Aspek Hukum Pembubuhan Cap Ibu JariCap Jempol Dalam Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah

xci c. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian; 2. Unsur subyektifnya adalah dengan sengaja. Unsur-unsur yang ada pada Pasal 263 KUHPidana tersebut adalah bersifat alternatif, artinya bisa memilih salah satu dari bagian unsur yang ada.

4.2. Aspek Hukum Pembubuhan Cap Ibu JariCap Jempol Dalam Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah

Jika dilihat secara runtut maka lembaga dan istilah PPAT untuk pertama kali diintroduksi dalam Peraturan Menteri Negara Agraria PMA Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta, yang menyebutkan bahwa akta-akta yang dimaksudkan dalam Pasal 19 PP nomor 101961 harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. PMA tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 19 ayat 1 UUPA dan Pasal tersebut dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 101961 tentang Pendaftaran Tanah, dan terakhir eksistensi PPAT ditegaskan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 371998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 75 Dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 371998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah 76 tersebut disebutkan : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat 75 Habib Adjie, Realistikah Lembaga PPAT Dibubarkan”, Renvoi, Nomor 04, tanggal 3 September 2003, hal. 54 76 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 52 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3736. xcii akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat 2 peraturan yang sama, akta- akta otentik yang dimaksud, disebutkan : a. jual beli ; b. tukar menukar ; c. hibah ; d. pemasukan ke dalam perusahaan inbreng ; e. pembagian hak bersama ; f. pemberian Hak Guna BangunanHak Pakai atas tanah Milik ; g. Pemberian hak tanggungan ; h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan; Pasal 21 menyebutkan “Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang dtetapkan oleh Menteri” .Jika dilihat dari ketentuan pasal demi pasal, dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak ada pasal yang secara khusus mengatur mengenai tanda tangan. Hanya saja dalam Pasal 22 ada disebutkan: Akta PPAT harus dibacakandijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 dua orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi dan PPAT”. Jadi seperti halnya yang diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris maupun Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru, tindakan pembubuhan tanda tangan, hanya disebutkan sebagai suatu keharusan, akan tetapi tidak pernah dijelaskan apa dan bagaimana bentuk tanda tangan tersebut. Sebagaimana diketahui Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur oleh xciii peraturan perundangan yang berbeda dengan Notaris, tapi keduanya sama-sama membuat akta otentik. Jika dilihat dari sejarahnya, maka sebelum dibentuknya lembaga Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka untuk segala urusan pembuatan akta otentik dilakukan oleh seorang Notaris, selaku Pejabat Umum yang ditunjuk negara. Sehingga tidaklah mengherankan jika dalam prakteknya ketentuan dalam pembuatan suatu akta otentik yang berlaku bagi seorang Notaris juga diterapkan dalam pembuatan akta otentik oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah, ketentuan Pasal 5 UUPA yang dengan tegas menyatakan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat ... ”. Menurut dan didalam hukum adat, tidak ada ketentuan atau keharusan adanya akta otentik sebagai alat bukti dari suatu perbuatan hukum mengenai hak atas tanah. Akan tetapi, hukum adatpun tidak melarang atau menolak “kehadiran” alat bukti dalam wujud berupa akta otentik. 77

4.3. Perkembangan Pembubuhan Tanda Tangan di Negara Lain