Kuasa Pengetahuan Perempuan Dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Petani Padi Sawah Lebak Di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan

KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN
PANGAN KELUARGA PETANI PADI SAWAH LEBAK DI
KABUPATEN OGAN ILIR SUMATERA SELATAN

YUNINDYAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kuasa Pengetahuan
Perempuan dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Petani Padi Sawah Lebak di Kabupaten
Ogan Ilir Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Yunindyawati
NRP I363100011

RINGKASAN
YUNINDYAWATI. Kuasa Pengetahuan Perempuan dalam Pemenuhan Pangan
Keluarga Petani Padi Sawah Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Di
bimbing oleh TITIK SUMARTI, SOERYO ADIWIBOWO, AIDA VITAYALA S.
HUBEIS, dan HARDINSYAH
Penelitian ini penting dilakukan karena masih jarang penelitian yang
menganalisis kontribusi perempuan dari aspek sosial terutama kuasa pengetahuan
perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Tujuan penelitian ini adalah; pertama,
menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak.
Kedua, menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi
dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Ketiga, menganalisis
relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan
struktur sosial petani padi sawah lebak.
Permasalahan ini dikaji dan dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif
dengan menggunakan paradigma kritis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan

wawancara mendalam, observasi, diskusi kelompok dan dokumentasi. Hipotesis
pengarahnya adalah maskulinisasi pertanian dan marjinalisasi kuasa pengetahuan
perempuan hasil diskursus pemenuhan pangan pemerintah memunculkan resistensi
kuasa pengetahuan terstruktur.
Kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak
terjadi dalam hal peningkatan produktivitas pertanian versi pemerintah, pemenuhan
pangan sebagai mekanisme survival versi komunitas dan pangan sebagai komoditas
ekonomi versi pelaku usaha. Diskursus pangan pemerintah untuk pemenuhan pangan
keluarga petani padi sawah lebak, utamanya menekankan pada peningkatan
produktivitas padi justru menghasilkan kebijakan yang memarjinalkan kuasa
pengetahuan perempuan. Peran perempuan menjadi sangat sedikit dan bahkan hilang.
Hal ini disebabkan obyek dari berbagai program pertanian adalah kepala keluarga
(mayoritas laki-laki). Diskursus pangan pemerintah sesungguhnya merupakan proses
maskulinisasi pertanian dan marginalisasi kuasa pengetahuan perempuan. Diskursus
pangan komunitas memberikan banyak peluang bagi perempuan untuk berkontribusi
bagi pemenuhan pangan keluarga, mulai dari proses bercocok tanam, mengambil bahan
pangan dari rawa dan diversifikasi pekerjaan perempuan. Oleh karena itu, praktik kuasa
pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga didominasi oleh diskursus
pangan komunitas.
Resistensi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga

petani sawah lebak dilakukan sebagai akibat marjinalisasi peran perempuan dalam

proses pertanian padi sawah lebak dan tekanan ekonomi keluarga. Bentuk-bentuk
resistensi kuasa pengetahuan perempuan antara lain; resistensi langsung terhadap proses
pertanian padi sawah lebak (penggunaan bibit lokal, membersihkan rumput secara
manual dan penggunaan teknologi pertanian) dan resistensi tidak langsung dengan
melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi, menenun songket, mengolah hasil
perikanan rawa, membuat atap daun, membentuk organisasi non formal, mengakses
kredit non formal, dan membuat konsumsi pangan keluarga. Pekerjaan tersebut
menunjukkan adanya geliat ekonomi perempuan untuk pemenuhan pangan keluarga.
Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi ujung tombak kuasa pengetahuan
perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekologi rawa memberi peluang para
perempuan mencari dan mengumpulkan bahan pangan, sehingga perempuan tetap
berperan dalam ketersediaan pangan keluarga meskipun tergusur dari pertanian padi
lebak. Menenun songket menjadi tumpuan kuasa pengetahuan perempuan karena
dengan tenun songket perempuan mendapat uang cash secara langsung, dan pasti tidak
rugi. Hal ini berbeda dengan upaya mendapatkan uang dari sektor pertanian padi sawah
lebak yang sangat rentan mengalami kegagalan. Proses mengolah hasil perikanan rawa
dan membuat atap daun membuka peluang perempuan saling bertukar informasi
pekerjaan, menjadi jaringan pengaman bagi kuasa pengetahuan perempuan. Jaringan ini

merupakan metamorfosis dari jaringan informasi yang diperoleh saat mengerjakan
panen padi dengan sistem tarikan yang sudah tergusur oleh sistem pertanian baru
(setelah penerapan revolusi hijau).
Perbedaan pelapisan sosial menentukan relasi kuasa pengetahuan perempuan
dalam pemenuhan pangan keluarga. Relasi kuasa pengetahuan perempuan pada
keluarga kelompok atas disubordinasi oleh kuasa pengetahuan laki-laki. Kuasa
pengetahuan laki-laki mendominasi seluruh aspek pemenuhan pangan keluarga; mulai
dari peran publik, pengambilan keputusan dan penentu jenis makanan. Kuasa
pengetahuan perempuan pada keluarga kelompok atas hanya nampak pada peran
domestik, mengolah masakan untuk konsumsi keluarga. Relasi kuasa pengetahuan
perempuan pada keluarga kelompok menengah relatif dominan dibanding kuasa
pengetahuan laki-laki. Kuasa pengetahuan perempuan mampu dipratikkan pada ranah
publik untuk mendapatkan bahan pangan dan pendapatan, mempraktikkan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan dan di ranah domestik. Relasi kuasa pengetahuan
perempuan dan kuasa pengetahuan laki-laki pada keluarga kelompok bawah cenderung
setara dalam setiap aspek pemenuhan pangan keluarga. Pada ranah publik dan ranah
domestik kuasa pengetahuan laki-laki dan perempuan dimainkan demi pemenuhan
pangan keluarga. Perbedaan kuasa pengetahuan perempuan berdasarkan struktur sosial
keluarga petani padi sawah lebak ini menunjukkan dua hal. Pertama, kuasa


pengetahuan perempuan berbeda berdasarkan struktur sosial. Hal ini menunjukkan
bahwa kuasa pengetahuan perempuan melekat pada struktur sosial keluarga petani padi
sawah lebak. Kedua, kuasa pengetahuan perempuan tidak harus ditemukan dalam ranah
publik. Ranah domestik juga menyediakan peluang bagi praktik kuasa pengetahuan
perempuan, karena adanya proses relasional dalam keluarga antara perempuan dan
seluruh anggota keluarga.
Kata kunci: kontestasi, diskursus, resistensi, kuasa pengetahuan perempuan,
pemenuhan pangan keluarga

SUMMARY
YUNINDYAWATI. The power of women‘s knowledge in the food fullfilment of rice
lebak farmer family in Ogan Ilir South Sumatera. Supervised by Titik Sumarti, Soeryo
Adiwibowo,
Aida
Vitayala
S.
Hubeis,
and
Hardinsyah
This research is very important to be carried out because there is rare research which

analyze women‘s contribution from the social structure aspect especially the power of
women‘s knowledge in he family food fulfillment. The objective of this study was to
analize the discourse contestation of family food fulfillment in the rice lebak farmer
family, to analyze the relation of power of women‘s knowledge as a form of resistance
in the food family fulfillment, and to anlyze the relation of power of women‘s
knowledge
in
the
family
based
on
community
social
structure.
This research was used the qualitative approach and the critical paradigm. The
technique of data collection was conducted by in deepth interview, observation, group
discussion and documentation. The hypothesis of this research was the masculinization
of agriculture and the marginalization of power of women's knowledge as a result of
government discourse to food family fulfillment causes the resistance of women based
on social structure.

The discources contestation of the family food fulfillment occur in terms of
increasing agricultural productivity according to government‘s version, the family food
fulfillment as a survival mechanism for the community version and the businesses
version, the family food fulfillment as an economic commodity. The discourse of the
government's food for the family food fulfillment, mainly emphasizes on increasing rice
productivity would produce policies that marginalize the power of women's knowledge.
The role of women in the process of agricutural are disappeared. This is due to the
object of various agricultural programs are the head of the family (the majority of men).
Hence the government's discourse is actually a process of masculinization of agriculture
and the marginalization of power of women's knowledge. The community discourse of
family food fulfillment provide the opportunities for women to contribute in the family
food fufillment, ranging from the farming process, take up the food of the swampy land
and diversification of work. Therefore, the practice of the power of women's knowledge
to fulfill family food dominated by the community discourse.
The resistance of power of women‘s knowledge in meeting the family food as a
result of the marginalization of women's roles in the agriculture process and the family
economic pressure. The resistance of women, among others; the immediate resistance to

against the marginalization of agricultural pocess (the use of local seeds, grass manually
and use of agricultural technology) and the indirect resistance by diversification of work

in the non rice agriculture, songket weaving, processing of fishery products, making the
roof of leaves, forming a non-formal organization, non-formal credit access, and
processing of family food consumption. These diversification of work showed the
economic stretching of women to the fulfillment of family food. Diversification of the
non rice agriculture as a spearheading the power of women‘s knowledge in meeting
food family. The swampy ecology provide opportunities to the women to seek and
gather of food, so that the women still playing a role in the availability of food, although
they were evicted from the rice agriculture process. Songket weaving as a pedestal of
the power of women‘s knowledge because the songket make women earn cash directly,
and certainly not a loss. This is in contrast to the effort to get money from the
agricultural sector,that is very prone to failure. The processing of fishery products,
make up the roof leaves, are a moment that giving opportunities for women to exchange
information, as a safety networking of the power of women‘s knowledge. This
networking is a metamorphosis of the network information from the working on the rice
harvest with tarikan system that has been displaced by the new farming system (green
revolution).
The differences of family social stratification determine the relations of power of
women‘s knowledge to fulfill the family food. The relation of power of women‘s
knowledge in the upper families subordinated by the power of knowledge of men. The
power of men‘s knowledge dominate all of aspects of the family food fulfillment;

ranging from public roles, decision-making and determining the type of food. The
power of women‘s knowledge in upper family, appear on the domestic role only,
cultivate food for family consumption. The relation of the power of women‘s
knowledge in the middle class families are relatively dominant than the power of men‘s
knowledge. The power women‘s knowledge can be practiced in the public domain;
getting food and income, practice in social life and in the domestic sphere. The relation
of power of women‘s knowledge in the lowest family tends to equal with power of
men‘s knowledge in every aspect of the fulfillment of family food. In the public sphere
and the domestic sphere, both the power of knowledge of men and women played for
family food fulfillment. The differences of powerof women‘s knowledge based on
family social structure showed two aspects; first, the power of women‘s knowledge is
different based social structure. This showed that the power of women‘s knowledge was
inherent in the family social structure. The second, the power of women‘s knowledge
should not be found in the public domain. The domestic domain also provides

opportunities for the practice of power f women‘s knowledge, because of the relational
processes in the family between women and the whole of family.
Keywords: contestation, discourse, resistance, the power of women‘s knowledge,
family food fulfillment


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan
suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

2. Dr. Satyawan Sunito

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Irwan Abdullah
2. Dr. Rilus A. Kinseng MA

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat dan
salam semoga tercurah pada Muhammad Rasulullah SAW. Penelitian kuasa
pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak
di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012
hingga Maret 2013. Penelitian ini bisa selesai karena bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu pada ruang ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1.

Komisi pembimbing; Dr. Titik Sumarti, Dr. Soeryo Adiwibowo, Prof Aida
Vitayala S. Hubeis dan Prof Hardinsyah, yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing penulis menyelesaikan disertasi ini.

2.

Rektor IPB, Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Pascasarjana IPB, Dekan
FEMA, Ketua Program Studi SPD, Staf Pengajar SPD dan Dirjend Dikti yang
telah memberikan beasiswa BPPS dan Sandwich Program dan Dr Ratna Saptari
dari Leiden University.

3.

Para Informan Penelitian: masyarakat desa Ulak Aurstanding, kepala desa, ketua
kelompok tani, ketua KUBE, ketua PKK, Penyuluh Pertanian, Dinas Pertanian
dan Dewan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian kabupaten Ogan Ilir,
Sumatera Selatan.

4.

Teman-teman SPD 2010: Pak Viktor, Pak Iyeb, Pak Obie, Bu Lina dan Bu Mira,
yang telah bersama-sama dan bekerjasama dalam menuntut ilmu di IPB dan
kakak tingkat dan adik tingkat SPD yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Terimakasih atas kebersamaannya dan mohon maaf jika ada tutur kata yang
kurang berkenan.

5.

Keluarga besarku terutama Bapak H. Juwaini, Ibu Indarsih (Almh), adik-adikku:
Dwi atmojo, Tri Rahmawati, SPd, Agung Catur Rahmawan SPd, Ria Panca
Irawati, S.S, atas dukungan materiil, moril serta doa-doa yang senantiasa
dipanjatkan.

6.

Keluarga besar Lampung: terutama ayah dan ibu mertua yang berkenan menjaga
anak-anak saya pada saat saya harus pergi keluar negeri mengikuti Sandwich
program selama kurang lebih 3 bulan.

7.

Suamiku tercinta, Rinto, SPi, MP, atas pengertian, dukungan dan kesabaran yang
luar biasa mendampingi saya dalam menjalani kehidupan. Semoga studi S3 di
Ilmu Pangan yang sedang dijalani segera selesai dengan lancar dan diberi
kemudahan oleh Allah.

8.

Anak-anakku tersayang: Muhammad Barid Fathan Hanan, Muhammad Hafid
Hanafi (Alm) dan Muhammad Luthfi Hanafi, kalian adalah permata hati,
penyejuk jiwa (qurrota a‘yun) bagi orang tua dan untaian doa mama panjatkan
semoga menjadi anak yang sholeh, ahli ilmu, ahli amal dan ahli kebaikan serta
suatu saat kelak, kalian diberi kesempatan oleh Allah untuk bisa menuntut ilmu
seperti yang mama peroleh ini.

9.

Karya ini saya persembahkan untuk guru-guruku (dari TK hingga program
Doktor) yang telah memberikan tetesan ilmu serta orang-orang yang
mencintaiku.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015
Yunindyawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Signifikansi Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA

3

Konsep dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan
Penciptaan dan Penyebaran Diskursus
Kuasa perempuan dan pangan
Konsep dan Studi tentang Ketahanan Pangan dan Perempuan
Ukuran Ketahanan Pangan dengan Metode Kualitatif
Kerangka Pemikiran Penelitian
Definisi Konseptual
Hipotesis Pengarah
Kebaruan Penelitian
Metode Penelitian
PROFIL KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH LEBAK DAN PERAN

ix
x
1
1
3
4
4
5
5
8
10
13
25
27
28
29
29
31

PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN DI KABUPATEN OGAN
ILIR
42

4

Profil Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan
42
Profil Kecamatan Pemulutan Selatan
45
Kondisi Ekonomi Komunitas Petani Padi Sawah Lebak di
Desa Ulak Aurstanding
48
Kendala dan Strategi dalam Pemenuhan Pangan Keluarga
50
Kondisi Lingkungan Sosial Budaya Petani Padi Sawah Lebak
di Desa Ulak Aurstanding
51
SEJARAH PERTANIAN PADI LEBAK DAN PERAN PEREMPUAN DI
DESA ULAK AURSTANDING
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

53
53
53
54
70

5

KONTESTASI DISKURSUS PEMENUHAN
PETANI PADI SAWAH LEBAK

6

PANGAN

KELUARGA
71

Pendahuluan
71
Metode
73
Hasil dan Pembahasan
73
Simpulan
96
RESISTENSI KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN ATAS
MARJINALISASI PADA PROSES PERTANIAN PADI DAN PRAKTEK
KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN
PANGAN KELUARGA
97
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

7

STRUKTUR SOSIAL KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM
PEMENUHAN PANGAN KELUARGA
116
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

8

9

97
98
99
116

PEMBAHASAN UMUM

116
117
117
129
130

Keterbatasan Penelitian

137

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

137

Simpulan
Implikasi
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

137
139
141
149

DAFTAR TABEL

1 Penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga dari beberapa
bidang ilmu
2 Penelitian tesis dan disertasi dengan tema perempuan
3 Kepercayaan dasar dari Paradigma-paradigma penelitian alternatif
Empat Paradigma Utama
4 Luas Wilayah Kecamatan, Jumlah Kelurahan dan Desa dalam
Kabupaten Ogan Ilir tahun 2012
5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur
6 Tabel tentang Pentahapan Keluarga Sejahtera
7 Karakteristik ekonomi rumah tangga petani
8 Komposisi penduduk berdasarkan jumlah KK dan jenis kelamin
9 Bentuk diversifikasi usaha petani di desa Ulak Aurstanding
10 Kegiatan pertanian sebelum fase revolusi hijau
11 Penerapan Teknologi dan Inovasi oleh Pemerintah
12 Kegiatan pertanian setelah revolusi hijau
13 Perbedaan umum kegiatan pertanian sebelum dan sesudah revolusi
hijau
14 Peran perempuan dalam kegiatan pertanian sebelum dan setelah
revolusi hijau
15 Pelembagaan dan pengelolaan diskursus pangan antar aktor

DAFTAR GAMBAR
1 Penciptaan diskursus
2 Kerangka pemkiran penelitian
3 Administrasi Kabupaten Ogan Ilir
4 Kondisi Kecamatan Pemulutan Selatan
5 Alur proses diskursus ketahanan pangan pemerintah
6 Strategi keluarga dan komunitas untuk kecukupan pangan
7 Strategi pelaku usaha
8 Bahan pangan yang diperoleh dari ekosistem rawa
9 Perempuan desa Ulak Aurstanding menenun songket
10 Ketrampilan perempuan membuat atap daun dan menyiang ikan
11 Perempuan memanggang krupuk kemplang
12 Alur kuasa pengetahuan dalam pemenuhan pangan keluarga

17
21
33
34
44
46
48
49
50
51
58
61
63
63
70
75

9
27
43
45
76
81
90
104
106
109
112
134

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbagai studi tentang perempuan menunjukkan bahwa dalam berbagai aspek
kehidupan perempuan
selalu tertinggal, tersubordinasi, termarjinalisasi dan
mengalami ketimpangan serta kesenjangan dalam hubungannya dengan laki-laki.
Kesenjangan yang dialami perempuan di bidang ketenagakerjaan bisa diamati melalui
tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Data tahun 1990-2007, perempuan
mengalami kesenjangan terhadap laki-laki. Begitu juga menyangkut upah yang
diterima, terjadi kesenjangan gender dalam hal upah dimana rasio upah yang diterima
perempuan yang bekerja di sektor pertanian adalah 50 persen lebih rendah dari lakilaki dan 70 persen untuk pekerjaan di sektor non pertanian, data tahun 2001-2004. Di
bidang pendidikan angka partisipasi murni (APM) tahun 2008, menunjukkan bahwa
rataan nasional tahun lama sekolah pada anak perempuan adalah 7,1 tahun dan 8,0
tahun pada anak laki-laki. Di bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) meskipun
telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun tetapi tetap masih cukup tinggi yaitu
307/100.000 kelahiran (Hubeis 2010).
Studi yang dilakukan oleh Moussa (2011) di Kindia, Guinea, menunjukkan
perempuan memiliki peran penting dalam memerangi kemiskinan dan kerawanan
pangan. Petani perempuan merupakan tenaga kerja yang menghasilkan pangan sebagai
basis konsumsi lokal. Aktivitas petani perempuan merupakan mesin penggerak
pertumbuhan dan menyediakan basis bagi kehidupan pedesaan. Proporsi besar
produksi pertanian diatributkan pada perempuan, membuat mereka sebagai agen
penting bagi perkembangan ekonomi di wilayahnya. Peran penting perempuan dalam
produksi pangan tidak diikuti oleh hak pemilikan lahan, hanya 1 persen dari
perempuan yang memiliki hak pemilikan atas lahan. Tanpa kepemilikan tanah sulit
bagi mereka untuk memperoleh pinjaman uang untuk membeli sarana pertanian seperti
benih dan input esensial lainnya. Mereka juga dikeluarkan dari pelatihan dan jaringan
pertanian. Kurangnya pengetahuan tentang hak-hak mereka membuat rentan terhadap
penyerobotan tanah (land grabbing) dan kehilangan tanah warisan.
PBB semakin menegaskan peran perempuan dalam produksi pangan dengan
memprediksikan bahwa produksi pangan domestik perempuan di Afrika sebesar 80
persen, di Asia Pasifik 60 persen dan 40 persen di Amerika Latin (FAO 1998 dalam
Moussa 2011). Secara umum orang bisa mengakses makanan tergantung pada kerja
perempuan pedesaan. Petani perempuan menghasilkan makanan utama dan mereka
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga untuk makan.
Sementara itu akses perempuan pada pelayanan keuangan, perluasan pertanian,
pendidikan dan kesehatan, dan hak asasi manusia merupakan kunci untuk aman
ketahanan pangan bagi semua (Hunger Project at www.thp.org).
Peran perempuan di sektor pertanian dan kontribusi ekonominya bisa
mendukung ketahanan pangan di tingkat keluarga. Ketahanan pangan menurut World
Food Summit (1996) merupakan kondisi dimana manusia memiliki akses yang penuh,
baik fisik dan ekonomi dapat mencukupi nutrisi makanan dan keamanan dalam

menyediakan kebutuhan pangan dalam kehidupan yang sehat sesuai dengan nilai dan
budaya setempat (Purwanti 2010).
Perempuan memiliki peran cukup signifikan dalam pembangunan pertanian dan
pedesaan (Moussa 2011, Sukiyono et al. 2008). Di bidang pertanian dan pedesaan
perempuan bukan hanya memproduksi dan mengolah hasil pertanian tetapi juga
berperan penting dalam distribusi pemasaran. Kontribusi perempuan semakin terlihat
ketika mereka memainkan peran domestik sekaligus melakukan aktivitas produksi
pertanian. Namun, aktivitas domestik tidak dinilai sebagai jenis pekerjaan karena tidak
menghasilkan pendapatan. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara laki-laki dan
perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Berdasarkan data BPS 2012, rasio TPAK
menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek
ketenagakerjaan. Pada tahun 2012 proporsi perempuan yang bekerja sebesar 47,91
persen sedangkan proporsi laki-laki mencapai 79,57 persen. Kondisi ini sesuai dengan
mindset yang ada dalam masyarakat bahwa perempuan berperan mengurus rumah
tangga (KPPA 2013).
Pada kasus perempuan petani sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir propinsi
Sumatera Selatan, perempuan terlibat dalam proses produksi padi (on farm) dan juga
terlibat dalam kegiatan konsumsi (off farm). Pada proses produksi padi, peran
perempuan antara lain; menyiapkan lahan sebelum di tanami (Rencam), menebas
rumput, menganyam brondong (media untuk menyemai benih), memindahkan benih
sebelum ditanam, menanam benih padi, memindahkan ke sawah lebak, merawat dan
memanen padi. Untuk menambah pendapatan keluarga perempuan bekerja menenun
songket, menjual gorengan, membuka warung kelontong, mencari ikan dengan
menggunakan tangkul atau dengan memancing, menjadi buruh upahan menyiang ikan,
mejual ikan dari rumah ke rumah, mencari sayuran ke rawa untuk dimakan dan untuk
makanan ternak, mencari gondang (keong rawa) untuk dijadikan lauk dan makan
ternak, memelihara ayam dan itik. Studi yang dilakukan oleh Febriansyah (2014)
menunjukkan peran istri pada rumah tangga petani sawah lebak di kecamatan
Pemulutan Selatan tidak hanya pada usaha tani padi tetapi juga diversivikasi tani non
padi dan di luar usaha tani.
Perempuan pada komunitas petani padi sawah lebak, dikonstruksikan secara
sosial bertanggung jawab atas kebutuhan konsumsi pangan keluarga terkait nutrisi
anggota keluarga. Mereka memegang peran kunci seperti dalam penyediaan air bersih,
mengatur pola makan, jenis makanan dan hal-hal lain berkaitan dengan konsumsi
keluarga. Para laki-laki tidak akan mampu bekerja di sawah/lahan mereka jika tidak
didukung oleh perempuan, menyediakan pangan untuk dikonsumsi seluruh anggota
keluarga. Hal ini menunjukkan peran perempuan cukup sentral dalam ketahanan
pangan keluarga, karena kesalahan dalam proses pengolahan dan penyiapan pangan di
tingkat keluarga akan menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas gizi pangan.
Persoalannya adalah ketika perempuan melaksanakan peran produktif dan
reproduktif tersebut bagaimana kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan
pangan keluarga petani padi sawah lebak? Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana
relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan
struktur sosial ekonomi petani padi sawah lebak? Penelitian ini ingin mengkaji

persoalan tersebut pada keluarga petani padi sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir
propinsi Sumatera Selatan.
Propinsi Sumatera Selatan merupakan propinsi yang memiliki lahan rawa lebak
cukup besar yaitu mencapai 2,98 juta ha. Dari jumlah tersebut yang sudah
dimanfaatkan sebanyak 368.690 hektar terdiri dari 70.908 hektar lebak dangkal,
129.103 hektar lebak tengahan dan 168.67 hektar lebak dalam (Noor 2007, Yunita
2011). Dua kabupaten yang memiliki luas lahan terbesar adalah Ogan Komering Ilir
(27,8%) dari total lahan lebak di Sumatera Selatan dan kabupaten Ogan Ilir (20,6%)
dari total lahan lebak di Sumatera Selatan. Lahan lebak sangat potensial untuk
pertanian terutama tanaman pangan.
Musim tanam padi di sawah lebak hanya setahun sekali yakni pada saat air surut,
oleh karena itu produktivitas hasil pertanian padi sawah lebak berbeda dengan
produktivitas padi sawah yang menggunakan sistem pengairan. Kondisi ini membuat
petani sawah lebak berada pada posisi sulit untuk menuju ketahanan pangan keluarga.
Di tambah lagi perubahan iklim yang relatif tidak menentu memberi dampak pada
usaha pertanian sawah lebak. Hal tersebut bisa menyebabkan kerawanan pangan
keluarga petani padi sawah lebak.
Badan Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian kabupaten Ogan Ilir, berupaya
mengatasi persoalan kerawanan pangan dengan melakukan penyuluhan pertanian
sebagai upaya pemberdayaan petani. Berbagai kegiatan tersebut belum menunjukkan
hasil yang nyata bagi ketahanan pangan keluarga. Hasil penelitian Yunita (2011)
menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga petani padi sawah lebak di
kabupaten Ogan Ilir termasuk dalam kategori rendah.
Dampak dari rendahnya ketahanan pangan ini, paling berat dialami perempuan
karena selama ini perempuan dikonstruksikan sebagai orang yang bertanggung jawab
terhadap pangan keluarga dan pekerjaan reproduktif lainnya. Konstruksi sosial
semacam ini di satu sisi berakibat pada ketidakadilan gender dimana perempuan yang
akan disalahkan jika tidak terpenuhi kebutuhan pangan keluarga. Di sisi lain,
konstruksi sosial semacam ini membuat perempuan berpeluang untuk memiliki
pengetahuan dan kekuasaan di ranah pangan keluarga.
Berangkat dari kenyataan tersebut penelitian ini menganalisis relasi kuasa
pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga, dengan rumusan
masalah; pertama, bagaimana kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani
padi sawah lebak? Kedua, bagaimana kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk
resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak? Ketiga,
bagaimana relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga
berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak?
Tujuan Penelitian

1.
2.

Penelitian ini bertujuan untuk:
Menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah
lebak.
Menganalisis kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam
pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak.

3.

Menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan
keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak.
Signifikansi Penelitian

Penelitian kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga
petani padi sawah lebak ini memiliki manfaat antara lain; pertama, masih jarang
penelitian yang mencoba melihat kontribusi perempuan dari aspek sosial budaya
terutama kuasa pengetahuan mereka bagi pemenuhan pangan keluarga. Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani
padi sawah lebak, menganalisis kuasa pengetahuan sebagai bentuk resistensi dalam
pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak dan menganalisis relasi kuasa
pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur
sosial petani padi sawah lebak.
Kedua, dari segi metodologi, banyak penelitian terdahulu tentang pangan rumah
tangga menggunakan paradigma dan pendekatan kuantitatif yang melihat pangan dan
ketahanan pangan keluarga diukur dengan batasan variabel-variabel tertentu dan
indikator-indikator kuantitatif. Oleh karena itu penelitian ini ingin memberikan warna
bagi kajian tentang pangan dengan melihat bagaimana kuasa pengetahuan perempuan
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan menggunakan paradigma kritis.
Ketiga, dari aspek teoritis penelitian ini mencoba menggunakan teori post
modernisme dalam melihat relasi kuasa pengetahuan perempuan. Selama ini teori-teori
yang digunakan untuk memahami persoalan perempuan adalah teori feminisme yang
berupaya memahami relasi perempuan dan laki-laki, yakni antara yang dominan dan
didominasi, antara yang ordinat dan subordinat, antara yang kuat dan yang lemah.
Dengan menggunakan teori post modernisme ini (teori Foucault) maka relasi kuasa
perempuan dilihat bukan hanya dalam konteks siapa yang menang dan kalah tetapi
bagaimana proses kekuasaan berjalan dalam relasi tersebut.
Keempat: manfaat praktis dari penelitian ini adalah dengan memahami bahwa
kuasa perempuan berada dalam proses relasi, negosiasi antara laki-laki dan perempuan
maka dalam rangka upaya pemberdayaan perempuan (memiliki kuasa), seyogyanya
berbagai kebijakan pemerintah tidak lagi berorientasi bahwa perempuan adalah
makhluk lemah, marjinal, tidak memiliki keberdayaan/kekuasaan sehingga perlu
diberdayaan. Jika pemberdayaan dilandasi oleh kondisi-kondisi tersebut bukan tidak
mungkin justru akan melanggengkan stigma terhadap perempuan. Dalam konteks
Foucault, kekuasaan ada dimana-mana, menyebar dan tidak berpusat, karenanya
perempuan bisa berdaya dan memiliki kuasa dalam konteks perempuan itu sendiri
tergantung keinginan, kebutuhan dan tendensinya pada relasi-relasi yang
dinegosiasikan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji persoalan kuasa pengetahuan perempuan dalam
pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Masalah utama yang diajukan

adalah pertama, bagaimana kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani
padi sawah lebak. Kedua, bagaimana kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk
resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Ketiga,
bagaimana relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga
berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak. Permasalahan ini dikaji dan
dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis.
Penelitian ini dilakukan di desa Ulak Aurstanding kecamatan Pemulutan Selatan
kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan. Lokasi ini dipilih berdasarkan
pertimbangan bahwa kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten yang
memiliki luas lahan sawah lebak terbesar di Sumatera Selatan dan dikelola untuk usaha
pertanian padi. Karakteristik ekologis yang unik dan kondisi sosial budaya lokal
menjadi alasan tersendiri untuk penentuan lokasi penelitian

1 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan
Konsep dan teori pengetahuan dan kekuasaan dalam penelitian ini
menggunakan teori Foucault yang memahami kekuasaan muncul dalam suatu
interaksi antar individu atau antar institusi (Foucault 2002). Kekuasaan belum
muncul ketika relasi sosial belum terjadi, dan baru muncul sejalan dengan relasi
tersebut. Perspektif kekuasaan seperti ini berbeda dengan pemikiran sebelumnya
yang memandang kekuasaan melekat pada struktur, status, posisi maupun institusi
sosial, sebagai kemampuan mempengaruhi orang lain atau pihak lain. Di sini
kekuasaan berdiam atau menempati seseorang atau kelompok, atau kekuasaan
sudah berada dalam diri seseorang atau kelompok (Agusta 2012). Sementara bagi
Foucault kuasa tidak bermakna ‘kepemilikan’, atau keadaan dimana seseorang
memiliki sumber kekuasaan. Kuasa dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana
ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain (Tyas 2010).
Kekuasaan merupakan dimensi kehidupan sosial yang fundamental yang
tidak dapat dihindari, dan kekuasaan mengalami transformasi sejalan dengan
sejarah, mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda.
Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah sesuatu yang menjadi milik, akan tetapi lebih
merupakan strategi, sehingga kekuasaan merupakan praktik yang terjadi dalam
suatu ruang lingkup tertentu yang didalamnya ada banyak posisi yang terus
mengalami pergeseran.
Setiap kekuasaan memiliki pengetahuannya sendiri. Kekuasaan menyebar
dimana-mana, kekuasaan datang dari mana-mana. Hubungan kekuasaan tidak bisa
dipisahkan dari hubungan-hubungan yang ada dalam proses ekonomi, penyebaran
pengetahuan dan hubungan seksual. Kekuasaan adalah akibat langsung dari
pemisahan, ketidaksamaan dan ketidakseimbangan. Foucault mendefinisikan
kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya (Haryatmoko 2010):
1. Kekuasaan tidak dapat dilokalisir, merupakan tatanan disiplin dan
dihubungkan dengan jaringan,
2. Memberi struktur kegiatan-kegiatan,
3. Tidak represif tetapi produktif, serta
4. Melekat pada kehendak mengetahui.
Menurut Foucault, ada lima acara bagaimana kekuasaan beroperasi
(Haryatmoko 2010):
1. Kekuasaan tidak diperoleh, diambil atau dibagikan, kekuasaan berjalan
berbagai titik, dalam permainan hubungan yang tidak setara dan selalu
bergerak.
2. Kekuasan itu cair karena dimana ada perbedaan terbuka hubungan
kekuasaan. Hubungan kekuasaan adalah imanen, artinya hubungan
kekuasaan adalah efek langsung dari pembagian, perbedaan,
ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan.
3. Hubungan kekuasaan tidak berada pada hubungan suprastruktur. Kekuasaan
datang dari bawah, artinya tidak ada oposisi biner antara yang didominasi

2
dan yang dominan. Hubungan-hubungan kekuatan itu banyak dan terbentuk
serta bermain di dalam aparat produksi seperti keluarga, kelompok, institusi,
keseluruhan tubuh sosial.
4. Hubungan kekuasaan itu intensional (berdasarkan niat atau keinginan).
5. Tidak ada kekuasaan tanpa serangkaian sasaran.
Foucault tidak memisahkan pengetahuan-kekuasaan. Penelitiannya tentang
subjek modern melalui bentuk-bentuk pengetahuan, praktik dan wacana terfokus
pada kekuasaan-pengetahuan. Pendekatan Foucault mengenai kekuasaan tidak jauh
dari pemikiran Nietzsche yang menyebutkan bahwa semua keinginan untuk
mengetahui kebenaran sudah merupakan bentuk keinginan akan kekuasaan. Ia
mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk
mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam
pengetahuan. Pengetahuan tidak bersumber pada subjek tetapi dalam hubunganhubungan kekuasaan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan
pengetahuan saling terkait. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan
yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak
mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan. Subyek yang
mengetahui, obyek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus
dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau
kekuasaan dan transformasi historis mereka. Geneologi pengetahuan menunjuk
pada kesatuan pengetahuan ilmiah dan ingatan lokal yang memperbolehkan
membangun suatu pengetahuan historis mengenai perjuangan dan menjadikan
pengetahuan ini secara taktis berguna.
Pengetahuan didefinisikan sebagai informasi yang telah diproses dan
diorganisasikan untuk memeroleh pemahaman, pembelajaran, dan pengalaman
yang terakumulasi sehingga bisa diaplikasikan ke dalam kegiatan rutin kehidupan
sehari-hari.
Kehidupan
sehari-hari
menyimpan
dan
menyediakan
kenyataan/realitas, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang
ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Kehidupan
sehari-hari merupakan suatu dunia yang bersumber dari pikiran-pikiran dan
tindakan-tindakan individu, dipelihara sebagai suatu ‘yang nyata’ oleh pikiran dan
tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui pelembagaan
(obyektivasi) dari proses-proses membangun makna-makna subyektif dan
membentuk dunia akal sehat intersubyektif (Berger dan Luckmann 1990).
Berger dan Luchmann memandang masyarakat sebagai proses yang
berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan yaitu: eksternalisasi,
obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah pencurahan kedirian manusia
secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya.
Obyektivasi adalah
pelembagaan
realitas, dimana proses pelembagaan
(institusionalisasi) diawali oleh momen eksternalisasi yang berulang-ulang, yang
kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Internalisasi adalah proses
penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia
institusionalnya, proses yang dialami manusia untuk ‘mengambil alih’ dunia yang
sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan
sosialisasi, baik primer maupun sekunder (Malik 2010).

3
Semua pengetahuan adalah politik karena syarat-syarat kemungkinannya
bersumber pada hubungan-hubungan kekuasaan. Anatomi tubuh politik
menunjukkan bahwa teknik kekuasaaan, produksi dan pengetahuan lahir dari
sumber yang sama. Wacana menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan atau
cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang topik khusus pada periode
sejarah tertentu. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa.
Praktik sosial memerlukan makna, sedangkan makna mempertajam serta
mempengaruhi apa yang dilakukan. Jadi semua praktik sosial mengandung dimensi
wacana. Wacana dilihat sebagai bahasa dan praksis sosial (Haryatmoko 2010).
Sejumlah syarat metodologis kekuasaan antara lain; pertama, analisis bentuk
kekuasaan berdekatan dengan berbagai pokok persoalan tempat ia berubah menjadi
kapiler, yaitu dalam bentuk dan institusi-institusi yang lebih regional dan lokal.
Kedua, analisis studi kekuasaan dalam wajah eksternalnya, dimana ia merupakan
hubungan yang langsung dan tiba-tiba dengan sesuatu yang untuk sementara
dianggap sebagai objek, target, atau lahan aplikasi kekuasaan tempat ia memasang
dirinya dan memproduksi efek-efek kekuasaan. Ketiga, kekuasaan harus dianalisis
sebagai sesuatu yang berputar, sesuatu yang hanya berfungsi dalam bentuk sebuah
rantai. Individu sebagai roda-roda kekuasaan bukan hanya titik aplikasinya.
Keempat, analisis kekuasaan mengarah ke atas, dimulai dari berbagai mekanisme
yang sangat kecil dimana masing-masing memiliki sejarah, jalan, teknik dan
taktiknya sendiri-sendiri, dan kemudian melihat bagaimana mekanisme kekuasaan
itu diinvestasikan, dipemainkan, ditransformasikan, diganti, diperluas oleh
mekanisme yang lebih umum, oleh berbagai bentuk dominasi global. Kelima,
mekanisme kekuasaan telah bergabung dengan produksi-produksi ideologi.
Ideologi adalah produksi efektif instrumen-instrumen yang ditujukan pada formasi
dan akumulasi pengetahuan. Kekuasaan dijalankan melalui mekanisme yang tidak
kentara, tidak dapat menghindari keterlibatannya dalampengorganisasian dan
perputaran pengetahuan, atau lebih tepatnya menjadi aparat pengetahuan (Foucault
2002).
Foucault mengemukakan hipotesis kekuasaan (namun menurutnya perlu
dieksplorasi lebih lanjut) sebagai berikut; 1) bahwa kekuasaan sama luasnya dengan
lembaga sosial; tidak ada ruang yang sama sekali bebas di celah-celah jaringannya,
2) bahwa relasi-relasi kekuasaan saling terjalin dengan jenis-jenis relasi lain
(produksi, kekerabatan, keluarga, seksualitas) dimana memainkan sekaligus peran
pengkondisian dan yang terkondisikan, 3) bahwa relasi-relasi ini tidak hanya
berbentuk larangan dan hukuman, melainkan bentuk-bentuk yang beragam, 4)
bahwa kesalinghubungan diantara mereka menggambarkan kondisi umum
dominasi, dan dominasi ini diatur ke dalam bentuk strategi yang kurang lebih
koheren dan tunggal; 5) bahwa relasi-relasi kekuasaan benar-benar “melayani”
karena memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam strategi-strategi yang ada, 6)
bahwa tidak ada relasi kekuasaan tanpa halangan (Foucault 2002).
Penciptaan dan penyebaran diskursus
Foucault mengemukakan teori tentang diskursus. Diskursus didefinisikan
sebagai pernyataan yang memungkinkan sekelompok tanda sebagai obyek suatu
diskursus menjadi eksis (Foucault 2002), jenis pernyataan yang memungkinkan
sesuatu menjadi muncul, baik berupa habitus, arena maupun benda-benda tertentu

4
(Agusta 2012), penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian dan pemikiran tentang
orang, pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran.
Diskursus berarti berbicara tentang aturan-aturan dan praktik-praktik yang
menghasilkan pernyataan-pernyataan (statement) yang bermakna pada satu rentang
waktu tertentu. Diskursus juga merupakan sebuah mekanisme pengaturan bekerja
yang sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi dan profesionalisme. Diskursus
mengisolasi, mendefinisikan dan memproduksi obyek pengetahuan yang sekaligus
merupakan undang-undang sosial menetapkan aturan tentang tata cara yang dapat
diterima dalam memperbincangkan, menulis, dan bertindak seputar topik tertentu
(Malik 2010).
Proses penciptaan diskursus pasti diatur, diseleksi, disusun dan disebarkan
berdasarkan prosedur-prosedur tertentu. Salah satu upaya pengaturan diantaranya
dengan melakukan aturan pengecualian (exclusion) melalui cara pelarangan
(prohibited). Adapun tipe-tipe larangan; obyek-obyek yang ditutupi, ritual-ritual
beserta keadaan yang menyertainya, hak bicara istimewa dan ekslusif yang dimiliki
subyek-subyek tertentu. Larangan-larangan ini saling berelasi satu sama lain; saling
menguatkan dan saling melengkapi membentuk jaringan yang sangat kompleks
(Foucault 2003:13). Larangan-larangan ini membentuk mata rantai yang
menghubungkan ucapan dengan hasrat dan kekuasaan.
Penyebaran diskursus juga dilakukan melalui tipe penyisihan lainnya yakni
pembagian (division) dan penolakan (rejection). Sesuatu yang berlawanan dengan
disursus akan ditolak, dianggap tidak masuk hitungan, tidak benar dan tidak punya
nilai, tidak bisa diajukan sebagai bukti. Sementara sesuatu yang sesuai dan sejalan
dengan diskursus dianggap sebagai kebenaran. Kebenaran bergerak dari kegiatan
penyampaian-penyampaian yang bersifat ritual menuju pada apa yang disampaikan
itu sendiri: makna, bentuk, obyek dan relasi kebenaran tersebut dengan apa yang
dirujuknya. Bentuk-bentuk diskursif atas analisis pernyataan anata lain
pembentukan obyek, pembentukan subyek, pembentukan konsep dan pembentukan
strategi (Agusta 2012, Foucault 2003). Berikut bagan prosedur penciptaan
diskursus.

5

Penciptaan diskursus

Pembentukan
strategi

Pembentukan
konsep

Pembentukan
subyek

Pembentukan
obyek

Pelembagakan dan pengelolaan
diskursus

Aturan penyisihian

Aturan internal

Aturan
pengelolaan kekuasaan

Pendisiplinan
Gambar 1 Penciptaan diskursus
Diskursus diciptakan dan disebarluaskan, kemudian mendapatkan reaksi
dari pihak lain sehingga terjadi perdebatan dan adu argumentasi. Perdebatan dan
adu argumentasi ini menghasilkan sebuah diskursus yang dominan. Diskursus
dominan adalah diskursus yang paling sering dibicarakan dan dipraktikkan,
semakin sering dibicarakan dan dipraktikan maka akan menjadi diskursus dominan.
Diskursus dikenalkan, disebarluaskan melibatkan kekuasaan. Kekuasaan adalah
nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam masyarakat.
Dalam hal ini diskursus ketahanan pangan menjadi arena interaksi diskursus para
aktor antara lain pemerintah, komunitas dan pelaku usaha.
Foucault menerapkan prinsip-prinsip geneologis, suatu prinsip yang
menekankan bahwa tiap bentuk kebenaran bisa dilacak secara historis pada institusi
dan wacana dominan yang melahirkannya. Dengan prinsip ini ia menggunakannya
untuk membedah kebenaran yang dimutlakkan. Kebenaran berasal dari penataan
yang disebutnya sebagai teknik episteme yaitu konstruksi berdasarkan prinsip
penataan hal ihwal yang membuat beberapa mungkin dan lainnya tidak. Episteme
(pemilihan nilai yang menjadi obyek) ini bekerja sangat halus menguasai pola pikir
orang pada suatu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja
episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan,
didefinisikan dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen dikursif: disiplin
ilmu, institusi dan tokoh (Foucault 2002).
Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak
saling meniadakan, melainkan menguatkan. Kehendak untuk tahu adalah nama lain
kehendak untuk berkuasa. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan

6
bisa mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Apa yang dikira sebagai kodrat manusia
adalah dibangun oleh episteme zaman yang berpihak pada pengetahuan, wacana,
dan institusi tertentu.
Konsep terpenting Foucault terkait dengan kekuasaan adalah the constructive
nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan konteks
diskursif, yang kemudian meluas hingga the concept of governmentality. Konsep
ini mengarah pada organisasi administratif yang dibentuk untuk mengontrol dan
mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang diskursus, teknologi,
pengawasan terkait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan Putranto dalam Malik
2010).
Kuasa perempuan dan pangan
Pengetahuan dan kekuasaan perempuan dalam ketahanan pangan disinyalir
telah dimiliki dan dilakukan perempuan sejak peradaban awal manusia. Pada
mayarakat berburu dan meramu, perempuan bertanggung jawab atas pangan
keluarga dan perawatan anggota keluarga. Sejarah bercocok tanam juga diawali
oleh perempuan, maka lambang dan simbol kesuburan dan pangan adalah Dewi
Sri. Artinya sejak awal peradaban telah terjadi pembagian peran berdasarkan jenis
kelamin yang kemudian dikenal dengan istilah gender.
Perempuan dan pertanian memiliki kaitan erat. Sejarah menunjukkan bahwa
sebelum dikenal berbagai jenis profesi, maka tani merupakan profesi paling awal
yang dikenal manusia. Profesi tani menyediakan bahan pangan sehari-hari demi
kelangsungan hidup manusia sehingga tani dapat dikatakan sebagai profesi awal
dan vital manusia (Soeparto 2011).
Pengetahuan dan kekuasaan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga
berjalan seiring perkembangan masyarakat dan perubahan sosial. Di Indonesia,
ketika membicarakan perempuan dan kaitannya dengan peran gender yang harus
dilakukannya maka tidak akan lepas dari sejarah kolonialisasi yang dialami Bangsa.
Sejarah kolonialisasi di Indonesia diawali pada tahun 1800 M, saat VOC masuk ke
wilayah Indonesia. Kolonialisme merupakan suatu usaha untuk melakukan sistem
pemukiman warga dari suatu negara di luar wilayah negara induknya. Seringkali
kolonialisme membawa serta imperialisme, suatu usaha memperluas wilayah
kekuasaan atau jajahan untuk mendirikan imperium/kekuasaan. Kolonialisasi di
Indonesia awalnya muncul dari ide untuk mencari daerah penghasil rempahrempah, mencari harta (emas, perak), menyebarkan agama nasrani, mencari
keharuman nama, kejayaan dan kekuasaan.
Pada tahun 1825 Vanden Bosh (Hindia Belanda Company) menerapkan
Culturstelsel; sistem tanam paksa yang mensyaratkan: petani harus menyediakan
20% tanah untuk tamanan perdagangan dunia seperti nila, kopi, teh dan gula.
Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian menggantikannya dengan bekerja di
perkebunan/di pabrik selama 66 hari atau 1/5 tahun. Akibat penerapan sistem tanam
paksa, pada tahun 1843, terjadi kelaparan di Cirebon. Pada tahun 1846, terjadi
wabah tipes di pulau Jawa dan tahun1850 kelaparan melanda Jawa Tengah. Hal ini
diakibatkan tanaman pangan diganti tanaman perdagangan (nila, teh, kopi, gula)
sehingga produksi tanaman pangan menurun. Pada tahun 1871, terjadi privatisasi
pertanian sebagai pengganti tanam paksa karena tanam paksa menyebabkan
penderitaan kaum pribumi. Pada tahun 1899, RA Kartini memulai karir menulis

7
surat-surat kepada sahabatnya di Belanda. Tahun 1904 Dewi Sartika mendirikan
sekolah istri untuk kaum perempuan. Tahun 1911-1920, Abendanon menerbitkan
surat-surat RA kartini dengan judul “Door Duitstemis tot licht” (habis gelap
terbitlah terang). Tahun 1913 Yayasan Kartini berdiri di Belanda untuk mendukung
pendidikan perempuan
Jawa. Tahun 1917, Aisyah; organisasi perempuan
Mu