkan hasil pengujian yang hampir sama dengan jumlah sel somatis yang bisa dilihat dari nilai sensitivitasnya yang tinggi (94.7%) dan nilai spesifisitasnya (97,9%). Sensitivitas menunjukkan kemampuan alat uji untuk


(27)

menunjukkan hasil positif pada sapi yang menderita mastitis subklinis. Spesifisitas menunjukkan kemampuan alat uji untuk menunjukkan hasil yang negatif pada sapi yang tidak menderita mastitis subklinis. Hasil uji kappa juga menunjukkan nilai 0,883; yang artinya uji IPB-1 dan jumlah sel somatis memiliki kesesuaian yang sangat baik (Sudarwanto dan Sudarnika 2008a, 2008b).

Pengobatan Mastitis

Pengobatan mastitis umumnya menggunakan antibiotik secara intramammae. Dalam usaha mencapai produksi semaksimal mungkin, seringkali penggunaan antibiotik ini tidak memperhatikan aturan pakai yang benar. Disamping kontrol terhadap pelarangan penjualan susu yang mengandung residu antibiotik sangat sulit dilakukan. Tindakan tersebut telah memperbesar peluang terdapatnya residu antibiotik dalam produk peternakan (Langford et al. 2003).

Pengobatan secara tuntas sulit dilakukan dan memerlukan biaya yang besar. Upaya penanggulangan mastitis dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan agar tidak terus terjadi penularan. Resiko ternak menderita mastitis terletak pada keseimbangan tiga faktor yaitu: ternak, penyebab peradangan (80-90% disebabkan mikroorganisme) dan lingkungan (Sudarwanto 1999). Sapi mudah menderita mastitis apabila kondisinya menurun akibat cekaman yang diperoleh dari lingkungan. Akibat kondisi sapi yang menurun, daya pertahanan tubuh juga ikut turun dan dalam kondisi seperti ini kontak dengan mikroorganisme penyebab mastitis akan mempermudah terjadinya proses peradangan (Kleinschroth et al. 1994 dalam Sudarwanto 1999). Peningkatan daya tahan tubuh ternak, menjadi salah satu usaha pencegahan mastitis subklinis agar tidak menjadi mastitis klinis.

Pemanfaatan tanaman herbal dapat menjadi alternatif mengatasi mastitis subklinis melalui peningkatan daya tahan tubuh ternak (Nurdin 2006). Hasil penelitian Nurdin (2007) pemberian tongkol bunga matahari mampu menurunkan jumlah sel somatis susu sapi perah penderita mastitis subklinis sebesar 67.96% dan meningkatkan produksi susu 52.33%.

Beberapa tanaman obat diketahui memiliki kandungan minyak atsiri, kurkuminoid, dan flavonoid yang dapat digunakan sebagai senyawa antibakteri,


(28)

12

antioksidan dan antiinflamasi. Kombinasi senyawa tersebut berpotensi untuk meningkatkan daya tahan tubuh sekaligus mengurangi peradangan yang disebabkan mastitis pada ternak perah.

Flavonoid dan kurkumin adalah senyawa polifenol yang bersifat sebagai antioksidan atau penangkap radikal bebas. Sifat ini bermanfaat untuk mencegah kerusakan jaringan (inflamasi) (Heim et al. 2002). Flavonoid golongan flavon dan flavonol yang diperoleh dari fraksi polar ekstrak etanol daun ngokilo (Gynura procumbens) memberikan aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan sel miolema dan vero. Salah satu tanaman obat yang memenuhi kriteria tersebut antara lain adalah temu-temuan (Sugiyanto et al. 2003).

Temu-temuan seperti jahe, kunyit dan temu putih mengandung sekitar 12 senyawa fenolik antara lain gingerols dan diarilhaptanoid yang memiliki aktifitas

antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan α-tokoferol (Kikuzaki et al. 1993).

Senyawa fenolik yang sering diteliti adalah senyawa kurkuminoid yang terdiri atas senyawa kurkumin dan turunannya yang bersifat sebagai antioksidan (Unnikrishnan et al. 1995) antifungal (Apisariyakul et al. 1995), antiinflamasi (Chuang et al. 2000).

Sebagai obat tradisional, temu-temuan biasa digunakan sebagai stimulan, karminativum, diuretik, antiemetik dan memperbaiki gangguan pencernaan (Padua et al. 1999). Salah satu temu-temuan yang sering dimanfaatkan sebagai tanaman obat adalah temu putih (Curcuma zedoaria) yang memiliki aktivitas anti bakteri, anti inflamasi, hepatoprotektor, anti tumor dan antioksidan.

Temu Putih (Curcuma zedoaria (berg) Roscoe)

Tumbuhan Curcuma zedoaria (Zingiberaceae) dikenal dengan nama daerah: temu putih, koneng bodas (Sunda) dan kunir putih (Jawa). Nama lain (sinonim) adalah: Curcuma pallida, Curcuma zerumbet, Amomum zedoaria, Costusluteus dan Roscua lutea (Padua et al. 1999, Dalimartha 2003).

Di Indonesia, temu putih banyak ditemukan sebagai tumbuhan liar di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Barat pada ketinggian 1000 m dpl. Tumbuhan berupa semak, batang semu dengan 6-8 helai pelepah daun yang berpadu, tumbuh tegak lurus, tinggi mencapai 2 m. Daun berbentuk lanset memanjang berwarna


(29)

merah lembayung disepanjang tulang tengahnya. Bunga majemuk, tipe bulir, keluar langsung dari umbi berbentuk bulat panjang dengan mahkoka bunga berwarna ungu atau merah dan bagian bawah berwarna hijau muda atau keputihan.

Secara umum, temu putih dibudidayakan sebagai tanaman obat. Bagian dari temu putih yang biasa digunakan dalam pengobatan adalah rimpang (umbi) (Gambar 2). Rimpang bercabang-cabang dengan warna putih atau kuning muda; daging rimpang berwarna kuning muda, sedikit beraroma kunyit dan rasa pahit. Rimpang dipanen pada saat tumbuhan berumur 9-12 bulan (Syukur dan Hernani 1999).

Gambar 2 Rimpang Temu Putih

Sebagai obat tradisional, rimpang temu putih digunakan sebagai stimulans, karminativum, diuretic, antiemetik, antipiretik, antidiare, memperbaiki gangguan pencernaan, mengobati ulser, luka dan penyakit kulit lainnya (Padua et al. 1999). Menurut laporan Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Obat Tradisional (LP4OT) Surabaya penggunaan selama 14 hari, ramuan utama kunir putih (Curcuma Mangga) dan benalu teh sebagai bahan utama, mengurangi keluhan penderita pada kasus tumor payudara dan tumor kandungan (Suharmiati et al. 2002). Dilaporkan isocurcumenol yang diisolasi dari rimpang Curcuma zedoaria, pada penggunaan 35.7 mg/kg bobot badan mampu menurunkan gangguan tumor asites tikus yang ditantang DLA (Lakshmi et al. 2011).

Kandungan kimia rimpang temu putih antara lain adalah minyak atsiri, kurkuminoida (diarhirheptanoid) dan polisakarida. Nurdin dan Susanty (2009) menunjukkan bahwa hasil penapisan fitokimia diperoleh simplisia serbuk rimpang temu putih mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, triterfenoid dan minyak atsiri (Tabel 4).


(30)

14

Tabel 4 Hasil penapisan fitokimia temu putih ( Curcuma Zedoaria)

No Golongan Kimia Serbuk C.zedoaria

1 Alkaloid (++++)

2 Flavonoid (++++)

3 Saponin (+++)

4 Tanin (-)

5 Steroid (-)

6 Triterfenoid (++++)

7 Minyak atsiri (++++)

8 Glikosida (++)

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi

(+),(++),(++++) = menunjukkan intensitas Sumber : Nurdin dan Susanty (2009)

Aktivitas Biologis Temu Putih (Curcuma zedoaria) secara in-vitro dan invivo Aktivitas Anti Bakteri. Sunardi et al. (2002) melaporkan minyak atsiri rimpang temu putih (10 µL/kertas cakram) menghambat pertumbuhan bakteri S. aereus, B. subtilis, E.coli, P. aeruginosa, S. typhi, S. typhymurium, S. paratyphi B dan C, tetapi tidak memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan fungi (Trichophyton sp, Microsporum gypsum dan Aspergillus niger). Penelitian uji antimokroba yang dilakukan oleh Wilson et al.(2005) terhadap 6 jenis ekstrak (polar, semi polar dan nonpolar) dari Curcuma Zedoaria dan Curcuma malabrarica terhadap bakteri gram positif (B. subtilis, S. aureus, M.luteus), gram negative (E. coli , P.mirabilis, K.pneumonia) dan fungi (A.niger) memberikan hasil yang mendukung pemakaian ekstrak non polar Curcuma zedoaria sebagai obat tradisional untuk mengatasi infeksi bakteri dan jamur.

Aktivitas anti inflamasi. Kurkumin adalah zat warna kuning terdapat pada berbagai jenis rimpang curcuma dengan kadar yang bervariasi yaitu sebesar 0.51% (Curcuma xanthoriza), 0.19% (Curcuma mangga) dan 0.10% (Curcuma zedoaria) (Sumarny 2006). Pada uji efek anti inflamasi dengan metode induksi udem (karagen) pada tikus, Dilaporkan kombinasi minyak atsiri Curcuma domestica, Curcuma xantorriza dan kurkuminoid memberikan efek anti inflamasi yang setara dengan piroksikam (Liang 1992).

Aktivitas hepatoprotektor. Hati adalah organ metabolisme utama yang bertugas mengubah senyawa asal menjadi metabolit dan berkonyugasi dengan asam


(31)

glukoronat, sulfat, glutation sehingga lebih mudah dikeluarkan dari dalam tubuh. Cotran et al. (1999), Nurrochmad dan Murwanti (2002), melaporkan ekstrak alkohol Curcuma zedoaria (dosis 5 dan 10 mg/kg bb) menurunkan kadar aktivitas serum GPT tikus jantan sebesar 46.5 % dan 61 % serta perbaikan gambaran histologi sel hati dibandingkan kelompok kontrol negatif dengan model hepatoksin parasetamol (dosis 2.5 g/kg bb).

Hasil penelitian Murwanti et al. (2001) dilaporkan pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih (750 mg/kg BB; selama 12 minggu) mampu menghambat pertumbuhan tumor paru pada mencit betina yang diinduksi dengan

senyawa benzo(α)piren sebesar 78%. Senyawa polifenol turunan kurkumin

mempunyai sifat anti oksidan sebagai penangkap radikal bebas N-asetil benzokuinonimin (metabolit aktif parasetamol).

Aktivitas antioksidan. Kurkumin yang terkandung dalam rimpang temu putih diindikasi sebagai antioksidan. Antioksidan membantu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Akumulasi radikal bebas dalam tubuh dapat menimbulkan stress oksidatif yang diimplikasikan berperan dalam penuaan dini dan penyakit degeneratif (Cotran et al 1999). Komponen tumbuhan yang bersifat sebagai antioksidan adalah flavonoid, polifenol, tokoferol, asam askorbat, karotenoid dan senyawa yang mengandung sulfur.

Secara umum, antioksidan didefenisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas. Antioksidan yang terdapat dalam bahan makanan selain flavonoid antara lain adalah vitamin C, vitamin E, Selenium, dan karotenoid (Pokorny et al. 2008).

Salah satu metode untuk menilai aktivitas antioksidan adalah metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) dengan menghitung nilai IC50 yaitu kadar yang

dibutuhkan untuk menangkap (scavanger) 50% radikal bebas (DPPDо ) pada periode waktu tertentu. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin besar potensi


(32)

16

(IC50=99.19 bjp) lebih besar dibandingkan Curcuma mangga (IC50=233.39 bjp)

(Sumarny 2006).

Sebagai tanaman obat yang bersifat antioksidan Nurdin dan Susanty (2009) melaporkan penggunaan temu putih (Curcuma zedoaria) sebesar 0.02% bobot badan sapi secara in-vitro, memberikan efek terbaik terhadap keseimbangan ekologi rumen sapi yang pada akhirnya dapat menjaga keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan. Mikroflora di dalam saluran pencernaan mempunyai fungsi ganda yaitu: a) sebagai sumber energi, b) sebagai barier pertahanan untuk mencegah masuknya kuman-kuman patogen dan c) sebagai pemacu sel-sel pertahanan tubuh membentuk antibodi (Subronto 2007).

Sistem Kekebalan

Sistem kekebalan adalah sisitem pertahanan tubuh sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistim kekebalan atau imun terdiri atas dua macam, yaitu sistim kebal humoral dan seluler. Limfosit B bertanggung jawab terhadap sistim kekebalan humoral. Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka limfosit B berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi humoral. Antibodi humoral yang terbentuk di lepas ke darah sebagai bagian dari fraksi g-globulin. Antibodi humoral ini memerangi bakteri dan virus di dalam darah (Farrell et al. 2004).

Sistim humoral merupakan sekelompok protein yang dikenal sebagai immunoglobulin (Ig) atau antibodi (Ab). Limfosit T bertanggung jawab terhadap kekebalan seluler. Apabila ada antigen di dalam tubuh, misalnya sel kanker atau jaringan asing, maka limfosit T akan berubah menjadi limfoblast yang menghasilkan limphokin (semacam antibodi) (Farrell et al. 2004). Immunoglobulin memiliki beberapa fungsi penting antara lain untuk mencegah bakteri menyerang membran epitel, menghambat perbanyakan bakteri, dan menetralisir racun. Fungsi utama dari imunoglobulin adalah untuk mencegah fagositosis mikroorganisme (Batavani et al. 2007).

Tiga kelas imunoglobulin ditemukan didalam susu sapi ; IgG, IgA, dan IgM. IgG dapat dibagi kedalam 2 kelas IgG1 dan IgG2. Lebih dari 80 %


(33)

imunoglobulin susu adalah IgG (Farrel et al. 2004). Kosentrasi imunoglobulin sapi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Konsentrasi Imunoglobulin Sapi

Imunoglobulin Konsentrasi

Colostrum Susu Serum IgG1*(mg/mL)

IgG2*(mg/mL)

IgA*(mg/mL) IgM*(mg/mL)

Immunoglobulin**(g/kg)

46.4 2.87 5.36 6.77 60

0.58 0.05 0.1 0.09

1

11.2 9.2 0.37

3.1

Sumber : * Farrel et al. (2004), ** Phllips (2001)

Tabel 5 menginformasikan konsentrasi imunoglobulin sapi.

Hasil penelitian Prayitno (2002) dilaporkan bahwa, ransum sapi perah yang disuplementasi dengan seleproteinat menghasilkan respon kekebalan tubuh sapi laktasi ditunjukkan dengan peningkatan IgG darah dan globulin kolostrum serta menurunkan angka jumlah sel somatis susu. Batavani et al. (2007) menemukan bahwa adanya perubahan immunoglobulin didalam susu normal sebesar 7.43 % dan perubahan pada susu yang terpapar mastitis subklinis sebesar 26.86 %.


(34)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 2010 di laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan, laboratorium Kesmavet, laboratorium Mikrobiologik Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan di peternakan sapi perah rakyat H. Mahfuddin di daerah Kebon Pedes Bogor.

Materi Penelitian Ternak

Ternak yang digunakan adalah sembilan ekor sapi peranakan Fries Holland laktasi ke-2 sampai ke-4 dengan bulan laktasi normal (bulan ke-3 sampai ke-5)

yang menderita mastitis subklinis (++), dengan produksi susu rata-rata 10-11 l/hari/ekor. Sapi-sapi tersebut dikelompokkan kedalam tiga kelompok

perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali.

Uji Mastitis Subklinis

Pengujian mastitis subklinis dilakukan terhadap susu sapi dari masing-masing kuartir dengan pereaksi IPB-1. Sebanyak kurang lebih 2 ml susu dimasukkan dalam pedel ditambah pereaksi IPB-1 dengan jumlah sama banyak, lalu digoyang-goyang secara horizontal selama kurang lebih 15-20 detik, selanjutnya dilihat perubahan pada susu. Hasil yang diperoleh dinilai berdasarkan perubahan kekentalan campuran cairan diberi tanda -, +, ++,+++. (Lampiran 1).

Pemeriksaan Bakteri Patogen

Untuk menguatkan diagnosa mastitis subklinis pada ternak yang digunakan, dilakukan pengujian mikrobiologis (bakteri patogen) menggunakan media agar darah. Susu dari setiap kwartir yang terdeteksi mastitis subklinis, diambil secara aseptis dan dimasukkan kedalam tabung steril. Kemudian diinokulasi pada media agar darah (Blood agar Base No.2 (CM271B) dengan


(35)

perbandingan 5-7% darah domba). Penggunaaan agar darah untuk membedakan bakteri patogen berdasarkan kemampuan bakteri untuk melisiskan sel-sel darah merah.

Temu Putih

Temu putih yang digunakan dalam penelitian adalah dalam bentuk serbuk simplisia, dengan pengolahan sesuai standar pengolahan tanaman obat bekerja sama dengan balai penelitian obat dan tanaman aromatik (Balitro) Bogor. Rimpang temu putih yang digunakan adalah jenis Curcuma zedoaria (berg.) Roscoe (Lampiran 2) yang telah berumur 9-12 bulan. Pembuatan serbuk simplisia dilakukan dengan cara: rimpang temu putih dibersihkan, dicuci, diiris tipis, kemudian dikeringkan anginkan (30-34oC) hingga kadar air maksimal 10%. Selanjutnya dilakukan penggilingan untuk mendapatkan serbuk simplisia temu putih yang siap digunakan. (Gambar 3).

Gambar 3 Rimpang temu putih (A), Irisan rimpang (B), Irisan rimpang kering (C), Simplisia serbuk temu putih (D)

Metode Penelitian

Penelitian dimulai dengan pencarian lokasi dan identifikasi ternak. Ternak yang digunakan adalah sembilan ekor sapi peranakan Fries Holland laktasi ke-2 sampai ke-4 dengan bulan laktasi normal (bulan ke-3 sampai ke-5) yang

A B

D C


(36)

20

menderita mastitis subklinis positif dua (++) dengan produksi susu hampir seragam.

Pemberian temu putih dilakukan bersamaan dengan pemberian konsentrat pada ternak, dengan cara mencampurkan serbuk simplisia temu putih kedalam konsentrat, pemberian dilakukan dua kali seminggu setiap hari kamis dan minggu selama delapan minggu. Ransum yang digunakan adalah ransum yang biasa diberikan oleh peternak sapi perah H. Mahfuddin Kebon Pedes Bogor yang terdiri atas rumput lapang, kulit jagung, konsentrat, ampas tahu dan ampas tempe. Komposisi zat makanan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi zat-zat makanan yang digunakan selama penelitian

Jenis Pakan Pemberian

(kg) Komposisi (%)* Bahan Kering Serat Kasar Protein Kasar Lemak

Kasar TDN

Rumput lapangan Kulit jagung Konsentrat Ampas tahu Ampas tempe 20 10 5 48 15 19.82 18.7 76.77 5.36 13.36 29.80 26.80 19.33 9.11 42.23 15.22 5.24 15.25 14.09 16.24 2.02 0.96 4.19 29.77 5.9 56.24 49.99 68.00 74.93 60.29

Konsumsi (Kg) 14.18 1.97 8.88

Kebutuhan(Kg) ** 11.76 1.45 7.41

Keterangan : * Hasil analisa Balai Pengujian Mutu Makanan Ternak, Bekasi (2010)

**Hasil perhitungan berdasarkan 4% FCM untuk sapi dengan berat badan 400 kg, produksi susu 14 kg, dan kadar lemak 3.5% (Sudono, 1999)

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan dosis pemberian serbuk simplisia temu putih yakni Kontrol = tanpa pemberian serbuk simplisia temu putih, P1= 0.02 % bobot badan dan P2= 0.04 % bobot badan. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis sidik ragam (uji F) dan apabila terjadi perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Model matematika untuk percobaan ini adalah:

Yij = µ +

τ

i +

ε

ij Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i ulangan ke-j

µ = Nilai tengah umum


(37)

ε

ij = Pengaruh acak yang menyebar normal Peubah yang Diamati Produksi Susu

Pengukuran produksi susu dilakukan setiap hari dari setiap puting pada pemerahan pagi pukul 03.30 WIB dan sore pukul 14.30 WIB. Jumlah susu hasil pemerahan tiap puting diukur dan dicatat. Produksi susu yang didapatkan dikoreksi dengan 4% FCM (fat corrected milk) untuk menghilangkan faktor lemak dengan rumus :

Produksi susu 4% FCM = (0.4 x PS) + (15 x PSx L) Keterangan : PS = Produksi susu rata-rata harian

L = Persentase kadar lemak

Komposisi Susu

Pengambilan sampel untuk uji komposisi susu dilakukan sekali dalam dua minggu selama delapan minggu, dimulai pada saat sebelum perlakuan hingga setelah perlakuan. Susu diambil sebanyak 250 ml dari masing-masing puting. Komposisi susu yang diuji meliputi :

- Kadar Lemak

Kadar lemak susu diukur dengan metode Gerber (Sanjaya et al. 2009). Sebanyak 10 ml H2SO4 pekat (91-92%) dimasukkan kedalam tabung butirometer, melalui dinding tabung tersebut, secara perlahan-lahan dimasukkan susu sebanyak 10.75 ml, kemudian ditambahkan 1ml amyl alkohol. Tabung ditutup dengan sumbat karet kemudian dikocok dengan memutar seperti angka delapan hingga homogen. Selanjutnya tabung disentrifuse selama 3 menit dengan putaran 1200 rpm, kemudian direndam dalam penangas air panas 65oC selama 5 menit. Kadar lemak susu dibaca pada skala butirometer dalam satuan persen.

- Kadar Protein

Karena adanya korelasi antara kadar lemak dan kadar protein susu, maka penghitungan kadar protein susu dapat dihitung bila kadar lemak diketahui dengan rumus sebagai berikut (Sanjaya et al, 2009).


(38)

22

L

Kadar Protein (%) = --- + 1.4

2

Keterangan : L = Kadar lemak (%)

- Kadar Bahan Kering dan Bahan Kering tanpa Lemak

Kadar bahan kering (BK) susu dihitung dengan persamaan Fleischmann (Sanjaya et al, 2009) berdasarkan data kadar lemak dan berat jenis susu pada suhu 27,5 oC. Rumus yang digunakan adalah :

BJ BJ x

xL

BK 1.311 2.738 100 1

Keterangan : L = kadar lemak susu (%)

BJ = berat jenis susu pada 27.5 oC

Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu dihitung dengan rumus: BKTL = BK – L

Keterangan : L = kadar lemak susu (%) BK = kadar bahan kering (%)

Kondisi Mastitis dalam Jumlah Sel Somatis

Pemeriksaan sel somatis dilakukan sekali dalam dua minggu dimulai pada saat sebelum perlakuan hingga setelah perlakuan. Susu dari setiap kwartir yang terdeteksi mastitis subklinis, diambil secara aseptis dan dimasukkan kedalam tabung steril, selanjutnya dilakukan pemeriksaan sel somatis.

Pemeriksaan sel somatis dilakukan dengan metode Breed (Sanjaya et al. 2009). Sampel susu yang akan diperiksa dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian susu dipipet menggunakan pipet Breed dan diteteskan 0.01 ml pada gelas objek 1 (satu) sentimeter persegi dan diratakan hingga membentuk suatu lapisan tipis dan merata, kemudian dibiarkan kering udara selama 5-10 menit. Selanjutnya difiksasi dengan nyala api Bunsen. Pewarnaan Breed dilakukan dengan cara, gelas objek direndam dalam eter alkohol selama 2 menit dan goyang-goyangkan untuk menghilangkan/melarutkan susu. Warnai dengan merendam gelas objek dalam larutan biru methylen löffler selama 1-2 menit. Tahap selanjutnya dimasukkan kedalam larutan alkohol 96% untuk menghilangkan sisa zat warna yang tidak melekat dan dibilas dengan air bersih. Jumlah sel somatis dihitung menggunakan


(39)

mikroskop pembesaran (100x), dengan bantuan minyak emersi. Jumlah sel somatis didapat dengan rumus :

Jumlah sel somatis = F x B Keterangan : F = Faktor mikroskop

B = Rataan jumlah sel somatis dari 10 – 30 lapang pandang. Konsentrasi ImunoglobulinG

Konsentrasi imunoglobulin G diukur sebanyak dua kali yaitu pada saat sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Pengukuran konsentrasi ImmunoglobulinG dilakukan dengan metode ELISA (Burgess. 1995) dengan cara: Plate di coating dengan anti IgG bovine 1:5000, dalam buffer carbonat bicarbonate pH 9.6, selanjutnya diinkubasi semalam pada temperature 4oC. Masing-masing sumuran dicuci tiga kali dengan 300 µl 0.05 % phosphate buffered saline tween (PBST) 20. Selanjutnya diblok dengan 0.5% Skim milk sebanyak 100 µl PBS, lalu diinkubasi 1 jam pada temperature 37oC. Kemudian dicuci tiga kali dengan 300 µl 0.05 % PBST20. Sampel yang telah diencerkan (1:1000 dalam PBS) ditambahkan kedalam plate, sebagai blangko digunakan PBS. Selanjutnya diinkubasi pada temperature 37oC selama 1 jam. Tahap selanjutnya dicuci tiga kali dengan 300 µl 0.05 % PBST20. Conjugat (anti IgG peroksidase) ditambahkan sebanyak 100 µl dan diinkubasi pada temperature 37oC selama 1 jam. Kemudian dicuci tiga kali dengan 300 µl 0.05 % PBST20. Tambahkan substrat Tetramethyl benzidine, inkubasi selama 1 jam. Hasil dibaca dengan mikroplat reader (Benchmark) pada panjang gelombang 492 nm.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendataan dan Pemilihan Ternak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian temu putih terhadap produksi susu, komposisi susu dan kondisi mastitis subklinis (MSK) ternak serta respon daya tahan tubuh ternak sapi perah penderita MSK.

Pelaksanaan penelitian diawali dengan pendataan ternak dengan kriteria menderita MSK positif dua (++), diuji dengan pereaksi IPB-1, pada laktasi ke-2 sampai ke-4 dengan kisaran bulan laktasi normal antara bulan ke-3 sampai ke-5. Hasil pendataan yang dilakukan terhadap beberapa peternakan sapi perah rakyat, didapatkan ternak dengan kondisi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dan berada pada satu usaha peternakan, yakni peternakan sapi perah rakyat H. Mahfuddin, berlokasi di kelurahan Kebon Pedes Kota Bogor.

Populasi sapi yang dipelihara peternakan H. Mahfuddin sebanyak kurang lebih 115 ekor yang terdiri atas 25 ekor sapi jantan dan sisanya adalah sapi betina. Total sapi betina yang sedang laktasi saat pendataan kurang lebih 60 ekor, dengan produksi susu rata-rata 12 liter/ekor/hari. Sapi yang memenuhi kriteria dan dapat digunakan untuk penelitian hanya sebanyak 12 ekor dari keseluruhan sapi laktasi. Selanjutnya dilakukan uji MSK menggunakan pereaksi IPB-1. Hasil uji IPB-1 didapatkan 19 sampel kwartir yang terdeteksi MSK positif dua (++) dari sembilan ekor sapi. Untuk menguatkan diagnosa, selanjutnya dilakukan uji bakteri patogen dari 19 sampel yang didapatkan.

Uji Bakteri Patogen

Uji keberadaan bakteri patogen dilakukan terhadap susu dari setiap kwartir. Hasil pengujian bakteri patogen ditemukan antara lain KNS (Koagulasi Negatif Staphylococcus), Staphylococcus sp, Streptococcus sp, Jamur, dan campuran kuman patogen lainnya (mix) (Tabel 7). Uji bakteri patogen pada awal pemeriksaan menunjukkan keberadaan Streptococcus sp sebesar 58%, KNS dan Staphylocococus sp dengan persentase yang sama yaitu sebesar 32 %.

Dalam pelaksanaan penelitian, satu ekor ternak dari kelompok kontrol menderita abses di daerah tarsus, dan ternak disembelih, sehingga sampai akhir penelitian hanya ada 17 sampel dari 8 ekor ternak. Hasil uji kuman patogen pada


(41)

akhir pengamatan juga ditemui adanya KNS (Koagulasi Negatif Staphylococcus), Staphylococcus sp, Streptococcus sp, mikrococcus, Coliform, Khamir, mikroflora dan campuran kuman patogen lainnya (mix), dengan persentase jumlah sampel terdeteksi KNS sebesar 41%, Streptococcus sp sebesar 29% dan Staphylocococus sp sebesar 23%.

Tabel 7 Hasil uji bakteri patogen susu Kelompok

Perlakuan

Keberadaan Kuman Patogen

Awal Akhir

Kontrol P1

P2

KNS, Staphylococcus sp, Streptococcus sp

KNS, Staphylococcus sp,

Streptococcus sp, Campuran (mix) KNS, Staphylococcus sp,

Streptococcus sp

KNS, Staphylococcus sp, Streptococcus sp KNS, Staphylococcus sp, Streptococcus sp, micrococcus, Coliform

KNS, Staphylococcus sp,

Streptococcus sp, campuran (mix)

Keterangan : Kontrol= sapi yang tidak diberi temu putih, P1= dosis pemberian temu putih

0.02% bobot badan, P2= dosis pemberian temu putih 0.04% bobot badan

Mastitis subklinis adalah penyakit radang ambing dan cara diagnosanya lebih ditekankan pada angka jumlah sel somatis (JSS) dan adanya bakteri patogen. Bakteri patogen yang ditemui dalam penelitian ini memperkuat diagnosa positif terserang MSK. Keberadaan kuman patogen dalam susu senantiasa dikaitkan dengan kondisi mastitis yang dialami oleh ternak. Beberapa penelitian dilaporkan, pada sapi-sapi yang terdeteksi menderita MSK, terdapat beberapa spesies bakteri seperti KNS, Staphylococcus aureus, Staphylococcus haemolyticus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae di dalam susu yang dihasilkannya (Leitner et al. 2008 dan Rysanek et al. 2009).

Kuman patogen sebagian besar masuk kedalam ambing melalui lubang puting dan berkembang didalam ambing, menghasilkan produk biologis dan metabolit. Bahan-bahan ini akan mengiritasi jaringan dan timbul peradangan. Peradangan mengakibatkan penurunan produksi susu dan peningkatan jumlah sel somatis dalam susu dari kwartir yang terinfeksi. Sel somatis merupakan hasil respon imun ternak saat terjadi peradangan.

Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Susu

Penurunan produksi susu merupakan dampak utama yang diakibatkan oleh MSK, sebagai akibat dari kerusakan permeabilitas sel epitel ambing yang


(42)

26

terinfeksi kuman patogen. Penggunaan temu putih diharapkan mampu meningkatkan permeabilitas sel epitel ambing melalui peningkatan daya tahan tubuh ternak. Pola produksi susu selama penelitian disajikan pada Gambar 4 yang dapat digunakan untuk mengetahui persistensi produksi dari masing-masing perlakuan.

Pengamatan parameter produksi susu dilakukan pada laktasi normal, dimana produksi susu masing-masing ternak telah melewati masa puncak produksi. Pola produksi selama penelitian memperlihatkan pemberian temu putih 0.02% bobot badan (P1) mampu mempertahankan puncak produksi, bahkan terjadi peningkatan produksi pada minggu kedua pengamatan. Berbeda dengan kontrol dan pemberian temu putih 0.04% bobot badan (P2), produksi mulai mengalami penurunan pada minggu kedua hingga minggu keempat, kemudian terjadi peningkatan kembali.

Gambar 4 Pola produksi susu dari setiap kwartir selama penelitian

Peningkatan produksi susu pada perlakuan P1 terjadi dimungkinkan karena pada minggu kedua atau ketiga perlakuan, pemberian tepung temu putih mulai mempengaruhi sel-sel alveoli ambing. Kemampuan untuk mempertahankan puncak laktasi secara terus menerus dalam waktu yang lama (persistensi) akan menghasilkan total produksi susu yang lebih tinggi (Phillips 2001, Tyler dan Ensminger 2006).

1000 1500 2000 2500 3000 3500

0 2 4 6 8

Kontrol P1 P2

Produks

i s

usu

(m

l/

har

i/

kw

ar

ti

r)


(43)

Data produksi susu merupakan nilai rata-rata hasil pemerahan susu dari masing-masing kwartir. Pengukuran produksi susu dilakukan setiap hari, pagi dan sore hari selama delapan minggu tanpa membedakan kwartir yang terdeteksi MSK dengan yang tidak terdeteksi MSK. Data rataan produksi susu gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dengan yang terdeteksi MSK disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Rataan produksi susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK

Perlakuan Pengamatan minggu ke- Rataan

0 2 4 6 8

Produksi susu (ml/hari/kwartir)

Kontrol 2958 ±

964

3016 ± 908

2540

±1022 2509 ±778 2744 ±711

2754ab

±864

P1 2624

±530

3033 ± 913

2793 ±1044

2975

±1130 2764 ±1296 2838

a

±992

P2 2624

±101

2646

±851 2110 ±985

2212

±1254 2342 ±1231

2387b

±106 Peningkatan produksi dibandingkan dengan produksi

awal (%)

Kontrol +2.0 -14.1 -15.2 -7.2

P1 +15.6 +6.4 +13.4 +5.3

P2 +0.8 -19.6 -15.7 -10.7

Keterangan : Kontrol= sapi yang tidak diberi temu putih, P1= dosis pemberian temu putih

0.02% bobot badan, P2= dosis pemberian temu putih 0.04% bobot badan . Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda pada

tingkat kepercayaan 95%

Tabel 8 menginformasikan adanya peningkatan produksi susu pada perlakuan P1, dari 2624 ml/hari/kwartir pada minggu awal pengamatan, naik sebesar 5.3% pada akhir pengamatan menjadi 2764 ml/hari/kwartir. Berbeda dengan kontrol dan perlakuan P2, minggu terakhir pengamatan memperlihatkan penurunan produksi masing-masing 7.2 dan 10.7 %.

Hasil analisis keragaman memperlihatkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap produksi susu. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan P1 berbeda nyata dengan perlakuan P2, namun tidak berbeda nyata dengan kontrol. Dengan kata lain pemberian temu putih sebesar 0.02% bobot badan selama delapan minggu berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah penderita MSK.

Produksi susu yang lebih tinggi pada perlakuan P1 sejalan dengan total VFA, konsentrasi NH3 dan total bakteri rumen pada perlakuan in-vitro


(44)

28

penggunaan temu putih yang didapatkan dari hasil penelitian Nurdin dan Susanty (2009) dilaporkan bahwa penggunaan temu putih mampu menjaga keseimbangan kondisi ekosistem rumen sapi perah penderita MSK, sehingga akan dihasilkan VFA tinggi, yang memenuhi kebutuhan produksi susu sapi perah penderita MSK.

Pengamatan produksi susu dilakukan pada setiap kwartir. Penurunan produksi yang terjadi akibat MSK berbeda masing-masing kwartir, sesuai dengan tingkat keparahan yang diakibatkan oleh infeksi bakteri pathogen yang menyerang ambing. Peradangan yang dialami oleh salah satu kwartir belum tentu juga dialami oleh kwartir lainnya, karena bakteri patogen penyebab MSK tidak dapat berpindah atau menular secara langsung antar kwartir (Ruegg 2001).

Tabel 9 Rataan produksi susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK

Perlakuan Pengamatan minggu ke- Rataan

0 2 4 6 8

Produksi susu (ml/hari/kwartir)

Kontrol 2787 ± 814 2940 ± 837 2547 ±1139

2333 ±721 2749

±637 2653 ±787 P1 2734 ±530 3386 ± 913 3164 ±1044 3380 ±1130

3169 ±1296 3167

±992 P2 2956 ±1307 2999 ±992 2438 ±1195 3008 ±1401

3088 ±1234 2898

±1122 Peningkatan produksi dibandingkan dengan produksi

awal (%)

Kontrol +5.6 -8.6 -16.3 +1.3

P1 +23.8 +15.6 +23.6 +15.9

P2 +1.5 -17.5 +1.8 +4.5

Keterangan : Kontrol= sapi yang tidak diberi temu putih, P1= dosis pemberian temu putih

0.02% bobot badan, P2= dosis pemberian temu putih 0.04% bobot badan .

Pengamatan produksi susu terhadap kwartir yang tidak terdeteksi MSK disajikan pada Tabel 9. Nilai rataan produksi susu setiap perlakuan menunjukkan peningkatan pada akhir pengamatan dengan persentase peningkatan produksi tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 15.9%, diikuti perlakuan P2 sebesar 4.5%, dan kontrol sebesar 1.3%. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum produksi susu kwartir yang tidak terdeteksi MSK dapat dipertahankan peningkatan melalui pemberian temu putih. Aktivitas antioksidan temu putih melindungi dan meningkatkan integritas sel alveoli ambing dan mampu mempertahankan produksi susu.


(45)

Mastitis adalah penyakit pada sapi perah yang menyerang sel alveoli, dengan meningkatnya permeabilitas sel maka daya tahan sel alveoli juga akan meningkat, akibatnya kuman penyebab mastitis tidak dapat merusak sel alveoli. Collier (1985) menyatakan bahwa produksi susu selama laktasi bergantung pada substrat untuk perakitan komponen susu dan laju kematian sel-sel kelenjar susu. Melalui pemberian tepung temu putih yang merupakan bahan yang bersifat antioksidan dan antiinflamasi diharapkan mampu memberikan perlindungan pada sel-sel alveoli ambing melalui peningkatan daya tahan tubuh.

Tabel 10 Rataan produksi susu dari kwartir yang terdeteksi MSK

Perlakuan Pengamatan minggu ke- Rataan

0 2 4 6 8

Produksi susu (ml/hari/kwartir)

Kontrol 3192 ± 1194 3093 ± 1099 2624 ±1058

2685 ±900 2741

±800 2854a ±944 P1 2471 ±530 2539 ± 913 2274 ±1044 2407 ±1130 2197 ±1296 2378b ±578 P2 2458 ±879 2469 ±781 1945 ±906 1815 ±1043 1970 ±1119 2131b ±945 Peningkatan produksi dibandingkan dengan

produksi awal (%)

Kontrol -3.1 -17.8 -15.9 -14.1

P1 +2.8 -7.9 -2.5 -11.1

P2 -0.5 -20.9 -26.2 -19.9

Keterangan : Kontrol= sapi yang tidak diberi temu putih, P1= dosis pemberian temu putih 0.02% bobot badan, P2= dosis pemberian temu putih 0.04% bobot badan .

Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 95%

Nilai rataan produksi susu dari kwartir yang terdeteksi MSK disajikan pada Tabel 10. Perbedaan terdapat antara kontrol dengan perlakuan. Rataan produksi susu dari kwartir yang terdeteksi MSK mengalami penurunan produksi pada setiap perlakuan. Penurunan produksi susu dari kwartir terdeteksi MSK memiliki nilai terendah pada perlakuan P1.

Berdasarkan pemeriksaan jumlah sel somatis, rataan jumlah sel somatis juga menunjukkan angka terendah pada perlakuan P1. Hortet et al. (1999), Sudarwanto (1999) dan Green et al (2004) melaporkan bahwa tingginya jumlah sel somatis dalam susu mengindikasikan adanya infeksi atau peradangan pada ambing, dan menekan produksi susu. Sudarwanto (1999) mendapatkan penurunan produksi susu kwartir terdeteksi MSK sebesar 10-18% dibandingkan kwartir


(46)

30

normal.

Rendahnya penurunan produksi susu pada perlakuan P1 sejalan dengan rendahnya rata-rata jumlah sel somatis yang didapatkan pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Hortet et al. (1999), Sudarwanto (1999) dan Nielsen et al. (2009), yang menyatakan bahwa adanya hubungan negatif antara jumlah sel somatis dengan penurunan produksi susu.

Pengamatan terhadap produksi susu memperlihatkan peningkatan produksi susu pada perlakuan P1 baik terhadap gabungan dari kwartir yang terdeteksi MSK dengan yang tidak terdeteksi MSK, maupun dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK, sementara pengamatan terhadap kwartir yang terdeteksi MSK memperlihatkan penurunan produksi paling rendah juga terdapat pada perlakuan P1. Hal ini mengindikasikan pemberian simplisia rimpang temu putih sebesar 0.02% bobot badan selama delapan minggu berpengaruh meningkatkan produksi susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK, dan mampu menurunkan persentase penurunan produksi susu dari kwartir yang terdeteksi MSK. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nurdin (2006) bahwa pemberian tanaman obat (bunga matahari) dalam ransum sebanyak 0.02% bobot badan mampu meningkatkan produksi susu sapi perah penderita mastitis subklinis.

Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak Susu

Manfaat suatu pasokan nutrient pada pakan dianggap berhasil jika memberikan dampak fisiologis dan produksi yang menguntungkan secara biologis (untuk ternak) maupun ekonomis (usahanya). Data rataan kadar lemak susu gabungan dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK dan yang terdeteksi MSK disajikan pada Tabel 11.

Produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu sehingga peningkatan produksi susu relatif akan mengurangi kadar lemak susu (Akers 2002). Kondisi ternak menderita MSK, selain mengakibatkan penurunan produksi susu, kadar lemak dan protein susu yang dihasilkan juga akan mengalami penurunan akibat dari peningkatan aktifitas enzim lipase dan protease (Ruegg 2001, Sudarwanto dan Sudarnika 2006).


(47)

Tabel 11 Rataan kadar lemak susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK (%)

Perlakuan Pengamatan minggu ke- Rataan

0 2 4 6 8

Kontrol 3.55

±1.04 3,88 ±1.18 3.10 ±1.23 3.19 ±1.68 3.07 ±0.84 3.36 ±1.23

P 1 3.17

±0.79 3.53 ±0.93 2.79 ±0.88 3.45 ±0.88 3.01 ±1.05 3.19 ±0.93

P 2 3.49

±0.75 3.58 ±1.18 2.85 ±0.72 3.43 ±0.73 3.82 ±0.88 3.44 ±0.90 Keterangan : Kontrol= sapi yang tidak diberi temu putih, P1= dosis pemberian temu putih 0.02%

bobot badan, P2= dosis pemberian temu putih 0.04% bobot badan .

Produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu sehingga peningkatan produksi susu relatif akan mengurangi kadar lemak susu (Akers 2002). Kondisi ternak menderita MSK, selain mengakibatkan penurunan produksi susu, kadar lemak dan protein susu yang dihasilkan juga akan mengalami penurunan akibat dari peningkatan aktifitas enzim lipase dan protease (Ruegg 2001, Sudarwanto dan Sudarnika 2006).

Kondisi MSK pada ternak turut berperan dalam mempengaruhi komposisi susu. Peningkatan jumlah sel somatik memberikan efek negatif terhadap kadar lemak susu. Jumlah asam lemak terbang meningkat dan aktivitas enzim lipase yang dihasilkan oleh sel somatis mengakibatkan ketengikan dan penurunan kualitas produk susu (Sudarwanto et al. 2006).

Analisis keragaman pengaruh pemberian temu putih terhadap kadar lemak dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap kada lemak susu baik dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK (Tabel 12) maupun dari kwartir yang terdeteksi MSK (Tabel 13).

Awal pengamatan kadar lemak susu terendah terdapat pada perlakuan P1, demikian juga halnya pada akhir pengamatan, namun dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa penurunan kadar lemak kelompok kontrol dan P2 terjadi secara fluktuatif hingga minggu terakhir pengamatan, sedangkan pada perlakuan P1 hampir tidak ada penurunan. Perlakuan pemberian temu putih secara statistik tidak memperlihatkan perbedaan, namun secara deskriptif dapat dilihat rataan kadar lemak susu dapat dipertahankan dengan pemberian temu putih sebesar 0.02% bobot badan.


(1)

(2)

Lampiran 3 Analisis ragam produksi susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu

putih Galat Total

2 157 159

6705039 153756901 160461940

3352519 979343

3.42 0.035

Uji lanjut Duncan analisis ragam produksi susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK

Rataan N dosis A 2837.8 60 2 A

B A 2753.7 40 1 B

B 2386.7 60 3

Lampiran 4 Analisis ragam produksi susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu

putih Galat Total

2 72 74

3453503.93 76652733.99 80106237.92

1726751.96 1064621.31

1.62 0.2046

Lampiran 5 Analisis ragam produksi susu dari kwartir yang terdeteksi MSK Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu

putih Galat Total

2 82 84

6972176.70 59787959.63 66760136.33

3486088.35 729121.46

4.78 0.0109

Uji lanjut Duncan analisis ragam produksi susu dari kwartir yang terdeteksi MSK Rataan N dosis

A 2854.3 20 1 B 2377.5 25 2 B


(3)

Lampiran 6 Analisis ragam kadar lemak susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK

Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 157 159 1.836 145.015 146.85 0.918 0.924

0.99 0.372

Lampiran 7 Analisis ragam kadar lemak susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 72 74 0.18940771 52.26850429 52.45791200 0.09470386 0.72595145

0.13 0.8779

Lampiran 8 Analisis ragam kadar lemak susu dari kwartir yang terdeteksi MSK Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 82 84 0.75108532 74.59337350 75.34445882 0.37554266 0.90967529

0.41 0.6631

Lampiran 9 Analisis ragam kadar protein susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK

Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 157 159 0.459 36.254 36.713 0.230 0.231

0.99 0.372

Lampiran 10 Analisis ragam kadar protein susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 72 74 0.05487068 13.18940732 13.24427800 0.02743534 0.18318621


(4)

Lampiran 11 Analisis ragam kadar protein susu dari kwartir yang terdeteksi MSK Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 82 84 0.22043218 18.40310900 18.62354118 0.11021609 0.22442816

0.49 0.61371

Lampiran 12 Analisis ragam kadar bahan kering susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK

Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 157 159 5.74 202.24 207.98 2.87 1.29

2.23 0.111

Lampiran 13 Analisis ragam kadar bahan kering susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 72 74 1.39707785 73.66095767 75.05803552 0.69853892 1.02306886

0.68 0.5084

Lampiran 14 Analisis ragam kadar bahan kering susu dari kwartir yang terdeteksi MSK Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 82 84 5.0942814 112.4186926 117.5129740 2.5471407 1.3709597

1.86 0.1625

Lampiran 15 Analisis ragam kadar bahan kering tanpa lemak susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK

Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu putih Galat Total 2 157 159 1.727 20.123 21.850 0.863 0.128


(5)

Uji Lanjut Duncan analisis ragam kadar bahan kering tanpa lemak susu dari gabungan kwartir yang terdeteksi MSK dan yang tidak terdeteksi MSK

Rataan N dosis A 9.03495 40 1 A

A 8.97947 60 3 B 8.80853 60 2

Lampiran 16 Analisis ragam kadar bahan kering tanpa lemak susu dari kwartir yang tidak terdeteksi MSK

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu

putih GalatTotal

2 72 74

0.54096025 17.50177367 18.04273392

0.27048012 0.24308019

1.11 0.3342

Lampiran 17 Analisis ragam kadar bahan kering susu dari kwartir yang terdeteksi MSK

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu

putih Galat Total

2 82 84

2.06840188 39.36494981 41.43335169

1.03420094 0.48006036

2.15 0.1225

Lampiran 18 Analisis ragam jumlah sel somatis Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P Dosis Temu

putih Galat Total

2 82 84

0.100 14.544 14.644

0.050 0.177


(6)

Lampiran 19 Analisis pengukuran berulang ImunoglobulinG Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Dikoreksi

F hit Nilai P waktu

waktu*dosis Error(waktu)

1 2 5

3.36020000 0.58211131 3.14879130

3.36020000 0.29105566 0.62975826

5.34 0.46

0.0689 0.6544


Dokumen yang terkait

Pengaruh Iradiasi Gamma pada Aktivitas Antibakteri Kombinasi Ekstrak Etanol Temu Putih (Curcuma zedoaria (Christm.) Roscoe.) dan Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) terhadap Bacillus subtilis ATCC 6633 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923

1 34 73

Mempelajari karakteristik pengeringan lapisan tipis rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe)

3 21 126

Pengaruh pemberian temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) terhadap produksi susu sapi perah penderita mastitis subklinis

0 9 86

AKTIVITAS ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) DAN KULIT Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Rimpang Temu Putih (Curcuma Zedoaria (Berg.) Roscoe) Dan Kulit Kayu Lawang Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus Dan

0 3 12

AKTIVITAS ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) DAN KULIT KAYU Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Rimpang Temu Putih (Curcuma Zedoaria (Berg.) Roscoe) Dan Kulit Kayu Lawang Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus

0 1 15

EFEK ANTIINFLAMASI INFUSA RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) PADA TIKUS PUTIH JANTAN.

0 1 15

EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) PADA TIKUS EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) PADA TIKUS PUTIH JANTAN.

0 0 14

PENDAHULUAN EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) PADA TIKUS PUTIH JANTAN.

0 0 11

EFEK ANTIINFLAMASI INFUSA RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KARAGENIN

0 0 8

Efek Pemberian Temu Putih (Curcuma zedoaria) terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis

0 0 5