Potensi Trichoderma harzianum dan Mikoriza untuk Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) pada Karet.

POTENSI Trichoderma harzianum DAN MIKORIZA UNTUK
PENGENDALIAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH
(Rigidoporus lignosus (KLOZTCH) IMAZEKI) PADA KARET

CICIK SEPTIYANI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Trichoderma
harzianum dan Mikoriza untuk Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih
(Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) pada Karet adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada pengurus tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Cicik Septiyani
NIM A34110029

ABSTRAK
CICIK SEPTIYANI. Potensi Trichoderma harzianum dan Mikoriza untuk
Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus (Kloztch)
Imazeki) pada Karet. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA.
Indonesia merupakan negara produsen karet terbesar di dunia setelah
Negara Thailand. Pengembangan industi karet hingga saat ini masih terus
dilakukan, namun adanya serangan penyakit menjadi hambatan dalam
pengembangan budidaya karet tersebut. Penyakit jamur akar putih yang
disebabkan oleh cendawan Rigidoporus lignosus merupakan penyakit utama pada
perkebunan karet. Percobaan bertujuan untuk mengetahui potensi Trichoderma
harzianum dan mikoriza dalam mengendalikan penyakit jamur akar putih pada
bibit karet di di rumah kaca. Percobaan dilaksanakan dengan rancangan acak
lengkap, 8 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan tersebut adalah pemberian

mikoriza, T. harzianum dan kombinasi keduanya, dengan dan tanpa inokulasi R.
lignosus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa T. harzianum, mikoriza, dan
kombinasi keduanya mampu menekan perkembangan kejadian dan keparahan
penyakit JAP. Pada saat pembibitan, perlakuan T. harzianum secara tunggal lebih
efektif dan efisien dalam menekan penyakit JAP dan dapat memperbaiki vigor
tanaman.
Kata kunci: karet, mikoriza, Rigidoporus lignosus, Trichoderma harzianum.

ABSTRACT
CICIK SEPTIYANI. Potential of Trichoderma harzianum and Mycorrhiza for
Controling White Root Rot Disease (Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) on
Rubber. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA.
Indonesia is the largest producer of rubber after Thailand. The development
of the rubber industry is still on going. However, the presence of rubber diseases
become a problem in the rubber industry development. White root fungus disease
caused by the fungus Rigidoporus lignosus is a major disease in rubber
plantations. The experiment aims to determine the potential of the fungus
Trichoderma harzianum and mycorrhizae fungi for controlling white root disease
on rubber seedlings in the greenhouse. The experiment has been done in complete
randomizeddesign, 8 treatments and 4 replications. The treatments were,

applications of T. harzianum, mycorrhizae, and their combinations, with and
without R. lignosus. The result have shown that T. harzianum, mycorrhizae, and
their combinations have supressed JAP diseases incidence and severity. At the
time of seedlings, the treatment of T. harzianum singly has found as the most
effective and efficient in supressing diseases severity and in increasing plant
vegetative growth.
Keywords: mycorrhiza, Rigidoporus lignosus, rubber, Trichoderma harzianum.

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantukan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


POTENSI Trichoderma harzianum DAN MIKORIZA UNTUK
PENGENDALIAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH
(Rigidoporus lignosus (KLOZTCH) IMAZEKI) PADA KARET

CICIK SEPTIYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

petunjuknya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas akhir
ini dilaksanakan dari bulan Desember 2014 sampai Mei 2015 dengan topik
pengendalian penyakit jamur akar putih pada bibit karet.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga,
M.Sc selaku pembimbing skripsi yang banyak memberi arahan dan bimbingan
selama pelaksanaan tugas akhir dan Bapak Dr. Ir. Teguh Santosa, DEA sebagai
dosen penguji yang memberikan masukan untuk penulisan skripsi. Terima kasih
juga penulis ucapkan kepada beasiswa Bidik Missi yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan pendidikan di IPB, serta orang tua (Ibu Sri mastutik dan
Bapak Muhidi) dan keluarga besar di Rembang (mas lilik, mas agung, dan mas
riki) yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam melakukan penelitian
dan penulisan skripsi, baik secara moril maupun materi. Tidak lupa penulis juga
ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh dosen dan tenaga kependidikan
Departemen Proteksi Tanaman, teman teman PTN 48 yang sangat saya sayangi,
serta semua rekan rekan laboratorium Mikologi Tumbuhan yang telah membantu
selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada
pihak Laboratorium Mikologi Tumbuhan, University Farm, dan Unit Lapangan
Cikabayan yang telah meminjamkan rumah kaca untuk penelitian.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk kita semua.


Bogor , Agustus 2015
Cicik Septiyani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Peremajaan Isolat R. lignosus
Persiapan Inokulum Patogen
Pembiakan Massal T. harzianum
Persiapan Media Tanam dan Penanaman Bibit Karet
Uji Antagonisme in Vitro R. lignosus dan T. harzianum
Aplikasi Mikoriza pada Bibit Karet

Aplikasi T. harzianum pada Bibit Karet
Inokulasi Buatan R. lignosus pada Bibit Karet
Pengamatan
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Antagonisme in vitro R. lignosus dengan T. harzianum
Uji Keefektifan Agens Hayati dalam Penghambatan JAP
pada Karet
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiv
xiv
xiv
1
1
3
3
4

4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
6
8
8
9
17
18
21

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya terhadap
periode laten, kejadian penyakit, keparahan penyakit, laju infeksi
penyakit JAP, tinggi tanaman, dan tingkat asosiasi mikoriza

10

DAFTAR GAMBAR
1 Uji ganda R. lignosus dengan T. harzianum pada 2 hsi - 5hsi
2 Gejala penyakit jamur akar putih 21 hsi - 56 hsi
3 Bentuk asosiasi mikoriza pada akar sekunder

8
9
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil uji sidik ragam pengaruh perlakuan T. harzianum, mikoriza, dan
kombinasinya terhadap periode laten penyakit JAP
2 Hasil uji sidik ragam pengaruh perlakuan T. harzianum, mikoriza, dan
kombinasinya terhadap laju infeksi penyakit JAP

3 Keparahan penyakit JAP pada 21 HSI sampai 56 HSI
4 Kejadian penyakit JAP pada 21 HSI sampai 56 HSI

22
22
22
22

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) merupakan komoditas perkebunan
yang penting bagi perekonomian masyarakat dan merupakan komoditas ekspor
andalan dan unggulan bagi Indonesia. Selain berperan sebagai penyedia lapangan
kerja bagi sekitar 1.4 juta kepala keluarga, komoditas karet juga berkontribusi
sebagai salah satu sumber devisa non migas, pemasok bahan baku karet, dan
mendorong pertumbuhan sentra ekonomi baru di wilayah–wilayah pengembangan
karet (Pulungan et al. 2014). Indonesia memiliki areal perkebunan karet terluas di

dunia yaitu 3 556 042 hektar pada 2013, namun dari sisi produksi karet kering
berada pada posisi kedua setelah Thailand yakni 3 180 297 ton. Pengembangan
industri karet hingga saat ini terus dilakukan. Di Indonesia, produksi karet
meningkat secara lambat sejak 2009 hingga 2013 dengan produksi yang berturut–
turut dari 2 440 346 ton, 2 734 854 ton, 3 029 354 ton, 3 040 376 ton, dan 3 180
297 ton (BPS 2015).
Dalam usaha pengembangan budidaya karet terdapat hambatan yang utama
yaitu adanya penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidoporus
lignosus. Cendawan penyebab JAP bersifat parasit fakultatif, artinya dapat hidup
sebagai saprofit yang kemudian dapat menjadi parasit jika terdapat inang yang
cocok. Cendawan R. lignosus tidak dapat bertahan hidup apabila tidak ada sumber
makanan. Bila belum ada inang, patogen ini bertahan pada sisa–sisa tunggul.
Penularan penyakit JAP dapat terjadi melalui persinggungan antara akar karet
sehat dengan sisa-sisa akar tanaman lama, tunggul-tunggul atau pohon yang sakit.
Selain melalui persinggungan antara akar sehat dengan akar sakit, penyebaran bisa
terjadi melalui hembusan angin yang membawa spora dari cendawan ini. Spora
yang jatuh di tunggul atau sisa kayu akan tumbuh dan membentuk koloni
(Pawirosoemardjo 2004).
Penyakit jamur akar putih dapat menyerang pada semua umur tanaman,
namun lebih banyak terdapat pada kebun karet muda. Gejala awal yang muncul
pada tanaman sakit yaitu daun tampak kusam dan melengkung ke bawah. Setelah
itu, daun menguning, dan pada akhirnya daun akan rontok. Pada pohon dewasa,
gugurnya daun disertai dengan matinya ranting-ranting dan menyebabkan pohon
mempunyai mahkota yang jarang. Pohon yang sakit kadang-kadang membentuk
bunga dan buah sebelum masanya. Akar menjadi busuk, sehingga pohon mudah
tumbang. Gejala pada bagian di atas tanah mirip dengan gejala yang disebabkan
oleh penyakit akar pada umumnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui penyebab
penyakitnya dengan pasti perlu dilakukan pembukaan akar (Semangun 2006).
Penyakit JAP merupakan penyakit yang sangat penting pada tanaman karet,
karena penyakit ini dapat mengakibatkan kematian tanaman dengan kejadian
penyakit yang tinggi terutama pada tanaman yang berumur 2 tahun sampai 6
tahun. Penyakit JAP telah menyebabkan kerugian ekonomi, tidak hanya
disebabkan oleh kehilangan produksi akibat kerusakan tanaman, tetapi juga
mahalnya biaya yang diperlukan dalam pengendaliannya. Kehilangan produksi
akibat kerusakan oleh penyakit JAP diperkirakan dapat mencapai 5% sampai 15%
setiap tahunnya. Seperti yang terjadi di perkebunan karet Sumatera Selatan,

2

serangan JAP telah mencapai 20000 hektar dengan perkiraan kerugian hasil
sebesar Rp 7.82 milyar (Muharni et al. 2011).
Upaya pengendalian penyakit JAP yang banyak dilakukan adalah dengan
menggunakan fungisida sintetis. Selain tidak efektif, penggunaan bahan kimia
sering menimbulkan residu pada lingkungan dan membunuh organisme bukan
sasaran. Selain penggunaan fungisida sintetis, beberapa cara pengendalian JAP
yang telah dilakukan, diantaranya dengan menghilangkan tunggul-tunggul atau
organ tanaman berkayu secara tuntas sebagai sumber infeksi, menanam tanaman
penutup tanah jenis leguminosa, serta pengendalian hayati dengan menggunakan
agens hayati seperti Trichoderma sp. yang bersifat antagonis terhadap patogen
tumbuhan. Pengendalian hayati dengan menggunakan agens hayati yang bersifat
antagonis merupakan salah satu altenatif pengendalian patogen tular tanah yang
lebih aman dan ramah lingkungan, serta dapat mengurangi penggunaan dari
fungisida yang berdampak buruk terhadap organisme lain (Pawirosoemardjo
2004).
Pengendalian hayati terhadap patogen tanaman adalah pemanfaatan satu
atau lebih organisme untuk mengurangi kepadatan inokulum, aktifitas patogen
atau parasit dalam keadaan aktif atau dorman dengan cara mengintroduksi satu
atau lebih antagonis pada lingkungan atau inang, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Aspek dari pengendalian hayati adalah memanipulasi
mikroorganisme yang kompetitif atau yang bersifat antagonis terhadap patogen
tanaman yang interaksinya di alam dapat menurunkan atau mencegah terjadinya
penyakit tanaman. Keberhasilan pengendalian hayati sangat ditentukan oleh jenis
dan jumlah inokulum antagonis yang diberikan, jenis patogen yang akan
dikendalikan, dan faktor lingkungan yang memengaruhi, serta cara aplikasi ke
dalam tanah (Cook & Baker 1996).
Cendawan antagonis yang telah banyak dimanfaatkan sebagai pengendali
hayati patogen tumbuhan adalah Trichoderma sp. Biakan cendawan Trichoderma
sp. dalam media apikatif seperti dedak dapat diberikan ke areal pertanaman dan
bersifat sebagai biodekomposer serta sebagai biofungisida. Trichoderma
harzianum merupakan salah satu dari spesies Trichoderma sp. yang mampu
berperan sebagai pengendali hayati karena mempunyai aktivitas antagonistik yang
tinggi terhadap cendawan patogen tular tanah. Cendawan ini termasuk ke dalam
jenis cendawan tanah, sehingga sangat mudah didapatkan di berbagai macam
tanah, dipermukaan akar berbagai macam tumbuhan, dan juga dapat diisolasi dari
kayu busuk atau serasah. T. harzianum sebagai agens pengendali patogen
tumbuhan memiliki beberapa keunggulan diantaranya memiliki mekanisme
pengendalian yang bersifat spesifik target, mampu mengoloni rhizosfer dengan
cepat dan melindungi akar dari serangan cendawan patogen, mampu mempercepat
pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi tanaman. Selain itu,
Trichoderma sp. sebagai agens antagonis mudah dibiakkan secara massal, mudah
disimpan dalam waktu lama dan dapat diaplikasikan sebagai seed furrow dalam
bentuk tepung atau granular (Amin et al. 2010).
Keberhasilan penggunaan Trichoderma sp. untuk pengendalian penyakit
tanaman, baik pada pembibitan di rumah kaca maupun di lapangan telah banyak
dilaporkan. Cendawan ini sudah diaplikasikan dalam skala lapang di beberapa
perkebunan besar kelapa sawit dan hasilnya terbukti mampu menekan penyakit
busuk pangkal batang tanaman kelapa yang disebabkan oleh Ganoderma

3

boinense. Trichoderma sp. juga dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan
beberapa cendawan patogen yang lain seperti Fusarium oxysporum, Rizoctonia
solani, dan Sclerotium rolfsii (Chet 1987, Aeny 2010). Hasil penelitian Misni et
al. (2004) menunjukkan bahwa T. harzianum dapat menekan perkembangan
penyakit layu F. Oxysporum f.sp. lycopersici (Sacc.) pada tanaman tomat sebesar
80 % dan dapat mempertahankan persentase bunga menjadi buah sebesar 71.47 %
serta mampu meningkatkan produksi tanaman.
Selain penggunaan Trichoderma sp., agens antagonis yang sudah luas
digunakan dalam pengendalian secara biologi adalah mikoriza. Mikoriza
merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara cendawan dan akar tanaman.
Simbiosis tersebut bermanfaat bagi keduanya, dimana cendawan mikoriza
memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa) dan Karbon (C)
dari tumbuhan, sedangkan cendawan melalui hifa eksternalnya yang terdistribusi
di dalam tanah dapat menyalurkan air, mineral, dan hara tanah untuk membantu
aktifitas metabolisme tumbuhan inangnya (Brundrett et al. 2008). Mikoriza
mampu meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen akar, misalnya
dengan menghasilkan selubung akar atau antibiotik. Mikoriza juga dapat
meningkatkan resistensi terhadap kekeringan, terutama pada daerah yang kurang
hujan. Pertumbuhan tanaman pada tanah yang tercemar logam berat dapat ditingkatkan ketahanannya jika dikolonisasi oleh mikoriza, misalnya pada daerah
pertambangan. Mikoriza juga mampu menyesuaikan diri pada lingkungan yang
ekstrim, terutama pada tanah marginal.
Penelitian mengenai mikoriza telah mulai banyak dilakukan, seperti yang
dilaporkan oleh Hasanudin (2008), bahwa mikoriza dapat membantu
meningkatkan produksi kedelai pada tanah ultisol di Lampung, bahkan pada
penelitian lebih lanjut dilaporkan bahwa penggunaan mikoriza dapat
meningkatkan produksi jagung yang mengalami kekeringan sesaat pada fase
vegetatif dan generatif. Mikoriza juga sangat berperan dalam meningkatkan
toleransi tanaman terhadap lahan kritis, yang berupa kekeringan dan banyak
terdapatnya logam-logam berat. Potensi mikoriza sebagai agen antagonis
tergantung pada kondisi lingkungan. Keberadaan mikoriza juga bersifat sinergis
dengan bakteri pelarut fosfat dan Trichoderma sp. (Setiadi 1989). Informasi
mengenai keefektifan T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya untuk menekan
perkembangan JAP masih minim. Oleh karena itu, dilakukan suatu kajian yang
bertujuan untuk mengetahui potensi T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya
dalam menekan perkembangan JAP pada tanah yang ditanami karet.

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan mengkaji potensi agens hayati T. harzianum dan
mikoriza dalam mengendalikan penyakit jamur akar putih (R. lignosus) pada
tanaman karet di pembibitan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keefektifan
T. harzianum dan mikoriza dalam mengendalikan JAP, sehingga dapat digunakan
sebagai alternatif pengendalian penyakit JAP yang ramah lingkungan.

4

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2014 sampai bulan Mei 2015
di Rumah Kaca Cikabayan dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian
Peremajaan Isolat Rigidoporus lignosus
Isolat Rigidoporus lignosus yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari
koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB.
Isolat R. lignosus ditumbuhkan pada media PDA sebanyak 10 cawan petri yang
berdiameter 9 cm dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Komposisi media
PDA untuk 1 liter terdiri atas campuran agar 20 gram, kentang 200 gram, aquades
1000 ml, dextrose 20 gram, antibiotik chloramphenicol setengah kapsul per
erlenmeyer. Media PDA yang telah dibuat dimasukkan ke dalam erlenmeyer
terlebih dahulu lalu disterilkan dengan menggunakan autoklaf, kemudian dituang
ke masing–masing cawan petri sebanyak 10 cawan dalam keadaan steril di
laminar air flow. Peremajaan isolat dilakukan dengan cara satu bulatan R.
lignosus yang berdiamter 1 cm diletakkan diatas media PDA.
Pembiakan Massal Trichoderma harzianum
Isolat Trichoderma harzianum yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, IPB. T. harzianum diremajakan pada media PDA dan diinkubasi pada
suhu ruang selama 5 hari. Pembiakan massal dilakukan dengan meletakkan 10
bulatan T. harzianum yang sudah berhasil diremajakan ke dalam media jagung
pipil steril yang sudah dimasukkan ke dalam plastik tahan panas. Inkubasi
dilakukan selama 14 hari untuk mendapatkan massa T. harzianum yang telah
menutupi seluruh permukaan jagung.
Persiapan Inokulum Patogen
Inokulasi artifisial dilakukan dengan inokulum R. lignosus yang
diperbanyak pada ranting karet yang berdiameter 1 cm dengan ukuran panjang 5
cm. Ranting karet kemudian direndam selama 24 jam dan dikeringanginkan,
kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas dan disterilkan dengan
autoklaf. Selanjutnya, ranting karet yang sudah disterilkan diinokulasi dengan
biakan R. lignosus yang berumur 7 hari dan diinkubasi selama 2 minggu.
Uji Antagonisme in vitro R. lignosus dengan T. harzianum
Uji antagonisme dilakukan dengan metode biakan ganda (dual culture).
Agens antagonis dan cendawan patogen ditumbuhkan bersamaan pada satu cawan
petri berdiameter 9 cm dengan jarak 3 cm dari masing-masing tepi cawan,
kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 5 hari dan diamati persensentase
daya hambatnya.

5

Rumus persen hambatan cendawan antagonis = (R1- R2)/R1 x 100%
R1: hifa patogen yang menjauhi agens antagonis
R2: hifa patogen yang mendekati agens antagonis.
Uji antagonisme dilakukan sebanyak 3 perlakuan yaitu (1) R. lignosus, (2) T.
harzianum, (3) R. lignosus dan T. harzianum yang ditumbuhkan secara
bersamaan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali.
Persiapan Media Tanam dan Penanaman Bibit Karet
Media tanam yang digunakan dalam penelitian adalah campuran tanah yang
sudah disterilkan, pupuk kandang, dan pupuk kompos. Media tanam yang sudah
siap langsung dimasukkan ke dalam polybag berukuran 30 cm x 30 cm. Bibit
karet yang digunakan adalah klon GD 139 yang berumur 6 bulan. Dilakukan
penyiraman setiap hari pada pagi hari serta dilakukan penyiangan gulma yang
tumbuh di polybag secara manual. Pupuk diberikan pada bibit karet setelah
pembentukan tajuk yang pertama dengan memberikan 10 gram pupuk majemuk
NPK 15-15-15.
Aplikasi Mikoriza dan T. harzianum pada Bibit Karet
Mikoriza yang digunakan adalah mikoriza dalam bentuk granul dan sudah
siap pakai yang diproduksi oleh BPTP Serpong. Mikoriza diberikan bersamaan
pada saat penanaman bibit karet pada polybag (pindah tanam). Mikoriza diberikan
sebanyak 10 gram per tanaman di daerah sekitar perakaran bibit karet. Setelah 3
minggu aplikasi mikoriza dilakukan aplikasi T. harzianum yang telah diperbanyak
pada jagung pecah steril. T. harzianum diberikan di daerah sekitar perakaran
sebanyak 10 gram pada masing - masing tanaman.
Inokulasi buatan R. lignosus pada bibit karet
Inokulasi buatan R. lignosus yang telah dibiakkan pada potongan ranting
karet dilakukan 1 minggu setelah aplikasi T. harzianum disekitar perakaran.
Inokulasi dilakukan dengan cara menempelkan sumber inokulum pada leher akar
tanaman karet.
Pengamatan
Peubah yang diamati adalah periode laten, laju infeksi, keparahan penyakit,
kejadian penyakit, tinggi tanaman, serta tingkat asosiasi mikoriza. Untuk
mengetahui periode laten dilakukan pembukaan pada leher akar bibit karet yang
dimulai 2 minggu setelah inokulasi patogen. Bibit karet yang positif terserang JAP
terdapat rhizomorf yang menempel pada akar bibit karet tersebut. Kejadian
penyakit JAP dihitung dengan menggunakan persamaan:
Kejadian penyakit (Townsend & Heuberger 1943) = n/(N ) x 100%
n : jumlah tanaman yang terinfeksi jamur akar putih
N : jumlah tanaman yang diamati
Menurut Tombe et al. (2002) (dimodifikasi) untuk pengamatan dan
monitoring keparahan penyakit akibat serangan JAP (R. lignosus) digunakan
sistem skoring sebagai berikut:
(0)
: tanaman sehat, akar tanaman bebas patogen

6

(1)

(2)

: rhizomorf baru menempel sampai mulai berpenetrasi ke dalam jaringan
akar, tetapi akar belum mengalami pembusukan. Daun tanaman terutama
bagian bawah mulai agak layu
: jaringan akar sudah mulai membusuk sampai pada pangkal batang.
Tanaman sudah mulai layu dan daun mulai berguguran.

Keparahan penyakit dihitung dengan menggunaan persamaan:
Keparahan penyakit (Townsend & Heuberger 1943) =

x 100%

ni : jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i
vi : skor ke-i
N : jumlah tanaman yang diamati
V : skor tertinggi
Laju infeksi dihitung dengan menggunakan persamaan:
Laju infeksi (Van der Plank 1963) =
(log
- log
), dengan t
adalah selang waktu pengamatan, Xt adalah keparahan penyakit pada waktu-t, dan
Xo adalah keparahan penyakit pada pengamatan sebelumnya.
Pengamatan tingkat asosiasi mikoriza dilakukan dengan metode pencucian
jaringan sel dan pewarnaan yang dilakukan Bundrett et al. (1996). Akar karet
terlebih dahulu dicuci pada air mengalir, kemudian dipotong dengan ukuran 1 cm
sebanyak 1 gram. Akar yang telah dipotong kemudian dimasukkan ke dalam
larutan KOH 10 % dan dipanaskan pada suhu 95 0C selama 1 jam. Akar yang
masih berwarna gelap dimasukkan ke dalam larutan H2O2 10 % selama 10 menit.
Kemudian akar dibilas dengan air, dan dimasukkan ke dalam larutan HCL 0.5 %
selama 15 menit, setelah itu direndam dalam larutan trypan blue 0.05 % dan
larutan lactid acid glyserol yang terdiri dari campuran asam laktat, gliserol, dan
aquades, kemudian dipanaskan pada suhu 85 0C selama 15 menit. Akar yang telah
diwarnai kemudian disimpan dalam larutan 50 % gliserol selama 24 jam, dan
setelah itu disebar secara merata pada cawan petri yang berdiameter 14 cm dan
sudah diberi gridline yang berukuran 0.8 cm x 0.8 cm. Akar yang sudah disebar
pada cawan kemudian diamati dibawah mikroskop stereo untuk mengetahui
apakah jaringan akar sudah berasosiasi dengan mikoriza atau belum. Jaringan akar
yang diduga sudah berasosiasi dengan mikoriza kemudian diamati dibawah
mikroskop compound untuk mengetahui struktur khas dari mikoriza tersebut.
Tingkat asosiasi mikoriza (Smith & Dickson 1997) = x 100 %
(panjang akar
A = jumlah akar yang terinfeksi x gridline (0.8 cm) x
terinfeksi)
B = jumlah total akar x gridline (0.8 cm) x (panjang akar total terinfeksi
dan yang tidak terinfeksi)
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Pengujian in planta di rumah kaca disusun dalam rancangan acak lengkap
(RAL), yang terdiri dari 8 perlakuan, 4 ulangan, dan terdapat 2 unit tanaman
untuk setiap ulangan, sehingga terdapat 64 bibit tanaman karet yang digunakan

7

pada penelitian. Adapun jenis perlakuannya yaitu (1) R. lignosus tanpa agens
hayati; (2) R. lignosus + T. harzianum; (3) R. lignosus + Mikoriza; (4) R. lignosus
+ Mikoriza + T. harzianum; (5) Tanpa inokulasi R. lignosus, tanpa agens hayati;
(6) T. harzianum tanpa inokulasi R. lignosus; (7) Mikoriza tanpa inokulasi R.
lignosus; (8) Mikoriza + T. harzianum tanpa inokulasi R. lignosus. Data yang
diperoleh dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan statistical analisis
system (SAS). Perlakuan yang berpengaruh nyata akan diuji lanjut menggunakan
uji Duncan dengan taraf α = 5%.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Antagonisme in vitro R. lignosus dengan T. harzianum
Pada hari pertama uji ganda in vitro, belum nampak daya hambatan koloni
cendawan R. lignosus oleh T. harzianum. Hal tersebut diketahui dari diameter
koloni patogen yang hampir sama dengan T. harzianum dan belum terjadi kontak
langsung antara kedua koloni. Interaksi antara kedua koloni sudah mulai nampak
pada 2 hsi dimana diameter koloni T. harzianum sudah lebih besar dari diameter
koloni patogen. Pada hari ketiga dan keempat pengamatan, pertumbuhan koloni R.
lignosus menjadi sangat terhambat terutama pada bagian yang berdekatan dengan
koloni T. harzianum, sedangkan pertumbuhan koloni T. harzianum semakin
meluas dan mulai tumbuh diatas koloni patogen yang menunjukkan adanya
mekanisme hiperparasitisme. Pada 5 hsi, pertumbuhan koloni T. harzianum sudah
memenuhi cawan bahkan menutupi pertumbuhan koloni R. lignosus (Gambar 1).
Selain hiperparasitisme, T. harzianum juga memiliki mekanisme antibiosis
dengan menghasilkan viridin sebagai antibiotik, serta menghasilkan enzim β-1,3glukanase dan kitinase yang menyebabkan eksolisis pada hifa inangnya (Chet
1987, Aeny 2010). Mekanisme lisis mulai nampak pada 3 hsi dimana terdapat
zona hambatan diantara kedua koloni yang terjadi sebelum koloni T. harzianum
mampu tumbuh diatas koloni R. lignosus. Hal tersebut juga telah disampaikan
oleh Danielson dan Davey (2002) yang menyatakan bahwa T. harzianum dapat
memproduksi enzim litik dan antibiotik antifungal, dapat berkompetisi dengan
patogen, dapat membantu pertumbuhan tanaman, dan memiliki kisaran
penghambatan yang luas karena dapat menghambat berbagai jenis fungi, seperti
Ganoderma boninense, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, dan Sclerotium
rolfsii.
Th

P

Th

Hari ke – 2 Kontrol

P

Th

P

a

A

P

B

Hari ke – 4
Th

P

P

C

P

D

Gambar 1 Uji ganda R. lignosus dengan T. harzianum pada 2 hsi - 5hsi: (A) pada
2 hsi, diameter koloni Th sudah lebih besar dari diameter koloni
patogen, (B) pada 3 hsi, pertumbuhan koloni patogen menjadi sangat
terhambat, pertumbuhan Th semakin cepat dan meluas, (C) pada 4 hsi,
koloni Th sudah mulai tumbuh diatas koloni patogen, (D) pada 5 hsi,
Koloni Th sudah memenuhi cawan dan menutupi seluruh permukaan
koloni patogen. (Th) T. harzianum, (P) R. lignosus

9

Uji Keefektifan Agens Hayati dalam Penghambatan JAP pada Karet
Pada 21 hsi (hari setelah inokulasi), perlakuan yang diinokulasi R. lignosus
tanpa agens hayati terdapat miselium berwarna putih yang menyerupai akar
rambut (rhizomorf) mulai menempel pada akar bibit karet (Gambar 2C). Seiring
bertambahnya hari, rhizomorf yang muncul semakin meluas dan mulai
berpenetrasi ke dalam jaringan akar. Hal ini menyebabkan terjadinya gejala layu
kering pada tajuk terutama pada daun bagian bawah, yang terjadi pada 28 hsi
(Gambar 2A). Infeksi lanjut dari JAP menyebabkan tanaman menjadi kering dan
daun mulai berguguran hingga dapat menyebabkan kematian pada bibit (Gambar
2B). Kematian pada bibit karet disebabkan karena akar sudah membusuk, dimana
akar menjadi lunak dan berubah warna menjadi hitam serta rhizomorf yang masih
menempel pada akar berubah warna menjadi coklat (Gambar 2D). Pada
umumnya, kematian bibit karet terjadi pada 56 hsi. Pada perlakuan bibit karet
yang tidak diinokulasi R. lignosus walaupun diinfestasikan Trichoderma
harzianum, mikoriza atau kombinasinya, gejala layu kering tidak terjadi. Hal ini
menunjukkan bahwa T. harzianum dan mikoriza tidak bersifat patogenik pada
bibit karet.
Gejala JAP yang muncul pada percobaan sesuai dengan pernyataan
Semangun (2006) yang menyatakan bahwa tanaman yang terserang JAP
mula−mula daunnya tampak kusam, kurang mengkilat, dan melengkung ke bawah,
setalah itu daun−daun menguning dan rontok. Gejala pada bagian di atas tanah
mirip dengan gejala yang disebabkan oleh penyakit−penyakit akar pada umumnya,
untuk itu perlu dilakukan pembukaan akar untuk mengetahui penyebab pastinya.
Pada permukaan akar yang sakit terdapat benang−benang miselium jamur
(rhizomorf) berwarna putih menjalar sepanjang akar. Rhizomorf terlihat seperti
benang yang meluas dan bercabang−cabang seperti jala. Kadang-kadang
rhizomorf berwarna kekuningan dan kecokelatan menyerupai warna tanah jika
sudah terlalu lama tertimbun tanah, kulit yang sakit akan busuk dan warnanya
cokelat. Kayu dari akar yang baru saja mati tetap keras, berwarna cokelat, kadangkadang agak kekelabuan. Pada pembusukan yang lebih jauh, kayu berwarna putih
atau krem, tetapi padat dan kering, meskipun di tanah basah kayu yang terserang
dapat busuk.
.

A
Gambar 2

B

C

D

Gejala penyakit jamur akar putih: (A) daun bagian bawah mulai
menguning (28 hsi), (B) tanaman kering dan layu (56 hsi), (C)
terdapat rhizomorf patogen disekitar akar (21 hsi), (D) akar sudah
membusuk (49 hsi)

10

Tabel 1 Pengaruh T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya terhadap periode
laten, kejadian penyakit, keparahan penyakit, laju infeksi penyakit JAP,
tinggi tanaman, dan tingkat asosiasi mikoriza
Perlakuana

TA− RL
TH– RL
M – RL
TH+ M – RL
TA+ RL
TH+ RL
M + RL
TH+ M + RL

Periode
laten
(hsi)b

Kejadian Keparahan
penyakit penyakit
(%)b
(%)b

00.00d
00.00d
00.00d
00.00d
31.12 c
40.75 a
35.87 b
36.25 b

00.00e
00.00e
00.00e
00.00e
100.00a
25.00d
62.50b
37.50c

00.00e
00.00e
00.00e
00.00e
100.00a
18.80d
50.00b
31.30c

Laju
infeksib

Tinggi
tanaman
(cm)b

0.00c
0.00c
0.00c
0.00c
0.99a
0.25bc
0.59b
0.24bc

76.63a
94.00a
89.63a
86.00a
23.38b
85.00a
71.25a
71.13a

Tingkat
asosiasi
mikoriza
(%)b
00.00d
00.00d
49.01a
30.23b
00.00d
00.00d
15.42c
12.74c

a

TA= tanpa agens hayati; RL= Rigidoporus lignosus; TH= Trichoderma harzianum; M= Mikoriza
nilai yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
DMRT α=5%
b

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian agens hayati, baik secara
tunggal maupun kombinasi mampu mengendalikan dan menekan perkembangan
penyakit JAP pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus. Hal tersebut dapat
diketahui dari angka kejadian dan keparahan penyakit pada semua perlakuan yang
diinokulasikan patogen dengan infestasi agens hayati lebih rendah daripada
perlakuan tanpa agens hayati. Adanya agens hayati yang diinfestasikan pada bibit
karet mampu mengurangi laju infeksi dan mampu memperlambat periode laten
dari penyakit JAP, sehingga mampu menekan perkembangan dari penyakit JAP
tersebut. Nilai kejadian dan keparahan penyakit tertinggi terjadi pada perlakuan
yang diinokulasi R. lignosus tanpa agens hayati, yaitu mencapai 100%, sedangkan
pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus dengan aplikasi agens hayati
memiliki nilai kejadian dan keparahan penyakit yang lebih rendah dari 100%. Hal
tersebut menandakan bahwa pemberian T. harzianum dan mikoriza efektif dalam
menekan perkembangan penyakit JAP pada bibit karet di rumah kaca.
Meskipun pemberian T. harzianum dan mikoriza secara tunggal maupun
kombinasinya mampu menekan perkembangan penyakit JAP, perlakuan T.
harzianum secara tunggal lebih efektif bila dibandingkan dengan perlakuan
lainnya dalam mengendalikan penyakit JAP pada karet untuk di pembibitan.
Perlakuan mikoriza secara tunggal maupun kombinasinya kurang efektif jika
digunakan di pembibitan karena mikoriza membutuhkan waktu yang lebih lama
bila dibandingkan dengan T. harzianum dalam menghambat perkembangan
penyakit JAP. Namun, tidak menutup kemungkinan peggunaan mikoriza maupun
kombinasinya dengan T. harzianum justru lebih efektif dalam mengendalikan JAP
pada perkebunan karet yang sudah dewasa, karena tanaman yang telah
terkolonisasi atau terinfeksi oleh mikoriza pada fase pembibitan, tanaman tersebut
akan membawa hifa ataupun spora cendawan mikoriza tersebut selama tanaman
tersebut tumbuh (Bundrett et al. 2008).
Aplikasi mikoriza secara tunggal maupun kombinasi dengan T. harzianum
efektif bila digunakan dalam pengendalian patogen untuk jangka panjang karena

11

membutuhkan waktu yang cukup lama agar mampu berasosiasi secara
menyeluruh pada jaringan akar karet. Menurut Simanjuntak et al. (2013) aplikasi
mikoriza tiga bulan sebelum inokulasi sumber inokulum patogen akan
memberikan peluang bagi cendawan tersebut untuk dapat menginfeksi akar dan
berkolonisasi di dalam jaringan perakaran bibit kelapa sawit PN. Oleh karena itu,
ketika akar bibit kelapa sawit bertemu dengan sumber inokulum patogen, patogen
yang mungkin dapat menginfeksi bagian ujung akar tidak akan mampu
berkembang ke bagian akar yang lebih dalam. Sifat antagonisme mikoriza yang
diuji diduga mampu mengalahkan perkembangan Ganoderma sp. dari segi ruang
dan nutrisi khususnya di daerah perakaran bibit kelapa sawit yang menjadi tempat
kompetisi bagi dua mikroorganisme tersebut.
Penekanan perkembangan penyakit JAP oleh T. harzianum dan mikoriza
dilakukan dengan berbagai mekanisme yang dapat menghambat proses penetrasi
patogen pada jaringan tanaman, sehingga mampu memperlambat munculnya
gejala dan periode laten dari penyakit JAP. Berdasarkan data periode laten pada
tabel 1, rerata periode laten tercepat terjadi pada perlakuan yang diinokulasi R.
lignosus tanpa agens hayati yaitu pada 31.12 hari setelah inokulasi. Hal tersebut
diduga karena patogen lebih cepat beradaptasi menginfeksi akar bibit karet tanpa
diinfestasikan agens hayati. Sedangkan, rerata periode laten terlambat terjadi pada
perlakuan yang diinokulasikan R. lignosus yang dikombinasikan dengan
pemberian T. harzianum yaitu 40.75 hari setelah inokulasi. Pada perlakuan yang
tidak diinokulasi R. lignosus tidak memiliki periode laten karena tidak ada gejala
yang muncul pada bibit karet.
Perlakuan agens hayati mampu memperlambat periode laten atau masa
inkubasi dari penyakit JAP, karena terjadi persaingan antara patogen dengan
agens hayati. Hal ini didukung dari hasil uji ganda antagonisme dari T.
harzianum terhadap JAP (Gambar 1). Oleh karena itu, patogen menjadi tertekan
pertumbuhannya sehingga tidak dapat melakukan proses awal patogenesis yaitu
proses penetrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo (1993) yang menyatakan
bahwa patogen sukar melakukan penetrasi ke tanaman dan menimbulkan penyakit
apabila sistem perakaran terkuasai antagonis. Selain itu juga menurut Agrios
(1997), kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan patogen dan kurang
mendukung bagi tanaman akan mempercepat masa inkubasi.
Pemberian agens hayati juga mampu mengurangi laju infeksi penyakit JAP,
hal ini dapat diketahui dari rerata laju infeksi pada perlakuan yang diinfestasi
agens hayati lebih kecil dan berbeda nyata dengan perlakuan tanpa agens hayati.
Rata-rata laju infeksi yang terbesar terjadi pada perlakuan inokulasi patogen tanpa
agens hayati yaitu sebesar 0.99, sedangkan laju infeksi terkecil terjadi pada
perlakuan R. lignosus yang dikombinasikan dengan T. harzianum dan mikoriza
yaitu sebesar 0.24. Nilai rerata laju infeksi yang kecil menandakan jika
pertambahan laju infeksi tersebut terjadi dengan sangat lambat. Hal ini diduga
adanya agens hayati yang diaplikasikan di sekitar perakaran mampu menghambat
laju perkembangan dari patogen. Hal ini sesuai dengan penelitian Widiastuti et al.
(2004) yang menyatakan bahwa kombinasi agens biokontrol T. harzianum dan
mikoriza menghasilkan kemampuan menekan perkembangan penyakit tular tanah
di pembibitan kelapa sawit.
Nilai dari laju infeksi dapat diartikan sebagai tingkat agresifitas dari suatu
patogen tanaman. Apabila nilai laju infeksi lebih kecil dari 0.5 unit per hari,

12

berarti patogen memiliki agresifitas yang rendah, sedangkan apabila nilai laju
infeksi lebih besar dari 0.5 unit per hari berarti patogen memiliki agresifitas yang
tinggi. Berdasarkan nilai laju infeksi dari perlakuan R. lignosus tanpa agens hayati
yang melebihi 0.5 unit per hari yaitu 0.99 unit per hari, dapat dikatakan isolat JAP
yang digunakan memiliki agresifitas yang tinggi. Selain itu juga, tingkat
keagresifan patogen dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya dan ketahanan
inang (Van der Plank 1963, Pawirosoemardjo et al. 2004).
Trichoderma harzianum memiliki daya antagonis terhadap patogen dengan
mekanisme mikoparasitik, kompetisi, antibiosis dan lisis dengan menghasilkan
enzim dan toksin yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen.
Sesuai dengan pernyataan Harman (2000) yang menyatakan bahwa mekanisme
pengendalian cendawan fitopatogen meliputi mikoparasitik, antibiosis, kompetisi
ruang dan nutrisi, serta mengahancurkan dinding sel cendawan patogen,
menghasilkan enzim kitinase dan b-1-3-glukanase. Akibatnya, hifa cendawan
patogen akan rusak protoplasmanya dan cendawan patogen akan mati. Selain itu,
T. harzianum mampu menghasilkan enzim penghidrolisis dinding sel patogen
yang akan menghambat sintesis selaput dinding sel dan meningkatkan keaktifan
yang bersifat fungisida. Akibat terganggunya sintetis tersebut menyebabkan
menurunnya kemampuan patogen dalam menginfeksi dan menyebabkan gejala
pada bibit karet. Keberhasilan Trichoderma sp. dalam mengendalikan berbagai
cendawan patogen sudah banyak dilaporkan. T. harzianum dilaporkan mampu
menurunkan intensitas penyakit busuk pepelah R. solani pada saat tanam yaitu
sebesar 29.1% - 37.2% (Soenartiningsih et al. 2014).
Pemberian T. harzianum selama 8 minggu setelah aplikasi (MSA) belum
mampu menurunkan kejadian dan keparahan penyakit setiap minggunya dan
belum mampu menyembuhkan bibit karet yang terinfeksi JAP hingga 0%. Hal ini
menunjukkan bahwa T. harzianum hanya mampu menghambat perkembangan
dari penyakit JAP dan belum mampu menyembuhkan penyakit JAP. Ini
disebabkan T. harzianum tidak langsung mematikan spora patogen, tetapi
menghambat pertumbuhannya dari sekitar tanahnya, sehingga dibutuhkan waktu
yang lebih lama lagi bagi T. harzianum untuk mengendalikan JAP, agar tanaman
terbebas dari JAP. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harman (2000) yang
menyatakan bahwa Trichoderma sp. tidak mematikan secara langsung spora
cendawan penyebab penyakit tetapi menghambat pertumbuhan cendawan tersebut
dari tanah sekitarnya. Hal ini terjadi karena pertumbuhan spora T. harzianum
lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan spora cendawan patogen.
Trichoderma sp. dapat menghasilkan antibiotik glikotoksin yang mampu
menghambat pertumbuhan cendawan parasit seperti Pythium pada tanaman.
Potensi T. harzianum dalam pengendalian patogen tular tanah telah banyak
dilaporkan. Potensi T. harzianum tersebut berkaitan dengan produksi toksin
(trichodermin). Beberapa cendawan tular tanah yang dapat dikendalikan oleh T.
harzianum adalah Rhizoctonia solani, Sclerotinia americana, Pythium ultimum,
dan, Macrophomia phaseolina (Howell 2014). Potensi antifungi Trichoderma
harzianum dapat dioptimalkan dengan stimulasi tertentu. Perlakuan T. harzianum
yang memiliki tingkat kejadian dan keparahan penyakit paling rendah pada
percobaan ini didukung oleh peningkatan ketahanan tanaman. Peningkatan
ketahanan tanaman tersebut dapat terjadi dengan peningkatan kandungan enzim
peroksidase dan peningkatan kandungan kalosa pada dinding sel tanaman.

13

Peningkatan enzim peroksidase dan kalosa dapat menjadi penghalang fisik dan
kimia terhadap penetrasi patogen pada bagian akar maupun daun (Howell 2014).
Selain itu, pemberian agens antagonis juga mampu memicu sistem kekebalan
tanaman, dan dikenal sebagai resistensi sistemik terinduksi terhadap beberapa
patogen tanaman. Pemberian agens antagonis juga dapat mengubah sistem akar
menjadi lebih besar, sehingga penyerapan nutrisi atau hara untuk tanaman
menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan produksi (Harman 2000).
T. harzianum yang diaplikasikan pada tanah di sekitar perakaran bibit karet
akan mampu mendekomposisi bahan organik yang ada di dalam tanah yang mana
salah satu fungsi Trichoderma sp. itu sendiri adalah sebagai dekomposer sehingga
dapat memudahkan penyerapan unsur hara bagi tanaman. Unsur hara yang
tersedia merupakan hasil dari dekomposisi oleh Trichoderma sp. yang
menghidrolisis bahan organik menjadi unsur hara. Menurut Pandriyani dan
Supriati (2010), Trichoderma sp. dapat menghasilkan enzim-enzim pengurai yang
dapat menguraikan bahan organik. Penguraian ini akan melepaskan hara yang
terikat dalam senyawa komplek menjadi tersedia terutama unsur N dan P.
Pemberian T. harzianum, baik secara tunggal maupun kombinasinya dengan
mikoriza pada perakaran bibit karet selain berfungsi sebagai pengendali penyakit
JAP, dapat juga berperan dalam memperbaiki vigor tanaman. Hal ini dapat
diketahui pada perlakuan yang diinfestasi T. harzianum yang memiliki tinggi
tanaman yang tertinggi yaitu mencapai 94 cm. Pulungan (2014) melaporkan
bahwa pemberian T. harzianum mampu memberikan kesuburan pada tanaman
serta dapat mengaktifkan zat stimulan pertumbuhan tanaman yang ada di dalam
tanaman, sehingga T. harzianum dapat berperan sebagai plant growth enhancer
(peningkat pertumbuhan tanaman). Hal ini juga didukung oleh penelitian
Suwahyono & Wahyudi (2004) yang menyatakan bahwa pemberian Trichoderma
sp. pada tanaman alpukat mampu meningkatkan jumlah akar dan lebar daun, serta
tumbuh pucuk daun yang baru setelah beberapa minggu terserang penyakit. Selain
itu, Sutanto (2002) menyatakan bahwa Trichoderma sp. merupakan mikroba tanah
yang mempunyai peranan kunci dalam kesuburan tanah. Pertama, Trichoderma
sp. berperan sebagai mesin yang mengatur hara secara simultan sehingga
membuat hara tersedia bagi tanaman dan menyimpan unsur hara yang belum
dimanfaatkan. Kedua, Trichoderma sp. berperan dalam pelaksanaan sintesis
terhadap sebagian besar bahan organik yang bersifat stabil seperti humus yang
berfungsi sebagai penyimpan hara dan berperan dalam memperbaiki struktur
tanah.
Infestasi mikoriza pada akar tanaman dapat meningkatkan ketahanan
tanaman dari serangan patogen akar. Mikoriza melakukan asosiasi pada akar
tanaman dengan membentuk struktur khusus yang dapat mencegah patogen
menginfeksi tanaman, hal ini dibuktikan dengan keparahan penyakit JAP pada
perlakuan yang diinokulasi R. lignosus dan infstasi mikroiza, baik secara tunggal
maupun kombinasinya dengan T. harzianum lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan R. lignosus tanpa agens hayati. Sistem perakaran karet dapat diperbaiki
dan ditingkatkan ketahanan terhadap penyakit JAP dengan adanya asosiasi
perakaran karet dan mikoriza. Akar yang terkolonisasi mikoriza dapat terlindungi
dari patogen tanaman (Morin et al. 1999).
Akar-akar tanaman yang telah terkolonisasi oleh mikoriza dapat melakukan
aktifitas fotosintesis dengan baik karena melalui hifa yang dibentuk secara intensif

14

mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara, sehingga tanaman
lebih sehat dan pada akhirnya mampu menghambat infeksi patogen melalui
mekanisme enzimatis yang dihasilkan oleh tanaman dan mikoriza. Proses
penghambatan masuknya patogen ke akar tanaman yaitu dengan memanipulasi
kondisi yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan patogen pada tanaman
yaitu dengan jalan menggunakan karbohidrat dan eksudat akar oleh mikoriza,
sehingga mikoriza dapat memanfaatkan karbohidrat dan eksudat-eksudat untuk
menghasilkan zat-zat tertentu yang dapat berfungsi untuk menekan atau
mematikan patogen sehingga patogen tidak mampu menginfeksi akar tanaman.
Pemberian mikoriza mampu meningkatkan ketersediaan hara mineral bagi
tanaman, baik berupa unsur makro maupun mikro, terutama meningkatkan
ketersediaan fosfor dan nitrogen bagi tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza
melalui akar eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein, glomalin, dan
asam-asam organik yang akan mengikat butir-butir tanah menjadi agregat mikro,
kemudian agregrat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap
tanaman (Yuliawati 2002).
Peranan mikoriza dalam meningkatkan ketahanan tanaman dapat
disebabkan oleh pengaruh ketahanan terimbas (induksi). Infeksi mikoriza dapat
meningkatkan konsentrasi kitinase dan kandungan asam amino terutama arginin,
yang merupakan hasil akumulasi pada akar tanaman. Menurut Scharff et al.
(1998), pada tanaman kedelai yang terinfeksi mikoriza terjadi peningkatan
konsentrasi fitoaleksin, sehingga pengaruh simbiosis mikoriza dengan tanaman
inang dapat meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap beberapa patogen.
Kolonisasi mikoriza menyebabkan perubahan induksi, seperti terjadinya stimulasi
biokimia, yaitu peningkatan fenil propanoid dalam jaringan inang. Selain itu,
meningkatnya ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen dan parasit akar
disebabkan oleh kemampuan mikoriza dalam memproduksi antibiotika guna
menghadang patogen tanah.
Pemberian mikoriza mampu meningkatkan tinggi tanaman baik pada bibit
karet yang diinokulasi R. lignosus maupun tidak diinokulasi R. lignosus. Rerata
tinggi tanaman pada perlakuan mikoriza yang diinokulasi R. lignosus lebih tinggi
bila dibandingkan dengan perlakuan yang diinokulasi R. lignosus namun tanpa
agens hayati, hal terebut menandakan bahwa bibit karet masih bisa melakukan
pertumbuhan meskipun terserang penyakit JAP. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Sufardi et al. (2013) yang menyatakan bahwa pemberian mikoriza
sebanyak 10 gram per tanaman dapat meningkatkan tinggi tanaman. Tanaman
yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa bermikoriza. Penyebab
utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara
baik unsur hara makro maupun mikro. Selain itu, akar yang bermikoriza dapat
menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman.
Manfaat mikoriza dalam ekosistem sangat penting, yaitu berperan dalam siklus
hara, memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan karbohidrat dari akar tanaman
ke organisme tanah yang lain (Brundrett 2004).
Manfaat utama simbiosis antara mikoriza dengan tanaman adalah
kemampuannya dalam meningkatkan serapan hara fosfor dan memperbaiki
pertumbuhan tanaman. Mikoriza dapat membantu memperbaiki nutrisi tanaman,
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Hifa eksternal pada mikoriza
dapat menyerap unsur fosfat dari dalam tanah, dan segera diubah menjadi

15

senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat kemudian dipindahkan ke dalam hifa dan
dipecah menjadi fosfat organik yang dapat diserap oleh sel tanaman. Efisiensi
pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza (Purba 2005).
A

B

C

D

Gambar 3 Bentuk asosiasi mikoriza pada akar sekunder karet: (A) jaringan akar
yang tidak berasosiasi dengan mikoriza (perbesaran 400x), (B) akar
yang berasosiasi dengan mikoriza, (C) miselium mikoriza yang
tersebar dalam korteks akar karet (perbesaran 400x), (D) struktur
vesikel mikoriza pada jaringan akar karet (perbesaran 400x)
Mikoriza yang diinfestasikan pada perakaran bibit karet sudah berasosiasi
dengan akar tanaman. Bentuk asosiasi mikoriza pada perakaran ditandai dengan
warna yang lebih gelap pada jaringan akar. Berdasarkan data pada tabel 1, tingkat
asosiasi mikoriza yang tertinggi terjadi pada perlakuan mikoriza tanpa inokulasi
R. lignosus yaitu sebesar 49.02%. Pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus,
tingkat asosiasi mikoriza lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa
R. lignosus. Hal ini diduga karena adanya kompetisi antara mikoriza dengan R.
lignosus, sehingga perkembangan dari mikoriza menjadi sangat terhambat. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Douds et al. (2010) yang menyatakan bahwa
adanya mikroba patogen baik bakteri ataupun cendawan yang terdapat dalam
tanah cukup signifikan dalam menghambat perkecambahan spora endomikoriza
karena mikroba tersebut banyak menginfeksi hifa dan spora mikoriza sehingga
menyebabkan kemampuan germinasi spora–spora tersebut terhambat.
Pada jaringan akar karet yang tidak diinfestasi mikoriza, tidak ditemukan
adanya asosiasi hifa internal maupun eksternal serta struktur lainnya dari mikoriza
pada jaringan akar bibit karet (Gambar 3A), sedangkan mikoriza yang

16

diinfestasikan sudah berasosiasi pada akar bibit karet. Hal ini dapat diketahui dari
adanya warna yang lebih gelap pada jaringan akar yang dilihat dibawah
mikroskop stereo (Gambar 3B). Pada pengamatan dibawah mikroskop compound
terlihat adanya spora mikoriza yang telah membentuk juluran hifa (Gambar 3C).
Hifa tersebut akan menginfeksi atau mengkolonisasi ke dalam akar dengan cara
menembus sel epidermis dan akan membentuk hifa yang tersebar secara inter
intraseluler dalam korteks akar tanaman. Selain itu, di dalam jaringan akar yang
terinfeksi mikoriza terdapat struktur khas yang dibentuk endomikoriza secara
interseluler yaitu vesikel (Gambar 3D). Vesikel merupakan hifa cendawan
endomikoriza yang mengalami penggembungan dan berbentuk bulat atau lonjong.
Vesikel terbentuk setelah pembentukkan arbuskular pada ujung hifa dan
didalamnya terdapat nutrisi cadangan bagi mikoriza saat penyuplaian metabolit
dari tanaman. Pada kondisi tertentu terutama

Dokumen yang terkait

Kemampuan Isolat Bakteri Kitinolitik dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus Microporus) Pada Tanaman Karet

2 110 60

Uji Efektifitas Trichoderma harzianum dengan Formulasi Granular Ragi untuk Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih {Rigidoporus microporus(Swartz:fr.)van Ov} pada Tanaman Karet di Pembibitan

3 50 87

Penggunaan Beberapa Jamur Antagonis Untuk Mengendalikan Penyakit Hawar Daun(Phytophthora Infestans (mont.) De Bary) Pada Tanaman Kentang (Solanum Tuberosum L) Di Lapangan

1 40 102

Uji Efektifitas Chitosan Untuk Mengendalikan Penyakit Jamur Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus (Swart: Fr) van Ov.) Pada Tanaman Karet ( Hevea brasiliensis Muell.Arg.) di Laboratorium

3 43 54

Uji Efektivitas Trichodermin dan Fungisida Triadimefon dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur Akar Putih Rigidoporus lignosus

4 66 76

Mikrob Rizosfer Dan Endofit Jaringan Akar Tanaman Karet Sebagai Agens Hayati Penyakit Akar Putih (Rigidoporus Lignosus (Klotzsch) Imazeki)

3 46 53

Eksplorasi dan Identifikasi Cendawan Antagonis terhadap Rigidoporus lignosus Penyebab Jamur Akar Putih pada Karet

0 5 85

Eksplorasi Bakteri Lisis sebagai Agens Pengendalian Hayati Penyakit Akar Putih (Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) pada Tanaman Karet.

0 4 59

Uji Efektivitas Trichodermin dan Fungisida Triadimefon dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur Akar Putih Rigidoporus lignosus

0 0 4

Uji Efektivitas Trichodermin dan Fungisida Triadimefon dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur Akar Putih Rigidoporus lignosus

0 0 10