ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KASUS TANJUNG PRIOK (Studi Konflik Antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan Masyarakat Tanjung Priok)

(1)

i ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KASUS TANJUNG PRIOK

(Studi Konflik Antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan Masyarakat Tanjung Priok)

Oleh ARI PIYANTO

Unjuk rasa secara ideal seharusnya dilakukan secara tertib, teratur dan bertanggung jawab, namun pada kenyataannya sering kali unjuk rasa berakhir dengan perilaku yang mengarah pada tindak pidana seperti kekerasan, pengerusakan dan anarkhisme, baik yang dilakukan oleh pengunjuk rasa maupun aparat penegak hukum. Salah satu contohnya adalah kasus Tanjung Priok yang menyebabkan jatuhnya kerugian materi, korban luka-luka dan meninggal dunia.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja? (2) Faktor-faktor apakah yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja? Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja (2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari pihak Kepolisian Tanjung Priok, Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Selatan dan perwakilan masyarakat Koja. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan dalam penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satpol PP dan masyarakat Koja dilakukan dengan upaya penyelesaian di luar hukum pidana yaitu menempuh upaya perdamaian. Kedua belah pihak menyatakan tidak akan menempuh jalur hukum mesikipun terjadi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351, 352, 353, 356 dan 170 KUHP. Upaya penyelesaian di luar hukum pidana tersebut berkonsekuensi pada adanya ganti rugi oleh Pihak Satpol PP kepada para


(2)

ii

sembuh serta memberikan santunan atau uang duka kepada pihak keluarga korban yang meninggal dunia.

(2) Faktor-faktor yang mengambat penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satpo PP dan masyarakat Koja, adalah: a) Faktor perundang-undangan (Substansi hukum), Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang sering disalah tafsirkan oleh pengunjuk rasa b) Faktor penegak hukum, yaitu secara kualitas kurang profesionalnya anggota kepolisian dan Anggota Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dan secara kuantitas adalah tidak seimbangnya jumlah aparat penegak hukum dibandingkan dengan jumlah masyarakat. c) Faktor sarana dan pasarana, yaitu tidak adanya asuransi bagi masyarakat yang menjadi korban luka-luka maupun korban meninggal dunia, sehingga dikhawatirkan masa depan anak-anak korban di kemudian hari akan terbengkalai, karena orang tuanya menjadi korban Kasus Tanjung Priok. d) Faktor masyarakat, yaitu adanya anggota masyarakat yang tidak menghendaki upaya perdamaian dengan pihak Satpol PP dan menuntut ganti rugi sangat besar kepada pihak Satpol PP atas kerugian yang dialaminya akibat kerusuhan e) Faktor kebudayaan, yaitu adanya budaya menyelesaikan suatu tindak pidana secara adat atau kekeluargaan oleh masyarakat, sehingga menjadi kendala dalam penegakan hukum pidana, sebab pada dasarnya tindak pidana harus diselesaikan sesuai dengan jalur hukum yang berlaku

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pemerintah Daerah hendaknya turut berperan aktif dalam melakukan mediasi apabila terjadi kerusuhan yang melibatkan Satpol PP dengan masyarakat, apalagi kerusuhan tersebut mengakibatkan adanya korban luka-luka atau meninggal dunia. Hal ini penting dilakukan sebab pada dasarnya Satpol PP hanyalah petugas pelaksana Peraturan Daerah, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan tugas tersebut maka Pihak Pemerintah Daerah seharusnya ikut bertanggung jawab, tidak hanya dalam memberikan santunan atau uang duka, tetapi dengan melakukan mediasi dan pendekatan kepada masyarakat. (2) Masyarakat Koja hendaknya menyadari bahwa upaya mempertahankan hak atau harga diri tidak harus ditempuh dengan cara-cara kekerasan, apalagi dapat membahayakan keselamatan atau menimbulkan korban jiwa. Masyarakat disarankan untuk membentuk suatu forum atau lembaga formal yang memiliki fungsi mediasi atau negosiasi dengan pihak-pihak tertentu, guna mengantisipasi berbagai hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan atau hak-hak masyarakat di masa yang akan datang.


(3)

iii

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KASUS TANJUNG PRIOK

(Studi Konflik Antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan Masyarakat Tanjung Priok)

Oleh

ARI PIYANTO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(4)

iv

dengan Masyarakat Tanjung Priok)

Nama Mahasiswa : ARI PIYANTO No. Pokok Mahasiswa : 0642011073 Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, SH., MH NIP. 19611231 198903 1 023

Firganefi, S.H., M.H. NIP. 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003


(5)

v

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, SH., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Firganefi, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Shafruddin, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1003


(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Ari Piyanto dilahirkan di Padang Ratu 3 Februari 1988, yang merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Muhibat dan Ibu

Suhaiya, A.ma.Pd.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Terbanggi Besar pada tahun 2000, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Terbanggi Besar pada tahun 2003 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Poncowati Terbanggi Besar pada tahun 2006. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Jalur Non-Reguler, akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2006.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan organisasi kemahasiswaan dan juga aktif dalam praktik kemahiran hukum antara lain sebagai Ketua Komisi A Dewan Legislatif Mahasiswa (senat) FH UNILA pada tahun 2006-2007, dan Kepala Bidang Kajian Himpunan Mahasiswa Pidana FH UNILA pada tahun 2007-2008. Selain itu, pada Tahun 2009 penulis mengikuti studi Banding ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Badan Narkotika Nasional.


(7)

vii

MOTTO

“Kunci sukses adalah kegigihan untuk memperbaiki diri dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik

dari hidup ini”.

“ Tekadku adalah pengabdianku ” (Bambang Hendarso Danuri)

“Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat, maka tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras;

dan keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan”

(Thomas Alfa Edison)

“ Berjuanglah hingga titik darah penghabisan ” (Ari Piyanto)


(8)

viii

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT,

atas rahmat dan hidayah-Nya, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku, aku persembahkan

sebuah karya ini kepada:

Ayah dan Ibu yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus

serta do’a demi keberhasilanku

Kakak dan Adik-adikku tercinta

yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku

yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka

Seragam almamaterku tercinta.


(9)

ix

SAN WACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendak-Nya semata, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus Tanjung Priok (Studi Konflik antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan Masyarakat Tanjung

Priok). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing Pertama yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.


(10)

x dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung: Mbak Sri, Mbak Yanti, Mbak Yani, Mbak Dian, Mas Sapta, Mas Yahya, Pakde Karsono, kiay Narto, dan yang lain-lain yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi ini. 9. Ayahnda Muhibat dan Ibunda Suhaiya tercinta yang telah merawat dan

membesarkan aku sampai sekarang.

10. Special Thanks to kekasih hatiku atas do’a, dukungan, perhatian, pengertian, motivasi dan manjanya.

11. Kakak dan Adek–adekku tercinta Briptu Arizal Fitriansyah, Deka Fahrullah dan Rahmiza Gusfina yang selalu ceria menambah semangat belajar menempuh gelar Sarjana Hukum.

12. Sahabat-sahabatku: Dwi Nurahman, S.H., Agus Farizal, S.H., Anton Timur, S.H., Beny Tino Apriansyah, S.H., Ari Pradana, S.H., Ari Siddiq, S.H., Wiranata Kusuma, S.H., Arif Ikhwan, S.H., Agus Firman, S.H., Ade Dirgantara, S.H., Al Hajim Rahman, S.H., Arma Yoda, S.H., Gusti Agung Putu Andika, S.H., Ahmad Effendi, S.H., Terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.


(11)

xi

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, November 2010 Penulis


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 4

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

DAFTAR PUSTAKA II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Penegakan Hukum ... 16

B. Pelanggaran Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana ... 24

C. Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Studi Kasus Tanjung Priok ... 31

DAFTAR PUSTAKA III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Masalah ... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

E. Analisis Data ... 36 DAFTAR PUSTAKA


(13)

xiii

B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus Tanjung Priok yang Melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat

Koja ... 39 C. Faktor-Faktor Yang Menghambat Penegakan Hukum Pidana

Terhadap Kasus Tanjung Priok yang Melibatkan Satuan

Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja ... 59 DAFTAR PUSTAKA

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67 A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 68


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dalam kehidupan negara demokratis, dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpulan dengan mengeluarkan pendapatnya baik secara lisan maupun secara tertulis. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat pada dasarnya merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang melekat pada manusia, hak ini tidak dapat diingkari, pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Hak Asasi Manusia


(15)

merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Permasalahan yang melatar belakangi penelitian ini adalah secara ideal unjuk rasa seharusnya dilakukan secara tertib, teratur dan bertanggung jawab, namun pada kenyataannya sering kali unjuk rasa berakhir dengan perilaku yang mengarah pada tindak pidana seperti kekerasan, pengerusakan dan anarkhis. Salah satu contoh unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan dan mengakibatkan korban jiwa dari pihak pengunjuk rasa dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) adalah Tragedi Tanjung Priok, pada tanggal 14 April 2010. Bentrokan massa dan anggota Satpol PP, berawal ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membongkar makam Habib Hasan bin Muhammad al Haddad (Mbah Priok) untuk diganti dengan monumen. Kebijakan tersebut mendapat perlawanan warga Koja. Aksi saling lempar batu di antara kedua pihak yang bertikai terus berlangsung selama beberapa jam hingga jatuh korban.Akibat tragedi berdarah ini, dua warga meninggal dunia-diduga karena mendapat siksaan pukulan maupun pentungan Satpol PP. Selain itu, anggota Satpol PP bernama Warsito Soepono dan Ahmad Tajudin juga tewas akibat dianiaya warga. Data terakhir menunjukkan, 130 korban lain mengalami luka-luka, baik dari warga maupun Satpol PP, sehingga harus dirawat di rumah sakit (www.wikipedia.co.id, 19 Juli 2010, 15.20).

Potensi terjadinya anarkhisme dalam unjuk rasa dapat disebabkan oleh situasi yang serba kalut dan tidak terkoordinasi (out of control) dapat memungkinkan massa melakukan kekerasan dan pengerusakan terhadap fasilitas publik maupun


(16)

kekerasan terhadap aparat yang menjaga keamanan unjuk rasa. Belum lagi adanya pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang memprovokasi dan memperkeruh keadaan, bisa menjadi pemicu bagi massa untuk melakukan anarkhisme.

Usaha pembongkaran bangunan di sekitar makam tersebut seharusnya dapat dilakukan pendekatan secara sosiologis dan psikologis terlebih dahulu, sehingga tidak menyulut kemarahan di tengah-tengah masyarakat. Pembangunan terminal peti kemas memang harus berjalan demi untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi makam Mbah Priok pun harus tetap dijaga dan dipertahankan keberadaannya. Sebab dengan keberadaan makam inilah setidaknya menjadi filter bagi lingkungan sekitarnya agar tidak terpengaruh oleh dampak negatif dari kemajuan zaman.

Selain permasalahan masyarakat yang tidak tertib dalam melakukan unjuk rasa, di sisi lain aparat keamanan yang menangani jalannya unjuk rasa juga sering kali terlibat dalam aksi kekerasan, bahkan bertindak melampaui batas kewenangannya. Tindakan yang dilakukan oleh aparat tersebut terkadang mengarah kepada suatu tindak pidana dan bahkan pelanggaran HAM. Fungsionalisasi aparat yang seharusnya menjaga dan memelihara ketertiban dan kenyamanan serta keindahan dalam suatu kota atau wilayah namun justru berubah menjadi tindakan yang serwenang-wenang yang melampaui tugas dan fungsinya sebagaimana seharusnya diatur dalam perundang-undangan.Hal inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi tidak responsif terhadap setiap tindakan aparat yang dinilai tidak memberikan jaminan kesejahteraan dan ketertiban bersama.


(17)

Tindakan- tindakan yang melampaui batas kewenangan Satpol PP ini merupakan suatu tindak pidana atau aktivitas kriminal dan kegiatan ini memungkinkan para pelaku kejahatan dapat menyembunyikan pertanggung jawaban pidana terhadap kejahatan yang dilakukan. Penyalahgunaan wewenang yang melampaui fungsionalisasinya inilah para pelaku akhirnya sering saling tuding tentang siapa yang bertanggungjawab terhadap kejahatannya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah.

Bentrokan berdarah yang terjadi antara warga dan aparat Satpol PP di Koja Tanjung Priok Jakarta, mendapatkan sorotan dari banyak pihak mengenai keberadaan Satpol PP sebagai petugas yang digaji dari uang rakyat dan bertujuan menjaga ketertiban, bukan justru menciptakan kerusuhan. Pada sisi lain Satpol PP bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan dan perintah dari kepala satuan lembaganya. Dampak dari tindakan brutal dapat berpengaruh pada kepercayaan publik pada aparat keamanan. Situasi keamanan yang seharusnya bisa menyelesaikan masalah malah menjadi kacau akibat salah menggunakan kesewenang-wenangan sebagai aparat keamanan.

Selain itu perlu dilakukan reformasi Satpol PP untuk menetralisasi kecenderungan buruk yang sudah berkembang selama ini. Perubahan perilaku sewenang-wenang dan melampaui tugas dan fungsinya dapat direformasi menjadi perilaku tunduk pada prinsip good governance. Ini prinsip yang beradab bagi pejabat publik dan aparat negara, apa pun pangkat dan fungsinya. Dalam menanggapi tindakan yang dilakukan Satpol PP bukan dengan tindakan kekerasan masyarakat Koja harus bersikap positif. Segala macam persoalan harus dilakukan dengan cara negosiasi


(18)

dan hukum. Tidak boleh lagi ada kekerasan yang dipakai untuk menyelesaikan perbedaan.

Oleh karena itu diperlukan kesadaran dari pihak masyarakat dan Satpol PP dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing. Masyarakat dituntut untuk melaksanakan unjuk rasa secara tertib dan teratur, sementara itu Satpol PP harus bersikap profesional dalam melaksanakan setiap tugas dan tindakannya. Hal ini penting dilaksanakan oleh kedua belah pihak agar tidak menimbulkan kerugian dan bahkan penderitaan, yang disebabkan oleh penganiayaan oleh salah satu pihak kepada pihak lain.

Tindak pidana penganiayaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 351, 352, dan 353 KUHP juga termasuk dalam bentuk-bentuk kejahatan pelanggaran HAM yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu pula beberapa delik yang mengalami perubahan akibat perkembangan yang tumbuh di masyarakat, juga terdapat delik yang di rasa sangat menghambat jalannya pembangunan dan hingga kini sulit menanggulanginya yaitu sebagai contoh tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum khususnya Satpol PP. Yang dimaksud perkembangan di sini adalah masalah-masalah yang menyangkut perubahan dalam frekuensi, kualitas bentuk delik dan mengenai penerapan hukumnya. Perubahan ini adalah akibat atau pengaruh dari perubahan keadaan yang terjadi di Indonesia, khususnya disebabkan oleh tugas dan wewenang aparat penegak hukum dengan segala aspeknya (www.legalitas.org, 16 Juli 2010, 20.30).


(19)

Penegakan hukum pada dasarnya adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (non penal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang

Selain itu penegakan hukum makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa penjatuhan pidana tertentu. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus Tanjung Priok” (Studi Konflik Antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan Masyarakat Tanjung Priok).


(20)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja?

b. Faktor-faktor apakah yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja dan faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja


(21)

b. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis penulisan skripsi ini diharapkan dapat dipergunakan untuk memperkaya serta lebih dapat mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan di bidang ilmu hukum pidana pada khususnya serta lebih jelas lagi mengenai fungsi hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok dalam rangka penegakan hukum dan faktor-faktor penghambat dalam menanggulangi pelanggaran tindak pidana yang terjadi dalam kasus Tanjung Priok.

b. Secara praktis dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dalam hal memperluas dan mengembangkan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana dan kegunaan bagi kalangan mahasiswa maupun praktisi untuk lebih mengembangkan fungsi hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok dalam rangka penegakan hukum.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986: 124).


(22)

a. Teori Penegakan Hukum

Menurut Satjipto Rahardjo (1996: 28), penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana

Hal yang mendasari penegakan hukum adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya di hadapan hukum yang diakui bersama (Andi Hamzah, 2001: 14).

Upaya penegakan hukum pidana di Indonesia dilaksanakan secara preventif (non penal) yaitu pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dengan lebih diarahkan kepada proses sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya yang mengatur mengenai kesusilaan dan secara represif (penal) yaitu pemberantasan setelah terjadinya kejahatan) dengan dilakukannya penyidikan oleh penyidik


(23)

kepolisian yang untuk selanjutnya dapat diproses melalui pengadilan dan diberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku

Upaya penegakan hukum pidana di Indonesia dilaksanakan secara preventif (non penal) yaitu pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dengan lebih diarahkan kepada proses sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya yang mengatur mengenai kesusilaan dan secara represif (penal) yaitu pemberantasan setelah terjadinya kejahatan) dengan dilakukannya penyidikan oleh penyidik kepolisian yang untuk selanjutnya dapat diproses melalui pengadilan dan diberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku (Sudarto, 1986: 111)

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif (1984: 157), secara umum dilihat dari segi fungsionalisasi, pengoperasian dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

(1) Tahap Formulasi, yaitu tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembuat undang-undang (sebagai kebijakan legislatif).

(2) Tahap aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikal).

(3) Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang (sebagai kebijakan eksekutif).

Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.


(24)

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 8), penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan


(25)

hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. 5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.

2. Konseptual

Menurut Soekanto (1986: 112), konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian. Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(26)

a. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang suatu kejadian atau peristiwa untuk memberikan jawaban atas kejadian atau peristiwa tersebut (Soerjono Soekanto, 1986: 17).

b. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana (Satjipto Rahardjo, 1996: 28).

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (Satjipto Rahardjo, 1996: 26). d. Satpol PP adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Kamus Hukum, 1994: 342) e. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau

kelompok orang termasuk aparat negara, baik sengaja atau pun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme yang berlaku (Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia)


(27)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang menguraikan latar belakang, masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai pengertian penegakan hukum pidana, fungsionalisasi hukum pidana, faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana, ketentuan pidana yang berkaitan dengan kasus atau tragedi Tanjung Priok.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, ketentuan populasi dan sempel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.


(28)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan hasil dan pembahasan mengenai penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja dan faktor-faktor apakah yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja

V. PENUTUP

Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan kemudian memberikan beberapa saran yang dapat membantu serta bagi pihak-pihak yang memerlukan.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum Pidana

1. Pengertian Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum Pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut (Sudarto, 1986: 60).

Menurut Satjipto Raharjo (1980: 15) penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum.

Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan hukum oleh petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut suatu penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah


(30)

tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap tindak itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola perilaku yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 5) penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian. Sehingga pengertian Law Enforcement begitu populer. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan peundang-undangan atau keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.

Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam menangani masalah-masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non penal (tanpa menggunakan hukum pidana).


(31)

1. Upaya Non Penal (Preventif)

Upaya penanggulangan secara non penal ini lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya:

a. Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna mencegah hubungan antara pelaku dengan objeknya dengan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas.

b. Mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat criminal dengan perbaikan lingkungan.

c. Penyuluhan kesadaran mengenai tanggung jawab bersama dalam terjadinya kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan

2. Upaya Penal (Represif)

Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminil.


(32)

2. Fungsionalisasi Hukum Pidana

Fungsionalisasi hukum pidana adalah suatu usaha untuk menaggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan dan daya guna (Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1984).

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif (1984: 157) menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Tahap-tahap tersebut adalah: 1. Tahap Formulasi

Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislaif.

2. Tahap Aplikasi

Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan-peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak


(33)

hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktivitas yang terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

3. Faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan kelangsungan perwujudan konsep-konsep abstrak yang menjadi kenyataan.


(34)

Pada proses tersebut hukum tidak mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat hubungannya dengan proses penegakan hukum yang harus diikutsertakan, yaitu masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan di dalamnya apa yang disebut keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian tidak berarti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan sempurna melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan. Proses merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan dari profesionalisme aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam penerapannya.

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 8) penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang menghambat antara lain:

1. Faktor Perundang-undangan (substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Semakin baik suatu peraturan hukum maka akan semakin memungkinkan penegakkanya, sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukar menegakkannya. Secara umum maka peraturan hukum yang


(35)

baik adalah pertauran hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.

2. Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung

Penegakan hukum akan berlangsung dengan baik apabila didukung oleh sarana dan fasilitas yang cukup. Sarana dan fasilitas ini digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu tercapainya masyarakat yang tertib dan taat hukum. Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

4. Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi


(36)

kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum diatas, memilki pengaruh positif dan negatif. Namun dari semua faktor tersebut faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal ini disebabkan karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan oleh masyarakat luas.


(37)

B. Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana, dan Pertanggungjawaban Pidana

1. Tindak Pidana

Istilah pidana atau hukumanyang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang yang cukup luas. Istilah pidana atau hukuman tidak sering digunakan dalam hukum tetapi juga dalam bidang pendidikan, agama, moral, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang bersifat umum, maka perlu adanya pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan cirri-ciri atau sifat khas pidana.

Bambang Poernomo (1993:2), menyatakan bahwa pidana adalah penderitaan dan siksaan yang dibebankan kepada seseorang yang melakukan syarat-syarat tertentu untuk itu, atau penderitaan yang dengan sengaja dibebankan kepada orang telah dinyatakan bersalah karena telah melanggar dan melakukan kejahatan berdasarkan peratyran dan hukum-hukum yang mengaturnya.

Pidana mengandung unsur –unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat perbuatan yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (orang yang berwenang)

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.


(38)

Suatu pidana atau sanksi dapat menghilangkan kemerdekaan seseorang untuk beberapa waktu tahun lamanya. Pidana diadakan untuk mencegah terjadinya tindak ksalahan, pelanggaran serta sebagai saran untuk memberikan sanksi atas tindakan-tindakan yang menurut ketentuan telah menyimpang dari apa yang ditetapkan. Namun demikian penjatuhan pidana tidak semata-mata untuk memuaskan tuntutan absolut (pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

Tujuan Pemidanaan antara lain:

a. Secara umum untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata kehidupan dalam masyarakat.

b. Secara khusus untuk melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak berbuat jahat dengan sanksi pidana sifatnya lebih tajam dibandingkan

dengan sanksi pidana yang terdapat dalam cabang hukum lain (Heni Siswanto, 2003;11)

Jenis-jenis pidana terdapat pada Pasal 10 KUHP yaitu yang dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu sebagai berikut:

a. Pidana pokok, yaitu : 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Kurungan 4. Denda


(39)

b. Pidana Tambahan, yaitu :

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

2. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan seseorang atau individu yang menyebabkan terjadinya suatu tindak criminal menyebabkan orang tersebut menanggung pidana atas perbuatan yang dilakukannya. Perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, norma hukum dan perundang-undangan yang berlaku (Kartini Kartono, 2001;127)

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti strafbaar feit KUHP, dimana di dalamnya telah digambarkan siapa yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana, yaitu :

KUHP ayat (1) dipidana sebagai pelaku pidana :

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan ancaman atau penyesatan dengan memberi kesempatan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan


(40)

KUHP ayat (2) berbunyi :

Terhadap penganjur, Hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sejalan yang diperhitungkan, beserta akibatnya.

Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Batasan penjelasan di atas sesuai dengan pendapat dari apa yang dikemukan Moeljatno (2000:126) yang menyatakan bahwa tingkah laku yang jahat immoral dan anti social akan menimbulkan reaksi berupa kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas akan erugikan masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat keseluruhan secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi yang berwenang seperti; kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain-lain wajib menanggulangi setiap tindak kejahatan atau kriminal.

Setiap kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah. Akibat dari tindak pelanggaran tersebut maka pelaku kriminal akan diberikan sanksi hukum akibat pemidanaan. Sanksi tersebut merupakan pembalasan terhadap kesalahan si pembuat.


(41)

3. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggunjawaban adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan. Roeslan Saleh (1983 ; 75), mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yng dipertangjawabkan. Hal tersebut berarti harus diperhatikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. Sebaliknya apakah pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, ini mrupakan persoalan kedua yang tentunya pada kebijaksanaan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah itu merasa perlu atau tidak perlu menurut pertanggungjawaban tersebut.

Masalah pertanggungjawaban ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya untuk memastikan siapa pembuat suatu tindak pidana, tidaklah mudah karena untuk menentukan siapa yang bersalah dalam suatu perkara harus sesuai dengan proses yang ada dalam system peradilan pidana yang ditetapkan. Dengan demikian pertanggungjawaban itu selalu ada meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan, jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan atau persyaratan yang diinginkan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban adalah keadaan yang dibebankan kepaa seseorang untuk menerima atau menanggung akibat-akibat atau efek yang timbul dari tindakan


(42)

atau perbuatan yang dilakukannya. Suatu perbuatan yang melawan hukum atau melanggar belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping itu perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pembuat tindak pidana harus ada unsure kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana harus terlebih dahulu memiliki unsur yang sebelumnya harus dipenuhi, yaitu :

1. Suatu perbuatan yang melawan hukum (unsur melawan hukum)

2. Seorang pembuat atau pelaku yang dianggap mampu bertanggungjawab atas perbuatannya (unsur kesalahan)

Asas legalitas hukum pidana Indonesia menyatakan, bahwa seseorang harus dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun demikian, orang tersebut belum dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Dengan demikian, sesorang dijatuhi pidana harus terlebih dahulu memenuhi unsur-unsur pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah merupakan suatu kemampuan bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan akibat melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat.

Roeslan Saleh (1981;82) dalam mengartikan perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya


(43)

perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian dapat dipidana adalah tergantung pada soal apakah ia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang melakukan perbuatan itu memang melakukan kesalahan, maka ia dapat dipidana. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, orang yang melakukan tindak pidana akan dikenakan tindak pidana.

Ridwan Halim (1984;58), seseorang harus bertanggugjawab secara sendiri atau bersama orang lain, karena kesengajaan atau kelalaian secara aktif atau pasif dilakukan dalam wujud perbuatan melawan hukum, baik dalam tahap pelaksanaan maupun dalam tahap percobaan. Tanggungjawab pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang harus ditanggung oleh siapa saja yang telah bersikap, baik itu bersikap selaras dengan hukum atau bertentangan dengan hukum.

Melihat pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah suatu penderitaan atau siksaan yang harus diterima dan dipikul oleh seseorang akibat dari tindak pidana kejahatan, kesalahan dan pelanggaran yang dilakukannya, sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan, perundang-undangan dan hukum pidana yang mengaturnya. Selain itu,yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah keadaan yang dibebankan kepada seseorang untuk menerima atau menanggung akibat-akibat atau efek yang dari tindakan atau perbuatan pidana yang dilakukan.


(44)

C. Peraturan Perundangan yang Berkaitan dengan Studi Kasus Tanjung Priok

Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai Tindak pidana atau penganiyaan, dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini khususnya pada Bab XX tentang penganiyaan. Pasal yang terkait dalam penelitian ini adalah Pasal 358 yang menyatakan:

Mereka yang dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:

Ke 1. Dengan Pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat. Ke 2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada

yang mati.

Selanjutnya Undang-Undang No 26 Tahun 2000, yaitu:

a. Bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi ataupun dirampas oleh siapapun.

b. Bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan HAM serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan atau masyarakat, perlu segera dibentuk suatu pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM

c. Bahwa pembentukan pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat telah diupayakan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang dan oleh karena itu peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut perlu dicabut.

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,c perlu dibentuk undang-undang tentang Pengadilan HAM.


(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan dalam penelitian berdasarkan realitas yang ditemukan di lapangan pada saat penelitian dilaksanakan (Soerjono Soekanto, 1983: 19).

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan pihak Kepolisian Tanjung Priok, Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Selatan dan masyarakat Koja, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.


(46)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3) Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Di dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan


(47)

penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok dan pembaharuan hukum pidana Indonesia, Makalah seminar nasional tentang penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok, buku-buku ilmu hukum, maupun literatur lainnya serta pencarian data penunjang melalui internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 119), populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kepolisian Tanjung Priok, Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Selatan dan masyarakat Koja.

2. Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian.

Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(48)

1). Anggota Kepolisan Tanjung Priok = 2 orang 2). Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Jakarta Utara = 2 orang 3). Perwakilan Masyarakat Koja = 2 orang +

Jumlah = 6 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data yang dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:


(49)

a. Seleksi data

Seleksi data adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data

Klasifikasi data adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data

Penyusunan data adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(50)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Responden penelitian ini terdiri dari berbagai pihak yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yaitu penegakan hukum pidana terhadap kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Responden dari Kepolisian

Responden penelitian dari pihak kepolisian terdiri dari: a. Nama : Irfan Sulaiman

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pangkat : Ajun Komisaris Polisi (AKP)

Jabatan : Komandan Satuan Pengendali Massa Satuan : Polres Jakarta Utara

b. Nama : Bernard Hutagalung Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pangkat : Bripda

Jabatan : Anggota Satuan Pengendali Massa Satuan : Polres Jakarta Utara


(51)

c. Nama : Joko Trihandoko Jenis Kelamin : Laki-Laki Pangkat : Bripda

Jabatan : Anggota Satuan Pengendali Massa Satuan : Polres Jakarta Utara

2. Responden dari Pihak Kesatuan Polisi Pamong Praja

Responden penelitian dari pihak Kesatuan Polisi Pamong Praja terdiri dari:

a. Nama : Adi Darmawan Jenis Kelamin : Laki-Laki

Jabatan : Anggota Satpol PP Satuan : Satpol PP Jakarta Utara

b. Nama : Arif Rahman Jenis Kelamin : Laki-Laki

Jabatan : Anggota Satpol PP Satuan : Satpol PP Jakarta Utara

3. Responden dari Pihak Masyarakat Koja

Responden penelitian dari pihak masyarakat Koja terdiri dari:

a. Nama : Hi. Nasiruddin Basyar Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Wiraswasta Unsur Masyarakat : Tokoh Agama


(52)

b. Nama : Burhan Syafei Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Wiraswasta Unsur Masyarakat : Tokoh Pemuda

B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja

1. Upaya-Upaya Pengamanan Unjuk Rasa dalam Kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja

Berbagai upaya pengamanan unjuk rasa dalam Kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja dilakukan sebagai proses penanggulangan yang menitik beratkan pada sifat preventif (pencegahan, penangkalan atau pengendalian) sebelum suatu tindak pidana terjadi. Dengan mengingat bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dengan sarana non penal lebih bersifat tindakan pencegahan maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindak pidana baik secara langsung atau tidak langsung (Badra Nawawi Arief, 2002: 68).

Menurut Irfan Sulaiman upaya-upaya pengamanan unjuk rasa dalam Kasus Tanjung Priok yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja dan Masyarakat Koja adalah sebagai berikut:

a. Mengawal Unjuk Rasa Masyarakat Koja Secara Wajar

Berdasarkan hasil wawancara dengan Irfan Sulaiman, maka diketahui bahwa pengamanan secara wajar pada jalannya unjuk rasa dan kepada para masyarakat Koja merupakan langkah yang ditempuh oleh Satdalmas Polres Jakarta Utara dengan berpedoman pada berbagai dasar hukum yang menuntut


(53)

anggota kepolisian untuk dapat mengambil tindakan yang wajar, bertanggung jawab dan proporsional dalam pengamanan unjuk rasa.

Irfan Sulaiman menambahkan bahwa pengamanan unjuk rasa yang dilakukan oleh pihak kepolisian memiliki dasar hukum yaitu:

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Satdalmas Polres Jakarta Utara sebagai salah satu unit kepolisian berpedoman pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 2 disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Selanjutnya Pasal 4 disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Polisi dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum senantiasa menghormati hukum dan HAM. Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian. Oleh karena itu


(54)

dalam menjalankan profesinya setiap insan kepolisian tunduk pada kode etik profesi Polri.

Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih.

Keberhasilan penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian sangat dipengaruhi oleh kinerja polisi yang direfleksikan dalam sikap dan perilaku pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya. Dengan demikian maka jelaslah bahwa tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

(2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengendalian Masa

Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Masa merupakan dasar hukum teknis yang digunakan Satdalmas Polres Jakarta Utara dalam pengendalian massa, yang mengatur tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam pengamanan unjuk rasa, bahkan mengambil tindakan dalam menghadapi kekacauan unjuk rasa. Tindakan yang dimaksud dapat berupa pembubaran suatu aksi unjuk rasa yang mulai mengarah kearah tindakan anarkis, penggunaan peralatan teknis seperti


(55)

kawat sebagai pagar betis atau mesin penyemprot air (water canon) sebagai antisipasi untuk memukul mundur massa yang mencoba menerobos barisan barikade aparat atau mencoba menerobos masuk ke halaman/ruang perkantoran atau merusak fasilitas. Selain itu berfungsi pula untuk memadamkan api yang biasanya dibakar massa dengan menggunakan ban bekas ketika berunjuk rasa, untuk menjaga perambatan api serta gangguan pandangan bagi pengguna jalan.

(3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

Pelaksanaan tugas pengamanan unjuk rasa oleh Satdalmas Polres Jakarta Utara juga didasarkan pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian sebagai pedoman bagi anggota KepolisianNegara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugas di lapangan tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, perlu ditentukan standar dan cara-cara yangdapat dipertanggungjawabkan.

Adanya pedoman ini sangat penting, sebab anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas di lapangan sering dihadapkan pada situasi, kondisi atau permasalahan yang mendesak, sehingga perlu melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Namun demikian pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan aturan hukum, selaras


(56)

dengan kewajiban hukum dan tetap menghormati/menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Anggota Polri yang menggunakan kekuatan dalam pelaksanaan tindakan kepolisian sesuai prosedur yang berlaku berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum oleh Polri sesuai perundang-undangan [Pasal 12 ayat (1)]. Hak anggota Polri tersebut wajib diberikan oleh institusi Polri [Pasal 12 ayat (2)].

Pertanggung jawaban dalam diskresi kepolisian terdapat pada Pasal 13, adalah:

1) Setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya. 2) Dalam hal pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian

yang didasarkan pada perintah atasan/pimpinan, anggota Polri yang menerima perintah tersebut dibenarkan untuk tidak melaksanakan perintah, bila perintah atasan/pimpinan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3) Penolakan pelaksanaan perintah atasan/pimpinan untuk menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dapat dipertanggungjawabkan dengan alasan yang masuk akal. 4) Atasan/pimpinan yang memberi perintah kepada anggota Polri untuk

melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, harus turut bertanggung jawab atas resiko/akibat yang terjadi sepanjang tindakan


(57)

anggota tersebut tidak menyimpang dari perintah atau arahan yang diberikan.

5) Pertanggungjawaban atas resiko yang terjadi akibat keputusan yang diambil oleh anggota Polri ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan/penyidikan terhadap peristiwa yang terjadi oleh Tim Investigasi.

6) Tim Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibentuk sesuai ketentuan yang berlaku.

Agar tidak terjadi penyelahgunaan dalam penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, Pasal 14 Peraturan mengatur hal-hal sebagai berikut: 1) Setiap pimpinan sebelum menugaskan anggota yang diperkirakan akan

menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memberikan arahan kepada anggota yang ditugaskan mengenai penggunaan kekuatan. 2) Setiap anggota yang menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian

wajib memperhatikan arahan pimpinan dan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam menerapkan diskresi kepolisian

3) Setiap pelaksanaan tindakan kepolisian yang menggunakan kekuatan, anggota Polri yang melaksanakan penggunaan kekuatan kekuatan wajib secara segera melaporkan pelaksanaannya kepada atasan langsung secara tertulis dalam bentuk formulir penggunaan kekuatan

4) Laporan tersebut memuat: (a) tanggal dan tempat kejadian; (b) uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan kepolisian; (c) alasan/pertimbangan penggunaan


(58)

kakuatan; (d) evaluasi hasil penggunaan kekuatan; (e) akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut. 5) Informasi yang dimuat dalam laporan digunakan untuk: (a) bahan laporan

penggunaan kekuatan; (b) mengetahui tahapan penggunaan kekuatan yang telah digunakan; (c) mengetahui hal-hal yang terkait dengan keselamatan anggota Polri dan/atau masyarakat; (d) bahan analisa dan evaluasi dalam rangka pengembangan dan peningkatan kemampuan professional anggota Polri secara berkesinambungan; (e) bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan; (f) bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan.

b. Melakukan Negosiasi dengan Pengunjuk Rasa

Unjuk rasa yang dilakukan Masyarakat Koja pada dasarnya merupakan perwujudan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, sebagai salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang. Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainaya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak


(59)

menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu aturan mengenai unjuk rasa yang bertanggung jawab telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara [Pasal 2 ayat (1)] Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini [Pasal 2 ayat (2)].

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah:

a. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;

c. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi;

d. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.


(60)

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 menyatakan bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum. Pasal 6 menyatakan bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan menyelenggarakan pengamanan. Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai. Unjuk rasa yang baik harus memenuhi berbagai ketentuan, hak dan kewajiban sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, namun apabila terjadi atau terdapat potensi pelanggaran maka dalam kondisi semacam inilah Satdalmas melaksanakan peranan dalam pengamanan unjuk rasa.

Menurut keterangan Bernard Hutagalung, sebagai petugas lapangan ia sering kali dihadapkan pada massa yang tidak tertib dalam berunjuk rasa, sering kali


(61)

terjadi kekacauan dalam unjuk rasa, bahkan mengarah pada terganggungnya ketertiban umum. Dalam kondisi yang semacam ini petugas harus mampu mengendalikan diri dan tidak boleh terlibat dalam aksi yang justru membuat kerusuhan atau kekacawan semakin menjadi lebih besar, misalnya dengan melakukan pemukulan atau kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Meskipun di lapangan hal ini terkadang sulit untuk diterapkan karena para pengunjuk rasa yang sering bersifat provokatif atau membuat suasana menjadi keruh, seperti mendorong barikade petugas, melempari petugas maupun mencaci maki petugas dengan kata-kata yang memancing emosi, namun setiap anggota dituntut untuk dapat mengontrol emosi dan mengendalikan amarah, serta tetap melakukan pengamanan secara wajar.

Pengamanan secara wajar dalam hal ini adalah tindakan tidak berlebihan atau di luar kendali, seperti memukul atau menganiaya pengunjuk rasa. Prinsip yang digunakan adalah apabila pengunjuk rasa telah dipandang melanggar hukum maka langkah yang ditempuh adalah mengamankan pengunjuk rasa itu dan diproses sesuai hukum yang berlaku dan setimpal dengan kesalahan yang dibuatnya.

Kondisi semacam ini memerlukan kemampuan pihak Satdalmas Polres Jakarta Utara untuk melakukan negosiasi dengan para pengunjuk rasa. Misalnya memberikan penjelasan kepada mereka secara baik-baik tentang bagaimana seharusnya unjuk rasa yang baik dan bertanggung jawab. Kemampuan melakukan negosiasi terhadap aksi massa yang anarkhis inilah yang memungkinkan situasi menjadi kembali kondusif dan aman.


(1)

69

yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan tugas tersebut maka Pihak Pemerintah Daerah seharusnya ikut bertanggung jawab, tidak hanya dalam memberikan santunan atau uang duka, tetapi dengan melakukan mediasi dan pendekatan kepada masyarakat.

2. Masyarakat Koja hendaknya menyadari bahwa upaya mempertahankan hak atau harga diri tidak harus ditempuh dengan cara-cara kekerasan, apalagi dapat membahayakan keselamatan atau menimbulkan korban jiwa. Masyarakat disarankan untuk membentuk suatu forum atau lembaga formal yang memiliki fungsi mediasi atau negosiasi dengan pihak-pihak tertentu, guna mengantisipasi berbagai hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan atau hak-hak masyarakat di masa yang akan datang.


(2)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KASUS TANJUNG PRIOK

(Studi Konflik Antara Satuan Polisi Pamong Praja dengan Masyarakat Tanjung Priok)

(Skripsi)

Oleh ARI PIYANTO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi DR. 2004. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta. K. Dani. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Putra Harsa. Surabaya.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Muladi dan Barda Nawawi. 1984. Teori dan Kebijakan Pidana.Alumni. Bandung. Raharjo, Satjipto. 1980. Masalah Penegakan Hukum . Sinar Baru.

Sudarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Soerjono, Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

www.penegakanhukum.go.id (wacana/bentrok koja, 14 Juli 2010, 09:45). www.legalitas.org (tragedy Tanjung Priok, 16 Juli 2010, 20.30).

www. wikipedia.co.id (reportase Tanjung Priok, 19 Juli 2010, 15.20). Koran Tempo, 19 April 2010.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Muladi dan Barda Nawawi. 1984. Teori dan Kebijakan Pidana.Alumni. Bandung. Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality

Publisher. Surabaya.

Raharjo, Satjipto. 1980. Masalah Penegakan Hukum . Sinar Baru. Sudarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Soerjono, Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Soerjono, Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun

1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 2002. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.