Penegakan Hak Konstitusional Melalui Constitutional Complaint Sebagai Perwujudan Negara Hukum

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang biasa disingkat UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam penyelenggaraan ketatanegaraan didasarkan pada hukum yang berlaku. Konstitusi mengatur aspek ketatanegaraan Indonesia terkait pembagian kekuasaan negara, penyelenggaraan kekuasaan negara hingga perwujudan akan tujuan dan cita-cita bernegara.

  Dapat diartikan bahwa hukum bertujuan untuk menjamin kepastian hukum pada warga negara dan hukum itu harus pula bertumpu pada keadilan (justice), yaitu

  1

  asas-asas keadilan dari masyarakat sebagai tujuan dari hukum. Oleh karena itu, hukum sebagai koridor yang memberi batasan dan arah dalam penyelenggaraan kehidupan negara.

  Negara sebagai rumah dari warga negara berkumpul menjadi sebuah komunitas hidup bersama dalam suatu wilayah dan pemerintahan haruslah mampu melindungi hak asasi warga negaranya. Oleh karena itu, Negara harus mampu 1 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.ke-7, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), Hlm. 40-41. memberikan jaminan perlindungan hak asasi melalui kekuasaan pemerintahannya. Hal ini sejalan dengan konsep negara hukum yang telah dijelaskan diatas melalui kekuasaan pemerintahan, Negara harus melindungi hak asasi warga Negara.

  Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa salah satu unsur yang mutlak harus ada

  2 dalam negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights).

  Dan diperkuat oleh pendapat Friedrich Julius Stahl, salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic

  rights/fundamental rights ) atau Hak Asasi Manusia yang disingkat HAM.

  Menurut John Locke, HAM merupakan hak-hak yang langsung diberikan oleh

  3 Tuhan sebagai sesuatu yang kodrati/inheren. Dapat dijelaskan bahwa tidak ada

  satupun bentuk kekuasaan yang dapat menyinggung ataupun meniadakan hak asasi seseorang. Sehingga hak asasi seseorang harus dijaga, dilindungi dan dijunjung tinggi oleh siapapun tanpa terkecuali. Negara yang menjalankan kekuasaan juga harus melindungi dan menghormati hak asasi warga Negara.

  Indonesia sebagai Negara hukum telah menerapkan perlindungan dan penghormatan hak asasi warga Negara. Dimana perlindungan dan penghormatan hak asasi diaplikasikan ke dalam konstitusi atau UUD 1945. Dapat dsimpulkan bahwa pemahaman Indonesia mengenai HAM adalah hak yang melekat (dignity) dalam diri manusia sebagai anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,

2 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.ke-2 (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), hlm. 343.

  akses tgl. 15 Mei 2015. Negara menjaminnya dalam legitimasi hak asasi kedalam UUD 1945 yang disebut hak konstitusional warga Negara.

  Indonesia merupakan Negara hukum yang konstitusional. Hal ini diartikan bahwa penyelenggaraaan aspek hukum ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar Negara (staatsgrundnormgesetz). Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan hak konstitusional warga negara dan konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain, konstitusi harus diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus lebih utama daripada wakil-wakilnya. Serta Semua produk hukum dibawah UUD tidak boleh bertentangan dengan UUD.

  Dari penjelasan diatas, maka segala bentuk tindakan pemegang kekuasaan haruslah memperhatikan hak konstitusional warga Negara yang termuat dalam konstitusi. Hak-hak konstitusional tersebut jika dilanggar atau bahkan diabaikan oleh berlakunya suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh aparatur Negara ataupun aspek lain yang bertentangan dengan hak konstitusional, adakah mekanisme hukum untuk menjamin hak-hak konstitusional? karena hak-hak konstitusional tersebut tidak cukup hanya sebatas pengakuan tertulis dalam sebuah dokumen, tetapi harus ada perlindungan yang konkrit yang mampu menjamin dan melindungi hak-hak dasar warga negara.

  Sejalan dengan perjalananan ketatanegaraan Indonesia ditemukan permasalahan dalam menjamin hak konstitusional warga Negara. Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 belum memuat akan hal yang terkait penjaminan hak konstitusional warga Negara secara maksimal. Hal yang terkait pelanggaran konstitusional yang dimuat dalam produk hukum Undang-undang dapat diajukan upaya hukum judicial review terhadap undang-undang dasar. Selain itu dalam pelanggaran hak konstitusional yang berbentuk keputusan dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

  Timbul sebuah permasalahan yang sangat penting dalam upaya perlindungan hak konstitusional warga negara yaitu bagaimana pelanggaran konstitusional yang bukan atas berlakunya undang-undang atau keputusan? Adakah upaya yang dapat ditempuh dalam mencari keadilan dalam perwujudan negara hukum (rule of law)?

  Konsep Rule of Law menginginkan adanya peran peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk memberikan putusan terhadap segala kasus hukum yang terjadi

  4

  dalam suatu Negara. Dari hal tersebut dijelaskan bahwa lembaga peradilan sebagai instrumen hukum dalam menjamin keadilan harus mampu menyelesaikan segala permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat.

  Dalam praktek peradilan di Indonesia, fakta menunjukkan ditemukan perkara diajukan ke Mahkamah Konstitusi Indonesia yang terindikasi melanggar hak konstitusional warga Negara yang menjadi kompetensi dalam contitutional 4 Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga, (Malang : in Trans Publishing, 2007), hlm. 77.

  

complaint , sementara semua upaya hukum yang ditempuh oleh pihak pengadu tidak

  dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) atau ditarik kembali oleh pengadu sebelum proses peradilan dilaksanakan yang disebabkan tidak tersedianya kewenangan/kompetensi mengadili perkara tersebut di Mahkamah Konstitusi,

  5

  maupun di semua lembaga peradilan yang ada. Misalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait persoalan aliran Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh tiga kementerian yang merupakan tindak lanjut dari UU No.1/PNPS/1965 yang menjadi pro dan kontra yang hidup di tengah masyarakat. Dari kalangan masyarakat yang kontra menyatakan bahwa SKB tersebut melanggar hak konstitusional yang diberikan Pasal 29 UUD 45 tentang kebebasan beragama. Dimana mereka berpendapat bahwa setiap orang berhak memeluk kepercayaan yang dipercayainya sehingga orang lain harus menghormati kepercayaan yang dianut oleh mereka Begitu pula pihak yang pro, berargumen bahwa umat Islam harus dilindungi oleh negara dari kelompok-kelompok serta unsur-unsur

5 Berdasarkan data yang ada di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi hingga akhir Desember

  2010, terdapat 30 permohonan yang secara subtansial merupakan constitutional complaint sehingga permohonan tersebut ditarik kembali atau diputus dengan putusan “tidak dapat diterima”. Beberapa diantaranya yang dapat perhatian luas: Perkara Nomor 016/PUU-I/2003 (Permohonan pembatalan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung), Perkara Nomor 061/PUU-II/2004 (Permohonan pembatalan dua putusan peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang saling bertentangan), Perkara Nomor 004/PUU-III/2005 (dugaan adanya unsur penyuapan dalam putusan Mahkamah Agung), Perkara Nomor 013/PUU-II/2005 (penyimpangan penerapan norma undang-undang), Perkara Nomor 018/PUU-III/2005 (penafsiran yang keliru dalam penerapan undang-undang), Perkara Nomor 025/PUU-III/2006 (dua Putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan), Perkara Nomor 007/PUU-IV/2006 (ketidak pastian perkara penanganan perkara di peradilan umum dan dugaan adanya unsur penyuapan), Perkara Nomor 030/PUUV/2006 (kewenangan mengeluarkan izin penyiaran), Perkara Nomor 20/PUU-V/2007 (Pembuatan kontrka ketjasama pertambangan yang tidak melibatkan persetujuan DPRD), Perkara Nomor 026/PUU-V/2007 (sengketa tentang pemenang pemilihan kepala daerah), Perkara Nomor 1/SKLN-VI/2008 (laporan temuan pelanggaran pemiliha kepala daerah yang tidak ditindaklanjuti). Dikutib dari, Ringkasan disertasi I Dewa Gede Palguna, “Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara (Studi Kewea ngan Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Perspektif Perbandingan)”, disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011. yang menistakan agama Islam sebagai agama yang berkembang di masyarakat.

  6 Perkara tersebut ketika itu akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

  Mahfud MD berpendapat, bahwa SKB tiga Menteri tentang pelarangan Jemaat Ahmadiyah tidak dapat digugat ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), seperti yang ditulis dalam bukunya

  7 Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu.

  Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan menilai SKB Ahmadiyah yang didasarkan pada ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 dan UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

  Mahkamah Konstitusi hanya berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar baik secara materil dan formil, memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang wewenang atributif diberikan oleh UUD, memutuskan sengketa hasil pemilihan umum (PHPU), dan memutuskan pembubaran partai politik; sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945 sehingga presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan sebelum berakhir masa jabatan (Impeachment). Jadi tidak ada kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji sebuah SKB. Dibawa ke MA juga tidak tepat, karena SKB bukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- 6 Moh.Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, cet.ke-2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 286-287. 7 Ibid., hlm. 288.

  Undangan. Jika diperkarakan ke PTUN juga kurang tepat karena SKB tersebut dinilai sebagai peraturan (regeling) bukan penetapan (beschiking) karena ada muatannya yang bersifat umum (abstrak).”

  Mahfud MD menyatakan, bahwa perkara tersebut dapat diselesaikan melalui prosedur constitutional complaint (pengaduan konstitusional), Namun saat ini, yang menjadi masalahnya adalah kewenangan tersebut di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi bahkan di luar lembaga yudikatif lainnya yang dapat disimpulkan bahwa kewenangan tersebut belum menjadi kompetensi salah satu lembaga yudikatif yang ada di Indonesia. Mahfud MD pun mengusulkan kewenangan ini untuk diberikan kepada Mahkamah Konstitusi karena adanya masalah pelanggaran hak

  8 konstitusional.

  Selain permasalahan hukum diatas, bagaimana dengan penyelesaian perkara pengajuan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) terkait bunyi Pasal 34 UUD yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Apakah mereka yang hidup terlantar dapat mengajukan pengaduan constitutional

  

complaint ? jika dikaitkan pada tujuan demokrasi dalam kesejahteraan sosial warga

  negara, negara tidak menjamin nasib anak terlantar dan fakir miskin sehingga masyarakat tidak menperoleh kesejahteraan dalam penyelenggaraan Negara atas tindakan pemegang kekuasaan yang tidak memperhatikan hak mereka. Adakah solusi hukum dalam menampung aspirasi mereka yang lemah?

8 Ibid., hlm. 289.

  Dalam penerapan upaya hukum pidana, apabila seseorang terdakwa dalam pengajuan peninjauan kembali yang dalam putusannya terjadi penerapan hukum yang salah maka upaya hukum apa yang dapat digunakan oleh individu tersebut? jelas bahwa hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh penerapan hukum yang salah namun ia harus menanggung akibat dari apa yang tidak diperbuatnya.

  Jika melihat dari beberapa kasus diatas terjadi pelanggaran hak konstitusional yang dibiarkan berlarut-larut sehingga tidak adanya kepastian hukum dalam permasalahan diatas. Hal ini ini menyebabkan celah timbulnya kekosongan hukum yang menunjukkan bahwa hukum yang seharusnya sebagai pencerah justru masih lamban dalam menangkap dan menyelesaikan permasalahan hukum yang sangat kompleks. Dimana hukum yang harusnya mempunyai wibawa sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan hukum tidak mampu menjadi solusi dalam permasalahan hukum. Hukum seolah hanya menjadi pemanis dan pelengkap yang menyatakan Indonesia sebagai Negara hukum.

  Mahkamah konstitusi yang bertugas sebagai pengawal konstitusi dalam kenyataan tidak dapat menjamin hak konstitusional warga Negara secara maksimal.

  Ironis, Indonesia mengagungkan pengakuan basic rights (hak dasar warga Negara) tanpa perlindungan atau mendengung-dengungkan perlindungan tanpa tersedia upaya hukum adalah sama saja pengingkaran terhadap pengakuan dan perlindungan basic

  

rights setiap warga negara. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara

  yang menjamin hak-hak dasar warga negara sebagai perwujudan negara hukum belum mampu menjamin hak konstitusional warga Negara. Seharusnya penanganan permasalahan ini dalam menjaga konsep Negara demokrasi rule of law maka

  

constitutional complaint dapat menjadi salah satu wewenang mahkamah konstitusi

dalam tugasnya mengawal konstitusi.

  Sementara itu, kenyataan menunjukkan kewenangan constitutional complaint di Indonesia belum dimiliki oleh lembaga yudikatif yang ada. Dengan banyaknya perkara constitutional complaint yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, maka seharusnyalah constitutional complaint dipertimbangkan untuk menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu upaya dalam menjamin hak konstitusional warga Negara sebagai perwujudan Negara hukum.

  Mahkamah konstusi yang bertugas sebagai pengawal konstitusi seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan hukum terkait pelanggaran hak konstitusional warga Negara. Penting kiranya Mahkamah Konstitusi dapat menampung pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara karena sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang cukup

  9

  berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945. Dapat dilihat pada Pasal 24 C UUD 1945 bahwa mahkamah konstitusi bertugas mengawal konstitusi. Sehingga ini mengindikasikan bahwa setiap pelanggaran hak konstitusional warga Negara tersedia sarana hukum dalam menjamin hak konstitusional warga Negara melalui mahkamah konstitusi sebagai pengawal konstitusi dalam perwujudan Negara demokrasi hukum di Indonesia. 9

   diakses tgl 15 maret 2015. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menelaah dan menganalisis permasalahan ini dari sudut pandang politik hukum dengan berpedoman pada UUD 1945 yang diangkat dalam penelitian yang berjudul

  “PENEGAKAN HAK

KONSTITUSIONAL MELALUI CONSTITUTIONAL COMPLAINT

SEBAGAI PERWUJUDAN NEGARA HUKUM

  . Diharapkan penelitian ini

  mampu menjawab problematika hukum terkait pelanggaran konstitusi, karena hal ini penting demi menjaga hak-hak konstitusi warga negara dan menjamin supremasi hukum konstitusi di Indonesia serta perwujudan Negara hukum.

  B.

  Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka diangkat rumusan masalah oleh penulis sebagai berikut :

1. Bagaimana klasifikasi hak konstitusional yang dapat diajukan constitutional

  complaint ? 2.

  Bagaimana pemberlakuan constitutional complaint di Indonesia dalam menjamin hak konstitusional warga Negara dalam konteks Negara hukum?

  3. Bagaimana kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa

  constitusional complaint dalam tugas sebagai pengawal konstitusi? C.

  Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.

  Untuk mengetahui hak konstitusional yang dapat menjadi alasan mengajukan .

  constitutional complaint 2.

  Untuk mengetahui pemberlakuan constitutional complaint di Indonesia dalam menjamin hak konstitusional warga negara sebagai perwujudan Negara hukum.

3. Untuk mengetahui kedudukan mahkamah konstitusi sebagai pengawal konstitusi yang berwenang dalam constitutional complaint.

  Sedangkan manfaat penelitian yang didapatkan dari penelitian ini adalah : 1.

  Kegunaan teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih pemikiran terhadap pengembangan Ilmu Pengetahuan dibidang Ilmu Hukum khususnya yang terkait penerapan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) sebagai wewenang Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan di Indonesia.

  b.

  Bagi pihak yang berkepentingan, yakni : para Pembentuk Peraturan perundang-undangan dan Akademisi dapat memberikan masukan dalam penerapan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dalam praktek kenegaraan di Indonesia.

2. Kegunaan Praktis

  Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi pengetahuan lebih mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menangani permasalahan hukum mengenai pelanggaran hak konstitusional dan memberi sumbangan pemikiran dalam perkembangan Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dalam menjamin hak konstitusional warga Negara dalam penyelenggaraan demokrasi hukum di Indonesia. Dan kepada pembuat kebijakan (decision maker) dan pembuat peraturan (wetgever) dapat mempertimbangkan constitutional complaint untuk diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

  D.

  Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan perpustakaan Universitas

  Sumatera Utara bahwa judul tentang Penegakan Hak Konstitusional Melalui

  

Constitutional Complaint Sebagai Perwujudan Negara Hukum, maka diketahui

  bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup yang diangkat untuk dikaji dan diteliti dalam penelitian ilmiah ini. Oleh karena itu, Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang Penulis lakukan dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan secara moril, karena dalam melakukan penelitian ini penulis senantiasa memperhatikan ketentuan- ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi Peneliti atau Akademisi dalam melakukan penelitian hukum.

  E.

  Tinjauan Pustaka Kajian mengenai konstitusi memang menjadi topik yang menarik dalam perkembangannya dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari tumbuh suburnya ajaran konstitusionalisme dalam masyarakat sejak era reformasi 1998. Dalam penelaahan sejumlah literlatur ditemukan sejumlah penelitian dan tulisan mengenai konstitusi ketatanegaraan khususnya terkait constitutional complaint (pengaduan konstitusional) maupun kajian yang masih berkaitan dengan penelitian ini.

1. Konsep Negara Hukum

  Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : “Negara Indonesia adalah Negara hukum.”

  Negara hukum ialah negara menjunjung tinggi supremasi hukum dalam penyelenggaraan Negara. Konstitusi merupakan hasil representatif dari kehendak rakyat. Hal ini diartikan bahwa dalam penyelenggaraan Negara Indonesia mendasarkan pada aturan hukum, yakni hukum konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi yang menjadi dasar pembentukan peraturan hukum lainnya dan rambu- rambu terhadap segala bentuk tindakan pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara.

  Sejalan dengan pendapat A.A.H Struycken dikutip oleh Sri Soemantri menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi tertulis merupakan

  10

  sebuah dokumen formal yang berisi : 10 Sri Soemanteri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 2.

  1. Hasil Perjuangan politik bangsa di waktu lampau.

  2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.

  3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun masa yang akan dating.

  4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa yang hendak dipimpin.

  Konsep Negara hukum atau Rules of Law yang dianut Indonesia mengindikasikan penjaminan hak-hak dasar (Hak Asasi Manusia yang disingkat HAM) warga Negara sebagai anugerah Tuhan (inheren) yang melekat (dignity) pada diri manusia sejak ia dilahirkan. Sehingga tidak ada satupun kekuasaan yang dapat meniadakan ataupun melanggar hak-hak dasar tersebut sebagai bentuk penghormatan akan hak asasi seseorang. Oleh karena itu, Negara sebagai penyelenggara kekuasaan harus dapat menjamin perlindungan hak asasi warga negaranya.

  Sebagai konsekuensi pengakuan terhadap hak asasi atau hak dasar warga Negara diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan yang merupakan rambu- rambu agar terciptanya kepastian hukum, perlindungan hukum dan keadilan hukum.

  Esensi dari pembentukan peraturan perundang-undangan ini adalah pengaturan perilaku masyarakat, pemerintah serta aparatur penegak hukum dalam penyelenggaraan Negara dalam mencapai tujuan bernegara rules of law.

  2. HAM sebagai Hak Konstitusional Pengakuan HAM dalam penyelenggaraan Negara Indonesia dilegitimasikan kedalam konstitusi, dimana Hak asasi tersebut melahirkan hak konstitusional warga

  Negara. Hak konstitusional warga Negara ialah hak-hak asasi yang dijamin oleh Negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Oleh karena hak asasi telah dilegitimasi dalam UUD 1945 maka peraturan perundang-undangan lainnya serta kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Negara harus memperhatikan hak konstitusional warga negara sebagai bentuk pelindungan hak konstitusional warga negara.

3. Mahkamah Konstitusi

  Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

11 Indonesia Tahun 1945.

  Secara filosofis, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of power) secara fungsional dan menerapkan check and balances untuk menggantikan secara bertahap penggunaan asas pendistribusian

  12 kekuasaan (distribution of power) dan paham Integralisme dari lembaga negara.

  Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara di bidang peradilan berfungsi menangani perkara yang berkaitan dengan ketatanegaraan dalam rangka mengawal konstitusi agar teraplikasi secara nyata dalam penyelenggaraan negara sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Hal ini mengindikasikan agar tidak terjadi multi tafsir terhadap konstitusi seperti pengalaman masa lalu.

  11 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 1 angka 1. 12 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia , (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2006), Hlm. 167.

4. Constitutional Complaint

  Constitutional complaint atau pengaduan konstitusional merupakan

  pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh orang perorangan (warga negara) ke pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, teerhadap suatu perbuatan atau kelalaian yang dilakukan oleh suatu lembaga negara atau otoritas publik (public

  

institution , publik authority) yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak dasar (basic

  13 right ) orang yang bersangkutan .

  Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia dalam penjaminan supremasi konstitusi dan hak konstitusional warga Negara, lahir sebuah lembaga yudikatif yang menangani perkara konstitusional berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan :

  “ (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa lembaga Negara yang wewenangnya diberikan undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.”

  Dalam menjalankan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi bertugas sebagai pengawal konstitusi dalam rangka tegaknya supremasi konstitusi dan menjamin hak konstitusional warga Negara.

  Keberadaan Mahkamah Konstitusi dinilai masih sangat terbatas dalam menyelesaikan permasalahan konstitusional. Mahkamah Konstitusi hanya menyediakan mekanisme yang justiciable dan enforceable bagi penegakan hak asasi 13 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), Hlm. 35. yang telah ditransformasikan menjadi hak konstitusional warga Negara. Setiap warga Negara yang merasa dilanggar atau diabaikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya UU maka dapat mengajukan Legal Standings ke Mahkamah Konstitusi, serta peraturan perundang-undangan di bawah UU yang diyakini bertentangan dengan UUD dapat diajukan ke Mahkamah Agung.

  Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia terlalu banyak permasalahan konstitusional terkait penjaminan hak konstitusional. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi seharusnya mempunyai wewenang menampung semua keluh kesah masyarakat dalam pelanggaran hak konstitusional. Namun, Mahkamah Konstitusi belum mempunyai wewenang dalam menerima pengaduan konstitusional dalam pelanggaran hak konstitusional.

  Pengaduan konstitusional (constitutional complaint) merupakan mekanisme penegakan hak konstitusional warga Negara melalui pengaduan pelanggaran hak konstitusional ke Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan demokrasi konstitusional yakni control rakyat terhadap Negara untuk memulihkan hak konstitusional warga

14 Negara. Mahfud MD berpendapat bahwa Constitutional complaint merupakan

  pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada instrument hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia jaluh penyelesaian hukum atasnya. Mekanisme ini menjadi upaya dalam menangani

14 Hamdan Zoelva,Pengaduan Konstitusional dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Sekretariat Negara RI, NO.16, Mei 2010, hlm 45.

  pelanggaran hak konstitusional secara penuh di Mahkamah Konstitusi dalam tugas sebagai pengawal konstitusi.

  Pan Mohammad Faiz, S.H dalam jurnal hukum yang berjudul Menabur Benih

  

Constitutional complaint, berpendapat bahwa constitutional complaint sangat

  dimungkinkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia, yang sangat disayangkan bahwa kewenangan ini belum diberikan kepada Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang menampung dan menyalurkan keluh kesah (personal grievance) atau pengaduan konstitusional sebagai upaya dalam mempertahankan hak konstitusional warga Negara. Dalam tulisannya menyatakan bahwa konstitusi harus diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus lebih diutamakan dari pada wakil-wakilnya sehingga dapat menjadikan konstitusi selalu hidup (living

  15 constitution ).

  Vino Devanta Anjas Krisdanar dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3 Juni 2010 yang berjudul Menggagas Constitutional complaint dalam Memproteksi Hak Konstitusional Masyarakat mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama menyatakan bahwa Constitutional complaint sangat berfungsi dalam menjaga hak konstitusi masyarakat yang salah satu hak konstitusi tersebut adalah hak kebebasan

  16 beragama.

  15 Pan Mohammad Faiz, Menabur Benih Constitutional complaint, Jurnal Hukum edisi senin

  17 September 2006. diakses tgl 16 Maret 2015. 16 Vino Devanta Anjas Krisdanar, Menggagas Constitutional complaint dalam Memproteksi Hak Konstitusional Masyarakat mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama Di Indonesia , Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, Juni 2010 hlm. 185-205.

  F.

  Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

  Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan secara yuridis. Mengacu pada tipologi pembahasan penelitian menurut Soerjono Soekanto, studi pedekatan terhadap hukum yang normatif mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan negara tertentu

  17 yang berdaulat.

  Berdasarkan judul penelitian yang telah dijabarkan kedalam beberapa rumusan masalah serta dihubungkan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka spesifikasi penelitian ini termasuk dalam lingkungan penelitian yang bersifat observatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini memaparkan serta mendeskripsikan (mengungkap) rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian yang dihubungkan kedalam data yang dikumpulkan melalui library research (studi pustaka) dan

  document research yang dilakukan dalam penelitian ini.

  Penelitian ini dikatakan observatif karena hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran terkait penerapan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dalam melindungi dan menjamin hak konstitusional warga negara.

17 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1982), hlm.51.

2. Sumber Data

  Penelitian ini bersifat normatif selalu menitikberatkan pada sumber data sekunder yang dalam penelitian ini sumber data sekunder adalah sebagai berikut : a.

  Bahan hukum primer, yaitu semua bahan yang mengikat secara yuridis meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan lain-lain.

  b.

  Bahan hukum sekunder, yaitu semua bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer meliputi jurnal ilmiah, buku referensi (litelatur), serta hasil karya ilmiah para sarjana dan Ahli hukum.

  c.

  Bahan hukum tarsier, yaitu semua bahan yang member petunjuk maupun penjelasan bahan hukum primer dan sekunder meliputi Kamus Hukum, artikel, surat kabar, internet, ensiklopedi dan lain sebagainya.

  3. Alat Pengumpulan Data Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian normatif maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi Kepustakaan (Library

  Resource) dan studi dokumen. Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pengumpulan data penelitian melalui penelitian kepustakaan dengan mempelajari litelatur-litelatur yang berhubungan dengan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Sedangkan studi dokumen dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ilmiah ini.

4. Analisi Data

  Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data sekunder yang berupa teori, definisi dan substansi yang berasal dari berbagai litelatur terkait dalam peneitian ini serta yang berasal dari peraturan perundang-undangan terkait seperti Undang-undang Dasar 1945, Undang-Undang No. No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagai data primer dalam penelitian ini yang menunjang dalam penulisan penelitian yang dilakukan.

  Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memperoleh data dari berbagai sumber yang dianalisis secara kualitatif. Data diperoleh dari studi pustaka atas beberapa litelatur terkait constitutional complaint serta negara hukum. Kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif yakni cara berpikir yang mendasar kepada hal yang bersifat umum yang kemudian ditarik sebuah kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

  Setelah data dianalisis secara kualitatif, maka hasilnya disajikan dalam sebuah deskriptif yakni berupa pemaparan objek kajian yang diteliti dalam penelitian ini.

  Pemaparan yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

  G.

  Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibuat dan disusun atas 5 bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

  BAB I PENDAHULUAN Dalam Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang dilakukan dalam penulisan skripsi.

  BAB II HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA Dalam Bab II ini akan membahas mengenai hak konstitusional warga negara, Kedudukan HAM dan Hak warga negara sebagai hak konstitusional warga negara ditinjau dari UUD 1945 serta Bentuk perlindungan hak konstitusional warga negara.

  BAB III KEDUDUKAN CONSTITUTIONAL COMPLAINT DALAM MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL Dalam Bab III ini akan membahas mengenai constitutional complaint dalam menjamin hak konstitusional dalam konsep negara hukum, Constitutional

  complaint ditinjau dari UUD 1945 sebagai bagian Konstitusi serta Contitutional complaint sebagai bentuk pengujian konstitusional.

  BAB

  IV KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGADILI CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI PERWUJUDAN HUKUM Dalam Bab IV ini membahas mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditinjau dalam UUD 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili

  Constitutional Complaint serta Penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi tanpa perubahan UUD 1945.

  BAB V PENUTUP Dalam Bab V ini adalah merupakan hasil pembahasan dari keseluruhan skripsi yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan saran-saran dari penulis terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Judi Menurut Hukum Positif (Kuhp) Dan Qanun Nomor 13 Tahun 2003

0 3 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Judi Menurut Hukum Positif (Kuhp) Dan Qanun Nomor 13 Tahun 2003

0 0 18

2. Jenis Kelamin Anda: ☐ Laki-laki - Pengaruh Stres Kerja dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja - Pengaruh Stres Kerja dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk

0 1 16

Pengaruh Stres Kerja dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk

0 1 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Atudi di Kota Langsa)

0 0 13

Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Atudi di Kota Langsa)

0 0 11

BAB II PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengaturan Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putus

0 0 13

Penegakan Hak Konstitusional Melalui Constitutional Complaint Sebagai Perwujudan Negara Hukum

0 0 22