UJI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP VIRUS TUNGRO

1

ABSTRAK

UJI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI
TERHADAP VIRUS TUNGRO

Oleh

Devita Sari
Penelitian untuk mengetahui ketahanan tujuh varietas padi terhadap virus tungro telah
dilakukan di Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Evaluasi ketahanan dilakukan dengan penularan buatan terhadap stadia
bibit. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan tujuh perlakuan
(varietas) dan empat ulangan. Ketujuh varietas (Cigelis, Cilamaya Muncul, Inpari 13,
Inpago 3, IR 64, Juita, Situbagendit) ditanam dalam gelas plastik berdiameter 8 cm
dan tinggi 12 cm masing-masing dua benih per gelas. Setiap gelas dimasukkan ke
dalam kurungan yang berbeda. Sebagai varietas pembanding tahan adalah varietas
Cigelis dan pembanding peka varietas Inpago 3. Sumber inokulum berupa tanaman
padi bergejala tungro diambil dari lapangan. Infeksi buatan dilakukan dengan cara
melepaskan wereng hijau pada tanaman padi selama 24 jam kemudian diambil dan

diinfestasikan pada padi dalam kurungan, masing-masing dua ekor tiap kurungan
selama tiga hari. Pengamatan ketahanan varietas terhadap tungro dilakukan pada

2

umur padi 2, 4, 6, dan 8 MST. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan terhadap
tipe gejala yang muncul dan tinggi tanaman. Tingkat keparahan gejala tungro
dievaluasi sesuai dengan Standard Evaluation System for Rice, IRRI. Data hasil
pengamatan indeks penyakit dan tinggi tanaman dianalisis menggunakan sidik ragam
pada taraf nyata 5% dan selanjutnya nilai tengah diuji dengan uji Duncan pada taraf
yang sama. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lima varietas (Cigelis, Cilamaya
Muncul, Inpari 13, Juita, Situbagendit) dapat digolongkan tahan, satu varietas
(Inpago 3) agak tahan, dan satu varietas (IR 64) tergolong rentan.
Kata kunci : ketahanan, padi, penyakit tungro

3

UJI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI
TERHADAP VIRUS TUNGRO


(Skripsi)

Oleh
DEVITA SARI

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

UJI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI
TERHADAP VIRUS TUNGRO
Oleh
Devita Sari

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada


Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

Judul

: UJI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI
TERHADAP VIRUS TUNGRO

Nama Mahasiswa

: Devita Sari

NPM

: 0814013114


Jurusan

: Agroteknologi

Fakultas

: Pertanian

MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing,

Ir. Muhammad Nurdin, M.Si.
NIP 196107201986031001

Ir. Tititk Nur Aeny, M.Sc.
NIP 196201071986032001

2. Ketua Jurusan


Dr.Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P.
NIP 196411181989021002

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua

: Ir. Muhammad Nurdin, M. Si.

…………………………

Sekretaris

: Ir. Titik Nur Aeny, M. Sc.

…………………………

Penguji

Bukan Pembimbing

: Prof. Dr. Ir. Cipta Ginting, M. Sc.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S.
NIP 196108261987021001

Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 6 Maret 2013

…………………………

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Sidomukti Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung
Timur, pada tanggal 08 Desember 1989, sebagai anak pertama dari dua bersaudara,
pasangan dari Bapak Suliyo dan Ibu Sumiyati.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Balekencono, Batanghari, Lampung
Timur diselesaikan tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD N 1

Sidomukti pada tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP N 1
Batanghari pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA
KOSGORO Sekampung pada tahun 2007.
Tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2011
penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Pulung Kencana
Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang Bawang Barat. Tahun 2012
penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT Shang Hyang Seri Pekalongan
Lampung Timur.

PERSEMBAHAN

Dengan penuh ketulusan dan rasa hormat Kupersembahkan
karya kecil ini kepada kedua orang tuaku yang dengan
Sabar, usaha, dan doa selalu mengiringi langkah ku
Untuk Mencapai keberhasilan dan orang-orang
Yang Selalu setia menemani & menasehatiku

Serta untuk alamamaterku tercinta UNILA


SANWACANA

Claude Levi-Strauss sekali waktu menyarankan bahwa manusia adalah produk dari
jejaring sosialnya. Oleh karena itulah manusia terbatas oleh keberadaannya sendiri,
dan tidak mungkin menjadi pengamat objektif bagi alam. Sebuah model, adalah
penyederhanaan atas kerumitan alam, penyederhanaan yang lahir dari pengamatan
manusia atas alam. Maka demi keterbatasan manusia, segala model, segala pola yang
dipetakan dari data-data, selalu mengandung kesalahan intrinsik. Tidak seratus persen
menggambarkan realitas. Itulah mengapa statistika memiliki selang kepercayaan :
keinsyafan bahwa manusia terbatas.

Keterbatasan adalah juga milik penulis. Jika bukan karena dorongan tak henti dari
pribadi-pribadi di sekitar kehidupan, keterbatasanlah yang akan menang atas skripsi
ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih pada:
1. Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, Sang maha hati, Sang
maha segalanya, maha pengasih dan penyayang yang telah memberikan cinta tak
terhingga, nikmat yang tak pernah berujung; terima kasih atas berjuta kesempatan
untuk selalu menengok ke atas, melihat ke langit demi mensyukuri segala nikmat
dan cobaan yang penuh dengan pelajaran yang sangat berharga.


2. Bapak Ir. Muhammad Nurdin, M.Si., selaku pembimbing I, atas kesediaan
memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses pelaksanaan penelitian dan
penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Ir. Titik Nur Aeny, M.Sc., selaku pembimbing II, atas bimbingan dan
arahannya.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Cipta Ginting, M.Sc., selaku penguji, atas saran dan
masukannya yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Dr.Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian.
6. Bapak Dr.Ir. Afandi, M.P., selaku Pembimbing Akademik.
7. Kepada keluarga ku tercinta, Bapak dan Ibu (telapak kaki surgaku) terima kasih
atas segala kasih sayang, dan perhatian serta segala pengertian yang tak putus.
8. Terima kasih buat teman-teman agroteknologi yang terus memberi semangat Intan
Rahayu Ningtyas, Nyang Vania, Yuktika, Resmia, Diana Saragih, dan Yesi Safitri.
9. Teman-teman di Asrama Istiqomah, Chris, Rita, Eni, Tanti, Intan, Tari, Wiwik,
terima kasih untuk canda tawa dan kebaikan kalian semua.
Tak ada model yang benar, tapi beberapa diantara model-model tersebut benar-benar
berguna. Semoga yang satu ini bisa berguna.
Bandar Lampung, 28 Maret 2013


Devita Sari

DAFTAR ISI
Halaman
SANWACANA …………………………………………………………

i

……………………………………………………

ii

……………………………………...........…….

iii

I. PENDAHULUAN …………………………………………………….

1


1.1 Latar Belakang dan Masalah …………………………………….

1

1.2 Tujuan Penelitian …………………………………….................

3

1.3 Kerangka Pemikiran ……………………………………….........

3

………………………………………………………..

6

II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………...

7

…………………..……………………………..

7

2.1.1 Botani Tanaman Padi …………………………...………….

7

…………………………..

8

…………………………………

9

2.2 Penyakit Tungro …………………………………………………

10

2.2.1 Vektor Penyakit Tungro …………………………………....

12

2.2.2 Epidemologi Penyakit Tungro ……………………………..

13

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

1.4 Hipotesis

2.1 Tanaman Padi

2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Padi
2.1.3 Ketahanan Tanaman Padi

2.2.2.1 Hubungan Antara Penyakit Tungro dengan Vektor
Nephotettix virescen …………………..........................

13

2.2.2.2 Hubungan Antara Penyakit Tungro dan
Tanaman Padi Sebagai Inang

.….……………………

14

2.2.2.3 Hubungan Antara Penyakit Tungro dan
Faktor-Faktor IklimSerta Cuaca ……………………...

15

III. BAHAN DAN METODE ………………………………....................

16

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………….…............

16

………………………………………….………

16

3.3 Metode Penelitian …………………………………………………

16

3.4 Pelaksanaan Penelitian ……………………………………............

17

3.2 Bahan dan Alat

3.4.1 Persiapan Media Tanam dan
Penyiapan Tanaman Padi ……………………………………

17

3.4.2 Persiapan Isolat Virus Tungro ………………….....................

17

3.4.3 Perbanyakan Vektor Wereng Hijau …………….....................

17

3.4.4 Pengujian Ketahanan Varietas ………………………….........

18

3.4.5 Pengamatan Perkembangan Penyakit ……………………......

18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………..

20

4.1 Gejala ……………………………………….…………………….

20

4.2 Indeks penyakit tungro ……………………………………………

21

4.3 Tinggi tanaman …………………………………………………...

22

4.4 Kriteria ketahanan …………………………………………….......

24

V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..

27

5.1 Kesimpulan ……………………………………………………….

27

5.2 Saran ………………………………………………………...........

27

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………........

28

LAMPIRAN ………………………………………………………………

30

DAFTAR TABEL
Tabel

Halaman
…………….……………….

19

2. Rataan Indeks Penyakit Tungro 2,4,6,8 MST. ……………………..

21

3. Rataan Tinggi Tanaman 2,4,6,8 MST. ……………………………..

23

4. Kriteria Ketahanan Varietas Padi. ………………………………......

24

5. Kompilasi Skor Keparahan Gejala Penyakit Tungro. ……………….

31

6. Skor Keparahan Gejala Penyakit Tungro Minggu ke 2. ……………..

32

7. Analisis Sidik Ragam. ……………………………………………….

32

8. Skor keparahan gejala penyakit tungro minggu ke 4. ……………......

32

9. Analisis Sidik Ragam. ……………………………………………......

32

10. Skor keparahan gejala penyakit tungro minggu ke 6. ..…………….

33

11. Analisis Sidik Ragam. ………………………………………………

33

12. Skor keparahan gejala penyakit tungro minggu ke 8. ……………..

33

13. Analisis Sidik Ragam. ………………………………………………

33

14. Rata-Rata Tinggi Tanaman Minggu Ke 2. …………………………

34

15. Analisis Sidik Ragam. ……………………………………………….

34

16. Rata-Rata Tinggi Tanaman Minggu Ke 4. …………………………

34

17. Analisis Sidik Ragam. ……………………………………………...

34

18. Rata-Rata Tinggi Tanaman Minggu ke 6. ………………………….

35

1. Kriteria Ketahanan Terhadap Tungro.

19. Analisis Sidik Ragam. ……………………………………………..

35

20. Rata-Rata Tinggi Tanaman Minggu Ke 8. ………………………..

35

21. Analisis Sidik Ragam. ……………………………………………..

35

22. Deskripsi Varietas IR 64. ………………………………………….

36

23. Deskripsi Varietas Inpari 13. ………………………………………

37

24. Deskripsi Varietas Cigelis. …………………………………………

38

25. Deskripsi Varietas Situbagendit. ……………………………………

39

26. Deskripsi Varietas Cilamaya Muncul. ……………………………...

40

27. Deskripsi Varietas Inpago 3. …………………………………….....

41

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Gejala penyakit tungro. ………………………………………....

20

.…………….……………………..

42

3. Varietas Cigelis.

………….……………………………………

43

4. Varietas Inpago 3.

………………………………………………

43

5. Varietas Inpari 13. ………………………………………………

44

6. Varietas IR 64.

………………………………………………..

44

7. Varietas Juita.

…………………………………………………

45

…………………………………………

45

2.Varietas Cilamaya Muncul.

8. Varietas Situ Bagendit.

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah
Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang menjadi
kendala dalam peningkatan stabilitas produksi padi nasional dan ancaman bagi
ketahanan pangan yang berkelanjutan (Widiarta et al., 2003 dalam Ladja et al.,2005).
Beberapa provinsi telah menjadi daerah endemik tungro diantaranya Sulawesi
Selatan, Bali, NTB, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (Hasanuddin, 2004 dalam Ladja et
al.,2005).

Tungro adalah salah satu penyakit padi yang paling merusak di kawasan Asia Selatan
dan Tenggara. Di Indonesia penyakit ini sudah ada sejak tahun 1859 dengan beragam
nama daerah (Semangun, 1996). Pada tahun 1975-1985 telah terjadi serangan virus
tungro yang menyebabkan puso hingga mencapai 180.000 ha dan pada tahun 19981999 terjadi serangan berat di Lombok Tengah dan Lombok Timur seluas 10.000 15.000 ha (Hasanuddin, 1999 dalam Bastian, 2005). Sampai saat ini serangan virus
tungro masih sering terjadi di Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Tengah,
Jayapura yang merupakan sentra produksi padi Nasional (Hasanuddin et al.,1995
dalam Bastian, 2005).

2

Lampung termasuk satu diantara propinsi di Indonesia yang mengalami kerugian
akibat serangan virus tungro. Dari survei yang telah dilakukan Tim Klinik Pertanian
Unila pada bulan Mei 2012, diketahui bahwa beberapa hektar tanaman padi di
Lampung Utara terserang virus tungro yang cukup parah (Komunikasi Pribadi dengan
Nurdin, 2012).
Kehilangan hasil padi akibat serangan tungro sangat bervariasi, tergantung pada umur
tanaman dan intensitas serangan. Semakin muda stadia tanaman terinfeksi, semakin
besar kehilangan hasilnya. Kisaran kehilangan hasil pada stadia yang terinfeksi 2-12
minggu setelah tanam (mst) antara 20-90%. Pada intensitas serangan ringan
kehilangan hasil diperkirakan mencapai 15%, intensitas serangan sedang
mengakibatkan kehilangan hasil lebih kurang 35%, intensitas serangan berat
mengakibatkan kehilangan hasil lebih kurang 59%. Apabila kehilangan hasil
mencapai 79% atau lebih maka daerah serangan dinyatakan sebagai puso. Pada saat
terjadi ledakan serangan (eksplosif), luas serangan di suatu daerah endemik dapat
mencapai puluhan ribu hektar (Anonim, 2011).
Banyak percobaan-percobaan yang telah dilakukan untuk pengendalian tungro,
misalnya dengan menekan populasi vektor menggunakan bahan kimia dan
memberikan hasil yang memuaskan, namun demikian aplikasi di lapang masih
banyak dipertanyakan efektivitasnya. Selain itu aplikasi bahan kimia di lapang tidak
memberi hasil yang memuaskan pada saat kejadian tungro tinggi. Penggunaan
varietas tahan sebagai tindakan dalam pengendalian virus tungro dan wereng hijau
sebagai serangga penularnya adalah salah satu komponen yang paling penting dalam

3

strategi pengelolaan penyakit tungro (Sama, 1985 dalam Praptana dan Muliadi,
2005). Daradjat et al. (1999) dalam Praptana dan Muliadi (2005) menambahkan
bahwa penggunaan varietas tahan merupakan komponen yang paling efektif dalam
pengendalian tungro di Indonesia.

Beberapa varietas tahan virus tungro dan wereng hijau yang dilepas untuk
mengendalikan penyakit tungro ialah Tukad Unda, Tukad Petanu, Tukad Balian,
Kalimas, dan Bondoyudo. Namun, varietas-varietas ini hanya dianjurkan untuk
daerah endemik tungro seperti NTB, Sulawesi Selatan, dan Bali (Daradjat et al., 2004
dalam Praptana dan Muliadi, 2005).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan beberapa varietas padi yang
ditanam di Lampung terhadap virus tungro.

1.3 Kerangka Pemikiran
Penggunaan padi yang tahan terhadap virus tungro dan wereng hijau merupakan
komponen yang paling efektif dalam pengendalian tungro. Ketahanan padi terhadap
virus tungro akan menekan intensitas penyakit dan ketahanan padi terhadap wereng
hijau akan menekan penularan virus tungro. Namun demikian, varietas tahan tidak
boleh ditanam terus-menerus karena dapat meningkatkan tekanan seleksi vektor dan
memungkinkan berkembangnya wereng hijau biotipe baru. Durabilitas ketahanan
varietas terhadap wereng hijau dan virus tungro dipengaruhi oleh variasi biotipe

4

wereng hijau dan virulensi virus tungro. Keragaman ketahanan genetik varietas akan
meningkatkan durabilitas ketahanan varietas, menurunkan tekanan seleksi wereng
hijau dan virus tungro, serta mencegah terjadinya epidemi penyakit tungro. Oleh
karena itu, perakitan varietas berdasarkan sumber gen tahan dan strain virus tungro
harus terus-menerus dilakukan. Pengembangan varietas saat ini lebih ditekankan pada
perakitan varietas tahan virus terutama RTSV karena dapat menghambat penyebaran
RTBV oleh wereng hijau, sehingga tidak terjadi infeksi ganda ( Taulu et al., 1987
dalam Praptana dan Muliadi, 2005). Di Indonesia, telah dilepas beberapa varietas
tahan tungro seperti Tukad Unda, Tukad Petanu, Tukad Balian, Kalimas, dan
Bondoyudo dan telah diperoleh pula 29 galur tahan tungro. Varietas dan galur
tersebut merupakan hasil seleksi berdasarkan pengamatan fenotipik dengan berbagai
tingkat ketahanan (Suprihatno, 1985 dalam Praptana dan Muliadi, 2005).
Kenyataan yang terjadi bahwa tingkat kesukaan petani terhadap suatu varietas
berbeda-beda pada masing-masing daerah. Dasar pertimbangannya adalah kualitas
rasa dan potensi hasil tinggi walaupun varietas tersebut peka terhadap tungro.
Kebiasaan ini tidak diimbangi dengan aplikasi teknik pengendalian yang telah
direkomendasikan di daerah setempat. Oleh karena itu perakitan varietas tahan dari
sumber tetua tahan virus dengan varietas yang disukai di suatu daerah perlu dilakukan
untuk memperoleh varietas tahan spesifik lokasi yang dapat mengurangi serangan
tungro, mendukung dilakukannya pergiliran varietas. Pemanfaatan teknik molekuler
dalam penelusuran sifat ketahanan varietas dan seleksi dalam persilangan sangat

5

mendukung percepatan perakitan varietas tahan penyakit tungro (Praptana et al.,
2005).
Resistensi merupakan salah satu karakter pada tanaman yang dapat diwariskan.
Karakter ini berperan penting dalam menekan gangguan yang dapat disebabkan oleh
jasad pengganggu. Serangan oleh jasad pengganggu dipengaruhi oleh faktor
morfologis tanaman misalnya trikom (bulu daun), rambut pada daun dan batang,
lapisan berlignin pada organ tanaman, tipe dan ukuran kaliks, warna dan bentuk daun,
dan lapisan lilin pada permukaan daun. Bentuk tipe pelepah daun dapat juga sebagai
salah satu sifat ketahanan tanaman karena dengan tipe pelepah yang saling menutupi
maka larva tidak mudah masuk kedalam jaringan tanaman. Beberapa faktor morfologi
tanaman yang peka antara lain tinggi tanaman, diameter batang yang besar dan lebar
serta daun bendera sehingga dengan mudah serangga dapat meletakan telur (Oka,
1993).
Varietas padi tahan tungro memiliki mekanisme ketahanan toleran dan avoidan.
Mekanisme toleran dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu symptomless, disease
tolerant, dan true tolerant. Varietas toleran virus tungro merupakan salah satu
komponen pengendalian tungro secara terpadu. Ketahanan genetik tanaman terhadap
hama dapat diwariskan sebagai sifat monogenik sederhana dengan gen-gen
penentunya yang mungkin dominan sebagian atau sempurna ataupun resesif (Baehaki
et al.,1985 dalam Praptana dan Muliadi, 2005).

6

1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah varietas yang diuji memiliki
ketahanan yang berbeda – beda terhadap virus tungro.

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Padi
Padi termasuk dalam genus Oryza, yang terbagi menjadi 25 spesies dan semuanya
tersebar di daerah-daerah yang beriklim tropis dan sub-tropis di benua Asia, Afrika,
Amerika, Eropa, dan Australia. Dari 25 spesies ini hanya terdapat 2 jenis padi yang
diusahakan orang, yaitu Oryza sativa L, yang dapat dijumpai di Asia, Eropa, dan
Amerika Oryza glaberrima Steud, yaitu yang terdapat secara khusus di Afrika Barat
bagian tropis. Spesies-spesies yang lain adalah termasuk padi liar (Prihatman, 2000).
2.1.1 Botani Tanaman Padi
Menurut Prihatman (2000), klasifikasi ilmiah tanaman padi adalah sebagai berikut :
Kingdom
Divisio
Kelas
Ordo
Familia
Genus
Species

: Plantae
: Angiospermae
: Monocotyledoneae
: Poales
: Poaceae
: Oryza
: Oryza sativa L.

Akar tanaman padi berfungsi untuk menyerap zat makanan dan air, proses respirasi
dan menopang tegaknya batang. Akar tanaman padi dapat digolongkan menjadi dua

8

macam, yakni akar primer dan seminal. Akar primer yaitu akar yang tumbuh dari
kecambah biji, sedangkan akar seminal berupa akar yang tumbuh di dekat buku-buku.
Kedua akar ini tidak banyak mengalami perubahan setelah tumbuh karena akar padi
tidak mengalami pertumbuhan sekunder (Sudirman dan Iwan, 1999).
Batang padi bentuknya bulat, berongga, beruas-ruas. Antar ruas dipisahkan oleh
buku. Pada awal pertumbuhan, ruas-ruas sangat pendek dan bertumpuk rapat. Setelah
memasuki stadium reproduktif, ruas-ruas memanjang dan berongga. Oleh karena itu,
stadium reproduktif disebut juga stadium perpanjangan ruas. Ruas antar batang
semakin ke bawah semakin pendek. Pada buku paling bawah tumbuh tunas yang akan
menjadi batang sekunder, selanjutnya batang sekunder akan menghasilkan batang
tersier dan seterusnya peristiwa ini disebut pertunasan (Suparyono dan Setyono,
1996).
Daun padi memiliki telinga dan lidah daun, tetapi rumput-rumput lainnya tidak.
Seperti rumput-rumput lainnya daun padi memiliki tulang daun yang sejajar. Yang
keluar dari biji pertama kali koleoptil, lalu daun pertama, kemudian daun kedua yang
pertama-tama memiliki helaian daun yang lebar dan disusul dengan daun berikutnya
(Vergan, 1995).
2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Padi
Tanaman padi dapat hidup baik didaerah yang berhawa panas dan banyak
mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih,
dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar

9

1500-2000 mm. suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi yaitu 23ºC. Tinggi
tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0 – 1500 m dpl. Tanah yang
baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi
pasir, debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air dalam
jumlah yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan
lapisan atasnya antara 18-22 cm dengan pH antara 4-7 (Prihatman, 2000).
2.1.3 Ketahanan Tanaman Padi
Komponen yang paling penting dan mudah di lakukan dalam strategi pengendalian
tungro adalah penggunaan varietas tahan (Sama, 1985 dalam Praptana et al., 2005 ),
bahkan paling efektif dalam usaha pengendalian tungro pada berbagai ekosistem di
Indonesia (Daradjat et al., 1999 dalam Praptana et al., 2005). Varietas tahan sangat
efektif dan efisien mengendalikan tungro karena dapat mengurangi peran RTSV
sehingga wereng hijau tidak dapat menularkan virus batang (Anonim, 2003 dalam
Praptana et al., 2005). Ketahanan varietas terhadap virus tungro akan menekan
intensitas serangan dan ketahanan terhadap vektor akan menekan penularan tungro.
Peningkatan proporsi varietas tahan di suatu hamparan berpengaruh nyata dalam
mengurangi keberadaan tungro (Holt, 1996 dalam Praptana et al., 2005). Pengalaman
di lapangan menunjukkan bahwa penanaman varietas tahan wereng hijau terbukti
efektif menurunkan keberadaan tungro (Sama et al.,1991 dalam Praptana et al.,2005).
Beberapa varietas tahan virus tungro dan wereng hijau telah dilepas untuk
mengendalikan tungro seperti Tukad Unda, Tukad Petanu, Tukad Balian, Kalimas

10

dan Bondoyudo (Daradjat et al., 2004 dalam Praptana et al., 2005). Namun ketahanan
varietas bersifat spesifik lokasi yang berarti bahwa suatu varietas menunjukkan tahan
terhadap strain virus di daerah tertentu tetapi tidak tahan terhadap strain virus di
daerah lain (Baehaki dan Suharto,1985 dalam Praptana et al., 2005). Beberapa
varietas seperti Tukad Petanu dianjurkan di seluruh daerah endemis tungro, Tukad
Unda terbatas untuk Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan dan Tukad Balian
hanya dapat dikembangkan di Bali dan Sulawesi Selatan (Widiarta et al., 2003 dalam
Praptana et al., 2005).
2.2 Penyakit Tungro

Tungro telah dikenal sejak lama di Indonesia. Dilaporkan pertama kali dua abad yang
lalu, dengan nama Mentek. Pada awalnya, penyakit ini diduga disebabkan oleh
kekurangan hara tanaman. Dugaan-dugaan yang sama juga terjadi ketika gejala-gejala
kekerdilan serupa ditemukan di Malaysia tahun 1938, Filipina tahun 1941 dan
Thailand tahun 1964. Di masing-masing Negara, tungro dikenal dengan berbagai
nama lokal, seperti cadang-cadang, penyakit habang, dan accep na pula. Baru pada
tahun 1965, setelah melalui serangkaian pemeriksaan di berbagai lokasi, ditemukan
bahwa tungro diesebabkan oleh virus dengan perantaraan wereng hijau Nephotettix
virescens sebagai vektor utama (Semangun, 1996).
Tungro sendiri dalam bahasa Thai berarti ‘pertumbuhan terhambat’. Sesuai dengan
namanya, tanaman yang terinfeksi tungro mengalami penghentian pertumbuhan, dan
pengurangan jumlah anakan. Tingkat kekerdilan bervariasi tergantung pada varietas

11

padi yang terinfeksi dan umur tanaman ketika infeksi terjadi. Akar yang terbentuk
sangat sedikit sehingga tidak menjangkau cukup dalam. Bulir berukuran kecil-kecil
dan steril, pembentukan bunga sering kali terhambat. Daun berubah warna menjadi
kekuningan, berawal dari ujung daun terbawah (Murayama,1998 dalam Hadi, 2002).
Seiring dengan perkembangan tanaman terinfeksi, warna daun seringkali pulih
menjadi hijau kembali, namun pembentukan daun tidak terjadi sebagaimana
wajarnya, dimana daun-daun baru muncul berhadap-hadapan. Daun baru pada
tanaman terinfeksi tungro muncul dari satu titik yang sama, sehingga daun-daun yang
tumbuh belakangan berbentuk seperti kipas.

Tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu virus batang (rice tungro bacilliform
virus=RTBV) dan virus bulat (rice tungro spherical virus=RTSV). Kedua jenis virus
tersebut hanya dapat ditularkan oleh wereng hijau secara semipersisten. Terdapat lima
spesies wereng hijau yang dapat menularkan virus tungro dengan efisiensi yang
berbeda dan N. virescens merupakan penular (vektor) yang paling penting di antara
keempat spesies yang lain karena memiliki efisiensi paling tinggi di dalam
menularkan virus tungro yaitu sebesar 80% (Siwi et al., 1999 dalam Praptana et al.,
2005).

Di Indonesia, terdapat perbedaan komposisi spesies wereng hijau antar daerah, dan
pergeseran dominansi spesies dari waktu ke waktu. Pada dekade 1970’an, N.
nigropictus adalah spesies wereng hijau dominan di Indonesia, khususnya di Pulau
Jawa, Bali, dan Lampung. Sedangkan N. virescens hanya ditemukan di daerah-daerah
endemik tungro seperti Sulawesi Selatan. Pada tahun 1980-1984 N. virescens telah

12

menjadi spesies dominan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Sumatra Barat,
Irian Jaya. Sementara di Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan
Bulukumba (Sulawesi Selatan) terdapat perimbangan komposisi antara N. virescens
dan N. nigropictus. Introduksi varietas padi unggul yang peka terhadap wereng hijau
dan virus tungro merupakan salah satu penyebab pergeseran dominansi spesies dan
epidemik tungro di Indonesia (Siwi, 1995 dalam Hadi, 2002).

2.2.1 Vektor Penyakit Tungro
Dari lima spesies wereng hijau yang bertindak sebagai vektor penyakit tungro, empat
diantaranya berasal dari genus Nephotettix dan satu dari genus Recilia. Wereng dari
genus Nephotettix memiliki efektifitas yang lebih tinggi dalam menularkan tungro
daripada wereng dari genus Recilia. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia, keempat
spesies penular tungro dari genus Nephotettix itu seluruhnya ditemukan, yaitu N.
virescens, N. nigropictus, N. malayanus, dan N. parvus. Dari keempat spesies
tersebut, N. virescens adalah yang paling efektif dalam menularkan tungro (Siwi,
1995 dalam Hadi, 2002).

N. virescens meletakkan telur dalam jaringan pelepah daun padi pada bagian pinggir.
Posisi ujung telur tegak lurus dengan pinggiran pelepah daun padi. Telur-telur ini
diletakkan berkelompok dengan bentuk seperti peluru, seringkali berjumlah lebih dari
30 dalam satu kelompoknya, dimana ujung antara satu telur dengan telur yang lain
tidak saling menempel dan mudah dipisahkan (Anonim, 1992). Periode inkubasi telur

13

bervariasi antara 6-12 hari, sedang serangga betina dapat menghasilkan rata-rata 350
telur sepanjang hidupnya.

Nimfa instar pertama lebih banyak ditemukan di permukaan bawah daun tua, namun
setelah berkembang menjadi nimfa instar kedua dan selanjutnya, N. virescens dapat
ditemukan tersebar merata diseluruh daun tanaman. Nimfa dan serangga dewasa
menghisap cairan tanaman melalui jaringan lembaran dan tulang daun. Nimfa
berkembang lebih cepat pada suhu tinggi. Pada suhu 35
adalah 14,1 hari, sedang pada temperatur 20

periode nimfa rata-rata

periode nimfa rata-rata 37,3 hari.

Periode nimfa pada nimfa jantan umumnya lebih singkat dari betina. Serangga betina
dewasa hidup selama 40 hari sedangkan jantan selama 32 hari (Semangun, 1996).

2.2.2 Epidemologi Penyakit Tungro
2.2.2.1 Hubungan antara penyakit tungro dan vektor Nephotettix virescens
Waktu akuisisi dan inokulasi minimum virus tungro oleh N. virescens adalah 15 dan
30 menit. Tidak ditemukan adanya waktu inkubasi virus pada serangga, sedang masa
retensi terjadi selama 5-6 hari. Setelah itu vektor kehilangan kemampuannya untuk
menularkan virus, kemampuan untuk menularkan virus ini terjadi jika vektor kembali
mengakuisisi virus dari tanaman sakit (semi persisten). Penyebaran penyakit tungro
di lapang sangat dipengaruhi oleh aktivitas terbang vektornya. Secara umum N.
virescens bergerak dalam skala yang sempit, namun ada beberapa hal yang
merangsang perpindahan wereng hijau. Serangga ini mempertahankan kerapatan
sedang dalam satu daerah, perkembangan populasi yang tinggi akan mengakibatkan

14

migrasi ke lahan-lahan lain yang berdekatan dengan lahan asalnya (Chiykowski, 1981
dalam Hadi, 2002).
2.2.2.2 Hubungan antara penyakit tungro dan tanaman padi sebagai inang
Salah satu cara yang tersedia dalam mengendalikan penyakit tungro adalah melalui
pemuliaan varietas padi. Penyebaran penyakit tungro sangat bergantung pada peranan
wereng hijau sebagai vektor, oleh sebab itu strategi pemuliaan mula-mula diarahkan
pada pemuliaan varietas yang memiliki gen-gen ketahanan terhadap wereng hijau.
faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap kejadian penyakit tungro adalah
ketersediaan tanaman muda di lapang. Tanaman padi pada fase perbanyakan anakan
(tillering) dan inisiasi bulir (panicle initiation), yaitu tanaman padi berumur antara
0-7 minggu setelah tanam, berada pada fase paling rentan terhadap N. virescens
(Dale, 1994 dalam Hadi, 2002).

Kehilangan hasil karena terinfeksi tungro sangat dipengaruhi oleh stadia rumpun saat
infeksi terjadi. Rumpun yang terinfeksi pada stadium yang sangat awal (dua minggu
setelah tanam) mengalami kehilangan hasil hingga 80%. Semakin lanjut stadium
rumpun saat infeksi terjadi, semakin rendah kehilangan hasil yang dialaminya
(Anonim, 1992).

Keberadaan tanaman muda di lapang juga dapat dilihat sebagai potensi sumber
inokulum. Ketersediaan tanaman muda di lapang sendiri ditentukan oleh derajat
keserempakan penanaman antar petak dalam satu hamparan, dan panjangnya masa
bera setelah satu periode penanaman. Kedua faktor ini secara tidak langsung

15

mempengaruhi epidemi penyakit tungro. Pada derajat keserempakan tertentu, masa
bera yang semakin singkat (yang berarti semakin tinggi peluang ketersediaan
tanaman muda) berakibat pada kejadian penyakit tungro yang semakin tinggi.
Sebaliknya, pada panjang masa bera tertentu semakin rendah tingkat keserempakan
(semakin tidak serempak waktu penanaman antar petak dalam satu hamparan, yang
berarti semakin tinggi peluang ketersediaan tanaman muda di lapang) semakin tinggi
pula tingkat kejadian penyakit tungro (Anonim, 1992).

2.2.2.3 Hubungan antara penyakit tungro dan faktor-faktor iklim serta cuaca
Perkembangan penyakit tungro di lapang sendiri sangat bergantung pada populasi
wereng hijau infektif. Perkembangan kejadian penyakit berkorelasi dengan
perkembangan populasi wereng hijau, sedangkan dinamika populasi wereng hijau
berkorelasi dengan curah hujan bulanan. Pada umumnya, kejadian tungro didapati
lebih tinggi pada musim hujan daripada musim kemarau. Pada curah hujan 200-400
mm, populasi wereng hijau meningkat seiring peningkatan curah hujan, namun pada
curah hujan di atas 600 mm populasi wereng hijau cenderung menurun. Peningkatan
unsur N pada tanaman inang (sebagai respon tanaman terhadap cuaca) yang
kemudian memicu tingkat keberhasilan hidup larva atau nimfa serangga dan
pemusatan populasi serangga tertentu karena pola gerakan angin di suatu lokasi yang
sempit adalah beberapa kemungkinan mekanisme ledakan populasi serangga di
agroekosistem yang dipengaruhi oleh cuaca (Raga, 1998 dalam Hadi, 2002).

16

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari Agustus sampai dengan November 2012 di
Laboratorium Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Cigelis digunakan sebagai
pembanding tahan dan Inpago 3 sebagai pembanding rentan. Varietas Cilamaya
Muncul, Inpari 13, IR 64, Juita, dan Situ Bagendit. Tanah yang bercampur pupuk
kandang, vektor wereng hijau (Nephotettix virescens.), gelas plastik, kain kasa, lem,
plastik bening, dan label. Alat yang digunakan adalah cangkul, gunting, jala ayun,
meteran, kamera, dan alat tulis.
3.3 Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari tujuh perlakuan dan empat ulangan, sehingga
jumlah satuan percobaan adalah 28, yang masing-masing satuan percobaan berisi dua
tanaman. Data hasil perlakuan dianalisis dengan sidik ragam pada taraf nyata 5% dan
selanjutnya nilai tengah diuji dengan uji Duncan pada taraf 5%.

17

3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Persiapan Media Tanam dan Penyiapan Tanaman Padi
Media tanam yang digunakan adalah tanah dicampur pupuk kandang dengan
perbandingan 2:1. Tanah tersebut kemudian diisikan ke dalam gelas plastik sampai
penuh. Sebelum disemai benih padi direndam dalam air selama 24 jam, selanjutnya
setiap varietas padi ditanam dalam gelas plastik dua benih per gelas.
3.4.2 Persiapan Isolat Virus Tungro
Tanaman padi terinfeksi virus tungro diperoleh dari pertanaman padi di Desa Sri Jaya
Kecamatan Sungkai Jaya Lampung Utara. Semua tanaman padi yang bergejala tungro
ini digunakan sebagai sumber inokulum untuk perbanyakan virus tungro yang
selanjutnya digunakan untuk pengujian.
3.4.3 Perbanyakan Vektor Wereng Hijau (N. virescens)
Untuk perbanyakan serangga N. virescens tanaman yang terserang tungro diambil
dari desa Sri Jaya Kecamatan Sungkai Jaya Lampung Utara, lalu dipelihara dalam
ember yang berisi tanah sawah dan ditutup dengan sungkup yang terbuat dari kain
kasa yang berukuran 66 x 60 x 99 cm. Wereng hijau yang digunakan diambil dengan
jaring dari pertanaman padi yang terserang tungro sejumlah 15 ekor lalu dimasukkan
dalam sungkup supaya berkembang biak dan mencapai jumlah imago yang cukup
untuk digunakan pada percobaan. Pemeliharaan wereng hijau dilakukan dengan

18

mengganti tanaman padi secara periodik, selama satu minggu sekali tanaman padi
yang lama diganti dengan tanaman padi yang baru sampai imagonya cukup untuk
digunakan sebagai vektor pada tanaman uji.
3.4.4 Pengujian Ketahanan Beberapa Varietas Padi terhadap Virus Tungro
Evaluasi ketahanan dilakukan dengan penularan secara buatan terhadap stadia bibit.
Tujuh varietas padi disemai dalam gelas plastik dengan diameter 8 cm dan tinggi 12
cm masing-masing dua tanaman. Ketujuh varietas padi tersebut ditanam dalam gelas
plastik dibuat 4 ulangan sehingga terdapat 28 satuan percobaan. Setiap gelas yang
masing-masing berisi dua tanaman dimasukkan dalam kurungan yang berbeda.
Infeksi buatan dilakukan dengan melepaskan wereng hijau pada sumber inokulum
selama 24 jam, kemudian wereng hijau tersebut diambil dan diinfestasikan pada
tanaman uji masing-masing 2 ekor selama selama 3 hari.
3.4.5 Pengamatan Perkembangan Penyakit Tungro
Pengamatan perkembangan penyakit dilakukan terhadap tipe gejala yang muncul dan,
tinggi tanaman. Pengamatan ketahanan varietas terhadap tungro dilakukan pada umur
padi 2, 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam. Tingkat keparahan gejala tungro dievaluasi
sesuai dengan Standard Evaluation System for Rice (IRRI, 1996 dalam Ladja dan
Praptana, 2005) sebagai berikut :
Skor

1 = 0% tidak ada gejala serangan
3 = 1-10% terserang, kerdil, dan belum menguning
5 = 11-30% terserang, kerdil, dan agak kuning

19

7 = 31-50% terserang, kerdil, dan kuning
9 = >50% terserang, kerdil, dan orange.
Berdasarkan tingkat keparahan penyakit tersebut kemudian dihitung indeks penyakit
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

n(1)+n(3)+n(5)+n(7)+n(9)
IP =
tn
Keterangan:
IP : Indeks penyakit tungro
n : Jumlah tanaman yang terinfeksi virus tungro dengan skala 1,3,5,7,9
tn : Jumlah rumpun tanaman
Kriteria ketahanan terhadap tungro digolongkan berdasarkan indeks penyakit tungro (IP)
sesuai dengan Standard Evaluation System for Rice (IRRI, 1996 Ladja dan Praptana,

2005) dengan kategori sebagai berikut :
Tabel 1. Kriteria ketahanan terhadap tungro.
Indeks Penyakit

Kategori

0-3

Tahan

4-6

Agak Tahan

7-9

Rentan

20

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari tujuh varietas yang diuji terdapat lima varietas yang menunjukkan indikasi
tahan terhadap penyakit tungro, yaitu varietas Juita, Cigelis, Cilamaya Muncul,
Inpari 13, dan Situ Bagendit.
2. Varietas Inpago 3 termasuk varietas yang agak tahan terhadap penyakit tungro.
3. Varietas IR 64 adalah varietas yang rentan terhadap penyakit tungro.
5.2 Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis menyarankan untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan lokasi penelitian di lapangan agar hasilnya
lebih akurat.