Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan
PENGETAHUAN LOKAL PETANI DALAM MENGELOLAH PADI SAWAH DI PANGARIBUAN
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Dalam Bidang Antropologi
DISUSUN OLEH :
MEDI HARIANJA
110905009
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
(2)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN ORIGINALITAS
PENGETAHUAN LOKAL PETANI DALAM MENGELOLA PADI SAWAH DI PANGARIBUAN
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Juni 2015
(3)
ABSTRAK
Medi Harianja, 2015. Judul Skripsi: Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan. Skripsi ini terdiri dari 6 (enam) bab, 128 halaman, 2 tabel, dan 12 gambar
Tulisan ini mengkaji pengetahuan lokal yang di miliki masyarakat Indonesia, khususnya pada pengelolaan padi sawah oleh petani di Pangaribuan. Pada zaman sekarang ini, pengetahuan lokal sudah mulai terkikis lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata. Pengetahuan lokal yang semakin tersingkirkan dengan masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pangaribuan, yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Pangaribuan yang penghasilan utamanya adalah padi sawah. Metode etnografi secara Holistik yang bersifat kualitatif dilakukan dalam penelitian ini. Berdasarkan informasi dan penjelasan dari pengetahuan masyarakat yang mereka terima melalui proses pembelajaran, pengalaman, dan yang diwariskan secara turun temurun. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi kepada para petani dan lahan pertanian di Pangaribuan yang terkait masalah penelitian.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengetahuan lokal yang dimiliki para petani dalam melakukan pengelolaan padi sawah mulai dari proses pembibitan, pembajakan, penanaman, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit tanaman padi hingga pemanenan dan pemanfaatan hasil tanaman padi tersebut. Selanjutnya penelitian ini juga melihat darimana sumber-sumber pengetahuan yang diterapkan diperoleh para petani padi sawah, serta kendala-kendala yang dihadapi para petani sendiri. Dalam penelitian ini penulis juga melihat kepercayaan-kepercayaan yang petani miliki serta kebijakan yang diterapkan oleh petani di Pangaribuan.
Kesimpulannya adalah pengetahuan lokal ini merupakan akumulasi dari pengalaman, pengamatan, yang diturunkan oleh nenek moyang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan permasalahan atau kendala yang dihadapi oleh petani, dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta meningkatkan pembangunan pertanian di Indonesia.
(4)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya ucapkam kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat serta kasih dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah Di Pangaribuan”.
Dalam kesempatan ini saya inginmenyampaikan terimah kasih yang tulus kepada berbagai piha, di antaranya kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan juga sebagai dosen yang sangat sangat banyak memberikan Ilmu Pengetahuan kepada saya pada saat perkuliahan. Terkhusus buat Bapak Drs. Lister Berutu, MA selaku Dosen pembimgbing wali saya yang selalu memberikan masukan, saran, pengetahuan baik formal maupun non-formal sehingga skripsi ini bisa selesai. Tidak ada kata yang bisa saya ucapkan selain ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Lister Berutu, MA atas bekal ilmu yang sangat berharga yang Bapak berikan kepada saya, semoga apa yang telah Bapak berikan kepada saya akan mendapat balasan yang jauh lebih besar dari Tuhan. Kepada seluruh Dosen dan staf pegawai di Antropologi FISIP USU, saya ucapkan terimah kasih sebesar-besarnya atas didikan dan bantuannya selama saya mengikuti perkuliahan di Departemen Antropologi FISIP USU.
Kepada kedua orang tua yang saya sayangi Ayahanda Kaspar Harianja dan Ibunda Pestaria Gultom yang sangat saya kagumi sepanjang hidup saya. Terima kasih atas kesabaran, kasih sayang, support dan masukan serta materi. Terima kasih seluruh keluarga yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada saya untuk menyelesaikan perkuliahan. Terima kasih buat Kak Jenny, Bang Jonatan, Kak Duraya, Kak Juni, Bang Lian yang selalu hadir dan memberikan berbagai bentuk dukungan kepada saya dalam menjalani kehidupan ini.
Kepada sahabat-sahabat saya, Deswita Sari, Sahara Mutz, Lina Ginting, Agnes Dongoran, Novi Sinaga, Citra Hareva, Onyx Simangunsong, Sri Muliani, Jayanti Sihombing, Richa, James Pakpahan, Hibul Nainggolan dan lainnya yang tidak bisa saya tuliskan satu per satu. Saya ucapkan terimah kasih banyak, semoga Tuhan membalas semua kebaikan kalian.
(5)
Kepada seluruh petani yang di Pangaribuan terkhusus di desa Batumanumpak yang telah memberikan berbagai informasi dalam memenuhi data skripsi yang saya perlukan. Kepada Oppung Mekar, Ibu Tina, Ibu Heni, Bapak tiar, Oppung Pada (mama saya) dan lainnya yang tidak saya sebutkan saya ucapkan terima kasih banyak atas pengalaman yang telah dibagikan kepada saya mengenai berbagai kegiatan pertanian padi sawah di Pangaribuan.
Akhir kata saya mengucapkan banyak terimah kasih kepada semua orang yang telah membantu saya dalam mengerjakan skripsi ini. Saya telah banyak belajar mengenai arti kehidupan dari orang-orang yang membantu saya selama ini. Semoga skripsi ini memberikan sumbangan pikiran yang bermanfaat bagi yang membacanya.
Medan, Juni 2015
Penulis
(6)
Kemudian tahun 201 Antropolo Fakultas I Berbagai k 1. Me ke 2. Se 3. Se (20 4. Ko US 5. Me Pe RA AN n melanjutk 1. Setelah ogi Sosial lmu Sosial kegiatan stu engikuti Ke -IV Departe ksi Dana N ksi Rohani 012) ordinator Ke SU 92013) engikuti nanggulang ANGKA , NTAR DAE
R
kan pendidik tamat SMA
angkatan dan Ilmu Po
udi selama m
egiatan Tran emen Antro Natal Depart
i Inisiasi 20
esehatan In
Seminar gan Kemis
,MENGUR ERAH DI S
RIWAYAT Medi Har lahir pada Sitapean, Tapanuli bersaudar Pestaria pendidika desa Ba menempu Negeri 2 dan seles kan di SMA A saya mela 2011 tepat olotik.
masa studi a
ning Of Fas opologi FISI emen Antro 012 Depart nisiasi 2013 dan Lok skinan di RANGI KE UMATERA HIDUP
rianja atau y a tanggal 15 kecamatan Utara. A ra dari pasa
Gultom. S an Sekolah atunadua uh Sekolah 2 (SLTP) d
ai pada tahu A Negeri 1 P
anjutkan pe tnya di Un
adalah sebag
silitator (TO IP USU (20 opologi Sos temen Antr
Departeme
kakarya “ Provinsi S EMISKINA A UTARA”
yang akrab 5 Februari n Pangarib nak ke 7 angan Kasp Saya telah h Dasar N
pada tahu Lanjutan T di Batunadu un 2008. Pangaribuan ndidikan S niversitas gai berikut: OF) Tingkat 013)
ial FISIP U opologi So
en Antropol
“Implement Sumatera U AN DAN
” (2013)
dipanggil M 1993 di Lum buan, Kabu
dari 7 (t par Harianja menyeles egeri (SDN un 2005 Tingkat Per ua, Pangar
n dan lulus 1 Program Sumatera U
t Dasar ang
USU (2012) osial FISIP
logi Sosial F
tasi Kebij Utara, DA DISPAR Medi, mban upaten tujuh) a dan saikan N) di dan rtama ibuan pada Studi Utara gkatan USU FISIP ijakan LAM ITAS
(7)
6. Mengikuti Seminar Universal Peace Federation Universitas Sumatera Utara “Young People of Character-The Hope of the Future” (2014)
7. Research Etnografi “Hari Deepavali Bagi Orang Tamil di Kota Medan” Antropologi FISIP USU (2013)
8. Research Etnografi “Transaksi Jual- Beli di Pasar Seikambing, Medan” Antropologi Sosial FISIP USU (2013)
9. Research Etnografi “Budidaya Tanaman Kopi Di Desa Sumbul, Dairi (2013)
10.Mengikuti TOEFL yang diselenggarakan Language Center USU (2014) 11.Mengikuti Sosialisasi Kerja Yang Diselenggarakan Bidang
Kemahasiswaan Biro Rektor USU Bagi Mahasiswa BIDIKMISI (2014) 12.Magang Selama 2 Bulan Di Instansi Pemerintah BPPT Sumatera Utara
(8)
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk menulis persyaratan tersebut saya telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah Di Desa Pangaribuan”.
Ketertarikan untuk menulis tentang “Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah Di Pangaribuan” karena penulis melihat bahwa sangat penting untuk mempertahankan pengetahuan lokal tidak hanya menjaga ketahanan pangan agar tidak tergantung kepada impor, tetapi mendukung kedaulatan lokal juga mendukung komoditas lokal untuk berkembang. Hal lain yang membuat ketertarikan penulis melihat adanya pengetahuan lokal yang diterapkan petani Pangaribuan dan mampu menyesuaikan nilai yang terkandung dalam pengetahuan lokal tersebut dengan teknologi serta perkembangan zaman sekarang yang hadir di tengah-tengah masyarakat.
Dalam skripsi ini saya melihat pengetahuan-pengetahuan petani dalam pengelolaan padi sawah, bagaimana sumber-sumber pengetahuan tersebut diperoleh sehingga pengetahuan lokal bisa tetap bertahan dan sesuai dengan perkembangan teknologi. Serta kendala-kendala seperti apa yang dihadapi oleh para petani dalam pengelolaan tanaman padi di tengah zaman yang serba krisis seperti sekarang ini.
Dengan demikian skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang pertanian padi sawah khususnya mengenai pengetahuan lokal dalam pengelolaan padi sawah serta menambah wawasan pembaca mengenai pentingnya pengetahuan lokal untuk mempertahankan pangan serta mendukung kedaulatan dan komoditas lokal.
(9)
Akhir kata saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, materi dan pengalaman saya. Oleh karena itu dengan rendah hati, penulis menerima segala saran-saran, masukan dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.
Medan, Juni 2015 Penulis
(10)
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i
ABSTRAK ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR FOTO ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tinjauan Pustaka ... 10
1.3. Rumusan Masalah ... 17
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 18
1.5. Metode Penelitian ... 19
BAB II. GAMBARAN UMUM KECAMATAN PANGARIBUAN ... 22
2.1. letak dan Akses Menuju Pangaribuan ... 22
2.2. Sejarah Lokasi Penelitian ... 24
2.3. Keadaan Penduduk Pangaribuan ... 26
2.3.1. Jumlah Penduduk ... 26
2.3.2. Etnis dan agama ... 28
2.4. Mata Pencaharian ... 29
2.4.1. Sejarah Pertanian ... 32
2.4.2. Tata Ruang Pertanian ... 35
2.5. Organisasi dan Kelembagaan Pangaribuan ... 38
BAB III. PENGETAHUAN MENGENAI MUSIM DAN SUMBER DAYA ALAM ... 39
3.1. Keadaan Musim di Pangaribuan ... 39
3.2. Musim yang Dikenal Oleh Petani Pangaribuan ... 41
3.2.1. Musim Penghujan(musim udan) ... 41
3.2.2. Musim Panas (logo niari) ... 45
3.2.3. Musim Peralihan ... 48
3.3. Pengetahuan Lokal Petani Mengenai Tanah ... 49
3.3.1. Tanah pada Lahan Padi Sawah ... 51
3.4. Pengetahuan Lokal Petani Mengenai sumber air ... 54
BAB IV. PENGETAHUAN LOKAL PETANI DALAM MENGELOLAH SAWAH ... 56
4.1. Pengetahuan Lokal Mengenai Padi Sawah ... 56
4.4.1. Pengertian Sawah menurut petani ... 56
4.2. Pengetahuan Petani Mengenai Tanaman Padi ... 57
4.3. Pengetahuan petani Mengenai hama dan Penyakit Padi Sawah ... 60
(11)
4.5. Pengelolaan Bibit ... 66
4.6. Membajak Sawah ... 71
4.6.1. Bajak Cangkul ... 72
4.6.2. Bajak traktor ... 74
4.7. Bertanam Padi (marsuan eme) ... 76
4.8. Menyiangi Tanaman Padi ... 78
4.9. Memupuk Padi (manakkal eme) ... 80
4.10. Pengetahuan Petani Terhadap Jenis Pupuk ... 81
4.10.1. Pupuk Jerami (takkal durame) ... 81
4.10.2. Pupuk Batang Padi (gala nieme) ... 84
4.10.3. Pupuk Kimia ... 85
4.11. Fungsi Pupuk Bagi Petani ... 87
4.12. Memanen Padi ... 88
4.12.1. Menyabit Padi (manabi eme) ... 89
4.12.2. Pelepasan Bulir Padi (mabatting, mardege eme) ... 91
BAB V. SUMBER PENGETAHUAN DAN KEPERCAYAAN DALAM PERTANIAN PADI SAWAH DI PANGARIBUAN... 99
5.1. Sumber Pengetahuan Petani ... 99
5.2. Pengetahuan Berasal Dari Nenek Moyang ... 101
a. Dalam Memberantas Hama Padi ... 101
b. Dalam Memberantas Hama Tikus ... 104
c. Dalam Mengatasi Hujan Es, Angin dan Hujan Kencang ... 108
d. Dalam Mengatasi Hama keong ... 110
5.3. Menanam Serentak ... 112
5.4. Fungsi Menanam serentak terhadap pengelolaan Air ... 114
5.5. Fungsi Menanam Serentak Terhadap Penanggulangan Hama ... 115
5.6. Fungsi Menanam Serentak Terhadap Hubungan Sosial Petani ... 115
5.7. Kepercayaan Petani ... 116
5.8. Kendala Yang Dihadapi Petani Di Pangaribuan ... 118
5.8.1. Modal ... 119
5.8.2. Hama ... 120
5.8.3. Alam ((Hujan, Angin Kencang dan Hujan Es) ... 120
5.8.4. Tenaga Kerja ... 121
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 123
6.2. Saran ... 125
DAFTAR PUSTAKA ... 128 LAMPIRAN
• Denah lokasi penelitian di Pangaribuan desa Batumanumpak • Daftar Informan
• Intervew Guide
(12)
DAFTAR TABEL
2.1. Data Jumlah Penduduk Pangaribuan ... 27 2.2. Jenis padi yang di budidayakan di Pangaribuan ... 36
(13)
DAFTAR FOTO
Foto 1. Lahan Sawah ... 56
Foto 2. Tanaman padi dalam kondisi baik (umur 2 bulan) ... 57
Foto 3. Tabbissu ... 66
Foto 4. Sirabun(debu pembakaran) ... 66
Foto 5. Bibit padi (Pesamaian) ... 66
Foto 6. Cangkul ... 72
Foto 7. Menyabit Padi ... 88
Foto 8. Sabit ... 89
Foto 9. Dasor (dasar) parlunggukan ... 91
Foto 10. Mabbanting ... 91
Foto 11. Mardege ... 93
(14)
ABSTRAK
Medi Harianja, 2015. Judul Skripsi: Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan. Skripsi ini terdiri dari 6 (enam) bab, 128 halaman, 2 tabel, dan 12 gambar
Tulisan ini mengkaji pengetahuan lokal yang di miliki masyarakat Indonesia, khususnya pada pengelolaan padi sawah oleh petani di Pangaribuan. Pada zaman sekarang ini, pengetahuan lokal sudah mulai terkikis lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata. Pengetahuan lokal yang semakin tersingkirkan dengan masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pangaribuan, yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Pangaribuan yang penghasilan utamanya adalah padi sawah. Metode etnografi secara Holistik yang bersifat kualitatif dilakukan dalam penelitian ini. Berdasarkan informasi dan penjelasan dari pengetahuan masyarakat yang mereka terima melalui proses pembelajaran, pengalaman, dan yang diwariskan secara turun temurun. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi kepada para petani dan lahan pertanian di Pangaribuan yang terkait masalah penelitian.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengetahuan lokal yang dimiliki para petani dalam melakukan pengelolaan padi sawah mulai dari proses pembibitan, pembajakan, penanaman, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit tanaman padi hingga pemanenan dan pemanfaatan hasil tanaman padi tersebut. Selanjutnya penelitian ini juga melihat darimana sumber-sumber pengetahuan yang diterapkan diperoleh para petani padi sawah, serta kendala-kendala yang dihadapi para petani sendiri. Dalam penelitian ini penulis juga melihat kepercayaan-kepercayaan yang petani miliki serta kebijakan yang diterapkan oleh petani di Pangaribuan.
Kesimpulannya adalah pengetahuan lokal ini merupakan akumulasi dari pengalaman, pengamatan, yang diturunkan oleh nenek moyang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan permasalahan atau kendala yang dihadapi oleh petani, dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta meningkatkan pembangunan pertanian di Indonesia.
(15)
BAB I PENDAHULAN
1.1. LATAR BELAKANG
Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana petani dalam mengelola padi sawah di desa Pangaribuan melalui pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Tulisan ini menjadi menarik dimana seiring berjalannya waktu keberadaan kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur mulai redup, memudar, kehilangan makna substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata. Semakin tersingkirkan dengan masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat (Hotibin 2013:1).
Pentingnya mengkaji kearifan lokal terutama di bidang pertanian, misalnya pengembangan komoditi pertanian yang kuat bukan hanya untuk ketahanan pangan agar tidak tergantung kepada impor, mendukung kedaulatan lokal juga mendukung komoditas lokal untuk berkembang (Wahyu dan Nasrullah 2011:3).
Mayoritas warga masyarakat Pangaribuan hidup dari pertanian, khususnya padi sawah. Praktek pertanian padi ini telah berkembang secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang kemudian membentuk sistem pengetahuan dan tradisi bertani sendiri, seperti menjaga keberagaman jenis benih, persiapan lahan, persiapan benih, penanaman, perawatan, pemanenan, sampai pada pola konsumsi.
Pertanian padi adalah sistem pengetahuan yang hidup dan menghidupi pemiliknya. Hampir semua produksi padi Pangaribuan dikonsumsi sendiri oleh
(16)
masyarakat. Budaya menjual memang dilakukan pada keadaan terpaksa dan terdesak.
Benih padi yang dihasilkan petani di Pangaribuan yang merupakan benih lokal yang mereka hasilkan sendiri. Petani biasanya sudah memisahkan terlebih dahulu antara padi yang akan disimpan sebagai pangan di lumbung dan benih yang akan dipakai dalam musim tanam berikutnya. Padi yang akan digunakan untuk benih dipilih secara teliti biasanya padi yang berisi dan bulirnya besar dan bagus, matang dan tidak tercampur dengan padi yang lain, serta membutuhkan ruang yang tidak lembab, dan disimpan di rumah.
Yunita Winarto (2011:204), petani adalah aktor manusia dalam proses memproduksi benih lokal yang mempengaruhi proses berfungsinya sistem pembenihan lokal melalui pilihan atas varietas, serta praktik-praktik memproduksi dan menyeleksi benih.
Penelitian terbaru dari International Institute For Invironment and Development (IIED), para petani telah terbiasa menggunakan tanaman lokal untuk mengendalikan hama dengan cara memilih varietas tanaman yang mampu mentolerir kondisi ekstrim seperti kekeringan dan banjir, menanam beragam tanaman untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan pemuliaan varietas jenis baru secara lokal dilakukan berdasarkan ciri-ciri kualitas yang melindungi keanekaragaman hayati. Varietas benih lokal yang telah dikembangkan secara lokal lebih cocok dengan kondisi lokal, yang berlaku seperti tanah dan hama bahkan dengan perubahan iklim seperti kekeringan.
(17)
Pola tanaman dan teknologi budidaya oleh masyarakat pangaribuan masih sangat sederhana dan mengandalkan tenaga kerja manusia. Kegiatan bersawah normalnya membutuhkan pertolongan dari pihak lain, apakah diberikan dalam sistem tolong-menolong, sistem upah. Dahulu masyarakat Pangaribuan dalam kegiatan bersawah menggunakan sistem gotong-royong. Masyarakat Pangaribuan sekarang ini kebanyakan menggunakan sistem upah. Bagi yang tidak sanggup membayar buruh mereka saling tolong-menolong karena kegiatan bersawah merupakan hal yang berat dilakukan jika seorang diri atau hanya keluarga saja.
Imbas revolusi hijau tetap nyata di Pangaribuan ini yang ditujukan dengan kuatnya ketergantungan pada pupuk kimia, sekalipun pupuk organik masih digunakan masyarakat, namun pengetahuan lokal oleh petani di Pangaribuan masih tetap dipelihara dan diterapkan misalnya untuk membasmi hama1. Membasmi berbagai hama oleh masyarakat Pangaribuan dengan menggunakan dedak dicampur minyak tanah, sirabun (abu pembakaran), daun kayu tambisu, orang-orangan, dan plastik yang mengelilingi petak tanaman padi. Yang melindungi tanaman padi hingga pada pemanenan, untuk mendapatkan hasil maksimal.
Masyarakat Pangaribuan dengan sebaik-baiknya mengelola tanaman padi demi mempertahankan biaya kebutuhan sehari-hari dan mempertahankan kualitas padi mereka sendiri. Namun dalam mempertahankan kualitas dan memenuhi kebutuhan dimana zaman semakin berkembang dan biaya kehidupan juga semakin meningkat banyak ditawarkan peralatan-peralatan terhadap masyarakat
1
(18)
untuk mempermudah pekerjaan mereka dengan semua itu timbullah masalah-masalah yang dihadapi masyarakat2.
Penulis ingin melihat pengetahuan yang seperti apa dan bagaimana mereka dalam mengelola pertanian sejak masa produksi3. Peneliti juga ingin melihat kendala-kendala yang seperti apa yang dihadapi oleh para petani dalam bertanam padi. Menurut Eric R. Wolf 1983:23, berupa: masalah abadi kaum tani adalah masalah mencari keseimbangan antara tuntutan-tuntutan dari dunia luar dan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya.
Penduduk Indonesia secara umum mengkonsumsi beras yang dihasilkan oleh padi sawah sehingga perlu diketahui keadaan sawah di Indonesia. Dari data kementrian pertanian Indonesia 2011, total luas lahan pertanian Indonesia 70 juta Ha yang efektif untuk produksi pertanian 45 juta Ha produk pangan utama dihasilkan oleh sawah yang mencapai luas 8, 061 juta Ha terdiri dari sawah irigasi dengan luas 4,896 juta Ha dan sawah non irigasi dengan luas 3,16 Ha yang tersebar di 33 provinsi Indonesia. Luas lahan sawah cenderung kurang karena terjadi konversi lahan dan serangan4.
Proses bertani atau budidaya pertanian dalam hal tanaman padi menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Beras menjadi salah satu produk yang sangat penting, dikarenakan beras menjadi produk dalam sembilan bahan pokok. Pertanian padi dan sistem pengelolaannya merupakan
2 Ibid. 3
Produksi adalah kegiatan yang menciptakan, mengolah, mengupayakan pelayanan, menghasilkan barang dan jasa atau usaha untuk meningkatkan suatu benda agar menjadi lebih berguna bagi kebutuhan manusia.
4
Badai Adra Sikumbang, “Kearifan Lokal Petani dalam Pengelolaan Padi Sawah di Nagaria Kamang Hilir Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam Sumatera Barat” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Sutara, Medan, 2011).
(19)
salah satu topik yang sedang hangat dibicarakan dimana pertanian hingga kini, masih merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia.
Oleh karena itulah, persoalan pertanian menjadi isu penting di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Sejarah Nusantara kaya akan kearifan lokal bidang pertanian dan pengolahan bahan makanan. Berbagai kearifan lokal ini perlu digali kembali dan disesuaikan dengan kondisi saat ini untuk mengatasi krisis pangan yang tengah melanda Indonesia (Kompas, 16 Mei 2010).
Pemerintah tentang pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi kondisi iklim ekstrim dengan target pelaku petani dengan kategori kontruksi presiden ditetapkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Upaya produksi beras dan antisipasi dan respon cepat untuk menghadapi kondisi iklim ekstrim.
Menteri-menteri menetapkan kewenangan masing-masing dalam mengamankan produksi beras, seperti menteri pertanian, melakukan analisis resiko dampak iklim ekstrim terhadap produksi dan distribusi beras serta mendiseminasikan informasi kepada petani.
Meningkatkan luas lahan dan pengolahan air irigasi untuk pertanian padi untuk mengantisipasi dan mengatasi kondisi iklim ekstrim, meningkatkan ketersediaan benih, pupuk dan pestisida yang sesuai, baik dalam jenis, mutu, waktu, lokasi, dan jumlah; meningkatkan tata kelola usaha tani, pengendalian organisme pengganggu tanaman, penanganan bencana banjir, dan kekeringan pada lahan pertanian padi; menyediakan dan menyalurkan bantuan benih, pupuk, serta bantuan biaya usaha tani, bagi daerah yang mengalami puso dan terkena bencana.
(20)
Meningkatkan kinerja petugas lapangan dalam mengantisipasi dalam melaksanakan respon cepat dampak kondisi iklim ekstrim, meningkatkan alat dan mesin pertanian, baik dalam jumlah maupun mutu untuk mempercepat pengelolaan usaha tani padi.
Meningkatkan kegiatan pasca panen untuk mengurangi kehilangan hasil dan penurunan mutu gabah/beras; memperkuat cadangan beras pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat; meningkatkan penganekaragaman konsumsi dan cadangan pangan, terutama dengan memanfaatkan sumber pangan lokal (INPRES NO.5, 2013).
Sekalipun demikian kebijakan-kebijakan yang telah disarankan oleh pemerintah dalam meningkatkan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani padi tidaklah semakin membaik banyak masalah-masalah yang dihadapi oleh para petani seperti masyarakat yang menjalankan saran dari pemerintah menjadikan mereka menjadi bersifat pasif dan hanya menjadi pembeli dan tidak menggunakan dan mengaktifkan pengetahuan-pengetahuan yang mereka miliki yaitu yang diwariskan dan melalui pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Sejak tahun 1985 hingga sekarang, produk padi menurun. Bahkan seiring dengan krisis moneter yang merebak menjadi krisis ekonomi berkepanjangan, pemerintah hanya melakukan impor beras secara besar-besaran dari negara tetangga, seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Program modernisasi pertanian melalui BIMAS dan INMAS tersebut, alih-alih memberikan nilai tambah kepada para petani, justru semakin memperbesar utang petani, karena biaya produksi lebih tinggi dibandingkan harga
(21)
jual hasil panen. Akibat keadaan tersebut, posisi petani semakin terpuruk kejurang kemiskinan dan “pemiskinan” yang lebih dalam.
Data-data statistik sebelum krisis ekonomi terjadi memperlihatkan tingkat penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang cukup drastis, tinggal sekitar 20 juta orang. Setelah krisis ekonomi berlangsung setahun, jumlah penduduk miskin di Indonesia hampir mencapai lebih 80 juta orang. Menunjukkan pertumbuhan dan mental ekonomi yang dianggap “kuat” ternyata rapuh.
Dampak sosial yang lebih parah adalah musnahnya sebagian kekayaan hayati petani, padahal aset tersebut merupakan kekayaan yang sangat bernilai bagi keberlangsungan hidup petani. Terjadinya erosi genetik untuk berbagai jenis padi tradisional disebabkan oleh sikap arogansi pemerintah yang melarang petani menanam berbagai varietas padi lokal, padahal berbagai penelitian menunjukkan bahwa jenis padi lokal terbukti lebih tahan terhadap serangan hama daripada varietas padi impor.
Kerugian sosial dan ekologis adalah musnahnya predator dan tumbuhan lain disekitar areal persawahan. Bersamaan dengan itu, muncul pula hama tanaman khususnya hama padi yang lebih tahan terhadap obat pembasmi, seperti wereng dan tungro. Akibat penggunaan pestisida yang berlebihan untuk membasmi wereg dan tungro, keanekaragaman hayati dan kualitas ekosistem persawahanpun ikut menurun.
Kajian ini mengenai pengetahuan lokal petani yang tidak terbatas pada apa yang mereka ketahui dan kembangkan dalam pengelolaan padi sawah.
(22)
Perhatian terhadap pengetahuan lokal yang dipraktikkan petani juga penting untuk pembangunan pertanian.
Pengetahuan yang di miliki oleh petani yang ingin ditekankan bagaimana proses belajar sangat terkait pada pengamatan dan pengalaman langsung, sedikit sekali hasil belajar formal (Yunita T. Winarto dan Ezra M. Choesin 2001:93), dan juga pengetahuan menjadi landasan utama berkembangnya potensi, talenta, kreativitas, dan jati diri petani.
Sri Alem Br Sembiring (2005:86) mengemukakan bahwa salah satu hal yang seringkali terjadi dalam penerapan pengetahuan ilmiah oleh para ahli (scientist) kepada petani adalah diabaikannya pengetahuan-pengetahuan lokal dan kemampuan potensial mereka untuk berkembang. Pengetahuan petani cenderung dipandang sebelah mata dan dinilai ‘kampungan’ atau tidak mengikuti perkembangan zaman.
Kenyataannya dengan kearifan dan pengetahuan lokal bencana alam yang terjadi bisa diminimalisir baik materi maupun immateri. Meskipun pengetahuan lokal tersebut banyak diperdebatkan dalam dunia keilmiahan (reason), tetapi dari beberapa kejadian, pengetahuan lokal (unreason) tersebut tidak dapat diabaikan keberadaannya5.
Kearifan dan kebijakan yang bersifat lokal mengenai kebertanian yang peduli pada sesama manusia dan alam semesta telah dihancurkan oleh pertanian yang berorientasi kepada penggemukan modal dan juga sekarang ini banyaknya tulisan telah melaporkan bahwa petani-petani senantiasa sebagai inovator yang
(23)
secara terus menerus bereksperimen (percobaan). Pertanian pun bergeser dari corak subsisten kepembentukan usaha tani dan masyarakat moderen akan menunjukkan persoalan yang semakin kompleks, dengan munculnya ide-ide baru dan tehknologi yang semakin canggih6.
Kalau manusia primitif dan tradisional banyak menghadapi kendala yang irasional, dewasa ini mereka kembali menemui jalan buntu justru ditengah-tengah struktur masyarakat modern yang serba rasional. Percobaan yang berkelanjutan ini dilakukan petani juga dikarenakan mereka menghadapi kondisi ketidakpastian akan iklim, harga pasaran, serangan hama, dan penyakit. Ketidakpastian ini juga merupakan suatu persoalan lain yang harus dipikirkan petani untuk mengatasinya. Kondisi ketidakpastian ini akan berhubungan langsung dengan hasil panen atau pendapatan mereka.
Perubahan dari kondisi ketidakpastian ini membutuhkan penanganan yang baru, dari hasil telaah tersebut menunjukkan bahwa petani juga memiliki daya yang patut diperhitungkan. Diharapkan terwujudnya rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan melalui pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak-hak masyarakat setempat. Sangat diutamakan berperan adalah rakyat petani itu sendiri. Hal yang paling baik adalah mempertahankan posisi mereka, hak-hak mereka, misalnya melalui konsep-konsep pemberdayaan yang lazim dilakukan pihak LSM.
(24)
1.2. Tinjauan Pustaka
Kearifan budaya lokal (local wisdom) merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya, bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek-moyang, atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.
Sistem kearifan lokal dalam bidang pertanian merupakan suatu pengetahuan yang utuh berkembang dalam budaya atau kelompok etnik tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsisten sesuai kondisi lingkungan yang ada (Francis wahono, dkk 2005: 80).
Kearifan lokal dapat juga didefinisikan dengan berbagai cara tergantung bagaimana kita melihat kearifan lokal itu sendiri. Pakar ilmu-ilmu sosial menangkap perilaku pola hidup masyarakat tradisional dengan mendefinisikannya menjadi kearifan lokal.
Mereka mengatakan, kearifan budaya lokal adalah cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman dan interaksi mendalam akan lingkungan tempat tinggalnya. Kearifan budaya lokal berasal dari masyarakat untuk masyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi, menyebar, menjadi milik kolektif, dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat setempat. Masyarakat memanfaatkan tata atur kearifan lokal untuk menegaskan jati diri dan bertahan hidup7.
7
Badai Adra Sikumbang, “Kearifan Lokal Petani dalam Pengelolaan Padi Sawah di Nagaria Kamang Hilir Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam Sumatera Barat” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Sutara, Medan, 2011).
(25)
Pengertian kearifan lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia (Sartini 2006:111), kearifan lokal diderivasi dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan; dan lokal (local) atau setempat. Jadi menurut beliau, gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kementrian pertanian (2012) mengartikan kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma-norma, nilai-nilai dan budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu cukup lama.
Pengetahuan yang tertuang dalam norma-norma dan nilai-nilai tersebut dapat dikatakan sebagai hukum adat, karena hal yang mengidentifikasi kearifan lokal adalah hukum-hukum adat yang berkembang sesuai dengan perkembangan pengalaman empiris masyarakat hukum adat, sehingga hukum adat tidak hanya norma-norma dan nilai-nilai yang menyejarah, tapi juga kesepakatan-kesepakatan baru berdasarkan pengalaman empiris yang mungkin saja kesepakatan yang masih relatif baru dibuat oleh para pendukung.
Menurut Ali Ridwan (2007) kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.
(26)
Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak hanya sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat.
Sartini (2006:112), mengatakan bahwa kearifan budaya lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan budaya lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan budaya lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan budaya lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Irene Tarakamita dan Maria Yuni Megarini Canyono (2013:4), kearifan budaya lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.
Suhartini (2009:1) kearifan local merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu pengetahuan lokal bukanlah sesuatu yang terberikan dalam bentuk yang relatif tetap, melainkan bersifat luwes dengan batas-batas ruang dan waktu yang tidak jelas. Dengan adanya kontrak antar berbagai masyarakat, sulit untuk mengatakan lagi bahwa pengetahuan X adalah milik masyarakat X; atau
(27)
sebaliknya, masyarakat Y adalah mereka yang memiliki pengetahuan Y. Pengetahuan terbentuk dan dimodifikasi dalam praktek keseharian yang bisa melibatkan berbagai pihak di luar masyarakat yang bersangkutan, walau prosesnya tidak akan selalu cepat untuk masing-masing individu.
Suhartini (2009:2) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.
Lubis (2012:3) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.
(28)
Setelah melihat beberapa uraian pengertian kearifan lokal diatas tulisan ini ingin melihat kearifan lokal petani Pangaribuan dalam mengelola padi sawah berupa gagasan dan nilai-nilai yang terbentuk sebagai keunggulan budaya demi mencapai hasil yang maksimal dalam pembangunan daerah.
Masyarakat Pangaribuan mayoritas adalah bertani, khususnya padi sawah. Manfaat kearifan lokal yang mereka pakai adalah sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka, khususnya dalam bidang pertanian. Petani Pangaribuan mengelola pertanian mereka dengan menggunakan pengetahuan lokal yang mereka miliki, sehingga dapat mengelola lahan dengan baik, seperti mengetahui kapan mengelola lahan, melakukan pembibitan, menanam padi, mengantisipasi hama yang mengakibatkan kegagalan panen, dan juga sampai pada pemanenan.
Noor (2007:4) dalam Badai Sembiring 2011, mengatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk kepada pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu dalam waktu yang lama. Dalam pendekatan ini tidak penting masyarakat tersebut lama atau tidak tinggal dalam wilayah tersebut yang paling penting adalah bagaimana mereka beradaptasi dan berinteraksi dalam lingkungannya.
Dalam Muhamat Noor, Jhonson menjelaskan (2008:3), pengetahuan
indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok
masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan
(29)
masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah8. Dalam uraian pendapat Jhonson di atas dapat kita simpulkan bahwa pengetahuan tentu berkaitan dengan teknologi yang akan digunakan oleh masyarakat dalam mengelola pertanian mereka.
Penggunaan teknologi yang tidak tepat guna dapat mengganggu keseimbangan alam seperti perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara, dan berbagai krisis ekologi lainnya, oleh sebab itu kita perlu kembali mengembangkan dan melestarikan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat pedesaan9.
Hal ini sesuai dengan pendapat Suhartini bahwa kearifan lokal ikut berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun demikian kearifan lokal juga tidak lepas dari berbagai tantangan seperti: bertambahnya terus jumlah penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar serta kemiskinan dan kesenjangan. Adapun prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya serta berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peran masyarakat lokal (Suhartini 2009:1).
8
http://kubuskecil.blogspot.com/2014/02/pengertian-kearifan-lokal.html. 15 September 2014 9
http://fika-fatia.blogspot.com/2012/05/pentingnya-kearifan-lokal-masyarakat_07.html. 1 Oktober 2014
(30)
Dalam tulisan ini peneliti akan mengulas tantangan-tantangan seperti apa yang dihadapi oleh kearifan lokal masyarakat sebagai akibat kemunculan teknologi. Pemikiran filosofis dari teknologi yang dilakukan Quintanalla (1998) tersebut, adalah bentuk dari tercerabutnya nilai-nilai dalam kebudayaan manusia sekaligus terpisahnya teknologi dari ibu kandungnya, yaitu sains.
Winarto (2007), mengatakan bahwa petani di Kabupaten Indramayu memiliki nilai-nilai kemandirian dalam pemuliaan tanaman. Petani Indramayu memiliki pengetahuan lokal yang masih diterapkan, tetapi tidak menutup diri dalam mempelajari pengetahuan dari teknologi baru yang berkembang dalam pertanian untuk digabungkan dalam pengelolaan lahan pertanian untuk memaksimalkan pendapatan.
Kehidupan seperti zaman ini para petani harus dengan sekuat tenaga dalam merawat tanaman padi guna meningkatkan kualitas dan kuantitas panen padi untuk memaksimalkan pendapatan. Namun untuk mencapai kesuksesan manusia tidak pernah luput dari kegagalan dan masalah-masalah untuk mendapatkan hasil terbaik yang telah di impikan setiap orang, termasuk petani Pangaribuan yang tujuannya juga untuk meningkatkan sektor pertanian Indonesia.
Ketua Umum Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA-IPB) Bambang Hendroyono, menyatakan sektor pertanian di Indonesia hingga kini masih dihadapkan pada persoalan klasik untuk dapat meningkatkan produktivitas beras nasional. Hal ini dikatakan Bambang, dalam Musyawarah Daerah HA-IPB di Bandar Lampung, Minggu (6/4), bersamaan dengan pengukuhan kepengurusan HA-IPB Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lampung. Setidaknya, kata Bambang,
(31)
ada dua persoalan klasik yang dihadapi sektor pertanian. Pertama, konversi lahan (pertanian) yang setiap tahunnya mencapai 100.000 hektar. "Kedua, kecenderungan perilaku generasi muda di pedesaan yang tidak lagi tertarik ikut serta dalam kegiatan pertanian padi karena dianggap tidak menarik," kata Bambang dalam siaran pers yang diterima JPNN10.
Persoalan itu sangat disayangkan karena faktanya hampir 90 persen rakyat Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Bahkan, selama hampir tujuh dekade Indonesia merdeka, secara dramatis kebijakan pemerintah telah menjadikan beras sebagai pengganti keragaman bahan makanan pokok rakyat Indonesia11.
Oleh karena itu peneliti ingin mengulas persoalan-persoalan yang di hadapi petani di Pangaribuan yang akhirnya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, yang mengakibatkan merosotnya sektor pertanian Indonesia.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini “pengetahuan lokal petani dalam mengelola padi sawah di desa Pangaribuan”. Rumusan masalah dapat diuraikan dalam pertanyaan penelitan berikut ini:
10
http://www.jpnn.com/read/2014/04/06/226639/Pertanian-di-Indonesia-Masih-Hadapi-Masalah-Klasik-. 15 September 2014
11 ibid
(32)
1. Bagaimana pengetahuan petani Pangaribuan dalam mengelola pertanian khususnya tanaman padi?
2. Bagaimana sumber-sumber pengetahuan tersebut diperoleh?
3. Kendala-kendala seperti apa yang dihadapi oleh para petani dalam pengelolaan tanaman padi?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk memberikan gambaran tentang tinjauan antropologi mengenai kearifan lokal dalam pengelolaan padi sawah oleh petani di desa Pangaribuan. Bagaimana masyarakat memperoleh pengetahuan tersebut, mengetahui kendala-kendala yang dihadapi petani dalam pengelolaan tanaman padi.
Setiap penelitian diharapkan memberikan manfaat baik untuk masyarakat luas, peneliti maupun warga masyarakat setempat. Tersedianya data-data penelitian mengenai pengetahuan lokal suatu masyarakat diharapkan mampu memberikan gambaran dan masukan dalam pembangunan pertanian di daerah setempat dan di Indonesia pada umumnya.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya kesadaran yang lebih besar mengenai kehidupan petani yang tidak hanya di jadikan objek namun sebagai subjek, untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan penelitian-penelitian selanjutnya.
(33)
1.5. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif dalam mengumpulkan data-data penelitian, yang akan diperoleh dari tetua adat, masyarakat setempat, yang dianggap dapat memberikan informasi kepada peneliti sesuai dengan yang dibutuhkan peneliti tersebut.
Menurut Lexy j. Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang terjadi dan dialami oleh subjek penelitian diantaranya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Dalam memanfaatkan berbagai metode kualitatif berupa pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan. Metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk dapat menggambarkan keadaan masyarakat Pangaribuan. Penelitian ini juga bersifat etnografi yang bertujuan memahami pengetahuan lokal yang dimiliki petani dalam mengelola padi sawah.
Dalam panelitian ini peneliti mengumpulkan data-data primer dan sekunder untuk memperoleh data primer yang dibutuhkan peneliti. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Observasi
Pengamatan dilakukan peneliti dengan cara turun kelapangan, mengamati kegiatan masyarakat setempat, mengamati semua aktivitas petani dalam mengelola sawah mulai dari proses pembajakan hingga pemanenan, juga pengetahuan-pengetahuan seperti apa yang petani terapkan dalam mengelola sawah tersebut.
(34)
Teknik observasi dapat digolongkan menurut tehnik observasi yang berstruktur dan yang tidak berstruktur. Observasi yang dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang masyarakat yang sebenar-benarnya baik tindakan, percakapan, tingkahlaku dan dilakukan dengan keterlibatan peneliti secara langsung dalam kehidupan masyarakat yang diteliti seperti kegiatan, percakapan dan percakapan dan pekerjaan mereka. Bentuk observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah observasi partipasi. Yang dimaksud dengan observasi partisipasi adalah pengumpulan data dengan observasi terhadap objek yang diamati dengan hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan.
2. Wawancara
Wawancara yang dilakukan yaitu teknik wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan terlibat langsung dalam kehidupan sosial yang lebih lama.
Model wawancara yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Pertanyaan yang diajukan tidak disusun lebih dahulu, tetapi disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang unik dengan informan. Pelaksanaan tanya jawab mengalir seperti percakapan sehari-hari. Wawancara tidak terstruktur bersifat bebas dan santai, dengan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada informan untuk mengemukakan keterangan-keterangan yang sifatnya umum. Karena disini
(35)
posisi penulis sebagai peneliti dan juga sebagai pekerja yang turut mengerjakan aktivitas pertanian penulis melakukan wawancara seperti percakapan biasa sehari-hari sehingga tidak membuat informan yang penulis wawancarai merasa bosan takut dengan penulis.
Wawancara penulis mulai dengan petani-petani yang sedang bekerja di sawah juga masyarakat yang juga petani padi sawah yang sedang bersantai di halaman rumah peneliti memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bercerita-cerita dengan mereka sekaligus untuk mendapatkan informasi tentang pengelolaan padi sawah. Informan yang terdapat dalam skripsi ini berjumlah 28 (duapuluh delapan) orang yang berprofesi sebagai petani. Informasi-informasi yang diberikan semua informan menurut penulis sangat relevan dan real sesuai dengan kondisi pertanian yang terjadi saat ini di Pangaribuan dan hal ini sangat mendukung skripsi ini.
Sementara studi kepustakaan diperoleh melalui studi kepustakaan, dokumentasi, bacaaan dari sumber online/internet, dan sumber lain yang di anggap relevan dengan masalah dan topik penelitian.
(36)
BAB II
GAMBARAN UMUM KECAMATAN PANGARIBUAN
2.1. Letak dan Akses Menuju Pangaribuan
Pangaribuan yang terletak di kabupaten Tapanuli Utara, provinsi Sumatera Utara. Jarak Pangaribuan dengan ibukota kabupaten Tapanuli Utara yaitu Tarutung adalah 48 Km, dengan jarak tempuh lebih kurang 1 (satu) jam perjalanan. Jarak Pangaribuan dengan Provinsi Sumatera Utara yaitu Medan adalah 300 Km, dengan jarak tempuh lebih kurang 8 (delapan) jam.
Secara geografis Pangaribuan mempunyai luas wilayah 459,25Km2 atau sekitar 12,11 persen dari total luas wilayah kabupaten Tapanuli Utara. Ditinjau dari letak, pada bagian utara Pangaribuan berbatasan dengan Kecamatan Sipahutar. Pada bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Pahae Julu dan Pahae Jae. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Garoga.
Pangaribuan terletak pada ketinggian 500 s/d 1500 di atas permukaan laut. Curah hujan Pangaribuan berkisar antara 3.000-4000 mm. Pangaribuan termasuk beriklim sedang. Secara umum musim di Pangaribuan adalah musim hujan dan musim kemarau. Untuk musim hujan terjadi antara bulan September hingga bulan Mei. Musim kemarau terjadi antara bulan juni hingga bulan Agustus. Namun perubahan alam yang terjadi sekarang ini akibat pemanasan global, musim di Pangaribuan menjadi tidak menentu.
(37)
Pangaribuan memiliki Topografi yang beragam mulai dari dataran rendah 0-2%, landai 3-15%, miring 16-40%, terjal ≥ 40% . daerah yang relatif datar di tujukan oleh tingkat kemiringan 0-5%, sedangkan kemiringan 6-20% adalah bergelombang, dan kemiringan 21-40% adalah perbukitan, dan 40% adalah lahan terjal (lahan kritis).
Untuk mencapai Pangaribuan hanya dapat menggunakan jalur perhubungan darat. Ada beberapa jalur untuk dapat masuk ke Pangaribuan, yaitu melewati Sipahutar, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Melalui Sipahutar merupakan jalur Utara, yang akan dijumpai adalah desa Sibikke yang merupakan salah satu desa di Pangaribuan. Melalui jalur Tapanuli Tengah kita harus melewati Pahae Jae (hilir) dan Pahae Julu (hulu) yang merupakan bagian Barat Pangaribuan, selanjutnya masuk ke Sipahutar selanjutnya memasuki Pangaribuan. Melalui jalur Tapanuli Selatan pertama sekali kita akan menjumpai desa Simangimbar selanjutnya akan dilalui desa Silantom kira-kira 5 Km kita akan mendapati Pangaribuan (Rahutbosi). Sepanjang perjalanan kita akan melihat beberapa kelompok areal perumahan dan areal persawahan.
Jalan Pangaribuan sudah beraspal dan dalam kondisi yang bisa dikatakan baik karena tidak ada ditemukan jalan yang berlobang. Hal tersebut memudahkan untuk melintasi setiap desa, dan jika ingin berkunjung ke desa lainnya dengan cepat dapat sampai ke tujuan dengan menggunakan kendaraan, karena semua jalan untuk mencapai setiap desa telah beraspal tidak ada dijumpai jembatan atau tanah.
Memasuki Pangaribuan bisa menggunakan kendaraan pribadi maupun jasa angkutan umum. Pangaribuan memiliki jasa angkutan berupa bus dan angkot
(38)
usaha angkutan berupa Bus ini akan berjalan atau lintas setiap harinya namun pada jam tertentu saja. Yaitu pagi pukul 07.00-011.00 WIB. Sore pukul 04.00-08.00 WIB. Bus tersebut adalah bus yang berangkat keluar kota dan dalam kota sesuai jam yang ditentukan. Pada hari rabu angkot baru berjalan karena Pangaribuan hari itu adalah pasar tempat masyarakat Pangaribuan berbelanja, dan sebagian dari masyarakat Pangaribuan menjual hasil pertaniannya. Angkot akan mangkal di sekitar pasar sesuai tujuan ke desa mana angkot tersebut akan mengantar sewanya, masyarakat tinggal menuju tempat mangkal angkot sesuai desanya dan diantar sampai depan rumah masing-masing.
2.2. Sejarah Lokasi Penelitian
Sejarah terbentuknya Pangaribuan, pertama kalinya Pangaribuan ditempati marga Pangaribuan, hingga terbentuklah desa Pangaribuan. Namun pada saat ini desa Pangaribuan tidak ada lagi yang ada adalah kecamatan Pangaribuan, sekalipun marga Pangaribuan sendiri tidak adalagi di Pangaribuan di karenakan, dahulunya ada tiga marga yaitu keturunan Raja Sonang (Gultom) yaitu Datu Tabbun Gultom, marga Sormin, dan marga Tambunan (Mata Sopiak Tabunan) ketiganya pergi berburu ke hutan. Mereka bertiga melihat seekor burung (Igo Gagap) yang begitu unik dan memiliki suara yang merdu. Mereka terus menerus mengikuti burung tersebut. Tanpa disadari mereka bertiga telah berjalan amat jauh namun terus memilih tidak untuk pulang. Tanpa mereka sadari mereka tiba di sebuah desa yaitu Pangaribuan. Mereka melihat bahwa desa tersebut cocok dijadikan tempat tinggal, dan bermaksud menetap di desa tersebut.
(39)
Mereka bertiga tidak lagi menghiraukan burung tersebut, dan memang burung tersebut hilang entah kemana terbangnya tidak pernah muncul lagi. Ketiganya kembali ke Samosir menjemput keluarga mereka masing-masing dan memilih menetap di desa Pangaribuan tersebut.
Dahulu siapa yang kuat dialah yang berkuasa, prinsip tersebut terjadi di desa Pangaribuan terjadilah konflik antara tiga marga pendatang terhadap marga Pangaribuan. Konflik tersebut dimenangkan ketiga marga tersebut, sehingga marga Pangaribuan tersingkirkan dan meninggalkan desa Pangaribuan marga Pangaribuan pada waktu itu mengungsi ke daerah Timur Pangaribuan yaitu Garoga dan menetap disana pada waktu itu. Pada akhirnya terbentuklah Pangaribuan tiga negeri yaitu, negeri Gultom, negeri Pakpahan dan negeri Sigotom (Tambunan) ketiga negeri inilah yang disebut kecamatan Pangaribuan sampai sekarang.
Pada kesempatan ini setelah mengulas bagaimana sejarah kecamatan Pangaribuan sebagai lokasi penelitian saya. Dimana kecamatan Pangaribuan terdiri dari 26 desa. Peneliti akan mengambil sampel yang akan dijadikan sebagai lokasi penelitian saya diantara ke 26 desa tersebut peneliti memilih desa Batumanumpak. Saya tertarik dengan desa Batumanumpak yang terletak disebelah selatan. Batumanumpak merupakan salah satu desa yang paling banyak warganya yang mayoritas Gultom, dan desa yang pertama ditempati Datu Tabbun Gultom yang merupakan pendiri Batumanumpak sendiri. Pada masa penjajahan Belanda Datu Tabbun dan yang lainnya membuat lobang sebagai tempat persembunyian di atas bukit, yang penuh dengan batu-batuan. Lobang yang dibuat sebagai tempat Persembunyian ditutup dengan batu besar, sehingga desa tersebut
(40)
dikenal sebagai “Batu manumpak” yang artinya batu berbalik. Masyarakat setempat sering menyebut bukit tersebut sebagai gunung batu. Setiap orang yang datang ketempat tersebut tidak dibolehkan bercakap kotor, karena bukit tersebut bukit bersejarah bagi masyarakat setempat dan Datu Tabbun Gultom di kuburkan di atas bukit tersebut.
2.3. Keadaan Penduduk Pangaribuan
2.3.1. Jumlah Kependudukan
Secara keseluruhan penduduk Pangaribuan berdasarkan hasil pendapatan oleh Tim Pendata kecamatan Pangaribuan berjumlah 27.111 jiwa, sebanyak 13.344 penduduk laki-laki dan sebanyak 13. 767 penduduk perempuan. Pada 75+ terlihat bahwa jumlah penduduk perempuan jauh lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki, sekitar 73 persen penduduk pada kelompok usia 75 + adalah perempuan, hal ini menunjukkan bahwa angka harapan hidup untuk kelompok umur 75+ lebih besar perempuan dari pada angka harapan hidup laki-laki. Secara rinci keadaan penduduk Pangaribuan dapat dilihat pada tabel berikut:
(41)
Tabel 2.1 Data Jumlah Penduduk Pangaribuan
Kelompok umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0-4 1.921 1.865 3.786
5-9 1.986 1.774 3.760
10-14 1.667 1.624 3.291 15-19 1.128 1.031 2.159
20-24 655 493 1.148
25-29 858 839 1.697
30-34 925 855 1.780
35-39 814 778 1.592
40-44 767 754 1.521
45-49 629 687 1.316
50-54 584 671 1.255
55-59 471 625 1.096
60-64 331 493 824
65-69 229 415 644
70-74 188 342 530
75+ 191 521 721
Jumlah 13.344 13.767 27.111 Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara
Salah satu ciri penduduk Pangaribuan yang juga menjadi kebiasaan masyarakat Toba adalah merantau. Penduduk Pangaribuan tidak terkecuali perempuan maupun laki-laki semuanya adalah perantau yang berusia 18-40 tahun. Para perantau tersebut merantau ke beberapa daerah di Indonesia seperti Pekan Baru, Batam, Medan, Jakarta, dan kota-kota lainnya. Sebagian ada juga yang merantau ke luar negeri yaitu Malaysia.
(42)
2.3.2. Etnis dan Agama
Penduduk Pangaribuan adalah etnis Batak Toba yang merupakan penganut agama Kristen Protestan mayoritas, sekalipun sebagian menganut agama Islam dan Katolik itu hanya sebagian kecil saja. Sejalan dengan itu juga merupakan suatu negeri yang kuat memegang adat istiadatnya, dimana garis keturunan Batak Toba adalah dari ayah atau patrilineal. Masyarakat Pangaribuan sekalipun berbeda-beda agama yang dianut tidak pernah saling berkonflik antar agama, semua berjalan harmonis. Di mana masyarakat Pangaribuan ini saling menjujung tinggi keagamaan dengan adat istiadat, dan tidak mempengaruhi masyarakatnya untuk menjalankan adat dan agama yang dianutnya meskipun sedikit bertentangan. Masyarakat tetap menjalankan perintah agama demikian sebaliknya juga menjalankan adat yang mereka pakai.
Penduduk Pangaribuan sekarang ini secara keseluruhan tidak hanya terdiri dari kumpulan marga SAMPAGUL, Tambunan, dan Siregar saja. Marga lainnya sudah banyak berdatangan ke Pangaribuan ada yang tinggal di Pangaribuan karena “Sodduk Hela” yang artinya, seorang gadis dari Pangaribuan dinikahi oleh pria dari kampung yang bukan Pangaribuan misalnya marga Sihombing. Mereka memilih menetap di kampung perempuan bersama keluarga si Perempuan, hal itulah yang disebut Sodduk Hela, dan banyak terjadi di Pangaribuan sehingga marga-marga seperti Sinaga, Simatupang, Sihombing, Pardede, dan lainnya banyak tinggal di Pangaribuan.
(43)
2.4. Mata Pencaharian
Penduduk Pangaribuan secara menyeluruh mempunyai potensi untuk pengembangan pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian, peternakan, perikanan, industri. Namun tidak semua bidang di atas berkembang dengan baik karena kurang dalam sistem pengelolaan dan keterbatasan modal. Hampir semua masyarakat Pangaribuan menggantungkan perekonomiannya di bidang pertanian. Sekitar 90 % masyarakat yang tinggal di Pangaribuan menjadikan pertanian sebagai mata pencarian utama. Sisanya bergerak di bidang lainnya berupa PNS, berdagang, industri rumah tangga, peternakan, dan perikanan. Namun hampir semua masyarakat yang berprofesi sebagai PNS, pedagang, industri rumah tangga, peternakan dan perikanan juga berprofesi sebagai petani.
Seperti yang diutarakan oleh Pak Tiar Harianja, bahwa menjadi seorang petani sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sekarang ini. Beliau mengatakan pendapatan saya tidak kalah dari seorang PNS atau pegawai-pegawai lainnya. Saya tidak perlu lagi membeli beras karena hasil panen saya setiap musimnya dapat memenuhinya dan bahkan berlebih. Kelebihan dari hasil panen tersebut juga dijual untuk membantu memenuhi kebutuhan lainnya.
Pertanian merupakan mata pencaharian utama masyarakat Pangaribuan dengan luas lahan mencapai 9.000 Ha. Jenis tanaman yang paling utama di bidang pertanian adalah padi. Pangaribuan merupakan penghasil beras dengan mayoritas padi unggul lokal (99%). Varietas tersebut terdiri dari padi Siborutambun, dan Sikasumbo. Kedua varietas padi tersebut memiliki keunggulan hasil produktivitas
(44)
yang tinggi dan kualitasnya juga sangat kompetitif di pasaran. Pada saat ini, harga kedua varietas padi tersebut menduduki harga tertinggi di pasar mereka.
Disamping budidaya padi, petani Pangaribuan juga membudidayakan buah-buahan dan tanaman perkebunan yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat karena yang cukup tinggi dan pemasaran yang tidak begitu sulit. Buah-buahan yang ditanami berupa nenas yang luas areal lahannya 45,65 ha, dengan produksi sebanyak 793,81 ton. Jambu air yang memiliki luas areal lahannya 12,33 ha, dengan produksi 13,99 ton, sedangkan tanaman dengan luas panen terkecil adalah tanaman pisang yaitu dengan luas areal 0,90 ha dengan produksi sebanyak 6,85 ton.
Tanaman perkebunan rakyat yang paling banyak diusahakan adalah tanaman kemenyan dan kopi, dengan luas tanaman kemenyan dan kopi, dengan luas areal 4.821,50 untuk tanaman kemenyan, dan luas areal kopi. 945,50 ha. Tanaman perkebunan yang paling sedikit diusahakan oleh masyarakat Pangaribuan adalah tanaman kemiri, dengan luas areal 13,50 ha. Beberapa tanaman lainnya seperti jagung, kacang tanah, cabe, ubi kayu dan ubi jalar, serta tanaman BIOFARMAKA (obat-obatan/bumbu dapur) juga mereka budidayakan walaupun tidak dalam jumlah areal yang luas.
Untuk sektor peternakan, hewan ternak yang diminati adalah jenis kambing, sapi, babi, kerbau, ayam, itik. Pemerintahan Pangaribuan memberi perhatian terhadap sektor perternakan ini, karena terdapat peluang yang besar untuk perkembangannya serta ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai. Bagi yang memiliki ternak di Pangaribuan mengaitkan usaha ternak mereka untuk
(45)
pertanian, dimana hasil kotoran ternak akan diolah guna dijadikan pupuk kandang untuk pemupukan berbagai tanaman yang dikembangkan pada lahan-lahan pertanian yang dimiliki.
Berbeda halnya dengan sektor perikanan yang tidak begitu banyak. Di Pangaribuan terdapat beberapa kolam yang dimiliki oleh perorangan dengan budidaya yang tidak begitu besar. Terdapat kolam-kolam ikan yang tersebar di tanah-tanah penduduk yang memilikinya. Terdapat usaha membudidaya ikan mas untuk dijual di Rahutbosi, dan di peruntukkan untuk rumah makan sendiri di Batunadua.
Ada juga beberapa petani padi sawah yang mencoba memaksimalkan lahan sawah untuk mengembangkan bibit ikan. Selain kolam dan sawah, terdapat juga ikan-ikan sungai yang terkadang juga diambil oleh penduduk sekitar. Untuk ikan sungai, di Pangaribuan ini tidak memiliki aturan kepemilikan, dengan artian siapa saja boleh mengambil dengan harus menjaga lokasi sungai dari pencemaran saat mengambil ikan-ikan di dalamnya.
Jenis industri rumah tangga di Pangaribuan lebih terarah kepada bertukang (bangunan rumah), panglong, dan bengkel. Jenis industri bertukang rumah biasanya mereka tidak hanya di Pangaribuan saja kadang sampai keluar kota. Mereka sampai ke luar kota karena kerabat mereka yang memperkenalkan mereka kepada orang-orang yang ingin membangun rumah. Industri panglong pemasarannya juga tidak hanya di dalam daerah saja tetapi juga sampai ke daerah lainnya. Industri ini biasanya dikerjakan oleh bapak-bapak .
(46)
Sedangkan para ibu-ibu usaha industri yang mereka geluti adalah biasanya menjahit dan menyulam, serta membuka salon. Usaha ini sangat berkembang, karena di Pangaribuan banyak acara-acara yang dilangsungkan misalnya di gereja dan pesta-pesta.
Pasar Pangaribuan berada pada satu wilayah pemerintahan kecamatan Pangaribuan. Pasar rakyat tersebut dinamakan onan. Pasar Pangaribuan berlangsung sekali seminggu tepatnya hari Rabu. Pada saat ini keadaan Onan telah jauh berubah dan berkembang fasilitas perniagaan di dalamnya.
Aktifitas pasar berlangsung pada pagi sampai petang hari, dimana hal ini sama dengan aktifitas pasar di daerah-daerah lainnya di Kabupaten Tapanuli Utara. Jenis perdagangan pada pasar ini berupa perdagangan tradisional yang didominasi barang-barang primer berupa kebutuhan pokok sehari-hari. Selain itu, pedagang menjual hasil ladang di pasar rakyat ini.
2.4.1. Sejarah Pertanian
Sejarah pertanian Pangaribuan berkaitan erat dengan sejarah terbentuknya Pangaribuan. Dilihat dari letak-letak areal pertanian sekarang ini, dahulunya petani memulai pertanian di daerah Pangaribuan membuka lahan pertanian berdekatan dengan air dan juga rawa-rawa. Para petani mengatakan, bahwa sawah mereka berada di dekat pegunungan dan sungai, sedangkan ladang berada di hutan yang petani kelola sendiri. Merupakan warisan dari nenek moyang. Yang diberikan secara turun-temurun kepada anak cucunya.
Dahulunya petani Pangaribuan menentukan lahan sebagai milik pribadi dengan bekerja sangat keras. Orang-orang terdahulu siapa yang kuat dia yang
(47)
memiliki lahan yang paling luas, petani bekerja terus jika sudah terlihat sangat luas dan merasa sangat cukup untuk dikelola maka petani tersebut berhenti, demikianlah menentukan luas lahan mereka, karena zaman nenek moyang yang menentukan batas lahan mereka adalah mereka sendiri sampai dimana dia bisa sampai disitulah milik dia. Tidak ada surat tanah namun tidak pernah terjadi perdebatan di antara mereka. Maka sampai sekarang keluarga yang memiliki lahan luas berarti nenek moyang mereka (oppung) mereka dahulu adalah pekerja keras dahulunya, ditandai dari luas lahan. Seperti yang dikatakan oppung Mekar:
Oppungku najolo parkarejo namaccai gogo do, boi dibereng sian hauma nami saonnari, nungga sappe onom turunan adong dope tano
siulaon nami. Hauma nang tombak dohot akka ordang. (Oppung saya
dahulu adalah seorang pekerja keras, di tandai dari sawah yang kami miliki, bahkan sampai enam keturunan kami masih memiliki lahan yang cukup untuk kami kelola, tidak lain sawah maupun ladang, atau hutan yang belum kami kelola).
Petani Pangaribuan menentukan posisi lahan berupa tanah-tanah yang berada di dekat sumber air, dengan alasan mempermudah petani mendapatkan pasokan air untuk pengelolaan lahan pertanian. Selain itu para petani juga beranggapan tanah yang berada didekat sumber air merupakan salah satu tanah yang subur untuk di jadikan lahan pertanian. Seperti yang dikatakan Op pada:
Molo tano najonok tu aek godang manang na tombak ido naung denggan alana gabbo i marcampur rihit dohot dang pakaras hu tanona manang na pagabbohu. Songonima nadenggan tu eme, gabe
porngis-porngis, dohot adong aek torus.Tanah yang dekat sungai dan
hutan lebih bagus atau subur karena bercampur pasir dan tidak terlalu keras, dan lembek. Bagus untuk tanaman padi, hasil padinya lebih padat-padat, dan mengandung banyak air.
(48)
Menggunakan pengetahuan yang dimiliki, petani dahulu mengolah tanah di sekitar sungai menjadi areal persawahan. Untuk areal ladang mereka memilih daerah hutan. Mengenai tingkat kesuburan tanah menurut petani di Pangaribuan untuk tanaman persawahan adalah jenis tanahnya yang bercampur pasir, untuk ladang biasanya yang ditumbuhi tumbuhan
arsam dan pohon-pohon besar berarti tanahnya itu pasti lebih subur kata
Pak Tina.
Jenis tanaman pada masa ini berupa tanaman padi untuk persawahan. Informasi mengenai jenis tanaman informasi mengenai jenis tanaman padi sawah ini didapat karena lahan sawah yang ada di Pangaribuan telah ada semenjak nenek moyang mereka membuka daerah Pangaribuan. Jenis padi yang dikembangkan sudah ada sejak jaman nenek moyang dan sampai sekarang mereka gunakan sekalipun sebagian di antaranya ada yang tidak mereka pakai lagi.
Sedangkan areal ladang jenis tanaman yang ditanam berupa padi ladang, ubi, kopi, jagung, cabe, nenas, kacang tanah, kacang merah, pepaya, nangka, dan jenis lainnya. Jenis tanaman ini diperoleh dari wawancara dengan informan Ibu Heni yang mengatakan bahwa:
Molo didokkon oppung nami najolo dang holan boras diallang nasida, sipata gadong, jagung do diaallang. Dang boi holan sian eme i diharappon. Molo buah-buahan diputik saddiri sian ordangna be manangna dipangido sian tetangga. Nangpe dang sude buah-buahan
adong alai adong do buah lao sipanganon nami. Kata oppung (kakek)
terdahulu orang dulu tidak hanya memakan beras, kadang mereka juga memakan ubi, jagung. Tidak bisa hanya mengharapkan padi. Untuk buah-buahan dulu dipetik sendiri dari ladangnya atau diminta dari tetangga sekalipun tidak semua jenis buah-buahan yang ditanam setidaknya mereka memiliki buah untuk dimakan.
(49)
Hutan di Pangaribuan menghasilkan kayu-kayu seperti pinus, attur mangan, anti api, salagunde. Tanaman yang berada di hutan ini digunakan oleh masyarakat Pangaribuan dulu bahkan sampai sekarang untuk membuat rumah dan perabotan rumah tangga, kayu bakar, ada juga untuk dijual.
2.4.2. Tata Ruang Pertanian
Pertanian di Pangaribuan terdiri dari pertanian lahan kering dan persawahan. Luas areal ladang 1.945 ha dan persawahan 2.250 ha. Lokasi persawahan dan ladang tersebar pada daerah landai pada setiap desa-desa yang ada di Pangaribuan. Lokasi persawahan tersebut terletak berdampingan dengan lokasi ladang. Kondisi jalan menuju persawahan di golongkan dalam keadaan baik, karena kendaraan sepeda motor bisa memasuki wilayah persawahan, dan sebagian wilayah persawahan tersebut terletak dipinggir jalan desa.
Jenis tanaman pada ladang berupa kopi, cabe, jagung, ubi kayu, nenas, pisang dan jenis lainnya. Jenis padi yang ditanam di areal persawahan adalah jenis padi lokal yaitu Siborutambun, Sikasumbo nabirong, sikasumbo nabotta, Tamba
Merah, Siharotas, Sirias, Sipulut Nabirong, Sipulut Nabottar dan jenis lainnya.
Setiap lokasi persawahan tersebut memiliki nama masing-masing yang diberikan oleh penduduk terdahulu Pangaribuan. Setiap jenis padi memiliki jenis tersendiri yang membedakan dengan jenis padi lainnya.
(50)
Tabel 2.2. Jenis padi yang masih di pertahankan di Pangaribuan
JENIS PADI CIRI-CIRI
DAUN BATANG BULIR TANGKAI
PADI (BIYUR) WARNA BERAS Sikasumbo Nabirong -Lebar kurang lebih 2 cm -Panjang kira-kira ½ meter -Berwarna kehitam-hitaman
-Lebih kecil dari jenis padi lainnya -Tinggi kira-kira 1 meter - Besar -Kulit bulir berwarna hitam - Pendek -Bulir banyak pada satu biyur Merah Sikasumbo Nabottar -Lebar kira-kira 2 cm -panjang kira-kira ½ meter -Berwarna kehitam-hitaman
-Batang besar -Tinggi 1-1 ½ meter -Besar -Kulit bulir berwarna kuning -Pendek -Bulir banyak pada satu biyur Merah
Siborutabbun -Lebar 2-3 cm -Panjang kira-kira ½ meter
-Batang besar -Pendek
kira-kira ½ meter
-Besar -Kulit bulir berwarna kuning -Panjang -Bulir banyak pada satu biyur -Putih -Di dalam beras ada sedikit warna putih pada bagian ujung Sitamba Merah -Lebar -Panjang kira-kira ½ meter
- Batang kecil -Pendek kira-kira ½ meter -Tidak menjurus ke atas atau sehang -Besar -Kulit bulir lebih kuning dari Siborutabbun -Panjang -Bulir lebih sedikit pada satu biyur Merah Siharotas -Lebar -Panjang kira-kira ½ meter
-Batang kecil -Pendek kira-kira ½ meter
-Besar -Bulat -Kulit bulir kuning -Panjang -bulir tidak terlalu banyak pada satu biyur Tidak terlalu merah (tergolong beras merah)
Sirias -Lebar 2-3 cm
-Panjang kira-kira ½ meter
-Batang besar -Pendek kira-kira ½ meter
-Besar -Kulit bulir berwarna kuning -Panjang -Bulir banyak pada satu biyur -Putih -Tidak terdapat warna putih di dalam beras Sipulut nabirong -Lebar -Panjang kira-kira ½ -Hijau gelap -Batang besar -Tinggi 1-1½ meter -Besar -Kulit bulir berwarna kehitam-hitaman -Panjang -Bulir banyak pada satu biyur -Merah Sipulut Nabattar -Lebar -Panjang kira-kira ½ meter
-Batang besar -Tinggi 1-1½ meter -Besar -Kulit bulir berwarna kuning -Panjang -Bulir banyak pada satu biyur Putih
(51)
Diantara jenis padi tersebut padi yang paling enak adalah padi jenis Siborutabun. Enak berarti nasi yang dihasilkan Siborutabun ini berminyak, dan lebih manis dari yang lainnya warnanya yang putih bersih membuat padi ini memiliki nilai unggul dari warna merah misalnya, nasi yang sering dijual di rumah makan yaitu nasi putih, meskipun nasi merah juga sangat bergizi.
Jenis-jenis padi dapat ditemukan di setiap bagian desa dan dusun-dusun di Pangaribuan. Pada bagian Utara Pangaribuan, yaitu sawah-sawah desa Sibikke, sawah Simpang Tolu, sawah Parsorminan, sawah Parlombuan, sawah Sigotom. Bagian Timur terdapat, sawah Lumban Sormin, sawah Lumban Siantar, sawah Pakpahan, sawah Tagahabbing, sawah Lumban Dongoran. Pada bagian Barat terdapat sawah Harianja, sawah Lumban Tanjung, Sawah Parsibarungan. Bagian Selatan yakni, sawah Batunadua, sawah Huta Baru, sawah Rahutbosi, sawah Silattom. Tidak ada lagi masyarakat yang mengetahui secara mendetail asal-usul dari nama lokasi persawahan tersebut.
Sumber irigasi pertanian sawah Pangaribuan berasal dari sungai yang melintas di areal persawahan dan beberapa sumber mata air pegunungan yang ada. Namun masyarakat Pangaribuan kebanyakan memanfaatkan air hujan. Masyarakat menyebut sungai tersebut dengan sebutan aek godang artinya, air yang banyak. Air yang mengalir dari Aek Godang beserta beberapa mata air pegunungan yang ada ke seluruh areal persawahan melalui anak-anak sungai dan bandar-bandar (boddar-boddar) yang dibuat oleh petani.
(52)
2.5. Organisasi dan Kelembagaan Pangaribuan
Terdapat kelompok usaha masyarakat di Pangaribuan yang beranggotakan para petani. Sistem kerja dari kelompok ini tergantung program kerja yang dibentuk oleh tiap-tiap kelompok usaha. Keuntungan dari mengikuti kelompok usaha ini berupa kemudahan-kemudahan bagi anggota untuk mencari tambahan modal dan mendapatkan bahan-bahan yang di butuhkan untuk pertanian mereka. Selain itu, mengenai informasi tentang usaha yang mereka jalankan sangat mudah didapatkan melalui sosialisasi sesama anggota.
Pada bidang pertanian, para petani mendapat kemudahan dalam mendapatkan pupuk. Pupuk ini disalurkan oleh pemerintah melalui kelompok tani di Pangaribuan, seperti diutarakan Pak Dian, berupa:
Takkal sian pamaretta disalurhon tu akka petani melalui kelompok tani na dibahen, baru dijalo ketua kelompok tani ma selanjutna dipabuati akka anggota kelompok ma manang na dihubungi ma akka
ketua kelompokna be. Pupuk dari pemerintah disalurkan kepada petani
melalui kelompok tani yang ada. Nantinya akan diterima oleh ketua kelompok tani. Tiap-tiap anggota yang masing-masing untuk mengambilnya. Bagi anggota yang ingin memakai pupuk tersebut biasa menghubungi ketua masing-masing lalu menjemputnya.
Perkembangan kelompok usaha ini berdampak kepada perkembangan usaha-usaha masyarakat Pangaribuan, terutama sektor pertanian. Hal ini disebabkan semakin mudahnya petani mendapatkan pupuk sehingga tanaman mereka tidak perlu sampai kekurangan pupuk, karena sewaktu-waktu stok pupuk di Pangaribuan terkadang kosong.
(53)
BAB III
PENGETAHUAN LOKAL PETANI MENGENAI MUSIM DAN SUMBER DAYA ALAM
3.1. Keadaan Musim di Pangaribuan
Petani Pangaribuan memiliki pengetahuan lokal yang berkaitan erat dengan aktifitas mereka dalam bercocok tanam, yaitu pengenalan musim. Terdapat beberapa musim yang dikenal petani Pangaribuan, yaitu musim udan, musim logo niari dan musim peralihan. Pada musim peralihan, para petani sering menyebutnya musim abar (penyakit).
Perubahan iklim yang terjadi sekarang berpengaruh pula terhadap musim di Pangaribuan. Perubahan yang terjadi berupa waktu terjadinya musim, dimana petani tidak mampu lagi memprediksi dengan pasti kapan masuknya suatu musim. Seperti musim udan yang tidak bisa dipastikan lagi terjadi pada bulan September hingga Desember. Petani tidak mengetahui dengan pasti semenjak kapan perubahan tersebut mereka sadari.
Pak Tina turut mengemukakan pendapat beliau mengenai perubahan yang terjadi terhadap musim yang dikenal oleh petani Pangaribuan berupa:
Saonnari musim dangboi be dikira-kira songon najolo i. Haroroni musim najolo holan sahali sataon do, molo saonnari boi sappe dua manag tolu hali. Tarsongon udan, najolo ro topet di bulan September sahattu Desember, alai molo saonnari nga ro di bulan-bulan na asing dibagasan sataon, olo do sampe sabulan sahattu dua bulan ro torus
udan, manang logo niari. Sekarang ini musim tidak bisa lagi
(54)
dahulunya hanya terjadi sekali setahun, untuk saat ini bisa terjadi 2 atau sampai 3 kali. Seperti musim hujan, dulu terjadi sekitar bulan September hingga Desember, tetapi saat ini musim hujan bisa saja terjadi pada bulan-bulan lainnya dalam satu tahun, terkadang musim tersebut berlangsung selama 1(satu) hingga 2 (dua) bulan.
Keterangan tersebut menegaskan bahwa pada dasarnya tidak ada perubahan terhadap musim yang mereka kenal. Mereka masih mengenal musim udan, musim panas (logo ari), dan musim peralihan. Hanya saja perubahan yang mereka rasakan berupa waktu terjadinya musim di Pangaribuan tidak sesuai dengan masa dahulunya dan cenderung tidak beraturan.
Perubahan terhadap waktu terjadinya sebuah musim, tidak mempengaruhi cara bertani dalam melihat tanda-tanda masuknya sebuah musim, karena musim yang akan mereka hadapi masih sama seperti musim-musim yang mereka kenal semenjak dahulu. Para petani mengungkapkan bahwa sampai sekarang ini mereka masih berpedoman kepada cara-cara yang diturunkan oleh nenek moyang dalam melihat tanda-tanda masuknya suatu musim. Hal ini di ungkapkan Op Mekar berupa:
Naberubah sabutulna dang na musim, alai holan haroroni musim ido. Nahuboto molo naeng margatti musim disima alogo manggulus dohot kencang, asing sian naibiasa. Jadi au mamereng musim sian na diajarhon ni oppung najolo do. Alani i gabe boi huboto aha
nadiporluhon lao mangula hauma. (Bahwa yang berubah bukanlah
musimnya, tetapi hanya waktu kapan musim tersebut terjadi. Pergantian musim yang saya ketahui dengan hembusan angin yang kencang, berbeda dari biasanya. Jadi saya menjalankan apa yang diajarkan oleh nenek moyang dalam melihat musim. Sehingga saya tau apa yang dibutuhkan dalam mengelola sawah).
(55)
3.2. Musim yang dikenal Oleh Petani Pangaribuan
3.2.1. Musim Penghujan (musim udan)
Musim Udan (penghujan) dalam pengetahuan petani merupakan musim yang cocok untuk melakukan aktivitas mengolah pertanian khususnya padi namun tidak juga setiap hari apa lagi saat padi baru ditanam, dan saat panen maunya hujan tidak perlu turun setiap hari. Menurut petani Pangaribuan musim penghujan terjadi pada September, Oktober, November, Desember, terkadang juga terjadi pada Januari, Juni.
Penjelasan dari petani bahwa musim penghujan adalah musim yang setiap harinya turun hujan. Pernyataan yang mereka utarakan mengenai apa yang dimaksudkan petani mengenai musim penghujan adalah keadaan cuaca yang hampir setiap hari turun hujan di Pangaribuan.
Turunnya hujan tidak menentu, terkadang turun pada pagi hari, siang hari, dan bahkan malam hari. Waktu lamanya hujan turun juga tidak bisa dipastikan oleh petani, terkadang hujan turun semenjak pagi hingga sore hari, sore hingga malam hari, bahkan semenjak dini hari sampai sore hari yang terjadi hampir setiap harinya. Hampir setiap hari dimaksudkan oleh petani berupa, hujan bisa turun setiap harinya dalam waktu seminggu dan sampai sebulan, atau bisa saja hujan turun satu kali dalam dua atau tiga hari selama musim hujan.
Jenis hujan yang dipahami oleh petani Pangaribuan ketika musim penghujan. Menurut mereka, hujan yang turun ketika musim penghujan berbeda-beda. Hujan bisa saja turun dengan derasnya atau gerimis saja. Petani lainnya juga mengungkapkan hal serupa yaitu Op Pada Gultom, di kampung ini terdiri dari
(56)
hujan deras (hujan berpetir), ribbus (gerimis), dan hujan haba-haba (hujan yang sangat deras bercampur angin yang kencang atau dengan batu es). Jenis hujan tersebut diungkapkan beliau berupa:
Haroro niudan di musim udan dang manottu be. Olodo udan nagogo, ribbus. Olo mardongan ronggur, alogo namaccai gogo, batu ni es. Haroro ni udan pe dang boi dipastihon, boido sian pagi sahattu borngin, sian borngin sahattu pagi, manang arian sahattu borngin.
(Hujan yang turun ketika musim penghujan ini tidak menentu. Terkadang hujan yang deras, gerimis. Kadang di iringi petir, dan angin kencang, dan batu es atau terkadang tidak. Kapan waktu turunnya hujan juga tidak bisa dipastikan, bisa saja semenjak pagi hingga malam, atau malam hingga pagi, atau siang hari hingga malam).
Keterangan para informan menjelaskan mengenai jenis hujan yang turun di Pangaribuan menurut para petani tersebut, berupa hujan biasa, hujan ribbus, dan hujan haba-haba. Hujan biasa yaitu hujan yang menurunkan bulir-bulir air dalam ukuran besar dan terlihat cepat jatuh kepermukaan bumi. Maksud dari hujan biasa menurut Op Pada Gultom berupa:
Udan nabiasa ima udan namardongan ronggur olo muse do daong,
aek udan namadabu balga-balga jala hatop harorona. (Hujan biasa
(deras) merupakan hujan yang terkadang disertai petir dan kadang tidak, dimana air yang diturunkan besar-besar dan cepat turunnya).
Hujan ribbus merupakan hujan dengan bulir air berukuran kecil dan cepat jatuh kepermukaan bumi yang biasanya dikenal dengan gerimis. Pemahaman mengenai hujan ribbus tersebut diungkapkan Op Pada Gultom berupa, ribbus ima udan nagelleng-gelleng aekna alai hatop, molo hona ribbus iba mittor
(57)
turun dalam ukuran kecil dan cepat, orang yang kena ribbus ini biasanya akan terkena flu atau demam).
Hujan haba-haba hujan yang biasanya jika mau turun ditandai dengan cuaca lebih mendung, dan angin yang berkumpul di awan dan jika angin ini turun kepermukaan akan mengambil korban, angin ini seperti angin topan, angin ini mengambil korban dengan menggulung misalnya gubuk dan mengangkatnya keatas serta diputar-putarnya dilemparnya kemana saja, masyarakat menyebutnya
oppulasi. Masyarakat mengatasi ini dengan memanggil-manggil nama oppulasi
tanpa henti, ada juga yang telanjang sambil lari-lari di halaman rumah biasanya dilakukan boru sinaga dan harus perempuan satu-satunya atau mengambil parang serta mengibas-ibaskannya pada angin. Diyakini masyarakat jika hal tersebut sudah dilakukan maka oppulasinya akan malu dan pecah sendiri. Pemahaman tersebut diungkapkan Oppung Pada Gultom:
Molo oppulasi, ima alogo sihabiaron ala olo mangangkat jabu, alai holan nigora-gora pe goarna oppulasi sigajjang dila ningon marpiga-piga hali maila doi gabe masar-sar ma obbun namamirong dilangit
dohot alogo dang be kancang. (Bahwa opulasi, angin yang paling
ganas bisa mengangkat rumah, tapi dengan memanggil-manggil namanya “opulasi sigajjang dila” dengan berulang kali maka oppulasinya akan malu dan pecah).
Tanda-tanda tersebut menandakan hujan haba-haba akan turun, hujan ini adalah hujan yang paling deras disertai angin, akan tetapi hujan haba-haba ini tidak pernah berlangsung sampai lama atau sampai setengah hari, hujan ini berlangsung setengah jam sampai satu jam biasanya. Maksud dari hujan
(1)
12.Nama : Ibu Tingkos Sinaga Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : Petani
13.Nama : Bapak Pada Harianja Umur : 38 Tahun
Pekerjaan : Petani
14.Nama : Bapak Daud Gultom Umur : 38 Tahun
Pekerjaan : Petani
15.Nama : Bapak Dian Harianja Umur : 39 Tahun
Pekerjaan : Petani
16.Nama : Oppung Pada Harianja Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Petani
17.Nama :Oppung Ganda Gultom Umur : 75 Tahun
Pekerjaan : Petani
18.Nama : Bapak Lamta Harianja Umur : 43 Tahun
Pekerjaan : Petani
19.Nama : Oppung Lamta Harianja Umur : 68 Tahun
Pekerjaan : Petani
20.Nama : Oppung Belgi Gultom Umur : 70 Tahun
Pekerjaan : Petani
21.Nama : Ibu Mega Gultom Umur : 56 Tahun
Pekerjaan : Petani
22.Nama : Oppung Gohan Silaban Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Petani
23.Nama : Bapak Roy Gultom Umur : 43 Tahun
(2)
24.Nama : Oppung Ester Gultom Umur : 69 Tahun
Pekerjaan : Petani
25.Nama : Oppung Maringan Gultom Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Petani
26.Nama : Ibu Dian Sinaga Umur : 37 Tahun Pekerjaan : Petani
27.Nama : Ibu Daud Tambunan Umur : 35 Tahun
Pekerjaan : Petani
28.Nama : Bapak Ika Harianja Umur : 42 Tahun
(3)
INTERVEW GUIDE
1. Menurut Bapak/Ibu apa itu sawah?
2. Apa yang pertama sekali Bapak/Ibu kerjakan dalam mengelola sawah? 3. Kapan pembajakan sawah Bapak/Ibu lakukan?
4. Jenis peralatan apa saja yang Bapak/Ibu gunakan dalam melakukan pembajakan?
5. Kapan Bapak/Ibu melakukan pembibitan? 6. Kapan waktu yang baik dalam merendam boni?
7. Berapa hari boni tersebut di rendam, dan dimana boni tersebut direndam? 8. Dimana lahan yang baik untuk pembibitan/pesamaian?
9. Bagaimana perawatan yang dilakukan Bapak/Ibu terhadap bibit tersebut? 10.Berapa lama bibit padi di pesamaian sebelum dipindahkan kelahan sawah? 11.Bagaimana ketentuan jarak yang dibuat Bapak/Ibu dalam melakukan
penanaman tanaman padi?
12.Pada umur berapa bulan tanaman padi dipindahkan kelahan sawah? 13.Setelah penanaman, langkah apa selanjutnya yang diambil Bapak/Ibu? 14.Penyiangan tanaman padi dilakukan mulai dari umur berapa bulan, dan
berapa kali dilakukan hingga pemanenan?
15.Apa-apa saja fungsi penyiangan untuk tanaman padi ?
16.Adakah istilah/nama tanaman padi pada umur-umur tertentu?
17.Kendala-kendala seperti apa yang Bapak/Ibu hadapi dalam mengelola tanaman padi?
18.Bagaimana Bapak/Ibu dalam mengatasi hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi?
19.Jenis-jenis hama apa saja yang menyerang tanaman padi Bapak/Ibu? 20.Darimana saja Bapak/Ibu mendapatkan cara-cara dalam mengatasi hama
tersebut?
21.Selain hama adakah yang menjadi kendala yang Bapak/Ibu hadapi? 22.Bagaimana bapak/Ibu dalam mengatasi hal tersebut?
23. Jenis hama apa saja yang paling menganggu/merusak tanaman padi Bapak/Ibu?
(4)
24.Pupuk apa saja yang Bapak/Ibu manfaatkan untuk membantu perkembangan tanaman padi?
25.Jenis pupuk organik apa yang Bapak/Ibu manfaatkan?
26.Bagaimana pengelolaan pupuk organik tersebut sehingga sangat bermanfaat bagi perkembangan tanaman padi?
27.Darimana pupuk organik tersebut Bapak/Ibu peroleh?
28.Antara pupuk organik dan kimia pupuk yang mana yang paling Bapak/Ibu sering gunakan?
29.Darimana Bapak/Ibu memperoleh pupuk kimia tersebut? 30.Pupuk kimia yang seperti apa yang sering Bapak/Ibu gunakan?
31.Adakah perubahan musim di Pangaribuan ini yang Bapak/Ibu rasakan/perhatikan?
32.Jenis musim apa saja yang ada di Pangaribuan?
33.Adakah tanda-tanda datang/bergantinya satu musim kemusim lainnya? 34.Pada bulan-bulan apa saja musim kemarau, musim hujan datang di
Pangaribuan ?
35.Jenis-jenis tanah apa saja yang di Pangaribuan?
36.Jenis tanah yang seperti apa yang paling bagus untuk tanaman padi? 37.Jenis tanah yang seperti apa yang kurang bagus untuk tanaman padi? 38.Jenis tanah yang seperti apa yang tidak bagus untuk tanaman padi?
39.Jika tanah tidak bagus untuk tanaman padi apakah masih dimanfaatkan Bapak/Ibu?
40.Darimana Bapak/Ibu memperoleh air untuk tanaman padi? 41.Saat kapan sistem pengairan dilakukan oleh petani?
42.Setelah umur berapa bulan Bapak/Ibu melakukan pemanenan?
43.Peralatan apa saja yang Bapak/Ibu gunakan dalam melakukan pemanenan? 44.Dimana Bapak/Ibu kumpulkan batang-batang padi yang telah disabit? 45.Berapa lama padi-padi tersebut di parlunggukan hingga dilakukan
pelepasan bulir-bulir padi?
46.Seperti apa jenis padi yang baik untuk dimanfaatkan menjadi boni/bibit padi?
(5)
47.Peralatan seperti apa yang Bapak/Ibu gunakan dalam melepaskan bulir-bulir padi tersebut?
48.Siapa membuat peralatan (bantingan) tersebut, sejak kapan muncul ide pembuatan bantingan tersebut?
49.Cara-cara apa saja yang Bapak/Ibu lakukan dalam pelepasan bulir tersebut?
50.Langkah seperti apa yang Bapak/Ibu ambil setelah melakukan proses pelepasan bulir padi?
51.Berapa lama/jam bulir padi di jemur, dan disimpan dimana padi-padi tersebut?
52.Jenis tanaman padi apa yang dibudidayakan Bapak/Ibu ? 53.Seperti apa ciri-ciri tanaman padi tersebut?
54.Jenis padi apa yang paling baik (enak) dikonsumsi oleh Bapak/Ibu? 55.Dimanfaatkan untuk apa saja hasil panen yang diperoleh Bapak/Ibu?
(6)