Isolasi Senyawa Racun dari Ikan Buntal
ISOLASI SENYAWA RACUN DARI IKAN BUNTAL
Eka Deskawati
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ISOLASI
SENYAWA RACUN DARI IKAN BUNTAL adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Insitut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Eka Deskawati
NRP. C351110101
RINGKASAN
EKA DESKAWATI. Isolasi Senyawa Racun dari Ikan Buntal. Dibimbing oleh
SRI PURWANINGSIH dan PURWATININGSIH SUGITA.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi dan berpotensi
sebagai bahan baku obat, salah satunya adalah ikan buntal. Ikan ini memiliki ciri
khas dapat menggembungkan dirinya dan mengeluarkan racun yang sangat
mematikan. Racun dari ikan buntal ini dapat digunakan sebagai obat bius dan
penghilang rasa sakit. Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi senyawa racun
dari ikan buntal, jenis Arothron hispidus dan Diodon hystrix dengan berat diatas
200 gram. Tahapan dalam penelitian ini adalah karakterisasi ikan buntal,
pemilihan cara ekstraksi racun terbaik, pemilihan spesies dan bagian organ yang
memiliki kandungan racun tinggi, pengujian toksisitas ekstrak kasar secara in vivo
menggunakan model hewan tikus serta identifikasi senyawa racun. Tingkat
toksisitas ekstrak racun diuji menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT).
Ikan buntal dalam penelitian ini merupakan ikan dewasa yang memiliki
kadar air 79,50% untuk A. hispidus dan 82,37% D. hystrix, serta kadar protein
17,30% untuk A. hispidus dan 16,01% untuk D. hystrix. Toksisitas tertinggi
terdapat pada ovarium Arothron hispidus dengan nilai Lethal concentration 50
(LC50) 29,65 ppm. Ekstrak ovarium ini mengandung alkaloid, karbohidrat, dan
asam amino. Metode ekstraksi Founda (2005) ditentukan sebagai metode ekstraksi
terbaik. Histopatologi hipokampus dari tikus yang diberi ekstrak ovarium
Arothron hispidus menunjukkan adanya nekrosis sel pada dosis 1 dan 4 mg/kg
berat badan dan terjadi pendarahan pada dosis 4 mg/kg berat badan. Tikus yang
diberikan ekstrak hati Arothron hispidus juga menunjukkan nekrosis pada dosis
0,25; 1 dan 4 mg/kg berat. Histopalotogi korteks serebri memperlihatkan semakin
tinggi dosis ekstrak ovarium dan hati Arothron hispidus yang diberikan, maka
jumlah sel yang mengalami nekrosis semakin banyak. Hasil fraksinasi
menggunakan Kromatografi Cair Vakum (KCV) dan Kromatografi Lapis Tipis
Preparatif (KLTP) menunjukkan racun yang diduga adalah curvulin.
Kata kunci: Arothron hispidus, Brine Shrimp Lethality Test, Diodon hystrix, ikan
buntal, kromatografi, racun, tikus
SUMMARY
EKA DESKAWATI.
Isolation Puffer Fish Toxin. Supervised by SRI
PURWANINGSIH dan PURWATININGSIH SUGITA.
Indonesia high in marine biodiversity and potential as pharmaceutical raw
materials, one of that puffer fish. This fish can inflate themselves and release the
toxins in threatened condition. This toxin can be used as an anesthetic and
painkillers. The objective of this study was to isolate toxin from puffer fish.
Arothron hispidus and Diodon hystrix wich had over 200 gram weight were used
as raw material. This study were conducted to characterize the puffer fish,
determine the best extraction method, species, and organ, in vivo test toxicity of
crude extract using rat animal models and identify its toxic compounds. Toxicity
level of toxin extract was assayed by Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
Pufferfish in this study were the adult fish that high in moisture content
79,50% for A. hispidus and 82,37% for D. hystrix) and protein (A. hispidus
17,30% and D. hystrix 16,01%). The highest toxicity was ovary of Arothron
hispidus with Lethal Concentration 50 (LC50) value 29.65 ppm. The ovary extract
contains alkaloid, carbohydrate and amino acid. The method by Founda (2005) as
the best extraction method. The histopathology hippocampus from rats were feed
with Arothron hispidus ovary extract show necrosis cell at doses 1 and 4 mg/kg
weight dose and bleeding at 4 mg/kg weight dose. Rats fed with Arothron
hispidus liver extract also show necrosis at dose 0,25, 1 and 4 mg/kg weight dose.
Similarly, histopathology cerebral cortex cells showed more doses given to rats
increased the number of necrotic cells. The fractiontion result using Vacuum
Liquid Chromatography (VLC) and Preparative Thin Layer Chromatography
(PTLC) shows the toxin was thought to contain toxic compound curvulin.
Keywords: Arothron hispidus, Brine Shrimp Lethality Test, Diodon hystrix, puffer
fish, rat, toxin
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ISOLASI SENYAWA RACUN DARI IKAN BUNTAL
EKA DESKAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi
Judul Tesis
Nama
NIM
Program Studi
:
:
:
:
Isolasi Senyawa Racun dari Ikan Buntal
Eka Deskawati
C351110101
Teknologi Hasil Perairan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Sri Purwaningsih, MSi.
Ketua
Prof Dr Dra Purwatiningsih Sugita, MS
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Wini Trilaksani, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 06 Februari 2015
Tanggal Pengesahan:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Judul
tesis ini adalah ” Isolasi Senyawa Racun dari Ikan Buntal”.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr Ir Sri Purwaningsih, MSi dan Prof Dr Dra Purwatiningsih Sugita, MS
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan,
dukungan, semangat serta pelajaran tentang berbagai macam hal sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. Tati Nurhayati, SPi, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.
3. Dr. Ir. Wini Trilaksani, MSc selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan.
4. Prof drh Ekowati Handharyani, MSi, PhD atas bantuan dan bimbingan beliau
selama penulis menjalankan penelitian.
5. Keluarga besar saya, yang telah memberikan doa, dorongan semangat dan kasih
sayang selama ini.
6. Keluarga besar mahasiswa sekolah pascasarjana Teknologi Hasil Perairan, yang
telah memberikan dorongan semangat baik selama penelitian maupun saat
penyusunan tesis ini.
7. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
tesis ini. Oleh karena itu, jika terdapat kesalahan penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
sehingga bermanfaat untuk penyelesaian tesis ini. Akhirnya, semoga tesis ini
bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Eka Deskawati
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Karakteristik Bahan Baku
Penentuan Cara Ekstraksi Racun Terbaik
Penentuan Jenis Ikan dan Organ Ikan Buntal Paling Toksik
Isolasi Racun
Uji Toksisitas
Analisis Fitokimia
Pemurnian dan Penentuan Struktur Kimia Ekstrak
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Ekstraksi Racun Terpilih
Jenis Ikan dan Organ Ikan Buntal Paling Toksik yang Terpilih
Toksisitas Akut Ekstrak Racun pada Tikus
Pengaruh racun ikan buntal pada hipokampus
Pengaruh racun ikan buntal pada korteksserebri
Komposisi Kimia Ekstrak Racun Ikan Buntal
Pemurnian dan Pencirian Komponen
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
iii
iv
v
1
1
2
2
3
4
4
4
4
6
8
8
8
8
10
11
12
13
13
17
17
21
21
22
22
23
30
30
35
46
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Metode penentuan ekstraksi racun terbaik
2
Pengukuran morfometrik ikan buntal
14
3
Hasil analisis proksimat ikan buntal
15
4
Hasil penentuan cara ekstraksi racun
17
5
Nilai rendemen dan toksisitas ekstrak racun ikan buntal
18
6
Tingkat toksisitas dari beberapa jenis ikan buntal
20
7
Hasil uji fitokimia ekstrak ovarium Arothron hispidus
23
8
Data hasil pengujian toksisitas kelompok fraksi
24
9
Kondisi Liquid Chromatography Mass Spectroscopy dan waktu
10
8
retensi racun pada ikan buntal
25
Senyawa-senyawa pada rentang waktu retensi 2,6-17 menit
26
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram alir penelitian
5
2 Ikan buntal Arothron hispidus (A), ikan buntal Diodon hystrix (B)
13
3 Persentase randemen ikan buntal D. hystrix dan A. hispidus
14
4 Histopatologi sel hipokampus
22
5 Histopatologi sel korteks serebri
22
6 Kromatogram fraksi D KLTP dengan eluen butanol:asam asetat:air (2:1:1),
diamati pada lampu UV 366 nm
24
7 Kromatogram LCMS Fraksi D pada Rf1
25
8 Spektrum massa pada waktu retensi 6,21 menit
27
9 Fragmentasi senyawa curvulin
27
10 Mekanisme akumulasi racun pada hewan laut
28
11 Struktur kimia tetrodotoksin
29
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Surat keterangan identifikasi ikan buntal dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
37
2 Perhitungan proksimat ikan buntal
38
3 Analisis ragam penentuan cara ekstraksi racun
40
4 Analisis ragam penentuan spesies dan organ paling toksik
41
5 Penentuan LC50 Daging Diodon hystrix
42
6 Penentuan LC50 Kulit Diodon hystrix
42
7 Penentuan LC50 Hati Diodon hystrix
43
8 Penentuan LC50 Daging Arothron hispidus
43
9 Penentuan LC50 Ovarium Arothron hispidus
44
10 Penentuan LC50 Hati Arothron hispidus
44
11 Penentuan LC50 Kulit Arothron hispidus
45
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan akan obat-obatan di Indonesia semakin meningkat, hal ini
memicu pertumbuhan industri farmasi di Indonesia, yaitu berkisar 10-15% pada
2013. Kendati demikian, ada hal yang perlu diperbaiki terutama untuk menekan
ketergantungan terhadap bahan baku impor. Berdasarkan Peraturan Meteri
Kesehatan RI no 87 Tahun 2013, pasar farmasi Indonesia pada tahun 2011
berkisar sekitar 43 triliun rupiah dari jumlah tersebut diperkirakan bahan baku
obat (BBO) yang digunakan adalah kurang lebih sekitar 30%-nya atau sekitar 14
triliun rupiah dan sekitar 96%-nya merupakan bahan baku impor. Jumlah ini dapat
diminimalisir jika ada kemandirian di bidang obat dengan menumbuhkan industri
bahan baku obat dalam negeri. Industri ini tidak akan berjalan apabila tidak
didukung penelitian mengenai bahan baku obat, sehingga nantinya bangsa
Indonesia bisa menjadi produsen obat dan bukan hanya sebagai pangsa pasar.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan biodiversitas tinggi.
Kekayaan biota laut Indonesia sudah lama dikenal dan digunakan sebagai bahan
baku dalam pembuatan obat-obatan meskipun efektifitasnya belum banyak teruji
secara ilmiah (Purwaningsih 2006). Adanya keanekaragaman yang tinggi dari
spesies biota laut menyebabkan terjadinya kompetisi yang tinggi dan ketat antar
spesies untuk bertahan hidup. Kondisi ini menyebabkan spesies-spesies ini
mensintesis metabolit sekunder berupa senyawa-senyawa toksik untuk
mempertahankan dirinya. Struktur kimia dan aktivitas biologis senyawa dari biota
laut sangat jarang ditemukan padanannya dengan biota darat. Biota laut yang
hidup di wilayah tropis dan subtropis Indopasifik banyak diburu industri farmasi
untuk penemuan obat antikanker, antibiotik dan antiinflamasi (Widihati 2004).
Salah satu organisme laut yang berpotensi menghasilkan metabolit sekunder
berupa racun adalah ikan buntal. Ikan buntal berasal dari famili Diodontidae dan
berasal dari ordo Tetraodontiformes. Nama tetraodontiformes berasal dari
morfologi gigi ikan ini, yaitu memiliki dua gigi besar pada rahang atas dan
bawahnya yang cukup tajam. Gigi yang menyatu bersama menjadi satu kesatuan,
menciptakan mulut yang kuat dan dapat meretakan kulit kerang siput, landak laut,
dan kepiting yang merupakan makanan utama ikan buntal. Ikan buntal memiliki
tulang belakang yang lebih tipis, tersembunyi, dan dapat terlihat ketika ikan ini
menggembungkan diri (BPOM 2006). Ikan ini banyak ragamnya di perairan
tropis, sedikit di perairan zona sedang dan tidak ada di perairan dingin.
Di Indonesia ikan buntal memiliki nilai jual sangat rendah yaitu sekitar
Rp. 3.000,-/kg, sehingga ikan ini tidak dijual dan hanya dikonsumsi oleh nelayan
di beberapa daerah tertentu bahkan di daerah lainnya ikan buntal dibuang karena
selain beracun, duri dari ikan ini dapat merusak jaring nelayan. Nilai ekonomi dari
ikan ini di Indonesia belum terasa karena keterbatasan pengetahuan mengenai cara
pengelolaan dan pemanfaaatannya.
Penelitian mengenai racun pada ikan buntal pertama kali dilakukan oleh Dr.
Yoshizumi Tahara pada tahun 1909 yang diisolasi dari ovarium ikan buntal.
Struktur dari racun ini baru dielusidasi pada tahun 1964 oleh R. B. Woodward
(Bane 2014). Menurut Noguchi dan Arakawa (2008) racun pada ikan buntal
2
merupakan racun yang menyerang syaraf dan memiliki berat molekul rendah.
Racun ini menghambat konduksi syaraf dan otot secara selektif memblokir
saluran natrium, sehingga dapat digunakan sebagai obat anastesi lokal. Obat dari
ikan buntal yang pertama kali dirilis adalah Tectin, obat ini berbahan dasar dari
tetrodotoksin dan dikembangkan oleh WEX Pharmaceutical Inc. Ketika diberikan
dalam dosis kecil obat ini ampuh mengurangi rasa sakit kronis yang dialami oleh
pasien kanker (Hagen 2007). Penelitian mengenai anti tumor dari racun ikan
buntal juga telah dilakukan oleh Founda (2005). Penelitiannya menghasilkan
racun ikan buntal efektif dalam menghilangkan sel kanker Ehrlich Ascite
Carcinoma dan meningkatkan waktu hidup hewan uji hingga 46 %. Penelitian
dari Soliman et al. (2014) menunjukkan bahwa racun ikan buntal
Amblyrhynchotes hypselogenion dan Lagocephalus sceleratus dari Laut Merah
dapat digunakan sebagai antifouling.
Sebagian besar penelitian dari ikan buntal tertuju pada penentuan bioktivitas
dari racun ikan buntal ini, tetapi masih sedikit penelitian yang berfokus pada
isolasi dan pencirian racun ikan buntal. Penelitian mengenai isolasi racun dari
spesies Arothron hispidus dan Diodon hystrix belum pernah dilakukan, padahal
kedua spesies ini banyak terdapat di Indonesia, khususnya di Laut Pameungpeuk.
Di Indonesia penelitian mengenai racun terutama dari biota laut jarang dilakukan
padahal senyawa ini sangat diperlukan sebagai bahan baku obat-obatan.
Rumusan Masalah
Nilai impor bahan baku untuk obat-obatan di Indonesia sangat tinggi
mencapai lebih dari 90%. Hal ini memacu pemerintah untuk meningkatkan
penelitian mengenai bahan baku obat. Keanekaragaman biota laut Indonesia
sangat tinggi, sehingga kompetisi antar biota ini sangat ketat. Strategi pertahan
diri dari biota laut ini salah satunya dengan memproduksi senyawa metabolit
sekunder berupa racun. Salah satu biota laut yang dapat memproduksi racun
adalah ikan buntal. Ikan ini memproduksi racun untuk mempertahankan diri dari
serangan predator dan sebagai feromon untuk memikat lawan jenis.
Racun ikan buntal ini memiliki aktivitas biologis yang sangat kuat, bahan
bakunya sangat murah dan ketersediaan bahan melimpah sehingga dapat
digunakan sebagai bahan obat-obatan. Diharapkan hal ini menjadikan harga jual
dari obat semakin terjangkau oleh masyarakat. Ikan buntal di Indonesia tidak
memiliki nilai ekonomi dan biasanya hanya dibuang, meskipun di beberapa
daerah ada yang memanfaatkannnya untuk dikonsumsi dan dibuat kerupuk.
Pemanfaatan racun ikan buntal ini akan meningkatkan nilai ekonomis dan
diharapkan berimbas pada peningkatan kesejahteraan nelayan, karena
penangkapan ikan tidak hanya terbatas oleh ikan konsumsi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi bahan baku, memilih
cara ekstraksi racun terbaik, memilih spesies dan bagian organ dengan kandungan
racun yang tinggi, menguji toksisitas ekstrak kasar secara in vivo menggunakan
model hewan tikus serta mengidentifikasi senyawa racunnya. Skrining toksisitas
ekstrak ikan buntal menggunakan uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah racun dapat diisolasi dari ikan buntal.
Racun ini sangat toksik terhadap larva udang Artemia salina dan mempengaruhi
otak tikus pada bagian hipokampus serta korteks serebri.
4
2. METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 hingga Desember
2014. Sampel ikan buntal pasir (Arothron hispidus) dan buntal duren (Diodon
hystrix) diambil dari Laut Pameungpeuk, Garut-Jawa Barat. Penelitian dilakukan
di beberapa laboratorium, yaitu laboratorium Karakteristik Hasil Perairan,
laboratorium Biokimia Hasil Perairan dan laboratorium pangan-Pusat Antar
Universitas (PAU) untuk preparasi, ekstraksi, pemurnian, analisis fitokimia, dan
uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Pengujian toksisitas akut terhadap tikus
dilakukan di Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor. Penentuan jenis racun menggunakan Kromatografi cair spektoskopi massa
dilakukan di Laboratorium Forensik Mabes Polri.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan yaitu ikan buntal pasir (Arothron hispidus) dan
ikan buntal duren (Diodon hystrix) dengan ukuran diatas 200 gram yang diperoleh
dari laut Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Bahan lainnya yaitu methanol, asam
asetat, akuades, pelat silika gel F254, silika gel Merck 60G, silika gel 60 (0.2-0.5
mm), asam asetat glasial, asam klorida p.a. (Merck), pereaksi FeCl3 1%, pereaksi
dragendorf, pereaksi meyer, pereaksi wagner, kloroform, anhidrida asetat, asam
sulfat, serbuk Mg, amil alkohol, etanol, pereaksi molisch, pereaksi benedict,
ninhidrin, Artemia salina dan tikus. Tikus yang digunakan yaitu tikus putih (Rattus
noeveginus) galur Sprague Dawley berkelamin jantan dengan berat 180-200 g.
Alat-alat yang digunakan antara lain timbangan digital, freeze drying,
sentrifuse dingin, penguap putar, kandang tikus, sonde, mikrotom, spluit,
mikroskop cahaya, kamera mikroskop, Kromatografi Cair Vakum (KCV),
kromatografi cair spektrometer massa ultra performance liquid chromatography
quadrupole time-of flight mass spectrometry (UPLC-QTOF/MS) merk Waters
Xevo G2-S, mikrotom dan peralatan kaca.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu karakterisasi bahan
baku, pemilihan cara ekstraksi racun terbaik berdasarkan pelarut, penentuan jenis
spesies dan organ yang akan digunakan, pengujian toksisitas akut, isolasi racun,
pemurnian, dan analisis senyawa racun. Secara ringkas tahapan penelitian tersebut
disajikan dalam bentuk diagram alir yang disajikan pada Gambar 1.
5
Sampel ikan
buntal
Karakterisasi Bahan Baku
-
Morfometrik
Rendemen
Proksimat
Penentuan metode ekstraksi racun
terbaik berdasarkan pelarut
Organ dan metode
ekstraksi racun terpilih
BSLT
Pemilihan jenis spesies
dan organ
Spesies dan
organ terpilih
Ekstraksi
Ekstrak kasar
- Uji Fitokimia
- Uji Toksisitas Akut
- Kromatografi Lapis
Tipis (KLT)
Kromatografi Cair Vakum
Fraksi-fraksi
- KLT
- BSLT
Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
UPLC-MS/QTOF
Senyawa racun
Gambar 1 Diagram alir penelitian
6
Karakteristik Bahan Baku
Karakterisasi ikan buntal dilakukan secara fisik yang terdiri dari pengukuran
morfometrik dan perhitungan rendemen, sedangkan secara kimia berupa analisis
proksimat terhadap daging dan ovarium ikan buntal yang meliputi kadar air,
protein, lemak, abu, dan karbohidrat.
1) Pengukuran morfometri
Sampel ikan buntal diidentifikasi jenis spesiesnya di Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI, Ancol-Jakarta (Lampiran 1). Pengukuran morfometri panjang,
lebar, dan tinggi dilakukan terhadap 12 buah sampel ikan buntal pasir dan 22 buah
ikan buntal duren
2) Pengukuran rendemen
Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh ikan buntal dari
bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berkut:
(%) Rendemen =
3)
x 100%
Analisis proksimat (AOAC 2005)
Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk memprediksi
komposisi kimia suatu bahan termasuk didalamnya analisis kandungan air,
lemak, abu, protein dan karbohidrat.
a) Analisis kadar air
Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam,
selanjutnya cawan dimasukkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit)
dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel ditimbang 5 g
dan dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan
oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan,
kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan
sampai dingin dan ditimbang.
Perhitungan kadar air :
B- C x 100%
% kadar air =
B-A B - A
Keterangan : A : Berat cawan kosong (gram)
B : Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C : Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan
(gram)
b) Analisis kadar abu
Cawan abu dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam,
didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga
didapatkan berat yang konstan. Sampel ditimbang 5 g dan dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga
tidak berasap, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan
suhu 600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat
yang konstan.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
% kadar abu = C - A x 100%
B-A
7
Keterangan : A : Berat cawan porselen kosong (gram)
B : Berat cawan dengan sampel (gram)
C : Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
c) Analisis kadar protein
Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl.
Sampel ditimbang 0,25 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl
100 mL, lalu ditambahkan 0,25 g selenium dan 3 mL H2SO4 pekat.
Sampel didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai
larutan jernih lalu didinginkan. Aquades sebanyak 50 mL dan 20 mL
NaOH 40%, ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl kemudian dilakukan
proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung
dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam borat
(H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcresol green-methyl red yang
berwarna merah muda. Proses destilasi dihentikan setelah volume destilat
mencapai 40 mL dan berwarna hijau kebiruan. Destilat dititrasi dengan
HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran
dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti sampel.
Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% kadar protein = % N x faktor konversi
% N = (mL HCl – mL blanko) x N HCl x 14,007
Mg contoh
x 100%
Keterangan : Faktor konversi
: 6,25
d) Analisis kadar lemak
Lima gram sampel (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua
ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke
dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak
yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan
tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ekstraktor tabung
soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana), kemudian
dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak
didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap, selanjutnya labu lemak
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan
dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak:
% kadar lemak = (W1- W2) x 100%
W3
Keterangan : W1 : Berat sampel (gram)
W2 : Berat labu lemak kosong (gram)
W3 : Berat labu lemak dengan lemak (gram)
e) Analisis kadar karbohidrat
Analisis karbohidrat dilakukan by difference, yaitu hasil pengurangan dari
100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak,
sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal
ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya.
Analisis kadar karbohidrat dapat dihitung dengan persamaan berikut:
% karbohidrat =100% - (kadar air+kadar abu+ kadar lemak+kadar protein)
8
Penentuan Cara Ekstraksi Racun Terbaik
Pemilihan cara ekstraksi terbaik menggunakan beberapa metode yang dapat
dilihat pada Tabel 1. Metode terbaik ditentukan dengan nilai LC50.
Tabel 1 Metode penentuan ekstraksi rcun terbaik
Nama
Metode
Zhou
dan
Shun
(2003)
Jumlah
sampel
100 g
daging
cincang
Pelarut
Cara Ekstraksi
Chen
dan
Chou
(1998)
100 g
daging
cincang
Founda
(2005)
Hasan
(2008)
Perlakuan
Pemekatan
299,7 mL
air
demineralisa
si dan 0,3
mL asam
asetat
297 mL
methanol
dan 3 mL
asam asetat
Shaker 10 jam,
disaring dengan
nylon ukuran 100
mesh
Filtrat
dipanaskan
pada suhu
800C
Freeze
dried
Shaker 10 jam,
disentrifuse pada
3000 rpm selama
15 menit
Evaporasi
100 g
daging
cincang
297 mL
methanol
dan 3 mL
asam asetat
100 g
daging
cincang
300 mL
aquades
dingin
Shaker 10 jam,
dididihkan10
menit, sentrifugasi
pada 1000 rpm
selama 15 menit
Stirrer 2 jam,
sentrifuse pada
8000 rpm selama
8 menit suhu 10oC
Filtrat
dievaporasi,
dilarutkan
dalam 200 mL
asam asetat
1%, dicuci
dengan
kloroform
-
Dicuci dengan
n-hexan,
kloroform, etil
asetat
Freeze
dried
Evaporasi
Penentuan Jenis Ikan dan Organ Ikan Buntal Paling Beracun
Sampel ikan buntal yaitu Arothron hispidus dan Diodon histryx diambil dari
laut Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Masing-masing organ (daging, kulit, hati,
ovarium dan jantung) dari ikan buntal dipisahkan, lalu diekstrak menggunakan
metode terbaik. Hasil ekstraksi di uji dengan metode Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT). Organ dan spesies dengan nilai LC50 paling rendah akan digunakan pada
tahap selanjutnya.
Isolasi Racun
Organ dari spesies dengan nilai LC50 paling rendah diisolasi menggunakan
metode ekstraksi racun terbaik. Ekstrak dianalisis kandungan bioaktif, diuji
toksisitasnya, kemudian dilakukan pemisahan komponen aktif.
Uji Toksisitas
Pengujian toksisitas ekstrak kasar ikan buntal dilakukan terhadap model
hewan uji Artemia salina dan tikus.
9
1) Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Uji BSLT ini mengacu pada penelitian Meyer et al. (1982). Pada uji ini
digunakan larva Artemia salina sebagai hewan uji. Pengujian diawali dengan
penetasan telur A. salina di dalam air laut dan di bawah lampu TL 40 watt
selama 48 jam dan diaerasi dengan aerator. Sepuluh ekor larva A. salina
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan larutan ekstrak
sampel dengan konsentrasi masing-masing 10 ppm, 100 ppm, 500 ppm dan
1000 ppm lalu ditambahkan air laut sampai volume 5 mL. Air laut tanpa
pemberian ekstrak (0 ppm) digunakan sebagai kontrol. Semua tabung reaksi
diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam di bawah penerangan lampu TL
40 watt. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah A.
salina yang mati pada tiap konsentrasi. Penentuan LC50 dilakukan
menggunakan analisis probit dan persamaan regresi.
2) Uji toksisitas akut
Pengujian tosksisitas dilakukan secara in vivo menggunakan tikus putih
(Rattus noeveginus) galur Sprague Dawley. Tikus diadaptasikan dahulu
dengan kondisi lingkungan laboratorium selama 7 hari. Selama masa adaptasi,
tikus diberi pakan komersial standar dan minum secara ad libitum. Pada hari
terakhir adaptasi, tikus ditimbang dan dikelompokkan menjadi 7 kelompok
(n=5) dalam kandang terpisah. Kelompok perlakuan adalah sebagai berikut:
Kelompok 1 : Kontrol negatif, yaitu tikus diberikan air minum yang diinduksi
secara oral pada hari ke-1.
Kelompok 2 : Perlakuan ekstrak ovarium ikan buntal bintik putih (Arothron
hispidus). Tikus diberikan ekstrak dengan dosis 0,25 mg/kg BB
yang diinduksi secara oral pada hari ke-1.
Kelompok 3 : Perlakuan sama dengan kelompok 2. Dosis ekstrak yang
diberikan 1 mg/kg BB.
Kelompok 4 : Perlakuan sama dengan kelompok 2. Dosis ekstrak yang
diberikan 4 mg/kg BB.
Kelompok 5 : Perlakuan ekstrak hati ikan buntal bintik putih (Arothron
hispidus). Tikus diberikan ekstrak dengan dosis 0,25 mg/kg BB
yang diinduksi secara oral pada hari ke-1.
Kelompok 6 : Perlakuan sama dengan kelompok 5. Dosis ekstrak yang
diberikan 1 mg/kg BB.
Kelompok 7 : Perlakuan sama dengan kelompok 5. Dosis ekstrak yang
diberikan 4 mg/kg BB.
Pemberian ekstrak ovarium dan hati ikan buntal dilakukan pada hari ke-1
dengan dosis sesuai kelompok yang telah ditentukan. Setelah 3 hari perlakuan
semua tikus dikorbankan dengan cara eutanasi intraperitoneal dengan Ketamin
dan Xylazin, lalu dilakukan nekropsi. Organ hati dan otak tikus kemudian
diambil dan digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi berdasarkan
metode Kiernan (1990).
a) Persiapan preparat histopalogi hati
Organ hati dipotong tipis lalu dimasukan ke dalam cassette dan dicuci
dengan NaCl fisiologis. Organ difiksasi menggunakan buffer formalin
10%. Potongan hati lalu didehidrasi dengan alkohol secara bertingkat
mulai dari konsentrasi (70% dan 80%, masing-masing dua kali), 90%,
95%, dan alkohol 100% masing-masing selama 2 jam. Penjernihan dengan
10
menggunakan xilol dilakukan sebanyak tiga kali selama 1 jam. Jaringan
lalu ditanam dalam media parafin, dan dilakukan penyayatan
menenggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 mikron. Hasil sayatan
dilekatkan pada kaca objek, kemudian diwarnai dengan hematoksilin-eosin
(HE).
b) Persiapan preparat histopalogi otak
Organ hati dipotong tipis lalu dimasukan ke dalam cassette dan dicuci
dengan NaCl fisiologis. Organ difiksasi menggunakan buffer formalin
10%. Potongan hati lalu didehidrasi dengan alkohol secara bertingkat
mulai dari konsentrasi (70% dan 80%, masing-masing dua kali), 90%,
95%, dan alkohol 100% masing-masing selama 2 jam. Penjernihan dengan
menggunakan xilol dilakukan sebanyak tiga kali selama 1 jam. Jaringan
lalu ditanam dalam media parafin, dan dilakukan penyayatan
menenggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 mikron. Hasil sayatan
dilekatkan pada kaca objek, kemudian diwarnai dengan hematoksilin-eosin
(HE).
Analisis Fitokimia (Harbone 1987)
Organ dari spesies dengan nilai LC50 paling rendah dianalisis fitokimianya.
Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada
serbuk ekstrak kasar organ ikan buntal paling toksik. Analisis fitokimia yang
dilakukan terdiri dari alkaloid, steroid/triterpenoid, saponin, flavonoid, fenol
hidrokuinon, molisch, benedict, biuret, ninhidrin.
1)
2)
3)
4)
Alkaloid
Sebanyak 1 g sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian
diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendoff, pereaksi Meyer,
dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer
terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner
dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Steroid/triterpenoid
Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung
reaksi. Anhrida asetat ditambahkan sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan
asam sulfat pekat 3 tetes ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif
mengandung steroid dan triterpenoid yaitu dengan terbentuknya larutan
berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan
hijau.
Flavonoid
Sebanyak 1 gram sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 mL
amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume
yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif
sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna
merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.
Saponin
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N
menunjukkan adanya saponin.
11
5)
6)
7)
8)
9)
Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang
dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl3 5%. Hasil uji positif sampel mengandung fenol hidrokuinon
ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru.
Molisch
Sebanyak 1 mL larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 mL asam
sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2
lapisan cairan.
Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 mL pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Hasil uji
positif sampel mengandung gula pereduksi ditunjukkan dengan terbentuknya
larutan berwarna hijau, kuning atau endapan merah bata.
Uji Biuret
Sebanyak 1 mL larutan sampel ditambahkan 4 mL pereaksi Biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif sampel mengandung
senyawa peptida dengan terbentuknya larutan berwarna ungu.
Uji Ninhidrin
Sebanyak 2 mL larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin
0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Hasil uji
positif sampel mengandung asam amino ditunjukkan warna biru.
Pemurnian dan Penentuan Struktur Kimia Ekstrak
Ekstrak kasar dari hasil ekstraksi terbaik difraksinasi lebih lanjut dengan
Kromatografi Cair Vakum. Eluen yang digunakan adalah nheksana-etil asetat dan
etil asetat-metanol yang ditingkatkan kepolarannya dan fase diam yang digunakan
ialah silika gel.
Eluat yang dihasilkan dianalisis pola pemisahannya dengan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) menggunakan eluen n-butanol : asam asetat : air (2:1:1). Hasil
KLT lalu disemprot dengan KOH 10 % dan dipanaskan pada suhu 110oC selama 10
menit. Pita yang dihasilkan divisualisasi sebagai spot fluorocent dibawah sinar UV
pada panjang gelombang 254 dan 365 nm. Eluat dengan pola pemisahan yang sama
digabung menjadi 1 fraksi. Penentuan fraksi terbaik dilakukan menggunakan
metode BSLT. Fraksi paling toksik dimurnikan lebih lanjut menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP). Hasil KLTP dianalisis
komponennya menggunakan alat kromatografi cair spektrometri massa UPLCQTOF/MS (ultra performance liquid chromatography quadrupole time-of flight
mass spectrometry) merk Waters® Xevo G2-S. Kondisi UPLC/MS yaitu Kolom
Acquity UPLC HSS 18, eluen yang digunakan Asetonitril dan ammonium format
5 mM dengan sistem elusi gradient bertingkat, laju alir 0,4 mL/min. Kolom
dihubungkan dengan spektrometer massa dengan modus ionisasi semprotanelektron (ESI), positive ion mode dan modus deteksi kuadrupol waktu terbang (QTOF), suhu kolom 50oC, dan waktu elusi 20 menit.
12
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL). Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan model rancangan
ANOVA (Analysis Of Variant) atau uji F (Steel & Torrie 1993) dengan
formulasi:
Keterangan :
Yij
= nilai pengamatan pada taraf ke-j
µ
= nilai tengah atau rataan umum pengamatan
τi
= pengaruh metode pengolahan pada taraf ke-i
εij
= galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j
Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh nyata, maka dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan, dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
KTS
= Kuadrat tengah sisa
dbs
= Derajat bebas sisa
r
= Banyaknya ulangan
13
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Ikan buntal termasuk dalam famili Tetraodontidae, yang berisi 185 spesies
dan 28 genus (Oliveira et al. 2006). Menurut Sabrah (2006) ikan buntal hidup di
daerah laut tropis dan estuaria. Ikan buntal berukuran kecil sampai sedang.
Spesies ini umumnya memiliki panjang 8-14 inci (20-35 cm) dan mencapai
maksimum 20 inci (50 cm), namun ada juga spesies yang dapat tumbuh hingga 40
inchi. Ikan buntal bersifat predator malam hari, hidup bersembunyi di celah-celah
karang di siang hari dan mencari makan pada malam hari. Gigi yang menyatu
bersama menjadi satu kesatuan, menciptakan mulut yang kuat dan dapat
memecahkan kulit kerang siput, landak laut, dan kepiting yang merupakan
makanan utama ikan buntal. Ikan buntal memiliki keunikan pada alat
pencernaannya yaitu lambung yang mampu menggelembung, sebagai alat
pertahanan dirinya selain racun yang terkandung dalam tubuhnya.
Jenis-jenis ikan buntal beracun yang terdapat di Indonesia, antara lain buntal
duren (Diodon hytrix) dari famili Diodontidae yang bergigi lempeng dan kuat,
buntal landak (Diodon holacanthus) yang bersirip 14 berduri lemah pada
punggung dan dada serta pada sirip dubur terdapat 23 duri lemah. Buntal kotak
(Rhynchostrcion nasus) dan buntal tanduk (Tetronomus gibbosus) berduri di
kepalanya termasuk famili Ostraciontidae. Buntal kelapa (Arothron reticularis)
yang berciri duri lemah antara 10 -11 pada sirip punggung, 9-10 pada sirip dubur
dan 18 pada sirip dada. Buntal pasir (Arthron immaculatus), Buntal tutul
(A. aerostaticus) dan buntal pisang (Gastrophysus lunaris). Semua jenis ikan
buntal tersebut beracun, akan tetapi tingkat toksisitas diantara spesies-spesies
tersebut berbeda.
Ikan buntal yang digunakan pada penelitian ini yaitu Arothron hispidus
(Gambar 2A) dan Diodon histryx (Gambar 2B). Ikan ini diidentifikasi di
laboratorium oceanografi LIPI Cibinong dengan berpedoman pada buku Allen
dan Erdmann (2012) dan Leis (1998). Arothron hispidus memiliki nama lokal
ikan buntal pasir (white spoted puffer fish). Ikan ini memiliki ciri empat buah gigi
(dua buah diatas yang besar dan dua buah dibawah yang tajam). Sirip dorsal
sebanyak 10-11, sirip anal 10-11, dan sirip pektoral 17-19. Memiliki beberapa
garis disepanjang bagian ventral menuju lateral, pada bagian dasar sirip pektoral
dikelilingi beberapa garis putih, warna dasar tubuh coklat kehijauan, dan memiliki
totol disepanjang tubuh (Allen dan Erdmann 2012).
A
B
Gambar 2 Ikan buntal Arothron hispidus (A), ikan buntal Diodon hystrix (B)
14
Diodon histryx merupakan nama latin untuk ikan buntal duren (spotted
porcupinefish). Ikan ini memiliki duri keras di bagian depan kepala yang lebih
pendek dibandingkan bagian pektoral. Duri di bagian dorsal 14-17; duri di bagian
anal 13-16. Kulitnya coklat atau kuning langsat dibagian atas dan putih dibagian
bawah, terdapat banyak bintik-bintik hitam yang tersebar pada tubuh dan sirip.
Ikan ini hanya memiliki dua buah gigi (Leis 1998). Karakteristik fisik ikan buntal
seperti morfometrik dan rendemen ikan buntal dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Gambar 2.
Tabel 2 Pengukuran morfometrik ikan buntal
Karakteristik
Panjang total
Lebar
Tinggi
Berat total
Satuan
Cm
Cm
Cm
Gram
Arothron hispidus
29,17 + 10,20
9,21 + 2,69
10,83 + 3,17
1254,16 + 1058,18
Diodon histryx
22,20 + 8,95
8,48 + 2,51
10,43 + 1,54
795,91 + 778,34
Ikan buntal yang dipilih pada penelitian ini yaitu ikan dewasa dengan bobot
diatas 200 gram. Hal ini berdasarkan penelitian dari Vazquez et al. (2013) yaitu
racun terdeteksi pada daging, hati dan gonad ikan buntal Sphoeroides annulatus
dewasa usia 36 bulan dengan ukuran panjang 215,50 + 12,15 mm serta berat
260,20 + 22,45 gram. Racun hanya terdeteksi di jeroan ikan remaja pada usia 20
bulan (panjang 172,50 + 10,36 mm serta berat 137,54 + 37,37 gram) dan usia 24
bulan (panjang 173,00 + 13,50 mm serta berat 149,60 + 8,15 gram). Racun
terdeteksi di daging ikan juvenile pada usia 4 bulan (panjang 13,20 + 2,14 mm
serta berat 3,29 + 0,73 gram) dan usia 16 bulan (panjang 105,63 + 8,96 mm serta
berat 34,04 + 3,90 gram) . Pemilihan ikan dewasa juga didasarkan pada penelitian
Noguchi dan Arakawa (2008) yaitu ikan buntal tidak mensintesis racun tetapi
mengakumulasinya dari rantai makanan, sehingga diasumsikan semakin dewasa
ikan semakin tinggi kandungan racunnya.
Gambar 3 Persentase rendemen ikan buntal D. hystrix dan A. hispidus
Gambar 3 memperlihatkan informasi mengenai rendemen ikan buntal,
kedua ikan buntal ini memiliki proporsi kulit yang cukup besar yaitu 34,30%
(D. hystrix) dan 20,49% (A. hispidus). Kulit ikan buntal ini sebenarnya dapat
dimanfaatkan sebagai sumber gelatin dan kolagen, karena kandungan proteinnya
15
yang cukup tinggi selain itu kulit ikan buntal cukup tebal dan elastis. Proporsi
lainnya yang cukup tinggi yaitu lain-lain (kepala, tulang dan organ dalam selain
hati, ovarium serta usus) dimana D. hystrix (44,48%) dan A. hispidus (23,96%).
Abe (1960) menyatakan bahwa kepala ikan buntal lebih besar bila dibandingkan
dengan bagian tubuh lainnya. Daging pada ikan buntal A. hispidus memiliki
proporsi yang sangat besar yaitu 38,12%, daging ikan buntal ini berwarna putih
dan sangat tebal. Berbeda dengan A. hispidus, daging D. hystrix proporsinya tidak
terlalu besar hanya 7,94%. Proporsi rendemen setiap spesies ikan buntal berbedabeda menurut Nurjanah et al. (2014) rendemen ikan buntal pisang memiliki
persentase kepala 45,17%, jeroan 7,13%, daging 38,28% dan kulit 8,87%.
Informasi mengenai kandungan kimia dapat diketahui melalui analisis
komposisi kimia atau proksimat yang terdiri dari beberapa uji, yaitu uji kadar air,
kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak, serta kadar kabohidrat dengan
perhitungan by different. Hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis proksimat ikan buntal
Nama
Nama
Kadar
Kadar Kadar
Spesies
Organ
air
Abu
Protein
(%)
(%)
(%)
A. hispidus
Daging
79,50
1,19 + 17,30 +
+ 0,14
0,27
0,00
A. hispidus Ovarium
68,98
1,29 + 20,57+
+ 0,09
0,13
0,00
82,37
0,81 + 16,01+
D. hystrix
Daging
+ 0,35
0,23
0,00
Kadar
Lemak
(%)
0,40 +
0,00
0,59 +
0,00
0,39 +
0,00
Kadar
Karbohidrat
(%)
1,61 + 0,13
8,57 + 0,22
0,41+ 0,59
Tabel 3 menunjukan nilai kadar air daging dan ovarium A.hispidus masih
lebih rendah bila dibandingkan kadar air daging Diodon hystrix, ikan buntal
pisang Lagocephalus lunaris (81,22%) yang ada di Cirebon (Nurjanah et al. 2014)
dan yang ada di India (80,32 %) serta ikan buntal L. inermis dari India (86,05%)
(Eswar et al. 2014). Kadar air daging A.hispidus hampir sama dengan ikan buntal
Takifugu rubripes (78,9 %) (Saito dan Kunisaki 1998) dan L. sceleratus (78,47%)
(Aydin et al. 2013). Menurut Eswar et al. (2014) ikan memiliki kadar air yang
tinggi, hal ini sangat penting dalam menjaga stabilitas ikan ini selama bergerak.
Kadar abu dari daging dan ovarium A. hispidus dan lebih tinggi bila
dibandingkan daging D. hystrix, daging ikan buntal pisang dari Cirebon (1,01 %)
(Nurjanah et al. 2014) dan ikan buntal pisang dari India (0,96 %) (Eswar et al.
2014), serta lebih rendah bila dibandingkan dengan daging T. rubripes (1,4%)
(Saito dan Kunisaki 1998), L. sceleratus (1,63%) (Aydin et al. 2013) dan
L. inermis (1,27%) (Eswar et al. 2014). Kadar abu mencerminkan kadar mineral
dalam tubuh. Mineral merupakan elemen anorganik yang dibutuhkan oleh ikan
dalam pembentukan jaringan dan berbagai fungsi metabolisme dan osmoregulasi.
Jumlah mineral yang dibutuhkan oleh ikan sangat sedikit tetapi mempunyai fungsi
yang sangat penting. Mineral telah diketahui mempunyai fungsi esensial dalam
tubuh ikan. Beberapa zat-zat mineral tersebut adalah natrium, kalium, fosfor,
kalsium, khlor, magnesium, ferrum, belerang, iodium, mangan, kuprum, kobalt,
molybdenum, selenium, dan zincum. Kalsium dan fosfor dibutuhkan dalam
jumlah besar untuk pembentukan gigi, tulang, dan kulit sehingga zat-zat mineral
tersebut harus ada dalam jumlah yang besar (Munthe 2011).
16
Kadar lemak dari daging, ovarium A. hispidus dan daging D. hystrix lebih
rendah bila dibandingkan kadar lemak daging L. lunaris dari Cirebon (3,35%)
(Nurjanah et al. 2014), L. lunaris dari India (11,25%), L. inermis (11,98%)
(Eswar et al. 2014), dan T. rubripes (0,7%) (Saito dan Kunisaki 1998), tetapi lebih
tinggi bila dibandingkan L. sceleratus (0,33%) (Aydin et al. 2013). Kandungan
lemak sangat bervariasi, hal ini sangat tergantung pada spesis, umur, pemijahan,
pakan dan tipe otot (Gehring et al. 2009). Lemak digunakan untuk kebutuhan
energi jangka panjang, pergerakan dan cadangan energi selama periode
kekurangan makanan. Lemak dalam tubuh menyediakan energi dua kali lebih
besar dibandingkan protein (Sargent et al. 2002). Ikan dikenal sebagai penghasil
asam lemak ω-3 (PUFA) khususnya, eicosapentaenoic acid (EPA) dan
docosahexaenoic acid (DHA) yang bermanfaat bagi kesehatan. Konsumsi ikan
ikan yang mengandung EPA dan DHA yang tinggi dapat mengurangi resiko
penyakit jantung (Jacobsen 2004). Konsumsi EPA dan DHA juga dapat mencegah
berbagai penyakit seperti arthritis, inflamasi, kanker, dan kondisi psikologis
(Larsen et al. 2011).
Kadar protein dari daging, ovarium A. hispidus dan daging D. hystrix lebih
tinggi dibandingkan kadar protein daging ikan L. lunaris dari Cirebon (16,31%)
(Nurjanah et al. 2014), L. lunaris dari India (9,22%), L. inermis (8,92%)
(Eswar et al. 2014), dan T. rubripes (16,5%) (Saito dan Kunisaki 1998),
sedangkan kadar protein L. sceleratus 21,62% (Aydin et al. 2013). Menurut
Eswar (2014) variasi kadar protein pada ikan mungkin disebabkan oleh makanan
dan habitat dari ikan tersebut. Ikan merupakan hewan laut yang kaya akan
protein. Menurut Venugopal (2008), jumlah kandungan protein pada daging ikan
mencapai 17-22%. Fungsi protein tersebut antara lain digunakan sebagai
pembangun struktur utama dalam sel, enzim dan hormon. Protein merupakan
sumber energi dan asam amino, yang penting untuk pertumbuhan dan perbaikan
sel.
Dari analisis proksimat diketahui bahwa ikan buntal mempunyai nilai gizi
yang memadai untuk suatu bahan pangan, tetapi pemanfaatannya sebagai
makanan harus diwaspadai karena adanya kandungan racun pada tubuh ikan
tersebut. Racun yang umum ditemui pada daging ikan buntal adalah tetrodotoksin
dan saxitoksin. Racun ini menyebabkan keracunan dengan memblok saluran
natrium dalam membran yang mengakibatkan terhentinya propagasi impuls
syaraf. Tetrodotoksin maupun saxitoksin memiliki efek farmakologik yaitu dapat
meningkatkan permeabilitas membran syaraf terhadap ion natrium (Noguchi dan
Arakawa 2008).
Kontaminasi racun alami pada ikan mengakibatkan keracunan bagi yang
mengkonsumsinya. Racun dari ikan buntal tidak dapat dihilangkan atau tidak
rusak dengan proses pemasakan. Racun ini diproduksi oleh alga (fitoplankton)
dan terakumulasi dalam tubuh ikan yang mengkonsumsi alga tersebut atau melalui
rantai makanan mengakibatkan racun tersebut terakumulasi dalam tubuh ikan.
17
Ekstraksi Racun Terpilih
Ekstrasi ikan buntal dilakukan menggunakan metode yang digunakan oleh
Zhou et al. (2003), Chen dan Chou (1998), Founda (2005) dan Hasan et al.
(2008). Sampel yang digunakan untuk pemilihan metode ekstraksi ini adalah
daging dari ikan buntal Arothron hispidus. Daging Arothron hispidus dipilih
sebagai sampel karena jumlah rendemennya paling tinggi. Metode ekstraksi yang
dilakukan oleh Founda (2005) adalah metode yang dipilih untuk mengekstraksi
senyawa racun diantara keempat metode. Cara ekstraksi yang dilakukan Founda
(2005) dipilih karena nilai LC50-nya terendah (87,95 ppm) dibandingkan cara
lainnya meskipun tidak berbeda nyata dengan metode Hasan et al. (2008) dan
Zhou et al. (2003). Data lengkap hasil penentuan cara ekstraksi ditampilkan pada
Tabel 4.
Tabel 4 Hasil penentuan cara ekstraksi racun
Nama Metode
Randemen
LC50 (ppm)
ekstrak (%)
Founda (2005)
1,70
87,95 + 7,9196a
Hasan et al. (2008)
1,61
397,91 + 1,8243b
Zhou et al. (2003)
1,94
52.788,50 +
43.541,5143c
Chen dan Chou (1998)
1,12
172.379,80 + 0,00d
Toksisitas
Toksik
Toksik
Tidak Toksik
Tidak Toksik
Keterangan : angka-angka yang diikuti subscript berbeda menunjukkan hasil perlakuan yang
berbeda nyata (p
Eka Deskawati
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ISOLASI
SENYAWA RACUN DARI IKAN BUNTAL adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Insitut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Eka Deskawati
NRP. C351110101
RINGKASAN
EKA DESKAWATI. Isolasi Senyawa Racun dari Ikan Buntal. Dibimbing oleh
SRI PURWANINGSIH dan PURWATININGSIH SUGITA.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi dan berpotensi
sebagai bahan baku obat, salah satunya adalah ikan buntal. Ikan ini memiliki ciri
khas dapat menggembungkan dirinya dan mengeluarkan racun yang sangat
mematikan. Racun dari ikan buntal ini dapat digunakan sebagai obat bius dan
penghilang rasa sakit. Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi senyawa racun
dari ikan buntal, jenis Arothron hispidus dan Diodon hystrix dengan berat diatas
200 gram. Tahapan dalam penelitian ini adalah karakterisasi ikan buntal,
pemilihan cara ekstraksi racun terbaik, pemilihan spesies dan bagian organ yang
memiliki kandungan racun tinggi, pengujian toksisitas ekstrak kasar secara in vivo
menggunakan model hewan tikus serta identifikasi senyawa racun. Tingkat
toksisitas ekstrak racun diuji menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT).
Ikan buntal dalam penelitian ini merupakan ikan dewasa yang memiliki
kadar air 79,50% untuk A. hispidus dan 82,37% D. hystrix, serta kadar protein
17,30% untuk A. hispidus dan 16,01% untuk D. hystrix. Toksisitas tertinggi
terdapat pada ovarium Arothron hispidus dengan nilai Lethal concentration 50
(LC50) 29,65 ppm. Ekstrak ovarium ini mengandung alkaloid, karbohidrat, dan
asam amino. Metode ekstraksi Founda (2005) ditentukan sebagai metode ekstraksi
terbaik. Histopatologi hipokampus dari tikus yang diberi ekstrak ovarium
Arothron hispidus menunjukkan adanya nekrosis sel pada dosis 1 dan 4 mg/kg
berat badan dan terjadi pendarahan pada dosis 4 mg/kg berat badan. Tikus yang
diberikan ekstrak hati Arothron hispidus juga menunjukkan nekrosis pada dosis
0,25; 1 dan 4 mg/kg berat. Histopalotogi korteks serebri memperlihatkan semakin
tinggi dosis ekstrak ovarium dan hati Arothron hispidus yang diberikan, maka
jumlah sel yang mengalami nekrosis semakin banyak. Hasil fraksinasi
menggunakan Kromatografi Cair Vakum (KCV) dan Kromatografi Lapis Tipis
Preparatif (KLTP) menunjukkan racun yang diduga adalah curvulin.
Kata kunci: Arothron hispidus, Brine Shrimp Lethality Test, Diodon hystrix, ikan
buntal, kromatografi, racun, tikus
SUMMARY
EKA DESKAWATI.
Isolation Puffer Fish Toxin. Supervised by SRI
PURWANINGSIH dan PURWATININGSIH SUGITA.
Indonesia high in marine biodiversity and potential as pharmaceutical raw
materials, one of that puffer fish. This fish can inflate themselves and release the
toxins in threatened condition. This toxin can be used as an anesthetic and
painkillers. The objective of this study was to isolate toxin from puffer fish.
Arothron hispidus and Diodon hystrix wich had over 200 gram weight were used
as raw material. This study were conducted to characterize the puffer fish,
determine the best extraction method, species, and organ, in vivo test toxicity of
crude extract using rat animal models and identify its toxic compounds. Toxicity
level of toxin extract was assayed by Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
Pufferfish in this study were the adult fish that high in moisture content
79,50% for A. hispidus and 82,37% for D. hystrix) and protein (A. hispidus
17,30% and D. hystrix 16,01%). The highest toxicity was ovary of Arothron
hispidus with Lethal Concentration 50 (LC50) value 29.65 ppm. The ovary extract
contains alkaloid, carbohydrate and amino acid. The method by Founda (2005) as
the best extraction method. The histopathology hippocampus from rats were feed
with Arothron hispidus ovary extract show necrosis cell at doses 1 and 4 mg/kg
weight dose and bleeding at 4 mg/kg weight dose. Rats fed with Arothron
hispidus liver extract also show necrosis at dose 0,25, 1 and 4 mg/kg weight dose.
Similarly, histopathology cerebral cortex cells showed more doses given to rats
increased the number of necrotic cells. The fractiontion result using Vacuum
Liquid Chromatography (VLC) and Preparative Thin Layer Chromatography
(PTLC) shows the toxin was thought to contain toxic compound curvulin.
Keywords: Arothron hispidus, Brine Shrimp Lethality Test, Diodon hystrix, puffer
fish, rat, toxin
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ISOLASI SENYAWA RACUN DARI IKAN BUNTAL
EKA DESKAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi
Judul Tesis
Nama
NIM
Program Studi
:
:
:
:
Isolasi Senyawa Racun dari Ikan Buntal
Eka Deskawati
C351110101
Teknologi Hasil Perairan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Sri Purwaningsih, MSi.
Ketua
Prof Dr Dra Purwatiningsih Sugita, MS
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Wini Trilaksani, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 06 Februari 2015
Tanggal Pengesahan:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Judul
tesis ini adalah ” Isolasi Senyawa Racun dari Ikan Buntal”.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr Ir Sri Purwaningsih, MSi dan Prof Dr Dra Purwatiningsih Sugita, MS
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan,
dukungan, semangat serta pelajaran tentang berbagai macam hal sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. Tati Nurhayati, SPi, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.
3. Dr. Ir. Wini Trilaksani, MSc selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan.
4. Prof drh Ekowati Handharyani, MSi, PhD atas bantuan dan bimbingan beliau
selama penulis menjalankan penelitian.
5. Keluarga besar saya, yang telah memberikan doa, dorongan semangat dan kasih
sayang selama ini.
6. Keluarga besar mahasiswa sekolah pascasarjana Teknologi Hasil Perairan, yang
telah memberikan dorongan semangat baik selama penelitian maupun saat
penyusunan tesis ini.
7. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
tesis ini. Oleh karena itu, jika terdapat kesalahan penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
sehingga bermanfaat untuk penyelesaian tesis ini. Akhirnya, semoga tesis ini
bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Eka Deskawati
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Karakteristik Bahan Baku
Penentuan Cara Ekstraksi Racun Terbaik
Penentuan Jenis Ikan dan Organ Ikan Buntal Paling Toksik
Isolasi Racun
Uji Toksisitas
Analisis Fitokimia
Pemurnian dan Penentuan Struktur Kimia Ekstrak
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Ekstraksi Racun Terpilih
Jenis Ikan dan Organ Ikan Buntal Paling Toksik yang Terpilih
Toksisitas Akut Ekstrak Racun pada Tikus
Pengaruh racun ikan buntal pada hipokampus
Pengaruh racun ikan buntal pada korteksserebri
Komposisi Kimia Ekstrak Racun Ikan Buntal
Pemurnian dan Pencirian Komponen
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
iii
iv
v
1
1
2
2
3
4
4
4
4
6
8
8
8
8
10
11
12
13
13
17
17
21
21
22
22
23
30
30
35
46
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Metode penentuan ekstraksi racun terbaik
2
Pengukuran morfometrik ikan buntal
14
3
Hasil analisis proksimat ikan buntal
15
4
Hasil penentuan cara ekstraksi racun
17
5
Nilai rendemen dan toksisitas ekstrak racun ikan buntal
18
6
Tingkat toksisitas dari beberapa jenis ikan buntal
20
7
Hasil uji fitokimia ekstrak ovarium Arothron hispidus
23
8
Data hasil pengujian toksisitas kelompok fraksi
24
9
Kondisi Liquid Chromatography Mass Spectroscopy dan waktu
10
8
retensi racun pada ikan buntal
25
Senyawa-senyawa pada rentang waktu retensi 2,6-17 menit
26
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram alir penelitian
5
2 Ikan buntal Arothron hispidus (A), ikan buntal Diodon hystrix (B)
13
3 Persentase randemen ikan buntal D. hystrix dan A. hispidus
14
4 Histopatologi sel hipokampus
22
5 Histopatologi sel korteks serebri
22
6 Kromatogram fraksi D KLTP dengan eluen butanol:asam asetat:air (2:1:1),
diamati pada lampu UV 366 nm
24
7 Kromatogram LCMS Fraksi D pada Rf1
25
8 Spektrum massa pada waktu retensi 6,21 menit
27
9 Fragmentasi senyawa curvulin
27
10 Mekanisme akumulasi racun pada hewan laut
28
11 Struktur kimia tetrodotoksin
29
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Surat keterangan identifikasi ikan buntal dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
37
2 Perhitungan proksimat ikan buntal
38
3 Analisis ragam penentuan cara ekstraksi racun
40
4 Analisis ragam penentuan spesies dan organ paling toksik
41
5 Penentuan LC50 Daging Diodon hystrix
42
6 Penentuan LC50 Kulit Diodon hystrix
42
7 Penentuan LC50 Hati Diodon hystrix
43
8 Penentuan LC50 Daging Arothron hispidus
43
9 Penentuan LC50 Ovarium Arothron hispidus
44
10 Penentuan LC50 Hati Arothron hispidus
44
11 Penentuan LC50 Kulit Arothron hispidus
45
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan akan obat-obatan di Indonesia semakin meningkat, hal ini
memicu pertumbuhan industri farmasi di Indonesia, yaitu berkisar 10-15% pada
2013. Kendati demikian, ada hal yang perlu diperbaiki terutama untuk menekan
ketergantungan terhadap bahan baku impor. Berdasarkan Peraturan Meteri
Kesehatan RI no 87 Tahun 2013, pasar farmasi Indonesia pada tahun 2011
berkisar sekitar 43 triliun rupiah dari jumlah tersebut diperkirakan bahan baku
obat (BBO) yang digunakan adalah kurang lebih sekitar 30%-nya atau sekitar 14
triliun rupiah dan sekitar 96%-nya merupakan bahan baku impor. Jumlah ini dapat
diminimalisir jika ada kemandirian di bidang obat dengan menumbuhkan industri
bahan baku obat dalam negeri. Industri ini tidak akan berjalan apabila tidak
didukung penelitian mengenai bahan baku obat, sehingga nantinya bangsa
Indonesia bisa menjadi produsen obat dan bukan hanya sebagai pangsa pasar.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan biodiversitas tinggi.
Kekayaan biota laut Indonesia sudah lama dikenal dan digunakan sebagai bahan
baku dalam pembuatan obat-obatan meskipun efektifitasnya belum banyak teruji
secara ilmiah (Purwaningsih 2006). Adanya keanekaragaman yang tinggi dari
spesies biota laut menyebabkan terjadinya kompetisi yang tinggi dan ketat antar
spesies untuk bertahan hidup. Kondisi ini menyebabkan spesies-spesies ini
mensintesis metabolit sekunder berupa senyawa-senyawa toksik untuk
mempertahankan dirinya. Struktur kimia dan aktivitas biologis senyawa dari biota
laut sangat jarang ditemukan padanannya dengan biota darat. Biota laut yang
hidup di wilayah tropis dan subtropis Indopasifik banyak diburu industri farmasi
untuk penemuan obat antikanker, antibiotik dan antiinflamasi (Widihati 2004).
Salah satu organisme laut yang berpotensi menghasilkan metabolit sekunder
berupa racun adalah ikan buntal. Ikan buntal berasal dari famili Diodontidae dan
berasal dari ordo Tetraodontiformes. Nama tetraodontiformes berasal dari
morfologi gigi ikan ini, yaitu memiliki dua gigi besar pada rahang atas dan
bawahnya yang cukup tajam. Gigi yang menyatu bersama menjadi satu kesatuan,
menciptakan mulut yang kuat dan dapat meretakan kulit kerang siput, landak laut,
dan kepiting yang merupakan makanan utama ikan buntal. Ikan buntal memiliki
tulang belakang yang lebih tipis, tersembunyi, dan dapat terlihat ketika ikan ini
menggembungkan diri (BPOM 2006). Ikan ini banyak ragamnya di perairan
tropis, sedikit di perairan zona sedang dan tidak ada di perairan dingin.
Di Indonesia ikan buntal memiliki nilai jual sangat rendah yaitu sekitar
Rp. 3.000,-/kg, sehingga ikan ini tidak dijual dan hanya dikonsumsi oleh nelayan
di beberapa daerah tertentu bahkan di daerah lainnya ikan buntal dibuang karena
selain beracun, duri dari ikan ini dapat merusak jaring nelayan. Nilai ekonomi dari
ikan ini di Indonesia belum terasa karena keterbatasan pengetahuan mengenai cara
pengelolaan dan pemanfaaatannya.
Penelitian mengenai racun pada ikan buntal pertama kali dilakukan oleh Dr.
Yoshizumi Tahara pada tahun 1909 yang diisolasi dari ovarium ikan buntal.
Struktur dari racun ini baru dielusidasi pada tahun 1964 oleh R. B. Woodward
(Bane 2014). Menurut Noguchi dan Arakawa (2008) racun pada ikan buntal
2
merupakan racun yang menyerang syaraf dan memiliki berat molekul rendah.
Racun ini menghambat konduksi syaraf dan otot secara selektif memblokir
saluran natrium, sehingga dapat digunakan sebagai obat anastesi lokal. Obat dari
ikan buntal yang pertama kali dirilis adalah Tectin, obat ini berbahan dasar dari
tetrodotoksin dan dikembangkan oleh WEX Pharmaceutical Inc. Ketika diberikan
dalam dosis kecil obat ini ampuh mengurangi rasa sakit kronis yang dialami oleh
pasien kanker (Hagen 2007). Penelitian mengenai anti tumor dari racun ikan
buntal juga telah dilakukan oleh Founda (2005). Penelitiannya menghasilkan
racun ikan buntal efektif dalam menghilangkan sel kanker Ehrlich Ascite
Carcinoma dan meningkatkan waktu hidup hewan uji hingga 46 %. Penelitian
dari Soliman et al. (2014) menunjukkan bahwa racun ikan buntal
Amblyrhynchotes hypselogenion dan Lagocephalus sceleratus dari Laut Merah
dapat digunakan sebagai antifouling.
Sebagian besar penelitian dari ikan buntal tertuju pada penentuan bioktivitas
dari racun ikan buntal ini, tetapi masih sedikit penelitian yang berfokus pada
isolasi dan pencirian racun ikan buntal. Penelitian mengenai isolasi racun dari
spesies Arothron hispidus dan Diodon hystrix belum pernah dilakukan, padahal
kedua spesies ini banyak terdapat di Indonesia, khususnya di Laut Pameungpeuk.
Di Indonesia penelitian mengenai racun terutama dari biota laut jarang dilakukan
padahal senyawa ini sangat diperlukan sebagai bahan baku obat-obatan.
Rumusan Masalah
Nilai impor bahan baku untuk obat-obatan di Indonesia sangat tinggi
mencapai lebih dari 90%. Hal ini memacu pemerintah untuk meningkatkan
penelitian mengenai bahan baku obat. Keanekaragaman biota laut Indonesia
sangat tinggi, sehingga kompetisi antar biota ini sangat ketat. Strategi pertahan
diri dari biota laut ini salah satunya dengan memproduksi senyawa metabolit
sekunder berupa racun. Salah satu biota laut yang dapat memproduksi racun
adalah ikan buntal. Ikan ini memproduksi racun untuk mempertahankan diri dari
serangan predator dan sebagai feromon untuk memikat lawan jenis.
Racun ikan buntal ini memiliki aktivitas biologis yang sangat kuat, bahan
bakunya sangat murah dan ketersediaan bahan melimpah sehingga dapat
digunakan sebagai bahan obat-obatan. Diharapkan hal ini menjadikan harga jual
dari obat semakin terjangkau oleh masyarakat. Ikan buntal di Indonesia tidak
memiliki nilai ekonomi dan biasanya hanya dibuang, meskipun di beberapa
daerah ada yang memanfaatkannnya untuk dikonsumsi dan dibuat kerupuk.
Pemanfaatan racun ikan buntal ini akan meningkatkan nilai ekonomis dan
diharapkan berimbas pada peningkatan kesejahteraan nelayan, karena
penangkapan ikan tidak hanya terbatas oleh ikan konsumsi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi bahan baku, memilih
cara ekstraksi racun terbaik, memilih spesies dan bagian organ dengan kandungan
racun yang tinggi, menguji toksisitas ekstrak kasar secara in vivo menggunakan
model hewan tikus serta mengidentifikasi senyawa racunnya. Skrining toksisitas
ekstrak ikan buntal menggunakan uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah racun dapat diisolasi dari ikan buntal.
Racun ini sangat toksik terhadap larva udang Artemia salina dan mempengaruhi
otak tikus pada bagian hipokampus serta korteks serebri.
4
2. METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012 hingga Desember
2014. Sampel ikan buntal pasir (Arothron hispidus) dan buntal duren (Diodon
hystrix) diambil dari Laut Pameungpeuk, Garut-Jawa Barat. Penelitian dilakukan
di beberapa laboratorium, yaitu laboratorium Karakteristik Hasil Perairan,
laboratorium Biokimia Hasil Perairan dan laboratorium pangan-Pusat Antar
Universitas (PAU) untuk preparasi, ekstraksi, pemurnian, analisis fitokimia, dan
uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Pengujian toksisitas akut terhadap tikus
dilakukan di Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor. Penentuan jenis racun menggunakan Kromatografi cair spektoskopi massa
dilakukan di Laboratorium Forensik Mabes Polri.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan yaitu ikan buntal pasir (Arothron hispidus) dan
ikan buntal duren (Diodon hystrix) dengan ukuran diatas 200 gram yang diperoleh
dari laut Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Bahan lainnya yaitu methanol, asam
asetat, akuades, pelat silika gel F254, silika gel Merck 60G, silika gel 60 (0.2-0.5
mm), asam asetat glasial, asam klorida p.a. (Merck), pereaksi FeCl3 1%, pereaksi
dragendorf, pereaksi meyer, pereaksi wagner, kloroform, anhidrida asetat, asam
sulfat, serbuk Mg, amil alkohol, etanol, pereaksi molisch, pereaksi benedict,
ninhidrin, Artemia salina dan tikus. Tikus yang digunakan yaitu tikus putih (Rattus
noeveginus) galur Sprague Dawley berkelamin jantan dengan berat 180-200 g.
Alat-alat yang digunakan antara lain timbangan digital, freeze drying,
sentrifuse dingin, penguap putar, kandang tikus, sonde, mikrotom, spluit,
mikroskop cahaya, kamera mikroskop, Kromatografi Cair Vakum (KCV),
kromatografi cair spektrometer massa ultra performance liquid chromatography
quadrupole time-of flight mass spectrometry (UPLC-QTOF/MS) merk Waters
Xevo G2-S, mikrotom dan peralatan kaca.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu karakterisasi bahan
baku, pemilihan cara ekstraksi racun terbaik berdasarkan pelarut, penentuan jenis
spesies dan organ yang akan digunakan, pengujian toksisitas akut, isolasi racun,
pemurnian, dan analisis senyawa racun. Secara ringkas tahapan penelitian tersebut
disajikan dalam bentuk diagram alir yang disajikan pada Gambar 1.
5
Sampel ikan
buntal
Karakterisasi Bahan Baku
-
Morfometrik
Rendemen
Proksimat
Penentuan metode ekstraksi racun
terbaik berdasarkan pelarut
Organ dan metode
ekstraksi racun terpilih
BSLT
Pemilihan jenis spesies
dan organ
Spesies dan
organ terpilih
Ekstraksi
Ekstrak kasar
- Uji Fitokimia
- Uji Toksisitas Akut
- Kromatografi Lapis
Tipis (KLT)
Kromatografi Cair Vakum
Fraksi-fraksi
- KLT
- BSLT
Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
UPLC-MS/QTOF
Senyawa racun
Gambar 1 Diagram alir penelitian
6
Karakteristik Bahan Baku
Karakterisasi ikan buntal dilakukan secara fisik yang terdiri dari pengukuran
morfometrik dan perhitungan rendemen, sedangkan secara kimia berupa analisis
proksimat terhadap daging dan ovarium ikan buntal yang meliputi kadar air,
protein, lemak, abu, dan karbohidrat.
1) Pengukuran morfometri
Sampel ikan buntal diidentifikasi jenis spesiesnya di Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI, Ancol-Jakarta (Lampiran 1). Pengukuran morfometri panjang,
lebar, dan tinggi dilakukan terhadap 12 buah sampel ikan buntal pasir dan 22 buah
ikan buntal duren
2) Pengukuran rendemen
Rendemen dihitung sebagai persentasi bobot bagian tubuh ikan buntal dari
bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berkut:
(%) Rendemen =
3)
x 100%
Analisis proksimat (AOAC 2005)
Analisis proksimat adalah analisis yang dilakukan untuk memprediksi
komposisi kimia suatu bahan termasuk didalamnya analisis kandungan air,
lemak, abu, protein dan karbohidrat.
a) Analisis kadar air
Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam,
selanjutnya cawan dimasukkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit)
dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel ditimbang 5 g
dan dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan
oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan,
kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan
sampai dingin dan ditimbang.
Perhitungan kadar air :
B- C x 100%
% kadar air =
B-A B - A
Keterangan : A : Berat cawan kosong (gram)
B : Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C : Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan
(gram)
b) Analisis kadar abu
Cawan abu dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam,
didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga
didapatkan berat yang konstan. Sampel ditimbang 5 g dan dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga
tidak berasap, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan
suhu 600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat
yang konstan.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
% kadar abu = C - A x 100%
B-A
7
Keterangan : A : Berat cawan porselen kosong (gram)
B : Berat cawan dengan sampel (gram)
C : Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
c) Analisis kadar protein
Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl.
Sampel ditimbang 0,25 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl
100 mL, lalu ditambahkan 0,25 g selenium dan 3 mL H2SO4 pekat.
Sampel didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai
larutan jernih lalu didinginkan. Aquades sebanyak 50 mL dan 20 mL
NaOH 40%, ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl kemudian dilakukan
proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung
dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam borat
(H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcresol green-methyl red yang
berwarna merah muda. Proses destilasi dihentikan setelah volume destilat
mencapai 40 mL dan berwarna hijau kebiruan. Destilat dititrasi dengan
HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran
dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti sampel.
Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% kadar protein = % N x faktor konversi
% N = (mL HCl – mL blanko) x N HCl x 14,007
Mg contoh
x 100%
Keterangan : Faktor konversi
: 6,25
d) Analisis kadar lemak
Lima gram sampel (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua
ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke
dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak
yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan
tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ekstraktor tabung
soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana), kemudian
dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak
didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap, selanjutnya labu lemak
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan
dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak:
% kadar lemak = (W1- W2) x 100%
W3
Keterangan : W1 : Berat sampel (gram)
W2 : Berat labu lemak kosong (gram)
W3 : Berat labu lemak dengan lemak (gram)
e) Analisis kadar karbohidrat
Analisis karbohidrat dilakukan by difference, yaitu hasil pengurangan dari
100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak,
sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal
ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya.
Analisis kadar karbohidrat dapat dihitung dengan persamaan berikut:
% karbohidrat =100% - (kadar air+kadar abu+ kadar lemak+kadar protein)
8
Penentuan Cara Ekstraksi Racun Terbaik
Pemilihan cara ekstraksi terbaik menggunakan beberapa metode yang dapat
dilihat pada Tabel 1. Metode terbaik ditentukan dengan nilai LC50.
Tabel 1 Metode penentuan ekstraksi rcun terbaik
Nama
Metode
Zhou
dan
Shun
(2003)
Jumlah
sampel
100 g
daging
cincang
Pelarut
Cara Ekstraksi
Chen
dan
Chou
(1998)
100 g
daging
cincang
Founda
(2005)
Hasan
(2008)
Perlakuan
Pemekatan
299,7 mL
air
demineralisa
si dan 0,3
mL asam
asetat
297 mL
methanol
dan 3 mL
asam asetat
Shaker 10 jam,
disaring dengan
nylon ukuran 100
mesh
Filtrat
dipanaskan
pada suhu
800C
Freeze
dried
Shaker 10 jam,
disentrifuse pada
3000 rpm selama
15 menit
Evaporasi
100 g
daging
cincang
297 mL
methanol
dan 3 mL
asam asetat
100 g
daging
cincang
300 mL
aquades
dingin
Shaker 10 jam,
dididihkan10
menit, sentrifugasi
pada 1000 rpm
selama 15 menit
Stirrer 2 jam,
sentrifuse pada
8000 rpm selama
8 menit suhu 10oC
Filtrat
dievaporasi,
dilarutkan
dalam 200 mL
asam asetat
1%, dicuci
dengan
kloroform
-
Dicuci dengan
n-hexan,
kloroform, etil
asetat
Freeze
dried
Evaporasi
Penentuan Jenis Ikan dan Organ Ikan Buntal Paling Beracun
Sampel ikan buntal yaitu Arothron hispidus dan Diodon histryx diambil dari
laut Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Masing-masing organ (daging, kulit, hati,
ovarium dan jantung) dari ikan buntal dipisahkan, lalu diekstrak menggunakan
metode terbaik. Hasil ekstraksi di uji dengan metode Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT). Organ dan spesies dengan nilai LC50 paling rendah akan digunakan pada
tahap selanjutnya.
Isolasi Racun
Organ dari spesies dengan nilai LC50 paling rendah diisolasi menggunakan
metode ekstraksi racun terbaik. Ekstrak dianalisis kandungan bioaktif, diuji
toksisitasnya, kemudian dilakukan pemisahan komponen aktif.
Uji Toksisitas
Pengujian toksisitas ekstrak kasar ikan buntal dilakukan terhadap model
hewan uji Artemia salina dan tikus.
9
1) Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Uji BSLT ini mengacu pada penelitian Meyer et al. (1982). Pada uji ini
digunakan larva Artemia salina sebagai hewan uji. Pengujian diawali dengan
penetasan telur A. salina di dalam air laut dan di bawah lampu TL 40 watt
selama 48 jam dan diaerasi dengan aerator. Sepuluh ekor larva A. salina
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan larutan ekstrak
sampel dengan konsentrasi masing-masing 10 ppm, 100 ppm, 500 ppm dan
1000 ppm lalu ditambahkan air laut sampai volume 5 mL. Air laut tanpa
pemberian ekstrak (0 ppm) digunakan sebagai kontrol. Semua tabung reaksi
diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam di bawah penerangan lampu TL
40 watt. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah A.
salina yang mati pada tiap konsentrasi. Penentuan LC50 dilakukan
menggunakan analisis probit dan persamaan regresi.
2) Uji toksisitas akut
Pengujian tosksisitas dilakukan secara in vivo menggunakan tikus putih
(Rattus noeveginus) galur Sprague Dawley. Tikus diadaptasikan dahulu
dengan kondisi lingkungan laboratorium selama 7 hari. Selama masa adaptasi,
tikus diberi pakan komersial standar dan minum secara ad libitum. Pada hari
terakhir adaptasi, tikus ditimbang dan dikelompokkan menjadi 7 kelompok
(n=5) dalam kandang terpisah. Kelompok perlakuan adalah sebagai berikut:
Kelompok 1 : Kontrol negatif, yaitu tikus diberikan air minum yang diinduksi
secara oral pada hari ke-1.
Kelompok 2 : Perlakuan ekstrak ovarium ikan buntal bintik putih (Arothron
hispidus). Tikus diberikan ekstrak dengan dosis 0,25 mg/kg BB
yang diinduksi secara oral pada hari ke-1.
Kelompok 3 : Perlakuan sama dengan kelompok 2. Dosis ekstrak yang
diberikan 1 mg/kg BB.
Kelompok 4 : Perlakuan sama dengan kelompok 2. Dosis ekstrak yang
diberikan 4 mg/kg BB.
Kelompok 5 : Perlakuan ekstrak hati ikan buntal bintik putih (Arothron
hispidus). Tikus diberikan ekstrak dengan dosis 0,25 mg/kg BB
yang diinduksi secara oral pada hari ke-1.
Kelompok 6 : Perlakuan sama dengan kelompok 5. Dosis ekstrak yang
diberikan 1 mg/kg BB.
Kelompok 7 : Perlakuan sama dengan kelompok 5. Dosis ekstrak yang
diberikan 4 mg/kg BB.
Pemberian ekstrak ovarium dan hati ikan buntal dilakukan pada hari ke-1
dengan dosis sesuai kelompok yang telah ditentukan. Setelah 3 hari perlakuan
semua tikus dikorbankan dengan cara eutanasi intraperitoneal dengan Ketamin
dan Xylazin, lalu dilakukan nekropsi. Organ hati dan otak tikus kemudian
diambil dan digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi berdasarkan
metode Kiernan (1990).
a) Persiapan preparat histopalogi hati
Organ hati dipotong tipis lalu dimasukan ke dalam cassette dan dicuci
dengan NaCl fisiologis. Organ difiksasi menggunakan buffer formalin
10%. Potongan hati lalu didehidrasi dengan alkohol secara bertingkat
mulai dari konsentrasi (70% dan 80%, masing-masing dua kali), 90%,
95%, dan alkohol 100% masing-masing selama 2 jam. Penjernihan dengan
10
menggunakan xilol dilakukan sebanyak tiga kali selama 1 jam. Jaringan
lalu ditanam dalam media parafin, dan dilakukan penyayatan
menenggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 mikron. Hasil sayatan
dilekatkan pada kaca objek, kemudian diwarnai dengan hematoksilin-eosin
(HE).
b) Persiapan preparat histopalogi otak
Organ hati dipotong tipis lalu dimasukan ke dalam cassette dan dicuci
dengan NaCl fisiologis. Organ difiksasi menggunakan buffer formalin
10%. Potongan hati lalu didehidrasi dengan alkohol secara bertingkat
mulai dari konsentrasi (70% dan 80%, masing-masing dua kali), 90%,
95%, dan alkohol 100% masing-masing selama 2 jam. Penjernihan dengan
menggunakan xilol dilakukan sebanyak tiga kali selama 1 jam. Jaringan
lalu ditanam dalam media parafin, dan dilakukan penyayatan
menenggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 mikron. Hasil sayatan
dilekatkan pada kaca objek, kemudian diwarnai dengan hematoksilin-eosin
(HE).
Analisis Fitokimia (Harbone 1987)
Organ dari spesies dengan nilai LC50 paling rendah dianalisis fitokimianya.
Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada
serbuk ekstrak kasar organ ikan buntal paling toksik. Analisis fitokimia yang
dilakukan terdiri dari alkaloid, steroid/triterpenoid, saponin, flavonoid, fenol
hidrokuinon, molisch, benedict, biuret, ninhidrin.
1)
2)
3)
4)
Alkaloid
Sebanyak 1 g sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian
diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendoff, pereaksi Meyer,
dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer
terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner
dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Steroid/triterpenoid
Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung
reaksi. Anhrida asetat ditambahkan sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan
asam sulfat pekat 3 tetes ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif
mengandung steroid dan triterpenoid yaitu dengan terbentuknya larutan
berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan
hijau.
Flavonoid
Sebanyak 1 gram sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 mL
amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume
yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif
sampel mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna
merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.
Saponin
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N
menunjukkan adanya saponin.
11
5)
6)
7)
8)
9)
Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang
dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl3 5%. Hasil uji positif sampel mengandung fenol hidrokuinon
ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru.
Molisch
Sebanyak 1 mL larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 mL asam
sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2
lapisan cairan.
Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 mL pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Hasil uji
positif sampel mengandung gula pereduksi ditunjukkan dengan terbentuknya
larutan berwarna hijau, kuning atau endapan merah bata.
Uji Biuret
Sebanyak 1 mL larutan sampel ditambahkan 4 mL pereaksi Biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif sampel mengandung
senyawa peptida dengan terbentuknya larutan berwarna ungu.
Uji Ninhidrin
Sebanyak 2 mL larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin
0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Hasil uji
positif sampel mengandung asam amino ditunjukkan warna biru.
Pemurnian dan Penentuan Struktur Kimia Ekstrak
Ekstrak kasar dari hasil ekstraksi terbaik difraksinasi lebih lanjut dengan
Kromatografi Cair Vakum. Eluen yang digunakan adalah nheksana-etil asetat dan
etil asetat-metanol yang ditingkatkan kepolarannya dan fase diam yang digunakan
ialah silika gel.
Eluat yang dihasilkan dianalisis pola pemisahannya dengan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) menggunakan eluen n-butanol : asam asetat : air (2:1:1). Hasil
KLT lalu disemprot dengan KOH 10 % dan dipanaskan pada suhu 110oC selama 10
menit. Pita yang dihasilkan divisualisasi sebagai spot fluorocent dibawah sinar UV
pada panjang gelombang 254 dan 365 nm. Eluat dengan pola pemisahan yang sama
digabung menjadi 1 fraksi. Penentuan fraksi terbaik dilakukan menggunakan
metode BSLT. Fraksi paling toksik dimurnikan lebih lanjut menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP). Hasil KLTP dianalisis
komponennya menggunakan alat kromatografi cair spektrometri massa UPLCQTOF/MS (ultra performance liquid chromatography quadrupole time-of flight
mass spectrometry) merk Waters® Xevo G2-S. Kondisi UPLC/MS yaitu Kolom
Acquity UPLC HSS 18, eluen yang digunakan Asetonitril dan ammonium format
5 mM dengan sistem elusi gradient bertingkat, laju alir 0,4 mL/min. Kolom
dihubungkan dengan spektrometer massa dengan modus ionisasi semprotanelektron (ESI), positive ion mode dan modus deteksi kuadrupol waktu terbang (QTOF), suhu kolom 50oC, dan waktu elusi 20 menit.
12
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL). Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan model rancangan
ANOVA (Analysis Of Variant) atau uji F (Steel & Torrie 1993) dengan
formulasi:
Keterangan :
Yij
= nilai pengamatan pada taraf ke-j
µ
= nilai tengah atau rataan umum pengamatan
τi
= pengaruh metode pengolahan pada taraf ke-i
εij
= galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j
Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh nyata, maka dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan, dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
KTS
= Kuadrat tengah sisa
dbs
= Derajat bebas sisa
r
= Banyaknya ulangan
13
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Ikan buntal termasuk dalam famili Tetraodontidae, yang berisi 185 spesies
dan 28 genus (Oliveira et al. 2006). Menurut Sabrah (2006) ikan buntal hidup di
daerah laut tropis dan estuaria. Ikan buntal berukuran kecil sampai sedang.
Spesies ini umumnya memiliki panjang 8-14 inci (20-35 cm) dan mencapai
maksimum 20 inci (50 cm), namun ada juga spesies yang dapat tumbuh hingga 40
inchi. Ikan buntal bersifat predator malam hari, hidup bersembunyi di celah-celah
karang di siang hari dan mencari makan pada malam hari. Gigi yang menyatu
bersama menjadi satu kesatuan, menciptakan mulut yang kuat dan dapat
memecahkan kulit kerang siput, landak laut, dan kepiting yang merupakan
makanan utama ikan buntal. Ikan buntal memiliki keunikan pada alat
pencernaannya yaitu lambung yang mampu menggelembung, sebagai alat
pertahanan dirinya selain racun yang terkandung dalam tubuhnya.
Jenis-jenis ikan buntal beracun yang terdapat di Indonesia, antara lain buntal
duren (Diodon hytrix) dari famili Diodontidae yang bergigi lempeng dan kuat,
buntal landak (Diodon holacanthus) yang bersirip 14 berduri lemah pada
punggung dan dada serta pada sirip dubur terdapat 23 duri lemah. Buntal kotak
(Rhynchostrcion nasus) dan buntal tanduk (Tetronomus gibbosus) berduri di
kepalanya termasuk famili Ostraciontidae. Buntal kelapa (Arothron reticularis)
yang berciri duri lemah antara 10 -11 pada sirip punggung, 9-10 pada sirip dubur
dan 18 pada sirip dada. Buntal pasir (Arthron immaculatus), Buntal tutul
(A. aerostaticus) dan buntal pisang (Gastrophysus lunaris). Semua jenis ikan
buntal tersebut beracun, akan tetapi tingkat toksisitas diantara spesies-spesies
tersebut berbeda.
Ikan buntal yang digunakan pada penelitian ini yaitu Arothron hispidus
(Gambar 2A) dan Diodon histryx (Gambar 2B). Ikan ini diidentifikasi di
laboratorium oceanografi LIPI Cibinong dengan berpedoman pada buku Allen
dan Erdmann (2012) dan Leis (1998). Arothron hispidus memiliki nama lokal
ikan buntal pasir (white spoted puffer fish). Ikan ini memiliki ciri empat buah gigi
(dua buah diatas yang besar dan dua buah dibawah yang tajam). Sirip dorsal
sebanyak 10-11, sirip anal 10-11, dan sirip pektoral 17-19. Memiliki beberapa
garis disepanjang bagian ventral menuju lateral, pada bagian dasar sirip pektoral
dikelilingi beberapa garis putih, warna dasar tubuh coklat kehijauan, dan memiliki
totol disepanjang tubuh (Allen dan Erdmann 2012).
A
B
Gambar 2 Ikan buntal Arothron hispidus (A), ikan buntal Diodon hystrix (B)
14
Diodon histryx merupakan nama latin untuk ikan buntal duren (spotted
porcupinefish). Ikan ini memiliki duri keras di bagian depan kepala yang lebih
pendek dibandingkan bagian pektoral. Duri di bagian dorsal 14-17; duri di bagian
anal 13-16. Kulitnya coklat atau kuning langsat dibagian atas dan putih dibagian
bawah, terdapat banyak bintik-bintik hitam yang tersebar pada tubuh dan sirip.
Ikan ini hanya memiliki dua buah gigi (Leis 1998). Karakteristik fisik ikan buntal
seperti morfometrik dan rendemen ikan buntal dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Gambar 2.
Tabel 2 Pengukuran morfometrik ikan buntal
Karakteristik
Panjang total
Lebar
Tinggi
Berat total
Satuan
Cm
Cm
Cm
Gram
Arothron hispidus
29,17 + 10,20
9,21 + 2,69
10,83 + 3,17
1254,16 + 1058,18
Diodon histryx
22,20 + 8,95
8,48 + 2,51
10,43 + 1,54
795,91 + 778,34
Ikan buntal yang dipilih pada penelitian ini yaitu ikan dewasa dengan bobot
diatas 200 gram. Hal ini berdasarkan penelitian dari Vazquez et al. (2013) yaitu
racun terdeteksi pada daging, hati dan gonad ikan buntal Sphoeroides annulatus
dewasa usia 36 bulan dengan ukuran panjang 215,50 + 12,15 mm serta berat
260,20 + 22,45 gram. Racun hanya terdeteksi di jeroan ikan remaja pada usia 20
bulan (panjang 172,50 + 10,36 mm serta berat 137,54 + 37,37 gram) dan usia 24
bulan (panjang 173,00 + 13,50 mm serta berat 149,60 + 8,15 gram). Racun
terdeteksi di daging ikan juvenile pada usia 4 bulan (panjang 13,20 + 2,14 mm
serta berat 3,29 + 0,73 gram) dan usia 16 bulan (panjang 105,63 + 8,96 mm serta
berat 34,04 + 3,90 gram) . Pemilihan ikan dewasa juga didasarkan pada penelitian
Noguchi dan Arakawa (2008) yaitu ikan buntal tidak mensintesis racun tetapi
mengakumulasinya dari rantai makanan, sehingga diasumsikan semakin dewasa
ikan semakin tinggi kandungan racunnya.
Gambar 3 Persentase rendemen ikan buntal D. hystrix dan A. hispidus
Gambar 3 memperlihatkan informasi mengenai rendemen ikan buntal,
kedua ikan buntal ini memiliki proporsi kulit yang cukup besar yaitu 34,30%
(D. hystrix) dan 20,49% (A. hispidus). Kulit ikan buntal ini sebenarnya dapat
dimanfaatkan sebagai sumber gelatin dan kolagen, karena kandungan proteinnya
15
yang cukup tinggi selain itu kulit ikan buntal cukup tebal dan elastis. Proporsi
lainnya yang cukup tinggi yaitu lain-lain (kepala, tulang dan organ dalam selain
hati, ovarium serta usus) dimana D. hystrix (44,48%) dan A. hispidus (23,96%).
Abe (1960) menyatakan bahwa kepala ikan buntal lebih besar bila dibandingkan
dengan bagian tubuh lainnya. Daging pada ikan buntal A. hispidus memiliki
proporsi yang sangat besar yaitu 38,12%, daging ikan buntal ini berwarna putih
dan sangat tebal. Berbeda dengan A. hispidus, daging D. hystrix proporsinya tidak
terlalu besar hanya 7,94%. Proporsi rendemen setiap spesies ikan buntal berbedabeda menurut Nurjanah et al. (2014) rendemen ikan buntal pisang memiliki
persentase kepala 45,17%, jeroan 7,13%, daging 38,28% dan kulit 8,87%.
Informasi mengenai kandungan kimia dapat diketahui melalui analisis
komposisi kimia atau proksimat yang terdiri dari beberapa uji, yaitu uji kadar air,
kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak, serta kadar kabohidrat dengan
perhitungan by different. Hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis proksimat ikan buntal
Nama
Nama
Kadar
Kadar Kadar
Spesies
Organ
air
Abu
Protein
(%)
(%)
(%)
A. hispidus
Daging
79,50
1,19 + 17,30 +
+ 0,14
0,27
0,00
A. hispidus Ovarium
68,98
1,29 + 20,57+
+ 0,09
0,13
0,00
82,37
0,81 + 16,01+
D. hystrix
Daging
+ 0,35
0,23
0,00
Kadar
Lemak
(%)
0,40 +
0,00
0,59 +
0,00
0,39 +
0,00
Kadar
Karbohidrat
(%)
1,61 + 0,13
8,57 + 0,22
0,41+ 0,59
Tabel 3 menunjukan nilai kadar air daging dan ovarium A.hispidus masih
lebih rendah bila dibandingkan kadar air daging Diodon hystrix, ikan buntal
pisang Lagocephalus lunaris (81,22%) yang ada di Cirebon (Nurjanah et al. 2014)
dan yang ada di India (80,32 %) serta ikan buntal L. inermis dari India (86,05%)
(Eswar et al. 2014). Kadar air daging A.hispidus hampir sama dengan ikan buntal
Takifugu rubripes (78,9 %) (Saito dan Kunisaki 1998) dan L. sceleratus (78,47%)
(Aydin et al. 2013). Menurut Eswar et al. (2014) ikan memiliki kadar air yang
tinggi, hal ini sangat penting dalam menjaga stabilitas ikan ini selama bergerak.
Kadar abu dari daging dan ovarium A. hispidus dan lebih tinggi bila
dibandingkan daging D. hystrix, daging ikan buntal pisang dari Cirebon (1,01 %)
(Nurjanah et al. 2014) dan ikan buntal pisang dari India (0,96 %) (Eswar et al.
2014), serta lebih rendah bila dibandingkan dengan daging T. rubripes (1,4%)
(Saito dan Kunisaki 1998), L. sceleratus (1,63%) (Aydin et al. 2013) dan
L. inermis (1,27%) (Eswar et al. 2014). Kadar abu mencerminkan kadar mineral
dalam tubuh. Mineral merupakan elemen anorganik yang dibutuhkan oleh ikan
dalam pembentukan jaringan dan berbagai fungsi metabolisme dan osmoregulasi.
Jumlah mineral yang dibutuhkan oleh ikan sangat sedikit tetapi mempunyai fungsi
yang sangat penting. Mineral telah diketahui mempunyai fungsi esensial dalam
tubuh ikan. Beberapa zat-zat mineral tersebut adalah natrium, kalium, fosfor,
kalsium, khlor, magnesium, ferrum, belerang, iodium, mangan, kuprum, kobalt,
molybdenum, selenium, dan zincum. Kalsium dan fosfor dibutuhkan dalam
jumlah besar untuk pembentukan gigi, tulang, dan kulit sehingga zat-zat mineral
tersebut harus ada dalam jumlah yang besar (Munthe 2011).
16
Kadar lemak dari daging, ovarium A. hispidus dan daging D. hystrix lebih
rendah bila dibandingkan kadar lemak daging L. lunaris dari Cirebon (3,35%)
(Nurjanah et al. 2014), L. lunaris dari India (11,25%), L. inermis (11,98%)
(Eswar et al. 2014), dan T. rubripes (0,7%) (Saito dan Kunisaki 1998), tetapi lebih
tinggi bila dibandingkan L. sceleratus (0,33%) (Aydin et al. 2013). Kandungan
lemak sangat bervariasi, hal ini sangat tergantung pada spesis, umur, pemijahan,
pakan dan tipe otot (Gehring et al. 2009). Lemak digunakan untuk kebutuhan
energi jangka panjang, pergerakan dan cadangan energi selama periode
kekurangan makanan. Lemak dalam tubuh menyediakan energi dua kali lebih
besar dibandingkan protein (Sargent et al. 2002). Ikan dikenal sebagai penghasil
asam lemak ω-3 (PUFA) khususnya, eicosapentaenoic acid (EPA) dan
docosahexaenoic acid (DHA) yang bermanfaat bagi kesehatan. Konsumsi ikan
ikan yang mengandung EPA dan DHA yang tinggi dapat mengurangi resiko
penyakit jantung (Jacobsen 2004). Konsumsi EPA dan DHA juga dapat mencegah
berbagai penyakit seperti arthritis, inflamasi, kanker, dan kondisi psikologis
(Larsen et al. 2011).
Kadar protein dari daging, ovarium A. hispidus dan daging D. hystrix lebih
tinggi dibandingkan kadar protein daging ikan L. lunaris dari Cirebon (16,31%)
(Nurjanah et al. 2014), L. lunaris dari India (9,22%), L. inermis (8,92%)
(Eswar et al. 2014), dan T. rubripes (16,5%) (Saito dan Kunisaki 1998),
sedangkan kadar protein L. sceleratus 21,62% (Aydin et al. 2013). Menurut
Eswar (2014) variasi kadar protein pada ikan mungkin disebabkan oleh makanan
dan habitat dari ikan tersebut. Ikan merupakan hewan laut yang kaya akan
protein. Menurut Venugopal (2008), jumlah kandungan protein pada daging ikan
mencapai 17-22%. Fungsi protein tersebut antara lain digunakan sebagai
pembangun struktur utama dalam sel, enzim dan hormon. Protein merupakan
sumber energi dan asam amino, yang penting untuk pertumbuhan dan perbaikan
sel.
Dari analisis proksimat diketahui bahwa ikan buntal mempunyai nilai gizi
yang memadai untuk suatu bahan pangan, tetapi pemanfaatannya sebagai
makanan harus diwaspadai karena adanya kandungan racun pada tubuh ikan
tersebut. Racun yang umum ditemui pada daging ikan buntal adalah tetrodotoksin
dan saxitoksin. Racun ini menyebabkan keracunan dengan memblok saluran
natrium dalam membran yang mengakibatkan terhentinya propagasi impuls
syaraf. Tetrodotoksin maupun saxitoksin memiliki efek farmakologik yaitu dapat
meningkatkan permeabilitas membran syaraf terhadap ion natrium (Noguchi dan
Arakawa 2008).
Kontaminasi racun alami pada ikan mengakibatkan keracunan bagi yang
mengkonsumsinya. Racun dari ikan buntal tidak dapat dihilangkan atau tidak
rusak dengan proses pemasakan. Racun ini diproduksi oleh alga (fitoplankton)
dan terakumulasi dalam tubuh ikan yang mengkonsumsi alga tersebut atau melalui
rantai makanan mengakibatkan racun tersebut terakumulasi dalam tubuh ikan.
17
Ekstraksi Racun Terpilih
Ekstrasi ikan buntal dilakukan menggunakan metode yang digunakan oleh
Zhou et al. (2003), Chen dan Chou (1998), Founda (2005) dan Hasan et al.
(2008). Sampel yang digunakan untuk pemilihan metode ekstraksi ini adalah
daging dari ikan buntal Arothron hispidus. Daging Arothron hispidus dipilih
sebagai sampel karena jumlah rendemennya paling tinggi. Metode ekstraksi yang
dilakukan oleh Founda (2005) adalah metode yang dipilih untuk mengekstraksi
senyawa racun diantara keempat metode. Cara ekstraksi yang dilakukan Founda
(2005) dipilih karena nilai LC50-nya terendah (87,95 ppm) dibandingkan cara
lainnya meskipun tidak berbeda nyata dengan metode Hasan et al. (2008) dan
Zhou et al. (2003). Data lengkap hasil penentuan cara ekstraksi ditampilkan pada
Tabel 4.
Tabel 4 Hasil penentuan cara ekstraksi racun
Nama Metode
Randemen
LC50 (ppm)
ekstrak (%)
Founda (2005)
1,70
87,95 + 7,9196a
Hasan et al. (2008)
1,61
397,91 + 1,8243b
Zhou et al. (2003)
1,94
52.788,50 +
43.541,5143c
Chen dan Chou (1998)
1,12
172.379,80 + 0,00d
Toksisitas
Toksik
Toksik
Tidak Toksik
Tidak Toksik
Keterangan : angka-angka yang diikuti subscript berbeda menunjukkan hasil perlakuan yang
berbeda nyata (p