I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir laut tropis yang memiliki berbagai macam fungsi, baik secara fisik, biologis maupun kimiawi.
Secara fisik terumbu karang dapat melindungi pantai dari abrasi dan melindungi ekosistem lamun dari sedimentasi. Fungsi biologis terumbu karang adalah sebagai
tempat hidup, mencari makan, berkembang biak, pembesaran anak, berlindung dari predator bagi ikan dan biota-biota laut lainnya. Secara kimiawi terumbu
karang dapat berfungsi sebagai penyedia bahan baku untuk industri kosmetik dan farmasi. Ekosistem terumbu karang memiliki nilai estetika yang tinggi, sehingga
dapat dikembangkan menjadi daerah wisata bahari. Dalam sektor perikanan ekosistem terumbu karang berpotensi sebagai daerah penangkapan ikan dan
budidaya ikan, khususnya ikan karang. Potensi ekosistem terumbu karang perlu dikelola dengan baik dan
maksimal, akan tetapi kenyataannya banyak aktifitas manusia yang menyebabkan kerusakan dalam mengeksploitasi ekosistem terumbu karang. Moosa dan
Suharsono 1995 menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh manusia adalah bersifat kronis dan tidak bersifat sementara. Terumbu karang
dapat mengalami kepunahan karena sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan yang disebabkan oleh manusia Goreau dan Hilbertz, 2005. Tahun 2004 tutupan karang keras di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu sebesar 34,71
dan tahun berikutnya mengalami penurunan menjadi 16,01 sehingga perlu adanya upaya untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi terumbu karang
melalui kegiatan rehabilitasi Estradivari et al. 2007. Pengetahuan dasar mengenai reproduksi karang penting dan dapat membantu dalam usaha
pengelolaan sumberdaya terumbu karang Rani, 2002. Keselamatan ekosistem terumbu karang perlu diperhatikan, salah satu upaya adalah mengkaji dan
mengembangkan metode untuk meningkatkan resistance dan resilience terumbu karang tersebut. Cara dan waktu reproduksi karang sangat besar pengaruhnya
dalam proses pemulihan terhadap kerusakan terumbu karang Glynn et al. 1991.
Kemunculan koloni karang muda merupakan pertanda terjadinya penambahan koloni baru atau recruitment pada populasi dan memberikan
kontribusi dalam pembentukan dan perkembangan komunitas karang. Kepadatan koloni karang muda dapat digunakan sebagai standar untuk mengukur tingkat
recruitment karang pada suatu ekosistem terumbu karang Abrar, 2011. Dewasa ini banyak model-model rehabilitasi terumbu karang yang telah
dikembangkan, yang semuanya bertujuan untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan terumbu karang. Beberapa upaya yang telah diterapkan untuk
rehabilitasi ekosistem terumbu karang, antara lain: artificial reef, transplantasi karang dan ecoreef. Akan tetapi, dalam penerapannya terkadang dapat
menimbulkan permasalahan yang baru. Oleh sebab itu, masih perlu untuk melakukan penelitian dan mencari teknologi baru yang lebih efisien dan efektif,
salah satunya adalah metode mineral accretion. Metode ini dikenal dengan istilah biorock.
Artificial reef atau terumbu buatan merupakan suatu kerangka atau bangunan fisik yang sengaja ditenggelamkan ke dalam perairan dan diharapkan
dapat berfungsi layaknya ekosistem terumbu karang. Secara fisik, terumbu buatan dapat berperan sebagai pelindung pantai, media penempelan karang, tempat
berlindung bagi ikan dan beberapa biota-biota laut. Mineral accretion adalah suatu teknik untuk menghasilkan terumbu buatan dengan cara mengalirkan arus
listrik pada kerangka besi, sehingga terjadi proses elektrolisis. Proses elektrolisis ini akan menyebabkan mineral-mineral yang terlarut dalam air laut dapat
didepositkan dalam bentuk padatan pada kerangka besi. Arus listrik yang dialirkan melalui katoda dan anoda adalah arus lemah dan cukup untuk memicu terjadinya
proses elektrolisis, sehingga proses reduksi dan oksidasi terjadi secara berulang- ulang disekitar katoda Sabater dan Yap, 2004. Terumbu buatan yang dihasilkan
melalui teknik mineral accretion memiliki komposisi yang sangat mirip dengan terumbu alami yang dihasilkan terumbu karang.
Teknik mineral accretion diperkenalkan dan diaplikasikan oleh Goreau dan Hilbertz di Indonesia, tepatnya di Pemuteran-Bali Barat. Teknik mineral
accretion relatif lebih mudah diterapkan dan memiliki nilai artistik yang dapat menarik minat para pengusaha wisata bahari Zamani, 2007.
Modul biorock yang diamati dalam penelitian ini ditenggelamkan di hamparan pasir yang tidak terdapat terumbu karang. Modul biorock tersebut
dijadikan sebagai wadah transplantasi karang. Beberapa bulan sejak
penenggelaman biorock beberapa jenis karang muncul dan menempel secara alami pada kerangka. Kemunculan karang-karang muda tersebut menjadi salah
satu daya tarik untuk diteliti lebih lanjut. Bagaimana proses penempelan karang muda tersebut, sumber larva berasal dari mana, tingkat resistance dan
kelimpahannya perlu untuk diteliti. Pengamatan transplantasi karang pada biorock telah dilaporkan oleh
Abdallah 2010 dan Prasojo 2010, rata-rata tingkat kelulusan transplantasi berkisar antara 80-100. Akan tetapi, penelitian mengenai pola recruitment
karang secara alami pada biorock tersebut belum pernah dilakukan. Penelitian ini akan mengkaji recruitment karang yang menempel secara alami pada biorock.
1.2 Perumusan Masalah