Institutional development to build a self sustenance in integrated watershed management (the case of arau watershed unit management area, West Sumatera)

PENGEMBANGAN INSTITUSI
UNTUK MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU
(STUDI KASUS PADA SATUAN WILAYAH PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI ARAU SUMATERA BARAT)

NURSIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Institusi untuk
Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu
(Studi Kasus pada Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau
Sumatera Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Nursidah
E 161080051

ABSTRACT
NURSIDAH. Institutional Development to Build a Self Sustenance in
Integrated Watershed Management (The Case of Arau Watershed Unit
Management Area, West Sumatera). Under direction of DUDUNG DARUSMAN,
BRAMASTO NUGROHO, OMO RUSDIANA, and YUZIRWAN RASYID.
Arau Watershed Unit Management Area that is located in Padang City, its
condition continued to degrade due to deforestation in the upstream watershed,
impact on water crisis, so that the watershed performance is still bad. Meanwhile,
reforestation and conservation is constrained by limited funds, ineffective and
inefficient forest governance institution and the lack of incentives for forest
sustainable management. The study was aimed to build a self sustenance and

integrated watershed management through the development of incentives for
reforestation and conservation from payment for environmental services (PES)
and non PES funds by indentifying exogenous factors that influence action arena
in watershed management using Ostrom framework of institutional development
analysis. The results show that to achieve good watershed performance, 32,092 ha
of forest land must be maintained. The identification of action arena shows that
forest degradation occurs due to uncertainty property rights, so forest property
right become ill-defined property rights, since the dominant role of the
government. More over, this condition has destructed collective action and
illegal forest extraction is still continuing and forest degradation become widely
spread then forest is considered as open acces property. The obscurity of forest
property rights must be solved to find a solution. While customary rules of
society that is still good to implement, so property right conflict resolution can be
driven to a common property, because of the followings: the common property are
not sold susceptible so that land integrity can be maintained; ecxludable so that
disruption to the resource can be known early; awakening of collective action in
forest management; members of the group can utilize forest resources so that can
improve social welfare, and the excesses of open access resources can be avoided.
To overcome the limited financing forest conservation and reforestation as well as
to increase forest communities income, it can be implemented payments for

environmental services in utilization of surface water at 27,657 ha forest area. The
presence of funding from the watershed itself, is expected can realize the self
sustenance of watershed management. For the realization of sustainable forest
management and the integrated and self-sustenance watershed management, comanagement model called Nagari Forest Management Model, by means of
incorporate formal rules and customary norms in the forest management is more
suitable because there is space to strengthen forest management based on local
wisdom, and to build synergies between the customary norms and government
rules, so that conflicts can be minimized. Finally, it can be concluded that the
lack of clarity on the situation of vulnerable property right potentially can damage
common pool resources, and when the condition of society still have strong
cultures, communal property solutions with co management model between
communities and government still have advantages.
Keywords : watershed management, forest management, property right, collective
action; common pool resources, a self sustenance

RINGKASAN
NURSIDAH. Pengembangan Institusi Untuk Membangun Kemandirian Dalam
Pengelolaan DAS Terpadu (Studi Kasus Pada SWP DAS Arau Sumatera Barat).
Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, OMO
RUSDIANA dan YUZIRWAN RASYID.

Salah satu satuan wilayah pengelolaan (SWP) daerah aliran sungai (DAS)
Prioritas di Sumatera Barat yang sangat strategis karena terletak di Kota Padang
sebagai ibu kota propinsi adalah SWP DAS Arau. Selama tahun 1990-2009 telah
terjadi pengurangan luas hutan sebesar 1.320 hektar pada SWP DAS Arau,
mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit
minimum dan peningkatan fluktuasi debit, yang mengindikasikan kinerja DAS
buruk. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS belum terpadu, belum mandiri
dan belum berkelanjutan, sehingga performa pengelolaan DAS masih belum baik.
Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak, sehingga permasalahannya
seringkali sangat kompleks. Permasalahan krusial aspek fisik pada SWP DAS
Arau adalah perubahan proses hidrologi karena perubahan tutupan lahan hutan
pada kawasan lindung menjadi tutupan non hutan. Sementara itu, pemulihan
kerusakan hutan dan lahan terkendala oleh terbatasnya dana untuk kegiatan
konservasi dan RHL, sehingga pelaksanaan kegiatan belum sesuai dengan
kebutuhan; sedangkan pada aspek kelembagaan terdapat masalah tumpang
tindihnya lahan hutan ulayat dan hutan negara dan perbedaan aturan pengelolaan
hutan antara masyarakat adat dan pemerintah, yang diyakini sebagai salah satu
penyebab perambahan hutan di hulu DAS dan kemiskinan masyarakat sekitar
kawasan hutan. Dengan demikian pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian
ini adalah “Bagaimanakah model kelembagaan serta insentif seperti apa yang

harus diterapkan sehingga dapat mewujudkan model pengelolaan DAS yang
terpadu dan mandiri pada SWP DAS?” Pertanyaan ini akan dijawab dengan
Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD), yang
dikembangkan oleh Ostrom (2008) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi
fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku), yang
mempengaruhi arena aksi (situasi aksi dan aktor) yang akhirnya akan menentukan
performa pengelolaan SWP DAS Arau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model institusi pengelolaan
DAS pada SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri melalui pengembangan
insentif dari dana PES dan Non PES untuk kegiatan konservasi dan RHL dengan
mengidentifikasi faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam
pengelolaan SWP DAS Arau, pada : (1) aspek fisik, penggunaan lahan dan neraca
air; (2) aspek kelembagaan, atribut komunitas dan aturan formal/norma adat
dalam pengelolaan hutan; dan (3) aspek ekonomi, potensi pengembangan insentif
PES dan Non PES pada SWP DAS Arau.
Hasil analisis aspek fisik menunjukkan ketersediaan air pada SWP DAS
Arau selama periode 1990-2009 berdasarkan debit rerata mencapai 970.269.479
m3/tahun, sedang berdasar debit andalan 641.449.986 m3/tahun, dan mengalami
penurunan sebesar 3,4% dibandingkan periode 1990-1999. Sementara itu,
kebutuhan air pada SWP DAS Arau pada tahun 2009 sebesar 438.752.062


1

m3/tahun. Proyeksi kebutuhan air pada tahun 2028 memperlihatkan bahwa
kebutuhan air pada SWP DAS Arau meningkat 23,48%. Neraca air tahunan
masih positif, namun neraca air bulanan pada bulan-bulan tertentu menunjukkan
neraca air negatif sehingga mengindikasikan telah terjadi krisis air yang
berpotensi menimbulkan konflik antar pengguna air sehingga masalah krusial
pengelolaan air pada SWP DAS Arau adalah distribusi air antar waktu (musim
hujan dan musim kemarau) yang sangat fluktuatif.
Untuk mencapai kondisi tutupan lahan optimal yang akan memberikan
kondisi hidrologi dan kinerja DAS baik harus dipertahankan tutupan lahan hutan
sebesar 32.098 ha. Dengan kondisi tutupan lahan tahun 2009, maka harus
dilakukan kegiatan RHL pada kawasan hutan Negara seluas 2.868 ha (876 ha
pada HSAW dan 1.992 ha pada HL) dan pada kawasan lindung di luar hutan
Negara seluas 1.226 ha dengan pola hutan rakyat agroforestry.
Hasil identifikasi aspek kelembagaan memperlihatkan penetapan kawasan
hutan secara “sepihak” oleh Pemerintah telah menyebabkan tumpang tindihnya
kawasan hutan ulayat dengan hutan Negara, berakibat: (1) tidak diakuinya status
hutan ulayat di kawasan hutan yang dijadikan hutan negara; (2) berkurangnya

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan karena tertutupnya akses
masyarakat dalam pengelolaan hutan di Nagari dan berimbas pada menurunnya
kesejahteraan masyarakat; dan (3) lunturnya aksi kolektif dalam perlindungan
hutan karena hilangnya kontrol masyarakat terhadap hutan ulayat di kawasan
hutan, sehingga perambahan hutan maupun penebangan liar di luar kendali
institusi Nagari (Kerapatan Adat Nagari), padahal hutan mempunyai arti penting
bagi masyarakat Nagari, baik sebagai penopang keberlanjutan lingkungan,
ekonomi, sosial (pengikat kekerabatan) dan budaya (pengikat generasi).
Hasil analisis terhadap model institusi pengelola hutan lestari, menunjukkan
pengakuan dan penggabungan institusi lokal dalam perumusan kebijakan hutan
sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari pada SWP DAS
karena institusi lokal mempunyai potensi aksi kolektif yang besar dan memenuhi
karakteristik pengelolaan CPR lestari. Oleh karena itu solusi masalah non
excludability dan hak kepemilikan (property right) adalah pengelolaan hutan
bersama antara pemerintah dan masyarakat lokal (adat). Pengelolaan hutan
berkelanjutan oleh institusi pengelola yang melibatkan aksi kolektif lokal yang
berhasil, harus memiliki prinsip-prinsip : aturan main pengelolaan berlandaskan
norma masyarakat setempat dan mengutamakan fungsi fisik, sosial dan ekonomi
hutan bagi masyarakat sekitar; organisasi pengelola berkuasa memberikan
penghargaan dan sanksi dan diakui serta dihormati masyarakat; pengaturan

bersifat spesifik lokasi; aturan main dibuat secara partisipatif; ada insentif
ekonomi bagi pemilik dan pengguna; ada instrument pengendali penggunaan
berkelanjutan; resolusi konflik melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan.
Hasil identifikasi aspek ekonomi, potensi pembayaran jasa lingkungan pada
SWP DAS Arau, maka pembayaran jasa lingkungan dapat dikembangkan pada
SWP DAS Arau dalam bentuk pemanfaatan air permukaan kepada kawasan hutan
yang menjadi daerah tangkapan air seluas 27.657 ha, karena merupakan sumber
air bagi daerah bawahnya dengan kuantitas air yang besar (641.449.986 m3/tahun)
dan kualitas air masih baik yang termasuk baku mutu kelas I. Penyedia jasa
lingkungan DAS terdiri dari pemilik atau pengelola lahan pada kawasan lindung
di hulu DAS, yaitu BKSDA Sumatera Barat, Badan Pengelola Taman Hutan Raya

2

Dr. M. Hatta, Distannakhutbun Kota Padang atau masyarakat pemilik lahan pada
kawasan lindung di luar hutan Negara pada Nagari Lubuk Kilangan, Limau Manih
dan Koto Tangah, dengan rerata nilai WTA Rp 5.620.833,-./ha. Pengguna jasa
terdiri dari rumah tangga hulu, pengelola daerah irigasi, PDAM Kota Padang,
industri besar di sepanjang DAS, PT Semen Padang, PLTA Rasak Bungo dan
PLTA Kuranji, Universitas Andalas atau Pengelola Pelabuhan Muaro Padang.

Nilai pemanfaatan air permukaan SWP DAS Arau bagian hulu mencapai
Rp 116.933.531.752,-/tahun. Nilai jasa lingkungan hutan yang dapat diindikasikan
dari nilai WTP pengguna air non komersil untuk konservasi dan RHL dan nilai
pengadaan air baku untuk penggunaan komersil mencapai Rp 9.390.432,946.- per
tahun dan Rp 18.886.363.143,-/tahun. Pengembangan pembayaran jasa
lingkungan pada SWP DAS Arau dapat dijadikan sebagai instrumen finansial
untuk pembiayaan konservasi dan RHL karena adanya kesediaan membayar
pengguna jasa untuk konservasi dan RHL (WTP); sebagai instrument insentif
untuk pengelolaan lahan lestari karena adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat
dalam mengelola lahan; sebagai implementasi pembagian biaya (cost sharing)
hulu hilir dalam pengelolaan DAS. Adanya pembiayaan pengelolaan DAS dari
pengguna jasa DAS yang berasal dari dalam DAS itu sendiri, diharapkan dapat
mewujudkan kemandirian pengelolaan DAS. Sedangkan pada lahan milik dalam
kawasan lindung, yang tidak diterapkan skema PES, diberikan insentif untuk
konservasi dan RHL dari dana APBN, APBD atau sumber lainnya, berupa insentif
langsung dan insentif tak langsung dalam bentuk insentif berbasis pemberdayaan
masyarakat, sehingga pengelolaan DAS memberikan manfaat bagi masyarakat.
Untuk pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan pada SWP DAS
maka model institusi pengelolaan hutan yang paling sesuai dikembangkan saat ini
untuk : (a) solusi masalah tumpang tindih property right pada HL; (b) sebagai

ruang untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat terhadap hutan ulayat;
(c) sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan masyarakat sekitar hutan; dan
(d) sebagai instrumen untuk mempertahankan kelestarian hutan adalah model comanajemen yang dinamakan Model Pengelolaan Hutan Nagari, yang dirancang
dengan memodifikasi aturan formal model Hutan Desa berdasar Permenhut
Nomor P.49/Menhut-II/2008 dan meng-inkoorporasikannya dengan norma adat
dalam pengelolaan hutan sehingga terdapat ruang untuk menguatkan pengelolaan
hutan berbasiskan kearifan lokal dan dapat membangun sinergi antara sistem
pengelolaan hutan berbasis norma adat dan pengelolaan hutan sesuai aturan
Pemerintah sehingga konflik dapat diminimalkan. Bila kapasitas nagari telah
membaik, Model pengelolaan hutan dapat bergeser menjadi Model Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Nagari murni.
Untuk implementasi PES dikembangkan lembaga pengelola PES yang
bersifat sukarela dan independen berbentuk lembaga multistakeholders,
dinamakan Lembaga Pengelolaan Jasa Alam SWP DAS Arau (Galasalam SWP
DAS Arau), dipayungi Pemerintah dengan Perda dan kekuatan moral adat oleh
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Implementasi kedua
model pengelolaan tersebut akan mewujudkan model pengelolaan DAS terpadu
dan mandiri, sehingga terwujud pengelolaan DAS berkelanjutan.
Kata Kunci : pengelolaan DAS, pengelolaan hutan, hak kepemilikan, sumberdaya
milik bersama, pembayaran jasa lingkungan, kemandirian


3

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PENGEMBANGAN INSTITUSI
UNTUK MEMBANGUN KEMANDIRIAN DALAM
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU
(STUDI KASUS PADA SATUAN WILAYAH PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI ARAU SUMATERA BARAT)

NURSIDAH

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji pada Ujian Tertutup :

Dr. Ir. Didik Suhardjito, MSi
Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Dodik Ridho.Nurrahmat, MSc F Trop
Fakultas Kehutanan IPB

Penguji pada Ujian Terbuka :

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Harry Santoso
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan
Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan

Judul Disertasi

Nama
NIM

: Pengembangan Institusi Untuk Membangun Kemandirian
Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu
(Studi Kasus Pada Satuan Wilayah Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Arau Sumatera Barat)
: Nursidah
: E 161080051

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.
Ketua

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS
Anggota

Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc
Anggota

Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid, MS
Anggota

Diketahui,

Koordinator Mayor
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

Tanggal Ujian : 14 Desember 2011

Tanggal Lulus :

iii

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNya maka penelitian dan penulisan disertasi dengan judul "Pengembangan
Institusi untuk Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai

Terpadu (Studi Kasus

Pada Satuan Wilayah

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Arau Sumatera Barat)" ini dapat
diselesaikan. Penelitian ini dilatarbelakangi semakin meningkatnya kerusakan
Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara itu pelaksanaan kegiatan pemulihan
kerusakan DAS terkendala karena terbatasnya kapasitas pendanaan, aspek teknis
maupun kapasitas kelembagaan, sehingga pengelolaan DAS belum mendapat
dukungan dari semua pihak terkait, kemandirian dalam pengelolaan DAS belum
terbangun.

Agar DAS tidak semakin rusak, maka perlu diciptakan model

pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Penelitian ini mencoba mengembangkan
model pengelolaan tersebut melalui pengembangan metodologi konsep aksi
kolektif dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama dan hak kepemilikan
dalam kerangka analisis pengembangan institusi sehingga hasilnya bisa
merekomendasikan model kelembagaan yang mendukung pengelolaan DAS
terpadu, mandiri dan berkelanjutan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA; Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho,
MS; Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc serta Bapak Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid,
MS, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
arahan, berbagi ilmu dan pengalaman sehingga menambah wawasan dan
cakrawala kami dalam penyusunan Disertasi ini.
2. Ketua Departemen Manajemen Hutan Fahutan IPB Bapak Dr.Didik
Suhardjito, MSi dan Ketua Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan IPB Bapak Prof.
Dr. Ir. Haryadi Kartodihardjo, MS beserta staf atas dukungannya selama
penulis mengikuti pendidikan.

3. Bapak Dr. Ir. Didik Suhardjito, MSi dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho
Nurrahmat, MSc F Trop selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Bapak Dr. Ir. Harry
Santoso selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.
5. Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementrian Kehutanan,
Kepala Pusdiklat Kehutanan dan Kepala Balai Pengelolaan DAS Agam
Kuantan, atas izin mengikuti pendidikan, bantuan biaya pendidikan dan
dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan.
6. Staf Balai Pengelolaan DAS Agam Kuantan, Balai Konservasi Sumber Daya
Alam Sumatera Barat dan Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan
Perkebunan Kota Padang yang telah membantu selama pengumpulan data.
7. Kepada suami, orang tua, kakak-kakak, adik-adik, dan anak-anak tercinta serta
seluruh keluarga, atas segala kesabaran, doa, pengertian, dorongan semangat
dan kasih sayangnya.
8. Teman-teman seperjuangan pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan IPB,
khususnya IPH 2008 dan 2009 serta semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu namanya.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan tersebut dan apa yang
penulis peroleh mendapat ridho dari Allah SWT dan karya ilmiah ini menjadi
ilmu yang baik dan bermanfaat bagi pengelolaan DAS yang berkelanjutan.

Bogor, Januari 2012

Nursidah

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 10 Juli 1970 sebagai anak ke
delapan dari pasangan H. Moeslim RMM (Alm) dan Hj. Anizar Ghafar (Alm).
Setelah menamatkan pendidikan pada SMA Negeri 1 Padang tahun 1989, penulis
melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun
1993. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Konservasi
Sumberdaya Lahan Universitas Syiah Kuala dan memperoleh gelar Magister
Pertanian (MP) pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program
doktor pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2008, melalui beasiswa pendidikan
pascasarjana dari Pusdiklat Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Penulis bekerja sebagai PNS pada Kementerian Kehutanan di Jakarta sejak
tahun 1994. Pada tahun 2002 hingga saat ini bertugas pada Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan Sumatera Barat di Padang.
Artikel berjudul Pengembangan Institusi untuk Membangun Aksi Kolektif
Lokal dalam Pengelolaan Hutan (Studi Kasus pada Kawasan Lindung SWP DAS
Arau Sumatera Barat) telah diterbitkan pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika
(Departemen Manajemem Hutan IPB) Volume XVII tahun 2011; dan artikel yang
berjudul Optimasi Penggunaan Lahan dan Kinerja DAS pada SWP DAS Arau
Kota Padang, akan diterbitkan pada Jurnal Forum Pascasarjana IPB, Volume 35
Nomor 1, Januari 2012. Dua artikel lainnya sedang dalam penyuntingan naskah,
yaitu berjudul : Pengembangan Imbal Jasa Lingkungan DAS untuk Membangun
Kemandirian dalam Pengelolaan DAS, akan diterbitkan pada Jurnal Bumi Lestari
(Universitas Udayana) tahun 2012; dan Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air
pada SWP DAS Arau Sumatera Barat, akan diterbitkan pada Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam (Balitbang Hutan dan Konservasi Alam) tahun 2012.
Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR............................................................................

vi

DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................

vii

PENDAHULUAN................................................................................

1

Latar Belakang.................................................................................

1

Perumusan Masalah.........................................................................

2

Kerangka Pemikiran........................................................................

5

Tujuan Penelitian.............................................................................

10

Manfaat Penelitian...........................................................................

11

Novelty............................................................................................

11

TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................

13

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)......................................

13

Penggunaan Lahan dan Peran Vegetasi dalam DAS…………...…

19

Neraca Air DAS..............................................................................

21

Konsep Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan DAS……………...........

24

Konsep Insentif Ekonomi dalam Pengelolaan DAS........................

26

Konsep Pembayaran Java Lingkungan…………….......................

31

Perkembangan Pembayaran Jasa Lingkungan DAS di Indonesia,

37

Hasil Penelitian dan Contoh-contoh Penerapan PES……………..
Konsep Kelembagaan Dalam PES dan Pengelolaan DAS/Hutan

43

Institusi Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama yang Lestari.…

54

METODOLOGI ………………….…………………………………..

59

Tempat dan Waktu Penelitian ..…………………………………..

59

Pengumpulan Data ………………………………………………

59

Metode Penelitian………………………………………………..

61

GAMBARAN UMUM SWPAS ARAU….........................................

75

Kondisi Biofisik SWP DAS Arau…...............................................

75

Kondisi Sosial Ekonomi SWP DAS Arau.......................................

80

i

NERACA AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN SWP DAS ARAU

83

Neraca Air SWP DAS Arau……...................................................

83

Penggunaan Lahan pada SWP DAS Arau.....................................

104

IDENTIFIKASI ARENA AKSI, ATRIBUT KOMUNITAS DAN

125

RULES IN USE UNTUK PENGEMBANGAN INSTITUSI................
Arena Aksi Pengelolaan Kawasan Lindung pada Hulu SWP

126

DAS Arau………………………………………………………...
Atribut Komunitas pada SWP DAS Arau......................................

146

Aturan yang Digunakan (Rules in Use).........................................

170

Aturan Formal Versus Aturan Adat Dalam Pengelolaan Hutan….

187

Revitalisasi Norma-norma Adat dalam Pengelolaan Hutan……..

217

PENGEMBANGAN INSENTIF UNTUK KONSERVASI DAN

225

RHL DARI DANA PES PADA SWP DAS ARAU………………….
Identifikasi Potensi Ekonomi Pelaksanaan PES SWP DAS Arau

226

Formulasi Kebijakan Pengembangan PES pada SWP DAS Arau

289

Pengembangan Insentif untuk Konservasi dan RHL dari Dana

300

Non PES……………………….…................................................
PENGEMBANGAN INSTITUSI UNTUK MEMBANGUN

309

MODEL PENGELOLAAN DAS TERPADU DAN MANDIRI
PADA SWP DAS ARAU…………………………………………….
Eksternalitas, Hak Kepemilikan (Property Right) dan

310

Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama (Common Pool
Resources.......................................................................................
Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan SWP DAS Arau

320

Pengembangan Institusi Untuk Implementasi PES........................

339

Pengembangan Institusi Pengelolaan DAS Terpadu dan

361

Mandiri………………………………………...............................
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….

369

Kesimpulan…………………..…………………………………..

369

Saran…………………………………………………………..…

372

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................

375

LAMPIRAN…………………............................................................

383

ii

iii

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat

30

kemungkinan bekerjanya insentif..............................................
2

Prinsip desain pada kelembagaan CPR yang lestari……..……

56

3

Pengaturan ulang prinsip desain Ostrom untuk CPR

57

kehutanan……………………………………………………...
4

Variabel/pola, pengumpulan data dan sumber data…...………

60

5

Standar kebutuhan air untuk rumah tangga…...........................

64

6

Besarnya kebutuhan air untuk sarana perkotaan…………...….

65

7

Standar kebutuhan air pertanian……........................................

65

8

Standar kebutuhan air industri…...............................................

66

9

Wilayah administrasi dan luas wilayah SWP DAS Arau..........

75

10

Pembagian kelerengan pada SWP DAS Arau….......................

78

11

Data iklim pada SWP DAS Arau…...........................................

78

12

Jenis tanah pada SWP DAS Arau…..........................................

79

13

Data kependudukan pada SWP DAS Arau................................

81

14

Mata pencaharian penduduk pada SWP DAS Arau…………..

81

15

Sarana perekonomian pada SWP DAS Arau……….................

82

16

Prasarana jalan pada SWP DAS Arau……...............................

82

17

Rerata curah hujan bulanan pada SWP DAS Arau…………....

83

18

Ketersediaan air pada SWP DAS Arau berdasarkan

86

penghitungan debit rata-rata dan debit andalan……………….
19

Ketersediaan air tahun 1990 – 2009 dan ketersediaan air

88

bulanan pada SWP DAS Arau………………………..……….
20

Penghitungan kebutuhan air rumah tangga SWP DAS Arau…

89

21

Perkiraan kebutuhan air perkotaan Kota Padang dan SWP

91

DAS Arau Tahun 2009, 2018 dan 2028....................................
22

Perkiraan kebutuhan air pertanian Kota Padang dan
SWP DAS Arau Tahun 2009, 2018 dan 2028…………...........
iii

94

23

Kebutuhan air industri Kota Padang dan SWP DAS Arau…....

96

24

Kebutuhan air SWP DAS Arau dan Kota Padang…………….

98

25

Keseimbangan air SWP DAS Arau dan Kota Padang………..

99

26

Neraca air bulanan SWP DAS Arau berdasarkan

99

penghitungan debit andalan………….………..…....................
27

Penggunaan lahan Kota Padang tahun 2009…………..............

104

28

Pembagian fungsi kawasan pada SWP DAS Arau……………

106

29

Tutupan lahan pada SWP DAS Arau tahun 2009……………..

106

30

Tutupan lahan SWP DAS Arau tahun 1990, 2000 dan 2009….

108

31

Perubahan tutupan lahan kawasan hutan SWP DAS Arau……

111

32

Debit maksimum, debit minimum, debit rerata dan debit

113

andalan SWP DAS Arau Tahun 1990 – 2009....………………
33

Nilai fluktuasi debit (KRS) SWP DAS Arau periode

116

1990-2009……………………………………………………..
34

Hasil proyeksi perubahan tutupan lahan terhadap nilai KRS…

120

35

Kebutuhan biaya konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau...

124

36

Lokasi untuk kajian aspek kelembagaan……………………...

126

37

Pemenuhan prinsip desain pada kedua model pengelolaan

211

hutan…………………………………………………………...
38

Perbandingan modifikasi prinsip desain Ostrom oleh Gautam-

215

Shivakoti dan prinsip pengelolaan CPR berdasar norma adat
pada lokasi kajian……………………………………………...
39

Nama sungai, luas DTA dan debit pada DAS Batang Arau…..

229

40

Nama sungai, luas DTA dan debit pada DAS Batang Kuranji..

233

41

Nama sungai, luas DTA dan debit DAS Batang Air Dingin.....

237

42

Hasil identifikasi karakter jasa lingkungan SWP DAS Arau....

241

43

Sebaran pekerjaan responden SWP DAS Arau bagian hulu…..

248

44

Sebaran pemilikan lahan responden SWP DAS Arau hulu…...

249

45

Sebaran luas lahan responden yang digunakan untuk kegiatan

250

kehutanan pada SWP DAS Arau hulu………………………...
46

Sebaran pola usaha tani responden pada SWP DAS Arau hulu

251

47

Sebaran pendapatan responden pada SWP DAS Arau hulu…..

251

iv

48

Nilai kesediaan menerima kompensasi apabila lahan miliknya

252

harus dipertahankan sebagai hutan (rakyat) SWP DAS Arau...
49

Hasil identifikasi potensi penyedia jasling SWP DAS Arau….

254

50

Penghitungan penggunaan air rumah tangga responden pada

256

daerah hulu SWP DAS Arau. ………………………...............
51

Kebutuhan air irigasi pada SWP DAS Arau…………..………

257

52

Instalasi pengolahan air PDAM dari sumber air permukaan.…

258

53

Proyeksi kebutuhan air bersih Kota Padang Tahun 2009–2028

259

54

Industri di sepanjang DAS pada SWP DAS Arau tahun 2009..

261

55

Hasil identifikasi pengguna jasa lingkungan pada setiap DAS

271

56

Nilai ekonomi air untuk rumah tangga hulu SWP DAS Arau...

272

57

Nilai WTP untuk kegiatan konservasi dan RHL pengguna air

274

rumah tangga hulu pada SWP DAS Arau………..……………
58

Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk sawah SWP DAS Arau.

277

59

Nilai WTP untuk kegiatan konservasi dan RHL pengguna air

278

Petani irigasi pada SWP DAS Arau………………...…………
60

Kategori, jumlah dan pemakaian air pelanggan serta nilai

281

penjualan PDAM Kota Padang Tahun 2009..………………....
61

Nilai air PDAM dengan pendekatan biaya pengadaan air…….

283

62

Nilai ekonomi air untuk penggunaan PLTA Batu Busuk dan

285

Rasak Bungo pada SWP DAS Arau…………………..…........
63

Nilai ekonomi air untuk penggunaan komersil pada hulu SWP

286

DAS Arau…………………………………………….….........
64

Nilai ekonomi total air permukaan pada hulu SWP DAS Arau

286

65

Karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat

307

kemungkinan bekerjanya insentif untuk kegiatan konservasi
dan RHL pada SWP DAS Arau……………………………….
66

Evolusi property right kawasan hutan pada SWP DAS Arau...

314

67

Alternatif solusi masalah property right pada hutan lindung

316

SWP DAS Arau……………………………………………….
68

Kriteria pemilihan institusi pengelola PES SWP DAS Arau….

v

349

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Kerangka pemikiran analisis pengembangan institusi untuk

8

membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu…...
2

Penurunan data debit berdasarkan data hujan SWP DAS Arau..

63

3

Diagram alir penelitian pengembangan institusi untuk

74

membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu…...
4

Peta wilayah penelitian SWP DAS Arau Sumatera Barat……...

76

5

Sebaran ketersediaan air berdasar DAS pada SWP DAS Arau..

87

6

Sebaran kebutuhan air pada SWP DAS Arau berdasarkan

97

sektor dan DAS………………………………………...............
7

Kecenderungan peningkatan debit maksimum SWP DAS Arau

114

8

Arena aksi kehutanan pada SWP DAS Arau…………………..

126

9

Wilayah inti Minangkabau dan wilayah pengembangannya…...

149

10

Bagan susunan masyarakat adat Minangkabau………………...

154

11

Pembagian wilayah sebuah Koto………………………………

156

12

Tahapan pengembangan skema PES (modifikasi CIFOR 2007)

226

13

Peta kkema aliran pada DAS Batang Arau.................................

230

14

Skema aliran DAS Batang Arau…………..................................

231

15

Peta skema aliran pada DAS Batang Kuranji…………..............

234

16

Skema aliran DAS Batang Kuranji………….............................

235

17

Peta skema aliran pada DAS Batang Air Dingin…………........

237

18

Skema aliran DAS Batang Air Dingin…………........................

238

19

Alternatif pemilihan insentif berdasarkan kondisi pendapatan

306

masyarakat dan control pemerintah pada SWP DAS Arau….…
20

Diagram alir pengusulan hak pengelolaan hutan nagari……….

338

21

Proses kelembagaan ideal dalam PES pada SWP DAS Arau

356

(modifisikasi dari Nugroho 2010)……………………………...
22

Model pengelolaan DAS terpadu dan mandiri SWP DAS Arau.

365

23

Model pengembangan institusi untuk membangun kemandirian

368

dalam pengelolaan DAS Terpadu dan berkelanjutan………......
vi

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Peta daerah pengaruh hujan dengan metode Poligon Thiessen

384

pada SWP DAS Arau…………………........……......................
2

Hasil penghitungan (a) luas sebaran pengaruh wilayah setiap

385

stasiun pengukur hujan dan curah hujan rata-rata tahun 19902009 pada DAS Batang Arau (b), pada DAS Batang Kuranji
(c), dan pada DAS Batang Air Dingin (d)…………..….............
3

Hubungan debit (Q) dan hujan (p) pada setiap DAS (a), (e), (i);

387

perbandingan hidrograf debit hasil pengukuran dan debit hasil
perhitungan pada setiap DAS (b), (f) (j); hasil penghitungan
debit dengan model regressi linear sederhana (c) (g) (k) ; dan
hidrograf debit hasil perhitungan selama 20 tahun pada setiap
DAS (d) (h) (l).…………………………………….…………..
4

Perhitungan kebutuhan air pada SWP DAS Arau untuk ke

396

empat sektor………………...………………………………….
5

Hasil analisis regressi linear antara debit maksimum (Qmaks)

401

dan debit minimum (Qmin) terhadap perubahan tutupan lahan
pada SWP DAS Arau……..……………………………………
6

Hasil analisis proyeksi model hubungan antara nilai kofisien

402

regim sungai (KRS) terhadap perubahan tutupan lahan pada
SWP DAS Arau menggunakan program Stella 9.0.2…..………
7

Tabulasi data responden pemilik lahan kawasan lindung di luar

413

kawasan hutan pada hulu SWP DAS Arau…...………………..
8

Tabulasi data responden pengguna air rumah tangga pada hulu

416

SWP DAS Arau…………………………………..………...…..
9

Tabulasi data responden pengguna air petani irigasi pada SWP

419

DAS Arau………………………………………………..……..
10

Peta – peta tematik yang digunakan dalam Penelitian….……...

//
vii

421

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Meningkatnya kebutuhan dan intervensi manusia dalam pemanfaatan
sumber daya dalam daerah aliran sungai (DAS)1 membuat makin banyak DAS
yang rusak. Meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan DAS
telah dilakukan sejak tahun 1970-an, namun kerusakan DAS tetap meningkat.
Tahun 1984 jumlah DAS yang rusak tercatat 22 DAS, pada tahun 1992 meningkat
menjadi 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS, dan tahun 2006 sekitar 458 DAS
perlu direhabilitasi (Fulazzaky et al. 2009). Pada tahun 2009, Menteri Kehutanan
menetapkan 108 satuan wilayah pengelolaan (SWP) DAS2 sebagai DAS Prioritas
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014.
Indikator kritisnya suatu DAS antara lain ditunjukkan oleh penurunan
tutupan vegetasi permanen, terutama hutan dan meningkatnya lahan kritis,
sehingga menurunkan kemampuan DAS menyimpan air, mengganggu siklus
hidrologinya,

berdampak pada peningkatan frekuensi banjir, erosi dan tanah

longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Brooks et al.
1989). Tingkat kekritisan DAS juga berkaitan dengan kondisi ekonomi, sosial
budaya masyarakat setempat. Kemampuan ekonomi yang marjinal, kesadaran
berkonservasi yang rendah, dan kondisi institusi pengelola yang lemah dan tidak
adanya kepastian hak sering memicu terjadinya perambahan hutan di hulu DAS.
Perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu maupun eksploitasi hutan yang
tidak mempertimbangkan lingkungan dapat merusak seluruh ekosistem DAS.
Misalnya hasil air sebagai jasa lingkungan DAS, yang merupakan jasa hutan
akan berkurang pasokannya (Basri 1999; Nursidah 2002; Husnan 2010), padahal
1

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan (UU Nomor 7 Tahun 2004).
2

Satuan wilayah pengelolaan DAS yang selanjutnya disebut SWP DAS adalah kesatuan wilayah
yang terdiri dari satu atau lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang secara geografis dan fisik
teknis layak digabungkan sebagai satu unit pengelolaan DAS. Pembagian wilayah SWP DAS
mengacu pada Instruksi Menteri Kehutanan Nomor : INS.3/Menhut-II/2009 tanggal 20 April 2009
tentang Wilayah Kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Pengelolaan DAS.

2
konsumsi air terus meningkat. Akibatnya air menjadi terbatas dan diperebutkan,
berpotensi menimbulkan konflik ekonomi dan sosial karena benturan kepentingan
antar pengguna air (Ramdan 2006).
Sementara itu pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pemulihan kerusakan
hutan yang berfungsi sebagai perlindungan tata air DAS secara keseluruhan, baik
pada kawasan hutan konservasi (HK), hutan lindung (HL) dan hutan rakyat (HR)
belum memadai karena terbatasnya kapasitas pendanaan, sumberdaya manusia,
teknis, dan kapasitas kelembagaan, sehingga kerusakan hutan terus meningkat.
Ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS belum mendapat dukungan semua
pihak terkait, belum terpadu dan belum berkelanjutan. Kemandirian pengelolaan
DAS belum terbangun sehingga performa pengelolaan DAS masih belum baik.
Perumusan Masalah
Salah satu SWP DAS Prioritas di Sumatera Barat yang sangat strategis
karena terletak di Kota Padang sebagai ibu kota propinsi adalah SWP DAS Arau,
yang terdiri atas DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji dan DAS Batang Air
Dingin (BPDAS 2009). Sepanjang tahun 2008 sampai dengan 2009, tiga DAS
tersebut menunjukkan nilai koefisien limpasan dan koefisien regim sungai (KRS)
tergolong tinggi, yang menunjukkan kondisi yang buruk, sehingga ke tiga DAS
tersebut termasuk DAS Super Prioritas (DPSDA 2010). Hal ini menunjukkan
bahwa kinerja pengelolaan SWP DAS Arau masih buruk.
Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak, sehingga permasalahannya
seringkali sangat kompleks. Permasalahan krusial aspek fisik pada SWP DAS
Arau adalah perubahan proses hidrologi karena perubahan penggunaan lahan
kawasan lindung (KL) menjadi perladangan, kebun, budidaya pertanian, areal
pertambangan dan pemukiman. Sejak tahun 2004 muncul kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya bencana tsunami di Kota Padang, yang menyebabkan
munculnya kecenderungan pembangunan pindah ke daerah yang lebih tinggi,
yaitu wilayah tengah hingga hulu SWP DAS Arau. Akibatnya wilayah tersebut
mendapat tekanan yang semakin besar. Dampak degradasi hutan dan
meningkatnya lahan kritis terlihat jelas ketika terjadi hujan di atas normal pada
hulu DAS, kondisi debit sungai relatif lebih tinggi dan warna air keruh oleh bahan

3
sedimen, yang kemudian diendapkan di muara sungai. Selain itu, setiap tahun
banjir melanda Kota Padang, dengan wilayah rawan banjir seluas 3.500 ha dan
50% berada pada kawasan pemukiman (Bapedalda 2009).
Agar kinerja SWP DAS Arau bisa membaik, maka pada lahan kritis dan
terdegradasi pada kawasan resapan air DAS hulu harus direhabilitasi, sedangkan
yang masih baik tutupan vegetasi permanennya harus dilindungi dan dikonservasi.
Namun pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada SWP
DAS Arau terkendala oleh terbatasnya dana untuk kegiatan konservasi dan RHL,
sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan belum sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan dana untuk konserevasi dan RHL lebih besar dari dana yang tersedia. Berdasarkan data Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perkebunan
(Distannakhutbun) Kota Padang dalam kawasan hutan terdapat lahan kritis seluas
4.000 hektar, namun kemampuan untuk melakukan reboisasi sejak tahun 2000
sampai dengan tahun 2009 hanya sekitar 500 hektar (sekitar 12,5%), yang bersumber dari dana Pemerintah Pusat (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi (DAK-DR)). Selama ini,
pendanaan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau sebagian besar bersumber
atau tergantung dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu jaminan keberlanjutan
konservasi dan RHL sangat tergantung pada dana dari luar SWP DAS Arau, sehingga belum tercipta kemandirian pengelolaan. Kegiatan konservasi dan RHL
memerlukan dana yang besar dan berkelanjutan, sedangkan dana pemerintah sangat terbatas, sehingga keberlanjutan pendanaan konservasi dan RHL sesuai kebutuhan belum terjamin. Oleh karena itu, perlu digali pendanaan konservasi dan
RHL dari berbagai pihak dalam DAS itu sendiri (internal balance budget). Salah
satunya melalui dana pengguna jasa lingkungan DAS, dalam disertasi ini, dibatasi
pada pengguna jasa lingkungan air, yang merupakan jasa hidrologis hutan.
Selama ini, ekosistem DAS sebagai penyedia jasa lingkungan, khususnya
pelayanan hutan sebagai pengatur tata air belum dihargai sebagaimana mestinya,
bahkan oleh para pengguna air komersil (seperti perusahaan air minum, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), industri, pertanian). Air dinilai sangat rendah
karena dianggap sebagai barang publik dengan akses terbuka dan sifat
penggunaannya tidak dapat dikecualikan.

Biaya pengadaan air belum

4
diperhitungkan sebagai bagian biaya produksi pada usaha komersial yang
menggunakan air dalam proses produksinya (Ramdan 2006). Padahal Pasal 80
UU Nomor 7 Tahun 2004, menyatakan bahwa pengguna sumberdaya air selain
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat harus
menanggung biaya jasa pengelolaan sumberdaya air, yang didasarkan pada
perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggung-jawabkan (KLH 2007).
Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala biaya konservasi dan RHL, prinsip
“pengguna membayar penyedia” perlu diterapkan dalam pembiayaan pengelolaan
DAS. Dengan demikian pembiayaan konservasi dan RHL, tidak perlu menunggu
“uluran tangan” dari luar DAS, sehingga dapat tercipta kemandirian dalam pembiayaan pengelolaan DAS. Kemandirian pembiayaan pengelolaan DAS merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Pembiayaan pengelolaan DAS yang bergantung pada dana dari luar sistem DAS akan
cenderung : (a) Tidak menjamin keberlanjutan program-program yang dibutuhkan
dalam pengelolaan DAS; dan (b) Terikat kepentingan donor, yang mungkin tidak
sesuai atau bahkan bertentangan dengan kepentingan para pihak dalam DAS.
Dengan makin seringnya terjadi banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan
makin langkanya sumberdaya air pada saat kemarau, semestinya makin
menyadarkan para pengguna air tentang pentingnya kelestarian hutan sebagai daerah tangkapan air (DTA). Oleh karena itu, sudah selayaknya para pengguna air
ikut berkontribusi dalam konservasi dan RHL di hulu DAS sebagai implementasi
pembagian pendanaan (cost sharing) hulu hilir atau dari penyedia kepada pengguna jasa dalam pengelolaan DAS terpadu dan mandiri. Untuk merealisasikan imbal
jasa lingkungan (Payment for Environmental Service, PES) tersebut perlu digali
potensi pengembangan PES pada SWP DAS Arau, sebagai salah satu bentuk insentif untuk mendorong kegiatan konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau.
Permasalahan kelembagaan difokuskan pada masalah kelembagaan pengelolaan hutan yang belum efisien dan efektif karena adanya masalah hak kepemilikan (property right), sistem nilai dan aturan main yang digunakan dalam
pengelolaan hutan di hulu DAS. Bagian hulu SWP DAS Arau, secara hukum
formal (de jure), merupakan hutan negara (Hutan Suaka Alam dan Wisata
(HSAW) dan HL), yang sebagian wilayahnya diakui oleh masyarakat sebagai

5
hutan ulayat nagari (de facto). Hal ini memicu timbulnya konflik, dan berdampak
langsung kepada eksistensi pengelolaan hutan. Menurut Distannakhutbun Kota
Padang (2010), luas kerusakan hutan Kota Padang selama tahun 2009 adalah 514
hektar yang disebabkan oleh kebakaran hutan 12 hektar, perladangan berpindah
122 hektar, penebangan liar 30 hektar dan perambahan hutan 350 hektar. Tidak
adanya pengakuan Pemerintah terhadap hutan ulayat yang berada dalam kawasan
hutan negara diyakini sebagai salah satu penyebab perambahan hutan di hulu
SWP DAS Arau dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan.
Dengan berbagai potensi dan permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan
“Bagaimanakah model pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau sehingga dapat
dibangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu?”. Karena permasalahan
pengelolaan DAS yang kompleks, maka seringkali pendekatan pemecahan
masalah secara sektoral tidak cukup, bahkan sering mengalami kegagalan,
sehingga diperlukan pendekatan multi dimensi secara terintegrasi, yang
memperhatikan berbagai aspek penting yang terkait dengan pengelolaan DAS
yang berkelanjutan, sehingga pada akhirnya bisa diwujudkan pengelolaan DAS
yang terpadu dan mandiri. Untuk membangun model pengelolaan DAS terpadu
dan mandiri dalam penelitian ini digunakan pendekatan fisik, ekonomi dan kelembagaan yang dirangkum dalam kerangka utama pengembangan kelembagaan.
Kerangka Pemikiran
Pengelolaan DAS merupakan upaya mengendalikan hubungan timbal balik
antara sumber daya alam (SDA) dalam suatu DAS dengan manusia beserta segala
bentuk aktifitasnya, untuk membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan manfaat SDA (Asdak 1995). Menjaga kelestarian SDA dalam
suatu DAS berarti juga menjaga kesinambungan aliran sungai pada suatu DAS
dari hulu sampai hilir dalam kuantitas dan kualitas optimal sepanjang tahun, serta
keberadaan hutan di daerah hulu DAS yang menjadi DTA suatu DAS.
Agar pengelolaan DAS berdaya guna dan berhasil guna, dalam arti kata,
DAS tetap lestari dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, maka
diperlukan suatu model pengelolaan DAS yang memperhatikan berbagai aspek
penting yang terkait dengan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Salah satu hal

6
yang selama ini hanya dipandang sebagai aspek pendukung dan sering diabaikan,
namun kemudian disadari sebagai hal yang menentukan keberhasilan pengelolaan
suatu kegiatan, termasuk dalam pengelolaan DAS adalah aspek kelembagaan.
Dari sisi kajian kelembagaan, suatu kebijakan berupa ketentuan dan
prosedur dalam pengelolaan SDA secara ideal harus beranjak dan dibangun dari
situasi dan hubungan keterkaitan yang sudah ada dan berkembang di masyarakat,
karena hubungan keterkaitan (interdependencies) antara masyarakat dengan SDA
yang dikelolanya, akan menentukan performa (performance) pengelolaan SDA
tersebut (Ostrom 2008).

Dalam perspektif inilah bentuk dan peranan

kelembagaan diperlukan, sehingga pendekatan kelembagaan menjadi begitu
penting dalam kerangka mendukung suatu alternatif pemecahan berbagai
permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga kinerja dan keberhasilan suatu kegiatan dapat diperkirakan (North 1990; Kasper dan Streit 1998).
Ostrom (2008) menyatakan performa pengelolaan SDA milik bersama
(common pool resources, CPR) tidak hanya ditentukan oleh tersedianya kebijakan
yang mengatur bagaimana SDA tersebut harus dikelola dan prosedur administrasi
yang harus dilalui (rules in use), tetapi juga ditentukan oleh kondisi fisik material
dan atribut komunitas yang dikelompokkan sebagai faktor eksogen, yang mempengaruhi arena aksi (situasi aksi dan aktor) dalam pengelolaan SDA tersebut.
Berangkat dari pemikiran di atas maka dapat ditarik hipotesa bahwa
kesiapan regulasi atau prosedur teknis dalam pengelolaan DAS tidak dapat
menjamin kinerja yang baik, jika kelembagaan yang diterapkan tidak sesuai
dengan situasi yang ada (command and control approach). Atau performa pengelolaan DAS (sebagai CPR) yang baik tidak dapat diwujudkan hanya oleh karena
tersedianya kebijakan yang mengatur bagaimana DAS harus dikelola dan
prosedur administrasi yang harus dilalui (rules in use), tapi juga dipengaruhi oleh
faktor eksogen lainnya, yaitu faktor fisik/material dan atribut komunitas (termasuk
ilmu (science), teknologi, pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience) dan
pemahaman pengguna SDA dalam DAS tersebut), yang akan menentukan perilaku para pengguna SDA dalam DAS tersebut untuk bers