JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
93
salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya secara langsung, karena
kenaikan upah akan berdampak langsung pada meningkatnya pendapatan nominal mereka.
Pokok masalah yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak perubahan
upah terhadap output dan kesempatan kerja pada sektor industri manufaktur di Propinsi Jawa Tengah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak perubahan upah sektor indutri manufaktur
terhadap output dan kesempatan kerja pada sektor industri manufaktur di Provinsi Jawa Tengah serta
untuk menganalisis keterkaitan sektor industri manu- faktur dengan sektor-sektor lainnya, baik keterkaitan
ke depan maupun keterkaitan ke belakang, sehingga penelitian ini dapat mengetahui sektor mana yang
dapat dijadikan sebagai prioritas dalam pemba- ngunan ekonomi.
LANDASAN TEORI Teori Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan tenaga kerja timbul sebagai akibat dari permintaan konsumen atas barang dan jasa,
sehingga permintaan tenaga kerja merupakan per- mintaan turunan derived demand Payaman, 2001:
89. Menurut Arfida BR. 2003: 62 menyatakan pengaruh output terhadap permintaan tenaga kerja
dimulai dari penurunan upah pasar. Turunnya upah pasar, biaya produksi perusahaan akan mengalami
penurunan. Dalam pasar persaingan sempurna, jika diasumsikan harga produk konstan, maka penurunan
biaya ini akan menaikkan kuantitas output yang memaksimalkan keuntungan. Untuk alasan tersebut
perusahaan akan memperluas penggunaan tenaga kerja.
Sementara itu, upah diartikan sebagai pemba- yaran ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang
disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengu- saha. Upah dibedakan menjadi dua pengertian upah:
upah uang dan upah riil. Upah uang adalah jumlah uang yang diterima pekerja dari pengusaha sebagai
pembayaran atas tenaga mental maupun fisik para pekerja yang digunakan dalam proses produksi.
Upah riil adalah tingkat upah pekerja yang diukur dari sudut kemampuan upah tersebut membeli barang
dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebu- tuhan para pekerja Sadono, 1985: 297-298. Upah
yang diterima pekerja merupakan pendapatan bagi pekerja dan keluarganya sebagai balas jasa atau
imbalan atas pekerjaan yang dilakukan dalam proses produksi. Bagi perusahaan upah merupakan biaya
dari pengggunaan faktor produksi sebagai input dari proses produksi, dengan demikian besar kecilnya
upah akan berpengaruh terhadap biaya produksi perusahaan.
Selanjutnya, Arfida BR 2003: 159-161 menye- butkan beberapa alasan penyebab dinamiknya upah
adalah sebagai berikut: 1. Produktivitas
Karena produktivitas merupakan sumber yang dapat menambah pendapatan perusahaan, maka
bila produktivitas naik maka upah juga cenderung naik.
2. Besarnya penjualan Penjualan adalah sumber pendapatan usaha
yang menentukan kemampuan membayar. 3. Laju inflasi
Bagi sebuah rumah tangga, daya beli merupakan unsur yang penting dari upah yang diterima dan
bukan upah nominalnya. Oleh sebab itu, laju inflasi yang digunakan untuk mendeflasi upah
nominal menjadi upah riil sangat penting.
4. Sikap pengusaha Kecepatan perubahan tingkat upah tergantung
sikap pengusaha dalam menghadapi hal-hal yang dapat mengakibatkan upah berubah.
5. Institusional Undang-undang mengharuskan perusahaan be-
sar untuk mengadakan kesepakatan kerja ber- sama dengan serikat pekerja yang memang
diinginkan oleh anggotanya. Oleh karena itu dalam perusahaan di mana ada serikat pekerja
tingkat upahnya diharapkan lebih dinamis mengikuti perkembangan dari pada perusahaan
tanpa serikat pekerja
Produktivitas tenaga kerja didefinisikan sebagai rasio antara output yang dihasilkan oleh seorang
individu dengan jam kerja yang digunakan untuk memperoleh upah McConnel dan Brue, 1995 dalam
Wildan Syafitri, 2003: 26. Sadono Sukirno 2002: 356 menyatakan produktivitas sebagai produksi
Dampak Perubahan Upah .... Juhari Atmanti : 91 – 103
94
yang diciptakan oleh seorang pekerja pada suatu waktu tertentu. Upah riil yang diterima tenaga kerja
sangat tergantung pada produktivitas tenaga kerja tersebut.
Hubungan upah dan produktivitas juga dijelas- kan melalui teori produktivitas marjinal. Teori ini men-
jelaskan bahwa pengusaha tetap akan menambah pekerja hingga jumlah tertentu yaitu nilai produk-
tivitas masih cukup atau lebih baik untuk membiayai upah pekerja tersebut. Pada praktiknya teori ini lebih
memperhitungkan tingkat produktivitas pekerja. Pengusaha akan menambah pekerja hanya sampai
tingkat tertentu, yaitu pertambahan produktivitas marjinal sama dengan upah yang diberikan kepada
mereka Roger, 2000: 569-571.
Produktivitas dan Kesempatan Kerja
Menurut Mc Eachern , A. William 2000: 497, produktivitas adalah rasio antara ukuran output
tertentu terhadap ukuran input tertentu, seperti misalnya output per jam tenaga kerja. Produktivitas
sendiri menurut Payaman J. Simanjuntak 2001: 38 merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai
dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan per satuan waktu. Produktivitas tenaga kerja juga
memberikan pengertian tingkat kemampuan tenaga kerja dalam menghasilkan produk Wildan, 2003: 26.
Selanjutnya, Payaman, 2001: 95 menyatakan pertambahan produktivitas kerja dapat mempenga-
ruhi kesempatan kerja, di mana akan terjadi peru- bahan permintaan tenaga kerja dalam jangka pan-
jang melalui:
1. Peningkatan produktivitas kerja dengan jumlah hasil produksi yang sama diperlukan tenaga
kerja dengan jumlah yang lebih sedikit. 2. Peningkatan produktivitas tenaga kerja yang
diperoleh atas keberhasilan penurunan biaya produksi per unit, sehingga dapat menurunkan
harga jual, kemudian diikuti dengan bertambah- nya permintaan akan produksi tersebut. Akhir-
nya mendorong pertambahan akan produksi yang hal ini akan menambah permintaan tenaga
kerja.
3. Upah pekerja bertambah besar sehubungan dengan peningkatan produktivitas kerja. Hal ini
akan meningkatkan pendapatan dan daya beli pekerja, sehingga permintaan akan barang-
barang konsumsi bertambah juga. Kondisi ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan
produksi barang. Sehingga hal ini akan mening- katkan permintaan tenaga kerja.
Penawaran Tenaga Kerja
Penawaran terhadap pekerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah satuan pekerja yang
disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan. Secara khusus kurva penawaran tenaga kerja yang dimak-
sud adalah menggambarkan berbagai kemungkinan tingkat upah dan jumlah maksimum satuan pekerja
yang ditawarkan oleh pensuplai pekerja pada waktu tertentu Aris, 1990: 27.
Arfida BR. 2003: 64 menyebutkan jumlah tenaga kerja keseluruhan yang disediakan suatu
perekonomian tergantung pada 1 jumlah penduduk, 2 persentase jumlah penduduk yang memilih
masuk dalam angkatan kerja, dan 3 jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja. Lebih
lanjut, masing-masing dari ketiga komponen ini dari jumlah tenaga kerja keseluruhan yang ditawarkan
tergantung pada upah pasar.
Payaman, 2001: 102 menyatakan besarnya waktu yang disediakan atau dialokasikan oleh suatu
keluarga untuk keperluan bekerja merupakan fungsi dari tingkat upah. Pada tingkat upah tertentu penye-
diaan waktu bekerja dari keluarga bertambah bila tingkat upah bertambah. Setelah mencapai tingkat
upah tertentu, pertambahan upah lebih lanjut justru mengurangi waktu yang disediakan oleh keluarga
untuk keperluan bekerja. Hal ini disebut backward bending supply curve, atau kurva penawaran yang
membelok mundur.
Kurva penawaran tenaga kerja yang membalik ke belakang terjadi jika efek pendapatan kenaikan
upah lebih besar dari pada efek subtitusi kenaikan upah. Bila efek subtitusi akibat kenaikan upah lebih
besar dari pada efek pendapatan, jumlah tenaga kerja yang ditawarkan naik bersamaan kenaikan
upah. Di atas tingkat upah tertentu, efek pendapatan lebih besar dari pada efek subtitusi. Di atas tingkat
upah tersebut, kurva penawaran bengkok ke bela- kang, kenaikan upah lebih lanjut mengurangi jumlah
tenaga kerja yang ditawarkan Mc Eachern, 2000: 221.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
95 METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan model input- output statis, di mana di dalam model input-output
leontief statis kegiatan ekonomi dibagi dalam n sektor dan menggambarkan adanya aliran input yang
digunakan dan output yang dihasilkan untuk masing- masing sektor. Output yang dihasilkan oleh masing-
masing sektor akan digunakan untuk input antara permintaan akhir.
Jika dituliskan dalam rumus sebagai berikut: X
i
=
∑
+
n j
i ij
Y z
1 Dimana: X
i
:
output
yang dihasilkan oleh sektor i z
ij
:
output
yang dihasilkan oleh sektor i yang digunakan oleh sektor j sebagai
input
antara Y
i
: permintaan akhir terhadap
output
sektor i Dari persamaan 1 tersebut dapat dijabarkan dalam
model
leontief
: X
1
= z
11
+ z
12
+ ………. + z
1n
+ Y
1
X
2
= z
21
+ z
22
+ ………. + z
2n
+ Y
2
X
n
= z
n1
+ z
n2
+ ………. + z
nn
+ Y
n
2 Besarnya koefiensi
input
langsung terhadap
output
atau sering disebut koefisien teknologi adalah: a
ij
=
j ij
X z
atau, z
ij
= a
ij
X
j
3 a
ij
adalah jumlah
input
sektor i yang diperlukan se- bagai bahan baku
input
untuk menghasilkan satu unit
output
di sektor j. Setelah mendapatkan koefisien teknologi a
ij
, maka persamaan 2 dapat ditulis sebagai berikut:
X
1
= a
11
X
1
+ a
12
X
2
+ ………. +a
1n
X
n
+Y
1
X
2
= a
21
X
1
+ a
22
X
2
+ ………. +a
2n
X
n
+Y
2
X
n
= a
n1
X
1
+ a
n2
X
2
+ ………. +a
nn
X
n
+Y
n
4 Persamaan 4 dapat ditulis dalam bentuk notasi
matriks yang lebih sederhana sebagai: X = I-A
-1
Y 5
dimana: X : Vektor total
output
A : Matrik koefisien teknologi I : Matrik identitas n x n
I-A
-1
: Matrik
inverse loentief
Y : Permintaan akhir
Analisis Perubahan Output
Untuk menganalisis dampak perubahan upah minimum terhadap
output
digunakan model
input output
dengan pendekatan
supply side
. Dalam analisis ini
input
primer menjadi faktor eksogen. Artinya pertumbuhan perekonomian baik secara
sektoral maupun total, dipengaruhi oleh perubahan pada
input
primer Firmansyah, 2006: 41. Dalam model
input
-
output
dengan pendekatan
supply
bentuk persamaannya adalah secara kolom yaitu:
∑
+ =
n i
j ij
j
V z
X 6
Dalam bentuk aljabar dapat ditulis: X
1
= z
11
+ z
21
+ ………. z
n1
+ V
1
X
2
= z
12
+ z
22
+ ………. z
n2
+ V
2
X
n
= z
1n
+ z
2n
+ ………. z
nn
+ V
n
7 Dan nilai koefisien output a
ij
adalah:
ij
a r
=
j ij
X z
atau A r
= Xˆ
–1
Z 8
dimana Z adalah matriks transaksi yang memiliki unsur z
ij
sehingga Z = Xˆ A r
9 dengan menggunakan persamaan 8 dan persama-
an 7 dengan analogi yang sama dengan persa- maan 4 maka didapatkan hasil:
X
’
= V I – A r
–1
10 X
’
menunjukkan bahwa X adalah vektor baris, yang merupakan transpose dari X vektor kolom seperti
sebelumnya. A : Output koefisien
V : Vektor input primer I – A
r
–1
: Matrik output inverse Jika tingkat upah dinotasikan w, maka perubahan
output yang ditimbulkan sebagai akibat perubahan w adalah :
ΔX
’
= Δw I – A
r
–1
11
Dampak Perubahan Upah .... Juhari Atmanti : 91 – 103
96 Analisis Perubahan Kesempatan Kerja
Karena terjadi perubahan input karena adanya perubahan tingkat upah, akan mengakibatkan peru-
bahan total input, maka perubahan total input tersebut akan menyebabkan berubahnya total output.
Secara langsung atau tidak langsung perubahan total output akan menyebabkan perubahan permintaan
akhir. Perubahan permintaan akhir karena peru- bahan output dapat ditulis:
X = I – A r
–1
Y 12
ΔX = I – A r
–1
ΔY 13 ΔY = ΔX
T
I – A 14
Persamaan 14 dapat digunakan untuk meng- gambarkan perubahan output karena adanya
kenaikan upah yang menyebabkan perubahan kesempatan kerja, hal pertama yang dilakukan
adalah dengan menyusun matrik koefisien tenaga kerja. Koefisien tenaga kerja ini menunjukkan
hubungan antara tenaga kerja dengan output yaitu banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
menghasilkan satu satuan output, secara matematik dapat ditulis:
n
i
=
i i
X L
15 n
i
: Koefisien tenaga kerja L
i
: Jumlah tenaga kerja sektoral X
i
: Jumlah output sektoral Apabila sudah diketahui koefisien tenaga ker-
janya, maka dapat dilakukan perhitungan perubahan kesempatan kerja dengan menggunakan persamaan:
ΔL
i
= n
i
ΔX
i
16 ΔL
i
: Tambahan Kesempatan Kerja n
i
: Koefisien tenaga kerja ΔX
i
: Tambahan Output Sektoral Semakin tinggi koefisien tenaga kerja di suatu
sektor menunjukkan semakin tinggi pula daya serap tenaga kerja di sektor yang bersangkutan, karena
semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Sebaliknya sektor
yang semakin rendah koefisien kesempatan kerjanya menunjukkan semakin rendah pula daya serap
tenaga kerja.
Analisis Keterkaitan
Selain menganalisis dampak perubahan upah minimum terhadap output dan kesempatan kerja,
penelitian ini juga menganalisis keterkaitan sektor industri pengolahan dengan sektor lainnya. Analisis
keterkaitan ini terdiri dari keterkaitan ke belakang langsung, keterkaitan ke belakang total, keterkaitan
ke depan langsung, dan keterkaitan ke depan total.
Keterkaitan ke belakang langsung merupakan penjumlahan kolom dari matrik koefisien input atau
koefisien teknologi A, karena dari matriks tersebut secara kolom menunjukkan proporsi asal input suatu
sektor dari sektor-sektor lainnya Firmansyah, 2006: 48. Formula matematisnya adalah :
B
d
j =
∑
= n
1 i
ij
a 17 di mana a
ij
adalah koefisien input yang merupakan elemen dari koefisien input.
Keterkaitan ke belakang total adalah penjum- lahan dari elemen matrik kebalikan input atau matrik
kebalikan leontief Firmansyah, 2006: 48. Dengan persamaan matematis:
B
d+id
j =
∑
= n
1 i
ij
a 18 dimana
α
ij
adalah elemen matrik kebalikan input. Keterkaitan ke depan langsung merupakan pen-
jumlahan baris dari matrik koefisien output
A r
, kare- na dari matrik tersebut secara baris menunjukkan
proporsi distribusi output suatu sektor kepada sektor lainnya Firmansyah, 2006: 50. Pesamaan matema-
tisnya adalah:
F
d
i =
∑
= n
1 j
ij
a v
19 dimana
ij
a r
adalah koefisien
output
yang merupakan elemen dari koefisien
output
. Keterkaitan ke depan total adalah penjumlahan
baris matrik kebalikan
output
Firmansyah, 2006: 50. Dengan persamaan matematis:
F
d+id
i =
∑
=
α
n 1
j ij
r 20
dimana
ij
α r
adalah elemen matrik kebalikan
output
.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
97 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keterkaitan antar sektor
Terjadinya peningkatan kapasitas produksi di suatu sektor, biasanya akan selalu menimbulkan dua
dampak sekaligus yaitu: a dampak terhadap permintaan barang dan jasa yang diperlukan sebagai
input
dan b dampak terhadap penyediaan barang dan jasa hasil produksi yang dimanfaatkan sebagai
input
oleh sektor lain. Dampak dari suatu kegiatan produksi terhadap permintaan barang dan jasa
input
yang diperoleh dari produksi sektor lain disebut sebagai keterkaitan ke belakang
backward linkages
. Sedangkan, dampak yang ditimbulkan karena penyediaan hasil produksi suatu sektor
terhadap penggunaan
input
oleh sektor lain disebut sebagai keterkaitan ke depan
forward linkage
. Budiman, 2004: 107.
Dalam penelitian ini menggunakan Tabel
Input
-
Output
Jawa Tengah Tahun 2004 klasifikasi 89 sektor yang kemudian diagregasi menjadi 43 sektor.
Sektor 1 sampai dengan sektor 28 diagregasi menjadi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan. Sektor 29 sampai dengan sektor 32 diagregasi menjadi sektor pertambangan dan peng-
galian. Sektor industri manufaktur tidak diagregasi karena merupakan sektor yang akan dianalisis.
Sektor 68 dan sektor 69 diagregasi menjadi sektor listrik, gas dan air minum. Sektor 70 dan sektor 71
diagregasi menjadi sektor bangunan. Sektor 72 sampai dengan sektor 74 diagregasi menjadi sektor
perdagangan, restoran dan perhotelan. Sektor 75 sampai dengan sektor 80 diagregasi menjadi sektor
pengangkutan dan komunikasi. Sektor 81 sampai dengan 83 diagregasi menjadi sektor keuangan,
persewaaan dan jasa perusahaan. Sektor 84 sampai dengan 89 diagregasi menjadi sektor jasa-jasa.
Untuk sektor industri manufaktur terdiri dari : industri pengolahan dan pengawetan makanan,
industri minyak dan lemak, industri penggilingan padi, industri tepung terigu dan tepung lainnya,
industri roti dan kue kering lainnya, industri kopi giling dan kupasan, industri makanan lainnya, industri
bumbu masak dan penyedap makanan, industri makanan ternak, industri gula tebu dan gula kelapa,
industri minuman, industri rokok, industri pengolahan tembakau selain rokok, industri pemintalan, industri
tekstil, industri tekstil jadi dan tekstil lainnya, industri pakaian jadi, industri kulit dan alas kaki, industri kayu
dan bahan bangunan dari kayu, industri perabot rumah tangga dari kayu, industri kertas dan barang
dari kertas, penerbitan dan percetakan, industri farmasi dan jamu tradisional, industri kimia dan
pupuk, industri pengilangan minyak, industri karet dan barang dari karet, industri plastik dan barang dari
plastik, industri barang mineral bukan logam, industri semen, industri kapur dan barang dari semen,
industri dasar baja dan besi, industri logam bukan besi dan barang dari logam, industri mesin-mesin
dan perlengkapan listrik, industri alat angkutan dan perbaikannya, industri barang lainnya.
Keterkaitan langsung ke belakang antar sektor
Keterkaitan langsung ke belakang diperoleh dengan cara menjumlahkan kolom semua elemen-
elemen dari koefisien
input
. Diasumsikan koefisien teknologi adalah sama, maka keterkaitan langsung
ke belakang pada sektor industri manufaktur untuk tahun 2004 dapat diketahui. Hasil penelitian menun-
jukkan 35 sub sektor yang ada pada sektor industri manufaktur berdasarkan Tabel
Input-Output
Jawa Tengah tahun 2004, 25 sub sektor memiliki keter-
kaitan ke belakang yang lebih besar. Artinya bahwa lebih banyak sub sektor yang memiliki keterkaitan ke
belakang yang lebih besar dibandingkan dengan keterkaitan ke depan. Kondisi ini berarti bahwa sub
sektor tersebut banyak meminta
output
dari sub sektor lainnya sebagai
input
antara. Pada sektor industri manufaktur sektor 3-37,
lebih banyak sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang yang lebih tinggi dibandingkan
dengan keterkaitan langsung ke depan. Sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang yang lebih
tinggi dari pada keterkaitan langsung ke depan adalah sektor: industri pengolahan dan pengawetan
makanan sektor 3, industri minyak dan lemak sektor 4, industri penggilingan padi sektor 5,
industri tepung terigu dan tepung lainnya sektor 6, industri roti dan kue kering lainnya sektor 7, industri
kopi giling dan kupasan sektor 8, industri makanan lainnya sektor 9, industri bumbu masak dan
penyedap makanan sektor 10, industri gula tebu dan gula kelapa sektor 12, industri minuman sektor
13, industri rokok sektor 14, industri tekstil sektor 17, industri tekstil jadi dan tekstil lainnya sektor 18,
Dampak Perubahan Upah .... Juhari Atmanti : 91 – 103
98
industri pakaian jadi sektor 19, industri kulit dan alas kaki sektor 20, industri kayu dan bahan
bangunan dari kayu sektor 21, industri perabot rumah tangga dari kayu sektor 22, industri kertas
dan barang dari kertas sektor 23, industri farmasi dan jamu tradisional sektor 25, industri karet dan
barang dari karet sektor 28, industri plastik dan barang dari plastik sektor 29, industri barang
mineral bukan logam sektor 30, industri mesin- mesin dan perlengkapan listrik sektor 35, industri
alat angkutan dan perbaikannya sektor 36, industri barang lainnya sektor 37.
Hasil penelitian ini diketahui sektor yang memi- liki keterkaitan langsung ke belakang paling tinggi
adalah sektor industri penggilingan padi sektor 5, hasil yang sama ditunjukkan oleh Saptiningsih 2005
dimana dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa sektor industri penggilingan padi memiliki
keterkaitan ke belakang yang tinggi. Pada sektor tersebut menunjukkan angka keterkaitan ke belakang
lebih besar dari angka keterkaitan ke depan, menurut Budiman Efdy 2004 hal ini berarti bahwa sektor
tersebut banyak meminta
output
dari sektor-sektor lainnya sebagai
input
antara atau dengan kata lain menunjukkan ketergantungan sektor ini terhadap
input
yang berasal dari sektor lain. Jika dilihat angka keterkaitan ke belakang yang hampir mendekati nilai
1 menunjukkan bahwa industri penggilingan padi berpotensi untuk ikut memajukan perkembangan
sektor lainnya.
Berdasarkan koefisien
input
maka dapat diketa- hui bahwa sektor tersebut banyak meminta
output
dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sektor 1 sebagai
input
antara. Sektor lain yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang
cukup tinggi adalah sektor industri roti dan kue kering lainnya sektor 7, Selanjutnya, dengan melihat koe-
fisien
input
dapat diketahui bahwa sektor ini banyak meminta
output
dari industri tepung terigu dan tepung lainnya sektor 6.
Penggunaan
input
antara pada sektor industri manufaktur lainnya adalah sebagai berikut: Industri
pengolahan dan pengawetan makanan sektor 3, industri minyak dan lemak sektor 4, industri kopi
giling dan kupasan sektor 8, sektor industri makan- an lainnya sektor 9, industri gula tebu dan gula
kelapa sektor 12, Industri farmasi dan jamu tradisional sektor 25, industri karet dan barang dari
karet sektor 28 industri mesin-mesin dan perleng- kapan listrik sektor 35 dan industri alat angkutan
dan perbaikannya sektor 36 banyak meminta
output
dari sektor sendiri. Industri tepung terigu dan tepung lainnya sek-
tor 6, industri bumbu masak dan penyedap makanan sektor 10 banyak meminta
output
dari industri penggilingan padi sektor 5, industri rokok sektor
14, industri kayu dan bahan bangunan dari kayu sektor 21, industri kertas dan barang dari kertas
sektor 23, industri barang mineral bukan logam sektor 30 banyak meminta
output
dari industri pengilangan minyak sektor 27.
Industri minuman sektor 13 banyak meminta
output
dari industri gula tebu dan gula kelapa sektor 12. Industri tekstil sektor 17 dan industri tekstil jadi
dan tekstil lainnya sektor 18 banyak meminta
output
dari industri pemintalan sektor 16. Industri pakaian jadi sektor 19 banyak meminta
output
dari industri tekstil sektor 17. Industri kulit dan alas kaki sektor
20 banyak meminta
output
dari industri pengolahan dan pengawetan makanan sektor 3. Industri pera-
bot rumah tangga dari kayu sektor 22 banyak meminta
output
dari industri kayu dan bahan bangunan dari kayu sektor 21. Industri plastik dan
barang dari plastik sektor 29 banyak meminta
output
dari industri kimia dan pupuk sektor 26 industri barang lainnya sektor 37 banyak meminta
output
dari industri tekstil sektor 17.
Keterkaitan langsung ke depan antar sektor
Keterkaitan langsung ke depan diperoleh dengan cara penjumlahan baris pada setiap elemen-
elemen dari koefisien
output
. Diasumsikan koefisien teknologi adalah sama, maka keterkaitan langsung
ke belakang pada sektor industri manufaktur untuk tahun 2004 dapat diketahui.
Pada sektor industri manufaktur sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke depan yang lebih
tinggi adalah sebagai berikut: industri makanan ternak sektor 11, industri pengolahan tembakau
selain rokok sektor 15, industri pemintalan sektor 16, penerbitan dan percetakan sektor 24, industri
kimia dan pupuk sektor 26, industri pengilangan minyak sektor 27, industri semen sektor 31,
industri kapur dan barang dari semen sektor 32, industri dasar baja dan besi sektor 33, industri
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
99
logam bukan besi dan barang dari logam sektor 34.
Menurut Chalimah 2004 sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi menunjukkan
bahwa
output
dari sektor tersebut berperan besar dalam penyediaan input antara bagi sektor lainnya.
Hasil penelitian ini diketahui pula bahwa sektor yang paling banyak meminta
output
dari sektor 32 adalah sektor bangunan sektor 39.
Output
industri makanan ternak sektor 11 paling banyak diminati
oleh sektor 11 itu sendiri. Industri pengolahan tem- bakau selain rokok sektor 15
output-
nya paling banyak diminta oleh sektor industri rokok sektor 14.
Untuk sektor lainnya adalah sebagai berikut: industri pemintalan sektor 16
output
nya paling banyak diminta oleh industri tekstil sektor 17.
Penerbitan dan percetakan sektor 24, industri pengilangan minyak sektor 27
output-
nya paling banyak diminta oleh sektor industri rokok sektor 14.
Industri kimia dan pupuk sektor 26
output-
nya paling banyak diminta oleh industri plastik dan
barang dari plastik sektor 29. Industri semen sektor 31
output-
nya paling banyak diminta oleh sektor bangunan sektor 39. Industri dasar baja dan besi
sektor 33
output-
nya paling banyak diminta oleh industri logam bukan besi dan barang dari logam
sektor 34. Industri logam bukan besi dan barang dari logam sektor 34
output-
nya paling banyak diminta oleh Industri perabot rumah tangga dari kayu
sektor 22.
Keterkaitan Total ke Belakang Antar Sektor
Keterkaitan total baik ke belakang yang dimiliki sektor industri manufaktur nilainya masing-masing
diperoleh dengan menjumlahkan kolom elemen- elemen koefisien
input
matrik
inverse
. Semakin besar nilai keterkaitan total ke belakang suatu sektor
menunjukkan sektor tersebut dapat dijadikan sektor prioritas untuk dikembangkan. Hal ini berarti peran
sektor sektor tersebut dalam mengembangkan seluruh sektor ekonomi relatif baik, namun
output
yang dihasilkan, perannya dalam menunjang sektor- sektor ekonomi kurang begitu baik.
Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan total ke belakang yang lebih tinggi dari pada keterkaitan total
ke depan pada sektor industri manufaktur sektor 3- 37 adalah: industri pengolahan dan pengawetan
makanan sektor 3, industri minyak dan lemak sektor 4, industri penggilingan padi sektor 5,
industri tepung terigu dan tepung lainnya sektor 6, industri roti dan kue kering lainnya sektor 7, industri
makanan lainnya sektor 9, industri bumbu masak dan penyedap makanan sektor 10, industri gula
tebu dan gula kelapa sektor 12, industri minuman sektor 13, industri rokok sektor 14, industri tekstil
sektor 17, industri tekstil jadi dan tekstil lainnya sektor 18, industri pakaian jadi sektor 19, industri
kulit dan alas kaki sektor 20, industri kayu dan bahan bangunan dari kayu sektor 21, industri
perabot rumah tangga dari kayu sektor 22, industri kertas dan barang dari kertas sektor 23, industri
farmasi dan jamu tradisional sektor 25, industri karet dan barang dari karet sektor 28, industri
plastik dan barang dari plastik sektor 29, industri barang mineral bukan logam sektor 30, industri
mesin-mesin dan perlengkapan listrik sektor 35, industri alat angkutan dan perbaikannya sektor 36,
industri barang lainnya sektor 37. Hal ini berarti peran sektor sektor tersebut dalam mengembangkan
seluruh sektor ekonomi relatif baik, namun
output
yang dihasilkan, perannya dalam menunjang sektor- sektor ekonomi kurang begitu baik.
Keterkaitan total ke depan antar sektor
Keterkaitan total ke depan yang dimiliki sektor industri manufaktur di dapat dengan cara menjum-
lahkan baris elemen-elemen koefisien
output
matrik
inverse
. Semakin besar nilai keterkaitan total ke depan suatu sektor menunjukkan sektor tersebut
dapat dijadikan sektor prioritas untuk dikembangkan. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa sektor
yang memiliki angka keterkaitan total ke depan atau keterkaitan total ke belakang yang lebih besar akan
dapat dijadikan sebagai sektor yang baik untuk diprioritaskan atau dikembangkan.
Berdasarkan perhitungan memperlihatkan bah- wa industri kulit dan alas kaki sektor 20 mempunyai
keterkaitan total ke belakang yang paling tinggi diantara sektor lainnya, dengan kriteria ini dapat
dikatakan bahwa peningkatan
output
1 unit uang di sektor 20 akan berdampak lebih besar terhadap
perekonomian dibandingkan dampak yang disebab- kan oleh peningkatan 1 unit uang
output
masing- masing sektor lainnya.
Dampak Perubahan Upah .... Juhari Atmanti : 91 – 103
100
Sektor lain yang memiliki angka keterkaitan total ke belakang tinggi adalah: industri roti dan kue
kering lainnya sektor 7, industri minyak dan lemak sektor 4, industri penggilingan padi sektor 5,
industri bumbu masak dan penyedap makanan sektor 10, masing-masing memiliki angka keter-
kaitan total ke belakang diatas 2. Sedangkan pene- litian yang dilakukan oleh Chalimah 2004 diketahui
sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang tinggi adalah: industri tekstil, industri penggilingan padi dan
industri pengilangan minyak.
Untuk sektor sektor yang memiliki keterkaitan total ke depan lebih tinggi dari pada keterkaitan total
ke belakang adalah: industri kopi giling dan kupasan sektor 8, industri makanan ternak sektor 11,
industri pengolahan tembakau selain rokok sektor 15, industri pemintalan sektor 16, penerbitan dan
percetakan sektor 24, industri kimia dan pupuk sektor 26, industri pengilangan minyak sektor 27.
industri semen sektor 31, industri kapur dan barang dari semen sektor 32, industri dasar baja dan besi
sektor 33, industri logam bukan besi dan barang dari logam sektor 34. Hal ini berarti sektor-sektor
tersebut
output
yang dihasilkan banyak diminati oleh sektor-sektor lainnya.
Industri makanan ternak sektor 11 merupakan sektor yang memiliki keterkaitan total ke depannya
paling tinggi, hal ini menunjukkan
output
yang dihasilkan banyak diminati oleh sektor lainnya.
Melalui kriteria ini, dapat dikatakan bahwa pening- katan
output
1 unit uang di industri makanan ternak sektor 11 akan berdampak lebih besar terhadap
perekonomian dibandingkan dampak yang disebab- kan oleh peningkatan 1 unit uang
output
masing- masing sektor lainnya. Peningkatan
output
industri makanan ternak sektor 11, maka ketersediaan
produknya yang dapat dijadikan
input
oleh sektor- sektor dalam perekonomian termasuk sektor 11
sendiri juga meningkat, sehingga sektor-sektor yang menggunakan produk industri makanan ternak sek-
tor 11 baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai
input
mereka juga akan meningkat produk- sinya. Angka 3,208536 berarti bahwa peningkatan 1
unit uang
output
industri makanan ternak sektor 11 akan meningkatkan
output
perekonomian termasuk sektor 11 sendiri sebesar 3.208536 unit uang baik
secara langsung maupun tidak langusng, melalui jalur peningkatan
output
industri makanan ternak sektor 11 yang digunakan sebagai
input
oleh sektor lain.
Sektor lain yang memiliki angka keterkaitan total ke depan adalah: industri pemintalan sektor
16, industri dasar baja dan besi sektor 33, industri kapur dan barang dari semen sektor 32, industri
pengolahan tembakau selain rokok sektor 15, masing-masing memiliki angka keterkaitan total ke
belakang diatas 2. Sedangkan penilitian yang dilaku- kan oleh Chalimah 2004 diketahui sektor yang
memiliki keterkaitan ke depan tinggi adalah: industri pemintalan, industri kimia dan pupuk, industri pengi-
langan minyak.
Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa sektor yang memiliki angka keterkaitan total ke
depan atau keterkaitan total ke belakang yang lebih besar akan dapat dijadikan sebagai sektor yang baik
untuk diprioritaskan atau dikembangkan.
Dampak Upah Terhadap Output
Dengan pendekatan
supply side
dan dengan menggunakan rumus:
ΔX
’
= Δw I – A
r
–1
akan diketa- hui berapa perubahan
output
yang terjadi akibat dari perubahan kenaikan tingkat upah pada sektor
industri manufaktur, dengan asumsi sektor lain tidak ikut menaikkan atau menurunkan upah, dan peru-
bahan terhadap
input
primer lainnya juga tidak mengalami perubahan.
Pendekatan
supply side
menunjukkan bagai- mana
output
yang dihasilkan di distribusikan kepada sektor lain, yang bagi sektor tersebut merupakan
permintaan antara sedangkan bagi sektor lain adalah sebagai
input
antara. Semakin besar tingkat upah dinaikkan akan semakin besar pula perubahan
out- put
yang terjadi. Hal ini sesuai dengan asumsi yang dibuat dalam penyusunan Tabel
Input
-
Output
, yang diantaranya tidak ada subtitusi atau dengan kata lain
elastisitas subtitusinya sama dengan nol, dan penambahan
input
secara proposional dengan tingkat tase yang sama terhadap
output
. Berdasarkan perhitungan menunjukkan kenaik-
an upah pada sektor industri manufaktur secara umum akan menyebabkan perubahan
output
sektor industri manufaktur sebesar 2.879.359,31 juta rupiah.
Pada sektor industri manufaktur sektor 3-37 yang paling besar perubahan
output-
nya akibat
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
101
kenaikan upah adalah industri rokok sektor 14, kenaikan upah yang terjadi menyebabkan perubahan
output sebesar 381.835,09 juta rupiah. Sektor lain yang perubahan
output-
nya cukup besar adalah industri gula tebu dan gula kelapa sektor 12 peru-
bahan
output
sebesar 342.114,94 juta rupiah, industri tekstil sektor 17 perubahan
output
sebesar 297.529,56 juta rupiah, industri pengilangan minyak
sektor 27 sebesar 286.843,10 juta rupiah. Sektor yang paling kecil perubahan
output
akibat kenaikkan upah adalah industri dasar baja dan besi sebesar
3.335,38 juta rupiah Untuk sektor industri manufaktur sektor 3-37
lainnya, perubahan output adalah sebagai berikut: industri pengolahan dan pengawetan makanan
sektor 3 perubahan
output
sebesar 63.823,76 juta rupiah, industri minyak dan lemak sektor 4 peru-
bahan
output
sebesar 88.620,13 juta rupiah, industri penggilingan padi sektor 5 perubahan
output
sebesar 186.773,79 juta rupiah, industri tepung terigu dan tepung lainnya sektor 6 perubahan
output
sebesar 29.013,90 juta rupiah, industri roti dan kue kering lainnya sektor 7 perubahan
output
sebesar 72.812,91 juta rupiah, industri kopi giling dan
kupasan sektor 8 perubahan
output
sebesar 35.496,69 juta rupiah, industri makanan lainnya
sektor 9 perubahan
output
sebesar 139.141,92 juta rupiah, industri bumbu masak dan penyedap
makanan sektor 10 perubahan
output
sebesar 14.977,68 juta rupiah, industri makanan ternak
sektor 11 perubahan
output
sebesar 47.050,38 juta rupiah, industri minuman sektor 13 perubahan
output
sebesar 57.277,93 juta rupiah. Industri pengolahan tembakau selain rokok
sektor 15 perubahan
output
sebesar 19.067,23 juta rupiah, industri pemintalan sektor 16 perubahan
output
sebesar 21.200,72 juta rupiah, industri tekstil jadi dan tekstil lainnya sektor 18 perubahan
output
sebesar 14.859,94 juta rupiah, industri pakaian jadi sektor 19 perubahan
output
sebesar 73.366,72 juta rupiah, industri kulit dan alas kaki sektor 20
perubahan
output
sebesar 199.455,41 juta rupiah, industri kayu dan bahan bangunan dari kayu sektor
21 perubahan
output
sebesar 135.035,25 juta rupiah, industri perabot rumah tangga dari kayu
sektor 22 perubahan
output
sebesar 153.038,53 juta rupiah, industri kertas dan barang dari kertas
sektor 23 perubahan
output
sebesar 7.453,64 juta rupiah, penerbitan dan percetakan sektor 24 peru-
bahan
output
sebesar 7.322,36 juta rupiah, industri farmasi dan jamu tradisional sektor 25 perubahan
output
sebesar 45.695,59 juta rupiah, industri kimia dan pupuk sektor 26 perubahan
output
sebesar 17.716,62 juta rupiah.
Industri karet dan barang dari karet sektor 28 perubahan
output
sebesar 20.158,21 juta rupiah, industri plastik dan barang dari plastik sektor 29
perubahan
output
sebesar 12.616,57 juta rupiah, industri barang mineral bukan logam sektor 30
perubahan
output
sebesar 26.005,11 juta rupiah, industri semen sektor 31 perubahan
output
sebesar 7.817,28 juta rupiah, industri kapur dan barang dari
semen sektor 32 perubahan
output
sebesar 6.427,06 juta rupiah, industri logam bukan besi dan
barang dari logam sektor 34 perubahan
output
sebesar 8.072,99 juta rupiah, industri mesin-mesin dan perlengkapan listrik sektor 35 perubahan
out- put
sebesar juta rupiah 26.773,53juta rupiah, industri alat angkutan dan perbaikannya sektor 36 peru-
bahan
output
sebesar 22.060,42 juta rupiah, industri barang lainnya sektor 37 perubahan
output
sebesar 8.568,95 juta rupiah.
Dampak upah terhadap kesempatan kerja
Dengan adanya kenaikan upah pada sektor industri manufaktur pada tahun 2005 akan menye-
babkan perubahan
output
, untuk memenuhi peru- bahan
output
yang tercapai akan membutuhkan tenaga kerja untuk mengerjakannya. Untuk keper-
luan tersebut, maka akan dicari koefisien tenaga kerja dari masing-masing sektor. Besarnya koefisien
tenaga kerja ini menunjukkan suatu bilangan dari jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk meng-
hasilkan satu unit keluaran
output
Berdasarkan rumus 15 maka koefisien tenaga kerja dapat diperoleh. Koefisien tenaga kerja sektoral
merupakan indikator untuk melihat daya serap tenaga kerja di masing-masing sektor.
Berdasarkan perhitungan dapat diketahui bah- wa kenaikan upah pada sektor indutri manufaktur
tahun 2005 menyebabkan bertambahnya
output
yang kemudian akan berdampak pada kesempatan kerja, yaitu bertambahnya kesempatan kerja di
sektor industri manufaktur sebesar 43,529 jiwa.
Dampak Perubahan Upah .... Juhari Atmanti : 91 – 103
102
Semakin tinggi koefisien tenaga kerja di suatu sektor menunjukkan semakin banyak tenaga kerja
yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit
output
. Sebaliknya sektor yang semakin rendah koefisien tenaga kerjanya menunjukkan semakin
rendah pula daya serap tenaga kerjanya. Koefisien tenaga kerja yang tinggi pada umumnya terjadi di
sektor yang padat karya, sedangkan koefisien tenaga kerja yang rendah umumnya terjadi di sektor padat
modal yang proses produksinya dilakukan dengan teknologi tinggi. Kesempatan kerja dianalogikan
merupakan daya serap tenaga kerja kebutuhan tenaga kerja, jika semakin tinggi daya serap tenaga
kerja suatu sektor maka kesempatan kerja akan semakin tinggi.
Di sektor industri manufaktur sektor 3-37 yang paling besar penciptaan kesempatan kerjanya akibat
kenaikan upah pada industri manufaktur adalah industri perabot rumah tangga dari kayu sektor 22
yaitu 6.358 jiwa. Sektor lain yang mampu mencipta- kan kesempatan kerja cukup tinggi adalah industri
kayu dan bahan bangunan dari kayu sektor 21 dan industri tekstil sektor 17, yang masing- masing
mampu menciptakan kesempatan kerja sebesar 4.538 jiwa dan 4.220 jiwa. Sedangkan sektor yang
paling kecil penciptaan kesempatan kerjanya adalah industri dasar baja dan besi sektor 33 yaitu sebesar
14 jiwa.
Untuk sektor industri manufaktur sektor 3-37 lainnya, pertambahan kesempatan kerja adalah
sebagai berikut: industri pengolahan dan penga- wetan makanan sektor 3 pertambahan kesempatan
kerja sebesar 556 jiwa, industri minyak dan lemak sektor 4 pertambahan kesempatan kerja sebesar
1.100 jiwa, industri penggilingan padi sektor 5 pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.663 jiwa,
industri tepung terigu dan tepung lainnya sektor 6 pertambahan kesempatan kerja sebesar 423 jiwa,
industri roti dan kue kering lainnya sektor 7 pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.057 jiwa,
industri kopi giling dan kupasan sektor 8 pertam- bahan kesempatan kerja sebesar 582 jiwa, industri
makanan lainnya sektor 9 pertambahan kesem- patan kerja sebesar 1.870 jiwa, industri bumbu
masak dan penyedap makanan sektor 10 pertam- bahan kesempatan kerja sebesar 202 jiwa, industri
makanan ternak sektor 11 pertambahan kesem- patan kerja sebesar 322 jiwa, industri gula tebu dan
gula kelapa sektor 12 pertambahan kesempatan kerja sebesar 3.895jiwa, industri minuman sektor
13 pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.088 jiwa, industri rokok sektor 14 pertambahan kesem-
patan kerja sebesar 3.173 jiwa, industri pengolahan tembakau selain rokok sektor 15 pertambahan
kesempatan kerja sebesar 710 jiwa, industri pemin- talan sektor 16 pertambahan kesempatan kerja
sebesar 146 jiwa.
Industri tekstil jadi dan tekstil lainnya sektor 18 pertambahan kesempatan kerja sebesar 288 jiwa,
industri pakaian jadi sektor 19 pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.861 jiwa, industri kulit
dan alas kaki sektor 20 pertambahan kesempatan kerja sebesar 3.755 jiwa, industri kertas dan barang
dari kertas sektor 23 pertambahan kesempatan kerja sebesar 144 jiwa, penerbitan dan percetakan
sektor 24 pertambahan kesempatan kerja sebesar 255 jiwa, industri farmasi dan jamu tradisional sektor
25 pertambahan kesempatan kerja sebesar 1.284 jiwa, industri kimia dan pupuk sektor 26 pertam-
bahan kesempatan kerja sebesar 348 jiwa, industri pengilangan minyak sektor 27 pertambahan kesem-
patan kerja sebesar 423 jiwa, industri karet dan barang dari karet sektor 28 pertambahan kesem-
patan kerja sebesar 354 jiwa, industri plastik dan barang dari plastik sektor 29 pertambahan kesem-
patan kerja sebesar 319 jiwa, industri barang mineral bukan logam sektor 30 pertambahan kesempatan
kerja sebesar 708 jiwa.
Industri semen sektor 31 pertambahan kesem- patan kerja sebesar 61 jiwa, industri kapur dan ba-
rang dari semen sektor 32 pertambahan kesem- patan kerja sebesar 300 jiwa, industri logam bukan
besi dan barang dari logam sektor 34 pertambahan kesempatan kerja sebesar 64 jiwa, industri mesin-
mesin dan perlengkapan listrik sektor 35 pertam- bahan kesempatan kerja sebesar 489 jiwa, industri
alat angkutan dan perbaikannya sektor 36 pertam- bahan kesempatan kerja sebesar 736 jiwa, industri
barang lainnya sektor 37 pertambahan kesempatan kerja sebesar 223 jiwa.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Berdasarkan analisis keterkaitan, menunjukkan bahwa pada sektor industri manufaktur sektor 3-
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
103
37, lebih banyak sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang dibandingkan dengan
keterkaitan langsung ke depan. Demikian juga yang terjadi pada angka keterkaitan total industri
manufaktur terhadap sektor-sektor ekonomi kese- luruhan, lebih banyak sektor yang memiliki keter-
kaitan total ke belakang dibandingkan dengan angka keterkaitan total ke depan. Artinya sektor-
sektor industri manufaktur lebih banyak berperan dalam
input
multipliernya. 2. Sektor yang paling besar perubahan
output-
nya akibat kenaikan upah adalah industri rokok sektor
14, kenaikan upah yang terjadi menyebabkan perubahan output sebesar 381.835,09 juta rupiah.
3. Untuk memenuhi perubahan
output
yang terjadi, maka dibutuhkan tambahan tenaga kerja untuk
mengerjakannya. Dengan pendekatan
supply side
, dapat diketahui seberapa besar daya serap tenaga kerja pada masing-masing sektor.
Kenaikan upah pada sektor industri manufaktur tahun 2005 menyebabkan bertambahnya
output
yang kemudian berdampak pada kesempatan kerja, yaitu bertambahnya kesempatan kerja di
sektor industri manufaktur sebesar 43,529 jiwa. Kenaikan kesempatan kerja paling tinggi dicapai
oleh industri perabot rumah tangga dari kayu sektor 22 yaitu 6.358 jiwa.
4. Kenaikan upah tahun 2005 pada industri manu- faktur terbukti secara empiris mampu mening-
katkan output dan kesempatan kerja di sektor industri manufaktur selama asumsi-asumsi yang
menyertai tidak dilanggar, yaitu teknologi diang- gap tetap, tidak ada subtitusi ,
constant return to scale.
Saran
Berdasarkan hasil analsisis dan keseimpuan tersebut di atas, maka disarankan kepada pemerin-
tah daerah untuk menjadikan sektor tersebut sebagai prioritas dalam pembangunan ekonomi. Selain itu,
perlu didukung pula dengan kebijakan pada bidang pertanian yang baik dan yang lebih ramah terhadap
lingkungan agar kelestarian alam tetap terjaga, karena keadaan alam sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan sektor pertanian dan industri.
DAFTAR PUSTAKA
Arfida BR., 2003, ”
Ekonomi Sumber Daya Manusia”
, Jakarta: Ghalia Indonesia,
Aris Ananta, 1990, ”
Ekonomi Sumber Daya Manu- sia”,
Jakarta: Lembaga Demografi UI. Badan Pusat Statistik BPS, 2003-2007, Jawa
Tengah Dalam Angka Badan Pusat Statistik, 2005, Tabel Input-Output
Jawa Tengah 2004 Budiman Efdy W., 2004, “Dampak Kenaikan Upah
Mimimum Pada Harga, Output, dan Kesem- patan Kerja serta Keterkaitannya Dengan
Sektor Lain”,
Tesis
S2, Program Pasca Sarjana UNDIP Semarang, Tidak Dipublikasikan
Chalimah, 2004, “Analisis Input-Output sebagai Kerangka Strategi Pembangunan Industri Peng-
olahan di Jawa Tengah”,
Jurnal Dinamika Sosial Budaya
, Vol.6, No.1 Firmansyah, 2006, “Operasi Matrix dan Analisis
Input-Output I–O untuk Ekonomi”, Semarang: BP UNDIP.
McEachern, A. William, 2000, “
Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer
”, Penterjemah Sigit Triandaru, Jakarta: Salemba Empat
Miller, Roger LeRoy., dan Roger E. Meiners, 2000, “
Teori Mikro Ekonomi Intermediet
”, Penterjemah Haris M., Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Payaman J. Simanjuntak, 2001, ”
Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia
”, Jakarta: LPFE UI. Payaman J. Simanjuntak, 1982, “
Perkembangan Teori di Bidang Sumber Daya Manusia: Sumber
Daya Manusia Kesempatan Kerja dan Pembangunan Ekonom
”, Jakarta, LPFE-UI Sadono Sukirno, 2002, ”
Pengantar Teori Mikroeko- nomi”,
Jakarta: Raja Grafindo Persada Saptiningsih, 2005, ”Dampak Pengadaan Stok Beras
Nasional oleh Pemerintah terhadap Output dan Kesempatan Kerja Indonesia”, Penetapan
HPP-Inpres No. 2 Tahun 2005 pada multiplier Tabel Input-Output 2000,
Skipsi
S1 pada FE UNDIP Semarang, Tidak Dipublikasikan
Wildan Syafitri, 2003, ”Analisa Produktifitas Tenaga Kerja Sektor Manufaktur di Indonesia”,
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia
, Vol. 3 No.2.
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... Kusumantoro : 104 – 113
104
DISPARITAS DAN SPESIALISASI INDUSTRI MANUFAKTUR KABUPATEN KOTA DI JAWA TENGAH
Kusumantoro
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email; paktoroplasa.com
ABSTRACT
The aim of this research is measure disparity and identification of specialization industry in the local region of central java province. This research use the local government data from BPS Badan Pusat
Statistik from 2001 until 2006. Analizis of this research is index theil and regional specialization Index. The result of manufacture industry disparity in local government central java province show different level
in the Theil entropy index. Identification result of local industry in the central java province show that industry activity is food industry ISIC 15, garment Industry ISIC 17, Manufacture industry ISIC 20
and chemical industry ISIC 24. The specialization in the same area, usualy have the same industry. Semarang region Semarang and kudus is specilized in garment industry ISIC 18 and publiser ISIC
22. Surakarta region Sukoharjo and Karanganyar is textile, garment and chemical specialization industry ISIC 24
Keywords: disparity, industry specialized, Index Theil. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi dalam konteks regional tata ruang atau spasial, pada dasarnya sama
dengan pembangunan nasional secara keseluruhan. Inti dari pembangunan regional maupun nasional
adalah untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan dan sebagainya.
Pokok permasalahan tersebut dapat dipecahkan melalui proses pembangunan dengan menentukan
tingkat-tingkat tertentu, seperti pertumbuhan ekono- mi, kemiskinan, pengangguran dan lain-lain. Apabila
pembangunan secara regional tersebut rata-rata baik, maka pembangunan dalam tingkat nasional
juga baik, maka indikator tersebut merupakan dasar pangkal tolak dalam rangka menyusun skala prioritas
kebijakan ekonomi nasional.
Dalam rangka mengembangkan potensi dae- rah, maka daerah harus mengembangkan sektor-
sektor perekonomian sesuai dengan keunggulannya. Pengembangan sektor unggulan ini diharapkan
bahwa sektor tersebut dapat menjadi produk yang menghasilkan keuntungan yang tinggi karena sektor
tersebut biasanya mempunyai permintaan pada tingkat nasional atau permintaan ekspor yang tinggi.
Daya saing suatu daerah akan terlihat melalui proses perdagangan antar daerah inter-regional maupun
internasional. Kemudian dalam jangka panjang, diharapkan sektor-sektor yang memiliki daya saing
yang tinggi akan menjadi spesialisasi daerah. Kebijakan pembangunan sektoral yang strategis
adalah kebijakan pembangunan di sektor industri. Bahkan secara umum dapat dinyatakan bahwa
hampir semua propinsi cenderung mengutamakan sektor industri. Sektor ini dipandang sebagai sektor
yang memiliki tingkat produktivitas tinggi, sehingga dengan keunggulannya akan didapat nilai tambah
tinggi. Oleh karena itu, tujuan menciptakan kesejah- teraan ekonomi masyarakat dapat lebih cepat
terwujud dengan mengembangkan sektor ini. Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri
manufaktur, di mana industri tersebut dipandang sebagai pendorong atau penggerak utama pereko-
nomian daerah. Sektor manufaktur menjadi media untuk memanfaatkan sumber daya alam yang melim-
pah sehingga akan menyerap tenaga kerja yang besar.
Berdasarkan kontribusinya kepada PDRB, sek- tor industri di Propinsi Jawa Tengah menunjukkan
kinerja yang baik. Namun tidak semua kabupaten kota di Propoinsi Jawa Tengah mempunyai kondisi
tersebut. Dilihat dari distribusi tenaga kerja dan nilai tambah, hanya kabupatenkota tertentu yang men-
dominasi yaitu Kota Semarang, Kabupaten Sema- rang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Sukoharjo,
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
105
Kabupaten Karanganyar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kuncoro 2002 bahwa di Jawa Tengah
konsentrasi spasial industri hanya ada di daerah Semarang dan sekitarnya yang meliputi Kota dan
Kabupaten Semarang, Kabupaten Kudus dan Sura- karta sekitarnya yang meliputi Kabupaten Karang-
anyar, Kabupaten Sukoharjo. Kenyataan diatas menunjukkan masih adanya disparitas atau ketidak-
merataan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Analisis disparitas ini dianggap penting karena dengan analisis ini dapat diketahui seberapa besar
tingkat pembangunan yang telah dicapai. Di samping itu, dengan analisis disparitas dapat mengetahui
perbandingan tingkat pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah, sehingga dapat diketahui
daerah yang sudah berkembang dan daerah yang belum berkembang. Maka dari itu dapat dicari solusi
atau upaya pengembangan daerah yang dianggap masih kurang berkembang.
Upaya mengembangkan ekonomi daerah khu- susnya sektor industri dapat dilakukan dengan
mengetahui spesialisasi industri manufaktur daerah. Spesialisasi industri manufaktur daerah yang tumbuh
atau berbentuk dari daya saing yang tinggi akan menyebabkan berkembangnya sektor tersebut.
Pertumbuhan sektor spesialisasi meyebabkan output yang semakin tinggi dan kesempatan kerja yang
semakin luas. Apabila hal tersebut terus berlang- sung, maka dengan sendirinya tujuan pembangunan
regional dan nasional akan tercapai. Spesialisasi industri manufaktur pada umumnya berkaitan dengan
keunggulan komparatif daerah di dalam biaya produksinya. Penentu ongkos produksi tidak lain
adalah harga input yang digunakan dalam proses industri. Maka suatu daerah akan berspesialisasi
pada suatu industri dimana harga input lebih rendah. Oleh karena itu, sumber daya yang ada di daerah
akan sangat menentukan spesialisasi tersebut, apakah menghasilkan yang berbasis sumber daya
alam, kapital, sumber daya manusia dan teknologi.
LANDASAN TEORI Teori Pembangunan Ekonomi Regional
Perbedaan sumber daya yang dimiliki dari masing-masing daerah menyebabkan tingkat pem-
bangunan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda. Sebagai akibatnya akan timbul
perbedaan kesejahteraan di berbagai daerah. Perbe- daan kesejahteraan tersebut dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu terdapat perbedaan kesejahteraan yang tidak begitu nyata atau tidak mencolok dikedua
atau berbagai daerah. Kemudian yang kedua, yaitu bahwa dalam suatu wilayah pendapatan masing-
masing daerah atau tingkat kesejahteraan antar dae- rah sangat berbeda sekali. Dengan adanya perbe-
daan tingkat pembangunan antara daerah akan mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan an-
tar daerah, sehingga apabila hal ini tidak diperhatikan akan menimbulkan dampak yang kurang mengun-
tungkan bagi suatu wilayahnegara.
Adanya heterogenitas dan beragam karakteris- tik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan ter-
jadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Ketimpangan pembangunan
antara daerah yang datu dengan daerah yang lain pasti terjadi di setiap wilayah. Hal ini terjadi karena
perbedaan sumber daya yang dimiliki antar daerah. Namun yang terpenting adalah adanya upaya untuk
mengurangi ketimpangan antara daerah yang satu dengan yang lain dalam suatu wilayah. Bertitik tolak
dari kenyataan itu, Ardani 1992 mengemukakan bahwa ketimpangankesenjangan antar daerah
merupakan konsekuensi logis dari pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pem-
bangunan itu sendiri.
Ketimpangan Regional
Masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan Pulau
Jawa dan luar Pulau Jawa, tetapi juga terjadi di daerah lain. Berbagai program telah dikembangkan
untuk menjembatani ketimpangan antar daerah yang sudah dilakukan, namun belum mencapai hasil yang
optimal. Alokasi penganggaran pembangunan seba- gai instrumen untuk mengurangi ketimpangan
ekonomi tersebut tampaknya perlu lebih diperhatikan lagi di masa mendatang.
Strategi alokasi anggaran itu harus mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional
sekaligus menjadi alat mengurangi kesenjangan atau ketimpangan regional. Ketimpangan ini disebabkan
oleh ketidakmerataan anugerah awal diantara
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... Kusumantoro : 104 – 113
106
pelaku-pelaku ekonomi dan pelaksanaan pemba- ngunan yang lebih bertumpu pada aspek pertum-
buhan Dumairy, 1996:66.
Dengan kata lain, sumber daya alam yang dimiliki antar daerah misalnya modal, keahlian
ketrampilan, teknologi, bakat atau potensi antar daerah tidak sama. Ketidaksetaraan anugerah awal
dapat berakibat pada pembangunan menjadi tidak seimbang di mana ada pelaku ekonomi yang tumbuh
cepat dalam pembangunan dan ada pelaku ekonomi yang lambat dalam pembangunan. Hal ini meru-
pakan permasalahan yang pada gilirannya timbul masalah ketimpangan di berbagai aspek terutama
ketimpangan regional.
Ukuran Ketimpangan Regional
a. Indeks Williamson: Vw =
Υ n
f Υ
Υ
i 2
i
∑
−
Keterangan : Vw = Indeks Ketimpangan Regional Williamson
Yi = Pendapatan perkapita di daerah i Y = Pendapatan perkapita rata-rata seluruh
daerah fi = Jumlah penduduk di daerah i
n = Jumlah penduduk wilayah seluryh daerah Hasil uji Indeks Williamson menunjukkan kriteria
sebagai berikut. Mendekati 0-0,34 termasuk tingkat kesenjangan
rendah Antara 0,35-0,80 termasuk timgkat kesenjangan
sedang Di atas 0,80 termasuk tingkat kesenjangan
sangat tinggi Dengan berbagai cara yang berbeda, untuk me-
mahami tingkat ketimpangan atau kemerataan regional dapat dilakukan dengan analisis performan-
ce ekonomi antar daerah dengan mengklasifikasi- kannya berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita regionalnya. Atas dasar dua variabel tersebut, dengan menggunakan nilai rata-
ratanya, pembangunan ekonomi daerah dapat dikelompokan menjadi empat yaitu: daerah yang
memiliki tingkat pendapatan rendah dan pertum- buhan ekonomi rendah low income low growth,
daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita rendah dan pertumbuhan ekonomi tinggi low income
high growth, daerah yang memiliki tingkat penda- patan perkapita tinggi dan pertumbuhan ekonomi
tinggi high income low growth, daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita tinggi dan pertumbuhan
ekonomi tinggi high income high growth.
Dengan cara yang sama masih ada pendekatan lain yang dapat digunakan untuk memahami struktur
pertumbuhan ekonomi sebagai analisis. Melalui analisis ini dapat diperoleh empat klasifikasi daerah
yang masing-masing memiliki karakteristik pertum- buhan ekonomi yang berbeda yaitu: Daerah bertum-
buh cepat rapid growth region, Daerah tertekan retarded region, Daerah sedang bertumbuh
growing region, Daerah relatif tertinggal backward region. Sjahfrizal, 1997
b. Indeks Theil Indeks Entropi Theil Theil entropy index of
inequality pada dasarnya merupakan aplikasi konsep teori informasi dalam mengukur kesenjangan
ekonomi dan konsentrasi industri. Kelemahan utama indeks lain yang mengukur konsentrasidispersi
secara spasial adalah bahwa mereka hanya menya- jikan satu nilai tunggal pada satu titik waktu. Telah
lama diketahui bahwa setiap indeks didesain untuk berbagai tujuan dan berdasarkan beberapa asumsi
penting.
Tidak seperti indeks-indeks yang lain, indeks theil memungkinkan kita untuk membuat perban-
dingan selama waktu tertentu dan menyediakan secara rinci dalam sub-unit geografis yang lebih
kecil, yang pertama akan berguna untuk mengana- lisis kecenderungan konsentrasi geografis selama
periode tertentu, sedang yang kedua juga penting ketika kita mendiskripsikan yang lebih rinci mengenai
kesenjangan spasial, sebagai contoh kesenjangan antar daerah dalam suatu negara dan antar sub-unit
daerah dalam suatu kawasan Kuncoro, 2002.
Indeks Entropi Theil menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan indeks konsentrasi
spasial yang lain. Keunggulan utama ini adalah bahwa pada suatu titik waktu, indeks ini menye-
diakan ukuran derajat konsentrasi dispersi distribusi spasial pada sejumlah daerah dan sub-daerah dalam
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
107
suatu negara. Barangkali karakteristik yang paling signifikan dari indeks entropi adalah bahwa indeks ini
dapat membedakan kesenjangan “antar daerah” between-region inequality dan kesenjangan ”dalam
satu daerah” within-region-region inequality. Lebih Khusus lagi dalam konteks Indonesia, indeks
tersebut dapat dinyatakan dalam:
Iy =
∑
= N
1 i
i i
N Y
log Y
1 Di mana:
Iy = Indeks ketimpangan regional keseluruhan atas kesenjangan spasial Indonesia;
Y
i
= Pangsa propinsi i terhadap total tenaga kerja industri manufaktur Indonesia;
N = Jumlah keseluruhan provinsi yang ada di Indonesia.
Untuk mengukur kesenjangan spasial antar pulau di Indonesia, kita dapat memilah persamaan 1 ke
dalam:
Iy =
∑ ∑ ∑
= ε
=
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎣ ⎡
+
R 1
r 1
i r
r 1
r 1
r R
1 r
r r
r
N Y
y log
Y y
Y N
N Y
log Y
2 Di mana:
Yr = Pangsa semua di dalam pulau; Nr = Jumlah di dalam Propinsi dalam pulau;
R = Jumlah keseluruhan pulau-pulau utama di
Indonesia. Bagian pertama dalam persamaan 2 adalah meng-
ukur derajat kesenjangan tenaga kerja menurut pangsa pulau di Indonesia, sedangkan bagian kedua
mengukur derajat perbedaan dalam pangsa provinsi dalam masing-masing pulau yang di beri bobot
dengan pangsa keseluruhan pulau di Indonesia. Indeks entropy termasuk dekomposisi ke dalam
kesenjangan spasial antar pulau dan dalam satu pulau. Nilai indeks entropy yang lebih rendah berarti
menunjukkan adanya kesenjangan yang rendah, dan sebaliknya Kuncoro, 2002.
c. Indeks Gini Koefisien Gini Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidak-
merataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan meng-
hitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorentz dibagi dengan luas
separuh bidang dimana kurva Lorentz itu berada. Pada gambar 1, rasio yang dimaksud adalah perban-
dingan bidang A terhadap total segitiga BCG. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini
Gini concentration ratio yang seringkali disingkat dengan istilah Koefisien Gini Gini coefficient.
Koefisien Gini adalah kurva yang mengukur ketidak- merataan atau ketimpangan pendapatankesejah-
teraan agregat secara keseluruhan yang angkanya berkisar antara nol pemerataan sempurna hingga
satu ketimpangan yang sempurna. Walaupun kemungkinannya sangat kecil bahwa tingkat peme-
rataan akan mencapai angka 0 dan juga kecil kemungkinannya tingkat ketimpangan akan menca-
pai angka 1.
GARIS PEMERATAAN
Persentase pendapatan
KURVA LORENZ Persentase penduduk
B C
D
Gambar 1: Perkiraan Koefisien Gini
Pada prakteknya, angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pandapatan di
kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara
yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik paling merata, berkisar antara 0,20 sampai
0,35. Koefisien Gini merupakan informasi yang bermanfaat untuk menunjukkan tingkat dan peru-
bahan distribusi pendapatan berdasarkan bentuk- bentuk kurva Lorentz yang ada di masa lalu dan saat
ini Todaro, 2000.
Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi economic base theory menyatakan bahwa faktor penentu utama pertum-
buhan ekonomi suatu daerah adalah berkaitan
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... Kusumantoro : 104 – 113
108
dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah, seperti penggunaan sumber daya lokal yakni
tenaga kerja dan bahan baku yang menghasilkan kekayaan daerah dan dapat menciptakan peluang
kerja job creation. Teori basis ekonomi dapat juga digunakan untuk mengidentifikasikan dan menentu-
kan apakah suatu sektor atau industri merupakan sektorindustri basic atau non basic. Untuk menen-
tukan suatu sektor basic atau non basic melalui pendekatan Location Quotient Arsyad, 1999.
Location Quotient LQ adalah teknik yang untuk mengidentifikasi atau mengukur konsentrasi
industri perekonomian lokal dibandingkan dengan perekonomian yang lebih luas. Nilai LQ1 artinya
perekonomian lokal atau daerah mempunyai spe- sialisasi atas industri tersebut dibandingkan pereko-
nomian yang lebih luas. Sebaliknya nilai LQ1 maka suatu daerah tidak memiliki spesialisasi atas suatu
industri Blakely, 2002, Hayter, 2000, Hoover, 1971.
Semakin tinggi permintaan barang dan jasa dari suatu daerah tertentu, maka akan semakin tinggi
pula pendapatan yang diperoleh dari daerah terse- but. Oleh karena itu, setiap daerah harus berusaha
untuk mengembangkan spesialisasinya agar dapat memperoleh pendapatan yang tinggi dari pening-
katan penjualan barang dan jasa ke luar daerah. Selain itu dengan adanya peningkatan permintaan
barang dan jasa ini, maka dengan sendirinya setiap daerah akan dapat menciptakan lapangan kerja.
Penelitian Terdahulu
Yunita 2006 melakukan penelitian di Jawa Tengah tentang disparitas industri dengan tahun
pengamatan 2001–2003. Alat analisis yang diguna- kan Indeks Theil, Indeks Spesialisasi Regional dan
Koefisien Lokasi Gini. Hasil penelitiannnya Di Jawa Tengah terjadi ketimpangan tenaga kerja Industri
Manufaktur.
Suharto 2002 melakukan penelitian di Indone- sia tentang disparitas industri dengan tahun
pengamatan 1993–1996. Alat analisis yang diguna- kan Indeks Theil, Indeks Spesialisasi Regional,
Koefisien Lokasi Gini dan koefisien Gini. Hasil penelitiannnya berdasarkan indeks Theil menunjuk-
kan ketimpangan antar pulau utama mendominasi ketimpangan total di Indonesia. Ketimpangan antar
pulau menyumbang rata-rata lebih dari 95. Soepono 2001 melakukan penelitian di Kabu-
paten Badung Provinsi Bali dengan tahun peng- amatan 1999. Alat analisis yang digunakan Location
Quotient. Hasil penelitiannnya dengan menggunakan alat analisis LQ, menunjukkan bahwa hasil yang
diperoleh sektor listrik, gas dan air, bangunan, per- daganganhotel, pengangkutan, keuanganasuransi
dan jasa kemasyarakatan merupakan sektor basis. Sektor pertanian, tambang dan penggalian serta
industri adalah sektor-sektor non basis.
Kerangka Pemikiran
Gambar 2: Kerangka Pemikiran Penelitian METODE PENELITIAN
Jenis Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yang bersumber dari
Laporan Badan Pusat Statistik BPS khususnya data tahun 2001 sampai dengan tahun 2006. Data yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah tenaga kerja, jumlah perusahaan, nilai tambah sektor manufaktur
besar dan sedang KabupatenKota di Jawa Tengah dengan menggunakan data industri manufaktur ISIC
dua digit.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
109 Definisi Operasional Variabel
1. Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terserap oleh industri manufaktur besar dan
sedang dengan pengelompokan ISIC 2 digit. 2. Jumlah perusahaan industri manufaktur adalah
jumlah perusahaan industri manufaktur yang dikelompokkan menurut kelompok industri di
kabupatenkota.
3. Industri manufaktur besar dan sedang adalah industri manufaktur yang memiliki jumlah tenaga
kerja antara 20–99 dan yang lebih besar atau sama dengan 100 orang .
4. Nilai tambah adalah selisih antara nilai output dikurangi nilai input.
Alat Analisis
Alat analisis yang digunakan untuk estimasi dan pengukuran dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Indeks Ketimpangan Regional Indeks Theil Alat analisis ini untuk mengukur ketimpangan
regional antar kabupatenkota pada sektor industri manufaktur di Jawa Tengah. Secara umum diakui
bahwa perdagangan mendorong terjadinya konsen- trasi aktivitas industri manufaktur secara geografis
Kuncoro, 2001. Krugman 1991 juga mengemu- kakan bahwa secara sistematis terjadi pemusatan
aktivitas manufaktur secara spasial, sehingga spe- sialisasi membawa implikasi ketimpangan distribusi
aktivitas manufaktur secara spasial. Untuk mengukur ketimpangan sektor manufaktur pola konsentrasi
regional digunakan indeks ketimpangan Theil dengan rumusan sebagai berikut Kuncoro, 2002: 89
Iy =
∑
= N
1 i
i i
N Y
log Y
3 Di mana:
Iy = Indeks ketimpangan regional untuk seluruh KabupatenKota seluruh Jawa Tengah,
Y
i
= Pangsa penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur KabupatenKota terhadap Ja-
wa Tengah, N = Jumlah KabupatenKota di Jawa Tengah.
Indeks ketimpangan Theil dapat didekomposisi sesuai tujuannya. Dalam kasus ini digunakan untuk
mendeteksi ketimpangan di dalam Karesidenan maupun antar Karesidenan, sehingga indeks dekom-
posisi sebagai berikut:
Iy =
∑ ∑ ∑
= ε
=
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎣ ⎡
+
R 1
r 1
i r
r 1
r 1
r R
1 r
r r
r
N Y
y log
Y y
Y N
N Y
log Y
4 Mudrajad Kuncoro, 2002: 89
Dimana: Yr = Pangsa tenaga kerja semua Kabupaten
kota di dalam Karesidenan Nr = Jumlah Kabupatenkota di dalam Karesi-
denan R =
Jumlah keseluruhan Kabupatenkota di Propinsi Jawa Tengah.
Bagian pertama dalam persamaan 4 bagian kirifirst term, mengukur derajat ketimpangan antar
karesidenan, sedangkan bagian kedua persamaan sebelah kanansecond term mengukur derajat
ketimpangan antar kabupaten di dalam karesidenan. Nilai indeks semakin rendah berarti ketimpangan
yang rendah atau sebaliknya.
a. Indeks Spesialisasi Regional Untuk mengidentifikasi spesialisasi industri
manufaktur besar dan sedang digunakan indeks spesialisasi regional. Indeks ini lazim digunakan
dalam melihat spesialisasi regional. Pada dasarnya indeks ini merupakan alat ukur yang disebut analisis
location quotient LQ. Jika indeks spesialisasi regio- nal nilai lebih dari satu 1, berarti sektor industri
tersebut memiliki daya saing dibanding industri sejenis pada wilayah yang dijadikan pembanding,
misalnya provinsi terhadap negara dan sebagainya. indeks tersebut adalah sebagai berikut:
Rij = [Eij
Σ
i Eij] |
Σ
j Eij
Σ
i
Σ
j Eij 5
Dimana: Rij = Koefisien spesialisasi reigonal;
Eij = Kesempatan kerja di kelompok industri manufaktur i di daerah j;
Σ
i Eij = Total kesempatan kerja sektor manu- faktur di daerah j;
Σ
j Eij = Total kesempatan kerja dikelompok in- dustri manufaktur i di seluruh Jawa
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... Kusumantoro : 104 – 113
110
Tengah.
Σ
i
Σ
j Eij = Total kesempatan kerja sektor manufak- tur di seluruh Jawa Tengah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Disparitas Industri Manufaktur Besar dan Sedang
Tahun 2001 yang menduduki tiga peringkat atas masing-masing kota Semarang 13,58,
kabupaten Kudus 11,71 dan kabupaten Sema- rang 9,20. Tahun 2003, kota Semarang dan
kabupaten Kudus dan Kabupaten Semarang tidak bergeser pada posisinya masing 13,89 dan 12,41
pada peringkat pertama dan kedua. Peringkat ketiga diduduki oleh kabupaten Semarang 8,92.Tahun
2006 posisi tiga besar tidak bergeser dari tahun– tahun sebelumnya masing-masing 12,75, 12,13,
9,97 untuk kota Semarang, kabupaten Kudus, kabupaten Semarang. Gambaran distribusi IBM di
Propinsi Jawa Tengah dilihat dari tenaga kerja dapat dikatakan terkonsentrasi pada tiga kabupatenkota
yaitu kota Semarang, kabupaten Kudus dan kabupaten Semarang gambar 1
Aspek lain untuk melihat distribusi IBM adalah sumbangan nilai tambah value added dari kebe-
radaan sektor manufaktur tersebut. Nilai tambah adalah selisih dari nilai output sektor manufaktur
dikurangi dengan biaya inputnya bahan baku. Ditinjau dari sumbangan nilai tambah sektor manu-
faktur besar dan menengah , juga terjadi pemusatan di daerah-daerah tertentu.
Tahun 2001, tiga besar penyumbang nilai tambah untuk IBM di Propinsi Jawa Tengah adalah
kota Kudus 18,47, kota Semarang 14,90, kabupaten Sragen 14,86. Tahun 2003, ada
perubahan untuk kabupatenkota yang semula nilai tambahnya tertinggi namun secara prosentase
berkurang, yang disebabkan telah diberlakukannya otonomi daerah meskipun tidak semua kabupaten
kota sumbangan nilai tambahnya turun. Hal yang menarik pada tahun 2003, kabupaten Sragen justru
mengalami penurunan nilai tambah yang semula 14,86 menjadi 1,75. Penurunan ini diperoleh dari
sub sektor barang galian bukan logam dan industri kayu, bambu, rotan dan sejenisnya yang mengalami
penurunan drastis. Posisi ketiga kabupaten Sragen yang mengalami penurunan digantikan oleh kabu-
paten Semarang, pada tahun 2006 Kabupaten Kudus mengalami penurunan yang sangat drastis terutama
nilai tambah untuk industri tekstil, pakaian jadi dan kulit. Kabupaten Kudus persentase nilai tambah IBM
menjadi 13,47 menduduki urutan kedua. Urutan pertama, kota Semarang mengalami kenaikan men-
jadi 25,38. Kenaikan nilai tambah kota Semarang disebabkan sub sektor andalan yaitu industri
makanan, minuman, pakaian jadi, dan juga kontribusi industri kertas dan barang dari kertas, percetakan
gambar 2. Kabupaten Kudus dan kota Semarang tampak menonjol dibandingkan kabupatenkota
lainnya.
Distribusi Industri Manufaktur di Jawa Tengah dengan menggunakan Indeks Theil dapat dilihat
pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Indeks Kesenjangan Industri Manufaktur di
Jawa Tengah Tahun
1 Antar
Karesiden 2
Dlm Karesidenan
3 Total
4 Pangsa
5 2001 2,06
0,15 2,21 0,93 2003 2,20
0,18 2,39 0,92 2006 2,03
0,19 2,22 0,91 Sumber: Data sekunder diolah
Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kesen- jangan antar karesidenan lebih dominan, yaitu
menyumbang sekitar 93 dari total kesenjangan dibandingkan kesenjangan dalam karesidenan. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Kuncoro 2002 yang menghasilkan kesimpulan
kesenjangan industri antar pulau di Indonesia lebih tinggi dibandingkan kesenjangan dalam pulau antar
Propinsi. Nilai indeks kesenjangan antar karesi- denan berkisar antara 2,03 sampai dengan 2,20.
Kesenjangan antar karesidenan yang besar, merupa- kan indikasi terkonsentrasinya aktivitas manufaktur di
karesidenan–karesidenan tertentu.
Berdasarkan nilai indeks Theil, untuk kesen- jangan dalam karesidenan tabel 2, karesidenan
Semarang mempunyai nilai terbesar dibandingkan karesidenan lainnya. Hal ini disebabkan Kabupaten
kota yang berada di karesiden Semarang dilihat pangsa distribusi tenaga kerja industri mafaktur
terhadap total tenaga kerja industri manufaktur Jawa Tengah telah terjadi kesenjangan.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
111
Kabupaten Kota
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15 16
2001 2003
2006
Prosentase
Sumber : BPS, Survey IBM, diolah
Gambar 1. Distribusi IBM Menurut Tenaga Kerja di Propinsi Jawa Tengah 2001 - 2006
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15 16
17 18
19 20
21 22
23 24
25 26
27 28
Kabupaten Kota P
ro s
e n
ta s
e
2001 2003
2006
Sumber : BPS, Survey IBM, data diolah
Gambar 2 Distribusi IBM Menurut Nilai tambah di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 - 2006
Disparitas dan Spesialisasi Industri Manufaktur... Kusumantoro : 104 – 113
112 Spesialisasi Industri Manufaktur Besar dan
Sedang Spesialisasi industri pada kabupatenkota di
Propinsi Jawa Tengah tahun 2001–2006 dihitung dengan menggunakan indeks spesialisasi regional
seperti pada persamaan-1. Gambaran spesialisasi industri kabupatenkota menunjukkan di mana
aktivitas ekonomi yang menonjol dari sudut tenaga kerja didominasi oleh industri makanan, minuman
ISIC 15, industri tekstil ISIC 17, industri kayu, barang-barang dari kayu dan anyaman ISIC 20
serta industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia ISIC 24. Hasil penelitian ini sejalan dengan
Kuncoro 2002 bahwa di Jawa Tengah, Semarang Extended Industrial Areas EIA dan Surakarta EIA
memiliki pola struktur industri yang relatif sama. Industri tekstil-pakaian-sepatu dan industri makanan
di kedua daerah ini memainkan peranan penting. Perbedaannya yaitu bahwa pangsa tenaga kerja
industri kayu dan furnitur lebih menonjol di Semarang EIA, sedang pangsa industri kimia lebih substansial
di Surakarta EIA.
Temuan lain dari indeks tersebut adalah masih ada beberapa industri yang sangat jarang sekali
menjadi spesialisasi industri daerah yaitu industri batu bara, pengilangan minyak bumi, nuklir ISIC 23,
logam dasar ISIC 27 dan radio, televisi dan pera- latan komunikasi ISIC 32 dan kendaraan bermotor
ISIC 34.
Tahun 2001 yang menjadi daerah industri adalah kabupaten Kudus, kabupaten Semarang,
kabupaten Karanganyar dan kota Semarang. Kabupaten Kudus mempunyai spesialisasi pada sub
sektor industri tembakau ISIC 16, industri kertas ISIC 21 ,industri penerbitan, percetakan ISIC 22,
dan industri radio, televisi ISIC 32. Sedangkan Kota Semarang mempunyai spesialisasi pada industri
industri penerbitan, percetakan ISIC 22, dan industri logam dasar ISIC 27. Tahun 2003 yang
menjadi daerah industri pertama, kota Semarang dengan spesialisasi pada industri kimia ISIC 24,
industri logam dasar ISIC 27 dan industri barang dari logam ISIC 28, industri pakaian jadi ISIC 18,
industri kulit ISIC 19, industri kertas ISIC 21 dan alat-alat angkutan ISIC 35. Kedua, kabupaten
Kudus dengan spesialisasi pada industri tembakau ISIC 16 dan industri kertas ISIC 21, industri
penerbitan ISIC 22 serta industri radio, televisi ISIC 32. Hal ini karena didukung oleh perusahaan-
perusahaan besar seperti PT Pura Barutama yang bergerak di industri kertas dan percetakan, PT
Djarum Kudus di industri rokok dan Pabrik radio dan televisi yang produknya berlabel Polytron.
Daerah industri berikutnya adalah Kabupaten Sukoharjo memiliki spesialisasi industri tekstil ISIC
17, pakaian jadi ISIC 18 industri kertas ISIC 21 dan industri kimia ISIC 24. Keempat, kabupaten
Semarang dengan spesialisasi pada industri tekstil ISIC 17 dan industri daur ulang ISIC 37. Tahun
2006 untuk spesialisasi di daerah industri selain kabupaten Karanganyar tidak banyak perubahan.
Kabupaten Karanganyar mempunyai spesialisasi pada industri tekstil ISIC 17, industri kimia ISIC 24
pada tahun 2003, industrinya mengalami penurunan dalam hal nilai tambahnya sehingga tidak masuk
kategori daerah industri sesuai kriteria. Hasil pene- muan lainnya adalah spesialisasi daerah industri
yang letaknya berdekatan mempunyai kesamaan.
SIMPULAN
Disparitas industri manufaktur besar dan sedang pada kabupatenkota di Jawa Tengah
menunjukkan ketidakmerataan baik dilihat dari grafis maupun dengan indeks Theil. Hasil identifikasi
spesialisasi industri pada kabupatenkota di Propinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa aktivitas industri
yang menonjol adalah industri makanan, minuman ISIC 15, industri tekstil ISIC 17, industri kayu,
barang-barang dari kayu dan anyaman ISIC 20 serta industri kimia dan barang-barang dari bahan
Tabel 2. Kesenjangan Industri Manufaktur dalam Karesidenan
Tahun Banyumas Kedu Surakarta Pati Semarang Pekalongan
2001 0,0046 0,0064 0,0313 0,0435 0,0576 0,0099 2003 0,0064 0,0054 0,0325 0,0480 0,0545 0,0348
2005 0,0064 0,0035 0,0278 0,0462 0,0599 0,0412 Sumber: Data sekunder diolah
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, Septermber 2009
113
kimia ISIC 24. Spesialisasi industri di daerah industri yang lokasinya berdekatan mempunyai
kesamaan spesialisasi. Kota Semarang dan sekitar- nya Kabupaten Semarang dan Kudus mempunyai
spesialisasi industri pakaian jadi ISIC 18 dan penerbitan, percetakan ISIC 22. Kota Surakarta
sekitarnya Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar mempunyai spesialisasi industri tekstil
ISIC 17, pakaian jadi ISIC 18 dan kimia ISIC 24.
DAFTAR PUSTAKA Ardani, Amirudin, 1992, Analysis of Regional Growth
and Disparity: The Impact Analysis of the Inpres Project on Indonesian Development, Diserta-
tion, Unpublised, The Faculty of The University of Pennsylvania.
Arsyad, Lincolin, 1999, Pengantar Perencanaan dan
Pembangunan Ekonomi Daerah, Yogyakarta: BPFE
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2001– 2006, Survey Industri Besar dan Menengah
tahunan. Blakely, Edward, 2002, Planning Local Economic
Development Theory and Practice, New Delhi: Sage Publication
Dumairy, 1996, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Erlangga
Hayter, Roger, 2000, The Dynamics of Industrial Location: The Factory, The Firm and The
Production System, Chichester: John Wiley Son.
Hoover, Edgar, M, 1971, “An Introduction to Regional Economics, New York: Alfred A, Knopf, Inc.
Isard, W, 1975, Introduction to Regional Science, Prentice- Hall, inc. Englewood, New Jersey
Krugman, P, 1980, “Scale Economies, Product Diffe- rentiation and The Pattern of Trade”, American
Economic Review, 70, 950–9. Krugman, P, 1991, Geography and Trade, Mass,
Cambridge: MIT Press. Kuncoro, ,M , 2002, Analisis Spasial dan Regional ,
Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia, Yogyakarta: AMP YKPN
Syafrizal, 1997, “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketim- pangan Regional Wilayah Indonesia Bagian
Barat ”, Prisma, 3 Maret. Shields, Martin, 2003, “Tool 3 Use Location Quo-
tients to Identify Local Strengths, Opportunities and industry Clusters“ Cardi Cornell.
www.cardi.cornelll.edu.
Suharto, 2002, “Disparitas dan Pola Spesialisasi Kesempatan Kerja Industri Manufaktur Regional
Indonesia”, Tesis, Program Studi IESP PPS- UGM Yogyakarta, Tidak dipublikasikan.
Todaro, Michael P, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga.
Theil, Henry, 1967, Economic sand Information Theory, Amsterdam: North Holland Publishing
Company. Tulus T H Tambunan, 2001, Transformasi Ekonomi
di Indonesia, Teori dan Penemuan Empiris, Jakarta: Salemba Empat.
Yunita, Vina, 2006, “Disparitas dan Pola Spesialisasi Kesempatan Kerja Industri Manufaktur di Jawa
Tengah”, Skripsi, STIE Stikubank, Semarang, Tidak dipublikasikan.
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… Ma’ruf : 114 – 125
114
ANATOMI MAKRO EKONOMI REGIONAL: STUDI KASUS PROVINSI DIY
Ahmad Ma’ruf Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
email: macrov_jogjayahoo.com
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the level of economic growth, a description of the structure of regional economy, and analysis of economic sectors of potential, the level of investment and economic
stability in DIY Yogyakarta as Special Region. The results of this study can be used as input and evaluation of regional development planning. The data used in the form of secondary data are analyzed
by descriptive statistics and quantitative analysis. Analysis tool with the Shift Share Analysis SS, Analysis of Location Quotient LQ which consists of the static location quotient SLQ and dynamic
location quotient DLQ, and analysis of Incremental Capital Output Ratio ICOR. The study concludes DIY macroeconomic dynamics is in line with the national economic pattern, economic growth, inflation,
investment, exports and imports and consumption. Sectors that have the largest contribution are trade, hotels and restaurants, whereas the potential to be developed is the agricultural sector, processing
industries and services.
Keywords: economic growth, potential sectors, economic stability. PENDAHULUAN
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan yang mengarah ke
desentralisasi, maka proses pembangunan di daerah hendaknya disesuaikan dengan potensi, kondisi dan
kemampuan masing-masing daerah, di samping tidak terlepas dari kondisi makro ekonomi nasional
dan dinamika ekonomi internasional. Potensi, kondisi dan kemampuan ekonomi regional untuk perenca-
naan pembangunan dapat dipetakan melalui analisis kondisi makro ekonomi dan proyeksinya di masa
datang.
Pokok masalahnya adalah bahwa telaah atas keseluruhan aspek anatomi makro ekonomi dapat
menunjukkan seberapa jauh keberhasilan pemba- ngunan ekonomi di suatu daerah, dalam studi ini
mengambil kasus Provinsi DIY. Pemahaman atas kondisi makro ekonomi tersebut secara mendalam
dapat digunakan sebagai referensi kebijakan pemba- ngunan suatu daerah. Beberapa indikator yang
digunakan dalam telaah ini antara lain: pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto PDRB baik dari sisi produksi maupun pengeluaran; pergeseran struktur
ekonomi daerah dan perkembangan investasi. Sementara itu, untuk mengetahui kondisi stabilitas
perekonomian daerah digunakan perkembangan laju inflasi.
Maksud dari analisis anatomi makro ekonomi regional, studi kasus di Provinsi DIY ini adalah untuk
mengetahui deskripsi ekonomi DIY secara makro yang dapat digunakan sebagai input dalam perenca-
naan pembangunan daerah. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi,
deskripsi struktur perekonomian daerah, dan analisis sektor-sektor ekonomi yang potensial, tingkat inves-
tasi dan kondisi stabilitas perekonomian di DIY.
LANDASAN TEORI Teori Pertumbuhan Adam Smith
Adam Smith menjelaskan proses pertumbuhan ekonomi berdasarkan penentu utamanya yaitu per-
tumbuhan keluaran produksi total. Sistem produksi dibagi menjadi tiga bagian yaitu; sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan stok kapital. Sumber da- ya alam yang tersedia merupakan wadah mendasar
dari kegiatan produksi. Sementara itu, sumber daya manusia dianggap sebagai unsur yang pasif. Jumlah
penduduk akan menyesuaikan diri dengan kebutuh- an akan tenaga kerja yang ada. Berapa pun jumlah
tenaga kerja yang diperlukan dalam proses produksi
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
115
akan tersedia melalui proses peningkatan atau penu- runan jumlah penduduk. Sementara itu, stok kapital
bersifat aktif dalam menentukan tingkat keluaran produksi.
Selanjutnya, peranan akumulasi kapital dalam proses pertumbuhan dijelaskan melalui teori spesia-
lisasi dan pembagian kerja. Smith berpendapat bahwa stok kapital K mempunyai dua pengaruh
terhadap tingkat keluaran produksi total Q. Penga- ruh pertama, pengaruh langsung yaitu K mempenga-
ruhi Q secara langsung karena pertambahan K yang diikuti pertambahan tenaga kerja akan meningkatkan
Q. Pengaruh kedua, pengaruh tidak langsung berupa peningkatan produktivitas per kapita melalui tingkat
spesialisasi dan pembagian kerja yang lebih tinggi. Semakin besar stok kapital, semakin besar kemung-
kinan dilakukannya spesialisasi dan pembagian kerja sehingga produktivitas per pekerja pun semakin
meningkat.
Teori Pertumbuhan David Ricardo
Beberapa asumsi yang digunakan Ricardo untuk menjelaskan teorinya adalah jumlah faktor
produksi tanah tidak bisa bertambah terbatas jumlahnya. Peningkatan penurunan tenaga kerja
ditentukan oleh tinggi-rendahnya upah minimal atau tingkat upah alamiah natural wage. Akumulasi
kapital terjadi apabila tingkat keuntungan yang diper- oleh pemilik kapital berada di atas tingkat keun-
tungan minimal. Adanya kemajuan teknologi. Sektor pertanian menjadi sektor dominan.
Ketersediaan jumlah tanah yang terbatas ber- akibat pada menurunnya produk marginal yang
dihasilkan oleh masyarakat sebagai salah satu masukan produksi. Konsep ini disebut sebagai law
of diminishing return. Tingkat keluaran produksi ditentukan oleh jumlah faktor produksi yang tersedia
yakni K
, L , dan T
. Kemajuan teknologi dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja maupun
produktivitas kapital. Kemajuan teknologi merupakan cara untuk menghambat law of diminishing return.
Teori Pertumbuhan Schumpeter
Schumpeter berpendapat bahwa penggerak perkembangan ekonomi adalah suatu proses yang
dikenal dengan istilah inovasi. Terdapat perbedaan pengertian antara pertumbuhan ekonomi dan
pengembangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan keluaran produksi masya-
rakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi masyarakat tanpa adanya perubahan teknologi. Perkembangan ekonomi merupakan
kenaikan keluaran produksi yang disebabkan oleh adanya inovasi yang dilakukan oleh para wiraswasta.
Inovasi menyangkut perbaikan kualitatif dari sistem ekonomi yang mencakup penemuan produk baru dan
pembukaan pasar baru.
Inovasi mempunyai tiga aspek penting, yaitu diperkenalkannya teknologi baru; inovasi menimbul-
kan keuntungan lebih yang merupakan sumber dana penting bagi akumulasi kapital; inovasi akan diikuti
oleh adanya proses imitasi yaitu adanya pengusaha- pengusaha yang meniru teknologi baru yang diper-
kenalkan. Selain itu, ada lima macam kegiatan yang dapat digolongkan sebagai inovasi, yaitu: diperkenal-
kannya produk baru yang sebelumnya tidak ada; diperkenalkannya cara berproduksi baru; pembukaan
daerah-daerah pasar baru; penemuan sumber-sum- ber bahan mentah baru; dan perubahan organisasi
industri yang dapat meningkatkan efisiensi industri.
Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Setiap perekonomian perlu mencadangkan sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk
menambah atau menggantikan barang-barang modal yang telah mengalami penyusutan atau kerusakan.
Untuk memahami pentingnya peran cadangan modal digunakan analisis rasio keluaran terhadap kapital
Capital-output ratio. Capital-output ratio diasumsi- kan sebagai k, national saving ratio sebagai s yang
merupakan presentase dari keluaran nasional yang ditabung. Jumlah investasi dapat ditentukan oleh
jumlah tabungan total S. Dari beberapa asumsi tersebut disusun sebuah model pertumbuhan eko-
nomi sebagai berikut: S=sY dan I=
∆K. Di mana tabungan nasional jumlah tertentu s, pendapatan
nasional Y, dan perubahan stok modal ∆K.
Karena KY=k atau ∆K∆Y=k adalah Incremental
Capital Output Ratio ICOR maka, ∆K=k∆Y.
Hubungan antara K stok kapital dan Y keluaran potensial adalah proposional. Apabila
dalam suatu tahun terdapat investasi sebesar I maka
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… Ma’ruf : 114 – 125
116
stok kapital pada akhir tahun tersebut akan bertam- bah sebesar
ΔK=I. Penambahan kapasitas ini akan meningkatkan keluaran produksi potensial sebesar
ΔY=1k . ΔK=1k.I. Persamaan tersebut merupakan versi sederhana dari teori pertumbuhan ekonomi
Harrod-Domar yang menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan GNP
∆YY ditentukan oleh national saving ratio s dan capital output ratio k. Persama-
an tersebut menyatakan bahwa tanpa adanya inter- vensi pemerintah, tingkat pertumbuhan pendapatan
nasional akan berbanding lurus dengan rasio tabungan dan berbanding terbalik dengan capital-
output ratio dari suatu perekonomian.
Teori Pertumbuhan Solow-Swan
Pemikiran tentang fungsi produksi yang dikembangkan oleh Solow–Swan merupakan bentuk
pemikiran aliran Neoklasik. Dalam modelpemikiran tersebut mengasumsikan adanya constant return to
scale, diminishing return untuk masing-masing masukan produksi dan adanya elastisitas substitusi
antar masukan produksi. Investasi dan pertumbuhan penduduk tidak dapat, dengan sendirinya, mening-
katkan pertumbuhan pendapatan per kapita secara berkelanjutan. Adanya faktor penemuan teknologi
baru yang dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Perkembangan teknologi tersebut berasal dari
luar model sehingga teori Solow–Swan dikenal dengan exogeneous growth model.
Dengan mengabaikan adanya teknologi, bentuk fungsi produksi adalah sebagai berikut Y=F K, L.
Fungsi produksi tersebut disebut Neoklasikal apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu: semua K0 dan L0, F
K,L adalah positif, dan menganut diminishing marginal products terhadap masing-masing masukan
produksi. Fungsi produksi sederhana yang dianggap representatif menggambarkan kondisi aktual pereko-
nomian adalah fungsi produksi Cobb–Douglas dengan spesifikasi sebagai berikut: Y=AK
α
L
1- α
Dimana A0 merupakan level teknologi dan α
merupakan konstanta dengan 0 α1.
Teori Pertumbuhan Endogeneous
Pemikir teori ini adalah Lucas-Romer. Lucas dan Romer tidak puas dengan teori dan penjelasan
Solow–Swan mengenai kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Lucas dan Romer,
inovasi teknologi merupakan akumulasi dari penge- tahuan. Akumulasi pengetahuan ini kemudian terang-
kum dalam human capital. Teori baru ini dikenal dengan endogeneous growth theory.
Baik teori exogeneous maupun endogeneous menyetujui bahwa pada titik waktu tertentu, dengan
adanya kemajuan teknologi, keluaran produksi sangat terkait dengan masukan produksi dalam
suatu fungsi produksi. Aspek penting dalam teori ini adalah tidak adanya diminishing return of capital.
Spesifikasi fungsi produksinya adalah sebagai beri- kut: Y=AK. Di mana K merupakan konstanta positif
level teknologi. Tidak adanya konsep diminishing return ini memang tidak realistik. Hal tersebut
menjadi mungkin jika diasumsikan K ke dalam konsep human capital. Keluaran produksi per kapita
adalah sebesar y=Ak, nilai rata-rata dan marginal dari kapital adalah konstan pada level A0.
Endogeneous growth theory merumuskan bahwa rata-rata pertumbuhan ditentukan atau berasal dari
ekuilibrium yang tercipta dari dalam model. Selain itu, teori ini juga berusaha menangkap adanya kemajuan
teknologi ke dalam model, menganggapnya sebagai faktor endogen.
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam studi anatomi makro ekonomi regional, studi kasus Provinsi DIY ini
adalah data sekunder, khususnya yang bersumber dari Bapeda Provinsi DIY, BPS Provinsi DIY dan
Bank Indonesia Yogyakarta. Periode data yang digunakan sebagai deskripsi makro ekonomi Provinsi
DIY yaitu tahun 2003–2008. Data sekunder meliputi data-data ekonomi makro dan keuangan Provinsi
DIY.
Analisis Shift Share SS
Tujuan analisis SS adalah untuk menentukan kinerja atau produktifitas kerja perekonomian daerah
dibandingkan dengan perekonomian nasional. Teknik ini membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor
di daerah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya, dan mengamati
penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan yang dilakukan. Bila penyimpangannya positif, maka
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
117
suatu sektor dalam daerah memiliki keunggulan kompetitif.
Analisis SS memberikan data tentang kinerja perekonomian dalam tiga bidang yang berhubungan
satu sama lain yaitu membagi pertumbuhan sebagai perubahan D suatu variabel daerah, pendapatan
atau output selama kurun waktu tertentu menjadi pengaruh: pertumbuhan nasional N, bauran
industriindustri mix M dan keunggulan kompetitif C. Dengan demikian pengaruh pertumbuhan
nasional disebut pengaruh pangsa share, pengaruh bauran industriindustri mix disebut proporsional shift
dan pengaruh keunggulan kompetitif disebut regional share atau differential shift. Sedangkan, bentuk
umum persamaan dari komponen-komponen Shift- Share sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo,
1993 adalah sebagai berikut; untuk industri atau sektor i di wilayah j yaitu:
D
ij
= N
ij
+ M
ij
+ C
ij
Jika analisis ini ditetapkan dengan menggunakan sektor ekonomilapangan usaha, maka:
D
ij
= E
ij
– E
ij,
N
ij
= E
ij
r
n
M
ij
= E
ij
r
in
– r
n
C
ij
= E
ij
r
ij
– r
in
Di mana r
ij
, r
in
dan r
n
mewakili laju pertumbuhan daerah dan laju pertumbuhan nasional, E
ij
=PDRB sektor i di wilayah j, E
in
=PDB sektor i di tingkat nasional dan E
n
=PDB Nasional. Kesemuanya diukur menurut tahun dasar, sedangkan tanda superscript
menunjukkan keluaran produksi pada tahun akhir analisis.
Analisis Location Quotient SLQ dan DLQ
Metode location quotient LQ dibedakan men- jadi dua, yaitu: static location quotient SLQ sering
disebut LQ dan dynamic location quotient DLQ. Menurut Kadariah 1985, dasar pemikiran dari
penggunaan teknik LQ yang dilandasi teori ekonomi basis mempunyai makna sebagai berikut. Karena,
industri basis itu menghasilkan barang dan jasa baik untuk pasar di daerah maupun untuk pasar di luar
daerah, maka penjualan hasil ke luar daerah akan mendatangkan pendapatan ke dalam daerah itu.
Arus pendapatan itu menyebabkan kenaikan kon- sumsi maupun investasi, yang pada akhirnya me-
naikkan pendapatan daerah dan kesempatan kerja.
SLQ dirumuskan sebagai berikut: Qn
Qi qr
qi SLQ
= di mana:
SLQ
j
Qi qi
Qn qr
= =
= =
= Koefisien Static Location Quotient
Keluaran sektor i nasional Keluaran sektor i regional Provinsi DIY
Keluaran total nasional Keluaran total regional Provinsi DIY
Berdasarkan formula di atas dapat dijelaskan bahwa jika koefisien LQ1, maka sektor tersebut
cenderung akan mengekspor keluaran produksinya ke wilayah lain, atau mungkin ekspor ke luar negeri.
Sedangkan jika nilai koefisien LQ1, ini berarti sektor tersebut cenderung mengimpor dari wilayah lain atau
dari luar negeri.
Dynamic Location Quotient DLQ adalah modi-
fikasi dari SLQ, dengan mengakomodasi faktor laju pertumbuhan keluaran sektor ekonomi dari waktu ke
waktu. Nilai DLQ dihitung menggunakan rumus sebagai berikut dimodifikasi dari Saharuddin, 2006:
i ij
t i
j ij
ij
IPPS IPPS
G 1
G 1
g 1
g 1
DLQ =
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
+ +
+ +
= Di mana :
DLQ
ij
g
ij
g
j
Gi G
t IPPS
ij
IPPS
i
= =
= =
= =
= =
Indeks potensi sektor i di regional Laju pertumbuhan sektor i di regional
Rata-rata laju pertumbuhan sektor di regional
Laju pertumbuhan sektor i di nasional Rata-rata laju pertumbuhan sektor di
nasional Selisih tahun akhir dan tahun awal
Indeks Potensi Pengembangan sektor i di regional
Indeks Potensi Pengembangan sektor i di nasional
Nilai DLQ yang dihasilkan dapat diartikan seba- gai berikut: jika DLQ1, maka potensi perkembangan
sektor i di suatu regional lebih cepat dibandingkan sektor yang sama di nasional. Namun, jika DLQ1,
maka potensi perkembangan sektor i di regional lebih
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… Ma’ruf : 114 – 125
118
rendah dibandingkan nasional secara keseluruhan. Gabungan antara nilai SLQ dan DLQ dijadikan kri-
teria dalam menentukan apakah sektor ekonomi tersebut tergolong unggulan, prospektif, andalan, dan
kurang prospektif.
Incremental Capital Output Ratio ICOR
Nilai Incremental Capital Output Ratio ICOR mengindikasikan seberapa besar penggunaan tam-
bahan modal atau investasi untuk menghasilkan output
atau keluaran perekonomian, sehingga angka ICOR dapat dijadikan indikator efektivitas tambahan
modal atau investasi. Sebagai petunjuk dapat digunakan pedoman umum bahwa semakin tinggi
angka ICOR, maka semakin tidak efisien penggu- naan tambahan modalinvestasi tersebut. Formula
perhitungan ICOR adalah sebagai berikut:
PDRB 100
. PDRB
I ICOR
Δ =
HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Makro Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu aspek dalam manajemen makro ekonomi. Penca-
paian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terus- menerus merupakan kondisi ideal yang diharapkan
semua pelaku ekonomi. Kondisi ekonomi bersifat fluktuatif sehingga semua pelaku ekonomi terutama
pemerintah perlu melakukan berbagai antisipasi melalui kebijakan fiskal dan moneter.
Dinamika perekonomian Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ekonomi global serta
berbagai kemajuan dalam perbaikan, iklim investasi, infrastruktur, produktivitas dan daya saing sisi
penawaran dalam negeri. Berbagai fenomena yang berasal dari luar negeri selain berdampak pada pere-
konomian Indonesia juga berdampak pada pereko- nomian daerah Provinsi DIY. Dilihat dari pola perge-
rakan pertumbuhan ekonomi antara Indonesia dan Provinsi DIY mengindikasikan arah yang sama. Hal
ini akan menjadi salah satu sinyal bagi Provinsi DIY untuk melakukan antisipasi apabila kondisi ekonomi
nasional Indonesia pada situasi yang kurang stabil atau kurang kondusif.
Selama tahun 2005–2008, pertumbuhan ekono- mi Indonesia dan Provinsi DIY cenderung fluktuatif.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi dan teren- dah masing-masing adalah sebesar 6,28 2007
dan 5,5 2006. Sementara itu, pertumbuhan eko- nomi Provinsi DIY tertinggi dan terendah masing-
masing yaitu 5,2 2008 dan 3,7 2006.
Nilai PDRB riil DIY selama tahun 2005-2008 cenderung meningkat. Nilai PDRB tertinggi dan
terendah masing-masing sebesar Rp19.209.746 juta 2008 dan Rp16.910.877 juta 2005. Pada periode
tersebut sektor ekonomi yang mempunyai nilai PDRB tertinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan res-
toran. Sementara itu, sektor ekonomi yang mempu- nyai nilai PDRB terendah adalah sektor penggalian.
Kecenderungan kenaikan nilai PDRB Provinsi DIY lebih ditopang oleh empat sektor ekonomi utama,
yaitu: sektor perdagangan-hotel-restoran, pertanian, jasa-jasa dan industri pengolahan.
Pertumbuhan PDRB sektoral Provinsi DIY berdasarkan lapangan usaha selama tahun 2005–
2008 tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sektor konstruksi sebesar 13,28. Pada tahun 2008,
pertumbuhan sektor konstruksi menunjukkan arah yang berkebalikan -3,45. Kondisi ini cukup realistis
karena pada tahun 2006 di Provinsi DIY terjadi peningkatan aktivitas yang cukup signifikan untuk
membangun dan memperbaiki infrastruktur, terutama rumah penduduk dan perkantoran, sebagai akibat
gempa bumi. Aktivitas tersebut pada tahun 2008 sudah tidak ada lagi sehingga pertumbuhan sektor
konstruksi cenderung minus.
Secara keseluruhan perekonomian DIY ber- kembang menuju kondisi yang lebih baik meskipun
masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang bersumber baik dari sisi eksternal dan internal.
Dari sisi eksternal, pengaruh krisis global mulai terasa dampaknya terhadap kinerja ekspor DIY yang
terindikasi dari berkurangnya order komoditas ekspor dari DIY yang berampak pada pengurangan tenaga
kerja Bank Indonesia Yogyakarta, 2009.
Sementara itu, sektor industri pengolahan mem- punyai nilai tambah riil sebesar Rp2.566 miliar,
tumbuh 1,52, cenderung melambat dibandingkan dengan tahun 2007 1,89. Penyebab perlambatan
pertumbuhan sektor ini adalah naiknya harga produk sebagai implikasi kenaikan harga bahan baku
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
119
industri seperti kedelai, tepung terigu, minyak goreng dan bahan baku susu sehingga sebagian produsen
menaikkan harga jualnya. Selain itu juga mulai dira- sakannya dampak krisis global memasuki paruh
kedua tahun 2008 yang telah menyebabkan penu- runan nilai ekspor dari DIY. Namun demikian, kredit
perbankan kepada industri pengolahan meningkat menjadi Rp757,92 miliar 12,34 dibandingkan
tahun 2007 yaitu sebesar Rp676,45 miliar.
Nilai tambah sektor pengangkutan dan komu- nikasi mencapai Rp1.999 miliar pada tahun 2008,
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Andil sektor ini terhadap pertumbuhan naik dari
0,65 menjadi 0,68. Nilai tambah di sektor ini teru- tama berasal dari nilai tambah di subsektor trans-
portasi searah dengan sektor bangunan yang meng- alami penurunan sebesar 35,21. Hal ini dipra-
kirakan disebabkan oleh masih tingginya suku bunga kredit perbankan.
Kegiatan investasi ada kecenderungan kenaik- an realisasi maupun rencana investasi yang mencer-
minkan bahwa prospek perekonomian DIY yang positif. Industri yang paling diminati adalah industri
tekstil dan makanan. Peringkat berikutnya adalah sektor perhotelan dengan pangsa sebesar 35,64,
sektor jasa lainnya sebesar 14,61, sektor pengang- kutan sebesar 2,01, sektor pertanian, kehutanan
dan perikanan sebesar 1,48. Secara umum, minat investor lebih tertuju pada sektor-sektor unggulan di
DIY yang merefleksikan struktur PDRB.
Perkembangan perekonomian nasional dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kinerja yang
semakin baik meski masih dibayangi oleh ketidak- pastian harga komoditi internasional, gejolak harga
minyak mentah dunia, dan dampak krisis subprime mortgage
Departemen Keuangan RI 2009. Faktor internal yang menjadi tantangan pokok dalam tahun
2009 antara lain: 1 masih relatif tingginya penduduk miskin; 2 terbatasnya akses dan dana dalam sistem
perlindungan sosial bagi masyarakat miskin; 3 relatif rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan
masyarakat; dan 4 masih lemahnya daya tarik investasi dan sektor riil.
Secara tidak langsung, kondisi ekonomi terkini Indonesia dimungkinkan berdampak pada perankon-
tribusi ekonomi sektoral Provinsi DIY. Ada empat sektor utama penyumbang PDRB Provinsi DIY, yaitu:
sektor perdagangan-hotel-restoran, pertanian, jasa- jasa dan industri pengolahan. Kontribusi keempat
sektor utama tersebut masing-masing adalah 20,36-20,50 sektor perdagangan, hotel dan
restoran, 18,22-18,86 sektor pertanian, 16,79-16,91 sektor jasa-jasa dan 13,82-
14,57 sektor industri pengolahan. Sementara sektor yang mempunyai kontribusi relatif rendah
adalah sektor listrik dan air bersih 0,87–0,93 dan sektor penggalian 0,70–0,76.
Dari sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh konsumsi baik
konsumsi rumah tangga maupun konsumsi peme- rintah, dan investasi. Hal ini tercermin dari nilai
komponen konsumsi rumah tangga yang meningkat dari Rp8.132 miliar pada tahun 2007 menjadi
Rp8.397 pada tahun laporan atau tumbuh 3,25
Tabel 1. Kontribusi PDRB Sektoral Provinsi DIY berdasarkan Lapangan Usaha Harga Konstan 2000, 2005–2008
Lapangan Usaha 2005
2006 2007
2008 1.
Pertanian 18,84 18,86 18,22 18,74
2. Penggalian
0,72 0,72 0,76 0,70 3. Industri Pengolahan
14,57 14,15
13,82 13,83
4. Listrik Air Bersih 0,91
0,87 0,91
0,93 5.
Konstruksi 8,25 9,01 9,47 8,71
6. Perdagangan, Hotel Restoran 20,37
20,36 20,50
20,38 7. Pengangkutan Komunikasi
9,90 10,05
10,25 10,38
8. Keu, Real Estat Jasa Perusahaan 9,60
9,08 9,27
9,54 9.
Jasa-Jasa 16,85 16,91 16,80 16,79
PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS Provinsi DIY dan Bapeda Provinsi DIY, Beberapa tahun diolah.
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… Ma’ruf : 114 – 125
120
dengan andil terhadap angka pertumbuhan 1,45. Faktor yang mempengaruhi peningkatan konsumsi
rumah tangga antara lain adalah peningkatan daya beli dan masih tingginya dukungan pembiayaan
konsumsi.
Investasi tumbuh 4,27 yang dipengaruhi oleh permintaan dalam negeri yang masih cukup kuat dan
masih kuatnya permintaan luar negeri. Sementara itu, dilihat dari strukturnya, komposisi sisi permintaan
PDRB DIY tahun 2008 tidak mengalami banyak perubahan, konsumsi rumah tangga tetap memiliki
pangsa terbesar 43,71, diikuti komponen inves- tasi sebesar 27,13, komponen konsumsi Pemerin-
tah sebesar 19,84 dan komponen lainnya sebesar 9,32.
Pada tahun 2008 nilai riil konsumsi rumah tangga tercatat sebesar Rp 8.397 miliar, atau tumbuh
3,25, lebih tinggi dibandingkan dengan pertum- buhan yang terjadi pada tahun 2007 2,17. Faktor
yang mempengaruhi tingginya konsumsi rumah tangga adalah masih tetap baiknya daya beli searah
dengan peningkatan penghasilan masyarakat, baik karena kenaikan Upah Minimum Provinsi UMP dan
kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil PNS, maupun perbaikan kinerja di sisi sektoral termasuk tercermin
dari peningkatan Nilai Tukar PetaniNTP. Untuk keseluruhan tahun, rata-rata peningkatan NTP 2008
lebih tinggi dari 2007. Beberapa indikator pening- katan konsumsi rumah tangga antara lain tercermin
dari meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor, konsumsi listrik
rumah tangga dan penerimaan pajak pertambahan nilai PPN dan pajak penghasilan PPh. Kenaikan
pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga diikuti oleh kenaikan andilnya terhadap pertumbuhan
PDRB dari 0,98 pada tahun 2007 menjadi 1,45 dalam tahun laporan.
Sementara itu, pangsa konsumsi rumah tangga terhadap total PDRB DIY pada tahun laporan tercatat
sebesar 43,71, lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 44,49. Nilai riil inves-
tasi pembentukan modal tetap domestik bruto PMTDB di DIY pada tahun 2008 tercatat sebesar
Rp5.221 miliar, atau tumbuh 4,27, lebih tinggi dibanding tahun 2007 2,74. Faktor yang mempe-
ngaruhi masih relatif lebih tingginya pertumbuhan investasi di DIY antara lain adalah permintaan dalam
negeri dan luar negeri relatif stabil sampai dengan Triwulan III-2008, walaupun memasuki Triwulan IV-
2008 mulai melambat. Komponen investasi masih memberikan andil
yang cukup tinggi terhadap total pertumbuhan eko- nomi DIY yakni sebesar 1,17, meningkat dibanding
periode sebelumnya. Investasi pada tahun 2008 terutama berasal dari masuknya investor luar negeri
dengan jenis usaha yang dilakukan antara lain; pembangunan instalasi penangkap gas metan dan
pembangunan pabrik pupuk kompos. Perkembangan investasi juga didukung oleh realisasi belanja modal
Pemerintah yang cukup tinggi yaitu sebesar 90,94.
Pada kegiatan ekspor, berdasarkan negara tujuan, Amerika masih menempati peringkat tertinggi
ekspor Indonesia. Ekspor ke Amerika memiliki pang- sa 42 dari dari total ekspor atau senilai US54,71
juta, turun 1,5 dibandingkan periode sebelumnya US55,23 juta. Disusul negara Korea Selatan,
Perancis dan Jepang masing-masing dengan pangsa 6,30 US8,20 juta, 6,11 US7,96 juta dan
5,45 US7,10 juta. Dari tahun ke tahun pangsa ekspor negara Amerika Serikat terus mengalami
penurunan.
Menurut komoditasnya, ekspor pakaian jadi tekstil sebesar US33,89 juta menguasai pangsa
terbesar 26,02 dari total ekspor DIY. Disusul Mebel Kayu dengan nilai US24,28 juta dengan pangsa
18,64 dari total ekspor DIY, selanjutnya sarung tangan kulit US16,93 juta dengan pangsa 13,00
dari total ekspor DIY.
Perkembangan impor DIY pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 18,97 atau men-
capai US50,71 juta dibandingkan periode sebelum- nya sebesar US42,62 juta. Peningkatan nilai impor
ini terutama bersumber dari impor mesin foto kopi dengan nilai mencapai US8,012 juta. Secara kese-
luruhan, pangsa komoditas impor terbesar masih berupa mesin 31,11 dengan nilai US15,77 juta,
selanjutnya bahan baku susu 19,76 dengan nilai US10,02 juta, kemudian tekstil berada diposisi
ketiga dengan pangsa 19,14 senilai US9,7 juta.
Perkembangan nilai PDRB Provinsi DIY menu- rut penggunaan diketahui bahwa komponen yang
mempunyai tingkat pertumbuhan tertinggi adalah pengeluaran konsumsi Lembaga Swasta Nirlaba
LSN yang mencapai 20,14 2006, 16,61 2007 dan 15,29 2008. Komponen konsumsi lain yang
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
121
juga relatif besar tingkat pertumbuhannya adalah pengeluaran konsumsi pemerintah yaitu sebesar
7,60 2006, 7,51 2007 dan 11,89 2008. Menurut BI 2009, tingginya peningkatan konsumsi
pemerintah disebabkan oleh penyelesaian pekerjaan restrukturisasi pasca gempa.
Untuk mengetahui peran masing-masing kom- ponen pengeluaran baik PDRB Provinsi DIY dapat
dihitung besarnya tingkat kontribusi masing-masing komponen tersebut. Secara konsisten pengeluaran
konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi yang terbesar terhadap pembentukan PDRB Provinsi DIY.
Pada tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 dengan nilai kontribusi komponen tersebut masing-masing adalah
sebesar 46,41, 45,39, 44,46, dan 44,45. Tiga komponen pengeluaran lain yang juga memberikan
kontribusi cukup tinggi terhadap PDRB Provinsi DIY adalah ekspor-impor barang dan jasa serta PMTDB.
Kontribusi komponen pengeluaran PDRB Provinsi DIY tidak terlalu jauh dengan pengeluaran
PDB Indonesia. Nilai kontribusi komponen penge- luaran konsumsi umah tangga terhadap PDB
Indonesia pada tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 masing-masing, yaitu sebesar 59,62, 58,30,
57,61 dan 57,21. Pola ini sebenarnya sudah menjadi pola tetap dalam pembentukan perekono-
mian Indonesia. Artinya, bahwa perekonomian Indonesia lebih ditopang pada pola perilaku
konsumsi masyarakatnya.
Analisis Shift-Share, SLQ dan DLQ
Kondisi sektoral dalam perekonomian Provinsi DIY dalam studi ini dianalisis dengan menggunakan
tiga metode, yaitu metode Shift-Share SS, Static Location Quotient
SLQ dan Dynamic Location Quotient
DLQ. Hasil analisis shift-share berdasar-
Tabel 2. Kontribusi PDRB Provinsi DIY Berdasarkan Penggunaan Harga Konstan 2000, 2005–2008
Jenis Penggunaan 2005
2006 2007
2008 1. Pengeluaran Konsumsi RT
46,41 45,39
44,46 44,45
2. Pengeluaran Konsumsi LSN 1,45
1,68 1,88
2,06 3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
18,09 18,77
19,34 20,61
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 26,46
27,74 27,32
25,68 5. Perubahan Stok
5,91 7,28
7,90 8,33
6. Ekspor Barang dan Jasa 44,16
41,79 42,05
42,94 7. Dikurangi Impor Barang dan Jasa
42,47 42,64
42,95 44,06
PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS Provinsi DIY dan Bapeda Provinsi DIY, Beberapa tahun diolah.
Tabel 3. Nilai Shift-Share, SLQ dan DLQ PDRB Provinsi DIY Tahun 2003–2008
Lapangan Usaha Shift-Share SS
SLQ DLQ
1. Pertanian 2,31
1,29 1,04
2. Penggalian 16,25 0,08
1,71 3. Industri pengolahan
-304,22 0,53
0,66 4. Listrik dan air bersih
-11,15 1,35 0,80
5. Konstruksi 130,63
1,37 1,42
6. Perdagangan, hotel restoran -342,99
1,23 0,73 7. Pengangkutan komunikasi
-528,45 1,65 0,38
8. Keuangan, real estat jasa perusahaan -148,17
1,02 0,74 9. Jasa-jasa
-326,45 1,88 0,69
Sumber: BPS Provinsi DIY 2003–2007; Berita Resmi Statistik BPS Provinsi DIY 2008; Bank Indonesia 2007, diolah.
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… Ma’ruf : 114 – 125
122
kan PDRB Provinsi DIY tahun 2003 - 2008 dapat diketahui bahwa sektor konstruksi, penggalian dan
pertanian relatif lebih kompetitif dibandingkan enam sektor lainnya yang memiliki nilai negatif.
Hasil analisis SLQ, sesuai dengan Tabel-3 di atas, nampak bahwa hanya dua sektor yang bukan
merupakan sektor basis di Provinsi DIY. Dengan nilai SLQ kurang dari 1, yaitu pada sektor penggalian dan
sektor industri pengolahan 0,08 dan 0,53 dapat diartikan bahwa kedua sektor ini relatif kurang ber-
peran dalam perekonomian Provinsi DIY. Sedang- kan, tujuh sektor lain, yaitu: sektor jasa-jasa; peng-
angkutan dan komunikasi; konstruksi; listrik, gas dan air bersih; pertanian; perdagangan, hotel dan res-
toran; dan keuangan, persewaan, dan jasa perusa- haan merupakan sektor basis dalam perekonomian
Provinsi DIY. Nilai SLQ sektor-sektor tersebut menunjukkan bahwa sektor tersebut cenderung
mengekspor produknya ke wilayah lain.
Hasil analisis DLQ berdasarkan PDRB Provinsi DIY periode 2003–2008 menunjukkan hasil yang
sejalan dengan hasil analisis shift-share. Nilai DLQ di atas satu dihasilkan oleh sektor penggalian, kons-
truksi dan pertanian dengan nilai berturut-turut ada- lah 1,71; 1,42; 1,04. Artinya, potensi perkembangan
ketiga sektor tersebut lebih baik dibandingkan sektor yang sama di tingkat nasional.
Penggabungan hasil analisis SLQ dan DLQ dapat menghasilkan pengelompokan sektor-sektor
dalam perekonomian Provinsi DIY ke dalam empat kategori, yaitu unggulan, prospektif, andalan dan
kurang prospektif lihat Tabel-4. Sektor pertanian dan konstruksi merupakan sektor unggulan. Terdapat
lima sektor yang termasuk prospektif yaitu: sektor listrik dan air bersih; perdagangan, hotel restoran;
pengangkutan komunikasi; keuangan, persewaan jasa perusahaan; dan jasa-jasa.
Sebagai sektor andalan adalah sektor pengga- lian. Sementara itu, berdasarkan hasil perhitungan
SLQ dan DLQ, sektor pengolahan merupakan sektor yang kurang prospektif. Namun demikian, ada be-
berapa catatan penting terkait sektor industri pengo- lahan Provinsi DIY yang tidak bisa dikesampingkan,
yaitu: a Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap perekonomian Provinsi DIY terbesar ke
empat setelah sektor perdagangan-hotel-restoran, sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Kontribusi sek-
tor industri pengolahan mencapai rata-rata 14,49 2003–2007 dan Penyerapan tenaga kerja sektor ini
dalam kurun waktu yang sama rata-rata mencapai 13,47 peringkat keempat terbesar.
Perhitungan Tipologi Klasen pada tabel-5, dilakukan dengan mengelompokkan sektor PDRB
dengan melihat proporsi dan pertumbuhan terhadap reratanya. Data yang digunakan adalah rerata dan
proporsi PDRB sektoral dari tahun 2003 sampai 2008. Dari pengelompokan tersebut dapat diperoleh
hasil sebagai berikut: Sektor prima adalah perda- gangan, hotel dan restoran; Sektor potensial adalah
pertanian; industri pengolahan; dan jasa-jasa; Sektor berkembangtumbuh adalah listrik dan air bersih;
konstruksi; pengangkutan komunikasi; dan keu- angan., persewaan jasa perusahaan; dan sektor
terbelakangkurang potensial adalah penggalian.
Tabel 4. Pemetaan Sektor Ekonomi di Provinsi DIY Berdasarkan Analisis SLQ dan DLQ Tahun 2003 – 2008
DLQ 1
1
1 Unggulan:
Pertanian Konstruksi
Prospektif: Listrik air bersih
Perdag., hotel restoran Pengangkutan komunikasi
Keuangan, real estat jasa perush. Jasa-jasa
SLQ
1 Andalan:
Penggalian Kurang Prospektif:
Industri pengolahan
Sumber: Hasil analisis
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
123 Incremental Capital Output Ratio ICOR
Kegiatan investasi di Provinsi DIY terus meningkat. Pada tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008
nilai investasi PMDN dan PMA di Provinsi DIY masing-masing sebesar Rp4,09 triliun, Rp4,02 triliun,
Rp4,08 triliun dan Rp4,22 triliun. Untuk meningkatkan investasi, Pemda DIY berupaya melakukan pembe-
nahan pelayanan sehingga Kota Yogyakarta terma- suk daerah yang iklim investasinya berada di
peringkat atas secara nasional. Sejak tahun 2007 juga dilakukan promosi dengan mengusung slogan
‘Jogja Invest’
guna meningkatkan daya tarik investasi daerah kota Yogyakarta di mata calon investor
domestik maupun asing. Beberapa keunggulan kompetitif yang dimiliki
daerah ini diantaranya: Stabilitas politik dan kea- manan; Kualitas sumber daya manusia yang tinggi,
tercermin dari persentase masyarakan terdidik, tersedianya tenaga kerja terampil dan angka rasio
melek komputer computer literate ratio yang tertinggi di Indonesia; lokasi DIY yang strategis;
biaya produksi rendah dan tingkat upah yang cukup kompetitif; dan Sarana dan prasarana yang memadai
untuk kegiatan investasi.
Pada tahun 2008, jumlah perusahaan yang ber- peran serta dalam PMDN mencapai 115 perusahaan
dengan jumlah tertinggi ada di Kabupaten Sleman sebanyak 50 unit. Kondisi ini membawa konskuensi
pada jumlah penggunaan tenaga kerja baik Indo- nesia TKI maupun asing TKA. Sementara untuk
PMA menurut kabupatenkota pada tahun 2008 ada sebanyak 80 unit dengan jumlah perusahaan terting-
gi di Kabupaten Sleman sebesar 41 perusahaan. Tingginya pertumbuhan investasi juga disertai
oleh perbaikan produktivitas kapital, seperti tercermin pada tren ICOR yang menurun. Kenaikan produk-
tivitas kapital mengindikasikan tingkat imbal hasil dan efisiensi yang semakin baik. Perkembangan nilai
ICOR Provinsi DIY pada tahun 2005–2008 menun- jukkan nilai ICOR yang relatif tinggi yaitu pada
kisaran 5,12–7,78. Nilai ICOR tertinggi dan terendah terjadi pada tahun 2006 dan 2008 masing-masing
sebesar 7,78 dan 5,12. Sementara itu, perkem- bangan ICOR Indonesia cenderung lebih rendah
dibanding propinsi DIY. Pada tahun 2005–2008 nilai ICOR nasional tertinggi dan terendah masing-masing
yaitu sebesar 3,97 2006 dan 3,58 2007.
Stabilitas Ekonomi
Perkambangan inflasi Indonesia dan Provinsi DIY pada tahun 2005–2008. Dilihat dari pergerakan
datanya dapat diketahui bahwa tidak selalu tingkat inflasi Provinsi DIY di atas tingkat inflasi Indonesia.
Sebagai contoh tingkat inflasi Provinsi DIY dan Indonesia pada tahun 2005 dan 2008 masing-masing
adalah sebesar 14,98 DIY dan 17,11 Indo- nesia; 9,88 DIY dan 11,4 Indonesia. Artinya
kondisi perekonomian di Propinsi DIY lebih setabil dibanding perekonomian nasional.
Perkembangan harga-harga barang dan jasa secara umum di Kota Yogyakarta pada tahun 2008
relatif terkendali. Faktor penyebab utamanya antara lain adalah kenaikan harga minyak dunia yang diikuti
dengan kenaikan harga BBM di dalam negeri dan kenaikan harga beberapa komoditas bahan pangan
maupun non pangan dunia yang imbasnya juga dirasakan di dalam negeri. Berdasarkan kelompok
Tabel 5. Tipologi Klasen Ekonomi Provinsi DIY
Rerata Kontribusi Sektoral thd PDRB
Rerata Laju Pertumbuhan Sektoral
Y
SEKTOR
≥ Y
PDRB
Y
SEKTOR
Y
PDRB
r
SEKTOR
≥ r
PDRB
Sektor prima: Perdagangan, hotel dan restoran
Sektor berkembang: Listrik dan air bersih; konstruksi;
pengangkutankomunkasi; keu,real estat jasa perushn
r
SEKTOR
r
PDRB
Sektor potensial: Pertanian, industri pengolahan, jasa-
jasa Sektor kurang optimal:
Penggalian Sumber: Hasil analisis
Anatomi Ekonomi Makro Regional,… Ma’ruf : 114 – 125
124
barang dan jasa, kelompok bahan makanan meng- alami perubahan indeks tertinggi, yakni sebesar
14,87 diikuti oleh kelompok perumahan, air, listrik, gas bahan bakar sebesar 13,60. Selanjutnya
kelompok makanan jadi, minuman, rokok temba- kau mengalami perubahan indeks sebesar 9,40,
kelompok sandang sebesar 8,36, kelompok kese- hatan sebesar 8,23, kelompok pendidikan, rekreasi
olahraga sebesar 5,77 dan kelompok transpor, komunikasi jasa keuangan sebesar 2,97.
SIMPULAN DAN SARAN
Anatomi makro ekonomi regional merupakan salah satu instrumen untuk rencana pengembangan
dan arah kebijakan ekonomi daerah. Semakin komprehensif informasi untuk perencanaan ekonomi
daerah diharapkan akan menciptakan kebijakan yang lebih kredibel. Dengan mengacu pada hasil analisis
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dinamika pertumbuhan ekonomi DIY sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, namun
tingkat pertumbuhannya dalam lima tahun ter- akhir selalu di bawah pertumbuhan nasional,
dengan rentang pertumbuhan antara 3,70 hingga 5,02.
2. Sektor-sektor yang mempunyai kontribusi terbe- sar bagi perekonomian DIY adalah sektor perda-
gangan, hotel dan restoran 20,87 dan 21,33 serta sektor pertanian 18,07 dan
18,17.
3. Dari perhitungan ekonomi sektoral dengan menggunakan Tipologi Klasen dapat diketahui
bahwa sektor-sektor yang potensial untuk dikembangkan adalah sektor pertanian, industri
pengolahan dan jasa-jasa.
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat direko- mendasi kebijakannya yaitu; bahwa dalam rangka
mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sudah cukup produktif selama ini dapat dilakukan
dengan cara mendorong produktivitas sektor prima serta sektor potensial, khususnya industri manufaktur
dan industri kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia Yogyakarta, 2008, Laporan Pereko- nomian Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2007.
Bank Indonesia Yogyakarta, 2008, Laporan Perkem- bangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogya-
karta Triwulan I-IV 2007.
Bank Indonesia Yogyakarta, 2008, Laporan Perkem- bangan Perekonomian Daerah Istimewa
Yogyaka rta Triwulan I- IV 2008.
BPS Provinsi DIY, 2008, Berita Resmi Statistik, BPS Provinsi DIY.
BPS Provinsi DIY, 2007. D. I. Yogyakarta dalam Angka
, 20062007. BPS Provinsi DIY, 2007, Produk Domestik Regional
Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut Penggunaan,
2002–2006. BPS, 2007, SAKERNAS.
BPS Provinsi DIY dan Bapeda Provinsi DIY, 2008, Analisis Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi D. I. Yogyakarta, 2002-2007.
BPS Provinsi DIY, 2008, Berita Resmi Statistik Provinsi
DIY, No.170534Th.X, 15 Mei. BPS Provinsi DIY, 2008, Berita Resmi Statistik
Provinsi DIY, No.250734Th.X, 01 Juli.
Departemen Keuangan RI, 2008, Nota keuangan Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
16 tahun 2008 : Tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2007 Ten- tang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2008.
Long, J. Bradford De and Lawrence H. Summers, 1990, Equipment Investment and Economic
Growth , August.
Maurseth, Per Botolf undated, Growth Theory and Philosophy of Science - A Comparison of Neo-
Classical and Evolutionary Perspectives , The
Norwegian Institute of International Affairs. Paci, Raffaele, Francesco Pigliaru and Maurizio
Pugno, 2001, Disparities in Economic Growth and Unemployment Across the European
Regions: A Sectoral Perspective. XLI Annual Conference of the Società Italiana degli
Economisti.
March. Pacia, Pierella, Marcin J. Sasinb and Jos Verbeekc,
2004. Economic Growth, Income Distribution and Poverty in Poland During Transition
. ABCDE Conference in Washington DC. April.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
125
Saharuddin, Syahrul, 2006, Analisis Ekonomi Regional Sulawesi Selatan, Analisis. Maret. Vol
3 No. 1: 11-24 Sinha, Dipendra, 1999, Export Instability, Investment
and Economic Growth in Asian Countries: A Time Series Analysis.
Economic Growth Center - Yale University. April.
Todaro, Michael P., 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga,
Edisi Ketujuh, Alih bahasa oleh Haris Munandar, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan Soesliowati : 126 – 134
126
NEOLIBERALISME: ANTARA MITOS DAN HARAPAN
Etty Soesilowati
Fakultas Ekonomi Univesitas Negeri Semarang email:etty_soesilowatiyahoo.com
ABSTRACT
Whether the government interference is necessary or not, has already everlasting theme in term of the history of economy policy. Most of people believed in vary of irrational myths that market mechanism
would be able to guarantee productivity, privatization would increase efficiency, the government role should be restricted and most of all, everything should be liberated to the private sector. It is unavoidable
that such policy contained certain implications. Deregulation policy that has been done so far, was one of the main factors of the bigger global policy that is liberalization of economy. However, does that global
policy was really useful for the public? Does privatization bring into people prosperity? Didn’t globalization is only a myth that increased poverty and even huge gap between the have and the have
not? This paper is trying to study what neo liberalism is, what the policies, what is the government role, the strategic sectors that is colonized by foreign companies and, how intellectual should make their
manner. Keywords: Neo liberalism, Myths, Expectation.
Isu tentang perlunya atau sebaliknya tentang tidak perlunya campur tangan pemerintah dalam
perekonomian telah menjadi tema tetap dalam per- bincangan mengenai kebijakan ekonomi sepanjang
sejarahnya. Baik muda maupun tua, kaum terpelajar ataupun masyarakat kebanyakan telah percaya
dengan berbagai mitos-mitos irasional bahwa meka- nisme pasarlah yang mampu menjamin tingkat
produktivitas, bahwa swastanisasi mampu menjamin efisiensi, bahwa peran negara harus dibatasi dan
diserahkan semuanya pada swasta. Sudah barang tentu tidak bisa dielakan bahwa implementasi kebi-
jakan tersebut tidak terlepas dari sejumlah implikasi dan komplikasi tertentu. Didalam antusiasme masya-
rakat menyambut dan mengkampanyekannya kurang terlihat bahwa kebijakan deregulasi hanya merupa-
kan salah satu unsur utama dalam paket kebijakan yang lebih luas dan menglobal, yaitu liberalisasi
ekonomi. Namun benarkah kebijakan yang mengglo- bal tersebut membawa keuntungan bagi masyara-
kat? Akankah swastanisasi membawa kesejahtera- an? Tidakkah globalisasi ternyata hanyalah mitos
belaka yang membawa pada kemiskinan dan kesen- jangan yang luar biasa? Tulisan ini mencoba mene-
laah apa yang dimaksud dengan neoliberalisme, bentuk-bentuk kebijakannya, bagaimana peran nega-
ra, sektor-sektor strategis yang dikuasai asing, serta bagaimana seharusnya intelektual menyikapinya.
PENDAHULUAN
Hampir tiap hari kita menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan terjadi di sekitar kita,
baik melalui layar televisi maupun melalui kasat mata. Kaum miskin kota, fakir miskin dan anak
jalanan yang seharusnya dilindungi dan dipelihara Negara, dikejar-kejar dan ditangkap serta diperla-
kukan layaknya seorang kriminal. Kekayaan Negara yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan
rakyat dijual bahkan dikorupsi oleh segelintir orang.
Pernahkan anda menyadari bahwa mulai bangun tidur, beraktivitas hingga tidur lagi semuanya
dikuasai asing. Tengok saja ketika bangun tidur anda minum Aqua 74 sahamnya dikuasai Danone asal
Perancis atau minum teh Sariwangi 100 saham- nya milik Unilever Inggris, minum susu produk Sari
Husada 82 sahamnya dikuasai Numico Belanda atau bahkan susu Nestle 100 Australia. Begitu
juga ketika mandi, sebagian besar memakai sabun, syampho, sikat gigi produk Unilever. Makan nasi, ma-
kan buah, minum manis pakai produk impor. Belum lagi tempetahu yang dipatenkan Jepang. Berangkat
kerja memakai batik yang juga dipatenkan Malaysia, naik mobil, bus, motor atau bajai sekalipun semua-
nya bermerk milik asing. Dikantor pun segala ruangan menggunakan penyejuk merek asing beser-
ta sarana dan prasarana kerja lainnya yang juga produk asing.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
127
Mau belanja ke supermarket Carrefour milik Perancis, ke Alfa pun sudah menjadi milik Carrefour
dengan penguasaan saham 75, atau ke Giant hypermart milik Dairy Farm Internasional Malaysia
yang juga pemilik saham supermarket Hero, atau malam-malam mencari cemilan ke Circle K yang
merupakan waralaba asal Amerika Serikat.
Mau menabung atau mengambil uang di bank swasta nasional BCA, Danamon, BII, Bank Niaga
dan bank swasta lainnya yang hampir semuanya milik asing sekalipun masih tetap melekat nama bank
swasta nasional dibelakangnya. Bangun rumah memakai semen Tiga Roda bikinan Indocement
61,70 milik Heidelberg Jerman, atau pakai semen Gresik yang sudah menjadi milik Cemex Mexico.
Begitu juga semen Cibinong setali tiga uang 77,37 sahamnya dimiliki Holchim Swiss. Swa, Juli 2006
Apabila disebut satu persatu, ketergantungan kita terhadap produk asing tentunya bakal panjang
daftarnya dan memalukan.
Di jaman keterbukaan ini tentunya kita tidak bisa menolak pengaruh dan terhindar dari perda-
gangan internasional. Bangsa Indonesia akan terting- gal jauh bahkan akan kesulitan secara ekonomi jika
menolak dogma tersebut. Begitulah komentar banyak orang. Padahal, dengan kondisi kita seperti seka-
rang, sekalipun sudah banyak perusahaan asing bercokol di Indonesia, toh tetap saja Indonesia masih
tetap tertinggal jauh dari negara tetangga. Bahkan ada yang berpendapat tidak masalah kepemilikan
perusahaan lokal beralih menjadi milik orang asing, toh keberadaan mereka menyerap tenagakerja, me-
nyumbang pajak, meningkatkan pertumbuhan eko- nomi dihitung berdasarkan PDB dan segudang
alasan lainnya.
Boleh jadi di satu sisi alasan tersebut bisa dipahami, tetapi persoalannya apakah kita tidak
prihatin melihat segala macam kebutuhan sehari-hari masyarakat telah dikuasai asing? Sudahkah dihitung
berapa keuntungan yang dibawa orang asing dan berapa yang didistribusikan ke negara kita? Sebab,
logikanya perusahaan asing tentu tidak mau bersu- sahpayah berinvestasi di Indonesia jika tidak meraup
keuntungan yang besar.
Patut disadari, persoalannya bukan menolak perdagangan global, bukan menolak perusahaan
asing berinvestasi di Indonesia, melainkan bagai- mana perusahaan asing dapat menguasai begitu
dahsyat pasar di Indonesia sementara kita menjadi penonton. Kita saat ini dihadapkan pada situasi di
mana terjadi pertarungan dan perebutan sumber- sumber ekonomi antara korporasi global versus
negara dengan dalih efisiensi. Anehnya lagi, sema- ngat untuk menguasai sumber-sumber ekonomi ini
dilaksanakan secara legal melalui penerbitan instru- men-instrumen perundang-undangan. Lebih jauh
benarkah perdagangan bebas yang identik dengan konsep neoliberalisasi ini menguntungkan buat
bangsa? ataukah hanya sebuah mitos?
APA YANG DIMAKSUD NEOLIBERALISME?
Neoliberalisme saat ini telah diterapkan menjadi kebijakan politik dan ekonomi Negara kita Indone-
sia, namun kita perlu memahami bagaimana neoli- beralisme beroperasi. Sebagai “the dominant dis-
course”, kebijakan yang berwatak neoliberal diyakini bagikan “agama baru” dan diamalkan secara
sistemik dan struktural melalui mekanisme kebijakan baik di tingkat lokal, nasional maupun global.
Membahas neoliberalisme akan sulit jika kita tidak menyinggung apa itu liberalisme. Paham
liberalisme berkonotasi luas, dapat mengacu pada paham ekonomi maupun politik. Dalam sistem politik
Amerika Serikat, liberalisme dipergunakan sebagai strategi untuk menghindarkan konflik sosial. Bagi
kalangan orang miskin dan buruh Amerika, kata liberal dipahami lebih “progresif” dibandingkan de-
ngan “konservatif”. Liberalisme asal mulanya meru- pakan bentuk perjuangan kaum borjuasi menghadapi
konservatif. Dengan kata lain, liberalisme merupakan ideologi kaum borjuasi kota. Dalam arti luas, libera-
lisme adalah paham yang mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Liberalisme
dapat terjadi pada sektor ekonomi ataupun sektor- sektor lain.
Liberalisme ekonomi berkembang menjadi neo- liberalisme. Paham ini pada intinya memperjuangkan
persaingan bebas leissez faire, yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebe-
basan individual. Mereka percaya kekuatan pasar dapat menyelesaikan masalah sosial ketimbang
melalui regulasi Negara.
Kata neo dalam neoliberalisme sesungguhnya merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan Soesliowati : 126 – 134
128
ekonomi liberal lama di mana pemerintah mem- biarkan mekanisme pasar bekerja. Pemerintah diha-
ruskan melakukan deregulasi dengan cara mengu- rangi restriksi pada industri, mencabut hambatan-
hambatan birokratis perdagangan ataupun meng- hilangkan tarif demi menjamin terwujudnya free
trade. Dengan demikian, liberalisme berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah”, termasuk kebe-
basan bagi kaum kapitalis mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Depresi ekonomi telah memunculkan John Maynard Keynes tampil dengan pemikiran alterna-
tifnya. Ia mengembangkan teori yang menentang liberalisme dengan gagasan yang mempertahankan
“full employment” buruh, karena buruh berperan strategis bagi perkembangan kapitalis. Untuk itulah
pemerintah dan bank sentral harus dilibatkan untuk menciptakan lapangan kerja. Gagasan ini menyebab-
kan presiden Roosevelt mengembangkan program “New Deal” karena dianggap berhasil menyelamat-
kan rakyat Amerika. Sejak saat itulah peran negara dalam bidang ekonomi semakin menenggelamkan
paham liberalisme. Namun, krisis kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan juga semakin berkurangnya
tingkat profitabilitas telah meneguhkan kembali tekad korporasi untuk kembali ke sistem liberalisme.
Melalui “corporate globalization” mereka berhasil mengembalikan paham liberalisme berskala global.
Paham neoliberalisme mulanya dikembangkan melalui “konsensus” yang dipaksakan. Arsitek tata
dunia ini ditetapkan dalam suatu kesepakatan yang dikenal sebagai “The Neoliberal Washington
Concensus”. Sepuluh formula dilontarkan oleh John Williamson yang kemudian disebut Washington
Concensus. Pertama, disiplin fiskal di mana pemerin- tah negara berkembang diminta menjaga anggaran-
nya agar tetap surplus. Namun, apabila sisi fiskalnya tertekan dapat ditoleransi mengalami defisit asalkan
tidak lebih 2 dari Produk Domestik Bruto. Kedua, belanja pemerintah sebaiknya diprioritaskan untuk
memperbaiki distribusi pendapatan. Pemerintah disa- rankan membiayai proyek-proyek dan program yang
dapat menaikan pendapatan kelompok miskin. Keti- ga, sektor fiskal perlu direformasi terutama dengan
melakukan perluasan obyek pajak dan wajib pajak. Keempat, sektor finansial perlu diliberalisasi. Para
penabung harus tetap mendapatkan suku bunga riil positif. Kelima, penentuan kurs mata uang seyog-
yanya dilakukan dengan mempertimbangkan daya saing dan kredibilitas. Kurs yang terlalu kuat seolah-
olah kredibel, tetapi memperlemah daya saing ekspor. Sebaliknya, jika kurs terlalu lemah akan
meruntuhkan perekonomian. Keenam, perdagangan sebaiknya diliberalisasikan di mana pemerintah ha-
rus menghapus ekspor atau impor barrier to entry and out agar efisien. Ketujuh, hendaknya investasi
asing tidak didiskriminasi. Investasi asing harus diperlakukan sama dengan investasi domestik, kare-
na keduanya diperlukan untuk mendorong perekono- mian dan membuka lapangan pekerjaan. Kedelapan,
BUMN sebaiknya diprivatisasi dengan tujuan efisien- si dan membantu pembiayaan defisit APBN. Kesem-
bilan, melakukan deregulasi dengan menghilangkan berbagai bentuk restriksi sehingga pasar kompetitif.
Kesepuluh, pemerintah perlu menghormati dan melindungi hak cipta agar menumbuhkan iklim
inovatif, Prasetiantono, 2009
Dalam implementasinya formula ini dapat diru- muskan dalam pokok-pokok pendirian: pertama,
biarkan pasar bekerja, termasuk membebaskan perusahaan swasta dari Negara apapun akibatnya.
Penerapan keyakinan ini berupa pemberian kebe- basan dan keterbukaan perdagangan internasional
dan investasi asing, lenyapkan kontrol atas harga biarkan pasar bekerja tanpa distorsi. Semuanya
mereka rumuskan dalam kredo “unregulated market is the best way to increase economic growth”.
Keyakinan bahwa hanya melalui pasar bebas pertumbuhan bisa dicapai ini selanjutnya membawa
ajaran trikle down efect dalam ekonomi sebagai upaya pemerataan.
Keyakinan kedua, kurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran Negara yang tidak
produktif seperti subsidi pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial lainnya. Pemotongan segala yang
berbau subsidi dalam implementasinya hanya meru- pakan retorika belaka karena kebijakan neolibe-
ralisme justru memberikan subsidi besar-besaran pada perusahaan transnasional melalui program “tax
benefit” maupun “tax holidays”
Ketiga, neoliberalisme juga percaya pada regulasi ekonomi. Keyakinan ini diterapkan dengan
mengurangi segala bentuk regulasi Negara terhadap kebebasan ekonomi karena regulasi mengurangi
keuntungan. Dalam rangka itulah mereka percaya perlunya Bank Sentral yang independen.
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
129
Keempat, keyakinan terhadap privatisasi dengan menjaul semua perusahaan Negara kepada
investor. Privatisasi ini termasuk sektor perbankan, industri strategis, transportasi, energi, sekolah,
rumah sakit maupun sumber-sumber lain. Privatisasi dilakukan dengan alasan persaingan bebas menim-
bulkan efisiensi dan menghindari korupsi. Meskipun, hal tersebut ternyata mengakibatkan konsentrasi
kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal atas kebutuhan dasar
mereka.
Kelima, hilangkan gagasan “barang publik”, paham sosial atau komunitas seperti “gotong-royong”
serta berbagai keyalinan solidaritas sosial yang hidup di masyarakat dan kemudian diganti dengan paham
“tanggungjawab individual”. Kondisi ini jelas menye- babkan masyarakat harus memecahkan problema
hidup mereka seperti kesehatan, pendidikan, jaminan sosial serta masalah lainnya dengan upaya mereka
sendiri yang kadang-kadang memberatkan mereka.
BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN NEOLIBERAL
Setelah kita mengetahui apa itu neoliberalisme, maka perlu kita ketahui pula bagaimana neolibe-
ralisme diterapkan dalam bentuk kebijakan ekonomi. Sejak dikembangkannya kesepakatan “The Bretton
Woods”, dunia secara global sesungguhnya telah memihak dan didorong oleh kepentingan perusahaan
transnasional TNCsTrans-Nasional Corporations yang merupakan aktor penting globalisasi. Selain
TNCs, aktor lain yang memainkan peran besar dalam globalisasi adalah lembaga financial internasional
IFIs yang sering disebut juga “Multilateral Develop- ment Banks”. IFIs merupakan organisasi global yang
beranggotakan negara maju, bertugas memberi hutang kepada negara miskin. Ada dua IFIs yang
secara global dikenal yakni The World Bank dan Internasional Monetery Fund. Cara strategis untuk
memaksakan berbagai agenda neoliberal tersebut adalah dengan menyertakan dalam persyaratan
pemberian “utang” lembaga financial internasional Bank DuniaIMF yang dikenal dengan “Structural
Adjustment Program”. Dengan demikian, semua reformasi kebijakan yang dilakukan lebih dimaksud-
kan hanya sebagai pelicin “jalan” sehingga memu- dahkan perusahaan transnasional beroperasi.
Implikasi perubahan kebijakan nasional yang memihak kepentingan perusahaan transnasional ini
tidak saja akan memarjinalkan petani dan pedagang kecil. Namun juga berhadapan dengan kepentingan
dan nasib petani, nelayan, sektor informal serta masyarakat adat dalam hal perebutan sumberdaya
alam.
Salah satu contoh pilar dari globalisasi pere- konomian neoliberal adalah privatisasi Badan Usaha
Milik Negara. Privatisasi bersama dengan kebijakan neoliberal lainnya sesungguhnya merupakan salah
satu ramuan kunci dari sistem ekonomi globalisasi. Diantara ciri-ciri ramuan kebijakan neoliberal itu
adalah: pertama, paket kebijakan untuk melakukan deregulasi dan mengurangi atau menghilangkan
hambatan terhadap bekerjanya korporasi meskipun harus mengorbankan rakyat. Kedua, kebijakan
mengintegrasikan dan mengkonversikan ekonomi nasional ke dalam ekonomi yang berorientasi ekspor
meskipun kebijakan tersebut harus mengorbankan lingkungan dan sistem sosial. Ketiga, kebijakan yang
mendorong pertumbuhan ekonomi untuk tumbuh super cepat meskipun harus dengan mengeksploitasi
sumberdaya alam tanpa mengenal batas. Keempat, kebijakan yang mendukung peningkatan konsentrasi
korporasi secara dramatis. Kelima, kebijakan yang memangkas semua program pelayanan sosial, pela-
yanan kesehatan maupun perlindungan lingkungan. Keenam, kebijakan yang menggeser kekuasaan
tradisional ataupun kebijakan yang melemahkan institusi demokratis pemerintah maupun komunitas
lokal dan menggantikannya dengan birokrat korpora- si global. Ketujuh, kebijakan mendorong homoge-
nitasi budaya global dan kebijakan yang mendorong atau mempromosikan budaya konsumtif secara
intensif. Akhirnya, ciri penting dari kebijakan neoli- beral adalah kebijakan privatisasi dan komersialisasi
layanan publik, sumberdaya alam yang seharusnya milik komunal seperti air, udara dan keanekara-
gaman hayati serta genetika. Ketujuh, ciri kebijakan neoliberal tersebut diterapkan dalam bentuk dan
penggunaan istilah yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya, privatisasi puskesmas
menggunakan istilah “Puskesmas Mandiri”, demikian pula privatisasi perguruan tinggi dengan menggu-
nakan istilah “Otonomi Kampus”, sehingga banyak mahasiswa yang merasa selama ini tidak ada
otonomi senang menerimanya.
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan Soesliowati : 126 – 134
130
Privatisasi seolah-olah merupakan jalan untuk efisiensi, menyehatkan dan menyelamatkan perusa-
haan dari kebangkrutan. Bahkan seringkali privatisasi dilaksanakan dengan dalih memberantas korupsi,
sehingga mendapat dukungan publik. Siapapun sependapat bahwa korupsi adalah kejahatan publik
yang harus diberantas. Namun, privatisasi bukan jalan ke luar untuk memberantas korupsi. Bukanlah
korupsi terbesar abad ini justru terjadi pada perusa- haan-perusahaan transnasional?.
Karakter lain dari neoliberalisme adalah peng- hargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif
kewiraswastaan. Sebaliknya, negara atau pemerin- tah adalah masalah. Oleh karena itu, muncul gagas-
an menyingkirkan birokrat yang dianggap sebagai “parasit” ekonomi. Biarkan pasar menentukan harga.
Dalam rangka mendukung bekerjanya mekanisme pasar, maka pemerintah tidak boleh ikut menjadi
pemain ekonomi, apalagi dengan alasan mensubsidi atau memproteksi kaum miskin. Atas dasar pemikiran
itulah negara harus menjual perusahaan kepada investor swasta baik dalam negeri maupun luar
negeri.
PERAN NEGARA DALAM LIBERALISME
Sejak model pembangunan “developmentalis- me” tahun 1930 an ditetapkan sebagai model
alternatif pembangunan, negara diberi peran untuk menjadi aktor utama pengendali ekonomi dan politik.
Namun, pada saat yang sama negara juga harus bertanggungjawab untuk melindungi, mensubsidi dan
mensejahterakan masyrakatnya. Lebih lanjut negara bertanggungjawab untuk mencegah setiap bentuk
pelanggaran HAM. Negara menetapkan bahwa “pembangunan” adalah hak asasi manusia the rights
to development. Oleh karenanya, peran negara sebagaimana ditetapkan oleh PBB adalah mela-
kukan proteksi, prevensi dan promosi warga negara atas HAM.
Negara melalui perusahaan negara, selanjutnya melakukan usaha untuk mensejahterakan rakyat
seperti diamanatkan oleh konstitusi. Kekuasaan negara untuk mengontrol sumberdaya ekonomi saat
inilah yang tengah digugat oleh paham neolibera- lisme untuk melepaskan kembali kekuasaannya.
Melalui kampanye privatisasi dan potong subsidi banyak negara saat ini tidak mampu lagi melaksa-
nakan amanat konstitusi. Agar negara tidak merasa bersalah karena melanggar amanat konstitusi, maka
rezim pasar bebas mendesak negara untuk mengamandemen konstitusinya.
Saat ini hampir semua yang dianggap meng- halangi “pasar bebas” telah disingkirkan, termasuk
amandemen UUD’45 yang berbunyi kekuasaan ekonomi Negara dan demi kesejahteraan rakyat
telah dihapus. Ekonomi yang disusun berdasarkan prinsip efisiensi dianggap sebagai jalan menuju
kemakmuran. Bersamaan dengan itu, juga dilaku- kanlah kampanye tentang neoliberalisme dengan
memproduksi mitos-mitos liberalisme dan pasar bebas. Mitos-mitos tersebut meliputi: pertama, mitos
bahwa dengan perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi.
Kenyataannya, perdagangan bebas dibidang pangan justru menaikan harga pangan. Kedua, mitos bahwa
WTO dan TNCs akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan rekayasa genetika dan
penggunaan pestisida serta racun kimia justru mem- bahayakan kehidupan manusia. Ketiga, mitos bahwa
hak paten akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataannya, paten dan hak kekayaan intelektual
dibidang mikroorganisme dan “germ plasma” selain melegalisasi pencurian keanekaragaman hayati peta-
ni serta bibit dan menjualnya kembali pada petani demi keuntungan pribadi.
Namun ironis, runtuhnya pembangunan dan paham state-led development tidak ditangisi oleh
rakyat sama sekali. Bahkan banyak bukti yang menunjukan bahwa rakyat justru ikut merendahkan
dan memasung kewenangan negara, institusi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat. Namun demi-
kian, kegembiraan tersebut tidak berlangsung lama, terlebih sejak Indonesia menjadi anggota WTO seka-
ligus menjadi pasien IMF dan meratifikasi sejumlah konvensi HAM PBB. Indonesia dipaksa oleh suatu
mekanisme struktur global akibat jeratan hutang untuk meratifikasi konvensi-konvensi tarif dan perda-
gangan bebas di bawah perjanjian WTO di mana konvensi tersebut bertentangan secara prinsipil
dengan semangat HAM. Proses menyesuaikan kebijakan ekonomi nasional untuk diintegrasikan ke
dalam sistem ekonomi global yang berprinsip neoliberalisme ini yang disebut proses “globalisasi”.
Banyak kebijakan neoliberal telah diimplemen- tasikan di Indonesia. Misalnya saja keputusan untuk
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
131
mengubah kebijakan investasi asing yang telah diperlakukan sejak tahun 1974 merupakan contoh
yang baik dari kebijakan neoliberal dalam investasi. Persetujuan bagi kepemilikan asing 100 yang dite-
tapkan dalam paket deregulasi investasi Juni 1994 menunjukan perubahan drastis dalam kebijakan
investasi asing di Indonesia. Dalam periode 1995- 2004 misalnya, Indonesia telah mengikat 1.341 tariff
line untuk produk pertanian di WTO dengan rata-rata untuk pemotongan tariff mencapai 40. Tujuan
utama penurunan tariff ini pada dasarnya adalah untuk membuka akses pasar domestik Indonesia
bagi masuknya produk-produk pertanian dan pangan dari luar negeri.
Di bidang agraria misalnya, kebijakan yang erat kaitannya dengan pangan telah direformasi menuju
kebijakan neoliberal. Banyak produk perundang- undangan yang diciptakan demi untuk mendukung
atau menciptakan iklim persaingan bebas. Misalnya, UU Pengairan No.11 Tahun 1974; UU Kehutanan
No.41 Tahun 1999; UU Pelestarian Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya No.5 Tahun 1990;
UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 Tahun 1992; UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 Tahun
1997; UU Kesehatan No.23 Tahun 1992; dan UU Perlindungan Varietas Tanaman No.29 Tahun 2000
semuanya merupakan undang-undang yang menja- min untuk melindungi kepentingan perusahaan agri-
bisnis yang menanamkan modal mereka dalam bidang pangan di negeri Indonesia ini.
Kebijakan pangan yang mengatur pangan di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam UU No.7
Tahun 1997. “Pangan” dalam undang-undang terse- but diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan
bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan
minuman. Namun bagi petani istilah “kedaulatan pangan” atau kedaulatan rakyat atas pangan lebih
mencerminkan cita-cita keadilan sosial dibanding dengan istilah “ketahanan pangan”. UU No.7 Tahun
1996 tentang pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata, dan terjangkau”. Dengan mudah di sini dapat dipahami bahwa hakekat pangan dalam
undang-undang tersebut tidak lagi merupakan hak asasi manusia, akan tetapi pangan sudah dianggap
sebagai komoditi. Undang-undang ini nantinya akan menjadi mesin pembunuh yang memusnahkan peta-
ni kecil dan menyingkirkan hak-hak ekonomi petani pangan kecil secara sistematis.
SEKTOR-SEKTOR STRATEGIS DI BAWAH CENG- KERAMAN ASING
Suka tidak suka harus diakui bahwa sistem ekonomi Indonesia yang dikehendaki UUD 1945
adalah sistem ekonomi sosialis. Barangkali karena phobia menyebut sosialis, maka dipopulerkannya
istilah pengganti yaitu “ekonomi kerakyatan” atau “demokrasi ekonomi”. Penegasan sistem ekonomi
sosialis inipun tertera dalam pasal 33 UUD 1945. Namun ironisnya, sekalipun konstitusi kita meng-
usung pasal 33, toh dalam penerapannya masih jauh panggang dari api. Dengan kata lain, negeri Indo-
nesia ini tidak pernah mengimplementasikan pasal 33 secara nyata.
Misalnya, industri perbankan nasional bisa dibilang sebagai jangtungnya perekonomian nasio-
nal. Dengan dikuasainya industri perbankan nasional kita oleh investor asing, tentu dapat mengakibatkan
perekonomian Indonesia dikuasai dan dikendalikan oleh pihak asing.
Sejumlah bank swasta nasional baik bank papan atas maupun bank kecil kini telah dikuasai
investor asing. Sebut saja BCA, Bank Niaga, Bank Permata, BII, Bank Danamon, Bank Lippo, Bank
Panin, Bank NISP telah diambil alih manajemen asing melalui strategic sales. Namun, bukan cuma
bank kelas kakap, bank-bank kecilpun telah dikuasai asing pula, seperti; Bank Swadesi sahamnya dibeli
State Bank of India, Bank Halim Internasional dijual ke ICBC Industrial Commercial Bank of China,
Bank Haga dan Hagakita dibeli Rabo Bank Inter- national Belanda, Bank Indomonex dibeli State
Bank of India, Bank ANK dibeli oleh Bank Common- wealth. Oleh karena itu rasanya lebih tepat jika kita
menyebut mereka itu bank swasta asing dan bukan lagi bank swasta nasional.
Adapun, akibat dari dikuasainya sektor perban- kan oleh pihak asing menyebabkan perekonomian
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan Soesliowati : 126 – 134
132
kita didominasi asing. Jumlah dana masyarakat yang berhasil disedot bank-bank swasta milik asing
mencapai Rp500,9 trilyun pada periode Agustua 2006, sedangkan bank-bank pemerintah hanya
mampu menyedot Rp440,2 trilyun. Alhasil, mereka mempunyai kekuatan yang besar untuk mempenga-
ruhi kebijakan perekonomian nasional kita Tunggul Alam, 2009
Asumsinya sebagai investor asing tentunya nilai idealism untuk membantu perekonomian nasional
mestinya lebih untuk tidak menyatakan tidak sama sekali. Indikator ini dapat dilihat dalam hal pengu-
curan kredit bagi usaha kecil menengah UKM yang hanya 6,8 dari total kredit yang disalurkan, sedang-
kan yang dikucurkan pemerintah mencapai 20. Hal inimenunjukan kurang pedulinya bank-bank swasta
nasional milik asing untuk membantu sektor UKM.
Ironisnya kebijakan mereka lebih pada menya- lurkan kredit-kredit konsumtif dengan berbagai
promosi yang menyediakan hadiah gila-gilaan. Hal ini tentunya membutuhkan biaya operasional yang
sangat besar. Lebih ironis lagi bank-bank swasta nasional milik asing ini kebanyak hanya menyalurkan
50 dana yang dihimpun dari masyarakat Indonesia. Artinya loan to deposit ratio LDR hanya 50.
Disinyalir dana mereka disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia SBI. Mereka berharap
bunga SBI masuk ke kantong mereka. Walhasil, BI harus membayar bunga trilyunan rupiah kepada
mereka. Sebagai perbandingan, di negara-negara maju seperti Korea Selatan tiap-tiap cabang bank-
bank asing “wajib” menempatkan 25 dari protofolio kredit mereka kepada pengusaha kecil menengah.
Sementara di Indonesia regulasi semacam ini tidak ada.
Begitu juga di sektor infrastruktur telekomuni- kasi yang merupakan asset strategis bagi keamanan
negara sehingga digolongkan sektor yang memenuhi hajat hidup orang banyak berdasarkan UU No.1
Tahun 1967. Tapi, anehnya justru kini sudah dikuasai asing. Industri telekomunikasi di Indonesia yang
dalam konteks ini adalah operator seluler, semua kepemilikan sahamnya dikuasai pihak asing. Yang
paling menghebohkan terjadi di penghujung tahun 2002 saat 41,94 saham Indosat dijual kepada STT
Pte Ltd. Singapura. Ironisnya, pemerintah merasa bangga karena berhasil memasukan dana segar
untuk mengisi kas negara. Padahal tak lama kemudian, hanya dalam hitungan bulan ternyata
jumlah deviden yang diterima STT sudah hampir sama dengan nilai nominal yang dikeluarkan untuk
membeli saham pemerintah di Indosat.
Kini ketika kita menggunakan ponsel dengan operator apapun ternyata sebagian besar sahamnya
juga sudah dimiliki asing. Telkomsel yang merupakan operator seluler terbesar di Asia Tenggara, 35
sahamnya sudah milik Singapore Telecom SingTel. Indosat yang memayungi Satelindo, IM3, Bimagraha
sekitar 42 sahamnya dimiliki STT yang sebarisan dengan SingTel. Exelcomindo Pratama XL dikuasai
Telecom Malaysia. Belum lagi kini investor Rusia di bawah bendera Alfa Telecom Internasional Mobile
ALTIMO yang bernaung dibawah Alfa Group beren- cana menanamkan modalnya di bisnis telekomuni-
kasi Indonesia. Tak tanggung-tanggung dana yang mereka siapkan 2 milyar dolar AS. Dengan digeng-
gamnya infrastruktur telekomunikasi oleh negara lain, tentunya keterjaminan keamanan dan kelancaran
informasi menjadi taruhannya.
Sektor lain yang tak luput dari penguasaan swasta adalah sumberdaya kelistrikan. Daerah Jawa
Bali, diperkirakan akan menjadi kota hantu. Malam hari gelap gulita, sedangkan siang hari akan terlihat
pemandangan yang kacau balau. Lalulintas macet total, kegitan kantor terhenti, deru mesin pabrik
terhenti, praktis kehidupan perekonomian mati. Begitulah kira-kira gambaran buruk yang bakal
dihadapi penduduk di tahun 2010.
Menurut data dari beberapa pembangkit tenaga listrik milik PLN yang khusus mensuplai kebutuhan
Jawa-Bali pada tahun 2008 hanya berkapasitas 14.190 megawatt. Sementara kebutuhan puncak
mencapai 14.600 megawatt. Dengan asumsi pertum- buhan permintaan suplai listrik rata-rata 10 per
tahun, maka pada tahun 2010 PLN dipastikan tak bakal mampu melayani.
Menyimak riwayat kelistrikan ini sejak tahun 1945 ditangani oleh negara dengan bentuk Jawatan
Listrik dan Gas. Sejak tahun 1961 mulai dikem- bangkan menjadi BPU PLN dan 1964 dibentuk PLN
dan Perusahaan Gas Nasional. Pada tahun 1972 PLN berstatus sebagai Perum yang kemudian diubah
menjadi perusahaan perseroan pada tahun 1994. Pengelolaan listrik mengalami kekacauan ketika
swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
133
penyediaan listrik melalui Keppres No.37 Tahun 1992. PLN mulai bekerjasama dengan swasta
melalui power purchase agreement yang mengha- ruskan PLN membeli 100 listrik yang dijual swasta
kendati harga jual listrik swasta jauh lebih mahal ketimbang yang dijual PLN ke masyarakat.
Melihat kondisi ini tak terbayangkan betapa berat beban PLN menanggung semua itu. Kewajiban
PLN membeli listrik-listrik swasta sebesar 133,5 milyar dolar AS, belum lagi ditambah praktek-praktek
korupsi yang parah serta kerugian yang ditanggung PLN akibat terdepresiasinya rupiah terhadap dolar
AS. Kejadian berikutnya dapat diduga PLN akan menaikan tarif dasar listriknya, dan rakyatlah yang
menanggungnya.
Untuk itu kita perlu memahami isi Pasal 33 dengan melihat sisi filosofis dan sejarah lahirnya,
dimana pendiri republik ini menjabarkan pasal 33 dengan meletakan azas: pertama, kegiatan ekonomi
masyarakat harus didasrkan kepada rasa kebersa- maan diantara anggota masyarakat. Kedua, azas
“usaha bersama” ini harus berdasarkan semangat kekeluargaan yang saling menunjang dan saling
menguntungkan diantara berbagai pelaku ekonomi. Ketiga, hal-hal yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemaknuran rakyat. Keem-
pat, penguasaan negara dan penentuan bidang- bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak
harus dilakukan melalui peraturan perundang- undangan, kebijaksanaan dan pengaturan lainnya.
Kelima, tidak diberikannya tempat kepada liberalisme dengan membuang jauh ciri free fight liberalism.
Sistem ekonomi yang termuat pada pasal 33 diciptakan untuk mempersempit bahkan idealnya
meniadakan adanya pertentangan dan kesenjangan kelas sosial dalam masyarakat. Kekuatan ekonomi
sesuatu golongan atas golongan yang lain diganti dengan sistem kerjasama berdasar atas azas keke-
luargaan. Selain itu, dalam konteks membangun sistem perekonomian Indonesia, maka pasal 33
harus selalu dikaitkan dengan pasal 27 ayat 2 dan pasal 34 UUD 1945.
Meskipun begitu pasal 33 tetap menghendaki efisiensi, karenanya suatu kegiatan ekonomi harus
ditentukan apakah akan diserahkan kepada swasta, negara atau campuran antara swasta dan pemerin-
tah dengan pengawasan negara. Sekalipun negara memegang peranan penting bukan berarti swasta
tidak bisa berkembang. Justru sebaliknya, swasta harus dibiarkan berkembang, hanya saja harus
diawasi agar tidak terjadi konsentrasi dan monopoli. Penguasaan kegiatan ekonomi oleh swasta harus
dilihat fungsinya, terutama bagi kepentingan peme- rintah dan masyarakat. Karena itu penggarapan dan
pengelolaan yang dilakukan swasta bergantung pada rencana pemerintah.
PENUTUP
Refleksi, perenungan dan analisis yang ter- tuang dalam artikel ini akhirnya menyisakan suatu
pertanyaan yang harus dijawab dan direnungkan bersama serta memerlukan tindakan lebih lanjut.
Sejarah panjang yang telah dilalui bangsa ini meng- haruskan untuk memikirkan ulang cita-cita sebagai
bangsa, bahkan memikirkan ulang hakikat kita sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Sadar atau tidak, terencana ataupun spontan, masyarakat telah terlibat dalam proses transformasi
menuju dunia yang dikuasai oleh paham noelibera- lisme. Melalui peran masing-masing individu, kita
tengah memperebutkan wacana antara menyetujui, membiarkan atau mengiklaskan pembatasan peran
negara dalam bidang sosial ekonomi maupun suatu paham “less government” selanjutnya, istilah
tersebut seringkali diungkapkan dengan istilah “good governance”.
Sudah sering kita dengar banyak lembaga mengajukan strategi untuk menurunkan kemiskinan
bangsa ini. Strategi penghapusan kemiskinan meng- hadapi kegagalan karena kesalahan menyimpulkan
akar permasalahan, yakni bahwa penyebab kemis- kinan terletak pada diri kaum miskin itu sendiri. Untuk
memecahkan masalah kemiskinan kita harus berani melihat dari perspektif lain, yakni bahwa kemiskinan
justru merupakan akibat dari suatu proses, kebijakan dan mekanisme institusional.
Sebagai kaum intelektual, tugas kita memang bukan hanya sekedar memberi makna terhadap
realitas sosial globalisasi, menguatnya neoliberalis- me dan meratapinya. Tugas kita adalah ikut mencip-
takan sejarah dengan membangun gerakan pemi- kiran dan kesadaran kritis untuk memberi makna
atas masa depan kita sendiri. Gerakan counter
Neoliberalisme: Antara Nitos dan Harapan Soesliowati : 126 – 134
134
hegemony harus disusun sebagai bagian dari strategi gerakan sosial merespon kebijakan neoli-
beral. Salah satu strategi taktis counter hegemony adalah mendekonstruksi dan mendomistifikasi mitos-
mitos neoliberal seperti mitos dan diskursus civil society, mitos produk makanan genetis hasil reka-
yasa genetika, mitos paten dan intellectual property rights dan mitos seputar privatisasi.
Akhirnya, masih banyak pekerjaan rumah agar negeri ini berjaya. Pertama, mengembalikan negara
untuk menjadi penjaga dan pelindung hak ekonomi, budaya dan sosial warga. Kedua, terus menerus
melakukan protes sosial untuk mengubah kebijakan negara dan mencermati setiap kesepakatan negara
dengan negara lain. Ketiga melakukan pengem- bangan kapasitas counter discourse and hegemony
atas dominasi diskursus neoliberal terhadap demo- kratisasi, good governance dan civil society.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samir, 1990, Capitalism in the age of Globali- zation: The management of contemporary
Society, London: Zed Book. Barnet, Richard J., and John Cavanagh, 1995,
Global Dream: Imperial Corporation and The new World order, A touchstone Book, New
York: Simon and Shuster
Chomsky, Noam, 1999, Profit Over People, Neoliberalism and Global Order, New York:
Seven Stories Press. Fakih, Mansour, 2003, Bebas dari Neoliberalisme,
Yogjakarta: Insist Press. Nasbitt, J., 1994, Global Paradox, Jakarta: Binarupa
Aksara Perkins, J., 2007, Pengakuan Bandit Ekonomi, Jakar-
ta: Ufuk Press. Prasetiantono, A Tony, 2009, Neoliberalisme, Kom-
pas, 27 Mei, hal.6 Redwood, J., 1989, Popular Capitalsm, London:
Routledge Stiglitz, Joseph E., 2002, Globalization and Its
Discontents, Penguin Book, Allen Lane. Tunggul Alam, W., 2009, Di bawah Cengkeraman
Asing: Membongkar Akar Persoalan dan Tawar- an Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri
Sendiri, Jakarta: Ufuk Press.
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
135
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERAWANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DI DESA WIRU KECAMATAN BRINGIN
KABUPATEN SEMARANG
Mardiana Ratna Sari
1
Bambang Prishardoyo
2
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email: bprisyahoo.com
ABSTRACT
The aims of this study are for knowing the factors that influence the food crisis, for analyzing the influences of every variable under study, and for knowing the appropriate strategy to eradicate the food
crisis. The population of this study is 612 families which suffer from the food crisis. Then, the sample is 86 families. It is collected by using Cluster Proportional Random Sampling Technique. The variables in
this study are income, education, productive asset ownership and food crisis. The methods used in collecting the data are documentation and questioner. The methods for analyzing the data are multiple
regression and SWOT analysis. Income, education and productive asset ownership simultaneously and strongly influence the families that suffer from food crisis in Wiru village. It can be seen from the result of
F test which is 31 and its significance which is 0,00. Next, the coefficient of partial regression of income and food crisis is-0253, the coefficient of education is -0,531, the coefficient of productive asset
ownership is -0,398 and its determination coefficient is 52. The appropriate strategy used for eradicating food crisis should be a strategy of horizontal and stability integration. It focuses on the
program that wants to be achieved and the program based on the families’ economic growth and power. The conclusions of this study are: 1 there is a negative influence between X and Y variables. It means
that the higher the income, education and productive asset ownership of a family, the family will have smaller risk in suffering from food crisis 2 the strategy used for eradicating the food crisis is horizontal
integration Keywords: Income, education, and productive asset ownership.
PENDAHULUAN
12
Kerawanan pangan dan kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah utama di Indonesia. Bah-
kan kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya dengan kemiskinan. Berdasarkan
data Dewan Ketahanan Pangan Nasional menunjuk- kan sebagian besar masyarakat mengalami defisit
energi protein karena mengkonsumsi di bawah jumlah yang dianjurkan 2000 kkal per kapita dan 52
gram protein per kapita per hari. Sebanyak 127,9 juta jiwa atau 60 persen dari total populasi Indonesia
mengkonsumsi energi 1.322-1.998 kkalhari Badan Ketahanan Pangan, 2006:1
Dari data Dewan Ketahanan Pangan Kabupa- ten Semarang juga dapat di ketahui bahwa jumlah
1
Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unnes
2
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unnes
rumah tangga pra sejahtera karena alasan ekonomi di Kabupaten Semarang mencapai 44, dengan
rincian sebagai berikut jumlah rumah tangga yang didata sejumlah 233.916 rumah tangga, sedangkan
rumah tangga prasejahtera karena alasan ekonomi sebanyak 101.956 rumah tangga. Angka ini menun-
jukkan jumlah keluarga pra sejahtera di wilayah Kabupaten Semarang masih tinggi. Kecamatan
Bringin merupakan salah satu kecamatan yang angka rumah tangga prasejahteranya tinggi yaitu
sebanyak 6.735 rumah tangga atau 71,73 dari jumlah KK yang didata yaitu sebanyak 12.250,
setelah Kecamatan Bancak yaitu sebanyak 4.347 rumah tangga atau 82,68 dari jumlah KK yang
didata yaitu sebanyak 6.058
Dilihat dari status gizi balita, data Dewan Ketahanan Pangan menunjukkan bahwa jumlah
balita gizi kurang sebanyak 2.912 balita atau 5,7
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan ... Sari Prishardoyo : 135 – 143
136
dari jumlah balita yang ada di Kabupaten Semarang, sedangkan balita gizi buruk sebanyak 646 balita. Dari
angka tersebut Kecamatan Bringin merupakan kecamatan yang tinggi jumlah balita dengan status
gizi kurang. Sedangkan status gizi balita gizi buruk yang paling tinggi adalah Kecamatan Bancak,
apabila dirata- rata status gizi balita yang angka gizi kurang dan gizi buruknya tinggi adalah Kecamatan
Bringin dan Kecamatan Bancak
Data Dewan Ketahanan Pangan menunjukkan kerentanan pangan yang terjadi di Kabupaten
Semarang cukup tinggi, hal ini dilihat dari banyaknya daerah puso atau gagal panen dan bayaknya curah
hujan per tahunnya. Kecamatan yang mengalami kegagalan panen terluas adalah Kecamatan Bancak
yaitu sebanyak 172 hektar dan Kecamatan Bringin sebanyak 24 hektar dengan curah hujan yang rendah
pula. Dilihat dari ketersediaan pangan di wilayah Kabupaten Semarang, Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten Semarang menghitung jumlah keterse- diaan pangan yaitu dengan membagi total produksi
bahan makan bersih dalam hal ini produksi padi dan produksi jagung dengan banyaknya jumlah penduduk
kemudian dibagi lagi dengan banyaknya hari dalam satu tahun 365 hari maka dapat diketahui daerah
yang defisit ketersediaan pangan yaitu Kecamatan Bringin dan Kecamatan Bancak.
Tabel 1. Jumlah Buruh Tani di Kecamatan Bringin, Menurut Masing-masing Desa
No Desa Jumlah
Penduduk Jumlah
buruh tani 1 Bringin
5.061 jiwa 232 orang
2 Popongan 1.953 jiwa
135 orang 3 Pakis
3.265 jiwa 721 orang
4 Lebak 1.566 jiwa
125 orang 5 Banding
3.175 jiwa 289 orang
6 Truko 3.077 jiwa
40 orang 7 Nyemoh
1.870 jiwa 305 orang
8 Tempuran 2.152 jiwa
45 orang 9 Wiru
2.841 jiwa 1.138 orang
10 Sendang 3.010 jiwa
385 orang 11 Gogodalem
3.592 jiwa 652 orang
12 Rembes 3.415 jiwa
297 orang 13 Kalikurmo
2.151 jiwa 251 orang
14 Sambirejo 3.818 jiwa
574 orang 15 Kalijambe
2.068 jiwa 336 orang
16 Tanjung 974 jiwa
120 orang Jumlah
43.987 jiwa 5.645 orang
Sumber: Monografi Kecamatan Bringin Tahun 2006 Atas pertimbangan jumlah rumah tangga prase-
jahtera, status gizi balita, kerentangan pangan dan ketersediaan pangan maka Kecamatan Bringin dan
Kecamatan Bancak ditetapkan sebagai Kecamatan Rawan Pangan. Berdasarkan Keputusan Bupati
Semarang nomor 52001872007 Desa Wiru ditetap- kan sebagai desa Rawan Pangan. Dengan ditetap-
kannya Desa Wiru sebagai Desa Rawan pangan maka peneliti memilih desa Wiru sebagai lokasi
penelitian. Berdasarkan Laporan DDRT Desa Wiru tahun 2007 Tabel 2, Jumlah Rumah tangga miskin
di desa Wiru sebanyak 612 rumah tangga dari 950 rumah tangga yang ada di desa Wiru Kecamatan
Bringin Dalam Angka, 2006:13. Sedangkan, mata pencaharian penduduk Desa Wiru sebagian besar
sebagai buruh tani yaitu sebesar 1.138 dari 2.892 jumlah penduduk di Desa Wiru. Dengan tingginya
jumlah buruh tani ini menunjukkan sedikitnya jumlah penduduk yang memiliki lahan. Dengan fenomena
tersebut maka oleh Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Semarang Menetapkan bahwa Desa Wiru
dan Desa Rejosari Kecamatan Bancak sebagai Desa rawan pangan. Fenomena tersebut dapat dilihat
pada Tabel-1 dan Tabel-2.
Tabel 2. Jumlah Keluarga Rawan Pangan di Desa Wiru
No Dusun Jumlah 1
Dusun Krajan RW 01 155
2 Dusun Mojo RW 02
100 3
Dusun Ngelo RW 03 40
4 Dusun Pelem RW 04
69 5
Dusun Jrebeng RW 05 183
6 Dusun Kedunglaran RW 06
65 Jumlah
612 Sumber : DDRT Desa Wiru tahun 2007
Setelah diketahui bahwa Desa Wiru Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang merupakan desa
rawan pangan maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kerawanan pangan rumah tangga miskin yang terjadi di Desa wiru dan strategi yang bisa digunakan untuk
menanggulangi kerawanan pangan rumah tangga miskin di Desa Wiru. Dipilihnya rumah tangga miskin
karena kerawanan pangan suatu daerah dibentuk dari kerawanan pangan rumah tangga. Sedangkan
rumah tangga yang mengalami kerawanan pangan adalah rumah tangga miskin. Variabel yang diguna-
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
137
kan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kera- wanan pangan rumah tangga miskin dalam penelitian
ini adalah pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif rumah tangga miskin karena faktor
tersebut merupakan faktor yang saling berkaitan dan mempengaruhi kemiskinan.
LANDASAN TEORI
Rawan pangan adalah kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat keter-
sediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertum-
buhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat- nya Badan Ketahanan Pangan 2006:8 Suatu
daerah dikatakan rawan pangan dapat diukur dengan banyaknya jumlah rumah tangga prasejahtera yang
relatif masih banyak karena alasan ekonomi, status gizi masyarakatnya yang ditunjukkan oleh status gizi
balitanya, ketersediaan pangan daerah dan keren- tanan pangan.
Kerawanan pangan rumah tangga pada pene- litian ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan, dan kepemilikan aset produktif. Setelah diketahui pengaruh dari faktor–faktor tersebut kemu-
dian dicari Strategi penanggulangan, sehingga diha- rapkan strategi tersebut mampu meningkatkan pen-
dapatan, pendidikan dan kepemilikan aset produktif rumah tangga rawan pangan di Desa Wiru, Keca-
matan Bringin, Kabupaten Semarang.
Teori di atas dapat digambarkan dalam kerang- ka pemikiran sebagai berikut:
Pendapatan Pendidikan
Kepemilikan aset produktif
Rawan Pangan
rumah tangga
miskin Strategi
penanggu- langan
kerawanan pangan
Gambar 1. Kerangka Berfikir Faktor–faktor yang mempe-
ngaruhi Kerawanan Pangan dan Strategi Penanggulangannya
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah 612 rumah tangga warga miskin dan rawan pangan
di desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Sema- rang. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini
digunakan rumus:
n =
2
Ne 1
N +
di mana: n adalah ukuran besarnya sampel yang digunakan, N besarnya populasi dan e adalah tingkat
persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang pada penelitian ini digu-
nakan 10 Selanjutnya, dengan diambilnya sampel sebanyak 86 rumah tangga rawan pangan di Desa
Wiru Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang yang diambil dengan teknik cluster random sampling,
maka sudah dianggap representatif
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah; tingkat pendapatan rumah tangga rawan
pangan, tingkat pendidikan keluarga rawan pangan, dan kepemilikan aset produktif rumah tangga rawan
pangan sebagai variabel independen serta variabel kerawanan pangan rumah tangga miskin sebagai
variabel independen. Sedangkan metode pengum- pulan data dilakukan dengan metode angket, obser-
wasi dan wawancara. Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan model
regresi berganda bentuk OLS, yang telah dianggap lulus terhadap uji asumsi klasik. Di mana model
regresi berganda yang dimaksud adalah sebagai berikut.
i 3
3 2
2 1
1
X X
X Y
μ +
β +
β +
β +
α =
di mana Y adalah kerawanan pangan rumah tangga miskin, X
1
adalah tingkat pendapatan, X
2
tingkat pendidikan dan X
3
adalah kepemilikan aset produktif, sementara itu, µ
1
adalah residu. Selain itu, data yang telah terkumpul juga dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis SWOT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis model regresi linear yang diolah dengan program SPSS for windows
release 12, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel
3 berikut. Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 3 di atas
dapat ditarik garis persamaan regesi sebagai: Y = 20,955 - 0,253X
1
- 0,531X
2
- 0,398X
3
. Selanjutnya, model persamaan regresi tersebut mempunyai
makna sebagai berikut:
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan ... Sari Prishardoyo : 135 – 143
138
1 Konstanta = 20,955 Jika variabel pendapatan, pendidikan dan kepe-
milikan aset produktif = 0 maka kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin,
Kabupaten Semarang sebesar 20,955 satuan
2 Koefisien X
1
Pendapatan = -0,253 Jika pendapatan mengalami peningkatan sebe-
sar satu satuan, sementara tingkat pendidikan dan kepemilikan aset produktif dianggap tetap,
maka akan menyebabkan penurunan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabu-
paten Semarang sebesar 0,253 satuan
3 Koefisien X
2
Pendidikan = -0,531 Jika pendidikan mengalami peningkatan sebesar
satu satuan, sementara pendapatan dan kepe- milikan aset produktif dianggap tetap, maka
akan menyebabkan penurunan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabu-
paten Semarang sebesar sebesar 0,531 satuan.
4 Koefisien X
3
Kepemilikan Aset produktif = -0,98 Jika kepemilikan aset produktif mengalami
peningkatan sebesar satu satuan, sementara pendi- dikan dan pendapatan dianggap tetap maka akan
menyebabkan penurunan kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Sema-
rang sebesar -0,98 satuan
Selain itu, perlu dikaji bagaimana pengaruh va- riabel independen tingkat pendapatan, pendidikan
dan kepemilikan aset produktif secara bersama- sama mempengaruhi kerawan rumah tangga miskin
rawan pangan di daerah penelitian. Berdasarkan hasil uji F tersebut diperoleh hasil seperti pada Tabel
4.
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Berganda
Coefficients a
20.955 .640
32.764 .000
-.253 .066
-.356 -3.820
.000 -.531
.137 -.326
-3.877 .000
-.398 .127
-.267 -3.130
.002 Constant
Tingkat Pendapatan Tingkat Pendidikan
Kepemilihan Aset Produktif Model
1 B
Std. Error Unstandardized
Coefficients Beta
Standardized Coefficients
t Sig.
Dependent Variable: Kerawanan Pangan a.
Tabel 4. Hasil uji F statistis
ANOVA b 128.466
3 42.822
31.695 .000 a
110.789 82
1.351 239.256
85 Regression
Residual Total
Model 1
Sum of Squares df
Mean Square F
Sig.
Predictors: Constant, Kepemilihan Aset Produktif, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan
a. Dependent Variable: Kerawanan Pangan
b.
Predictors: Constant, Kepemilihan Aset Produktif, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan
a. Dependent Variable: Kerawanan Pangan
b. Model Summary b
.733 a .537
.520 1.16236
Model 1
R R Square
Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
139
Hasil perhitungan dengan menggunakan pro- gram SPSS versi 12.0 for Windows dapat diketahui
bahwa F hitung 31.695 dengan nilai probabilitas 0,00. Karena nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05
maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat dikatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan
antara pendapatan X
1
, pendidikan X
2
, kepemilikan aset produktif X
3
secara bersama-sama terhadap kerawanan pangan Y.
Selain itu, berdasarkan hasil analisis SWOT da- pat ditentukan berbagai upaya atau strategi penang-
gulangan kerawanan pangan dan kemiskinan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Sema-
rang. Dalam menganalisis peramsalahan tersebut melalui model SWOT dapat dilakukan dengan lebih
mudah melalui aspek internal dan eksternal seperti nampak pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 di atas, dike-
tahui besarnya nilai skor faktor strategis Internal 2,69, dana dari faktor eksternal sebesar 2,86.
Artinya, strategi untuk mengatasi kerawanan pangan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Selanjutnya, jika nilai strategi internal dan eksternal kita padukan, sehingga menandakan strategi internal
desa ini pada pertumbuhan rata-rata. Sedangkan, fator strategis eksternal 2,86 artinya strategi ekster-
nal desa masih dalam tingkat pertumbuhan. Faktor strategi internal-eksternal yang tergambarkan pada
matrik di atas akan semakin jelas jika dimasukkan ke dalam matrik internal dan eksternal dengan titik koor-
dinat terletak pada daerah pertumbuhan V seperti ditunjukan pada gambar-2 di bawah ini, Matriks
Rangkuty, 2006:25. Selanjutnya, berdasarkan ke- tentuan ini, maka dalam kasus ini berarti strategi
pemecahan masalah harus melalui intergrasi horizontal.
Tabel 5. Faktor-Faktor Strategi Internal
Faktor-faktor Strategi internal
Bobot Rating Skor Komentar
Kekuatan: 1. Sumberdaya alam potensial
2. Rumah tangga mempunyai banyak tenaga kerja
3. masyarakat mempunyai rasa gotong royong tinggi
4. Keterbukaan terhadap inovasi tinggi
0,17 0.19
0,18
0.17 3
4 3
3 0,51
0,76 0,54
0,51 Hendaknya bisa diolah dan dimanfaatkan
secara maksimal Banyaknya tenaga kerja harus diikuti dengan
peningkatan kemampuan SDM pula Walaupun kesadaran tinggi namun masih
kesulitan menentukan cara untuk mengatasi kerawanan pangan
Hal yang penting dalam menerima program- program baru dari pemerintah
Kelemahan: 1. Rumah tangga kertagntung
pada usaha pertanian 2. Pemanfaatan lahan belum
optimal 3. Kemampuan SDM rendah
4. Kepemilikan lahan rata-rata rendah
0,07 0,07
0,07
0,08 1
1 1
2 0,07
0,07 0,07
0,16 Sektor lain menjadi tidak berkembang
Karena keterbatasan teknologi dan kemampuan masyarakat masih rendah
Rendahnya kemampuan SDM dikarenakan ketidaka mampuan masyarakat untuk
mendapatkan layanan pendidikan
Rata-rata masyarakat desa wiru hanya sebagai buruh tani
TOTAL 1,00 2,69
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan ... Sari Prishardoyo : 135 – 143
140 Tabel 6.
Faktor-Faktor Strategi Eksternal
Faktor-faktor Strategi eksternal
Bobot Rating Skor Komentar
Peluang: 1. Adanya lembaga penyedia
permodalan dan sarana produksi 2. Kelembagaan masyarakat desa
yang mendukung 3. Adanya program dari pemerintah
BLT, raskin, BOS 4. Akses transportasi mudah
0,17 0,18
0,18 0,18
3 4
3 4
0,51 0,72
0,54 0,72
Harus bisa dimanfaatkan sebaik- baiknya karena sangat membantu masyarakat
Lembaga masyarakat juga sangat berperan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan
dalam masyarakat
Sangat membantu masyarakat Dengan transportasi yang mudah maka
membantu masyarakat dalam melakukan hubungan dengan masyarakat luar
Ancaman: 1. Semakin meningkatnya harga
kebutuhan pokok 2. Tidak stabilnya harga-harga
produksi 3. Penurunan daya dukung lahan
4. Sempitnya lapangan kerja 0,07
0,07 0,07
0,8 1
1 1
2 0,07
0,07 0,07
0,16 Hal ini semakin memperkeruh keadaan dan
menambah beban masyarakat
Perlu adanya informasi pasar agar masyarakat dapat mengetahui apa yang diinginkan pasar
Jumlah lahan yang semakin memberatkan masyarakat untuk berproduksi.
Inilah yang memyebabkan tingginya angka pengangguran
TOTAL 2,86
Total Skor Faktor Strategi Internal Kuat
Rata -rata Lemah
4.0 3.0
2.0 1.0
Tinggi 3.0
Total skor faktor S trategis Eksternal
menengah 2.0
Rendah 1.0
I Pertumbuhan
II Pertumbuhan
III Penciutan
IV Stabilitas
V Pertumbuhan
Stabilitas VI
Penciutan VII
Pertumbuhan VIII
Pertumbuhan IX
Likuidasi
Keterangan : I : Strategi konsentrasi melalui integrasi vertikal
VI : Strategi divestasi II : Strategi konsentrasi melalui integrasi horisontal
VII : Strategi diversifikasi III : Strategi turnaround
VIII : Strategi diversifikasi konsentrik IV : Strategi stabilitas
IX : Strategi likuiditas tidak berkembang V : Strategi konsentrasi melalui integrasi horisontal
atau stabilitas tidak ada perubahan dalam pendapatan
Gambar-2. Internal – Eksternal Matriks
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
141
Matrik-matrik di atas dipergunakan untuk me- ngetahui strategi yang tepat untuk menanggulangi
kerawanan pangan rumah tangga miskin di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.
Dari matrik di atas diketahui bahwa skor untuk strategi eksternal adalah dan skor 2,86 sedangkan
untuk strategi internal adalah 2,69 dan dapat dilihat dalam matrik IE terdapat dalam pertumbuhan V yaitu
strategi konsentrasi melalui integrasi horisontal atau stabilitas adalah suatu kegiatan untuk mengatasi
kerawanan pangan dengan cara mengadakan kon- sentrasi pada program yang ingin dicapai, dengan
berdasarkan kekuatan atau pertumbuhan dari rumah tangga itu sendiri
Dari hasil penelitian, regresi yang diperoleh yaitu Y=20,955 - 0,253X
1
- 0,531X
2
- 0,398X
3
. artinya jika tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepe-
milikan aset naik 1 skor maka kerawanan pangan akan turun sebesar 0,253X
1
- 0,531X
2
- 0,398X
3
demikian juga sebaliknya jika tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepemilikan aset turun 1 skor
maka akan terjadi kerawanan pangan sebesar 0,253X
1
- 0,531X
2
- 0,398X
3.
Koefisien regresi parsial antara pendapatan dengan kerawanan pangan di Desa Wiru, Keca-
matan Bringin Kabupaten Semarang sebesar -0,253, koefisien regresi parsial antara pendidikan dengan
kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebesar -0,531, dan
koefisien regresi parsial antara kepemilikan aset produktif dengan kerawanan pangan di Desa Wiru,
Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang sebesar - 0,398.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bah- wa secara bersama-sama pendapatan, pendidikan
dan kepemilikan aset produktif berpengaruh terhadap kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan
Bringin, Kabupaten Semarang dibuktikan dari hasil uji F sebesar 31, 695 yang memperoleh signifikansi
0,00. Secara parsial pendapatan berpengaruh terhadap kerawanan pangan sebesar-3,820 dengan
tingkat signifikansi sebesar 0,00. Pendidikan berpe- ngaruh terhadap kerawanan pangan sebesar -3877
dengan tingkat signifikansi sebesar 0,00. Sedangkan kepemilikan aset produktif juga berpengaruh terha-
dap kerawanan pangan sebesar -3,130 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,02. dengan ini dapat
diketahui bahwa masing- masing variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
Selanjutnya, Tingkat pendapatan yang semakin rendah menyebabkan tingkat kerawanan pangan
semakin tinggi hal ini sesuai dengan komponen kondisi kerawanan pangan menurut FAO dan UU No.
7 tahun 1996 tentang pangan dimana kondisi rawan pangan ditunjukkan dengan rumah tangga tidak
mempunyai akses ekonomi penghasilan tidak memadai atau harga pangan tidak terjangkau untuk
memperoleh pangan yang cukup baik kuantitas maupun kualitas hal ini disebabkan karena rumah
tangga rawan pangan mempunyai daya beli yang rendah. Umumnya keluarga yang mempunyai peng-
hasilan rendah mempergunakan sebagian besar pendapatannya untuk membeli makanan dan tentu
jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah, dengan demikian besarnya pendapatan menentukan daya
beli rumah tangga terhadap pangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata- rata penghasilan rumah tangga rawan pangan antara Rp
200.000- Rp 350.000 per bulan sedangkan besarnya pengeluaran untuk kebutuhan pangan per hari seba-
nyak 57 responden menjawab antara Rp 5.000- 10.000 dari hasil ini dapat diketahui bahwa sebagian
besar pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga rawan pangan digunakan untuk membeli bahan
makanan. Dengan demikian maka tingkat penda- patan berpengaruh terhadap kerawanan pangan di
Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.
Tingkat pendidikan yang semakin rendah menyebabkan angka kerawanan pangan akan
semakin tinggi hal ini seperti teori Suhardjo,2008. yang menyatakan bahwa kerawanan konsumsi
pangan dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendi- dikan di mana perilaku konsumsi makanan sese-
orang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan tentang gizi juga akan tinggi, selain itu tingkat
pendidikan yang rendah juga akan berpengaruh terhadap usaha rumah tangga dalam mendapatkan
mata pencaharian yang layak, umumnya masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah adalah masya-
rakat yang tingkat pendapatannya rendah, sehingga kemampuan daya beli terhadap pangan juga rendah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Pangan ... Sari Prishardoyo : 135 – 143
142
Hasil penelitian menunjukkan sebesar 54,65 keluarga rawan pangan yang menjadi responden
tingkat pendidikannya adalah SD, sedangkan 35,5 tidak sekolah atau tidak lulus SD, 8,14 lulus SMP
dan 1,16 lulus SMA dengan demikian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap
kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.
Selain itu, aset adalah sumber daya ekonomi yang dimiliki masyarakat dan mempunyai manfaat
ekonomi dan sosial yang dihitung dalam satuan uang, adapun aset produktif yang dimaksudkan da-
lam penelitian ini adalah lahan pertanian, kendaraan, ternak serta peralatan lainnya yang menghasilkan
pendapatan. Kepemilikan aset produktif yang sema- kin rendah akan menyebabkan kerawanan pangan
yang lebih tinggi, kepemilikan aset produktif lebih mengarah pada tingkat pendapatan rumah tangga,
bila pendapatan rendah maka daya beli terhadap pangan juga rendah, dimana menurut suryana,
2003:94 rumah tangga miskin atau dalam penelitian ini rumah tangga rawan pangan terbentuk apabila
dengan aset yang dimiliki tidak mampu menghasilkan pendapatan.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 39,53 rumah tangga rawan pangan tidak memiliki aset
produktif, 31,4 memiliki 1 jenis aset produktif dari yang disebutkan diatas tadi, 22,09 mempunyai 2
jenis aset produktif dan 1,16 mempunyai 3 aset produktif. Dengan demikian kepemilikan aset pro-
duktif berpengaruh terhadap kerawanan pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupaten Sema-
rang. Hasil dari model summary pada Tabel 4 diperoleh nilai R=0,52. Hal ini menunjukkan penger-
tian bahwa kerawanan pangan Y dipengaruhi sebe- sar 52 oleh variabel pendapatan X1, variabel
pendidikan X2, dan variabel kepemilikan aset produktif X3, sedangkan sisanya 100-52=48
dipengaruhi faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini.
Pengaruh antara pendapatan, pendidikan, dan kepemilikan aset produktif terhadap kerawanan
pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabupa- ten Semarang adalah pengaruh negatif yang ditun-
jukkan dari harga-harga koefisien regresi maupun koefisien korelasi yang bertanda negatif. Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa jika variabel pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset pro-
duktif ditingkatkan maka akan diikuti dengan menu- runnya angka kerawanan pangan di desa Wiru,
Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. dan sebaliknya, jika variabel pendapatan, pendidikan dan
kepemilikan aset produktif menurun maka akan diikuti dengan meningkatnya angka kerawanan
pangan di Desa Wiru, Kecamatan Bringin, Kabu- paten Semarang.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Secara bersama-sama
pendapatan, pendidikan dan kepemilikan aset pro- duktif berpengaruh terhadap kerawanan pangan di
Desa Wiru Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Kontribusinya sebesar 52 dan sisanya 48 tidak
diteliti dalam penelitian ini. Besarnya koefisien regresi parsial antara tingkat pendapatan dengan
kerawanan pangan di Desa Wiru sebesar -0253, tingkat pendidikan sebesar -0531, kepemilikan aset
produktif sebesar -0,398. Hubungan diantara variabel X dengan variabel Y adalah negatif. Selain itu,
strategi yang digunakan untuk mengatasi kerawanan pangan adalah strategi horizontal.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul, 2001, Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia Telaah Struktur, Kasus, dan Alternatif
Strategi, Jakarta:Erlangga
Amar, Syamsul, 2002, Kajian Kemiskinan di Pedesaan Propinsi Sumatera Barat, Jurnal
Ekonomi Pembangunan. Vol 7, No.2. hal. 139-
154. Badan Ketahanan Pangan, 2006, Pedoman Umum
Program Aksi Desa Mandiri Pangan MAPAN.
Depatemen Pertanian Badan Ketahanan Pangan, 2007, Pedoman
Operasional Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Depatemen Pertanian
Baliwati, 2001, Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Desa Sukajadi
Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor http:pse.litbang.deptan.go.idindpdffilesMono
26-2.pdf 4 Agustus 2008
BPS, 2006, Kabupaten Semarang Dalam Angka Provinsi Jawa Tengah: BPS
JEJAK, Volume, 2 Nomor 2, September 2009
143
BPS, 2006, Produk Domestik Regional Bruto Kabu- paten Semarang
, Kabupaten Semarang:BPS Djamali, Abdoel, 2000, Manajemen Usaha Tani,
Departemen Pendidikan Nasional: Politeknik Pertanian Negeri Jember Jurusan Manajemen
Agribisnis
Hardiansyah, 1996, Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga
http:damandiri.or.id.filewahidipbtinjauan.pdf di ases 19 Juni 2008
Khomsan, Ali dkk., 2004, Pengantar Pangan Dan Gizi
. Jakarta: Penebar Swadaya Nainggolan, Kaman, 2005, Peningkatan Ketahanan
Pangan Masyarakat, Jurnal Pangan, Semarang: Perusahaan Umum BULOG.
Maxwell dan Frankenberger, 1992 Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga
http:damandiri.or.id.filewahidipbtinjauan.pdf 19 Juni 2008
Rangkuti, Freddy, 1997, Analisis Swot: Teknik membelah Kasus Bisnis Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategi Untuk Menghadapi Abab 21, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Soetrisno, Noer, 2005, Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan, Jurnal Pangan, Semarang:
Perusahaan Umum BULOG Suhardjo, 2008, Konsep Ketahanan Pangan Rumah
Tangga http:damandiri.or.id.filewahidipbtinjauan.pdf
19 Juni 2008
Sukandar, 2001, Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga
http:damandiri.or.id.filewahidipbtinjauan.pdf 19 Juni 2008
Suryana, Achmad, 2003, Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan,
Yogyakarta: BPFE Widowati, S., 2005, Diversifikasi Pangan Sebagai
Upaya Mengatasi Kerawanan Pangan, Jurnal Pangan
, Perusahaan Umum BULOG.
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... Fafurida : 144 – 155
144
PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN SUB SEKTOR TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN KULONPROGO
Fafurida
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang Email; fafuridayahoo.com
ABSTRACT
The objective of this research is to make planning in the development of agricultural sector especially food crops for the economic area improvement. The tools of analysis applied are shift share, Location
Quotient LQ and central index analysis. The development of the superb food crops is conducted with the development of processing and central industry. By observing the superb crops commodity, central
index value, and PRDB per capita, it can be determined the development direction of each food crops commodities, that is by specifying central production area and processing industry. Paddy central
production is recommended in Temon, Panjatan, Galur, Lendah, Kokap, Girimulyo, Nanggulan and Samigaluh sub-districts, and rice mill is developed in Wates and Pengasih sub-districts. For Maize
commodity, the development of processing industry is conducted in Sentolo and Pengasih sub-districts and its central production is in Temon, Lendah, Kokap, Kalibawang and Samigaluh sub-districts. For
cassava crops commodity, the central production is in Temon, Kokap, Girimulyo, Kalibawang and Samigaluh sub-districts, and its processing industry is founded in Sentolo and Pengasih sub-districts.
Central production of sweet potatoes is in Panjatan, Pengasih, and Girimulyo subdistricts, and its processing industry is in Wates sub-district. For peanuts commodity, the processing industry is founded
in Wates and Pengasih sub-districts, and its central production is in Temon, Lendah, Kokap, Girimulyo and Samigaluh sub-districts. Central production of soybeans crops commodity is located in Temon,
Galur, Lendah, Nanggulan and Kalibawang sub-districts and its processing industry is in Sentolo and Pengasih sub-districts. Temon, Sentolo, and Pengasih sub-districts are the central production for the
green beans crops with processing industry in Wates sub-district. Keywords: development, food crops, superb commodity
PENDAHULUAN Kabupaten Kulonprogo merupakan daerah pa-
ling terbelakang di Propinsi DIY. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai PDRB tiap kabupaten di Propinsi
DIY dari tahun 2002-2006 gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
pendapatan yang sangat besar antardaerah di Propinsi DIY dilihat dari tingkat PDRB masing-
masing daerah. Ada beberapa daerah yang memiliki PDRB jauh di bawah rata-rata dan terdapat daerah
yang memiliki tingkat PDRB jauh di atas rata-rata. Kabupaten Sleman memiliki nilai PDRB terbesar
”secara relatif” dibandingkan dengan kabupatenkota lainnya. Sedangkan, Kulonprogo merupakan kabu-
paten dengan nilai PDRB terkecil.
Untuk meningkatkan perekonomian daerah Kabupaten Kulonprogo dapat dilakukan suatu peren-
canaan pengembangan perekonomian yang berbasis sektor pertanian. Hal tersebut dikarenakan sektor
pertanian merupakan sektor perekonomian yang paling unggul di Kabupaten Kulonprogo. Hal itu
ditunjukkan dari besarnya kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kulonprogo dari tahun ke tahun. Dari
tahun 2002 sampai 2006, sektor pertanian selalu memiliki share paling besar terhadap PDRB Kabu-
paten Kulonprogo. Dalam upaya peningkatan perekonomian wilayah, maka Kabupaten Kulonprogo
dapat mengembangkan sektor pertanian yang meru- pakan leading sektor dengan harapan pengembang-
an sektor pertanian ini akan dapat meningkatkan kontribusinya terhadap pendapatan daerah, sehingga
perekonomian bisa meningkat.
Pengembangan sektor pertanian akan lebih cepat jika dilakukan dengan lebih terspesifikasi.
Sektor pertanian memiliki beberapa subsektor dianta- ranya yaitu tanaman pangan, perikanan, kehutanan,
peternakan dan tanaman perkebunan. Jika dilihat dari gambar kontribusi subsektor pertanian terhadap
sektor pertanian Kabupaten Kulonprogo dari tahun
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
145
2002 sampai 2006 di bawah ini, dapat dilihat bahwa subsektor tanaman pangan selalu memberikan
kontribusi yang sangat besar dibandingkan dengan subsektor-subsektor yang lain, bahkan trennya selalu
menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun. Jadi langkah yang dapat diambil dalam pengembangan
perekonomian Kabupaten Kulonprogo dapat dilaku- kan dengan pengembangan sektor pertanian khusus-
nya subsektor tanaman pangan dan tentunya dengan tidak mengesampingkan sektor-sektor yang lain.
Pengembangan agribisnis adalah suatu langkah tepat dalam usaha untuk semakin mengembangkan
sektor pertanian, karena dapat meningkatkan hasil- hasil pertanian dengan memberikan nilai tambah
pada produk pertanian. Salah satu contoh usaha agribisnis yang dapat dikembangkan adalah industri
makanan yang merupakan pengolahan berbagai macam bahan pangan pertanian. Pembangunan
industri-industri tersebut akan menciptakan kawasan desa yang modern dalam kegiatan ekonomi dengan
tetap berakar pada kehidupan agraris dan ditunjang dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas-
fasilitas sosial maupun ekonomi.
1.52 1.46
1.40 1.34
1.28 3.30
3.23 3.08
2.93 2.80
2.44 2.53
2.61 2.73
2.83 5.31
5.08 4.84
4.60 4.37
3.81 3.99
4.19 4.40
4.57 2.94
3.08 3.22
3.38 3.51
1 2
3 4
5 6
2002 2003
2004 2005
2006
Tahun P
D R
B ADH
K o
n s
ta n
2 000
T ri
liu n
R u
p ia
h
Kulonprogo Bantul
Gunungkidul Sleman
Kota Yogyakarta Rata-rata
Sumber : BPS, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diolah
Gambar 1. Nilai PDRB Menurut KabupatenKota di Provinsi DIY Atas Dasar Harga Konstan 2000, 2002-2006 Triliun
Rupiah
Tabel 1. Kontribusi Sektor Perekonomian terhadap PDRB ADH Konstan 2000 Kabupaten Kulonprogo tahun
2002-2006 No Lapangan
Usaha 2002
2003 2004
2005 2006
1 Pertanian
28.28 27.96 27.76 27.55 27.12 2
Pertambangan Penggalian 1.07
0.99 0.91
0.89 1.18
3 Industri
Pengolahan 16.65 16.50 16.02 16.12 15.98
4 Listrik,Gas Air Bersih
0.59 0.59
0.59 0.59
0.60 5
Bangunan 4.39 4.43 4.49 4.47 4.76
6 Perdagangan,Hotel Restoran
16.73 16.41
16.23 16.40
16.34 7
Pengangkutan Komunikasi 9.27
9.53 10.04
10.13 10.35
8 Keuangan,Persewaan Jasa Perusahaan
4.97 5.51
6.02 6.08
5.96 9
Jasa-jasa 18.03 18.07 17.94 17.77 17.71
PDRB 100 100 100 100 100
Sumber : BPS Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... Fafurida : 144 – 155
146
50,000 100,000
150,000 200,000
250,000 300,000
PDRB ADH Konstan 2000
Sub Sektor Pertanian
2002 2003
2004 2005
2006
Tahun
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan
Peternakan Hasil-hasilnya Kehutanan
Perikanan
Sumber : BPS, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diolah
Gambar 2. Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap Sektor Pertanian Kabupaten Kulonprogo Tahun 2002-2006
Potensi yang dimiliki antar kecamatan di Kabu- paten Kulonprogo berbeda-beda. Melalui pengem-
bangan sistem pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan dan didukung oleh fasilitas-fasilitas
ekonomi dan sosial yang dimiliki kecamatan maka kecamatan tersebut dapat dikembangkan sebagai
pusat pelayanan dengan potensi dan sumberdaya yang dimiliki. Pada dasarnya setiap pusat-pusat
pelayanan mempunyai hirarki atau peringkat. Peme- rintah daerah dalam memproyeksikan kecamatan
sebagai pusat pelayanan yaitu dengan menyusun hirarki dari kecamatan berdasarkan jumlah fasilitas
pelayanan sosial dan ekonomi yang telah dimiliki oleh kecamatan tersebut.
Komoditas-komoditas tanaman pangan unggul- an dari masing-masing kecamatan harus diarahkan
pengembangannya yaitu dengan pembangunan- pembangunan sentra produksi dan sentra industri
pengolahan. Sehingga pembangunan daerah akan dapat dikembangkan menjadi kawasan atau pusat
kegiatan ekonomi dengan tetap berakar pada kehi- dupan agraris di Kabupaten Kulonprogo melalui arah
pengembangan tanaman pangan yang tepat.
Tujuan yang diharapkan untuk dicapai dari penelitian ini adalah:
1 Mengidentifikasi komoditas tanaman pangan yang memiliki keunggulan kompetitif dan kom-
paratif di tiap kecamatan di Kabupaten Kulon- progo.
2 Mengidentifikasi komoditas tanaman pangan unggulan yang potensial untuk dapat dikem-
bangkan di masing-masing kecamatan di Kabu- paten Kulonprogo.
3 Menyusun hirarki pusat-pusat pelayanan sosial dan ekonomi di Kabupaten Kulonprogo.
4 Menyusun perencanaan pengembangan sektor pertanian sub sektor tanaman pangan di Kabu-
paten Kulonprogo.
LANDASAN TEORI Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan pembangunan daerah dalam perspektif otonomi daerah diharapkan mampu men-
dorong eksistensi suatu daerah dalam menghadapi era global. Perencanaan itu perlu memiliki landasan
yang kuat dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip global yang dewasa ini telah menjadi trend dalam
sistem penataan pemerintahan. Meskipun tidak bisa mengadopsi seratus persen konsep-konsep global
yang berkembang, pada tataran tertentu hal itu perlu menjadi perhatian bila kita ingin tetap eksis dalam
percaturan dunia. Kendati demikian, tetap harus memperhitungkan kultur atau budaya masyarakat
yang secara substansial memiliki kekhasan karakter yang perlu dipertahankan dan tidak bisa dikorbankan
begitu saja.
Pengembangan Ekonomi Lokal Local Economic Development
Pengembangan Ekonomi Lokal PEL adalah usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang
melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi masyarakat madani untuk
JEJAK, Volume 2, Nomor 2, September 2009
147
mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah tertentu. Ciri utama pengembangan ekonomi lokal
adalah pada kebijakan “endogenous development” menggunakan potensi sumber daya manusia, insti-
tutional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarah- kan kepada fokus dalam proses pembangunan untuk
menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi Blakely, 1994:114.
Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah
adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan
industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk
diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Teori basis ekonomi
menguraikan tentang potensi yang dimiliki suatu daerah dalam upaya untuk mencukupi kebutuhannya
sendiri. Teori basis ini mengelompokkan struktur perekonomian menjadi dua sektor:
1 Sektor unggulan yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani pasar domestik maupun
luar. Ini menunjukkan adanya kegiatan meng- ekspor barang dan jasa.
2 Sektor non unggulan yaitu sektor yang diproyek- sikan untuk melayani pasar domestik.
Perencanaan Pusat Pelayanan
Konsep pusat pelayanan ditelaah dan diadap- tasi dari berbagai teori. Teori-teori tersebut yaitu teori
pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan, teori tempat sentral, spread-backwash effect, dan trickling
down dan polarization effect.
Growth Pole Kutub Pertumbuhan dan Pusat Pertumbuhan
Dipelopori oleh Perroux dan Boudeville, mende- finisikan sebuah kutub pertumbuhan sebagai suatu
kumpulan industri yang akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi suatu negara karena industri-
industri tersebut mempunyai kaitan kemuka forward linkage dan kaitan ke belakang backward linkage
yang kuat dengan industri unggul. Inti dari teori Pusat Pertumbuhan adalah sebagai berikut: 1 Dalam
proses pembangunan akan timbul industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam
pembangunan ekonomi daerah. Karena keterkaitan antar industri sangat erat, maka perkembangan in-
dustri unggulan akan mempengaruhi perkembangan industri lain yang berhubungan erat dengan industri
tersebut. 2 Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian,
karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga
perkembangan industri di daerah tersebut akan mempengaruhi perkembangan daerah-daerah lain-
nya. 3 Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif aktif industri unggulan
dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu indus- tri yang tergantung dari industri unggulan atau pusat
pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif
pasif.
Teori Tempat Sentral Central Place Theory
Teori tempat sentral menganggap bahwa ada hirarki tempat hierarchy of places. Setiap tempat
sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya industri bahan
baku. Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi pendu-
duk daerah yang mendukungnya Arsyad, 1998: 117. Kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari
model tempat sentral yaitu : kota-kota berbeda dalam ukuran dan lingkupnya, wilayah itu hanya memiliki
sejumlah kecil kota-kota besar dan sejumlah besar kota-kota kecil. Bukan sejumlah besar kota besar
dan sejumlah kecil kota kecil, konsumen melakukan perjalanan ke kota-kota besar bukan ke kota-kota
kecil atau kota-kota dari jenjang yang sama.
Teori Spread-Backwash Effects Pertumbuhan Ekonomi Dalam Tata Ruang
Dikemukakan oleh Gunnar Myrdal 1957. Menurut Myrdal memusatnya ekspansi ekonomi di
suatu daerah yang disebabkan oleh berbagai hal, misalnya kondisi dan situasi alamiah yang ada, letak
geografis, dan sebagainya, akan mempunyai penga- ruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain disebut
backwash effects dan cenderung menguntungkan daerah-daerah yang sedang mengalami ekspansi
ekonomi tersebut, karena tenaga kerja yang ada, modal, perdagangan akan pindah ke daerah yang
Perencanaan Pengembangan Sektor Pertanian... Fafurida : 144 – 155
148
melakukan ekspansi tersebut dinamakan spread effects. Khususnya urbanisasi tenaga kerja muda ke
kota sehingga desa kehilangan tenaga produktif untuk mengembangkan desa itu sendiri.
Trickling Down dan Polarization Effects Suatu Pertumbuhan Ekonomi
Ditemukan oleh Hirschman 1958. Ia berpen- dapat bahwa karena potensi sumberdaya yang tidak
seragam dan tidak merata antara region satu dengan region lainnya maka region-region dalam sebuah
negara akan tumbuh tidak sama dan tidak seragam. Untuk dapat tumbuh dengan cepat, suatu negara
perlu memilih satu atau lebih pusat-pusat pertum- buhan regional yang mempunyai potensi paling kuat.
Apabila region-region kuat ini telah tumbuh maka akan terjadi perembetan pertumbuhan bagi
region-region yang lemah. Perembetan pertumbuhan ini bisa berdampak positif trickling down effects,
yaitu adanya pertumbuhan region yang kuat dan menyerap potensi tenaga kerja di region yang lemah
yang masih menganggur atau mungkin region yang lemah menghasilkan produk yang sifatnya komple-
menter dengan produk region yang lebih kuat. Sedangkan dampak negatif polarization effect
terjadi kalau kegiatan produksi di region yang kuat bersifat kompetitif dengan produk region yang lemah,
yang sebenarnya membutuhkan pembinaan.
Fungsi Pusat dan Daerah Belakang Hinterland
Pusat dan daerah belakang dalam suatu wila- yah mempunyai hubungan yang bersifat simbiotik
dan mempunyai fungsi yang spesifik sehingga keduanya tergantung secara internal. Fungsi dari
pusat antara lain adalah sebagai pusat pemukiman, pusat pelayanan, pusat industri dan pusat perda-
gangan bahan mentah. Sedangkan fungsi daerah belakang antara lain sebagai penyedia bahan men-
tah dan sumber daya dasar, daerah pemasaran barang-barang industri dan pusat kegiatan pertanian.
Hirarki Pusat-Pusat Wilayah dan Pusat Pelayanan
Timbulnya pusat-pusat wilayah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor lokasi ekonomi, faktor
ketersediaan sumber daya, kekuatan aglomerasi dan faktor investasi pemerintah.
Pada dasarnya pusat wilayah mempunyai hirar- ki. Hirarki dari suatu pusat ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu jumlah penduduk yang bermukim pada pusat tersebut, jumlah fasilitas pelayanan umum
yang tersedia dan jumlah jenis fasilitas pelayanan umum yang tersedia.
Identifikasi dari pusat-pusat pelayanan mempu- nyai beberapa tujuan yaitu dapat mengidentifikasikan
pusat-pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang berbeda, penentuan dari fasilitas infra-
struktur pokok untuk memuaskan kebutuhan bera- gam sektor dari penduduk dan pengintegrasian atau
pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbe- da dan penentuan dari keterkaitan atau jaringan jalan
untuk mengembangkan aksebilitas dan efisiensi.
METODE PENELITIAN
Metode analisis yang digunakan dalam pene- litian ini adalah :
1. Analisis Shift-Share