BAB II TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA

BAB II
TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA

Definisi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan
profesional di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan
maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam
melakukan upaya kesehatan. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), tenaga
kesehatan merupakan pokok dari subsistem SDM kesehatan, yaitu tatanan yang
menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta
pendayagunaan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Unsur utama dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan pelatihan,
dan pendayagunaa tenaga kesehatan.

Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan

Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya
penetapan jenis, jumlah, dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004).

Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain
bahwa pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi masyarakat.
Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis
pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, serta jenis dan jumlah yang
sesuai. Perencanaan nasional tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan.

Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa Keputusan
Menteri Kesehatan (Kepmenkes). Kepmenkes No.850/Menkes/SK/XII/2000 Tahun
2000 (Depkes 2004) antara lain mengatur tentang kebijakan perencanaan
tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan para perencanan
pemerintah, masyarakat dan semua profesi disemua tingkatan. Kepmenkes No.
81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang
pedoman penyusunan perencanaan sumberdaya kesehatan di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, serta rumah sakit. Pada Kepmenkes tersebut disediakan pula

menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan untuk dipilih sesuai
dengan kemauan dan kemampuan.


Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda
penyusunan yang dapat digunakan yaitu;
1. Health Need Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan atas epidemiologi penyakit utama yang ada pada masyarakat.
2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan atas permintaan akibat beban pelayanan kesehatan.
3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan
yang
didasarkan atas sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya
Puskesmas,
dan Rumah Sakit.
4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan
pada standar/rasio terhadap nilai tertentu.
Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan Ratios

Method dengan proses perhitungan sebagai berikut:
1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga
kesehatan dengan penduduk, dengan jumlah tempat tidur RS, dengan

Puskesmas,
2. Membuat proyeksi nilai tersebut kedalam sasaran/ target tertentu,
3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi dengan
rasio.
Contoh, ratio tenaga kesehatan: tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya
1:5000,
di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno, 2005)

Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat dikatakan
tenaga
kesehatan di Indonesia baik dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, dan mutu dan
penyebarannya masih belum memadai. Beberapa jenis tenaga kesehatan yang
baru masih
diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis tenaga kesehatan masih tergolong
langka,
dalam arti kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang karena jumlah
institusi
pendidikannya terbatas dan kurang diminati.
Pendidikan Dan Pelatihan Tenaga Kesehatan


Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya pengadaan
tenaga
kesehatan sesuai jenis, jumlah dan kualifikasi yang telah direncanakan serta
peningkatan
kemampuan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan (Depkes, 2004).
Berdasarkan PP No.32 Tahun 1996 dan Kepmenkes No.1192 Tahun 2004 (Depkes,
2004) terdapat enam kelompok pendidikan tenaga kesehatan yaitu:
1. Keperawatan yang meliputi Sekolah Perawat Kesehatan, Sekolah Pengatur
Rawat
Gigi, Keperawatan, Kebidanan, dan Kesehatan Gigi
2. Kefarmasiaan, meliputi Sekolah Menengah Farmasi, Analis Farmasi
3. Kesehatan Masyarakat (Kesehatan Lingkungan)
4. Gizi
5. Keterapian Fisik meliputi Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Akupuntur
6. Keteknisan Medis meliputi SMAK, Analis Kesehatan, Teknik Gigi, Ortotik
Prostetik, Teknik Elektro Medik, Teknik Radiologi, Pendidikan Teknologi Transfusi
Darah, Perekam dan Informatika Kesehatan, dan Kardiovaksuler.

Jumlah Institusi pendidikan tenaga kesehatan seluruhnya 846 terdiri atas
199


Politeknik Kesehatan (Poltekes) dan 647 non Poltekes. Menurut kepemilikannya,
32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah, 34 milik TNI,
dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. jumlah peserta didik seluruhnya
sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik poltekes, dan 109.833
non Poltekes.

Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan
adalah
menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dengan karakteristik sebagai
berikut:
1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain
2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik
3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana, dan
4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan penggerak
pembangunan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan tiga strategi dasar yaitu:
1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan
2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan
3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga

kesehatan.

Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah
PP No. 32 Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki
pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan
ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan
tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.

Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP
yang sama. Dalam PP ini dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui
pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan
berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin
penyelenggaraan pendidikan profesional dikeluarkan bersama oleh Departemen
Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin
penyelenggaraan pendidikan akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional.

Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga

kesehatan
antara lain:
1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang
dihasilkan
belum serasi
2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan
3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna
4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron
5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh
Pemerintah
belum sepadan dengan penyelenggaraan oleh swasta
6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum
selaras.
Penetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah
berdampak terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh
berbagai instansi
diluar Depdiknas termasuk Departemen Kesehatan. (Soeparan, 2005)

Pendayagunaan Tenaga Kesehatan


Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pembinaan,
dan
pengawasan tenaga kesehatan. Beberapa permasalahan klasik dalam
pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:
1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan
2. Penyebaran tenaga kesehatan yang kurang merata
3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan

4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik
5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap
6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.
Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling
tidak tiga periode perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992,
tenaga medis harus melaksanakan kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat
sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau dapat ditugaskan sebagai
tenaga medis di ABRI.

Masa bakti untuk PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar
Jawa. Pada periode ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter

gigi dengan menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi
oleh tenaga dokter.

Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan
demikian hampir tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya
pengangkatan tenaga medis dilakukan melalui program pegawai tidak tetap
(PTT) yang didasarkan atas Permenkes No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa
bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat
sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air.
Pada tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT
yaitu:
1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama
2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis
3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji
4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS
5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas
6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai
kerja paksa.
Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT
mempunyai ciri sebagai berikut:

1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela
2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu
3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan

4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),
domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian
5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa
bakti
6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya
belum terpenuhi
7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti
daerah
terpencil dan daerah pemekaran.
Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji
yang tidak cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan
kaya (misalnya Jabar,Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim).
Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat
karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain.

Dalah hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember 2004

jumlah dokter spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 11.057
orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420 RS. Jumlah dokter spesialis
yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat
kekurangan sebanyak 3.868 orang.

Rata-rata produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per tahun
sebanyak 509 orang. Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter
spesialis harus terlebih dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian
(PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan
masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan spesialis.
Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah
tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik minat untuk bertugas di
daerah.

Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai
tenaga yang diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan
kematian ibu melahirkan.

Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan
sistem PTT
dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:

1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah terpencil
2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan
untuk diangkat kembali sebagai bidan PTT sesuai kebutuhan.

Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah
air sebanyak 32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa
permasalahan yangberkaitan dengan Bidan PTT antara lain pada umumnya
mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan status), kompensasi
gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil dengan
sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik.
(Ruswendi, 2005)
Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana
dengan baik. Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut
dilakukan
melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi
dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan oleh komite registrasi
tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi profesi,
sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini
memerlukan dukungan peraturan perundangan yang kuat. Sampai saat ini baru
profesi kedokteran yang sudah memiliki UU Praktik Kedokteran.

Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya,
dapat dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter
umum. Akibatnya banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya
dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian
(Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian
masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya
memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang
ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien, atau
lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan
pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.

Distribusi Tenaga Kesehatan

Keterbatasan jumalh tenaga kesehatan semakini diperburuk oleh distribusi
tenaga
kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis
berada di Jawa dan Bali, provinsi lain yang memiliki banyak dokter spesialis
dibanding daerah lainnya adalah di provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi
Selatan.

Penyebaran tanaga medis di Jawa Barat menjadi prioritas pada 2009
menyusul komposisi saat ini sekitar 75 persen dari 25.000 tenaga medis di
provinsi itu masih bertumpuk di perkotaan."Tidak meratanya tenaga medis
diduga menjadi faktor pemicu tingginya angka kematian ibu dan merebaknya
penyakit menular di kawasan pinggiran Jawa Barat," kata Gubernur Jawa Barat, H
Ahmad Heryawan di Bandung, Minggu.Pemprov Jabar, kata gubernur, melalui
Dinas Kesehatan mulai 2009 melakukan penyebaran tenaga medis dari
perkotaan ke desa-desa sehingga akses kesehatan masyarakat di pedesaan
menjadi lebih dekat.
Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, terdapat
sekitar 11.000 dokter di Jawa Barat, sebanyak 70 persen diantaranya adalah
dokter umum."Dengan kondisi itu seharusnya tenaga medis di jabar sudah
memdai, namun penyebarannya tidak merata. Sekitar 75 persen dari mereka
bertumpuk di kota," kata gubernur.Penumpukan tenaga medis khususnya dokter
terjadi di kota-kota besar seperti Kota Bandung, Bekasi dan Bogor. Akibatnya
pelayanan kesehatan, khususnya di kawasan Jawa Barat Selatan sedikit
tertinggal.
Upaya yang dilakukan saat ini, dilakukan dengan melakukan program
pelatihan bidan desa yang direkrut dari putra daerah. Untuk menutupi
kekurangan SDM kesehatan, mulai 2008 lalu digulirkan bea siswa pendidikan
untuk 1.200 calon bidang desa."Setelah lulus mereka akan ditempatkan di desa
masing-masing yang membutuhkan tenaga medis. Mereka tak boleh lagi
bertumpuk di kota-kota," katanya.Selain menambah tenaga medis, Pemprov
Jabar juga mengoptimalkan program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas)."Sayangnya data penerima program Jamkesmas minim dan tidak
akurat, akibatnya terjadi salah sasaran. Yang seharusnya menerima tetapi tidak
menikmati fasilitas kesehatan secara memadai dari program itu," kata Heryawan
menambahkan.Untuk mengatasi hal itu, Pemprov Jabar menyalurkan bantuan
program peningkatan pelayanan kesehatan ke beberapa kabupaten dan kota di
provinsi itu
Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional

Secara umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan)
dapat
diidentifikasikan belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis,
kualifikasi, mutu maupun penyebarannya.

1. Jumlah dan Kualitas
Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang
bekerja di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan
pelayanan kepada sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi
untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan
terhadap penduduk yang relative masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat
2010, jumlah tenaga kesehatan akan ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun
2010, dengan harapan lebih banyak tenaga kesehatan per penduduk. Tabel 4.1
menunjukkan rasio jenis tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada
tahun 2004 dengan kondisi yang ingin dicapai pada tahun 2010 untuk beberapa
jenis tenaga kesehatan Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap
penduduk di bandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010

Dibandingkan dengan negara-negara lain, rasio tenaga kesehatan terutama
tenaga dokter, dokter gigi, perawat dan bidan terhadap jumlah penduduk di
Indonesia masih rendah terlihat dari tabel berikut.

Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi.
Berdasarkan Health System Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah
dokter per 100.000 penduduk diIndonesia adalah 15,5 dan sekitar 60-70% dokter
tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitardua per tiga dari jumlah provinsi
mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional,terendah di Maluku (7,0),
sedangkan tertinggi di DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000 penduduk di
Indonesia sebesar 32,3, terendah di Provinsi Maluku (17,5). Sedangkan
rasioperawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian
besar tenaga dokter (69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005)

Kebijakan penempatan tenaga kesehatan dengan sistem pegawai tidak
tetap (PTT) yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu menempatkan
tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gizi, dan bidan) secara merata terutama
di daerah terpencil. Pada tahun 2003 sekitar 10,6 % Puskesmas tidak memiliki
tenaga dokter. Begitu pula halnya dengan tenaga perawat dan bidan.

Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang
diharapakan apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas
2001, misalnya, menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal
di Pulau Jawa dan Bali menyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat
jalan yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan
dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi,
registrasi dan lisensi belum berjalan dengan baik.

Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra
pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum
berjalan dengan baik.Dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia,
puskesmas merupakan ujungtombak penyelenggara pelayanan kesehatan strata
pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah
kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai:
(1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,
(2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan
(3) pusat pelayanan tingkat dasar.Susenas 2004,
menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkanpenduduk
untuk berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%)
dan praktek petugas kesehatan(18,51%). Penduduk perdesaan lebih banyak
memanfaatkan Puskesmas/Pustu (42,40%), dan praktek petugas kesehatan
(23,42%) (BPS, 2004).

Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk
miskin, sedangkan pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas
yang berada di daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis
tenaga. Sebagai implikasinya, selain kemampuan masyarakat yang kurang
karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga krang optimal karena
banyaknya Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009
(RI, 2004) kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung
peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat

terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak terdapat tiga
kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan pelayanan di
Puskesmas dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu:
1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas;
2) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis; dan
3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin.

Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya,
dapat dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter
umum. Akibatnya banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya
dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian
(Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian
masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya
memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang
ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien, atau
lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan
pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.

Tingginya rasio dokter umum terhadap jumlah penduduk di daerah luar Jawa
masih
belum menjamin bahwa tenaga kesehatan tersebut dapat melayani lebih banyak
penduduk dibandingkan di Jawa, karena kendala akses penduduk terhadap
fasilitas kesehatan. Sebagai contoh walaupun rasio dokter di Irian Jaya Barat
lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur, tetapi karena
penyebaran penduduk yang tidak merata, jarak, kendala geografis, dan sarana
transportasi, masih banyak penduduk yang tidak terjangkau oleh dokter umum
dengan mudah.

2. Jenis Tenaga

Untuk jenis tenaga kesehatan tertentu seperti perawat jumlahnya sudah relatif
cukup, bahkan produksinya terus meningkat. Namun sebaliknya terdapat jenis
tenaga lain yang dapat dikatakan sebagai tenaga “langka” karena berbagai
faktor, yaitu:
1. Jumlah tenaga kurang, kebutuhannya besar;
2. Lulusannya sedikit, bidangnya tidak diminati;

3. Jumlah institusi pendidikannya kurang;
4. Kualifikasi pendidikannya terbatas (D3 atau kurang);
5. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang ditempatkan di wilayah tertentu
kurang/tidak tersedia akibat maldistribusi (misalnya dokter spesialis di daerah
terpencil).
Contoh beberapa tenaga “langka” adalah analis kesehatan, terapis wicara,
refraksionis optisien, fisioterapis, radiographer, epidemiolog, ahli human
resource

management, dan lainnya. Beberapa penyebab kelangkaan tenaga ini adalah
insentif
yang tidak menarik, jenjang karir tidak jelas, pasar tidak siap, non competence
based, dan sistem informasi yang terfragmentasi.

Disamping tenaga langka tersebut, terdapat beberapa jenis tenaga baru yang
belum ditentukan kategorinya pada PP 32/1996, antara lain kesehatan dan
keselamatan kerja,hukum kesehatan, pengobat traditional, sarjana farmasi
traditional, administrasi medik, dan audiologis.

Ketersediaan Tenaga Kesehatan Di Puskesmas

Jumlah Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri
dari 2.010 Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan.
Sedangkan jumlah seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada
tahun yang sama sebanyak 141.566 orang, dengan demikian rata-rata setiap
puskesmas dilayani oleh
18,75 tenaga kesehatan.

Yang perlu menjadi perhatian adalah pada daerah-daerah dengan rasio dokter
per puskesmas yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Papua dan Maluku. Hal
ini
menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas
kesehatan.

Kalaupun pada akhirnya dapat mengaksesnya, pelayanan yang diterima belum
memuaskan karena ketiadaan dokter umum. Meningkatkan fasilitas dan dokter
umum di daerah seperti ini mungkin menjadi mahal dan tidak memberikan daya
ungkit yang tinggi terhadap derajat kesehatan secara nasional. Akan tetapi
sebagai upya untuk memenuhi amanat undangundang dasar, pemenuhan hak
dasar rakyat akan kesehatan, dan azas keadilan, upaya untuk daerah terpencil
seperti ini perlu dilakukan dengan serius.

Tenaga kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan
ibu dan anak, terutama pelayanan kesehatan di daerah perdesaan adalah tenaga
bidan. Secara keseluruhan jumlah bidan tercatat sebanyak 48.252 orang, terdiri
dari 3.147 bidan D3, 15.056 bidan di puskesmas, dan 30.049 bidan di desa. Ratarata rasio bidan per puskesmas tidak termasuk bidan di desa) adalah 2,4. Jika
dilihat per propinsi, maka propinsi yang rasionya paling tinggi adalah Sumatera
Utara (6,4) dan Papua (5,4), sedangkan paling rendah adalah DKI Jakarta (0,0)
dan Gorontalo (0,6). Rasio tenaga bidan di desa per desa adalah 0,4.

Data ini antara lain menunjukkan bahwa kebijakan penempatan seorang bidan
untuk setiap desa secara nasional tidak atau belum terpenuhi. Jika dilihat per
propinsi, hanya satu propinsi, yaitu DKI Jakarta, yang rasio desa dengan bidan di
desa tercatat di atas 1 (1,5), sedangkan propinsi lainnya berkisar antara 0,2 –
0,8.

Tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang
penting dalam pelaksanaan program di puskesmas antara lain adalah ahli gizi,
sanitarian dan assisten apoteker. Jumlah ahli gizi yang bekerja di puskesmas
pada tahun 2004 tercatat sebanyak 4.565 orang (1.599 Gizi/D3 dan 2.966
Pelaksana Gizi), rasio ahli gizi per puksesmas dengan ahli gizi adalah 0,6.
Sementara itu, jumlah tenaga sanitarian tercatat sebanyak 4.468 orang, rasio
sanitarian per puskesmas adalah 0,6. Jumlah tenaga assisten apoteker tercatat
sebanyak 2.815 orang, dengan rasio 0,4 per puskesmas.

Kebijakan Tenaga Kesehatan

Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur
dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan. Dalam PP tersebut antara lain dinyatakan:
� Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis
pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai
(pasal 6 ayat 3);

� Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan (pasal 6 ayat 4).

Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui
Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan
Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta
Rumah Sakit.
Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu daerah dalam mewujudkan rencana
penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur penyusunan
rencana kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik,
Puskesmas, Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi,
Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi bencana (pada saat prabencana, terjadi
bencana, dan pasca bencana).
Adapun prinsip dasar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:
1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional,
maupun global;
2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi,
seimbang, dan selaras oleh Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;
3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional
dan
Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;
4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada
kesesuaian metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.

Dalam rangka pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan, Dinas kesehatan
menetapkan beberapa kriteria yang digunakan. Berikut ini adalah kriteria yang
sering
digunakan untuk menentukan penempatan tenaga dokter di puskesmas dan
persentase
kab/kota yang menggunakan kriteria tersebut.

Dokter PTT Puskesmas yang tidak ada dokter 84,2%, Rasio puskesmas terhadap
Penduduk 57,9%, Cakupan pelayanan Puskesmas 44,7%, Puskesmas Daerah
Terpencil 31,6%, Angka Kesakitan 10,5%, Lainnya 2,6%

Bidan PTT
Desa tidak ada bidan 84,2%, Desa terpencil 50,0%, Angka kesakitan 28,9%,
Lainnya 7,9%
Dari data di atas terlihat bahwa kriteria utama (84,2%) bagi lokasi penempatan
dokter dan bidan PTT adalah puskesmas yang tidak memiliki dokter atau bidan.
Penggunaan kriteria seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak puskesmas
yang tidak mempunyai dokter atau desa yang tidak mempunyai bidan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh Dinas Kesehatan
tidak menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004 untuk melakukan
perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang
telah mengikuti pedoman, metode yang paling banyak digunakan adalah Ratio
Method. Bila dihubungkan dengan kriteria penempatan dokter, justru sebagian
besar kab/kota secara sederhana mengidentifikasi puskesmas yang tidak
mempunyai dokter.

Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan
dengan lebih sederhana, yaitu dengan melihat jumlah puskemas yang tidak
mempunyai tenaga dokter. Kalaupun perencanaan dilakukan menggunakan
metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya pengusulan tenaga
dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu kekurangan
tenaga per individu puskesmas.

Dengan melihat masih banyaknya daerah yang mempunyai rasio dokter
perpuskesmas kurang dari 1, yang menunjukkan masih banyaknya puskesmas
tanpa tenaga dokter, maka bisa diduga bahwa penggunaan kriteria puskesmas
tanpa dokter dan desa tanpa bidan masing-masing untuk penempatan dokter
dan bidan, masih akan terus berlangsung hingga beberapa tahun mendatang.
Permasalahan bisa muncul, jika penempatan tenaga kesehatan terutama dokter
tidak sesuai dengan kondisi lapangan, artinya tidak pada lokasi yang telah
diusulkan oleh Dinas Kesehatan.

Hal ini mungkin terjadi seandainya tidak ada koordinasi yang baik antara BKD
dan Dinas Kesehatan. Survei menunjukkan bahwa sebagain besar repsonden
(47,4%) menyatakan bahwa kewenangan penempatan ada pada Dinas
Kesehatan atau Dinas Kesehatan dan BKD, 42,1 kab/kota menyatakan bahwa
kewenangan ini berada pada Dinas Kesehatan, 7,9% kab/kota menyatakan
bahwa kewenangan ini berada pada BKD dan 2,6% kab/kota menyatakan
kewenangan pada badan lain seperti Bupati.

Proses pengadaan dan penempatan pegawai baru saat ini, menurut kepala
Puskesmas dan tenaga kesehatan masih kurang memuaskan. Rata-rata sekitar
separuh reponden menyatakan ketidakpuasan terhadap ketersediaan informasi
pendaftaran pegawai baru, proses administrasi, seleksi penerimaan,
penempatan, pengadaan penerimaan pegawai baru dan proses mutasi.

Mutu Tenaga Kesehatan

Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan
dengan kualitas atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah
(PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP ini antara lain
dinyatakan:
1) Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang
kesehatan
yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3); dan
2) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan (Pasal 21) Dalam Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) Tahun 2004, khususnya dalam Sub Sistem Sumberdaya Manusia
Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan praktek
profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian
lisensi”. Institusi atau lembaga yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi Pendidikan;
2) Registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan;
3) Uji kompetensi dilakukan oleh masing-masing organisasi profesi; dan
4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.

Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan
pelatihan kesehatan masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan
daya saing tenaga tersebut masih lemah. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas
institusi pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu tantangan yang penting
untuk dapat menjamin tersedianya tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan.
Hal tersebut diatur melalui departemen Kesehatan melalui Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 850/Menkes/SK/V/2000 Tentang Kebijakan Pengembangan

Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010 Salah satu upaya yang ditempuh
Departemen Kesehatan dalam rangka
meningkatkan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga
kesehatan yang dihasilkannya adalah menerapkan standar dan melaksanakan
akreditasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan.

Secara kumulatif sampai dengan September 2005, dari 642 institusi pendidikan
tenaga yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 464 institusi (72,3%) telah
diakreditasi (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2005). Data hasil akreditasi ini
antara lan menunjukkan bahwa masih diperlukan banyak upaya dan kegiatan
untuk lebih meningkatkan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan.

Hasil survei lapangan juga menunjukkan bahwa sekitar 70,6% responden
menyatakan kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di
puskesmas. Hal ini berarti tidak semua lulusan pendidikan tenaga kesehatan
secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas dan fungsinya di Puskesmas,
tetapi masih memerlukan orientasi/adapatsi ataupun pelatihan di puskesmas.

Dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan tugas di puskesmas sekitar
78,4% responden menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Adapun jenis
pelatihan yang diikuti adalah sebagian besar merupakan pelatihan teknis
fungsional (85,7%). Penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan di Puskesmas
pada umumnya adalah Dinas Kesehatan Propinsi (36%), Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (25,5%), dan Departemen Kesehatan (5,1%).

Dengan mempertimbangkan pentingnya arti pendidikan dan pelatihan tenaga
kesehatan, maka sebagian besar Dinas Kesehatan (76,5%) memiliki rencana
tahunan untuk jenis pelatihan yang dibutuhkan. Jenis pelatihan tersebut antara
lain meliputi Pelatihan Fungsional dan Manajerial (50%), Fungsional (14,7%), dan
Manajerial (5,9%). Untuk menunjang pelaksanaan pelatihan, sumber
pembiayaan untuk kegiatan pelatihan adalah APBD Kab/Kota (44,1%), APBD
Propinsi (38,2%), APBN (38,2%) dan sumber lainnya (11,8%).

Registrasi merupakan proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan
terhadap tenaga kesehatan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi
inti atau standar penampilan minimal yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan
mental mampu melaksanakan praktek profesinya. Sebagai bagian dari tahapan
registrasi dan pengakuan kompetensi diberlakukan “uji kompetensi” yang yang
dilaksanakan oleh organisasi profesi itu sendiri dan difasilitasi oleh Dinas

Kesehatan. Dalam masa transisi, “uji kompetensi” ini dapat diberlakukan dengan
menggunakan metode yang disepakati bersama antara Dinas Kesehatan dan
organisasi profesi. Departemen Kesehatan menetapkan bahwa bagi tenaga
kesehatan yang lulus dari institusi pendidikan tenaga kesehatan dibawah
pembinaan Departemen Kesehatan dapat
langsung diregistrasi. Dalam tabel berikut digambarkan kondisi beberapa jenis
kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan.
Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal

Definisi kabupaten tertinggal pada kajian ini mengacu pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 khususnya Bab 26. Dengan
mengacu pada ketentuan ini, dalam kajian dari 32 kab/kota yang menjadi lokasi
kajian ini, 8 diantaranya masuk kabupaten tertinggal dan 25 kab/kota masuk
kategori tidak tertinggal.

Pada tabel 4.10 dibawah ini ditampilkan perbandingan distribusi tenaga
kesehatan di Puskesmas pada kabupaten tertinggal dan tidak tertinggal lokasi
kajian. Data ini merupakan hasil kuesioner yang diisi oleh 29 puskesmas yang
pada kabupaten tertinggal dan 37 puskesmas pada kabupaten tidak tertinggal.

Jika dipilah menurut status kepegawaian, pada kabupaten tertinggal rasio tenaga
kesehatan per puskesmas yang berstatus PNS adalah 19,21, lebih rendah
dibandingkan 27,59 pada daerah tidak tertingggal. Namun rasio PTT dan honor
daerah per puskesmas lebih tinggi pada daerah tertinggal. Hal ini
mengindikasikan upaya untuk memenuhi kekurangan tenaga PNS dengan tenaga
PTT dan honor daerah.

Selain pengelompokan kabupaten dalam kategori tertinggal dan tidak tertinggal,
pada kajian ini digunakan pula kategorisasi kecamatan terpencil dan tidak
terpencil. Kecamatan terpencil maupun tidak terpencil dapat saja dapat terletak
dalam wilayah administratif kab/kota tertinggal maupun tidak tertinggal,
walaupun pada kenyataannya, kecamatan terpencil lebih banyak terletak di
kabupaten tertinggal. Dalam kajian, kategorisasi terpencil dilakukan sendiri oleh
responden, atau dengan kata lain menggunakan persepsi responden. Dalam hal
ini tenaga kesehatan dan kepala Puskesmas diminta menggolongkan kecamatan
asal mereka sebagai daerah terpencil atau tidak terpencil.

PENUTUP
KESIMPULAN

Secara nasional dilihat dari rasio terhadap jumlah penduduk, tenaga kesehatan
di Indonesia masih belum mencukupi. Jika dibandingkan dengan negara-negara
tetangga, rasio ini juga masih jauh tertinggal. Sebagian besar tenaga kesehatan
berlokasi di Jawa dan Bali, namun jika dilihat dari rasio per penduduk, khususnya
untuk tenaga dokter umum Rumah Sakit dan Puskesmas, distribusinya lebih
menyebar. Tiga provinsi dengan rasio tertinggi adalah Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, dan Bali. Sedangkan tiga provinsi dengan rasio terendah
adalah Jawa Barat, Banten, dan NTB.

Kebijakan nasional tentang tenaga kesehatan telah disusun dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, meliputi aspek perencanaan kebutuhan,
pengadaan, serta penempatan. Daerah juga telah melakukan perencanaan untuk
hampir semua jenis tenaga. Namun lebih dari separuh (52,6%) Kabupaten/Kota
lokasi kajian tidak

menerapkan Kepmenkes No.61/2004 mengenai pedoman perencanaan, dengan
alasan
utama kurangnya sosialisasi, terbatasnya data dan informasi, dan terbatasnya
kapasitas perencana. Pada kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda
yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method dan Health Services
Demand Method.

Terdapat kesenjangan antara jumlah (di 46% kab/kota) dan jenis (36%
kab/kota) tenaga yang diusulkan dengan formasi yang tersedia. Formasi yang
tersedia, sebagian besar (52,6% kab/kota) ditentukan bersama oleh Dinas
Kesehatan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan sepertiga (31,6%
kab/kota) merupakan wenangan BKD.

SARAN

Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah,
pemerintah pusat dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode
perencanaan, peningkatan kapasitas perencana dan pengumpulan data dan
informasi. Pemerintah daerah perlu melakukan pembagian tugas yang jelas, dan
menyediakan pendanaan.

Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan
tenaga agar tercapai keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan
penyediaan tenaga, misalnya dengan menajwab dua persamalah utama
pengadaan tenaga kesehatan yaitu terbatasnya formasi dan terbatasnya
dana.Untuk peningkatan akses masyarakat kepada tenaga dan fasilitas
kesehatan di daerah terpencil, perlu dipetimbangkan kemungkinan untuk
memperbanyak pustu dan polindes.
Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter,
sehingga kriteria penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan

pada kekosongan tenaga dokter di Puskemas. Oleh karena itu secara nasional
kebijakan untuk pengadaan dokter Puskesmas ini dapat dijadikan suatu
prioritas.Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di
kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih
baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas
(rumah, alat) serta kemudahan karir