Constitutional Complaint Oleh Mahkamah K

DRAFT

DRAFT

URGENSI MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI DAN MEMUTUS
CONSTITUTIONAL COMPLAINT DI INDONESIA
Ali Ridho
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Lawu No. 01, Kotabaru, Yogyakarta
ridho.alihasyim@yahoo.com

Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 angka 3 menyebutkan : Negara )ndonesia

adalah negara hukum . Berdasarkan pasal tersebut, artinya Indonesia secara de
jure telah menyatakan atas dirinya termasuk kedalam jajaran negara hukum yang

ada di dunia. Salah satu ciri sebuah negarayang dapat disebut sebagai negara
hukum,1 haruslah menempatkan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan.2 Selain itu, mellaui pasal 1 angka 3

UUD 1945 Indonesia juga mengikrarkan diri bahwa Kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar . Dengan demikian
Indonesia merupakan Negara hukum yang konstitusional. Sebagai Negara yang
berkonstitusi, konstitusi haruslah memuat : Pertama, Konsepsi negara hukum yang
menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum haruslah mengatasi
kekuasaan pemerintah yang karenanya hukum harus mampu mengontrol dan
mengendalikan politik; kedua, konsepsi hak-hak sipil warga negara di bawah
jaminan konstitusi serta adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar
legitimasinya hanya diperoleh oleh konstitusi3. Terlebih juga dalam pasal-pasal

Diskurs tentang Negara hukum dapat dilihat lebih detailnya seperti uraian Julius Stahl dalam
Negara hokum (Konsep rechstaat yang bertumpu pada system hukum continental yang biasa
disebut civil law) dan A.V. Dicey (Konsep Rule of law yang bertumpu pada common law), yang esensi
keduanya menganggap akan pentingnya sebuah konstitusi sebagai jaminan atas hak-hak warga
negaranya serta sebagai aturan dalam penyelenggaraan pemerintah dan Negara. Lihat Miriam
Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1992 hlm 57-58, lihat pula M. Hadjon,
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, Hlm. 76-82.
2 Ibid, Miriam Budiarjo, Hlm. 52
3 Dikutip dari Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press,

Yogyakarta, 999, (lm .
, Lihat pula Ni matul (uda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis Dan
Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 999, (lm.
. Ni matul (uda
menguraikan ada tiga hal yang ada dikonstitusi. Pertama, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
1

1

yang ada di dalam UUD 1945, terdapat juga pengaturan hak-hak dasar, sehingga
perlindungan hak-hak dasar warga negara tanpa terkecuali harus dijamin oleh
negara dan pemerintah karena konstitusi dalam suatu negara merupakan conditio
sine quanon.4
Konstitusi sudah empat kali mengalami amandemen. Salah satu hasil dari
amandemen ketiga, adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga
negara yang memiliki kewenangan di bidang kehakiman setingkat dengan
Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur di dalam Pasal 24 c ayat 1 dan 2 UUD
1945 yang berbunyi:5 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenanagannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan

pembubaran partai politik, dan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kemudian Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Wewenang yang diberikan kepada MK ada yang berpendapat bahwa MK
sebagai lembaga yang super body. Akan tetapi oleh Harjono6 hal itu dibantah
dengan berpendapat, kehadiran MK sebagai lembaga baru tidaklah cukup
dipahami secara parsial saja, tetapi harus dipahami sebagai suatu penguatan
terhadap dasar-dasar konstitutusinalisme pada UUD 1945. Inti dari faham
konstitusionalisme adalah bahwa setiap kekuasaan negara harus mempunyai
batas kewenangan. Selain itu, kehadiran MK berfungsi sebagai guardian of the
constitustion atau pengawal konstitusi. Akan tetapi penguatan dasar-dasar
konstitusionalisme tersebut terkesan setengah-setengah. Dalam tataran realita,

dan warga Negara; kedua, susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental; dan
pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
4 Ridwan HR, Hukum Admisnistrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 5.
5Wewenang Mahkamah Konstitusi juga diatur didalam pasal 10 UU No 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi. Rumusan pasal didalamnya adalah salinan dari pasal 24 C ayat 1
dan 2, Pasal 7 B ayat 1 dan 5. Perlu dipaparkan disini ada pendapat yang menyatakan bahwa pasal

24 C ayat 1 adalah wewenang MK dan Pasal 24 C ayat 2 adalah kewajiban MK.
6Abdul Latif Dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Total Media, Yogyakarta,
2009, Hlm.16.

2

MK sebagai kiblat supreme konstitusi yang dimana setiap masalah konstitusional
masyarakat, MK-lah tempat peraduannya .

Namun demikian, persolaan pelanggaran konstituisonal warga negara

seringkali terbengkalai alias tidak terurus. Hal bini ukan berarti MK enggan
menerima dan menyelesaiakn persoalan tersebut, melainkan karena belum
tegasnya aturan yang menyebut terkait problem pelanggaran konstitusional yang
lahir dari kebijakan pemerintah yang kurang responsif. Sehingga mengakibatkan
terenggutnya hak dasar warga Negara. Bukan hanya produk pemrintah yang
berpotensi atau telah melanggar hak asasi manusia (HAM), melainkan juga
putusan pengadilan dan produk administratif seringkali bertolak belakang dengan
konsepsi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 ataupun filosofis Pancasila.
Di beberapa Negara yang memiliki constitutional court seperti MK,

permasalahan demikian dinamakan constitutional compaalint (CC) dan hal ini
menjadi wewenang MK di negara masing-masing.7 Sebagai contoh kasus bola liar
pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tentang Pembekuan
Jama ah Ahmadiyah )ndonesia (JAI). Seperti dikutip Kompas, 10 Juni 2008, Jaksa

Agung Hendarman Supandji mengatakan apabila JAI atau kelompok masyarakat

lain tidak setuju dengan SKB ini, silahkan mengajukan gugatan ke MK. Padahal MK
melalui Mahfud MD menyatakan MK tidak mempunyai kompetensi untuk menilai
akan hal tersebut karena belum masuk pada domain seperti CC.

7 Salah satu Mahkamah Konstitusi yang pertama kali menerapkan dan mengembangkan
kewenangan constitutional complaint adalah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman
(Bundesverfassungsgerichts). Kewenangan yang didasari pada Pasal 93 ayat (1) butir 42
Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland tersebut, menurut Jutta Limbach, merupakan
kewenangan terpenting yang kini dimilki oleh Bundesverfassungsgerichts, dimana hingga saat ini
lebih dari 146.539 permohonan telah diperiksa oleh Bundesverfassungsgerichts dan 141.023
diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional complaint. Di benua Afrika, salah satu
negara yang juga mempunyai Mahkamah Konstitusi dengan memiliki kewenangan constitutional
complaint yaitu Afrika Selatan. Menurut Deputy Chief Justice, Monseneke, pelayanan terhadap

constituional complaint di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam setahun terakhir ini telah
tercatat berjumlah 570 perkara. Sedangkan di Asia, Korea Selatan adalah negara yang sudah lama
menerapkan constitutional complaint (HUN-MA dan HUN-BA) sebagai salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusinya berdasarkan Pasal 68 ayat (1) dan (2) The Constitutional Court Act of
Korea. Data yang berhasil dihimpun oleh penulis, tidak kurang sebanyak 11.679 perkara
constitutional complaint telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi Korea. Kemudian beberapa
negara lainnya yang juga memiliki kewenangan serupa yaitu Azerbaijan, Bavaria (Pasal 66
Constitution of The State of Bavaria), Kroasia (Bagian kelima Pasal 62 s/d 80 The Constitutional Act
on the Constitutional Court of the Republic of Croatia), dan lain sebagainya.

3

Dari paparan singkat di atas muncul sebuah problem, kemana para pencari
keadilan bagi warga Negara Indonesia ketika dihadapkan pada permasalahan
seperti hal diatas?. Berkaca atas problem tersebut, maka sangat urgen kiranya
menambah atau memperluas kewenangan MK berupa memutus constitusional
complaint sebagai bentuk penguatan hak dasar konstitusionalisme dan
mewujudkan supreme konstitusi.
Pertanyaan Hukum
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka ditarik

permasalahan yang dapat diteliti dan dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa urgensi Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang menguji dan
memutus constitutional complaint di Indonesia ?
2. Bagaimana konsep constitutional complaint yang ideal bagi Mahkamah
Konstitusi di Indonesia ?
Urgensi Menguji dan Memutus Constitusional Complaint Oleh Mahkamah
Konstitusi Dalam Bingkai Negara Hukum Dan Demokrasi Konstitusional
Perubahan UUD 1945, negara Indonesia menegaskan dirinya sebagai negara
hukum8 dan negara demokrasi konstitusional9. Artinya seluruh kebijakan dan
perilaku negara harus berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi. Upaya
mewujudkan hal tersebut, perubahan UUD 1945 nampaknya secara detail memuat
ketentuan-ketentuan jaminan hak asasi manusia yang merupakan hak-hak
konstitusional warga Negara. Disamping juga mencantumkan lebih rinci fungsi dan
kewenangan masing-masing lembaga Negara dalam struktur ketatanegaraan,
termasuk perubahan pada lembaga kekuasaan kehakiman.
Bentuk jaminan penegakan dua prinsip di atas (negara hukum dan demokrasi
konstitusional) adalah dilakukannya penguatan lembaga, khusunya penguatan
terhadap kekuasaan kehakiman sebagai salah satu pintu untuk memperoleh
keadilan. Hal tersebut memang selaras dengan tuntutan reformasi yang juga
menghendaki adanya cabang kekuasaan yudikatif yang secara khusus menjaga dan


8
9

Lihat Pasal 1 ayat 3 UUD 1945
Lihat Pasal 2 ayat 1 UUD 1945

4

menafsirkan konstitusi sebagai dasar dan jaminan hak asasi manusia (HAM). Maka
melalui amandemen UUD 1945, akhirnya membawa perubahan yang signifikan di
dalam ranah kekuasaan kehakiman dengan lahirnya MK. 10
Lahirnya MK di Indonesia salah satu amanah yang diemban adalah menjadi
pengawal konstitusi dalam rangka mewujudkan supreme konstitusi. Hal yang
demikian tentu merupakan konsekwensi logis bagi Negara Indonesia yang
menyatakan dirinya sebagai Negara hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang
ada dalam konstitusi. Selain itu kehadirannya adalah sebagai upaya mencari
benang merah dalam rangka mewujudkan negara hukum yang demokratis dan
konstitusional dengan diberi empat wewenang dan satu kewajiban. 11 Setumpuk
kewenangan tersebut akan dilihat wajar, jika diteropong dari sejarah

pembentukannya. Karena tercatat ada tiga hal yang melatar belakangi kehadiran
MK yaitu, adanya kekosongan hukum atau tepatnya kekosongan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan dengan pengujian undang-undang terhadap
UUD, adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang menyangkut
kemungkinan timbulnya konflik antar lembaga Negara, dan adanya alasan yang
menjadi dasar pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
Melihat kedudukan MK yang sangat berpengaruh cukup signifikan bagi negara
Indonesia, maka akan tepat jika dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya,
MK perlu dibenahi, dijaga dan perlu penambahan taupun perluasan kewenangan,
sehingga MK dalam kiprahnya mampu mengawal dan melindungi konstitusi dapat
berjalan maksimal.12 Salah satu penambahan ataupun perluasan kewenangan 13
10Di

dalam pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945 menetapkan bahwa kekeuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa MK adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna
menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana termaktub dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
11 Lihat Pasal 24 C Ayat 1 dan 2 dan didalam pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi.
12 Dalam penjelasan UU MK disebutkan salah satu substasi keberadaan MK adalah berfungsi
menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
13 Penulis seungguhnya lebih menilai CC kepada MK merupakan bentuk perluasan
kewenangan, namun mengingat makalah ini bukan mmebahas pada aspek tersebut tetapi lebih
kepada urgensi CC. Maka tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Pilihan perluasan setidaknya
didasarkan pada alas an sebagai berikut. Pertama, Merujuk pendapat I Dewa Gede Palguna yang

5

tersebut adalah berupa kewenangan untuk menguji dan memutus constitutional
complaint (pengaduan konstitutisonal).
Constitutional complaint (CC) adalah pengaduan atas pelanggaran-pelanggaran
hak-hak costitusional warga negara.14 Peristiwa konkrit bekenaan dengan CC,
adalah dengan melihat peristiwa di penghujung tahun 2008. Melalui 3 Menteri
Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jakasa Agung

yang mengeluarkan SKB 3


Menteri Tentang Pembekuan Jama ah Ahmadiyah. Tindakan pemerintah tersebut

kemudian banyak yang menilai sebagai bentuk pelanggaran HAM, sehingga perlu
dibatalkan ataupun diuji keabsahannya. Namun mengingat mekanisme dan
lembaga yang mengujinya belum ada, akhirnya SKB tersebut tetap berlaku tanpa
aral.
Hasil penelusuran lain terhadap surat-surat maupun permohonan yang
diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi selama tahun 2005, sedikitnya
terdapat 48 surat ataupun permohonan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk
constitutional complaint atau sejumlah 3 (tiga) kali lipat permohonan judicial
review pada tahun yang sama.15 Bahkan, karena begitu pentingnya fungsi
pengaduan konstitusional terkait dengan penegakan konstitusi dengan aras yang
menyatakan bahwa dalam hubungan dengan usul untuk mengadopsi mekanisme constitutional
complaint secara terbatas, ada dua hal yang harus dicermati. Pertama, meskipun substansi
permohonan itu sesungguhnya adalah constitutional complaint, permohonan itu sendiri
dikonstruksikan sebagai permohonan pengujian undang-undang. Artinya, sama sekali tidak
menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan secara limitatif oleh UUD
1945. Kedua, permohonan itu hanya dapat dilakukan oleh pihak yang secara faktual telah
menderita kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh kekeliruan penafsiran dan penerapan
undang-undang. Lihat I Dewa Gede Palguna, Constitusional Question: Latar Belakang dan Praktik Di
Negara Lain serta Kemungkinan Penerapannya di Indoinesia. Makalah Pada Seminar Nasional
Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi,
diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Malang, 21 November 2009. hlm. 16-19. Kedua, dalam putusan MK 001/PUU-IV/2006 disebutkan
bahwa Mahkamah seharusnya dapat menampung pengaduan konstitusional (constitutional
complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara karena sesungguhnya telah
memiliki dasar hukum yang cukup berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam
UUD 1945.
14 Lihat Tanja Karakamisheva, CC : Prosedure and legal instrument for development of the
constitutional justice (Case Study-Federal Republik Of Germany, Republik Of Croatia, Republik of
Slovenia and Republik of Macedonia) dikutip dalam Ifdhal Kasim, Signifikasi Constitusioanal
Complaint dan Urgensi Penerapannya Di Indonesia, Makalah dalam seminar
Constitusional
Complaint Sebagai Jaminan Konstitusional Warga Negara Dalam Rangka Supremasi Konstitusi
yang diselenggarakan PSHK FH UII dan Mahkamah Konstitusi di Hotel Jogjakarta Plaza, 20 Maret
2010.
15aP.M.aFaiz,aMenaburaBenihaConstitutionalaComplaint,adalamahttp://jurnalhukum.blogspo
t.com/2006/09/constitutional-complaint-dan-hak-asasi.html, diakses 01 Januari 2014.

6

lebih konkret dan langsung mengenai kepada setiap warga negara, adalah apa
yang dilakukan oleh 2 (dua) orang Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion-nya
pada Putusan Nomor 001/PUU-IV/2006 mengenai perkara Badrul Kamal, terlepas
dari putusan akhir dari keduanya, kali ini secara tegas dapat dikatakan telah mulai
menanamkan benih-benih constitutional complaint dengan cara melakukan
penafsiran bahwa Mahkamah seharusnya dapat menampung pengaduan
konstitusional (constitutional complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional
warga negara karena sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang cukup
berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945.
Beberapa deskripsi di atas menunjukan bahwa ada mekanisme yang belum
terpenuhi dalam bernengara, khususnya dalam upaya menjamin dan melindungi
HAM warga negara. Apabila hal ini tidak direspon, maka menjadi sebuah
kecelakaan besar bahwa negara tidak serius dalam menjalankan isi konstitusi
sebagai sebuah konsensu. Oleh karena itu, makna penting bagi Indonesia untuk
memberikan saluran kepada masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya.
Maka dari itu, adanya mekanisme CC di Indonesia bertujuan untuk serlindungan
hak asasi manusia, prinsip equality befor the law, supremasi hukum dan keadilan.
Desain Ideal Konsep Kewenangan Constitutional Complaint Bagi Mahkamah
Konstitusi
Desain ideal tentang konsep penambahan maupun perluasan kewenangan
constitutional complaint (CC) bagi MK, tidak lain agar tidak menjadikan MK sebagai
kanal sampah permasalahan konstitusi. Mengingat misalnya saja sejak berdiri
hingga tahun 2009, perkara yang masuk dan ter-register di kepaniteraan MK
sudah sebanyak 404 perkara.16 Dengan jumlah hakim yang hanya 9 (sembilan)
orang, maka akan menjadi kerepotan yang luar biasa bagi MK jika nantinya
pengaduan yang berdimensi konstitusional juga harus diperiksa dan diputus oleh
MK tanpa ada parameter konkret. Karena apabila dengan melihat kondisi geografis
dan jumlah penduduk Indonesia, maka wajar jika kompleksitas permasalahanpun

16
Lihat e-book, Refleksi kinerja MK 2009 Proyeksi
www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 01 Januari 2014.

2010,

diunduh

dari

7

juga akan variatif. Oleh karena itu perlu adanya ukuran dan patokan yang harus
ditentukan terkait constitutional complaint.
Apabila

melihat

praktek

CC

di

Jerman,

dalam

Konstitusi

Jerman

(Bundesverfassungsgerichtsge- setz) di dalam Pasal 93 ayat (1) menyebutkan:
A constitutional complaint may relate to any act by a public authority violating
a basic right: a law, a directive of an administrative agency, or a court decision.
However, the requirement for lodging such a complaint with the Federal
Constitutional Court is that there is no other means of eliminating the violation of
a basic right. In principle all remedies within the relevant branch of jurisdiction
(e.g. civil, criminal or administrative) must therefore first be exhausted before
having recourse to the Federal Constitutional Court. (Keluhan konstitusional
mungkin berhubungan dengan tindakan yang dilakukan oleh otoritas publik
yang melanggar hak dasar: seperti produk hukum, arahan dari sebuah lembaga
administratif, atau keputusan pengadilan. Namun, persyaratan untuk
mengajukan keluhan tersebut ke Mahkamah Konstitusi Federal adalah
disebabkan karena tidak ada mekanisme lain yang harus ditempuh terhadap
pelanggaran hak dasar tersebut. Adapun pengaduan yang diadukan yang
relevan yurisdiksi putusan, misalnya dari putusan perdata, pidana atau
administratif).
Atas deskripsi tersebut, maka aspek penting yang perlu diperhatikan dan
dimasukan ke dalam desain CC setidaknya menyangkut tujuh hal sebagai berikut ;
pertama, ukuran atau parameter dalam proses penyeleksian dan dikabulkannya
pengaduan pemohon; Kedua, apakah semua hak-hak konstitusional dapat menjadi
objek CC atau sebagian; Ketiga, adanya kerugian konstitusional yang nyata yang
ditimbulkan dari tindakan individu oleh legislatif, eksekutif dan bahkan putusan
pengadilan; Keempat, jelas subyek pemohonnya; Kelima, upaya CC merupakan
upaya terakhir setelah upaya hukum yang tersedia sudah dijalankan atau bisa juga
pemohon dalam exhausted of justice (upaya-upaya hukum yang tersedia telah
habis); Keenam, aspek kekuatan mengikatnya putusan. Ketujuh, CC tidak ditujukan
kepada Undang-undang atau peraturan lainnya yang sudah nyata diatur oleh UU
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan,
misalnya SKB tidak diatur oleh Undang-undang tersebut, namun isi maupun
peraturannya melanggar ketentuan hak-hak konstitusional yang diatur UUD 1945.

8

Memperhatikan poin-poin di atas, maka kemudian menjadi penting untuk
dicarikan syarat ataupun ciri konkrit sebuah aduan yang bisa dikategorikan
sebagai CC. Namun demikian, perlu di tegaskan bahwa CC hanya dilakukan untuk
memulihkan hak konstitusional bagi pihak yang dirugikan, tanpa perlu
membatalkan suatu ketentuan perundang-undangan dalam hal judicial review.17
Dengan demikian, suatu peraturan perundang-undangan dapat tetap diberlakukan
sesuai asas erga omnes (berlaku untuk seluruhnya) kecuali bagi mereka yang
dianggap menderita kerugian atas berlakunya peraturan perundang-undangan
tersebut. Menurut Jan Klucka maka secara umum ada 4 (empat) karakter dari
constitutional complaint yaitu:18
1. They provide a judicial remedy against violations of constitutional rights
(sarana peradilan untuk memperbaiaki/memulihkan hak konstitusional
terhadap adanya pelanggaran);
2. They lead to separate proceedings which are concerned only with the
constitutionality of the act in question and not with other legal issues
connected with the same case (Kasus yang diproses hanya yang
bersangkutan dengan hak konstitusionalitas yang lahir dari aturan dasar
(UUD) dan masalah hukum yang diproses /diajukan tidak boleh kasus yang
sama/sejenis);

Sebagai contoh adalah complaint terhadap keberlakuan suatu aturan yang berkenaan
dengan hak kosntitusional seseorang atau sekelom-pok orang. Di Jerman pernah terjadi adanya
pengajuan complaint terhadap larangan penyembelihan hewan (animal slaughter). Aturan tersebut
diprotes serta digugat ke pengadilan oleh warga muslim Jerman yang secara syariah Islam
diwajibkan untuk mengeluarkan darah hewan melalui tenggorokan dengan cara menyembelih
hewan tersebut, apalagi adanya alasan kewajiban penyembelihan hewan pada setiap hari Raya
Qurban (Iedul Adha). Pengujian aturan setingkat Peraturan Pemerintah tersebut dilakukan di
Mahkamah Agung. Namun hasilnya menolak permohonan pemohon dengan dalih kewenangan
negara untuk menentukan aturan, dan menyatakan bahwa aturan tersebut tetap mengikat secara
umum termasuk kepada pemohon. Akhirnya para pemohon mengajukan ke Mahkamah Konstitusi
untuk menguji putusan Mahkamah Agung tersebut melalui penilaian terhadap ketentuan
konstitusional, khususnya terhadap pasal tentang kebebasan beragama (freedom of religion). Dari
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah terjadi terobosan hukum melalui interpretasi
terhadap paradigma atas kedaulatan Tuhan yang di-implementasikan ke dalam kaedah-kaedah
agama, termasuk pe-nyembelihan hewan korban. Dalam posisi ini, secara yuridis kedaulatan Tuhan
dapat menegasikan kedaulatan negara yang membuat aturan larangan penyembelihan hewan,
dengan demikian aturan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
bagi para warga muslim Jerman, namun tetap di-berlakukan bagi warga lainnya (Decision of the
Federal Constitutional Court, 1 BvR 2790/04 of December 28, 2004).
18 Jan Klucka, Suitable Rights for Constitutional Complaint, Makalah disampaikan pada
Workshop The Functioning of the Constitutional Court of The Republic of Latvia , Riga, Latvia, -4
Juli 1997. Lihat juga Wasis Susetio, Membangun Demokrasi Melalui Constitutional Complaint, dalam
http://www.esaunggul.ac.id/article/membangun-demokrasi-melalui-constitutional-complaint/,
diakses 01 Januari 2014.
17

9

3. They can be lodged by the person adversely affected by an act in question
(Diajukan oleh orang yang mengalami kerugian akibat tindakan pemerintah
secara langsung);
4. The court which decides the constitutional complaint has the authority to
annul the act that it deems unconstitional. Such annulment is indispensable to
constitutional justice and it must be read as a corollary of the power of
constitutional court to interpret constitution as a basic legal text of each state
and to ascertain its violation (Pengadilan yang diberikan CC jelas memiliki
kewenangan untuk membatalkan aturan yang dianggap inkonstitusional.
Substansi pembatalannya oleh hakim harus dilihat sebagai konsekwensi
kewenangan hakim untuk menafsirkan konstitusi sebagai teks hukum dasar
masing-maisng negara dan untuk memastikan bahwa pelanggaran akibat
dari sebuah tindakan betul-betul sesuai dengan teks dasar tersebut).
Secara umum uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengaduan CC
merupakan akibat dari pelanggaran konstitusional yang dapat berupa kebijakan
atau tindakan pejabat publik termasuk vonis/putusan hakim. Namun pengajuan CC
dapat diajukan ke MK dengan syarat telah menempuh seluruh upaya hukum
pengadilan lainnya. Artinya mekanisme CC dapat diperkenankan apabila memang
bentul sudah tidak ada lagi meknaisme lain untuk memulihkan hak konstitusional
seroang warga Negara yang merasa dilanggar.
Aspek lain yang kiranya penting untuk diulas, adalah berkenaan dengan legal
standing atau pihak pemohon CC dan syarat-syarat permohonannya. Untuk
menentukan elemen tersebut, terlebih dulu penting untuk melihat praktek CC yang
telah ada di negara lain, seperti Jerman. Ketentuan dasar hukum di Jerman
(Grundgesetz), dalam Pasal Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 91 menyebutkan: …..on
complaint of constitutionally, being field by any person claiming that’s one of his
basic rights or one of his basic rights or one of his rights or local government…
(pihak yang boleh memohon dalam mekanisme constitutional complaint di Jerman
yaitu warga negara dan pemerintah daerah atau gabungan pemerintah daerah).
Hal berbeda, dapat dijumpai dalam konstitusi Spanyol, Pasal 161 ayat (1)
huruf b menyebutkan bahwa individu warga negara dapat mengajukan pengaduan
konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi Spanyol apabila pemerintah

10

melanggar hak-hak dasar atau kebebasan mereka. 19 Artinya di Spanyol yang
memiliki legal standing untuk melakukan permohonan constitutional complaint
hanyalah warga negara saja. Melihat perbedaan dua negara tersebut, maka dengan
memperhatikan Pasal 51 ayat (1) UUD 1945 yang terdiri dari 4 (empat) jenis
pemohon yang diperkenankan, yaitu; (i) perseorangan warga negara atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, (ii) kesatuan
masyarakat hukum adat, (iii) badan hukum publik atau privat, dan (iv) lembaga
negara. Maka konsep legal standing bagi Indonesia bisa dengan memadukan
ketiganya yaitu; pertama, perseorangan warga negara atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama; kedua kesatuan masyarakat hukum adat.20
Adapun terkait persyaratan permohonan, referensi di negara Jerman
setidaknya bisa menjadi gambaran. Di Jerman objek permohonan dalam
mekanisme constitutional complaint disebutkan dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1)
8a dan 8b Konstitusi Jerman sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 33,
38, 101, 103 atau Pasal 104 Konstitusi Jerman. 21 Objek permohonan yang
dimaksud adalah dapat berupa undang-undang, peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang, atau produk hukum yang dikeluarkan oleh otoritas
publik baik di tingkat pemerintah federal maupun di tingakat pemerintah negara

19 Rusdianto, Kewenangan Constitutional Complaint Dalam Rangka Perlindungan Hak
Konstitusional Warga Negara, Materi ajar pada Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya,
Hlm. 1.
20 Alasan mengapa hanya pada 2 (dua) elemen legal standing karena hakekat dari mekanisme
constitutional complaint adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional
warga negara bukan untuk melindungi kewenangan suatu lembaga negara. Karena pelanggaran hak
konstitusional warga negara justeru dilakukan oleh aparatur atau pejabat dari lembaga negara atau
pejabat publik tersebut. Menurut Philipus M.(adjon di dalam istilah hak mengandung inti bahwa
adanya suatu tuntutan (claim) yang dalam kaitannya dengan tuntutan terhadap perlindungan
hukum bagi rakyat. Sementara itu, konsep kewenangan merupakan konsep dalam hukum
administrasi, yaitu terkait dengan adanya jabatan tertentu. Menurut Prajudi Admosudirja,
kewenangan (authority, gezag) adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal
dari kekuasaan legislatif (diberikan oleh undang-undang) atau kekuasaan eksekutif/administratif,
yang terdiri atas kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau terhadap suatu bidang
pemerintahan. Dengan demikian, maka warga negara biasa tidak mungkin memiliki suatu
kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal
UU No. Tahun
dan hanyalah pejabat
pemerintahanlah yang memiliki kewenangan yang dalam hal ini adalah lembaga negara. Ibid. Lihat
juga Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Peradan Press, Surabaya,
2007, Hlm. 33-36.
21 Rusdianto, Kewenangan Constitutional Complaint…Op. Cit, Hlm. 2.

11

bagian. Bahkan selain itu, putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan
hukum tetap dapat diperiksa melalui mekanisme constitutional complaint. 22
Kemudian persyaratan untuk mengajukan permohonan bagi pemohon
perseorangan warga negara juga harus menunjukkan dan menyebutkan hak mana
yang diduga dilanggar oleh pejabat publik bersangkutan dan harus dibuktikan
dalam waktu satu bulan.23 Pemaparan tentang objek permohonan dalam
mekanisme CC di Jerman, maka hal tersebut lebih menjamin terlindunginya ha-hak
konstitusional warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karenanya, konsep
tersebut mungkin bisa disesuaikan dengan mekanisme CC untuk Indonesia
nantinya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian di atas, maka dapat dikemukakan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Sebagai negara hukum yang mendambakan demokrasi konstitusional dan
ingin mewujudkan supreme konstitusi, maka perluasan

kewenangan

berupa constitutional complain pada MK merupakan hal yang tak
terbantahkan urgensinya, karena penerapannya di Indonesia merupakan
wujud konkrit dan upaya penghormatan serta perlindungan maksimum
terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang sudah diatur secara
eksplisit oleh konstitusi UUD 1945.
2. Guna efektifitas implementasi CC, maka sejumlah kriteria telah coba
ditawarkan dan termasuk mkenisme idealnya apabila nanti benar
dilakukan oleh MK RI .
Saran
1. Agar lebih tegas dan jelas bahwa MK memiliki kewenangan CC, maka harus
segera melakukan amandemen kelima UUD 1945 supaya memasukan CC
menjadi kewenangan MK. Apabila langkah tersebut terlalu berat, maka UU
tentang MK menjadi sebuah keharusa dan kegentingan yang memaksa

22
23

Ibid.
Ibid.

12

untuk dirubah.

Sehingga supreme konstitusi dapat terwujud secara

konkret;
2. Setelah proses amandemen (perubahan) aturan telah menegaskan CC telah
menjadi kewenangan MK, MK harus pro aktif dengan membuat peraturan
MK tentang mekanisme CC. sehingga dapat segera tercipta constitusional
adjudication atau peradilan konstitusi yang ideal.

13

DAFTAR PUSTAKA

Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Buku-buku
Abdul Latif Dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta:
Total Media, 2009.
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1992.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Surabaya:
Bina Ilmu, 1987.
Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,
Yogyakarta: UII Press, 1999.
Ni matul (uda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap
Konstitusi Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Ridwan HR, Hukum Admisnistrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002.

Makalah
I Dewa Gede Palguna, Constitusional Question: Latar Belakang dan Praktik Di
Negara Lain serta Kemungkinan Penerapannya di Indoinesia. Makalah Pada
Seminar Nasional Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin
Supremasi Konstitusi, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi PPK
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang, 21 November 2009.

Ifdhal Kasim, Signifikasi Constitusioanal Complaint dan Urgensi Penerapannya
Di Indonesia, Makalah dalam seminar Constitusional Complaint Sebagai Jaminan
Konstitusional Warga Negara Dalam Rangka Supremasi Konstitusi yang
diselenggarakan PSHK FH UII dan Mahkamah Konstitusi di Hotel Jogjakarta Plaza,
20 Maret 2010.

Jan Klucka, Suitable Rights for Constitutional Complaint, Makalah disampaikan
pada Workshop The Functioning of the Constitutional Court of The Republic of
Latvia , Riga, Latvia, -4 Juli 1997.
Media

Refleksi
kinerja
MK
2009
Proyeksi
2010,
diunduh
www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 01 Januari 2014.

dari

14

Wasis Susetio, Membangun Demokrasi Melalui Constitutional Complaint, dalam
http://www.esaunggul.ac.id/article/membangun-demokrasi-melaluiconstitutional-complaint/, diakses 01 Januari 2014.
Putusan dan Aturan Hukum lain
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-IV/2006.
Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland (undang-undang dasar) Negara Jerman.
The Constitutional Court of the Republic of Croatia.
The Constitution of The State of Bavaria.
The Constitutional Court Act of Korea.

15