BAB IV Pengembangan Desa

(1)

BAB II

Pengembangan Desa

Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi. Masih cukup dingin. Apalagi air conditioner (AC) di ruangan bekerja dengan baik sehingga terkadang beberapa teman dan senior menghendaki agar AC dipindah tempatnya. Tetapi di tempatku duduk justru terasa hangat. Seorang senior sedang berbicara serius tentang persoalan pembentukan desa dan saya mendengarnya dengan seksama. Terkadang aku menyeluntuk dengan pertanyaan-pertanyaan tidak serius yang membuatnya tertawa saat menjawab. Diskusi yang menyenangkan.

Pokok diskusi kami adalah tentang pembentukan desa. Sebuah desa di tempat senior ini bertugas sedang berupaya menahan dusun terluarnya yang hendak memisahkan diri dan membentuk desa baru. Pikiran kami berdua sejalan. Pembentukan desa baru, sepanjang tidak bersifat urgen, selayaknya dicegah. Namun kami juga sampai pada inti pembahasan: desa dibentuk berdasarkan prakarsa masyarakat.

Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Kalimat yang mengikuti frasa prakarsa masyarakat dalam pasal ini tidak dapat disebut sebagai syarat pembentukan. Sebaliknya, kalimat ini justru menegaskan alasan mendasar mengapa masyarakat mengajukan prakarsa pembentukan desa.


(2)

Persyaratan teknis pembentukan baru disediakan pada ayat 2 dari pasal dimaksud. Syarat teknis pembentukan meliputi (a) jumlah penduduk, (b) luas wilayah, (c) bagian wilayah kerja, (d) perangkat, dan (e) sarana dan prasarana pemerintah. Dalam penjelasan ayat 2 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang disebutkan secara rinci adalah syarat jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang disyaratkan bagi desa untuk dapat dimekarkan di wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 Kepala Keluarga (KK), untuk wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau 200 KK, dan untuk wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku dan Papua paling sedikit 750 jiwa atau 75 KK.

Sementara persyaratan pembentukan desa yang lain disebutkan secara rinci dalam pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Desa menjadi Kelurahan. Luas wilayah desa disyaratkan dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat. Wilayah kerja desa yaitu dusun disyaratkan memiliki jaringan perhubungan dan komunikasi. Kondisi sosial budaya disyaratkan dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat. Sarana dan prasarana yang disyaratkan adalah ketersediaan potensi infrastruktur pemerintahan desa serta infrastruktur perhubungan.

Persyaratan perangkat tidak disebutkan secara rinci dalam ketentuan pembentukan desa baru. Namun syarat lain yang tidak disebut dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 ditambahkan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006. Syarat-syarat yang


(3)

ditambahkan adalah potensi desa yang meliputi potensi sumber daya dan batas desa. Potensi sumber daya yang disyaratkan bagi pembentukan desa yaitu sumber daya daya alam dan sumber daya manusia. Sementara dalam hal batas desa, pembantukan desa baru hanya mungkin terjadi apabila desa induk telah memiliki batas dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

Persyaratan terakhir ini menjelaskan bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Desa menjadi Kelurahan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa merupakan dwitunggal peraturan pengembangan desa. Secara eknis, itu artinya tidak ada pembentukan desa bagi desa yang belum ditetapkan batasnya dalam peraturan daerah.

Persyaratan teknis lain dari pembentukan desa yang disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah usia penyelenggaraan pemerintahan – dari desa induk – minimal 5 tahun. Sebuah desa induk dapat dimekarkan setelah masa penyelenggaraan pemerintahan, minimal telah mencapai usia 5 tahun.

Percabangan sungai evolusi

Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, jumlah desa di Indonesia 59.675 buah. Pada saat ini, dengan menggunakan proyeksi data tahun 2010, dibawah naungan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah


(4)

Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, jumlah itu meningkat menjadi 68.680 desa. Itu artinya, dalam kurun waktu 31 tahun terjadi peningkatan jumlah desa sebanyak 9.005 desa atau rata-rata 2,24 desa per hari. Pertumbuhan desa yang luar biasa ini berdampak pada munculnya kecamatan baru, kabupaten baru atau kota baru dan pada akhirnya provinsi baru.

Tabel 1

Data Jumlah Desa di Indonesia Menurut Tahun tidak berurut

Tahun Jumlah Desa Tahun Jumlah Desa

1969/1970 44.478 1978/1979 60.645

1970/1971 44.622 1979/1980 62.875

1971/1972 44.630 1980/1981 63.058

1972/1973 45.575 1981/1982 64.650

1973/1974 45.587 1982/1983 65.127

1974/1975 45.303

1975/1976 45.303

1976/1977 58.675 2009/2010

1977/1978 59.071 2010/2011 68.680

Sumber : Makakalah Informatif IIP, 1982 dalam Rahardjo (2004:53) serta data olahan

Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan (2010)

Pertumbuhan desa pernah tertahan oleh kebijakan moratorium menjelang pemilihan umum tahun 2009. Tetapi hanya sesaat. Desa terus bertambah dari tahun ke tahun. Pertumbuhan yang dipandang skeptis karena tujuan-tujuan ideal pemekaran dan pembentukan desa yang tidak tercapai. Bertambahnya jumlah desa di satu sisi tidak diikuti oleh peningkatan kualitas pelayanan masyarakat di sisi yang lain. Fenomena umum justru berkembang sebaliknya. Desa-desa pemekaran secara umum masih disoroti karena lambatnya pelayanan kebutuhan publik, semisal kartu tanda penduduk, kartu keluarga, surat keterangan domisili, surat keterangan tidak mampu dan sebagainya. Demikian pula kebutuhan pelayanan


(5)

civil semisal perlindungan hak-hak kelompok minoritas, penciptan ketertiban lingkungan, perlindungan atas pekerjaan warga, dan sebagainya.

Pada akhirnya terselip dua kecurigaan umum dalam setiap kasus pemekaran desa. Pertama, desa-desa baru nampak seolah-olah produk politik lokal dalam hubungannya dengan penciptaan daerah konstituen. Meskipun bukan gejala umum, pemekaran desa, sepanjang disertai konflik horisontal, hampir pasti menyembunyikan pertarungan kekuatan-kekuatan politik lokal. Dalam kasus pemekaran desa, semboyan politics is local mendapatkan pengukuhannya. Pemekaran semacam ini mengesampingkan syarat-syarat teknis yang diminta dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Desa menjadi Kelurahan. Baik aspek jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat, dan sarana dan prasarana pemerintah, serta usia penyelenggaraan pemerintahan desa induk seringkali diabaikan.

Kedua, faktor laten yang bersembunyi di balik semua jawaban atas pertanyaan mengapa desa berkembang begitu pesat, adalah peningkatan mutu penatakelolaan pemerintahan desa. Pada pengertian yang sangat sempit, perbaikan mutu penatakelolaan pemerintahan desa ditunjukan oleh jumlah dana yang diterima desa. Sejak diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, aliran dana ke desa dapat dilakukan melalui ”banyak pintu” mekanisme keuangan pemerintah. Pintu pertama, pendapatan asli desa yang berasal dari hasil usaha desa. Pintu kedua, bagi hasil pajak paling sedikit sepuluh persen dari retribusi


(6)

Kabupaten/Kota. Pintu ketiga, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota paling sedikit sepuluh persen yang pembagiannya dilakukan secara proporsional sebagai alokasi dana desa (ADD). Pintu keempat, adalah bantuan keuangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan. Pintu kelima, hibah dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat.

Konstruksi seperti di atas tidak jauh berbeda dari rumusan kebijakan tentang keuangan desa dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah. Namun secara fundamental berbeda dari kebijakan keuangan dasa sebagaimana disebutkan dalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada huruf b angka (1) dari pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 disebutkan adanya pendapatan yang berasal dari ”pemberian” pemerintah pusat, yang didalamnya terdapat (a) sumbangan dan bantuan pemerintah, (b) sumbangan dan bantuan pemerintah daerah, (c) sebagian dari pajak dan retribusi yang diberikan kepada dasa serta (d) lain-lain pendapatan yang sah. Frasa “pemberian” yang menggambarkan hubungan subordinasi antara pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan desa diganti dengan frasa “bantuan” yang mengandung makna kewajiban karena kesetaraan. Lebih jauh, besaran bantuan kepada desa tampil secara eksplisit dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005.

Selain sumber pendapatan desa, sesuai pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, pemerintah kabupaten/kota masih memiliki kewajiban


(7)

keuangan kepada desa dalam hal pembayaran penghasilan maupun tunjangan lainnya kepada kepala desa dan perangkat desa. Penghasilan dimaksud merupakan penghasilan bulanan yang dibayarkan sesuai kemampuan keuangan daerah. Besaran penghasilan ditetapkan paling sedikit sama dengan upah minimum regional yang berlaku pada tiap-tiap kabupaten/kota.

Kedua faktor di atas seringkali mencuat sebagai kekuatan yang saling melemahkan, bukan saling menguatkan. Bagi para politisi lokal, pemekaran desa dengan motif perluasan basis dukungan atau kantong suara sahih tanpa perlu memperhatikan aturan teknis pengembangan desa yang digariskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006. Sepanjang ada prakarsa masyarakat, persyaratan teknis dapat dipandang sebagai unsur pelengkap. Sayangnya, para politisi melupakan pekerjaan terbesar pemerintah setelah desa dibentuk, yang justru menjadi harapan elit pemerintahan desa yang baru. Harapan itu adalah terbukanya saluran keuangan desa serta terpenuhinya pembayaran penghasilan dan tunjangan. Daerah kabupaten/kota dengan pendapatan asli daerah yang cukup tinggi tidak melihat penambahan jumlah desa sebagai persoalan yang mengkhawatirkan. Namun bagi daerah yang menggantungkan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dari bantuan keuangan pemerintah, pemekaran desa merupakan sumber masalah. Ketegangan eksekutif dan legislatif dalam hal pemekaran desa di daerah-daerah yang disebut terakhir lebih mudah dirasakan. Meskipun pada akhirnya, pertarungan kepentingan seringkali dimenangkan legislatif, eksekutif berupaya menahan implementasi kebijakan keuangan desa dengan alasan rasional


(8)

keterbatasan anggaran, yang akibatnya dirasakan langsung oleh desa-desa yang baru dimekarkan.

Alasan penatakelolaan keuangan ini dapat dipandang sebagai hal yang dibesar-besarkan. Namun saat ini, jarang ditemui adanya desa yang mengupayakan peningkatan kapasitas pelayanan pemerintahan seraya mengusulkan agar berubah statusnya menjadi kelurahan. Gejala yang kini sering ditemui adalah usulan pemerintah kabupaten/kota, melanjutkan aspirasi masyarakat, agar kelurahan berubah status menjadi desa. Alasan perubahan status kelurahan menjadi desa ada bermacam-macam. Dua alasan yang hampir selalu sama adalah hilangnya hak-hak asli masyarakat akibat desa berubah status menjadi kelurahan, serta minimnya jumlah uang yang diterima kelurahan dibandingkan dengan desa.

Masalah-masalah ini telah menggeser desa jauh dari hakikatnya. Hakikat desa sebagai kumpulan masyarakat yang hidup bersama dan menyelesaikan persoalannya bersama, kini semakin pudar. Kebersamaan dalam hidup yang ditunjukan oleh ikatan kekeluargaan, kekerabatan, kerukunan dan toleran sedikit demi sedikit tergerus nilai-nilai baru seperti status, uang dan kedudukan. Demikian halnya dengan pranata seperti gotong royong, gugur gunung, arisan, tarawih, masohi, rembug dan kerja bakti digantikan oleh pengarahan, mobilisasi, perlibatan pihak ketiga dalam pekerjaan pembangunan desa serta pesanan proyek pemerintah tingkat atas.

Apa yang nampak pada desa saat ini, selain dari ciri tradisionalnya pada desa-desa pedalaman, adalah apa yang disebut oleh Raharjo (2004:24), mengutip


(9)

M.Francis Abraham, sebagai model masyarakat transisi. Model transisi ini ditandai oleh faktor-faktor (a) dualisme struktural yang memungkinkan kehadiran bersama kereta lembu dan pesawat udara – dalam pengertian bertemunya nilai-nilai tradisional dengan modern, (b) kombinasi sumber energi yang hidup serta perubahan budaya dimana norma modernitas secara berangsur-angsur muncul di dalam kerangka nilai-nilai tradisional, (c) industrialisasi, (d) mobilisasi politik dan (e) rekayasa sosial. Ciri-ciri transisi, pada akhirnya menciptakan kognisi dualisme masyarakat desa. Masyarakat desa memandang dirinya, pada suatu waktu adalah komunitas harmonis guyub yang berjalan ke masa depan diiringi tabuhan gending berlagu mantra, namun pada waktu yang lain memandang dirinya sebagai bagian dari masyarakat tercerahkan, melek hukum, menuntut hak-haknya melalui lembaga demokrasi modern serta berbicara dalam bahasa manajemen perusahan saat bermusyawarah mengenai perbaikan jalan desa.

Beberapa sarjana telah mencoba mendefinisikan desa untuk menemukan hakikatnya. Rahardjo (2004:29) mengutip Koentjaraningrat mengartikan desa sebagai ”komunitas kecil yang menetap pada suatu tempat”. Dalam definisi ini terkandung makna pentingnya ikatan kekerabatan dari suatu masyarakat yang saling mengenal satu dengan yang lain.

Bertujuan mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap, Wasistiono-Tahir (2007:12-17) mengartikan desa dalam beberapa dimensi antara lain: (a) dimensi ekonomi dimana ”desa berfungsi sebagai lumbung bahan mentah dan tenaga kerja”. (b) dimensi sosiologis dimana desa menampil sebagai ”suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam


(10)

suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal, dan (c) dimensi politik dan administrasi negara dimana desa lebih dipandang sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.

Dari sisi manapun para sarjana menyoroti keberadaannya, desa masih menunjukkan ciri paguyuban atau gemeinschaft diseberang konsep masyarakat patembayan atau gesellschaft dari konstruksi dikotomis Ferdinand Tonnies. Walau harus diakui bahwa dikotomi gemeinschaft- gesellschaft tidak selalu cocok dalam memandang desa sebagai unit analisis, setidaknya oleh gejala transisi yang disebutkan Abraham. Namun diskursus tentang desa di Indonesia masih menyisakan ruang cukup bagi dikotomi Tonnies. Menarik bahwa, desa, dalam ranah kebijakan selalu ditempatkan pada ciri gemeinschaft-nya.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, desa diartikan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi desa dalam Undang-Undang ini didahului oleh keterangan tempat untuk menunjukkan locus dimana masyarakat berdiam. Setelah keterangan tempat, subjek yang disebut adalah penduduk.

Dalam konstruksi kybernologi penduduk terbentuk dari kumpulan manusia. Manusia, mula-mula, adalah ciptaan Allah yang ditempatkan di bumi. Manusia yang berhimpun dan memiliki sejumlah hak sebagai manusia disebut


(11)

penduduk. Penduduk berhimpun membentuk masyarakat. Masyarakat membentuk bangsa. Bangsa berhimpun membentuk negara. Negara selanjutnya membentuk pemerintah dalam tujuannya mengatur alokasi sumber daya yang terbatas. Pengaturan atas sumber daya yang terbatas ini sejatinya merupakan upaya mengembalikan hakikat manusia sebagai konsumer dan pelanggan melalui sejumlah kebijakan yang mengangkat manusia yang berada di posisi korban dan mangsa.(Ndraha, 2006:444)

Penyebutan penduduk sebagai subjek dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 secara eksplisit menunjukkan pengakuan negara terhadap entitas asli bangsa Indonesia. Terlebih pada pengakuan terhadap eksistensi manusia. Sebab diatas individu-individu yang mandiri, terdapat penduduk, suatu himpunan manusia yang menetap pada suatu wilayah, tanpa membawa simbol, tanpa membawa identitas, tanpa membawa atribut apapun. Satu-satunya kepentingan yang dibawa adalah menduduki sebuah lahan, menetap, dan mendapatkan kehidupan di sekitar mereka. Sebutan penduduk memiliki posisi yang netral untuk menyebut sekumpulan manusia daripada sebutan masyarakat yang selalu diikuti kata keterangan. Kata keterangan terasing, pedesaan, perkotaan, barat, timur, adat, modern dan lain sebagainya yang mengikuti kata masyarakat menunjukkan besarnya peran identitas, terutama identitas bentukan, yang dilekatkan pada kesatuan manusia.

Namun pendefinisian yang membumi tidak serta merta menjelaskan maksud dan arah dari kebijakan itu sendiri. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 terbaca bahwa niatan negara mengatur penduduk yang


(12)

menempati suatu wilayah yang memiliki pemerintahan terendah langsung di bawah camat berkaitan dengan dua agenda. Agenda pertama adalah menyeragamkan entitas asli dimaksud yang semula beraneka ragam, warisan pemerintah kolonial. Agenda kedua, adalah mensukseskan agenda pembangunanisme rezim orde baru yang telah dibingkai dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian menjadi jelas bahwa agenda kedua adalah tujuan akhir yang harus dicapai melalui pencapaian agenda pertama.

R. Yando Zakaria (2004:5) secara tepat menusuk jantung kebijakan negara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 ketika menulis :

Dengan kata lain, Pemerintah “membungkus” keengganannya untuk memberikan otonomi kepda desa sebagai organisasi sosial melalui pendefinisian sekedar “pemerintahan desa”. Dengan demikian pemerintah bisa berkelit bahwa UU tidak mengatur desa (sebagai persekutuan sosial) melainkan hanya mengatur aspek kepemerintahannya saja. Padahal, kita tahu bahwa inti dari governance system dari desa adalah soal kepemerintahan itu.

Perubahan arah dari definisi menuju tujuan kebijakan pada akhirnya meninggalkan desa pada kondisi kenangan semata. Ketika desa disebut, yang terbayang adalah profil bermuka dua. Muka yang satu adalah gambaran “mooi indie” dengan hamparan sawah menguning, petani bertopi kerucut, anak-anak berlarian menarik layang-layang atau nelayan yang pulang meluat menjemput senyum keluarga penuh harapan. Gambaran yang ditampilkan penuh haru biru pada penutup acara televisi di era 1970-1980. Tapi muka yang lain adalah


(13)

gambaran perampasan hak-hak desa atas nama pembangunan. Desa tidak lagi memiliki hak apapun selain hak atas apa yang mereka percayai.

Andai analisis terhadap desa ditarik lebih jauh melewati periode Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka dapat ditandai pencederaan hak-hak desa dan penduduk yang menetap atas wilayah itu oleh negara secara lebih jeli. Lima tahun sebelum Undang-Undang Pemeriantahan Desa disahkan, negara telah melumpuhkan sumber air penduduk desa melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Pasal 2 Undang-Undang Pengairan secara jelas memutuskan penguasaan desa atas sumber air. Semangat yang tertuang dalam pasal-pasal undang-undang ini selalu mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Namun kebijakan yang lahir dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 mengakhiri hak desa atas sumber air.

Mundur ke tahun 1967, saat rezim Soekarno masih berkuasa, hak desa dalam mengelola hutan telah diberangus. Terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, dalam arti yang ekstrim, menyudahi masa pengembaraan suku-suku di hutan Kalimatan, Papua, dan wilayah lainnya dimana hutan masih dipandang sebagai wilayah keramat yang harus, secara berasamaan, disembah dan ditaklukan. Pasal 2 Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menyebutkan hak negara untuk menetapkan status hutan berdasarkan kepemilikan. Suatu kelompok status yang jauh dari pemahaman penduduk desa. Apa yang mereka pahami kemudian hanyalah, mereka akan ditangkap jika menebang sebatang pohon untuk kayu bakar, tetapi pengusaha hutan dilindungi jika membabat berhektar-hektar hutan.


(14)

Namun titik pelumpuhan desa yang paling diingat dan berkesan mendalam tentu terjadi pada tahun 1960. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria secara masif menghilangkan hak-hak penduduk atas tanah komunal. Pasal 3 undang-undang ini tetap mengakui hak ulayat yang dimiliki desa atas tanah, tetapi hak itu harus ditafsir sejalan dengan kepentingan negara. Undang-undang ini terbit beberapa bulan setelah berakhirnya konflik elit negara melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden 1959 secara politik merupakan tapakan transisi negara memasuki era demokrasi terpimpin. Bagi desa, makna dekrit itu lebih jauh. Dekrit Presiden menyudahi hidup Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang secara eksplisit dalam pasal 16 konstitusi dimaksud menyebutkan tidak dapat digugatnya kediaman siapapun yang hidup dalam Negara Republik Indonesia. Suatu pengakuan atas entitas asli serta kehidupannya yang bertahan hanya sepuluh tahun. Menelaah isi pasal Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria berarti menunjukan tujuannya untuk membonzai hak penduduk desa sebagaimana termaktub dalam pasal 16 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950.

Ironisnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dari kacamata keberpihakan pihak yang memerintah kepada pihak yang diperintah, merupakan langkah mundur dari Agrarische Wet 1870. Semangat dasar Agrarische Wet 1870 adalah mencegah pencaplokan tanah komunal oleh negara kolonial yang saat itu gemar mengembangkan komoditi unggulan pasar dunia. Semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, justru


(15)

sebaliknya. Bara pergolakan diam-diam penduduk desa akibat pemberlakuan undang-undang ini berubah menjadi nyala api yang berkobar hingga pertengahan 1960 manakala konflik antara elit Partai Komunis dan elit partai-partai agama menjadi bahan bakar yang efektif ditengah suasana tidak menentu. Peristiwa 30 September 1965, dari perspektif hubungan negara dan desa, adalah puncak dari keretakan hubungan para penguasa dan orang-orang yang dikuasai. Ketidaksenangan rakyat akibat hilangnya tanah komunal mereka dikipasi dengan efektif oleh Partai Komunis. Tidak mengherankan bahwa benih komunisme yang tumbuh subur di awal revolusi kemerdekaan bersemi bersamaan dengan berlakunya undang-undang yang sering disebut singkat ”Pokok-Pokok Agraria”.

Ketika di tahun 1979 terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, produk ini hanyalah pelengkap dari kebijakan yang memarginalkan desa seraya tetap berupaya mempertahankan eksistensi penduduk di aras pendefinisian. Secara teknis, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, berakhir sudah semua cerita tentang desa dan penduduk desa. Namun tidak juga tepat jika dikatakan pemasungan desa dimulai dari undang-undang ini.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah hadir sebagai bagian dari paket reformasi politik dua dasawarsa berikutnya mengenakan periskop berbeda dalam melihat desa. Dalam undang-undang ini, desa dimaknai sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional


(16)

dan berada di Daerah Kabupaten. Penyebutan subjek kesatuan masyarakat hukum jelas mengandung makna identitas-identitas bentukan.

Identitas bentukan ini merupakan warisan kolonial Belanda yang memandang hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah berada dalam koridor hukum. Hanif Nurcholis (2011:13) mengutip pendapat Ter Haar, mengartikan masyarakat hukum adat (adatrechtgemeenschap) sebagai sekumpulan orang yang teratur, bersifat tetap serta memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengurus kekayaannya sendiri berupa benda-benda, baik kelihatan maupun tidak kelihatan.

Pendefinisian desa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 melangkah mundur dibanding Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Tetapi arah kebijakan negara terhadap desa mengalami kemajuan signifikan. Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 angka 9 menyebutkan bahwa pengaturan mengenai desa didasarkan atas pemikiran tentang keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Dibawah undang-undang ini, pembentukan desa diserahkan kepada masing-masing daerah Kabupaten/Kota dimana desa berada. Ciri keanekaragaman yang pernah diangkat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, dihidupkan kembali dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Negara dengan demikian tidak lagi mengurusi pembentukan desa. Desa didorong untuk berkembang dalam semangat lokalitas dengan menggali akar budaya dan adat istiadat setempat.


(17)

Lima tahun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Desa kembali berada dibawah pengurusan negara melalui penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Desa dalam undang-undang ini diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota. Lebih lanjut dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, nampak jelas peran negara dalam pembantukan desa manakala pasal-pasal persyaratan teknis pembentukan kembali mengedepan.

Undang-undang ini, masih mempertahankan definisi lama tentang kesatuan masyarakat hukum, hanya saja motif pengaturan negara atas desa sebagaimana pernah ada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 juga dihidupkan kembali. Alih-alih menata, kebijakan baru ini justru memberi tempat bagi ungkapan Yando Zakaria (2004:17) ”dari interaksi ke intervensi”. Uniknya, pembesaran peran negara ini dipandang ambigu oleh pemerintahan desa. Pada saat kebijakan meneriakan pengaturan yang efektif, pemerintah desa melawan dengan semangat otonomi desa. Namun disaat kebijakan mengarah pada pemilihan secara sengaja jari-jari dari lengan pemerintah di desa, pemerintah beramai-ramai menuntut pengangkatan dirinya menjadi pegawai negeri sipil.

Semua gejala ini, mengukuhkan asumsi masih diperlukannya dikotomi Tonnies tentang ciri gemeinschaft diseberang gesellschaft bukan saja dalam bentuk yang dikonstruksikan Tonnies, namun jauh merambah dalam vegetatif


(18)

kognisi pengambil kebijakan. Pada situasi-situasi tertentu, desa diperlakukan dan diposisikan sebagai negeri indah permai rukun damai berpagar nilai luhur bangsa. Pada situasi lain, desa berada dalam kedudukannya sebagai kelanjutan kekuasaan negara atas masyarakat.

Penting untuk menambahkan catatan panjang sejarah perkembangan desa mengatasi syarat-syarat teknis pengembangan desa guna memberi cetak tebal pada frase yang diulang senior saya di ruangan kerja ”desa dibentuk atas prakarsa masyarakat”. Frase ini seringkali digunakan sesuai kepentingan pihak penafsir. Desa-desa yang dibentuk dengan tujuan-tujuan politis akan berjuang mati-matian agar frase ini tidak sekedar diberi cetak tebal, tetapi juga diberi garis bawah dan diwarnai stabilo. Sementara desa-desa yang dibentuk dalam program pemerintah melipat frase ini dan memasukannya ke dalam saku sambil menunjuk ayat kedua dari pasal yang sama yang berbicara tentang syarat-syarat teknis.

Hanya sedikit desa yang menggunakan kombinasi faktor ”prakarsa masyarakat” dan ”syarat teknis” dalam proses pembentukannya. Paralel dengan negara yang berdasarkan alasan efektivitas pengaturan serta pembinaan memandang desa sebagai sebuah objek bernama tunggal, berjenis tunggal, beradat tunggal, bersistem tunggal, dan proyek penyeragaman lainnya.

Andai disadari, persoalan pengembangan desa sejatinya merupakan pertama-tama titik strategis dalam rangka pembangunan nation, selanjutnya adalah sasaran akhir dari pencapaian tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.


(19)

Desa sebagai titik strategis pembangunan nation berkaitan dengan kebijakan perlindungan terhadap local genius dalam entitas manusia paling orisinil. Menjaga orang flores tetap mencintai adat istiadat mereka sambil menghormat ke arah bendera merah putih merupakan problem yang pertama-tama ditangani di level desa. Bersamaan waktunya, penanganan masalah seperti kemiskinan, buta huruf, kekurangan pangan, tidak berdaya, kurang partisipasi dan lain sebagainya digeser dari ruang mewah hotel-hotel berbintang di Ibukota ke rumah reot para petani, ke lumbung usang orang desa, dan ke sawah berlumpur menghampar menghijau.

Persoalan kita terhadap agenda-agenda mulia di atas berpangkal pada satu saja persoalan: kognisi. Perkembangan masyarakat dan negara, yang didalamnya melibatkan rekayasa, hampir tidak dapat tidak, memanipulasi kognisi publik tentang desa. Apa yang, sekali lagi diulang, tertanam dalam insight kita adalah bahwa desa paling kurang bersifat tunggal dan seragam. Pemahaman yang bertolak belakang dari fakta.

Desa, sebagai wilayah yang ditempati sejumlah penduduk, sejatinya adalah cetak biru evolusi manusia. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Dari desa, sungai evolusi masyarakat membentuk cabangnya. Seperti Tigris, Efrat, Pison dan Gihon dalam kisah sungai di taman firdaus, desa terbentuk dalam empat atau mungkin banyak sekali tipe dasarnya.

Penemuan antropologis, meskipun mengandalkan sedikit sekali bukti, membantu dalam membangun konstruksi hipotetis pengembangan desa. Khusus di Indonesia, Koentjaraningrat (2004:3) berkeyakinan telah ada manusia yang


(20)

mendiami pulau-pulau nusantara sewaktu dataran Sunda masih merupakan daratan, ketika Asia Tenggara bagian benua dan bagian kepulauan masih bersambungan. Penduduk dataran Sunda ini, demikian Koenjaraningrat, memiliki ciri fisik tubuh yang berbeda dari manusia Indonesia sekarang. Nenek moyang kita ini disebut Pithecanthropus Erectus. Mereka hidup berkelompok. Sebagian dari kelompok itu mendiami desa-desa di lembah sungai bengawan Solo. Kehidupan sehari-hari mereka diisi dengan aktivitas berburu dan meramu. Perkakas penting penunjang kehidupan nenek moyang kita adalah alat pemukul dari kayu dan alat pemotong dari batu.

Menilik kesamaan bentuk fisik serta peralatan harian, antropolog menduga, adanya unsur kesamaan antara Pithecanthropus Erectus yang hidup di nusantara dengan jenis yang sama yang ditemukan di Peking dan beberapa tempat di Asia Timur. Manusia asli ini mengalami proses evolusi menjadi jenis homo dengan tetap mempertahankan pola kehidupannya. Penemuan homo di Ngandong (Homo Soloensis) dan Wajak (Homo Wajakensis) memperlihatkan adanya pola penyebaran ras manusia ini pada area yang luas. Nenek moyang bangsa asli Australia juga termasuk dalam ras ini.

Nenek moyang manusia di atas menyebar baik ke arah timur maupun ke arah barat. Sebelum kala Es ke-4 berakhir, ras ini mencapai tanah Papua. Di pulau raksasa ini, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil di tepi sungai, mulai belajar menangkap ikan, berburu rusa serta meramu. Mereka membangun rumah dari bahan kecil dan ringan serta membentuk perkampungan. Mereka juga mengembangkan peralatan berburu serta alat keperluan sehari-hari seperti sendok


(21)

dan alat tusuk juga peralatan batu lainnya. Koentjaraningrat (2004:5) menyebut perkampungan mereka sebagai tempat perlindungan di bawah karang (abris sous roches). Kenyataannya, pemukiman manusia itu merupakan karang atau gua dengan himpunan tanah di dasarnya, mengandung bekas alat batu, tulang dan kerang zaman dahulu. Manusia ini menyebar di Irian, Kei, Seram, dan Sulawesi Selatan, dan jauh keluar ke kepulauan Melanesia. Penyebaran ras ini semakin jauh ketika mereka berhasil mengembangkan sebuah kebudayaan pantai dengan perahu lesung bercadik. Berawal dari penggunaan peerahu ini di daerah rawa-rawa, pada saat cuaca cerah, mereka mulai menjelajah pulau-pulau di hadapan mereka.

Ras ini kemudian dikenal dengan nama manusia Austro-Melanesoid. Mereka menetap di bagian barat Indonesia maupun bagian timur Indonesia. Perbedaan antara mereka yang hidup di barat dan di timur Indonesia adalah manusia di Indonesia bagian barat suka makan kerang. Suatu tumpukan sampah kerang dalam jumlah besar ditemukan pada situs-situs pemukiman mereka. Para ahli menyebut sampah ini sebagai sampah dapur atau kjokkenmoddinger. Manusia yang hidup di Sumatera Timur, Sumatera Utara, Aceh dan Malaysia juga memiliki pola perkampungan seperti ini.

Kisah perjalanan manusia di nusantara serta pembentukan pola pemukiman mereka pertama kali dapat dipandang sebagai bentuk pertama dari desa di Indonesia. Model pemukiman ini, dalam arti yang sangat terbatas, masih dapat ditemukan di lingkungan masyarakat terasing di bagian timur kepulauan Indonesia. Suatu penanda dari kehidupan sebelum manusia mengenal sistem bercocok tanam.


(22)

Perkembangan selanjutnya, terjadi proses penyebaran manusia ke berbagai penjuru. Dalam kurun waktu antara 11.000 sebelum masehi, Ras Austro-Melanesoid menyebar di seluruh Australia bersamaan dengan persebaran orang Papua ke pulau-pulau di sebelah baratnya, serta pergerakan nenek moyang di Jawa ke arah barat memasuki vietnam utara dan sebaliknya. Seribu tahun setelah masa itu, terjadi percampuran ras manusia ketika orang-orang dengan ciri ras Mongoloid mulai mendesak masuk dari Jepang, terus ke Taiwan, Filipina hingga Sulawesi. Selama delapan ribu tahun, dimulai pada 10.000 SM hingga 2.000 SM, percampuran antara ras Mongoloid dan orang Austro-Melanesoid terjadi. Orang-orang ras Mongoloid yang berambut hitam lurus , bermata sipit, bertubuh lebih kecil, dan – untuk sebuah ciri yang masih belum disepakati sepenuhnya – berkulit kuning datang dengan membawa ciri berburu yang baru. Mata panah orang Mongoloid yang lebih kecil diberi batu bergigi sebagai ciri kebudayaan mereka.

Mempertimbangkan hal-hal detail dari ciri sebuah ras, pengaruh yang dibawa serta bukti-bukti yang ditinggalkan, cerita tentang hilir mudik persebaran manusia di nusantara mengedapan lebih sebagai lukisan kasar daripada sebuah bentuk rinci dengan plot-plot adegan yang dapat dibaca.

Setelah ribuan tahun dua ras manusia di atas bercampur, masuk sebuah ras baru dari Asia Tenggara ke nusantara. Ras ini mengandung banyak ciri Mongoloid. Bahasa induk ras ini sama dengan keluarga bahasa Kadai (bahasa yang digunakan di Cina Selatan, Hainan dan Taiwan), bahasa Cham (yang digunakan di Vietnam), dan bahasa Austronesia (yang digunakan orang di Samudra Indonesia dan pasifik). Orang-orang ini, oleh karena bahasa yang


(23)

digunakan disebut orang Proto-Austronesia. Merekalah pembawa kebudayaan baru di nusantara.

Orang Proto-Austonesia sudah mengenal sistem bercocok tanam, meskipun tanpa irigasi. Mereka mengembangkan pola ladang berpindah serta mengembangkan tanaman keladi dan ubi jalar. Kebudayaan kapak lonjong di nusantara berasal dari ras ini. Kapak lonjong menjadi alat bantu mereka dalam membuka lahan serta menanam. Pencapaian teknologi baru ini, juga bahasa, menjadi kekuatan orang Proto-Austronesia untuk menyebar mulai dari lembah-lembah sungai di Cina Selatan, menyeberang ke kepulauan pasifik selatan seperti Taiwan, Jepang, Filipina, Sulawesi Utara, Halmahera dan Maluku Selatan. Pola menanam orang Proto-Austronesia di Halmahera kemudian menyebar masuk menjadi pola menanam orang-orang Papua, bersamaan dengan masuknya bahasa mereka tanah Papua. Dari pola persebaran tehnik bercocok tanam dan bahasa inilah dapat dimengerti mengapa terdapat banyak bahasa yang berbeda-beda yang digunakan penduduk di kepulauan Maluku, Papua, dan kepulauan Melanesia lainnya.

Gelombang orang Proto-Austonesia yang lain memasuki wilayah bagian barat Indonesia melalui semenanjung Melayu. Dari tempatnya di lembah-lembah sungai di Cina Selatan, mereka bergerak ke arah selatan, masuk ke arah hilir sungai besar, terus ke semenanjung Melayu, menduduki Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara, Flores, Sulawesi dan masuk ke Filipina. Tetapi gelombang orang ini tidak pernah mencapai Indonesia bagian timur. Dari gelombang manusia inilah induk bahasa melayu berasal.


(24)

Dari jejak yang ditinggalkan orang Proto-Austronesia dalam kebudayaan penduduk nusantara, model desa dan pemukiman kedua dapat ditandai, yaitu suatu model pemukiman penduduk lahan berpindah yang tidak melulu tergantung pada alam sekitarnya. Desa model ini masih jamak di temui hingga kini. Penduduk Indonesia di daerah-daerah pedalaman masih mempertahankan pola kehidupan berpindah dengan sistem pertanian ladang tanpa irigasi. Kepercayaan terhadap hubungan antara manusia dan alam sekitar menyumbang banyak bagi bertahannya sistem desa semacam ini.

Kebudayaan padi menandai dimulainya zaman yang lebih baru bagi Indonesia. Kebudayaan padi berasal dari negeri-negeri di Indocina. Bernard Philippe Groslier (2007:14) menunjuk orang-orang Dong-Son di Indocina sebagai kelompok petani handal yang mengembangkan jenis tanaman ini dalam sistem pertanian mereka dan menyebarkannya ke wilayah Asia Tenggara. Orang Dong-Son berasal dari kelompok ras Austronesia yang berkembang pesat antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Dalam perkampungan mereka orang-orang ini menanam padi, beternak kerbau dan babi serta membangun rumah panggung besar dengan atap melengkung. Koentjaraningrat (2004:17) menunjuk pegunungan Assam Utara atau Birma Utara sebagai tempat kelahiran pertanian padi. Sementara para peniliti Cambridge University lebih memilih India, daripada Cina, sebagai asal jenis tanaman pertanian ini.

Situs Ulu Leang merupakan jejak sawah padi tertua di Indonesia yang diperkirakan muncul pada tahun 500 Masehi. Tetapi padi telah berkembang di Indonesia pada periode 2000 hingga 1400 SM. Varian padi tanah basah bergerak


(25)

dari Jawa ke Filipina pada kira-kira tahun 1000 SM. Perkembangan padi di Jawa didukung oleh suburnya lahan pertanian hasil vulkanisasi gunung api aktif yang tersebar di pulau itu.

Sejak padi memasuki nusantara, pola lahan berpindah beralih menjadi pola lahan menetap, yang mengakibatkan terciptanya sistem desa yang lebih permanen. Perkembangan desa dalam struktur masyarakat pertanian padi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan feodal di Jawa. Tetapi Lombard (2005:11) mencegah kesimpulan terburu-buru tentang peranan padi dalam pembentukan feodalisme. Bagi Lombard, terdapat banyak tipe tanaman yang dikembangkan dalam lingkungan pemukiman, yang mengharuskan ditariknya kesimpulan tentang beragam jenis, ciri dan tipe desa di pulau Jawa, berikut perannya dalam pembentukan kerajaan feodal yang lamban.

Desa pertanian padi, adalah cabang keempat dari sungai evolusi desa di Indonesia. Desa terindustrialisasi yang tumbuh beriringan dengan perkembangan Islam di utara pulau Jawa dapat dipandang sebagai model yang tumpang tindih dengan desa-desa pesisir yang telah terhubung dengan jalur perdagangan. Tidak mudah untuk menentukan ciri pokok dari ketiga model desa terakhir. Sistem kepercayaan, hubungan elit, struktur sosial serta pola kepemilikan tanah dalam desa-desa ini merupakan warisan model masyarakat dalam desa-desa yang lebih tua. Sementara lembaga-lembaga sosial dan pemerintahan merupakan campuran antara tradisi asli, Hindu-Budha, Islam, dan Barat.

Dari bagian singkat ini, jelas bagi kita bahwa paling tidak, secara historis, desa-desa memiliki beberapa model atau mungkin lebih tepat disebut tipe.


(26)

Pertama, desa dengan sistem pemukiman berpindah yang tergantung pada alam. Kedua, desa dengan sistem pemukiman menetap dengan pertanian ladang. Ketiga, desa dengan sistem pemukiman menetap dengan pertanian padi. Keempat, desa dengan sistem pemukiman menetap dengan ditopang industri rumah tangga dan perdagangan skala kecil.

Menentukan Ukuran Pengembangan Desa

Desa, kata yang sekarang digunakan untuk menunjuk tempat bermukimnya penduduk berasal dari bahasa Sansekerta “deca” yang bermakna tempat, daerah, atau lapangan. Bahasa Sansekerta masuk ke wilayah nusantara bersamaan dengan masuk dan meluasnya pengaruh budaya Hindu yang berasal dari India. Penggunaan kata ini secara meluas di Jawa pada periode sebelum kedatangan Belanda menyebabkan Kern dan Van Den Berg berkesimpulan bahwa desa adalah lembaga hasil Hinduisasi (Hanif Nurcholis,20115). Namun semua penulis sejarah berkesimpulan sebaliknya. Desa adalah bagian dari evolusi manusia dan kebudayaan.

Penelitian Thomas A. Reuter menunjukan bahwa kata yang digunakan oleh penduduk nusantara untuk menunjuk pemukiman primer semacam itu adalah “banua” yang berarti kawasan. Reuter (2005:38) menjelaskan:

Istilah “kawasan” itu berguna sebagai titik tolak karena mengandung konotasi kewilayahan yang penting, bukan saja “banua” itu kata dari bahasa Bali tetapi juga kata-kata yang seasal dengannya dalam bahasa-bahasa Melayu-Polinesia. Refleks-refleks dari rekonstruksi Proto-Austronesia banua dalam bahasa-bahasa ini biasanya memberikan gagasan dari sebuah wilayah yang berbatas: sebuah kawasan, desa, atau daerah hunian lebih kecil. Misalnya dalam bahasa Jawa Kuno, wanua atau wanwa berarti sebuah desa; di Iban menoa rumah adalah kawasan dari rumah


(27)

yang panjang itu; di Bidayuh, binua adalah sebuah desa yang terdiri atas beberapa rumah panjang; di Ngada (Sara-Sedu), sebuah nua adalah sebuah desa atau kawasan ritual; di Lio nua adalah sebuah wilayah, kawasan atau masyarakat ritual; dan di Paluĕ, nua lua menunjuk pada pulau Palue.

Reuter masih menambah daftar varian kata dimaksud yang digunakan di beberapa tempat lain dengan makna yang sama. Di Goodenough, orang menyebut manua untuk menunjuk desa tempat tinggal. Orang-orang Vanuatu di Ambai Timur, Tonga, dan Fiji, yang terletak jauh di timur, menyebut vanua atau fanua untuk bentangan tanah atau wilayah. Di Selandaia Baru kata whenua dialamatkan pada tanah dari kelompok keluarga besar setempat. Masyarakat Toraja menyebut banua, orang Banggai menyebut bonua, di Wolio disebut banua, orang Molima mengatakannya dengan istilah vanua dan masyarakat Wusi-Mana menyebutnya wanua.

Menilik daftar istilah Reuter, dapat dipahami mengapa Kern dan Van Den Berg mengarahkan kesimpulannya terhadap hubungan desa dan Hinduisasi. Persis sama dengan kesimpulan Raffles saat menerima hasil penelitian Muntinghe. Pada kenyataannya, sebagaimana tergambar dalam bab terdahulu, perkembangan agama Hindu mendorong kemajuan berbagai aspek sosial penduduk nusantara, tidak terkecuali desa dan pranata sosialnya. Pengalaman Hindu paling mendalam dan tidak terbantahkan bagi nusantara adalah dimulainya masa sejarah. Tulisan, sebagai bukti adanya masyarakat beradab, bagi nusantara datang dari kerajaan-kerajaan beragama Hindu. Selama kurun waktu kurang lebih 1.400 tahun Hindu menancapkan pengaruhnya di nusantara, jejaknya hampir-hampir tidak terhapus,


(28)

baik dalam sistem kepercayaan, pandangan hidup, hingga kelembagaan masyarakat, terutama dalam masyarakat desa.

Satu dari bukti betapa kuatnya jejak Hinduisme di desa adalah kepercayaan orang desa tentang sejarah desa. Orang-orang Bali, tulis Reuter (2004:40-51), percaya bahwa desa pertama-tama dihuni oleh para mahluk halus (wong alus) yang hidup ditengah belantara. Mahluk halus ini tidak dapat dilihat dan berasal dari zaman tanpa waktu atau niskala. Ketika leluhur manusia mulai merambah hutan dan menebang pepohonan, mereka mengganti peran para mahluk halus ini. Para leluhur kemudian menetapkan aturan yang diwariskan bagi kaum keturunannya. Bukan hanya di Bali. Fenomena yang ditemui di Indonesia, dalam semua desa yang memelihara sistem adat, adalah pentingnya peran para leluhur. Leluhur seringkali dipandang sebagai manusia setengah dewa. Mereka digambarkan mampu menundukan raksasa, mengalahkan hewan buas, menangkap petir, serta hal-hal menakjubkan lainnya.

Karena konsep-konsep kepercayaan tua yang ditingalkan di desa, didongengkan secara turun temurun, dan untuk sebagian diyakini kekuatannya, sangat mudah bagi kita untuk menunjukkan secara tepat perbedaan desa asli dari desa bentukan. Dongeng dan cerita rakyat hanya hidup dalam lingkungan desa asli dimana adat dan kepercayaan dipandang penting. Desa-desa bentukan tidak menganggap penting kisah semacam ini.

Pemerintah, dalam kebijakan pengembangan desa, juga memilih cara yang sama dengan masyarakat desa bentukan dalam melihat mitos dan legenda. Tidak juga model-model desa hasil perkembangan peradaban yang terdiri atas (a) desa


(29)

dengan sistem pemukiman berpindah yang tergantung pada alam, (b) desa dengan sistem pemukiman menetap dengan pertanian ladang, (c) desa dengan sistem pemukiman menetap dengan pertanian padi dan (d) desa dengan sistem pemukiman menetap dengan ditopang industri rumah tangga dan perdagangan skala kecil juga tidak dipandang penting. Bahkan klasifikasi Desa Perdikan, Desa Mutihan, Desa Pakuncen dan Desa Mijen juga dikesampingkan.

Pendekatan kuantitatif seperti jumlah penduduk, jarak desa dengan pusat kota kabupaten (orbitasi), potensi sumber daya serta usia penyelenggaraan desa induk yang minimal mencapai 5 tahun lebih mudah diacu dalam pengembangan desa. Hanya saja, syarat-syarat ini memiliki dua kelemahan mendasar.

Pertama, pada level implementasi, syarat-syarat ini diabaikan begitu saja. Alasan mengapa syarat ini diabaikan adalah fakta bahwa (a) ukuran-ukuran yang lebih teknis dan rinci tidak tersedia, (b) pihak atau lembaga yang memahami ukuran-ukuran ini terbatas, kecuali pihak perguruan tinggi, (c) biaya penelitian untuk mengukur perkembangan variabel-variabel yang disyaratkan tidak murah, (d) waktu penelitian yang cukup panjang, dan (e) ketidakpahaman aparat desa terhadap variabel yang disyaratkan.

Kedua, syarat kuantitatif ini secara mendasar memasung makna kata ”prakarsa masyarakat” yang justru disebut lebih dulu. Entah pendapat ini datang dari para politisi yang bersemangat mengembangkan desa demi tujuan pembentukan kantong suara, atau berasal dari calon elit desa yang bersemangat hendak memiliki jabatan terhormat, ”prakarsa masyarakat” sebagai syarat utama selayaknya mendapat tempat yang lebih baik daripada sekedar mantra.


(30)

Apa yang dimaksud dengan ”prakarsa masyarakat” adalah peran nyata Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam proses pengembangan desa. Pengembangan desa sendiri mencakup aktivitas yang disebut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 yaitu (a) pembentukan desa, (b) penghapusan desa, (c) penggabungan desa, dan (d) perubahan status desa menjadi kelurahan. Dalam kebijakan dimaksud, peran BPD terbatas pada akitivitas (a) menerima usul masyarakat tentang pembentukan desa, dan (b) mengadakan rapat bersama Kepala Desa membahas usulan masyarakat yang selanjutnya dituangkan dalam berita acara rapat.

Langkah selanjutnya lebih menunjukkan peran pemerintah tingkat atas. Setelah kepala des menyampaikan usulan pembentukan desa kepada Bupati/Walikota, maka sebuah tim gabungan yang didalamnya terdapat unsur Kabupaten/Kota dan Kecamatan dibentuk untuk memfasilitasi pengembangan desa. Tim melakukan observasi ke desa. Hasil observasi adalah hasil persetujuan atau ketidaksetuan pengembangan desa.

Persyaratan teknis lain dari pembentukan desa yang disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah usia penyelenggaraan pemerintahan – dari desa induk – minimal 5 tahun. Sebuah desa induk dapat dimekarkan setelah masa penyelenggaraan pemerintahan, minimal telah mencapai usia 5 tahun.


(31)

Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Kalimat yang mengikuti frasa prakarsa masyarakat dalam pasal ini tidak dapat disebut sebagai syarat pembentukan. Sebaliknya, kalimat ini justru menegaskan alasan mendasar mengapa masyarakat mengajukan prakarsa pembentukan desa.


(1)

Pertama, desa dengan sistem pemukiman berpindah yang tergantung pada alam. Kedua, desa dengan sistem pemukiman menetap dengan pertanian ladang. Ketiga, desa dengan sistem pemukiman menetap dengan pertanian padi. Keempat, desa dengan sistem pemukiman menetap dengan ditopang industri rumah tangga dan perdagangan skala kecil.

Menentukan Ukuran Pengembangan Desa

Desa, kata yang sekarang digunakan untuk menunjuk tempat bermukimnya penduduk berasal dari bahasa Sansekerta “deca” yang bermakna tempat, daerah, atau lapangan. Bahasa Sansekerta masuk ke wilayah nusantara bersamaan dengan masuk dan meluasnya pengaruh budaya Hindu yang berasal dari India. Penggunaan kata ini secara meluas di Jawa pada periode sebelum kedatangan Belanda menyebabkan Kern dan Van Den Berg berkesimpulan bahwa desa adalah lembaga hasil Hinduisasi (Hanif Nurcholis,20115). Namun semua penulis sejarah berkesimpulan sebaliknya. Desa adalah bagian dari evolusi manusia dan kebudayaan.

Penelitian Thomas A. Reuter menunjukan bahwa kata yang digunakan oleh penduduk nusantara untuk menunjuk pemukiman primer semacam itu adalah “banua” yang berarti kawasan. Reuter (2005:38) menjelaskan:

Istilah “kawasan” itu berguna sebagai titik tolak karena mengandung konotasi kewilayahan yang penting, bukan saja “banua” itu kata dari bahasa Bali tetapi juga kata-kata yang seasal dengannya dalam bahasa-bahasa Melayu-Polinesia. Refleks-refleks dari rekonstruksi Proto-Austronesia banua dalam bahasa-bahasa ini biasanya memberikan gagasan dari sebuah wilayah yang berbatas: sebuah kawasan, desa, atau daerah hunian lebih kecil. Misalnya dalam bahasa Jawa Kuno, wanua atau wanwa berarti sebuah desa; di Iban menoa rumah adalah kawasan dari rumah


(2)

yang panjang itu; di Bidayuh, binua adalah sebuah desa yang terdiri atas beberapa rumah panjang; di Ngada (Sara-Sedu), sebuah nua adalah sebuah desa atau kawasan ritual; di Lio nua adalah sebuah wilayah, kawasan atau masyarakat ritual; dan di Paluĕ, nua lua menunjuk pada pulau Palue.

Reuter masih menambah daftar varian kata dimaksud yang digunakan di beberapa tempat lain dengan makna yang sama. Di Goodenough, orang menyebut manua untuk menunjuk desa tempat tinggal. Orang-orang Vanuatu di Ambai Timur, Tonga, dan Fiji, yang terletak jauh di timur, menyebut vanua atau fanua untuk bentangan tanah atau wilayah. Di Selandaia Baru kata whenua dialamatkan pada tanah dari kelompok keluarga besar setempat. Masyarakat Toraja menyebut banua, orang Banggai menyebut bonua, di Wolio disebut banua, orang Molima mengatakannya dengan istilah vanua dan masyarakat Wusi-Mana menyebutnya wanua.

Menilik daftar istilah Reuter, dapat dipahami mengapa Kern dan Van Den Berg mengarahkan kesimpulannya terhadap hubungan desa dan Hinduisasi. Persis sama dengan kesimpulan Raffles saat menerima hasil penelitian Muntinghe. Pada kenyataannya, sebagaimana tergambar dalam bab terdahulu, perkembangan agama Hindu mendorong kemajuan berbagai aspek sosial penduduk nusantara, tidak terkecuali desa dan pranata sosialnya. Pengalaman Hindu paling mendalam dan tidak terbantahkan bagi nusantara adalah dimulainya masa sejarah. Tulisan, sebagai bukti adanya masyarakat beradab, bagi nusantara datang dari kerajaan-kerajaan beragama Hindu. Selama kurun waktu kurang lebih 1.400 tahun Hindu menancapkan pengaruhnya di nusantara, jejaknya hampir-hampir tidak terhapus,


(3)

baik dalam sistem kepercayaan, pandangan hidup, hingga kelembagaan masyarakat, terutama dalam masyarakat desa.

Satu dari bukti betapa kuatnya jejak Hinduisme di desa adalah kepercayaan orang desa tentang sejarah desa. Orang-orang Bali, tulis Reuter (2004:40-51), percaya bahwa desa pertama-tama dihuni oleh para mahluk halus (wong alus) yang hidup ditengah belantara. Mahluk halus ini tidak dapat dilihat dan berasal dari zaman tanpa waktu atau niskala. Ketika leluhur manusia mulai merambah hutan dan menebang pepohonan, mereka mengganti peran para mahluk halus ini. Para leluhur kemudian menetapkan aturan yang diwariskan bagi kaum keturunannya. Bukan hanya di Bali. Fenomena yang ditemui di Indonesia, dalam semua desa yang memelihara sistem adat, adalah pentingnya peran para leluhur. Leluhur seringkali dipandang sebagai manusia setengah dewa. Mereka digambarkan mampu menundukan raksasa, mengalahkan hewan buas, menangkap petir, serta hal-hal menakjubkan lainnya.

Karena konsep-konsep kepercayaan tua yang ditingalkan di desa, didongengkan secara turun temurun, dan untuk sebagian diyakini kekuatannya, sangat mudah bagi kita untuk menunjukkan secara tepat perbedaan desa asli dari desa bentukan. Dongeng dan cerita rakyat hanya hidup dalam lingkungan desa asli dimana adat dan kepercayaan dipandang penting. Desa-desa bentukan tidak menganggap penting kisah semacam ini.

Pemerintah, dalam kebijakan pengembangan desa, juga memilih cara yang sama dengan masyarakat desa bentukan dalam melihat mitos dan legenda. Tidak juga model-model desa hasil perkembangan peradaban yang terdiri atas (a) desa


(4)

dengan sistem pemukiman berpindah yang tergantung pada alam, (b) desa dengan sistem pemukiman menetap dengan pertanian ladang, (c) desa dengan sistem pemukiman menetap dengan pertanian padi dan (d) desa dengan sistem pemukiman menetap dengan ditopang industri rumah tangga dan perdagangan skala kecil juga tidak dipandang penting. Bahkan klasifikasi Desa Perdikan, Desa Mutihan, Desa Pakuncen dan Desa Mijen juga dikesampingkan.

Pendekatan kuantitatif seperti jumlah penduduk, jarak desa dengan pusat kota kabupaten (orbitasi), potensi sumber daya serta usia penyelenggaraan desa induk yang minimal mencapai 5 tahun lebih mudah diacu dalam pengembangan desa. Hanya saja, syarat-syarat ini memiliki dua kelemahan mendasar.

Pertama, pada level implementasi, syarat-syarat ini diabaikan begitu saja. Alasan mengapa syarat ini diabaikan adalah fakta bahwa (a) ukuran-ukuran yang lebih teknis dan rinci tidak tersedia, (b) pihak atau lembaga yang memahami ukuran-ukuran ini terbatas, kecuali pihak perguruan tinggi, (c) biaya penelitian untuk mengukur perkembangan variabel-variabel yang disyaratkan tidak murah, (d) waktu penelitian yang cukup panjang, dan (e) ketidakpahaman aparat desa terhadap variabel yang disyaratkan.

Kedua, syarat kuantitatif ini secara mendasar memasung makna kata ”prakarsa masyarakat” yang justru disebut lebih dulu. Entah pendapat ini datang dari para politisi yang bersemangat mengembangkan desa demi tujuan pembentukan kantong suara, atau berasal dari calon elit desa yang bersemangat hendak memiliki jabatan terhormat, ”prakarsa masyarakat” sebagai syarat utama selayaknya mendapat tempat yang lebih baik daripada sekedar mantra.


(5)

Apa yang dimaksud dengan ”prakarsa masyarakat” adalah peran nyata Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam proses pengembangan desa. Pengembangan desa sendiri mencakup aktivitas yang disebut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 yaitu (a) pembentukan desa, (b) penghapusan desa, (c) penggabungan desa, dan (d) perubahan status desa menjadi kelurahan. Dalam kebijakan dimaksud, peran BPD terbatas pada akitivitas (a) menerima usul masyarakat tentang pembentukan desa, dan (b) mengadakan rapat bersama Kepala Desa membahas usulan masyarakat yang selanjutnya dituangkan dalam berita acara rapat.

Langkah selanjutnya lebih menunjukkan peran pemerintah tingkat atas. Setelah kepala des menyampaikan usulan pembentukan desa kepada Bupati/Walikota, maka sebuah tim gabungan yang didalamnya terdapat unsur Kabupaten/Kota dan Kecamatan dibentuk untuk memfasilitasi pengembangan desa. Tim melakukan observasi ke desa. Hasil observasi adalah hasil persetujuan atau ketidaksetuan pengembangan desa.

Persyaratan teknis lain dari pembentukan desa yang disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah usia penyelenggaraan pemerintahan – dari desa induk – minimal 5 tahun. Sebuah desa induk dapat dimekarkan setelah masa penyelenggaraan pemerintahan, minimal telah mencapai usia 5 tahun.


(6)

Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Kalimat yang mengikuti frasa prakarsa masyarakat dalam pasal ini tidak dapat disebut sebagai syarat pembentukan. Sebaliknya, kalimat ini justru menegaskan alasan mendasar mengapa masyarakat mengajukan prakarsa pembentukan desa.