View of PREDIKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN KESEHATAN MENTAL TENAGA KESEHATAN INDONESIA DI JEPANG

  

PREDIKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN KESEHATAN MENTAL

TENAGA KESEHATAN INDONESIA DI JEPANG

1

2 Susiana Nugraha , Yuko Hirano

Public Health Study Program of School of Health Science Jenderal Ahmad Yani, Cimahi, Indonesia

Graduate School of Biomedical Science, Nagasaki University, Japan

  

ABSTRAK

Migrasi tenaga kesehatan dari Indoensia ke luar negeri terutama Jepang, telah dimulai sejak tahun 2008.

  Dibawah kesepakatan perekonomian bilateral Japan-Indonesia economic partnership agreement (JI-EPA), sampai saat ini sudah lebih dari 1000 perawat dari Indonesia telah bermigrasi ke Jepang untuk bekerja sebagai perawat dan penopang lansia (care worker). Migrasi bisa menjadi kesempatan bagi pearwat Indonesia untuk meningkatkan skill dan pengetahuan mereka dalam dunia keperawatan. Disisi lain, migrasi juga bisa menjadi tantangtan tersendiri bagi perawat Indoensia terutama dalam melakukan adapotasi sosial budaya di lingkungan yang baru dan bisa menjadi stressor tersendiri abgi perawat Indonesia. Meggunakan GHQ-12 sebagai alat ukur kesehatan mental, penelitian ditujukan untuk mengidentifikasi predictor yang mempengaruhi kesehatan mental perawat Indonesia setelah satu tahun bermigrasi ke Jepang. Dengan menggunakan total sampling, sebanyak 92 orang berpartisipasi dalam studi ini terdiri dari 28 perawat dan 64 orang care worker. Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa kesehatan mental perawat Indonesia yang telah bermigrasi ke Jepang dipengaruhi oleh gender ( =.201, p<.05), kondisi ekonomi sebelum melakukan migrasi (= - .200, p<.05), dan kemampuan adaptasi sosial budaya (

  =- .238, p<.05) dengan prediksi model kesehatan mental sebesar 39,9%. Perawat perempuan cenderung memiliki kesehatan mental yang rendah dibandingkan laki-laki, perawat yang memiliki latar belakang ekonomi rendah dan permasalahan adaptasi sosial budaya menjadi faktor utama yang mempengaruhi kesehatan mental perawat Indonesia di Jepang 1 tahun setelah migrasi.

  Kata kunci : Kesehatan mental, predikto, perawat, care worker, Indonesia, Japan,

  

Abstract

Migration of Indonesian health care human resources to Japan, have been take place since 2008. Under

Japan-Indonesia economic partnership agreement (JI-EPA), approximately more than one thousand

Indonesian nurses migrate to Japan, to work as nurse and certified care workers. Migration could become

a change for Indonesian nurses to improve their skill and knowledge in caring field. However, it could a

challenge for those who cannot survive in dealing with socio-cultural adaptation in the new living

environment. This study expected to figure out the mental health predictors of Indonesian migrant nurse

and certified care workers in Japan one year after post migration. Total of 92 people participate this study,

divided by the course 28 of them are certified nurse candidates and 64 of them certified care worker

candidates. Using GHQ-12 (mental health measurement) as dependent variable, this study tried to find the

most appropriate model for the change of mental health in pre- and post-migration stage. The findings

showed that the prediction model was considered to explain the changes in mental health by 39.9%

(p<0.01), with the following predictors; gender (=.201, p<.05), economic conditions in the pre-migration

period (= - .200, p<.05), and the socio cultural adaptation scale difference (=- .238, p<.05). This finding

assumed as, the female candidates and those who have economic constrain in pre-migration stage, and

declining in socio-cultural adaptation competency tends to have lower mental health after migration. Keywords : Mental health, predictor, nurse, certified care worker, Indonesia, Japan,

A. PENDAHULUAN

  Migrasi tenaga kesehatan telah menjadi fenomena sosial yang terjadi akibat adanya globalisasi yang terus bergerak. Globalisasi telah mednorong migrasi tenaga kesehatan lintas negara yang ditujukan memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan akibat adanya keterbatasan sumberdaya manusia di suatu daerah dan surplus di wilayah yang lain (Kingma, 2006). Bagi masyarakat Indonesia, migrasi tenaga kesehatan secara Internasional telah dimulai sejak tahun 1996, yang dimulai dengan pengiriman tenaga ke negara-negara unoited emirat Arab (Suwandono, Muharso, Achadi, & Aryastami, 2005). Sejak saat itulah mulai dilakukan berbagai perbaikan dan upaya peningkatan kapasitas untuk mempromosiakan program bekerja di luar negeri bagi perawat.

  Sejak tahun 2008, melalui kerjasama bilateral bidang ekonomi antara Indoensia

  • – Jepang, . Japan
  • – Indonesia Economic Partnership Agreement (JI-EPA) telah mulai

  dilakukan pengiriman perawat Indoensia ke Jepang. Melalui program ini, tenaga dari Indonesia dikirim untuk menjadi perawat rumah sakit dan penopang lansia di panti jompo. Dengan ketentuan, mereka yang dikirim ke Jepang emlalaui program ini adalah berstatus “trainee” atau “kandidat” sampai mereka berhasil lulus ujian nasional perawat di Jepang yang dilaksanakan dalam Bahasa Jepang (MHLW, 2010). Selama mempersiapkan ujian nasional, tenaga kesehatan dari Indoensia akan bekerja sebagai perawat magang di rumah sakit atau di panti

  Sebagaimana tertulis dalam kontak kerja ditetapkan bahwa perwata memiliki kontrak kerja selama 3 tahun dan penopang lansia selama 4 tahun. Jika dalam waktu yang ditentukan tidak juga lulus ujian, maka para kandidat tersebut harus kembali ek Indonesia.

  Migrasi merupakan proses sosial dimana seorang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk berbagai tujuan yang akan menetap secara temporer maupun permanen. Perubahan kondisi lingkungan ditambah dengan perbedaan sosial budaya akan sangat mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang baik secara fisik maupun mental (Bhugra, 2004; Stillman, Mckenzie, & Gibson, 2006). Menurut Berry (1997) migrasi merupakan sebuah proses hidup yang kritis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa perubahan kondisi kesehatan mental seseorang dalam migrasi itu dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, kondisi ekonomi, latar belakang pendidikan, kemampuan Bahasa, dukungan sosial dan kemampuan adaptasi sosio kultural (Apprahamian, David, Amy, & Judith, 2011; Bughra & Becker, 2005; Tinghong, 2009; Vega, Kolody, & Valle, 1987). Beberapa faktor yang muncul sebelum migrasi seperti kondisi ekonomi yang melatarbelakangi dan alasan migrasi dapat juga menjadi penentu kemapanan dalam migrasi dan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental seseorang (Burgelt, Morgan, & Pernice, 2008; Yijälä, 2012). Lebih lanjut, faktor yang diprediksi muncul setelah migrasi seperti kondisi kerja, kompetensi dalam adaptasi seseorang migrasi juga menjadi salah satu penentu kondisi kesejahteraan psikologi seseorang. (Apprahamian et al., 2011; Berry, 2005). Beberapa penelitian awal yang dilakukan pada calon perawat dan penopang lansia EPA, mengungkapkan bahwa kendala bahasa, diperlakukan sebagai kandidat, kesulitan dalam adaptasi sosial budaya dan kurangnya dukungan sosial telah menjadi beban psikologis bagi calon (Alam & Wulansari, 2010; Hirano-Ohara & Wulansari, 2009; Setyowati, Susanti, Yetti, Ohara-Hirano, & Kawaguchi, 2010).

  B. METODE

  Penelitian ini menggunakan desain longitudinal, dimana pengambilan data dilakukan 2 kali pada masa sebelum migrasi dan satu tahun sesudah migrasi. Target populasi dalam penelitian ini adalah perawat EPA yang masuk ke Jepang pada gelombang ke 6. Data awal dan informed consent untuk penelitian ini diambil pada Juni 2013, sebelum para kandidiat berangkat ke Jepang. Sebanyak 148 kuesioner didiistribusikan untuk pengambilan data awal. Yang etrdiri dari data demografi, alasan bermigrasi ke Jepang, Kesejahteraan psikologis yang diukur menggunakan GHQ-12 (General Health

  Questionnaire ), prediksi kemampuan adaptasi

  yang diukur menggunakan SCAS

  (Sociocultural Adaptation Scale) , dukungan

  sosial yang diukur mengguankan MSPSS

  (Multidimensional Scale Perceive Social Support) and kemampuan bahasa Jepang.

  C. HASIL

  Pada survey awal sebanyak 148 peserta program EPA gelombang 6 mengikuti survey. Sedangkan pada survey lanjutan yang

  Penelitian mengenai perubahan kondisi kesehatan mental bagi calon perawat dan penopang lansia program EPA masih sangat terbatas jumlahnya, salah satu penelitian tersebut adalah penelitian yang meneliti perubahan kondisi kesehatan mental dari calon EPA sebelum dan setelah migrasi. Penelitian ini meneliti kondisi kesehatan mental dalam tahap pra dan pasca migrasi, dan mengetahui perubahan kesehatan mental sebagai akibat dari migrasi. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prediktor yang mempengaruhi perubahan kesehatan mental pada tahap pra dan pasca migrasi.

  Selanjutnya, penelitian follow up dilakukan pada bulan Juli 2014 yaitu setahun setelah migrasi ke Jepang. Kegiatan survey lanjutan ini dilakukan secara online, dengan mendistribusikan pertanyaan melalui email para responden yang diperoleh [pada saat survey awal. Adapun quesioner survey lanjutan terdisi dari : data demografi, kepuasan bekerja, jam kerja, kepuasan terhadap bantuan dari pembimbing lapangan, persiapan ujian nasional, jam belajatm kelelahan, dan penerimaan terhadap pelakukan sebagai pekerja magang, MSPSS, SCAS dan GHQ-12. Analisa statistik dalam penelitian ini meliputi uji t, korelasi person, dan regresi linear berganda. dilakukan setahun sesudah responden migrasi ke Jepang diperoleh respon rate sebesar 62,2%atau sekitar 92 responden. Tabel 1 merupakan distribusi responden berdasarkan latar belakang sosio-demografi yang melipui umur, jenis kelamin dan lain sebagainya. Dimana usia rata-rata responden adalah 25 tahun, 28 orang diantaranya adalah perawat. Berdasarkan motivasi mengikuti program EPA, 43,5% responden mengatakan bahwa mereka mengikuti program EPA dikarenakan tidak mempunyai pekerjaan sebelumnya, dan 64,1% mengatakan bahwa alasan mereka mengikuti program EPA dikarenakan mereka tidak puas dengan pengahsilan selama di Indonesia.

  Table. 1 Distribusi berdasarkan latar belakang sosio-demografi n=92

  Karakteristik responden n (%) Umur (M, SD, range)

  25.21 2.36, range 22- 34 Jenis kelamin Laki laki

  40 (43.5) Perempuan 52 (56.5) EPA course

  Perawat 28 (3.4) Penopang lansia 64 (69.6) Latar belakang pekerjaan

  Perawat 56 (60.9) Bukan perawat 36 (39.1) Alasan mengikuti program EPA

  Karena tidak mempunyai pekerjaan Ya 40 (43.5) Tidak 52 (56.5) Tidak puas dengan penghasilan di Indonesia

  Ya 59 (64.1) Tidak 33 (35.9)

  Data dari hasil analisis bivariate menggunakan korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat 7 variable yang memiliki hubungan yang signifikan dengan perubahan kondisi kesehatan mental. Antara lain, jam kerja, kemampuasn Adaptasi sosio-kultural

  (SCAS), dukungan sosial (MSPSS), latar belakang kondisi ekonomi sebelum migrasi, kepuasan terhadap dukungan dari pembimbing di tempat kerja, kelelahan, kepuasan kerja, dan penerimaan terhadap status pekerjaan saat ini.

  

Table. 2

Hubungan variabel predictor dengan kesehatan mental

  Variables Koefisien korelasi (r) p .073 .491

  Umur .213 .044

  Jam kerja .016 .883

  Jam belajar

  • .366 .001 Pebedaan skor SCAS
  • .352 .001 Perbedaan skor MSPSS Kondisi ekonomi -.148 .155 sebelum migrasi Kondisi ekonomi setelah -.288 .029 migrasi Kepuasan terahadap -.287 .006 dukungan dari pembimbing
  • .359 .001 Kelelahan -.247 .001

  Kepuasan bekerja Penerimaan terhadap -.282 .001 kondisi saat ini Kemampuan Bahasa -.201 .055 Jepang

  

Table. 3

Hubungan linier antara variable predictor, variable control dan kesehatan mental

Standardized regression

  Variables

  ) p coefficient (

  Umur .119 .329

  Jenis kelamin .201 .039

  Pekerjaan EPA .099 .418

  Latar belakang pekerjaan .141 .130 Kondisi ekonomi sebelum migrasi -.200 .035 Kepuasan terhadap dukungan dari pembimbing -.087 .456 Jam kerja

  .060 .522 Kelelahan

  • .146 .182 Kepuasan kerja

  .010 .926 Penerimaan terhadap kondisi saat ini -.103 .305 Perubahan skor SCAS -.238 .027 Perubahan skor MSPSS -.200 .064

  Note : Standar pengukuran : Kondisi ekomomi saat ini : “1=sangat sulit “3=jarang” and “4=tidak pernah. Kepuasan untuk bertahan kerja dan keuasan terhadap dukungan

  ” “2=sulit untuk bertahan” pem and “3=tidak sulit untuk bertahan”. Fatigue: bimbing lapangan “1=sama sekali “1=selalu,” “2=kadang-kadang,” tidak puas ” “2=tidak puas,” “3=puas” and menolak”. Japanese language proficiency: “4= sangat puas sekali”. penolakan terhadap “1=Beginner”, “2=Elementary”, kondisi saat ini: “1=tidak sama sekali,” “3=Intermediate”, “4=Advanced” “2=tidak terlalu,” “3= Menolak,” “4=sangat Dari ketujuh variabel tersebut, dikombinasikan dengan variabel kontrol yang meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan (EPA) kemudian dilakukan analisis regresi linier ganda untuk mendapatkan model predictor yang mempengaruhi perubahan kondisi kesehatan mental kandidat EPA, sebelum dan sesudah migrasi ke Jepang.

  Note : R 2 = .399, F= 4.212, p=.001

  Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa, perubahan kondisi

D. DISKUSI

  Jenis kelamin diketahui sebagai salah satu predictor yang mempengaruhi perubahan kondisi kesehatan mental para perawat dan penopang lansia Indonesia di Jepang. Dimana peserta wanita memiliki kecenderungan mengalami penurunanan kondisi kesehatan mental setelah migrasi. Migrasi telah mengakibatkan berkurangnya dukungan sosial dari orang terdekat. Penelitian yang dilakukan WHO (2004) tentang gender and health menunjukkan bahwa dibandingkan laki-laki, perempuan cenderung lebih mudah mengalami penurunan kondisi kesehatan mental ketika menghadapi momen kritis dalam hidupnya (seperti migrasi) dan penurunan dukungan sosial (WHO, 2004). Hal ini diasumsikan bahwa proses migrasi yang merupakan momen kritis kehidupan dan berpisahnya responden perempuan dari sumber dukungan sosial (keluarga), telah menyebabkan terjadinya penurunan kondisi kesehatan mental responden perempuan. kesehatan mental tengaa kesehatan program JI- EPA, secara langsung dipengaruhi oleh Korelasi langsung dengan ditemukan dalam perubahan nilai SCAS (ß = -. 238), diikuti oleh jenis kelamin (ß = 0,201), dan kondisi ekonomi di pra-migrasi (ß = -.200). Model yang ditetapkan memiliki hubungan secara signifikan dengan terjadinya perubahan kond secara signifikan berkorelasi dengan perubahan skor GHQ dengan R2 = 0,399 dan F = 4,212 dengan p = 0,001.

  Kondisi ekonomi para responden sebelum migrasi juga menjadi salah satu faktor penentu perubahan kondisi kesehatan mental. Responden yang memiliki latar belakang kondisi ekonomi yang sulit cenderung memiliki penurunan kondisi kesehatan mental setelah mereka migrasi ke Jepang. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Goldberg & Takeuchi (2007), yang menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi yang melatarbelakangi seseorang untuk melakukan migrasi akan mempengaruhi kondisi kesehaatn mental setelah migrasi (Goldberg & Williams, 1988; Gong, Fang, Takeuchi, 2007). Hal ini diasumsikan bahwa responden yang migrasi akibat dorongan kebutuhan ekonomi akan terbebani dengan kewajiban untuk mengirimkan hasil kerjanya untuk kepada keluarga yang ditinggalkannya di Indonesia. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa tekanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga di negara asal dapat mengurangi migrasi sebagaimana disampaikan oleh Izhar (2008) bahwa pekerja migran yang dibebani oleh kewajiban mengirimkan remittance untuk keluarganya cenderung tidak dapat menikmati manfaat dari migasi yang dilakukannya.

  Penelitian ini menunjukkan bahwa predictor utama yang mempengaruhi kondisi kesehatan mental adalah kemampuan dalam adaptasi sosio-kultural di tempat baru. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kirmayer et al., (2011) kondisi kesehatan mental para pekerja migran sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam beradaptasi dengan lingkungan baru di negara tujuan (Kirmayer et al., 2011). Perbedaan sosial budaya yang cukup jauh antara Indonesia dan Jepang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kondisi kesehatan mental para responden. Kendala bahasa merupakan kendala utama, dimana masyarakat Indonesia yang toida terbiasa menggunakan aksara

  Jepang maupun aksara China yang biasa digunakan dalam huruf kanji menjadikan kendala bahasa sebagai faktor utama yang mempengaruhi kesehatan mental responden di Jepang. Disamping itu pekerja kesehatan Indonesia yang migrasi ke Jepang yang sebagian besar beragama Islam banyak mengalami kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan baru dimana seperti sulitnya mendapatkan makanan halal, minimnya tempat ibadah serta awamnya masyarakat Jepang dengan identitas atau pakaian yang umumnya digunakan oleh masyarakat responden yang beragama Islam. Sebegai pekerja kesehatan, tidak hanya skill fisik namun juga komunikasi baik verbal maupun non-verbal menjadi komponen utama yang diperlukan oleh tenaga kesehatan. Adanya keterbatasan dalam hal tersebut akan menjadi hambatan para perawat dan care worker dari Indonesia untuk menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik.

E. KESIMPULAN

  Penelitian ini telah mengidentifikasi 3 faktor utama yang mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi kesehatan mental kandidiat perawat dan penopang lansia Indonesia antara laian; jenis kelamin, kondisi ekonomi sebelum migrasi dan kemampuan adaptasi sosio- kultural. Hasil temuan dalam penelitian ini diharapkan akan menajdi masukan yang penting bagi perbaikan pelaksanaan program JI-EPA. Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran kepada kedua pemerintahan untuk dapat memberikan dukungan yang etpat bagi peawat dan penopang lansia Indonesia di Jepang agar lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan secara psikologis. Penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan penelitian lanjutan sehingga dapat melihat tren perubahan kondisi kesehatan mental perawat dan penopang lansia Indoensia selama di Jepang.

  ed.). Kassel: Kessel University Press, GmbH. Retrieved from www.upress.uni-

  , cultural bereavement and cultural identity. World Psychiatry, 4(1), 18

  and Its Socio-Economic Impacts on the Families left Behind in Pakistant (1st

  Izhar, A. K. A. (2008). Overseas Migration

  Institutional Repository , 3, 77 –90.

  (2009). The Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement, Trhough the Eyes of Indonesian Applicants : A Survey and a Focus Group Discussion with Indonesian Nurses. Kyushu University

  Premigration Factors and Mental Health. Washinton DC. Hirano-Ohara, Y., & Wulansari, S. ayu.

  Berks: NFER-Nelson. Gong, Fang, Takeuchi, D. (2007).

  A user guide to General Helath Questionnaire (GHQ-12) . Windsor,

  2007), 282

  Applied Social Psychology , 18(March

  (2008). Staying or Re turning : Pre- Migration Influences on the Migration Process of German Migrants to New Zealand. Journal Od Community &

  46/j.0001-690X.2003.00246.x/full Bughra, D., & Becker, M. A. (2005). Migration

  • – 24. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article s/PMC1414713/ Burgelt, P. T., Morgan, M., & Pernice, R.
  • – 92. Retrieved from http://www.researchgate.net/profile/J_Vi sser/publication/224861971_The_relatio nship_between_acculturation_and_ment al_health_of_Arab- Americans/links/0912f4f9fc81613f2f000 000.pdf
  • –298. doi:10.1002/casp Goldberg, D. P., & Williams, P. D. M. . (1988).

  doi:10.1016/j.ijintrel.2005.07.013 Bhugra, D. (2004). Migration and mental health. Acta Psychiatr Scand, 109, 243

  International Journal of Intercultural Relations , 29 (6), 697 –712.

  Berry, J. W. (2005). Acculturation: Living successfully in two cultures.

  Retrieved from http://isites.harvard.edu/fs/docs/icb.topic 1063337.files/immigrationacculturtion Reading.pdf

  5 –68.

  Sociology : An International Review, 45 (1),

  Berry, J. W. (1997). Immigration, Acculturation Adaptation. Applied

  Mental Health Counseling , 33(1), 80

  Apprahamian, M., David, M., Amy, M., & Judith, A. (2011). The Relationship Between Acculturation and Mental Health of Arab Americans. Journal of

  Creative Friction : Some Preliminary Consideration the Socio-Cultural Issues Encountered by Indonesian Nurses in Japan. Bulletin of Kyushu University Asia Center .

  DAFTAR PUSTAKA Alam, B., & Wulansari, S. ayu. (2010).

  • – 258. Retrieved from

  • –112. Retrieved from http://hhpronline.org/wp- content/uploads/2012/05/Kingma.pdf
  • –30). Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12 314896
  • – 181. Retrieved from kyoto- seas.org/wp- content/uploads/2012/07/490405.pd Stillman, S., Mckenzie, D., & Gibson, J.

  • –67. doi:10.1503/cmaj.090292

  voluntary migrants . University of

  Yijälä, A. (2012). Pre-acculturation among

  Gender, Women and Health Family and Community Health World Health Organization.

  Reserach . Geneva: Department of

  WHO. (2004). Gender in Mental health

  from http://liu.diva- portal.org/smash/get/diva2:216798/FUL LTEXT01.pdf Vega, W. a, Kolody, B., & Valle, J. R. (1987). Migration and mental health: an empirical test of depression risk factors among immigrant Mexican women. In The International migration review (Vol. 21, pp. 512

  Mental Ill Health - Post migration and Factors Experience in the Swedish Context . Linkoping University. Retrieved

  Tinghong, P. (2009). Migration, Stress and

  http://www.hrhresourcecenter.org/node/ 523

  Asia-Pacific Action Alliance on Human Resources for Health . Retrieved from

  (No. 123). doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.jhealeco.2 009.02.007

  Suwandono, A., Muharso, Achadi, A., & on Health (HRH) For Foreign Countries : A case of Nurse “Surplus” in Indonesia.

  Migration and Mental Health : Evidence from a Natural Experiment

  (2006).

  175

  University Institutional Repository , 5,

  Setyowati, Susanti, H., Yetti, K., Ohara- Hirano, Y., & Kawaguchi, Y. (2010). The Experience of Indonesian Nurse in Japan Who Face the Job and Cultural Stress in Their Work : A qualitative study. Kyushu

  MHLW, M. of H. L. and W. (2010). Kaigo fukushi- shi no gaiyō, (overview of the certified care worker). Retrieved from http://www.mhlw.go.jp/kouseiroudousho u/shikaku_shiken/kaigohukushishi/

  CMAJ : Canadian Medical Association Journal = Journal de l’Association Medicale Canadienne , 183 (12), E959

  Kirmayer, L. J., Narasiah, L., Munoz, M., Rashid, M., Ryder, A. G., Guzder, J., … Pottie, K. (2011). Common mental health problems in immigrants and refugees: general approach in primary care.

  Review , 7(1), 102

  Kingma, M. (2006). Nurse Migration: Mini- Business, Big Business. Harvard Policy

  Helsinki, Finland. Retrieved from https://helda.helsinki.fi/bitstream/handle/ 10138/33527/preaccul.pdf?sequence=1

Dokumen yang terkait

Kata Kunci : lactobacillus bulgaricus, klebsiella pneumoniae, soyghurt A. PENDAHULUAN - View of PENGARUH LAJU PERTUMBUHAN DAN WAKTU GENERASI TERHADAP PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN KOLONI Klebsiella pneumoniae STRAIN ATCC 700603, CT1538 DAN S941 OLEH Lactobacil

0 0 14

View of HUBUNGAN PARITAS DENGAN TINGKAT NYERI PADA PERSALINAN HYPNOBIRTHING DI BPM ONIH SRI HARTATI KOTA BANDUNG TAHUN 2014

0 0 9

HUBUNGAN FAKTOR MATERNAL DENGAN KEJADIAN BBLR DI WILAYAHKERJA PKM TEGALWARU KABUPATEN PURWAKARTA TAHUN 2012-2014 Pebyani Pramanik Program Studi Kebidanan (D-3) Stikes Jenderal A.Yani Cimahi email : pebyani250285gmail.com ABSTRAK - View of HUBUNGAN FAKTOR

1 1 10

View of Pengaruh Hypnoparenting Terhadap Kebiasaan Sarapan Pagi Pada Siswa Kelas I di SDN Buah Batu Baru Bandung

0 1 9

HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN KONTRASEPSI IMPLANT DENGAN SIKLUS MENSTRUASI Indria Astuti Siska Asti Prodi Kebidanan (D-3) Stikes A. Yani Cimahi ABSTRAK - View of HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN KONTRASEPSI IMPLANT DENGAN SIKLUS MENSTRUASI

0 0 8

PENGARUH TERAPI BERMAIN (MELOMPAT TALI DAN MERONCE MANIK – MANIK) TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK PADA SISWA DI PAUD FAJAR PURNAMA MANDIRI KECAMATAN CIMAHI SELATAN KOTA CIMAHI Sri Yuniarti Dede Waslia Prodi Kebidanan (D-3) Stikes A. Yani Cimahi ABSTRAK - Vi

0 3 8

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL PADA TRIMESTER III TENTANG INISIASI MENYUSU DISI DENGAN SIKAP PELAKSANAAN IMD DI BPM BIDAN PELLY YULIA KABUPATEN BANDUNG BARAT PERIODE JULI – AGUSTUS TAHUN 2015 Dini Marlina Mu’tarifah Billah

0 1 8

View of FAKTOR RISIKO IBU PADA IBU BERSALIN DENGAN SECTIO CAESAREA DI RSUD CIANJUR TAHUN 2014

0 1 8

View of PENYUSUNAN INDIKATOR LINGKUNGAN PROVINSI JAWA BARAT

0 0 15

View of HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG TOILET TRAINING DENGAN PELAKSANAANNYA DI POSYANDU BUNGA TANJUNG KELUHARAN TANJUNGSARI PURWAKARTA TAHUN 2015

0 0 10