Membincang Isu-Isu Penyimpangan Distribusi di Indonesia

3 warga kekurangan pangan dan kelaparan http:fpls-dpr.or.id, dan sederetan kasus-kasus penyimpangan distribusi lainnya. Realitas-realitas di atas menunjukkan bahwa penyimpangan distribusi minyak tanah, pupuk, beras, dan yang lainnya berdampak pada langkanya barang- barang produksi sehingga harga barang di pasaran melambung tinggi, bahkan banyak juga warga masyarakat yang kekurangan pangan dan kelaparan. Berangkat dari dasar pemikiran dan realitas tersebut di atas, Islam sebagai agama yang rahmah lil alamin diharapkan mampu memberikan alternatif- alternatif pemecahan terhadap problem ekonomi umat. Makalah ini memfokuskan pembahasan pada perbincangan isu-isu penyimpangan distribusi di Indonesia, kritik terhadap distribusi dalam ekonomi kapitalis serta diakhiri dengan tawaran sistem distribusi dalam ekonomi Islam sebagai solusi menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

B. Membincang Isu-Isu Penyimpangan Distribusi di Indonesia

Fenomena-fenomena ekonomi mengenai penyimpangan distribusi barang, baik minyak tanah, pupuk dan beras yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi dan kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Sistem ekonomi Indonesia saat ini masih didominasi oleh sistem ekonomi pasar, meskipun dalam perkembangannya muncullah wacana pemikiran tentang Konsep Ekonomi Pasar Terkelola KEPT Rahardja dan Manurung, 2005: 407. Sistem ekonomi pasar ini menekankan untuk tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Pendukung doktrin ekonomi pasar bebas atau dikenal dengan istilah ”Laissez-faire”. ”Laissez-faire” adalah sebuah frase bahasa Perancis yang berarti biarkan terjadi. Istilah ini berasal dari diksi Perancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat di abad ke-18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan Chapra, 2001: 22. Pandangan ini berpendapat bahwa pemanfaatan terhadap sumber-sumber ekonomi yang terbatas akan mencapai tingkat efisiensi yang tinggi, dan pada gilirannya akan mendorong tercapainya pemerataan dan 4 kesejahteraan bersama apabila pemerintah tidak campur tangan secara langsung dalam perekonomian Jusmaliani, dkk, 2005: 34. Dalam pandangan ”laissez- faire” , kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, melainkan masalah ekonomi hendaknya sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Dasar filosofis pemikiran ekonomi pasar kapitalis bersumber dari karya monumental Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang merumuskan bahwa alam semesta berjalan serba teratur, sistem ekonomi-pun akan mampu memulihkan dirinya sendiri self adjustment karena ada kekuatan pengatur yang disebut sebagai invisible hands tangan gaib Jusmaliani, dkk, 2005: 38. Dalam bahasa sederhana, invisible hands tersebut adalah mekanisme pasar, yaitu mekanisme alokasi sumber daya ekonomi berlandaskan interaksi kekuatan permintaan dan penawaran. Pemikiran Adam Smith ini terbentuk atas kritiknya terhadap konsep Merkantilisme, yang menjadi sistem dominan di Britania Raya, Spanyol, Perancis dan negara Eropa lainnya pada masa kejayaannya. Dari dasar filosofi tersebut, kemudian menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup way of life. Landasan atau sistem nilai value based yang membentuk kapitalisme adalah paham materialisme-hedonisme dan sekulerisme. Paham materialisme- hedonisme cenderung berpandangan parsial tentang kehidupan dengan anggapan bahwa materi adalah segalanya. Paham materialisme ini telah membawa orientasi hidup kebanyakan manusia lebih kepada kekayaan, kesenangan, dan kenikmatan fisik semata sehingga mengabaikan dimensi spiritual. Sedangkan paham sekulerisme berusaha memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan cenderung mengabaikan dimensi normatif atau moral. Implikasi selanjutnya, paham ini menempatkan manusia sebagai pusat dari segala hal kehidupan antrophosentris yaitu manusialah yang berhak menentukan kehidupannya sendiri Anto, 2003: 358-359. Kedua nilai dasar ini telah menjadi bingkai bagi pembentukan pandangan dunia world view ekonomi kapitalis. 5 Dengan demikian, segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama, tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan asas manfaat ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan barang maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan jasa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, jika penyimpangan distribusi banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Menurut analisis penulis, terdapat beberapa faktor penyebabnya diantaranya adalah: Pertama, penyimpangan moral moral hazard para pelaku ekonomi disebabkan oleh sistem nilai value based yang membentuk perilaku pelaku ekonomi pasar kapitalis adalah paham materialisme-hedonisme dan sekulerisme. Kedua paham ini telah membawa orientasi hidup kebanyakan manusia cenderung kepada kekayaan, kesenangan, dan kenikmatan fisik semata, sehingga mengabaikan dimensi spiritual. Pandangan inilah yang selanjutnya memunculkan perilaku-perilaku menyimpang, seperti perilaku tadlis penipuan, baik penipuan terhadap jumlah barang quantity, mutu barang quality, harga barang price dan waktu penyerahan barang, taghrir kerancuan, ketidakjelasan, dan ihtikar penimbunan barang, Kedua, peran pemerintah dalam intervensi kegiatan ekonomi, khususnya dalam distribusi barang dan jasa masih sangat kurang. Ketiga, kurang maksimalnya wewenang dan fungsi dari pengawasan distribusi barang, seperti contoh Pertamina hanya memiliki wewenang mengawasi jalannya distribusi hingga ke depot minyak tanah, sedangkan selebihnya mulai dari depot ke agen, pangkalan hingga ke pengecer bukan menjadi tanggung jawab Pertamina. Dan keempat, belum maksimalnya upaya penegakan hukum terhadap para pelaku penyimpangan distribusi barang dan jasa. 6

C. Kritik Terhadap Distribusi dalam Ekonomi Kapitalis