Desain Jejaring Pocket Park Sebagai Ruang Resapan Air Hujan di Kota Bogor

DESAIN JEJARING POCKET PARK SEBAGAI RUANG
RESAPAN AIR HUJAN DI KOTA BOGOR

ZUHAD SYAFRIL HUDA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Desain Jejaring Pocket
Park Sebagai Ruang Resapan Air Hujan di Kota Bogor adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Zuhad Syafril Huda
NIM A44090030

ABSTRAK
ZUHAD SYAFRIL HUDA. Desain Jejaring Pocket Park sebagai Ruang Resapan
Air Hujan di Kota Bogor. Dibimbing oleh INDUNG SITTI FATIMAH.
Kota Bogor sebagai kota satelit yang memiliki potensi curah hujan
mencapai 3 000 – 4 000 mm/tahun dapat mengembangkan jejaring pocket park
melalui metode transek untuk meningkatkan ketersediaan ruang interaksi
masyarakat dan resapan air hujan. Terdapat 331 titik potensial hasil
pengembangan jejaring tipe radial dan mampu menambah kebutuhan luas RTH di
Kota Bogor sebesar 1.41 – 5.65% (merujuk pada standar luas pocket park menurut
Visalia City Council sebesar 1 012 – 4 046 m2). Hasil jejaring diklasifikasikan
berdasarkan fungsi kawasan sekitarnya untuk menciptakan taman yang adaptif.
Proses desain berfokus pada penyediaan ruang interaksi sosial pasif dengan
aplikasi prinsip rain garden sebagai penyedia ruang tangkapan air hujan. Hasil
desain pada 4 sampel berbeda tipe (komersial, industri, permukiman, dan
bangunan pemerintahan) mampu menyediakan tampungan air hujan dengan

kapasitas 342.2 – 706.6 m3. Aplikasinya pada 331 titik mampu menyediakan
tampungan air hujan dan limpasan di Kota Bogor sebesar 113 268.2 – 233 818.4
m3 .
Kata kunci: jejaring hijau, pocket park, tangkapan air

ABSTRACT
ZUHAD SYAFRIL HUDA. Design of Pocket Park Network as Rain Infiltration
Area in Bogor. Supervised by INDUNG SITTI FATIMAH.
Bogor as satelite city which has potential rain fall rates up to 3 000 – 4 000
mm/year may develop pocket park network through transect method to increase
availability of society interaction space and rain infiltration area. Contained 331
potential spots as result of radial type network and able to increase green open
space needed in Bogor up to 1.41 – 5.65% (based on Visalia City Council pocket
park development standard size 1 012 – 4 046 m2). Pocket park network result
shall be classtificated by nearest regional function to afford adaptable park.
Designing proceed focused to provide pasif interactional space with aplicate of
rain garden principle as rain infiltration area. Result of 4 different sample types
(commercial, industrial, residential, and gevermential building) able to provide
rain water reservoir with capability rates up to 342.2 – 706.4 m3. The practice
toward 331 spots may provide rain water and run off reservoir in Bogor up to 113

268.2 – 233 818.4 m3.
Key words: green network, pocket park, water catchment

DESAIN JEJARING POCKET PARK SEBAGAI RUANG
RESAPAN AIR HUJAN DI KOTA BOGOR

ZUHAD SYAFRIL HUDA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Desain Jejaring Pocket Park Sebagai Ruang Resapan Air Hujan

di Kota Bogor
Nama
: Zuhad Syafril Huda
NIM
: A44090030

Disetujui oleh

Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala rahmat dan pertolongan-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penelitian yang berjudul “Desain Jejaring Pocket Park Sebagai Ruang Resapan
Air Hujan di Kota Bogor” merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada:
1. Ayah, Ibu dan keluarga yang penulis banggakan atas dukungan moril, nasihat,
doa, kasih sayang dan pengorbanannya yang tidak terhingga;
2. Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis selama penyusunan
skripsi ini, Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan arahan selama masa perkuliahan;
3. teman-teman ARL 46, Nindy Aslinda, Yovita Sari atas pengalaman berharga
selama mengikuti perkuliahan serta Nuriska Noviawanti dan Hendriyadi yang
telah membantu penulis dalam melaksanakan tahap survei;
4. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas doa dan dukungan
kepada penulis baik selama studi dan pengerjaan penelitian.
Dalam menjalani kehidupan dibutuhkan tekad, semangat dan pengorbanan
untuk mencapai impian. Berbagai kesulitan yang silih berganti akan dapat diatasi
selama tidak putus asa dan berserah diri kepada-Nya. Pada masanya, semua jerih
payah akan berbuah pengalaman manis dan kebijaksanaan. Semoga hasil

penelitian ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Juni 2014
Zuhad Syafril Huda

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Kerangka Pikir

2

TINJAUAN PUSTAKA


3

Lanskap Kota

3

Ruang Terbuka Hijau Perkotaan

4

Pocket Park

5

Desain Tangkapan Air

6

Perancangan Lanskap


9

METODOLOGI

10

Lokasi dan Waktu Penelitian

10

Alat dan Bahan

11

Metode

11

Batasan Penelitian


16

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

16

Letak Geografis dan Administratif

16

Topografi dan Kemiringan Lereng

16

Klimatologi

16

Geologi dan Hidrologi


17

Kawasan Resapan Air di Kota Bogor

18

Pola Penggunaan Lahan di Kota Bogor

19

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bogor

20

Rencana Pengembangan Kota Bogor

21

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Pola Ruang Kota Bogor Terhadap Ekologi Kota

23
23

Arahan Titik Potensial Jejaring Pocket Park

25

Analisis Ruang Potensial Untuk Pocket Park

28

Analisis Tapak Pocket Park

37

Analisis Sirkulasi

37

Analisis Ruang

38

Analisis Vegetasi

39

Analisis Aliran Permukaan

40

Konsep Pocket Park

46

Konsep Dasar

46

Konsep Desain

47

Konsep Pengembangan

48

Konsep Ruang

48

Konsep Sirkulasi

49

Konsep Hidrologi

50

Desain Pocket Park

53

Desain Sampel A

53

Desain Sampel B

54

Desain Sampel C

55

Desain Sampel D

57

Proyeksi Nilai Ruang Resapan pada Jejaring

67

SIMPULAN DAN SARAN

67

Simpulan

67

Saran

68

DAFTAR PUSTAKA

68

LAMPIRAN

69

RIWAYAT HIDUP

74

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Peralatan dan bahan penelitian
Kategori kawasan terbangun
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian
Nilai KDB dan KDH di Kota Bogor
Proporsi luas kawasan terbangun di Kota Bogor

11
13
15
22
23

6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Proporsi luas kawasan non terbangun di Kota Bogor
Luas kebutuhan RTH berdasarkan proporsi KDH pada kawasan
terbangun
Klasifikasi titik pocket park
Lokasi titik sampel pocket park
Perbandingan kebutuhan RTH dan eksistingnya
Daftar vegetasi eksisting
Klasifikasi koefisien run-off berdasarkan land use
Perhitungan kapasitas tampung air sampel A
Perhitungan kapasitas tampung air sampel B
Perhitungan kapasitas tampung air sampel C
Perhitungan kapasitas tampung air sampel D

23
25
26
29
31
40
41
54
55
57
58

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29

Kerangka pikir penelitian
Pocket park sebagai jejaring
Tipe jejaring pocket park
Bioretention
Porous paved
Aplikasi (a) rain butt dan rain barrel, (b) saluran drainase dan
bioretention
Aplikasi rain garden pada lanskap rumah
Aplikasi rain garden pada lanskap kota
Contoh pola (a) geometrik dan (b) organik
Peta orientasi Kota Bogor
Tahapan penelitian
Metode pada tahap identifikasi ruang potensial
Metode pada tahap klasifikasi ruang potensial
Aplikasi metode grid pada titik sampel
Metode pada tahap perancangan
Peta administasi Kota Bogor
Persentasi luas kemiringan lereng di Kota Bogor
Luas kawasan resapan air di Kota Bogor
Perbandingan pola penggunaan lahan di Kota Bogor pada tahun
2007 dan 2012
Pengaruh fungsi penutupan lahan terhadap siklus hidrologi
Peta rencana jejaring pocket park
Peta hasil klasifikasi jejaring pocket park
Perbandingan grid RTRW terhadap grid eksisting pada petak sampel
(a) tipe A, (b) tipe B, (c) tipe C, dan (d) tipe D
Peta kondisi umum sampel A
Peta kondisi umum sampel B
Peta kondisi umum sampel C
Peta kondisi umum sampel D
Kebutuhan lebar minimum jalur pejalan kaki
Perbandingan barier vegetasi dan pagar pada jalur pejalan kaki

2
6
6
7
8
8
9
9
10
11
12
13
14
14
17
18
19
20
24
27
28
30
33
34
35
36
37
38

30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61

Dinding sebagai background untuk fokus visual
Intersection sight triangle
Peta analisis tapak sampel A
Peta analisis tapak sampel B
Peta analisis tapak sampel C
Peta analisis tapak sampel D
Oasis
Badan air sebagai daya tarik visual
Variasi material grate (a) logam, (b) fiberglass, dan (c) concrete
Konsep desain
Hubungan antar ruang
Konsep sirkulasi
Konsep hidrologi
Fasilitas hidrologi (a) landscape swales, (b) saluran drainase
(c) grated retention well
Peta rencana blok
Amphitheatre dan water feature pada desain sampel A
Area duduk pada desain sampel A
Shelter pada desain sampel B
Area duduk dengan water cascade pada desain sampel B
Playground pada desain sampel C
Shelter pada desin sampel C
Landscape swales pada desain sampel D
Shelter pada desain sampel D
Shelter dan amphitheatre pada desain sampel D
Rencana tapak sampel A
Potongan tampak A
Rencana tapak sampel B
Potongan tampak sampel B
Rencana tapak sampel C
Potongan tampak sampel C
Rencana tapak sampel D
Potongan tampak sampel D

38
39
42
43
44
45
46
47
48
48
49
50
51
51
52
53
54
55
55
56
56
57
58
58
59
60
61
62
63
64
65
66

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Peta RTRW Kota Bogor tahun 2011 – 2031
Detil konstruksi landscape swales a
Detil konstruksi sumur resapan
Detil konstruksi bangku taman
Detil konstruksi site furniture dan drainase

70
71
72
73
74

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Bogor merupakan salah satu kota strategis yang berada ± 56 km dari
Kota Jakarta. Statusnya sebagai kota satelit membuat Kota Bogor mengalami
perkembangan yang pesat, terlebih pada aspek demografi. Pada periode 2000 –
2010, tercatat bahwa jumlah penduduk di Kota Bogor mencapai 949 066 jiwa
dengan laju pertumbuhan sebesar 2.39% (Badan Pusat Statistik 2010). Seiring
dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk tersebut, tuntutan terhadap
kebutuhan area terbangun semakin mengalami peningkatan. Dampaknya adalah
terjadinya pergeseran fungsi tata guna lahan yang umumnya cenderung
mengorbankan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bogor. Pada
periode 1972 – 2011, Kota Bogor telah mengalami peningkatan luas area
terbangun hingga 30% dan mengakibatkan penurunan luas RTH pohon
berdiameter > 4m sebesar 17% dari 31% (1997) menjadi 14% (2011) (Fatimah
2011). Padahal, berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pada
Wilayah Perkotaan, standar minimum proporsi RTH pada suatu kota adalah 30%
yang diaplikasikan dalam wujud 20% RTH publik dan 10% RTH privat.
Penurunan jumlah RTH hingga di bawah standar 30% tersebut tentunya
memberikan dampak yang buruk, terlebih pada keseimbangan ekologi kota.
RTH merupakan bagian kawasan/ruang perkotaan yang ditumbuhi tanaman,
baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan, guna peningkatan
kualitas dan kapasitas lingkungan perkotaan. Sebagai kota dengan intensitas curah
hujan mencapai 3 000 – 4 000 mm/tahun yang direncanakan menjadi kota dalam
taman dengan isu pembangunan kota berkonsep greencity, Kota Bogor
memerlukan ketersediaan RTH dalam berbagai variasi bentuk dan fungsi dalam
jumlah yang cukup serta tersebar merata diseluruh Kota Bogor. Berdasarkan
Inmendagri No. 14 tahun 1988, RTH yang dibangun di perkotaan memiliki
berbagai fungsi dasar, yaitu: 1) fungsi bio-ekologis (fisik), 2) fungsi sosial,
ekonomi, dan budaya, 3) ekosistem perkotaan, dan 4) fungsi estetis. Hal tersebut
membuat keberadaan RTH memiliki peran tidak hanya menyediakan ruang
resapan air guna mengoptimalkan potensi curah hujan di Kota Bogor dan menjaga
keseimbangan sistem hidroorologisnya, tetapi juga sebagai fasilitas ruang
interaksi publik dan bagian dari estetika kota.
Aplikasi RTH dalam wujud taman pada perkotaan sangat beragam, salah
satunya adalah pocket park. Pocket park merupakan suatu bentuk ruang terbuka
berskala kecil di kawasan perkotaan (Blake 2009) yang menjadi tempat bagi
masyarakat untuk bersantai, bermain (Fujimoto 1991), berkumpul, bertukar
informasi dan menyelenggarakan pertunjukan (Iwashita 1991). Pocket park
umumnya didesain dengan memanfaatkan ruang terbatas di tengah-tengah
kawasan terbangun untuk menciptakan kenyamanan di sekitarnya. Kemampuan
pocket park tersebut dinilai sangat aplikatif untuk diterapkan pada kota yang telah
mengalami pembangunan fisik yang intensif. Oleh karena itu, diperlukan
pengembangan jejaring pocket park beserta desainnya sebagai ruang interaksi
masyarakat yang mengakomodasi peran sebagai ruang resapan air, guna
memaksimalkan potensi hujan di Kota Bogor.

2

Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Identifikasi ruang potensial pada area publik untuk pengembangan jejaring
pocket park di Kota Bogor;
2. Mendesain beberapa sampel tapak pocket park di Kota Bogor sebagai ruang
resapan air hujan; dan
3. Menghitung nilai manfaat dari produk desain yang terbentuk terhadap ekologi
lingkungan.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan rujukan bagi Pemerintah Kota Bogor beserta pihak-pihak yang
terkait dalam mengembangkan jejaring RTH taman di Kota Bogor;
2. Menjadi bahan rekomendasi desain pocket park yang sesuai dengan local
micro-climate di Kota Bogor.
Kerangka Pikir
Kota Bogor sebagai kota hujan membutuhkan ketersediaan RTH yang
cukup untuk meminimalisasi dampak pembangunan akibat pertambahan
penduduk. Pengembangan RTH dalam bentuk pocket park pada kawasan
terbangun tidak hanya dapat meningkatkan daya dukung lingkungan sekitar
kawasan tersebut, tetapi juga mampu menyediakan ruang rekreasi bagi
masyarakat dan menambah ketersediaan area tangkapan dan resapan air hujan.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Kota
Bumi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan unit yang tersusun dari
berbagai macam tipe dan karakter lanskap. Pengertian lanskap sendiri menurut
Simond dan Starke (2006) adalah wajah, karakter lahan atau karakter tapak yang
merupakan bagian dari muka bumi dengan segala jenis sifatnya beserta kehidupan
di dalamnya, baik yang bersifat alami maupun buatan, manusia beserta makhluk
hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indra dapat menangkap, dan
sejauh imajinasi dapat membayangkan. Lanskap juga dapat diartikan sebagai
suatu keseluruhan elemen fisik secara kompleks di suatu area atau daerah (Eckbo
1964) dan merupakan hasil interaksi manusia dengan alam, baik secara makhluk
individu maupun sosial, sebagai satu kesatuan proses (Sari 2010).
Kota merupakan salah satu wujud dari suatu lanskap. Kota menurut
Foresman et al (1997) dalam Fatimah (2011) merupakan suatu ekosistem yang
terbentuk oleh beragam jenis penutupan lahan, vegetasi, dan berbagai tipe
penggunaan lahan dari suatu bentangan lanskap yang sangat kompleks. Kota juga
merupakan tempat terkonsetrasinya penduduk dan aktivitas ekonomi yang pada
dasarnya berupa suatu sistem dinamis dan sewaktu-waktu tidak dapat diatur serta
susah dikontrol (Irwan 1994).
Dalam PP No. 34 tahun 2009 dijelaskan bahwa suatu kota berfungsi untuk
menyediakan tempat bagi permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan hal tersebutlah, lanskap perkotaan umumnya dicirikan dengan
tingginya kepadatan ruang terbangun, dengan tingkat kerapatan yang semakin
padat ke arah pusat kota (Eckbo 1964).
Tingginya tingkat kepadatan ruang terbangun terjadi karena tuntutan
manusia terhadap sarana dan prasarana penunjang aktivitas mereka yang
umumnya bergerak dibidang bukan pertanian. Menurut Putri (2006), proses
tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana bagi manusia
dan dapat dipandang sebagai konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan
transformasi struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.
Dengan kata lain, perkembangan pembangunan suatu kota merupakan dampak
dari proses urbanisasi masyarakat di dalam kota itu sendiri.
Melihat tekanan laju urbanisasi yang semakin meningkat tersebut, suatu
kota perlu tetap memperhatikan daya dukung lingkungannya (Dahlan 2004). Hal
ini bertujuan agar tercipta lanskap kota yang ideal dan tetap lestari untuk waktu
yang lama. Lanskap kota yang ideal menurut Simond dan Starke (2006) adalah
kota-kota yang diwujudkan sebagai suatu seni umum tiga dimensi, serta dalam
kerangka pola-pola dan bentuk ruang-ruang terbuka yang penuh arti. Dalam arti
lain, lanskap kota yang ideal merupakan kolaborasi antara ruang-ruang terbangun
penunjang aktivitas manusia dengan ruang-ruang terbuka rekreasional yang
terjalin melalui suatu perencanaan matang dan penuh kebijaksanaan.

4

Ruang Terbuka Hijau Perkotaan
Menurut Budiharjo (1999) dalam Soetrisno (2010), ruang terbuka (open
space) adalah bagian dari ruang yang memiliki definisi sebagai wadah yang dapat
menampung aktivitas tertentu dari masyarakat di suatu lingkungan yang tidak
tertutup dalam bentuk fisik, dan berlokasi strategis pada kawasan berintensitas
tinggi (Nazarudin 1994 dalam Haryanti 2008). Keberadaan ruang terbuka di
perkotaan umumnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu: Ruang Terbuka Non Hijau
(RTNH) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ruang Terbuka Hijau (RTH)
digambarkan sebagai ruang yang identik dengan pengisian berbagai macam jenis
dan strata vegetasi dengan fokus utama untuk mempertahankan kestabilan
kondisi ekologis perkotaan. Menurut Nurisjah (1996) dalam Fatimah (2011), RTH
suatu kota adalah bagian kawasan/ruang perkotaan yang ditumbuhi tanaman, baik
yang tumbuh alami maupun yang dibudidayakan, guna meningkatkan kualitas dan
kapasitas lingkungan perkotaan. Wujud aplikasi RTH secara umum dapat berupa
lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.
Adapun alasan dibangunnya RTH di suatu kota adalah untuk memenuhi
berbagai fungsi dasar yang menurut Dirjen Penataan Ruang (2006) dibedakan
menjadi:
1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang merupakan pengadaan RTH menjadi bagian
dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, agar sistem
sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung dengan lancar, sebagai
peneduh, produsen oksigen, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan
tanah, serta penahan angin;
2. Fungsi sosial-ekonomi (produktif), dan budaya yang mampu menggambarkan
ekspresi budaya lokal, menjadi media komunikasi warga kota, tempat rekreasi,
pendidikan, dan penelitian;
3. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik
dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan permukiman) hingga skala
makro (lanskap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas dan
produktivitas warga kota. juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif
seperti:bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus
menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan psikis. Selain itu, dapat
tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan gedung,
infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota
pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta
api, serta jalur biru bantaran kali;
4. Ekosistem perkotaan : produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan
berdaun indah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan
lain-lain.
Dalam mengaplikasikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada suatu kota,
terdapat beberapa perhitungan sesuai pernyataan Dirjen Penataan Ruang tahun
2006, yaitu:
1. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Berdasarkan Luas Wilayah
Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang
terdiri dari 20% RTH Publik dan 10% berupa RTH Privat (UU No. 6 tahun
2007). Proporsi 30% tersebut merupakan standar minimal untuk menjaga

5

keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan hidrologi dan keseimbangan
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat
meningkatkan nilai estetika kota.
2. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Penentuan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk dilakukan dengan cara
mengalikan jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per
kapita sesuai peraturan yang berlaku. Departemen Pekerjaan Umum,
menetapkan standar 3 – 6 m2/kapita atau 100 orang/hektar, sedangkan
kebutuhan RTH untuk kota sebesar 2 – 3 m2/kapita.
3. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu
Pada kategori ini, RTH berfungsi sebagai perlindungan atau pengamanan
sarana dan prasarana, seperti perlindungan kelestarian sumber daya alam,
pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar
fungsi utamanya tidak terganggu. RTH dalam kategori ini umumnya berupa:
jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi,
RTH perlindungan sempadan sungai, pantai, dan RTH pengaman sumber daya
air baku.
Selain itu, perhitungan luas RTH suatu kota juga dapat dilakukan dengan
pendekatan lain berdasarkan koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisein dasar
hijau (KDH). Nilai KDB = 60 dan KDH = 40 berarti maksimal luas lahan yang
dibangun sebesar 60%, sedangkan sisanya (40%) berupa tutupan vegetasi.
Besarnya nilai proporsi KDB dan KDH tersebut diserahkan kepada kebijakan
pemerintah setempat.
Pocket Park
Pocket park merupakan suatu bentuk ruang terbuka berskala kecil di
kawasan perkotaan (Blake 2009) yang menjadi tempat bagi masyarakat untuk
bersantai, bermain (Fujimoto 1991), berkumpul, bertukar informasi dan
menyelenggarakan pertunjukan (Iwashita 1991). Pocket park sebagai ruang publik
dapat memberikan beberapa manfaat, seperti 1) kesejahteraan masyarakat, 2)
peningkatan visual, 3) peningkatan kualitas lingkungan, 4) pengembangan
ekonomi, dan 5) peningkatan kesan (Carr et al 1992 dalam Haryanti 2008).
Secara spesifik kriteria pocket park berdasarkan Visalia City Council (2005)
adalah:
Memiliki luas 1 012 – 4 046 m2;
Menghadap lebih dari 1 badan jalan yang secara visual mudah ditemukan;
Berada di depan atau samping dari pusat kawasan permukiman/campuran;
Aksesibilitas 5 – 10 menit oleh pejalan kaki;
Menempati area strategis yang unik seperti area yang menyertakan jalur jalan
atau kereta api yang tidak berfungsi atau pemotongan jalur jalan; dan
 Radius pelayanan ¼ mil







Iwashita (1991) menjelaskan bahwa pengembangan pocket park dapat
membentuk suatu jejaring yang dihubungkan melalui jalur hijau, air, maupun jalur
pejalan kaki dan dapat memberikan manfaat signifikan dalam hal peningkatan

6

kualitas visual dan ekologi kota (Gambar 2). Iwashita (1991) mengkategorikan
pola jejaring pocket park yang umum ditemukan diperkotaan (Gambar 3), yaitu:
1. Tipe grid (mesh type), sering ditemukan pada kota-kota tua seperti Kyoto,
pusat Kota New York, dan kota-kota lain yang dirancang demikian. Pocket
park tipe ini umumnya berada pada kaki gedung-gedung pencakar langit
dengan pond, fountain, sclupture, dan vegetasi yang ditata pada ruang yang
terbatas;
2. Tipe linear (necklance type), merupakan sekumpulan pocket park yang
dihubungkan pada satu garis. Tipe ini merupakan yang paling umum temukan
dan memungkinkan masyarakat membaur dengan lingkungan alami, seperti
pengembangan pocket park sepanjang bantaran sungai. Selain itu, tipe ini juga
mempermudah pergerakan antar pocket park; dan
3. Tipe radial, merupakan tipe yang sering dijumpai pada kota-kota di Italia.
Ruang pocket park yang terbentuk menyebar sepanjang jalan berpola radial
memanjang dari plaza besar yang berada di pusat kota. Ruang yang terbentuk
pada tipe ini kadang berukuran kecil dan besar sehingga membentuk irama
kuat-lemah.

Gambar 2 Pocket park sebagai jejaring
(sumber: Iwashita 1991)

Gambar 3 Tipe jejaring pocket park
(sumber: Iwashita 1991)

7

Desain Tangkapan Air
Dampak urbanisasi yang didominansi oleh penutupan tanah oleh lapisan
kedap air membuat keberadaan ruang resapan air semakin berkurang. Salah satu
upaya mengurangi dampak tersebut, Dunnett dan Clayden (2007) mengungkapkan
perlunya pendekatan pembangunan yang mampu mengembalikan siklus alami air
dan melestarikan keberadaan air pada lanskap dan hal tersebut merupakan bentuk
kerjasama dengan alam dari pada melawannya. Bentuk pendekatan tersebut
dikenal dengan istilah rain garden. Terdapat 2 prinsip utama dalam pendekatan
rain garden, yaitu capturing water run off (penangkapan air limpasan) dan
disconecting downpipes (pemutusan aliran air ke saluran pembuangan). Konsep
utama pendekatan rain garden adalah meningkatkan peluang tangkapan air hujan
untuk diresapkan ke dalam tanah atau di simpan untuk dipergunakan kembali,
sehingga meminimalisasi debit aliran permukaan yang terbuang pada saluran
drainase.
Aplikasi prinsip capturing water run off pada taman adalah dengan
penggunaan bioretention dan porous paved. Coffman dan Winogradoff (2002)
dalam Dunnett dan Clayden (2009) menjelaskan bahwa aplikasi bioretention
mampu menyediakan kesempatan sebagai resapan run off, filtrasi, penyimpanan
dan serapan bagi tanaman (Gambar 4). Sedangkan, porous paved berperan dalam
meningkatkan permeabilitas air untuk meresap ke dalam tanah (Gambar 5).

Gambar 4 Bioretention
(sumber: Dunnett dan Clayden 2007)
Prinsip disconecting downpipes umumnya berperan sebagai pemutus
pembuangan air limpasan dari atap bangunan menuju saluran drainase. Pemutusan
ini bertujuan untuk mengurangi beban saluran drainase dalam hal menampung air
limpasan. Pemutusan tersebut dapat dilakukan dengan pembuatan saluran drainse
dan water butt yang menyalurkan pembuangan air limpasan dari atap bangunan
menuju bioretention dan rain barrel (Gambar 6).

8

Gambar 5 Porous paved
(sumber: Dunnet dan Clayden 2007)

(a)

(b)

Gambar 6 Aplikasi (a) rain butt dan rain barrel, (b) saluran drainase dan
bioretention
(sumber: Dunnet dan Clayden 2007)
Penerapan pendekatan rain garden dapat diaplikasikan baik pada lanskap
skala taman rumah maupun kota (Gambar 7 dan Gambar 8). Manfaatnya adalah
menyediakan ruang resapan air tambahan yang berperan dalam menjaga
ketersediaan air tanah, menyediakan habitat bagi satwa dan meningkatkan kualitas
air dan udara, dan kontrol banjir (Dunnet dan Clayden 2007).

9

Gambar 7 Aplikasi rain garden pada lanskap rumah
(sumber: Dunnet dan Clayden 2007)

Gambar 8 Aplikasi rain garden pada lanskap kota
(sumber: Dunnet dan Clayden 2007)
Perancangan Lanskap
Perancangan lanskap adalah proses penciptaan produk dalam bidang
Arsitektur Lanskap dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari perencanaan
lanskap. Produk tersebut umumnya berupa gambar-gambar kerja yang
menginformasikan wujud suatu rencana lanskap. Simond dan Starke (2006)
menjelaskan bahwa perancangan lanskap merupakan sebuah proses kreatif yang
mengintegrasikan aspek teknologi, sosial, ekonomi, dan biologi serta efek
psikologis dan fisik yang ditimbulkan dari bentuk, bahan, warna, dan ruang hasil
dari pemikiran yang saling berhubungan.
Kegiatan perencanaan dan perancangan meliputi serangkaian proses yang
bertahap. Simond dan Starke (2006) mengemukakan beberapa tahapan dalam
perencanaan dan perancangan, yaitu 1) Commisioning, 2) Inventory, 3) AnalysisSynthesis, 4) Concept-Planning, 5) Design, dan 6) Construction. Commisioning
merupakan tahap ketika klien menyatakan keinginan/kebutuhannya serta
membuat definisi pelayanan dalam suatu perjanjian kerja. Inventory merupakan
tahap pengumpulan data-data fisik maupun sosial yang terkait pada tapak.
Analysis-Synthesis merupakan tahap perumusan masalah pada tapak dan
pengembangan alternatif-alternatif solusi untuk penanganinya. Concept-Planning
merupakan tahap menghubungkan semua alternatif-alternatif yang dihasilkan dan
merangkumnya dalam suatu kesatuan fungsi yang akan diaplikasikan pada tapak.
Design merupakan tahap proyeksi ide kreatif ke dalam pemilihan komposisi

10

elemen-elemen lanskap yang akan dihadirkan pada tapak. Construction adalah
tahap pengerjaan dan pelaksanaan pembangunan suatu lanskap. Kegunaan dari
proses perancangan menurut Booth (1983), yaitu:
 Menyajikan suatu cara kerja yang teratur dalam menciptakan suatu rancangan
sebagai penyelesaian masalah;
 Membantu memastikan bahwa cara penyelesaian/pemecahan masalah yang
terus berubah terhadap waktu dapat disesuaikan dengan keadaan rancangan
(tapak, kebutuhan pengguna, biaya, dan sebagaianya);
 Membantu menentukan penggunaan lahan terbaik yang dapat dilihat dari
alternatif-alternatif solusi pada tahap sebelumnya;
 Menjadi dasar bagi perancang dalam menjelaskan dan mempertahankan
pendapatnya kepada pengguna tentang penyelesaian akhir terbaik.
Perancangan umumnya memiliki beberapa elemen yang terdiri atas titik,
garis, bentuk, warna, tekstur, aroma, motif, gaya, ragam, suara, ruang, dan waktu
(Sulistyantara 2006). Pengaplikasian dan pengorganisasian elemen-elemen
tersebut pada lanskap akan memberikan ekspresi yang berbeda-beda dan dapat
mempengaruhi psikologis manusia. Simond dan Starke (2006) juga menjelaskan
bahwa dalam penerapan semua elemen tersebut harus menjadi kesatuan yang
harmonis untuk menciptakan karakter lanskap yang menarik. Reid (1993)
menjelaskan bahwa umumnya terdapat 2 bentuk dasar yang dikenal dalam
pengembangan suatu rancangan, yaitu bentuk-bentuk geometrik dan bentukbentuk naturalistik. Menurut Booth (1983), bentuk geometrik akan memberikan
kesan kaku dan formal (Gambar 9a), sedangkan bentuk naturalistik/organik akan
menciptakan kesan lembut dan informal (Gambar 9b). Rancangan yang baik
adalah hasil akhir yang mampu memenuhi kebutuhan penggunanya,
meningkatkan kualitas visual dan ekologi lingkungan, dan mampu
bertahan/terawat untuk waktu yang tidak diperhitungkan.

(a)

(b)

Gambar 9 Contoh pola (a) geometrik dan (b) organik
(sumber: google.com)

11

METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor dengan luas 11 850 ha. Kota Bogor
terbagi menjadi 6 kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Bogor Tengah,
Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Barat,
Kecamatan Bogor Selatan, dan Kecamatan Tanah Sareal (Gambar 10). Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 hingga Desember 2013 dan penyusunan
skripsi hingga bulan Februari 2014.

(sumber: google.com)

tanpa
skala

(sumber: google.com)

Gambar 10 Orientasi Kota Bogor
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi peralatan
lapang dan studio, serta beberapa software, peta dan dokumen (Tabel 1).
Tabel 1 Peralatan dan bahan penelitian
Jenis peralatan

Alat

Peralatan lapang

Kamera
Alat tulis & gambar
Meteran

Peralatan studio

Perangkat PC & laptop
Google Earth Pro
AutoCAD 2007

Software

Adobe Photoshop Cs 4
Google Sketchup 8
Microsoft Office

Kegunaan
dokumentasi lokasi
ilustrasi & pencatatan
pengukuran tapak
pengolahan data &
pengerjaan desain
analisis ruang potensial
pengerjaan desain
ilustrasi & pengerjaan
desain
pengerjaan desain
pengerjaan laporan

Metode
Prosedur pelaksanaan penelitian ini terdiri dari empat tahap yang meliputi:
1) tahap persiapan, 2) tahap identifikasi ruang, 3) tahap klasifikasi ruang, dan 4)
tahap perancangan (Gambar 11).

12

Gambar 11 Tahapan penelitian
Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap pra penelitian. Pada tahap ini dilakukan
pengumpulan informasi awal secara deskriptif terkait ketersediaan RTH di Kota
Bogor. Pengkajian berbagai literatur terkait pocket park dan aplikasinya pada
kawasan terbangun perkotaan juga dilakukan untuk memperkuat perumusan
masalah pada usulan penelitian. Selain itu, pada tahapan ini juga dilakukan
kunjungan ke berbagai stake holder terkait untuk menyampaikan maksud
penelitian dan perijinan.
Tahap Identifikasi Ruang Potensial
Pada tahap ini terlebih dahulu dilakukan digitasi peta RTRW Kota Bogor
tahun 2011 – 2031 untuk mengetahui pola ruang kota pada tahun 2031 dan
menganalisisnya secara deskriptif terkait keseimbangan ekologi kota (khususnya
hidroorologi). Identifikasi ruang potensial untuk pengembangan jejaring pocket
park dilakukan melalui metode intersek terhadap peta RTRW. Melalui metode
tersebut, pengembangan jejaring pocket park difokuskan pada penyebaran
sepanjang jaringan jalan di Kota Bogor dengan jarak sebar antar taman ± 500 m.
Lebih spesifik prosedur pada tahap ini dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Metode pada tahap idetifikasi ruang potensial
Fokusnya penyebaran jejaring pocket park pada jaringan jalan dan jarak
sebarnya ± 500 m mengacu pada kriteria standar dalam pengembangan pocket
park yang dikemukakan oleh Visalia City Council (2005), diantaranya:
Memiliki luas 1 012 – 4 046 m2;
Menghadap lebih dari 1 badan jalan yang secara visual mudah ditemukan;
Berada di depan atau samping dari pusat kawasan permukiman/campuran;
Aksesibilitas 5 – 10 menit oleh pejalan kaki;
Menempati area strategis yang unik seperti area yang menyertakan jalur jalan
atau kereta api yang tidak berfungsi atau pemotongan jalur jalan; dan
 Radius pelayanan ¼ mil.






13

Tahap Klasifikasi Ruang
Setelah didapatkan peta jejaring pocket park yang berisikan ruang-ruang
potensial pengembangan pocket park, kemudian dilakukan proses
klasifikasi/pengelompokkan ruang-ruang potensial tersebut menjadi beberapa tipe
berdasarkan jenis kawasan terbangun disekitarnya. Pembagian jenis kawasan
terbangun tersebut mengacu pada pengelompokkan kawasan terbangun menurut
Perda No.8 tahun 2011 (Tabel 2).
Tabel 2 Kategori kawasan terbangun
Fungsi kawasan terbangun
Permukiman
Pemerintahan
Perdagangan
Industri

Bentuk kawasan
Perumahan, Real Estate, dll
Balai Kota, Kantor Dinas Pemerintahan
Ruko, Mall, Pasar, dll
Pabrik

Proses pengelompokkan ruang potensial dilakukan dengan cara melihat
dominansi fungsi kawasan terbangun pada grid 500 × 500 m pada peta RTRW.
Hasil pengelompokkan kemudian dianalisis secara visual melalui citra Google
Earth 2012 untuk melihat lokasi dengan tingkat kekritisan ketersediaan ruang
hijau tertinggi yang kemudian dijadikan sampel dalam proses perhitungan
kebutuhan ruang hijaunya. Proses perhitungan kebutuhan ruang hijau dilakukan
melalui perhitungan kebutuhan koefisien dasar hijau (KDH) terhadap koefisien
dasar bangunan (KDB) pada peta RTRW sesuai Perda No. 8 tahun 2011. Hasil
perhitungan kebutuhan tersebut kemudian dibandingkan dengan ketersediaan
hijau eksisiting yang didapatkan melalui perhitungan pada peta citra google earth
tahun 2012 dengan menggunakan grid yang sama. Adapun tujuan dari rangkaian
proses pada tahap ini adalah untuk menentukan lokasi sampel dari masing-masing
tipe dan luas tapak untuk pengembangan pocket park. Secara spesifik rangkaian
proses pada tahap ini dijabarkan pada Gambar 13 dan aplikasi grid pada sampel
dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 13 Metode pada tahap klasifikasi ruang potensial

14

Tahap Perancangan
Pada tahap perancangan, proses desain yang dilakukan mengacu pada
proses perancangan yang dikemukakan oleh Simond dan Starke (2006). Namun
pada penelitian ini dilakukan modifikasi terhadap acuan tersebut, sehingga
penelitian hanya akan dilakukan dari proses inventory sampai proses design.
Beberapa hal terkait modifikasi pada proses desain yang dikemukakan Simond
dan Starke (2006) adalah meninjau bahwa proses commissioning yang merupakan
proses perijinan telah dilakukan pada tahap persiapan. Sedangkan proses
construction merupakan proses implementasi desain pada tapak secara nyata dan
berada di luar batasan penelitian. Hasil pada proses tersebut adalah rekomendasi
rancangan pocket park pada 4 sampel masing-masing tipe. Hasil tersebut
kemudian dihitung nilai manfaatnya terhadap ekologi, khususnya terkait
penyediaan ruang resapan air hujan. Proses pada tahap ini secara spesifik dapat
dilihat pada Gambar 15.

Gambar 14 Aplikasi grid pada titik sampel

Gambar 15 Metode pada tahap perancangan

15

. Simond dan Starke (2006) menjabarkan secara sistematis rangkaian
kegiatan dalam proses desain adalah sebagai berikut:
Inventory
Inventory merupakan proses pengumpulan data mengenai kondisi umum
dan sosial terkait potensi dan kendala yang ada pada tapak. Kegiatan
pengumpulan data ini dilakukan melalui tinjauan langsung ke tapak maupun
dengan melakukan studi pustaka terhadap beberapa literatur. Proses ini dilakukan
untuk mendapatkan data-data spesifik tapak yang dibutuhkan dalam proses
perancangan selanjutnya (Tabel 3).
Tabel 3 Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian
No
1

2

3

Jenis data
Data umum
letak geografis &
administratif
topografi & kemiringan
geologi & tanah
hidrologi
iklim
vegetasi
batas tapak
Data sosial
aktifitas user
sirkulasi user
status kepemilikan tapak
Data visual
good view
bad view

Cara pengambilan

Bentuk data

studi pustaka
studi pustaka
studi pustaka
studi pustaka
pengamatan
pengamatan

deskriptif dan
spasial
spasial
deskriptif
deskriptif
deskriptif
deskriptif
spasial

pengamatan
pengamatan
wawancara

deskriptif
spasial
deskriptif

pengamatan
pengamatan

deskriptif
deskriptif

studi pustaka

Analysis-Synthesis
Proses analisis merupakan proses identifikasi potensi dan kendala pada
tapak berdasarkan data-data yang telah terhimpun sebelumnya dengan
mengkajinya terhadap berbagai literatur ketersesuaian. Hasil analisis tersebut
kemudian disintesis dengan ide-ide solutif untuk memaksimalkan potensi dan
meminimalisasi kendala pada tapak.
Concept-Planning
Konsep merupakan proses yang menghubungkan data-data dan hasil analisis
serta sintesis yang didapat dan menjadikannya sebagai sebuah kesatuan fungsi dan
tujuan perancangan. Pada proses ini, konsep yang dihasilkan akan terbagi menjadi
tiga, yaitu: konsep dasar, konsep desain dan beberapa konsep pengembangan yang
meliputi konsep ruang, konsep sirkulasi, dan konsep hidrologi. Pada proses
konsep juga dilakukan pengembangan ide-ide solutif hasil sintesis untuk
menghasilkan suatu sistem yang bekerja pada tapak.
Design
Proses ini merupakan tahap akhir yang sekaligus menjadi salah satu produk
utama dari penelitian ini. Pada proses desain dilakukan pekerjaan grafis untuk

16

menghasilkan gambar-gambar kerja arsitektural. Beberapa gambar kerja yang
akan dihasilkan pada proses ini adalah: gambar rencana tapak (site plan) masingmasing sampel, detil konstruksi beberapa fasilitas, potongan, dan ilustrasi
perpektif taman.
Berdasarkan hasil proses desain ini, kemudian dilakukan perhitungan nilai
manfaat desain terhadap ekologi lingkungan sekitarnya. Proses perhitungan ini
merupakan proses tambahan yang berfungsi untuk mendukung dan memperkuat
tujuan dalam penelitian ini.
Batasan Penelitian
Penelitian ini berfokus pada studi mengenai desain lanskap untuk
meningkatkan ketersediaan ruang resapan air hujan sebagai pendukung lanskap
Kota Hujan Bogor. Pada penelitian ini area studi berada di Kota Bogor dan
merupakan area publik atau berpotensi menjadi area publik dengan status
kepemilikan pemerintah maupun privat.
Selain itu, produk yang dihasilkan dari penelitiaan ini terbatas pada produk
desain lanskap berupa beberapa rancangan model pocket park pada beberapa
lokasi sampel di Kota Bogor.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis dan Administratif
Kota Bogor secara geografis terletak pada 106º 45’ Bujur Timur (BT) dan 6º
40’ Lintang Selatan (LS) (Gambar 15). Secara administrasi Kota Bogor tergabung
dalam bagian pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Kota Bogor dikelilingi oleh
wilayah Kabupaten Bogor dengan batas-batas sebagai berikut:





Utara
Selatan
Barat
Timur

: Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Sukaraja Kab. Bogor;
: Kec. Cijeruk dan Caringin Kab. Bogor;
: Kec. Darmaga dan Ciomas Kab. Bogor; dan
: Kec. Sukaraja dan Ciawi Kab. Bogor.
Topografi dan Kemiringan Lereng

Topografi Kota Bogor berupa bentangan perbukitan bergelombang dengan
ketinggian bervariasi antara 190 – 350 mdpl. Titik tertinggi Kota Bogor berada di
Selatan (350 mdpl) dan titik terendahnya berada di Utara (190 mdpl). Kemiringan
lereng di Kota Bogor secara garis besar merupakan dominansi dari kemiringan
kelas landai sebesar 8 091.27 ha (68%) (Gambar 16).
Klimatologi
Kota Bogor menurut klasifikasi iklim Schmit dan Ferguson termasuk dalam
iklim tipe B atau daerah basah dengan curah hujan berkisar antara 3 000 – 4 000
mm/tahun. Curah hujan bulanan berkisar antara 250 – 335 mm dengan curah
hujan minimum terjadi pada bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah

17

hujan maksimum terjadi di bulan Oktober sekitar 346 mm. Sebagian besar hujan
yang terbentuk di Kota Bogor merupakan hujan orografi karena adanya deretan
pegunungan di sekelilingnya. Temperatur rata-rata wilayah Kota Bogor berada
pada suhu 26oC – 34.4oC dengan kelembaban udara rata-rata lebih dari 70%.

Gambar 15 Peta Kota Bogor
(sumber : googleearth.com)
Geologi dan Hidrologi
Struktur geologi Kota Bogor terdiri dari aliran andesit seluas 2 719.61 ha,
kipas aluvial seluas 3 249.98 ha, endapan seluas 1 372.68 ha, tupaan seluas 3
395.75 ha, dan lanau breksi tupaan dan capili seluas 1 112.56 ha. Secara umum,
Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan
sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Salak dan Gunung Pangrango (berupa
batuan breksi tupaan/kpal) dengan lapisan yang berada agak dalam dari
permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaannya berupa

18

alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil pelapukan endapan dan
baik untuk vegetasi.
8091,27 ha
(69%)

9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
1763,94 ha (15%)

2000

1109,89
(9%)

1000

764,96 ha (6%)

119,94 ha
(1%)

0
Datar (0-2%)

Landai (2-15%)

Agak Curam
(15-25%)

Curam (25-40%) Sangat Curam
(>40%)

Gambar 16 Persentase luas kemiringan lereng di Kota Bogor
(sumber: Bappeda 2012)
Jenis tanah yang ada di seluruh wilayah Kota Bogor umumnya adalah
latosol coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm. Tanah
tersebut memiliki kandungan liat (clay) dengan tekstur halus hingga agak kasar
sehingga umumnya memiliki sifat cukup peka terhadap erosi, kecuali di Kec.
Bogor Barat, Tanah Sareal, dan Bogor Tengah yang masih memiliki sebagian
tanah bertekstur keras.
Kondisi hidrologi di Kota Bogor dipengaruhi oleh keberadaan 2 sungai
besar (Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane). Selain kedua sungai besar tersebut,
terdapat juga anak-anak sungai (Sungai Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan
Cibalok) yang membentuk pola aliran pararel-subpararel sehingga mempercepat
waktu mencapai debit puncak (time to peak) pada 2 sungai besar. Sungai-sungai
tersebut memiliki permukaan air yang jauh di bawah permukaan tanah, sehingga
Kota Bogor terbilang relatif aman dari ancaman bahaya banjir.
Potensi sumber daya air lainnya adalah potensi air tanah yang cukup
melimpah mengingat Kota Bogor yang dikenal sebagai Kota Hujan. Potensi
sumber daya air tanah terletak pada kedalaman sekitar 3 ─ 12 m dengan kalitas air
tanah tersebut tergolong dalam kategori cukup baik. Kedalaman muka air tanah
dalam keadaan normal (musim hujan) berkisar 3 ─ 6 m, sedangkan musim
kemarau kedalaman muka air tanah mencapai 10 ─ 12 m.
Kawasan Resapan Air Hujan di Kota Bogor
Kawasan resapan air adalah daerah bercurah hujan tinggi, berstruktur tanah
yang mudah meresapkan air dan mempunyai geomorfologi yang mampu
meresapkan air hujan secara besar-besaran. Meresapan air ke tanah sendiri terjadi

19

melalui 2 proses berurutan, yaitu infiltrasi (pergerakan air dari atas ke dalam
permukaan tanah) dan perkolasi (gerakan air ke bawah tanah dari zona tidak jenuh
ke dalam zona jenuh air) (Wibowo 2006). Selain itu, menurut Soemarto (1987)
dalam Wibowo (2006), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi daya infiltrasi
air, diantaranya:
 Dalamnya genangan di permukaan tanah, semakin tinggi genangan maka
tekanan air untuk meresap semakin besar;
 Kadar air dalam tanah, semakin kering tanah infiltrasi semakin besar;
 Pemampatan tanah, akan memperkecil porositas, pemampatan terjadi karena
pukulan butir-butir hujan, penyumbatan pori oleh butir halus, karena injakan
manusia, binatang, dan lain sebagainya;
 Tumbuh-tumbuhan, jika tertutup oleh tumbuhan akan semakin besar;
 Struktur tanah, yaitu adanya rekahan daya infiltrasi akan memperbesar;
 Kemiringan lahan dan temperatur air (mempengaruhi kekentalan).
Kota Bogor memiliki luas kawasan sangat tinggi resapan mencapai 3 999.78
m2 (33.75%) dan tersebar di setiap kecamatannya dengan sebaran tertinggi di
wilayah Kecamatan Bogor Selatan (Gambar 17). Perlindungan terhadap kawasan
tersebut perlu dilakukan untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan
penanggulangan banjir, baik untuk kawasan di bawahnya maupun kawasan yang
bersangkutan. Bappeda (2012) menggolongkan kriteria kawasan resapan air di
Kota Bogor sebagai berikut:







Kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1 000 mm/tahun;
Lapisan tanah berupa pasir halus berukuran minimal 1/16 mm;
Mempunyai kemampuan meluluskan air dengan kecepatan lebih dari 1 m/hari;
Kedalaman muka air tanah lebih dari 10 meter terhadap muka tanah setempat;
Kelerengan kurang dari 15%; dan
Kedudukan muka air tanah dangkal lebih tinggi dari kedudukan muka air tanah
dalam.
1400
1200
1000

Sangat Tinggi

800

Tinggi

600

Sedang

400
200
0
Kec. Bogor Kec. Bogor Kec. Bogor Kec. Bogor Kec. Bogor Kec. Tanah
Barat
Selatan
Tengah
Timur
Utara
Sareal

Gambar 17 Luas kawasan resapan air di Kota Bogor
(sumber: Bappeda 2012)

20

Pola Penggunaan Lahan di Kota Bogor
Kota menurut Foresman et al (1997) dalam Fatimah (2011) merupakan
suatu ekosistem yang terbentuk oleh beragam jenis penutupan lahan, vegetasi, dan
berbagai tipe penggunaan lahan dari suatu bentangan lanskap yang sangat
kompleks. Sebagai suatu kota, Kota Bogor juga tersusun atas beberapa jenis
penggunaan lahan dengan pola yang terus berkembang seiring waktu. Terdapat 2
jenis kawasan yang secara garis besar menjadi penyusun pola penggunaan lahan
di Kota Bogor, yaitu: Kawasan Terbangun dan Kawasan Belum Terbangun.
Kawasan Terbangun umumnya merupakan kawasan yang terdiri dari
penggunaan sebagai lahan perdagangan, permukiman, perumahan terencana,
komplek militer, istana, industri, terminal, dan gardu (Bappeda 2012). Kawasan
ini tergolong kawasan yang terus mengalami peningkatan luas seiring
perkembangan pembangunan di Kota Bogor. Selama periode 2007 – 2012, luas
kawasan terbangun di Kota Bogor mengalami peningkatan dari seluas 4 406.45 ha
atau 37.19% menjadi 5 567.31 ha atau 46.98%. Peningkatan tersebut dipengaruhi
oleh kawasan permukiman dan perumahan yang semakin meluas hingga mencapai
4 178.42 ha (Bappeda 2012).
Hal sebaliknya terjadi pada Kawasan Belum Terbangun yang berupa Situ,
Sungai, Kolam, RTH, Tanah Kosong Non RTH, dll. Kawasan ini cenderung
mengalami penurunan luas selama periode yang sama. Tahun 2007 kawasan ini
memiliki luas 7 299.20 ha atau sekitar 61.60% dan mengalami penurunan menjadi
6 282.69 ha atau 53.01% pada tahun 2012. Pada Kawasan Belum Terbangun di
Kota Bogor pada tahun 2012 ini didominasi oleh RTH seluas 5 559.63 ha atau
46.92% (Bappeda 2012). Perbandingan pola penggunaan lahan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 18.
120
100

80
60

7.299,20 ha

6.282,69 ha

40
20

4.406,45 ha

5.567,31 ha

0

Tahun 2007
Kawasan Terbangun

Tahun 2012
Kawasan Belum Terbangun

Gambar 18 Perbandingan pola penggunaan lahan di Kota Bogor
pada tahun 2007 dan 2012
(sumber: Bappeda 2012)
Perubahan pola penggunaan lahan tersebut terjadi akibat tekanan
pertumbuhan penduduk di Kota Bogor. Dampak dari peningkatan tersebut adalah
ramainya pembangunan kawasan perumahan. Selain itu, status Kota Bogor
sebagai Kota Satelit yang strategis bagi pengembangan sektor ekonomi dan
perdagangan membuat mulai tumbuhnya berbagai bangunan-bangunan komersil

21

yang cenderung mengikuti pola jaringan jalan. Adanya pemusatan sarana dan
prasarana perkotaan juga membuat tingkat kerapatan bangunan baik permukiman
maupun komersial semakin padat menuju ke pusat kota.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bogor
Ruang Terbuka Hijau kota sering kali digambarkan sebagai ruang yang
identik dengan pengisian berbagai macam jenis dan strata vegetasi dengan fokus
utama untuk mempertahankan kestabilan kondisi ekologis perkotaan. Menurut
Nurisjah (1996) dalam Fatimah (2011), Ruang Terbuka Hijau suatu kota adalah
bagian kawasan/ruang perkotaan yang ditumbuhi tanaman, baik yang tumbuh
alami maupun yang dibudidayakan, guna meningkatkan kualitas dan kapasitas
lingkungan perkotaan. Wujud RTH di Kota Bogor umumnya diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. RTH Pertamanan, terdiri dari RTH Jalur Hijau (jalur hijau jalan, sungai, pantai,
rel kereta api, listrik tegangan tinggi) dan RTH Taman (taman kota, taman
lingkungan, taman interaksi, taman rekreasi, taman atap;
2. RTH Pertanian, terdiri dari sawah, kebun, ladang/tegalan;
3. RTH Kehutanan, terdiri dari hutan kota, hutan rekreasi, hutan raya;
4. RTH Olahraga, terdiri dari lapangan bola, lapangan tenis, kolam renang,
pacuan kuda dan tempat olahraga lainnya;
5. RTH Pemakaman, terdiri dari taman pemakaman umum/TPU, taman makam
pahlawan/TMP, taman makam keluarga;
6. RTH Lainnya, seperti kebun raya, arboretum, kebun binatang, tempat latihan
militer.
Menurut Fatimah (2011) eksisting RTH di Kota Bogor hampir sebagian
besarnya (91.70%) merupakan RTH privat (RTH dalam pengelolaan pribadi,
swasta atau balai penelitian/lembaga non pe