Penegakan Hak Konstitusional Melalui Constitutional Complaint Sebagai Perwujudan Negara Hukum

(1)

PENEGAKAN HAK KONSTITUSIONAL MELALUI CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI PERWUJUDAN NEGARA HUKUM

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

BENNY SURYADI BM

110200093

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENEGAKAN HAK KONSTITUSIONAL MELALUI CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI PERWUJUDAN NEGARA HUKUM

Oleh

BENNY SURYADI BM

110200093

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui Oleh :

Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum NIP. 195909211987031002

Pembimbing I Pembimbing II

Mirza Nasution, SH., M.Hum Drs. Nazaruddin, SH.M.A

NIP. 197212261998021001 NIP. 1955061119800131004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas izin, berkat, dan rahmat-Nyalah Penulis dapat menyelesaikan Penulisan skripsi ini dengan baik. Adapun skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu kewajiban untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Konsep negara hukum menghendaki adanya perlindungan terhadap hak warga negara. Hal ini mencerminkan bahwa negara hukum menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia sebagai hal yang kodrati yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia. Dalam praktek bernegara dewasa ini, hak tersebut dilegitimasikan ke dalam konstitusi negara sehingga hak tersebut disebut hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara yang dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan negara haruslah memperhatikan hak konstitusional warga negara tersebut.

Adapun judul skripsi ini ialah PENEGAKAN HAK KONSTITUSIONAL MELALUI CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI PERWUJUDAN NEGARA HUKUM. Skripsi ini akan membahas bagaimana perlindungan hak

konstitusional melalui upaya hukum constitutional complaint dalam menjamin hak

konstitusional warga negara untuk mencapai cita negara hukum.

Skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa bantuan-bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam Penulisan skripsi ini.

Terima kasih Penulis sampaikan khusus untuk Orang tua Penulis, yaitu, M Awali Boang Manalu dan Nina Silalahi yang telah membesarkan, mendidik juga selalu memberikan doa yang tak pernah putus, motivasi dan dorongan yang sangat berarti bagi Penulis. Semoga Allah SWT selalu memberikan kebahagiaan, kesehatan, kemudahan dan selalu yang terbaik untuk Ayah dan Ibu atas apa yang mereka berikan


(4)

kepada penulis selama ini. Amiin. Terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Betaria Ayu Ningsih dan Basri Mahyudi BM, yang selalu memberikan semangat dan dukungan secara langsung maupun tidak langsung kepada Penulis.

Dengan segala kerendahan hati, Penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting ,S.H, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syafruddin Hasibuan, S.H, M.H, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumamtera Utara.

4. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumamtera Utara.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen

Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang

telah meluangkan waktu dan pengetahuan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

7. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H, M.A, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu dan pengetahuan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

8. Dosen-dosen di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Bapak Armansyah, S.H, M.Hum., Bapak Yusrin Nazrief, S.H, M.Hum, dan Bapak Edy Murya, S.H. Serta para pegawai di Departemen Hukum Tata Negara.

9. Ibu Afrita, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis.

10.Semua Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada Penulis. Terimakasih banyak atas segala ilmu yang telah di berikan kepada penulis.


(5)

11.Teman-teman baik saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Paulus Siahaan, Bob Panjaitan, Daniel Clinton Siregar, Geraldi Siahaan, Hizkia Karunia Parangin-angin dan seluruh stambuk 2011 yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

12.Teman-teman saya di departemen Hukum Tata Negara, Dyna Sri Wahyuni,

Tri Yanto Yeremia, Tody Valery, Juanda Tampubolon, Elmas Wulandari, Saprizal, Garry F.A.S, Herry P. Kaban, Tri Marilando, dan Farah Muriana, terima kasih atas bantuannya selama ini.

13.Terima kasih kepada teman-teman se-Grup B (angkatan 2011) yang

bersama-sama menghadapi masa perkuliahan baik yang menyenangkan.

14.Para senior yang selalu membimbing Penulis, khusunya untuk eduard

Tobing, Oren Riff Milano Budi Sidabuke dan Lain-lain yang selalu memberikan semangat kepada Penulis

15.Para pegawai administrasi dan bagian tata usaha serta karyawan-karyawan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

16.Dan para pihak lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwat tulisan ini takluput dari kekurangan, maka dari itu Penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, mahasiswa, praktisi dan perkembangan dunia ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata Negara.

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

ABSTRAK vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11

D. Keaslian Penulisan 12

E. Tinjauan Kepustakaan 13

F. Metode Penelitian 19

G. Sistematika Penulisan 22

BAB II HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

A. Hak Konstitusional Warga Negara 24

B. Kedudukan HAM Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara Ditinjau

Dari UUD 1945 26

C. Bentuk Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara 36

BAB III KEDUDUKAN CONSTITUTIONAL COMPLAINT DALAM MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL

A. Constitutional Complaint Dalam Menjamin Hak Konstitusional Dalam

Konsep Negara Hukum 46

B. Constitutional Complaint Sebagai Bentuk Pengujian Konstitusional 51 C. Constitutional Complaint Ditinjau Dari UUD 1945 Sebagai Bagian


(7)

BAB IV KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGADILI CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI PERWUJUDAN NEGARA HUKUM

A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Ditinjau Dalam UUD 1945 59

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Mengadili Perkara

Constitutional Complaint 63

C. Penambahan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Tanpa Perubahan UUD

1945 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 78

B. Saran 80


(8)

ABSTRAK

PENEGAKAN HAK KONSTITUSIONAL MELALUI CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI PERWUJUDAN NEGARA HUKUM

*) Benny Suryadi BM **) Mirza Nasution

***) Nazaruddin

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Konsep negara hukum mengindikasikan adanya penjaminanan terhadap hak asasi warga negara. Hak asasi tersebut dimuat ke dalam konstitusi negara yakni UUD 1945 sehingga hak tersebut menjadi hak konstitusional warga negara. oleh karena itu semua tindakan maupun peraturan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan negara harus memperhatikan hak konstitusional warga negara.

Constitutional Complaint dalam sistem peradilan konstitusi adalah bagian dari perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Mekanisme constitutional complaint di Indonesia sama seperti mekanisme judicial review, dimana adanya pemohon, objek dan persyaratan. Tetapi, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang bertugas mengawal tegaknya konstitusi belum diberikan kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional.

Mahkamah Konstitusi memiliki prospek untuk menyelesaikan perkara constitutional complaint dimasa mendatang, karena banyak perkara pengujian konstitusional yang masuk ke Mahkamah Konstitusi secara substansi merupakan pengaduan konstitusional. Hal ini mendorong Mahkamah Konstitusi agar lebih

progresif menangani perkara yang secara substansi merupakan Constitutional

Complaint.

Kasus seperti Ahmadyah, kasus Tenaga Kerja Indonseia yang dideportasi di Nunukan serta pengujian penafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

merupakan kasus yang diindikasikan merupakan constitutional complaint.. Banyak

kasus constitutional complaint yang terjadi dimasyarakat tidak dapat diselesaikan

sehingga membuat kekosongan hukum, sehingga mekanisme constitutional complaint

di Indonesia di masa mendatang dapat mengadopsi mekanisme constitutional

complaint berkaitan dengan legal standing pemohon, objek permohonan dan syarat permohonan.

Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Constitutional Complaint, Hak Konstitusional.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I


(9)

ABSTRAK

PENEGAKAN HAK KONSTITUSIONAL MELALUI CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI PERWUJUDAN NEGARA HUKUM

*) Benny Suryadi BM **) Mirza Nasution

***) Nazaruddin

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Konsep negara hukum mengindikasikan adanya penjaminanan terhadap hak asasi warga negara. Hak asasi tersebut dimuat ke dalam konstitusi negara yakni UUD 1945 sehingga hak tersebut menjadi hak konstitusional warga negara. oleh karena itu semua tindakan maupun peraturan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan negara harus memperhatikan hak konstitusional warga negara.

Constitutional Complaint dalam sistem peradilan konstitusi adalah bagian dari perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Mekanisme constitutional complaint di Indonesia sama seperti mekanisme judicial review, dimana adanya pemohon, objek dan persyaratan. Tetapi, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang bertugas mengawal tegaknya konstitusi belum diberikan kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional.

Mahkamah Konstitusi memiliki prospek untuk menyelesaikan perkara constitutional complaint dimasa mendatang, karena banyak perkara pengujian konstitusional yang masuk ke Mahkamah Konstitusi secara substansi merupakan pengaduan konstitusional. Hal ini mendorong Mahkamah Konstitusi agar lebih

progresif menangani perkara yang secara substansi merupakan Constitutional

Complaint.

Kasus seperti Ahmadyah, kasus Tenaga Kerja Indonseia yang dideportasi di Nunukan serta pengujian penafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

merupakan kasus yang diindikasikan merupakan constitutional complaint.. Banyak

kasus constitutional complaint yang terjadi dimasyarakat tidak dapat diselesaikan

sehingga membuat kekosongan hukum, sehingga mekanisme constitutional complaint

di Indonesia di masa mendatang dapat mengadopsi mekanisme constitutional

complaint berkaitan dengan legal standing pemohon, objek permohonan dan syarat permohonan.

Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Constitutional Complaint, Hak Konstitusional.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang biasa disingkat UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dalam penyelenggaraan ketatanegaraan didasarkan pada hukum yang berlaku. Konstitusi mengatur aspek ketatanegaraan Indonesia terkait pembagian kekuasaan negara, penyelenggaraan kekuasaan negara hingga perwujudan akan tujuan dan cita-cita bernegara.

Dapat diartikan bahwa hukum bertujuan untuk menjamin kepastian hukum

pada warga negara dan hukum itu harus pula bertumpu pada keadilan (justice), yaitu

asas-asas keadilan dari masyarakat sebagai tujuan dari hukum.1 Oleh karena itu,

hukum sebagai koridor yang memberi batasan dan arah dalam penyelenggaraan kehidupan negara.

Negara sebagai rumah dari warga negara berkumpul menjadi sebuah komunitas hidup bersama dalam suatu wilayah dan pemerintahan haruslah mampu melindungi hak asasi warga negaranya. Oleh karena itu, Negara harus mampu

1

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.ke-7, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), Hlm. 40-41.


(11)

memberikan jaminan perlindungan hak asasi melalui kekuasaan pemerintahannya. Hal ini sejalan dengan konsep negara hukum yang telah dijelaskan diatas melalui kekuasaan pemerintahan, Negara harus melindungi hak asasi warga Negara.

Jimly Asshiddiqie berpendapat, bahwa salah satu unsur yang mutlak harus ada

dalam negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights).2

Dan diperkuat oleh pendapat Friedrich Julius Stahl, salah satu unsur yang dimiliki

oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic

rights/fundamental rights) atau Hak Asasi Manusia yang disingkat HAM.

Menurut John Locke, HAM merupakan hak-hak yang langsung diberikan oleh

Tuhan sebagai sesuatu yang kodrati/inheren.3 Dapat dijelaskan bahwa tidak ada

satupun bentuk kekuasaan yang dapat menyinggung ataupun meniadakan hak asasi seseorang. Sehingga hak asasi seseorang harus dijaga, dilindungi dan dijunjung tinggi oleh siapapun tanpa terkecuali. Negara yang menjalankan kekuasaan juga harus melindungi dan menghormati hak asasi warga Negara.

Indonesia sebagai Negara hukum telah menerapkan perlindungan dan penghormatan hak asasi warga Negara. Dimana perlindungan dan penghormatan hak asasi diaplikasikan ke dalam konstitusi atau UUD 1945. Dapat dsimpulkan bahwa

pemahaman Indonesia mengenai HAM adalah hak yang melekat (dignity) dalam diri

manusia sebagai anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,

2

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.ke-2 (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), hlm. 343.

3


(12)

Negara menjaminnya dalam legitimasi hak asasi kedalam UUD 1945 yang disebut hak konstitusional warga Negara.

Indonesia merupakan Negara hukum yang konstitusional. Hal ini diartikan bahwa penyelenggaraaan aspek hukum ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada

konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar Negara (staatsgrundnormgesetz).

Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan hak konstitusional warga negara dan konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain, konstitusi harus diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus lebih utama daripada wakil-wakilnya. Serta Semua produk hukum dibawah UUD tidak boleh bertentangan dengan UUD.

Dari penjelasan diatas, maka segala bentuk tindakan pemegang kekuasaan haruslah memperhatikan hak konstitusional warga Negara yang termuat dalam konstitusi. Hak-hak konstitusional tersebut jika dilanggar atau bahkan diabaikan oleh berlakunya suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh aparatur Negara ataupun aspek lain yang bertentangan dengan hak konstitusional, adakah mekanisme hukum untuk menjamin hak-hak konstitusional? karena hak-hak konstitusional tersebut tidak cukup hanya sebatas pengakuan tertulis dalam sebuah dokumen, tetapi harus ada perlindungan yang konkrit yang mampu menjamin dan melindungi hak-hak dasar warga negara.


(13)

Sejalan dengan perjalananan ketatanegaraan Indonesia ditemukan permasalahan dalam menjamin hak konstitusional warga Negara. Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 belum memuat akan hal yang terkait penjaminan hak konstitusional warga Negara secara maksimal. Hal yang terkait pelanggaran konstitusional yang dimuat dalam produk hukum Undang-undang dapat diajukan

upaya hukum judicial review terhadap undang-undang dasar. Selain itu dalam

pelanggaran hak konstitusional yang berbentuk keputusan dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Timbul sebuah permasalahan yang sangat penting dalam upaya perlindungan hak konstitusional warga negara yaitu bagaimana pelanggaran konstitusional yang bukan atas berlakunya undang-undang atau keputusan? Adakah upaya yang dapat

ditempuh dalam mencari keadilan dalam perwujudan negara hukum (rule of law)?

Konsep Rule of Law menginginkan adanya peran peradilan yang bebas dan

tidak memihak untuk memberikan putusan terhadap segala kasus hukum yang terjadi

dalam suatu Negara.4 Dari hal tersebut dijelaskan bahwa lembaga peradilan sebagai

instrumen hukum dalam menjamin keadilan harus mampu menyelesaikan segala permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat.

Dalam praktek peradilan di Indonesia, fakta menunjukkan ditemukan perkara diajukan ke Mahkamah Konstitusi Indonesia yang terindikasi melanggar hak

konstitusional warga Negara yang menjadi kompetensi dalam contitutional

4

Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga, (Malang : in Trans Publishing, 2007), hlm. 77.


(14)

complaint, sementara semua upaya hukum yang ditempuh oleh pihak pengadu tidak

dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) atau ditarik kembali oleh pengadu

sebelum proses peradilan dilaksanakan yang disebabkan tidak tersedianya kewenangan/kompetensi mengadili perkara tersebut di Mahkamah Konstitusi,

maupun di semua lembaga peradilan yang ada.5 Misalnya, Surat Keputusan Bersama

(SKB) terkait persoalan aliran Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh tiga kementerian yang merupakan tindak lanjut dari UU No.1/PNPS/1965 yang menjadi pro dan kontra yang hidup di tengah masyarakat. Dari kalangan masyarakat yang kontra menyatakan bahwa SKB tersebut melanggar hak konstitusional yang diberikan Pasal 29 UUD 45 tentang kebebasan beragama. Dimana mereka berpendapat bahwa setiap orang berhak memeluk kepercayaan yang dipercayainya sehingga orang lain harus menghormati kepercayaan yang dianut oleh mereka Begitu pula pihak yang pro, berargumen bahwa umat Islam harus dilindungi oleh negara dari kelompok-kelompok serta unsur-unsur

5

Berdasarkan data yang ada di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi hingga akhir Desember 2010, terdapat 30 permohonan yang secara subtansial merupakan constitutional complaint sehingga permohonan tersebut ditarik kembali atau diputus dengan putusan “tidak dapat diterima”. Beberapa diantaranya yang dapat perhatian luas: Perkara Nomor 016/PUU-I/2003 (Permohonan pembatalan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung), Perkara Nomor 061/PUU-II/2004 (Permohonan pembatalan dua putusan peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang saling bertentangan), Perkara Nomor 004/PUU-III/2005 (dugaan adanya unsur penyuapan dalam putusan Mahkamah Agung), Perkara Nomor 013/PUU-II/2005 (penyimpangan penerapan norma undang-undang), Perkara Nomor 018/PUU-III/2005 (penafsiran yang keliru dalam penerapan undang-undang), Perkara Nomor 025/PUU-III/2006 (dua Putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan), Perkara Nomor 007/PUU-IV/2006 (ketidak pastian perkara penanganan perkara di peradilan umum dan dugaan adanya unsur penyuapan), Perkara Nomor 030/PUUV/2006 (kewenangan mengeluarkan izin penyiaran), Perkara Nomor 20/PUU-V/2007 (Pembuatan kontrka ketjasama pertambangan yang tidak melibatkan persetujuan DPRD), Perkara Nomor 026/PUU-V/2007 (sengketa tentang pemenang pemilihan kepala daerah), Perkara Nomor 1/SKLN-VI/2008 (laporan temuan pelanggaran pemiliha kepala daerah yang tidak ditindaklanjuti). Dikutib dari, Ringkasan disertasi I Dewa Gede Palguna, “Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara (Studi Keweangan Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Perspektif Perbandingan)”, disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.


(15)

yang menistakan agama Islam sebagai agama yang berkembang di masyarakat.

Perkara tersebut ketika itu akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi.6

Mahfud MD berpendapat, bahwa SKB tiga Menteri tentang pelarangan Jemaat Ahmadiyah tidak dapat digugat ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), seperti yang ditulis dalam bukunya

Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu.7

Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan menilai SKB Ahmadiyah yang didasarkan pada ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 dan UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar baik secara materil dan formil, memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang wewenang atributif diberikan oleh UUD, memutuskan sengketa hasil pemilihan umum (PHPU), dan memutuskan pembubaran partai politik; sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945 sehingga presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan sebelum berakhir masa jabatan (Impeachment). Jadi tidak ada kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji sebuah SKB. Dibawa ke MA juga tidak tepat, karena SKB bukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

6

Moh.Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, cet.ke-2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 286-287.

7


(16)

Undangan. Jika diperkarakan ke PTUN juga kurang tepat karena SKB tersebut dinilai

sebagai peraturan (regeling) bukan penetapan (beschiking) karena ada muatannya

yang bersifat umum (abstrak).”

Mahfud MD menyatakan, bahwa perkara tersebut dapat diselesaikan melalui

prosedur constitutional complaint (pengaduan konstitusional), Namun saat ini, yang

menjadi masalahnya adalah kewenangan tersebut di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi bahkan di luar lembaga yudikatif lainnya yang dapat disimpulkan bahwa kewenangan tersebut belum menjadi kompetensi salah satu lembaga yudikatif yang ada di Indonesia. Mahfud MD pun mengusulkan kewenangan ini untuk diberikan

kepada Mahkamah Konstitusi karena adanya masalah pelanggaran hak

konstitusional.8

Selain permasalahan hukum diatas, bagaimana dengan penyelesaian perkara

pengajuan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) terkait bunyi Pasal 34

UUD yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Apakah mereka yang hidup terlantar dapat mengajukan pengaduan constitutional

complaint? jika dikaitkan pada tujuan demokrasi dalam kesejahteraan sosial warga negara, negara tidak menjamin nasib anak terlantar dan fakir miskin sehingga masyarakat tidak menperoleh kesejahteraan dalam penyelenggaraan Negara atas tindakan pemegang kekuasaan yang tidak memperhatikan hak mereka. Adakah solusi hukum dalam menampung aspirasi mereka yang lemah?

8


(17)

Dalam penerapan upaya hukum pidana, apabila seseorang terdakwa dalam pengajuan peninjauan kembali yang dalam putusannya terjadi penerapan hukum yang salah maka upaya hukum apa yang dapat digunakan oleh individu tersebut? jelas bahwa hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh penerapan hukum yang salah namun ia harus menanggung akibat dari apa yang tidak diperbuatnya.

Jika melihat dari beberapa kasus diatas terjadi pelanggaran hak konstitusional yang dibiarkan berlarut-larut sehingga tidak adanya kepastian hukum dalam permasalahan diatas. Hal ini ini menyebabkan celah timbulnya kekosongan hukum yang menunjukkan bahwa hukum yang seharusnya sebagai pencerah justru masih lamban dalam menangkap dan menyelesaikan permasalahan hukum yang sangat kompleks. Dimana hukum yang harusnya mempunyai wibawa sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan hukum tidak mampu menjadi solusi dalam permasalahan hukum. Hukum seolah hanya menjadi pemanis dan pelengkap yang menyatakan Indonesia sebagai Negara hukum.

Mahkamah konstitusi yang bertugas sebagai pengawal konstitusi dalam kenyataan tidak dapat menjamin hak konstitusional warga Negara secara maksimal.

Ironis, Indonesia mengagungkan pengakuan basic rights (hak dasar warga Negara)

tanpa perlindungan atau mendengung-dengungkan perlindungan tanpa tersedia upaya

hukum adalah sama saja pengingkaran terhadap pengakuan dan perlindungan basic

rights setiap warga negara. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara yang menjamin hak-hak dasar warga negara sebagai perwujudan negara hukum belum mampu menjamin hak konstitusional warga Negara. Seharusnya penanganan


(18)

permasalahan ini dalam menjaga konsep Negara demokrasi rule of law maka constitutional complaint dapat menjadi salah satu wewenang mahkamah konstitusi dalam tugasnya mengawal konstitusi.

Sementara itu, kenyataan menunjukkan kewenangan constitutional complaint

di Indonesia belum dimiliki oleh lembaga yudikatif yang ada. Dengan banyaknya

perkara constitutional complaint yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, maka

seharusnyalah constitutional complaint dipertimbangkan untuk menjadi wewenang

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu upaya dalam menjamin hak konstitusional warga Negara sebagai perwujudan Negara hukum.

Mahkamah konstusi yang bertugas sebagai pengawal konstitusi seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan hukum terkait pelanggaran hak konstitusional warga Negara. Penting kiranya Mahkamah Konstitusi dapat menampung pengaduan

konstitusional (constitutional complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional

warga negara karena sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang cukup

berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945.9 Dapat dilihat

pada Pasal 24 C UUD 1945 bahwa mahkamah konstitusi bertugas mengawal konstitusi. Sehingga ini mengindikasikan bahwa setiap pelanggaran hak konstitusional warga Negara tersedia sarana hukum dalam menjamin hak konstitusional warga Negara melalui mahkamah konstitusi sebagai pengawal konstitusi dalam perwujudan Negara demokrasi hukum di Indonesia.

9

http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/constitutional-complaint-dan-hak-asasi.html diakses tgl 15 maret 2015.


(19)

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menelaah dan menganalisis permasalahan ini dari sudut pandang politik hukum dengan berpedoman pada UUD

1945 yang diangkat dalam penelitian yang berjudul “PENEGAKAN HAK

KONSTITUSIONAL MELALUI CONSTITUTIONAL COMPLAINT

SEBAGAI PERWUJUDAN NEGARA HUKUM”. Diharapkan penelitian ini mampu menjawab problematika hukum terkait pelanggaran konstitusi, karena hal ini penting demi menjaga hak-hak konstitusi warga negara dan menjamin supremasi hukum konstitusi di Indonesia serta perwujudan Negara hukum.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka diangkat rumusan masalah oleh penulis sebagai berikut :

1. Bagaimana klasifikasi hak konstitusional yang dapat diajukan constitutional

complaint?

2. Bagaimana pemberlakuan constitutional complaint di Indonesia dalam

menjamin hak konstitusional warga Negara dalam konteks Negara hukum?

3. Bagaimana kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa


(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui hak konstitusional yang dapat menjadi alasan mengajukan

constitutional complaint.

2. Untuk mengetahui pemberlakuan constitutional complaint di Indonesia dalam

menjamin hak konstitusional warga negara sebagai perwujudan Negara hukum.

3. Untuk mengetahui kedudukan mahkamah konstitusi sebagai pengawal konstitusi

yang berwenang dalam constitutional complaint.

Sedangkan manfaat penelitian yang didapatkan dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih pemikiran terhadap

pengembangan Ilmu Pengetahuan dibidang Ilmu Hukum khususnya yang

terkait penerapan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) sebagai

wewenang Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan di Indonesia.

b. Bagi pihak yang berkepentingan, yakni : para Pembentuk Peraturan

perundang-undangan dan Akademisi dapat memberikan masukan dalam

penerapan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dalam praktek

kenegaraan di Indonesia.

2. Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi pengetahuan lebih mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menangani


(21)

permasalahan hukum mengenai pelanggaran hak konstitusional dan memberi sumbangan pemikiran dalam perkembangan Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dalam menjamin hak konstitusional warga Negara dalam penyelenggaraan demokrasi hukum di Indonesia. Dan kepada pembuat kebijakan (decision maker) dan pembuat peraturan (wetgever) dapat mempertimbangkan constitutional complaint untuk diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan perpustakaan Universitas

Sumatera Utara bahwa judul tentang Penegakan Hak Konstitusional Melalui

Constitutional Complaint Sebagai Perwujudan Negara Hukum, maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup yang diangkat untuk dikaji dan diteliti dalam penelitian ilmiah ini. Oleh karena itu, Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang Penulis lakukan dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan secara moril, karena dalam melakukan penelitian ini penulis senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi Peneliti atau Akademisi dalam melakukan penelitian hukum.


(22)

E. Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai konstitusi memang menjadi topik yang menarik dalam perkembangannya dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari tumbuh suburnya ajaran konstitusionalisme dalam masyarakat sejak era reformasi 1998. Dalam penelaahan sejumlah literlatur ditemukan sejumlah penelitian dan tulisan mengenai konstitusi

ketatanegaraan khususnya terkait constitutional complaint (pengaduan konstitusional)

maupun kajian yang masih berkaitan dengan penelitian ini.

1. Konsep Negara Hukum

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : “Negara Indonesia adalah Negara hukum.”

Negara hukum ialah negara menjunjung tinggi supremasi hukum dalam penyelenggaraan Negara. Konstitusi merupakan hasil representatif dari kehendak rakyat. Hal ini diartikan bahwa dalam penyelenggaraan Negara Indonesia mendasarkan pada aturan hukum, yakni hukum konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi yang menjadi dasar pembentukan peraturan hukum lainnya dan rambu-rambu terhadap segala bentuk tindakan pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara.

Sejalan dengan pendapat A.A.H Struycken dikutip oleh Sri Soemantri menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi tertulis merupakan

sebuah dokumen formal yang berisi :10

10

Sri Soemanteri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 2.


(23)

1. Hasil Perjuangan politik bangsa di waktu lampau.

2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.

3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu

sekarang maupun masa yang akan dating.

4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan

bangsa yang hendak dipimpin.

Konsep Negara hukum atau Rules of Law yang dianut Indonesia

mengindikasikan penjaminan hak-hak dasar (Hak Asasi Manusia yang disingkat

HAM) warga Negara sebagai anugerah Tuhan (inheren) yang melekat (dignity) pada

diri manusia sejak ia dilahirkan. Sehingga tidak ada satupun kekuasaan yang dapat meniadakan ataupun melanggar hak-hak dasar tersebut sebagai bentuk penghormatan akan hak asasi seseorang. Oleh karena itu, Negara sebagai penyelenggara kekuasaan harus dapat menjamin perlindungan hak asasi warga negaranya.

Sebagai konsekuensi pengakuan terhadap hak asasi atau hak dasar warga Negara diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan yang merupakan rambu-rambu agar terciptanya kepastian hukum, perlindungan hukum dan keadilan hukum. Esensi dari pembentukan peraturan perundang-undangan ini adalah pengaturan

perilaku masyarakat, pemerintah serta aparatur penegak hukum dalam

penyelenggaraan Negara dalam mencapai tujuan bernegara rules of law.

2. HAM sebagai Hak Konstitusional

Pengakuan HAM dalam penyelenggaraan Negara Indonesia dilegitimasikan kedalam konstitusi, dimana Hak asasi tersebut melahirkan hak konstitusional warga Negara. Hak konstitusional warga Negara ialah hak-hak asasi yang dijamin oleh Negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Oleh karena hak asasi telah


(24)

dilegitimasi dalam UUD 1945 maka peraturan perundang-undangan lainnya serta kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Negara harus memperhatikan hak konstitusional warga negara sebagai bentuk pelindungan hak konstitusional warga negara.

3. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.11

Secara filosofis, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut asas

pemisahan kekuasaan (separation of power) secara fungsional dan menerapkan check

and balances untuk menggantikan secara bertahap penggunaan asas pendistribusian

kekuasaan (distribution of power) dan paham Integralisme dari lembaga negara.12

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara di bidang peradilan berfungsi menangani perkara yang berkaitan dengan ketatanegaraan dalam rangka mengawal konstitusi agar teraplikasi secara nyata dalam penyelenggaraan negara sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Hal ini mengindikasikan agar tidak terjadi multi tafsir terhadap konstitusi seperti pengalaman masa lalu.

11

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 1 angka 1.

12

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2006), Hlm. 167.


(25)

4. Constitutional Complaint

Constitutional complaint atau pengaduan konstitusional merupakan pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh orang perorangan (warga negara) ke pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, teerhadap suatu perbuatan atau

kelalaian yang dilakukan oleh suatu lembaga negara atau otoritas publik (public

institution, publik authority) yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak dasar (basic right) orang yang bersangkutan13.

Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia dalam penjaminan supremasi konstitusi dan hak konstitusional warga Negara, lahir sebuah lembaga yudikatif yang menangani perkara konstitusional berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan :

“ (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa lembaga Negara yang wewenangnya diberikan undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.”

Dalam menjalankan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi bertugas sebagai pengawal konstitusi dalam rangka tegaknya supremasi konstitusi dan menjamin hak konstitusional warga Negara.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dinilai masih sangat terbatas dalam

menyelesaikan permasalahan konstitusional. Mahkamah Konstitusi hanya

menyediakan mekanisme yang justiciable dan enforceable bagi penegakan hak asasi

13

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), Hlm. 35.


(26)

yang telah ditransformasikan menjadi hak konstitusional warga Negara. Setiap warga Negara yang merasa dilanggar atau diabaikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya

UU maka dapat mengajukan Legal Standings ke Mahkamah Konstitusi, serta

peraturan perundang-undangan di bawah UU yang diyakini bertentangan dengan UUD dapat diajukan ke Mahkamah Agung.

Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia terlalu banyak permasalahan konstitusional terkait penjaminan hak konstitusional. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi seharusnya mempunyai wewenang menampung semua keluh kesah masyarakat dalam pelanggaran hak konstitusional. Namun, Mahkamah Konstitusi belum mempunyai wewenang dalam menerima pengaduan konstitusional dalam pelanggaran hak konstitusional.

Pengaduan konstitusional (constitutional complaint) merupakan mekanisme

penegakan hak konstitusional warga Negara melalui pengaduan pelanggaran hak konstitusional ke Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan demokrasi konstitusional yakni control rakyat terhadap Negara untuk memulihkan hak konstitusional warga

Negara.14 Mahfud MD berpendapat bahwa Constitutional complaint merupakan

pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada instrument hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia jaluh penyelesaian hukum atasnya. Mekanisme ini menjadi upaya dalam menangani

14

Hamdan Zoelva,Pengaduan Konstitusional dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Sekretariat Negara RI, NO.16, Mei 2010, hlm 45.


(27)

pelanggaran hak konstitusional secara penuh di Mahkamah Konstitusi dalam tugas sebagai pengawal konstitusi.

Pan Mohammad Faiz, S.H dalam jurnal hukum yang berjudul Menabur Benih

Constitutional complaint, berpendapat bahwa constitutional complaint sangat dimungkinkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia, yang sangat disayangkan bahwa kewenangan ini belum diberikan kepada Mahkamah Konstitusi

selaku lembaga yang menampung dan menyalurkan keluh kesah (personal grievance)

atau pengaduan konstitusional sebagai upaya dalam mempertahankan hak konstitusional warga Negara. Dalam tulisannya menyatakan bahwa konstitusi harus diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus lebih diutamakan dari pada

wakil-wakilnya sehingga dapat menjadikan konstitusi selalu hidup (living

constitution).15

Vino Devanta Anjas Krisdanar dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3 Juni

2010 yang berjudul Menggagas Constitutional complaint dalam Memproteksi Hak

Konstitusional Masyarakat mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama

menyatakan bahwa Constitutional complaint sangat berfungsi dalam menjaga hak

konstitusi masyarakat yang salah satu hak konstitusi tersebut adalah hak kebebasan

beragama.16

15

Pan Mohammad Faiz, Menabur Benih Constitutional complaint, Jurnal Hukum edisi senin 17 September 2006. http://jurnalhukum.com/constitutional-complaint-dan-hak-asasi.html diakses tgl 16 Maret 2015.

16

Vino Devanta Anjas Krisdanar, Menggagas Constitutional complaint dalam Memproteksi Hak Konstitusional Masyarakat mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama Di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, Juni 2010 hlm. 185-205.


(28)

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan secara yuridis. Mengacu pada tipologi pembahasan penelitian menurut Soerjono Soekanto, studi pedekatan terhadap hukum yang normatif mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan negara tertentu

yang berdaulat.17

Berdasarkan judul penelitian yang telah dijabarkan kedalam beberapa rumusan masalah serta dihubungkan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka spesifikasi penelitian ini termasuk dalam lingkungan penelitian yang bersifat observatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini memaparkan serta mendeskripsikan (mengungkap) rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian yang dihubungkan

kedalam data yang dikumpulkan melalui library research (studi pustaka) dan

document research yang dilakukan dalam penelitian ini.

Penelitian ini dikatakan observatif karena hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran terkait penerapan pengaduan

konstitusional (constitutional complaint) sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi

sebagai pengawal konstitusi dalam melindungi dan menjamin hak konstitusional warga negara.

17


(29)

2. Sumber Data

Penelitian ini bersifat normatif selalu menitikberatkan pada sumber data sekunder yang dalam penelitian ini sumber data sekunder adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua bahan yang mengikat secara yuridis

meliputi Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan lain-lain.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua bahan yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer meliputi jurnal ilmiah, buku referensi (litelatur), serta hasil karya ilmiah para sarjana dan Ahli hukum.

c. Bahan hukum tarsier, yaitu semua bahan yang member petunjuk maupun

penjelasan bahan hukum primer dan sekunder meliputi Kamus Hukum, artikel, surat kabar, internet, ensiklopedi dan lain sebagainya.

3. Alat Pengumpulan Data

Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian normatif maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi Kepustakaan (Library Resource) dan studi dokumen. Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pengumpulan data penelitian melalui penelitian kepustakaan dengan mempelajari litelatur-litelatur yang berhubungan dengan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Sedangkan studi dokumen dalam penelitian ini


(30)

diperoleh dari bahan-bahan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ilmiah ini.

4. Analisi Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data sekunder yang berupa teori, definisi dan substansi yang berasal dari berbagai litelatur terkait dalam peneitian ini serta yang berasal dari peraturan perundang-undangan terkait seperti Undang-undang Dasar 1945, Undang-Undang No. No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagai data primer dalam penelitian ini yang menunjang dalam penulisan penelitian yang dilakukan.

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memperoleh data dari berbagai sumber yang dianalisis secara kualitatif. Data

diperoleh dari studi pustaka atas beberapa litelatur terkait constitutional complaint

serta negara hukum. Kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir deduktif yakni cara berpikir yang mendasar kepada hal yang bersifat umum yang kemudian ditarik sebuah kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Setelah data dianalisis secara kualitatif, maka hasilnya disajikan dalam sebuah deskriptif yakni berupa pemaparan objek kajian yang diteliti dalam penelitian ini. Pemaparan yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.


(31)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat dan disusun atas 5 bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang dilakukan dalam penulisan skripsi.

BAB II HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

Dalam Bab II ini akan membahas mengenai hak konstitusional warga negara, Kedudukan HAM dan Hak warga negara sebagai hak konstitusional warga negara ditinjau dari UUD 1945 serta Bentuk perlindungan hak konstitusional warga negara.

BAB III KEDUDUKAN CONSTITUTIONAL COMPLAINT DALAM MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL

Dalam Bab III ini akan membahas mengenai constitutional complaint dalam

menjamin hak konstitusional dalam konsep negara hukum, Constitutional

complaint ditinjau dari UUD 1945 sebagai bagian Konstitusi serta Contitutional complaint sebagai bentuk pengujian konstitusional.


(32)

BAB IV KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

MENGADILI CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI

PERWUJUDAN HUKUM

Dalam Bab IV ini membahas mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditinjau dalam UUD 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili Constitutional Complaint serta Penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi tanpa perubahan UUD 1945.

BAB V PENUTUP

Dalam Bab V ini adalah merupakan hasil pembahasan dari keseluruhan skripsi yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan saran-saran dari penulis terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.


(33)

BAB II

HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

D. Hak Konstitusional Warga Negara

Dalam mencapai cita-cita bernegara salah satu substansi yang dimuat dalam

konstitusi negara adalah pengaturan terkait Hak Asasi Manusia (human right). Negara

yang menganut sisterm rule of law, salah satu unsur yang mutlak harus ada adalah

pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights).18 Hak dasar yang dimuat itu

sebagai bentuk pengakuan negara serta sebagai bentuk jaminan perlidungan negara atas hak dasar warga negara, sehingga hak tersebut terlegitimasi secara hukum. Konsekuensi akan hal ini adalah setiap bentuk kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang diberlakukan tidak boleh melanggar atau meniadakan hak-hak dasar tersebut.

Perkembangan ketatanegaraan modern mengenal hak dasar yang dituangkan dalam konstitusi tersebut sebagai hak konstitusional. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, Hak konstitusional merupakan hak-hak yang dijamin dalam dan oleh

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.19 Penjaminan hak tersebut baik dinyatakan

secara tegas maupun secara tersirat. Hak ini merupakan bentuk perlindungan hukum dari perbuatan yang dimungkinkan dilakukan oleh pemegang kekuasaan penyelenggara Negara dalam hubungan negara dan warga negara.

18

Jimly Asshiddiqie, Loc. cit, hlm. 343.

19


(34)

Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan :

“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.”20

Menunjukkan bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat, dapat diartikan bahwa wujud demokrasi dalam penyelenggaraan negara tidak terbatas pada penentuan siapa yang duduk dalam kekuasaan negara melalui hak pilih rakyat yang menjadi hak konstitusional warga negara namun juga hak-hak yang diatur dalam konstitusi baik hak asasi maupun hak warga negara yang tidak dilanggar dan diabaikan oleh penyelenggara negara. Oleh karena itu, seluruh cabang kekuasaan negara wajib melindungi dan menghormatinya.

Hak konstitusional terkait pula akan pengakuan negara atas subjek dari hak konstitusional yakni warga negara. dalam hal warga negara, mereke ialah orang yang diakui secara hukum serta disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu, ia mempunyai hak yang sama dalam hal apapun sebagai warga negara Indonesia. Pengecualaian akan hal ini dalam kedudukan pencalonan Presiden sesuai rumusan Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 yakni:

“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia

sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

Dari penjelasan diatas bahwa hak konstitusional berkaitan dengan hak warga negara. Hak warga negara merupakan hak yang diberikan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh karena ia merupakan warga negara. oleh karena

20


(35)

itu, status kewarganegaraan warga negara menjadi tolak ukur dalam pemberian hak warga negara.

Hak warga negara itu terdiri atas hak konstitusional dan hak legal. Hak legal ialah hak yang diberikan kepada warga negara oleh peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar 1945. Hak konstitusional merupakan hak yang diberikan kepada warga negara dan dijamin oleh konstitusi negara yakni Undang-Undang Dasar 1945.

Hak konstitusional dapat dilihat sebagai timbal balik atas kewajiban konstitusional sehingga hak konstitusional dan kewajiban konstitusional tidak dapat dipisahkan, dimana dapat dijelaskan bahwa adanya hak konstitusional dikarenakan adanya kewajiban konstitusional yang dilahirkan oleh UUD 1945. Kewajiban konstitusional merupakan konsekuensi warga negara dalam kedudukannya sebagai warga negara dalam melaksanakan tindakan yang diwajibkan oleh negara. Misalnya kewajiban Negara untuk mengalokasi dana pendidikan 20 % dari APBN, serta kewajiban untuk belajar, semua melahirkan hak konstitusional bagi warga Negara, terhadap siapa Negara bekerja, serta yang menjadi tujuan Negara itu sendiri.

E. Kedudukan HAM sebagai hak konstitusional warga Negara ditinjau dari UUD

1945

Dalam perjalananan perkembangan kehidupan bernegara dewasa ini, permasalahan Hak Asasi Manusia yang biasa disingkat HAM menjadi topik hangat


(36)

untuk dibicarakan. Dimana sebagai konsekuensi negara hukum (rechtstaat), penjaminan Hak Asasi Manusia harus diwujudkan melalui penghormatan dan dijunjung tinggi serta dijamin perlindungan hak asasi oleh negara.

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.21

Dalam penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia hak asasi tersebut diwujudkan dalam suatu legitimasi hukum. Bentuk legitimasi tersebut terdapat pada batang tubuh UUD 1945. Norma-norma yang terdapat dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur organisasi kekuasaan lembaga negara dan hubungan antar kekuasaan

lembaga negara yang melahirkan kewenangan konstitusional (constitutional

authorities) dalam penyelenggaraan kehidupan negara tetapi juga mengatur hubungan negara dengan warga negara dalam konteks kewenangan negara tersebut yang berhadapan dengan hak konstitusional warga negaranya.

Dalam hubungan tersebut, hak warga negara diatur dalam UUD 1945 sebagai bentuk perlindungan hak warga negara yaitu hak konstitusional warga negara atas tindakan negara dalam penyelenggaraan negara. Hak tersebut tidak boleh dilanggar dan menjadi koridor pembatas tindakan negara dalam peyelenggaraan negara baik hak asasi maupun hak konstitusional warga negara.

Sebagaimana dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak asasi telah mendapatkan jaminan konstitusional dalam

21

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.


(37)

Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Materi yang sudah diadopsikan ke

dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut :22

1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya23.

2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah24.

3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi25.

4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif itu26.

5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali27.

6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya28.

7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat29.

8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

menyampai-kan informasi dengan menggunamenyampai-kan segala jenis saluran yang tersedia30.

9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau

tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi31.

22

Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Mahakamah Konstitusi, 2010), hlm. 3. Diakses melalui hhtp://www.jimly.com tgl 21 April 2015.

23

Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.

24

Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.

25

Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.

26

Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.

27

Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.

28

Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.

29

Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.

30

Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.

31


(38)

10.Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka

politik dari negara lain32.

11.Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan33.

12.Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan34.

13.Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat35.

14.Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun36.

15.Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan

dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas

hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia37.

16.Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan

haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan

negaranya38.

17.Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum39.

18.Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja40.

19.Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan41.

20.Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang

untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut42.

32

Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.

33

Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.

34

Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.

35

Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.

36

Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.

37

Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.

38

Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.

39

Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.

40

Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.

41

Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.

42

Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumusannya mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik dengan subjek negara.


(39)

21.Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban

bangsa43.

22.Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang

diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya44.

23.Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah45.

24.Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai

dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan46.

25.Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) UU No. 39 Tahun 1999

Tentang Hak Asasi Manusia tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang

diatur dengan undang-undang47.

26.Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

27.Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis48.

43

Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan Pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.

44

Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang berten -tangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.

45

Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.

46

Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perkataan “...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan, dan melindungi....”

47

Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan undang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.

48


(40)

Dapat disimpulkan bahwa hak konstitusional warga negara ialah HAM yang dimuat dalam Pasal 28A hingga 28J UUD 1945. Meskipun demikian hak konstitusional tidak selalu identik dengan HAM. Hal ini dapat dilihat pada hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, hak ini tidak berlaku pada orang yang bukan warga negara. Oleh karena itu, hak konstitusional berlaku bagi warga negara yang memenuhi syarat menurut hukum sebagai warga negara. Hal ini berbeda dengan hak asasi yang berlaku secara universal.

Selain itu, dari pengertian hak asasi disimpulkan bahwa hak asasi tidak tergantung pada negara, apakah negara memberi hak asasi pada warga negaranya atau tidak? Hal ini dikarenakan hak asasi telah ada sebelum lahirnya negara. Jadi timbul suatu pertanyaan bahwa hak asasi itu siapa yang memberikannya? Dalam menjawab pertanyaan ini, dapat kita lihat dari pengertian hak asasi. Hak asasi itu diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang mana hak asasi bersifat kodrati yang telah melekat sejak manusia itu dilahirkan dimuka bumi ini sebagai anugerah-Nya. Jadi dapat dikatakan sejak Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhan, maka sejak saat itulah hak asasi itu telah ada. Sementara itu seseorang yang berstatus kewarganegaraan dalam suatu negara memperoleh hak warga negaranya.

Hak konstitusional warga negara merupakan hak yang diberikan oleh negara yang diberikan oleh karena status kewarganegaraan yang terlegitimasi dalam UUD 1945. Hak ini merupakan hasil legitimasi yang diakui dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Dapat dikatakan hak konstitusional merupakan hak warga negara.


(41)

Hak warga negara merupakan hak yang diberikan oleh negara atas status kewarganegaraan yang menurut peraturan perundang-undangan. Di dalam hak warga negara disamping hak konstitusional, terdapat hak sipil. Hak sipil merupakan hak yang diberikan dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan di luar konstitusi yang diberikan oleh negara oleh karena status kewarganegaraan seseorang.

Jika ke-27 ketentuan yang disebutkan diatas diperluas dengan maksud menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hak asasi dan hak warga negara dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup empat

kelompok materi, yaitu :49

1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi :

a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan

kehidupannya.

b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau

penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.

c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.

d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati

nurani.

f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.

g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan

pemerintahan.

h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku

surut.

i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah.

j. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.

k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya,

meninggalkan dan kembali ke negaranya.

l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.

m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan

49


(42)

berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya

a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan

pendapatnya secara damai.

b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka

lembaga perwakilan rakyat.

c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan

publik.

d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah

dan layak bagi kemanusiaan.

e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat

perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.

f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.

g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk

hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.

h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan

pengajaran.

j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.

k. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak

masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat

peradaban bangsa.50

l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang

diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.51

3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan

50

Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan Pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.

51

Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.


(43)

a. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.

b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan

gender dalam kehidupan nasional.

c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh

fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.

d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan

orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya.

e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan

turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.

f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan

dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) Pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).

4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia

a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam

tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter-tiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan

pemenuhan hak-hak asasi manusia.

d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

Dalam menjalankan kehidupan bernegara, Indonesia sebagai negara hukum telah merumuskan hak konstitusional warga negara. Hak kostitusional dapat dilihat dari uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :


(44)

1. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

2. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan

negara.

3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan.

4. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk meribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.

5. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan

dan keamanan negara.

6. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

7. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan

pendapatnya secara damai.

8. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga

perwakilan rakyat.

9. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.

10.Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup

layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber-martabat.

11.Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok

masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.


(45)

12.Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.

F. Bentuk perlindungan hak konstitusional warga negara

1. Penghormatan Hak Konstitusional

Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, Indonesia telah mengakui dan menghormati hak konstitusional. Penghormatan tersebut ditemukan dalam Pancasila sebagai ideologi atau pandangan dasar negara Indonesia. Dalam sila ke-2 yang menyatakan : Kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila ke-5 yang menyatakan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bertolak dari kedua sila tersebut bahwa dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia harus melihat nilai kemanusiaan yang terdapat di dalam diri manusia yang merupakan hal yang kodrati yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan di dunia ini. Penghormatan nilai kemanusiaan ini diaplikasikan ke dalam setiap tindakan pemegang kekuasaan negara. Oleh karena itu, warga negara harus diperlakukan secara beradab oleh pemegang kekuasaan negara. Bentuk penghormatan tersebut harus mencerminkan keadilan yang mana keadilan tersebut mencakup seluruh aspek sosial masyarakat.

2. Pemenuhan Hak Konstitusional

Pengakuan hak konstitusional mengisyaratkan adanya pemenuhan hak konstitusional warga negara. Pemenuhan hak konstitusional warga negara dituangkan


(46)

dalam UUD 1945 sebagai aturan dasar negara. Pemenuhan hak konstitusional warga negara dimuat dalam Pasal 27 hingga Pasal 32 UUD 1945, terlebih lagi dalam pasal 28 A Hingga Pasal 28 J.

Pemenuhan hak tersebut merupakan jaminan hak warga negara yang mana harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Semua bentuk kebijakan ataupun Produk hukum yang dibuat oleh pemegang kekuasaan negara tidak dapat mengesampingkan hak yang termuat dalam UUD 1945. Pemenuhan hak tersebut sebagai bentuk tindak lanjut dari penghormatan hak konstitusional warga negara.

3. Perlindungan Hak Konstitusional

Keberadaan hak konstitusional sebagai batasan tindakan pemegang kekuasaan negara dalam penyelenggaraan negara yang berhadapan atas hak konstitusional warga negara bermuara pada satu titik yakni bagaimana hak itu dijamin oleh negara melalui pengaturan dalam konstitusi. Salah satu acuan dalam menentukan apakah telah terselenggaranya penjaminan hak konstitusional warga negara ialah adanya mekanisme hukum yang tegas dalam melindungi hak konstitusional warga negara dari tindakan pemegang kekuasaan negara dalam praktik kehidupan bernegara.

Di dalam buku I Dewa Gede Palguna dijelaskan ada 2 (dua) mekanisme yang dapat ditempuh dalam menjamin hak konstitusional warga negara yaitu :


(47)

1. Melalui Mekanisme Pengadilan

Perlindungan hak konstitusional melalui mekanisme pengadilan guna mempertahankan hak konstitusionalnya dari tindakan pelanggaran yang mencederai hak konstitusional tersebut yang dilakukan pemegang kekuasaan negara adalah sebagai berikut :

a. Mekanisme Pengadilan Tata Negara

Pengadilan tata negara di Indonesia yang dimaksud yakni Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara dalam bidang yudikatif yang mempunyai kompetensi mengadili pengujian konstitusionalitas undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 sebagai upaya tegaknya hak konstitusional warga negara atas kelalaian pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam menyusun undang-undang yang menyebabkan tercederainya hak konstitusional warga negara.

Mekanisme ini merupakan upaya dalam menjamin konstitusionalitas baik judicial review maupun constitutional complaint. Dalam hal ini judicial review dan constitutional complaint harus dibedakan karena judicial review merupakan upaya pengujian konstitusionalitas atas berlakunya undang-undang

di masyarakat sedangkan constitutional complaint merupakan upaya uji

konstitusionalitas terhadap perbuatan pemegang kekuasaan negara.52

Meskipun demikian, ada kemungkinan pengertian judicial review dan constitutional complaint bertemu, yaitu takkala pengujian dilakukan terhadap

norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norm)

dan yang diuji adalah konstitusionalitas dari norma itu.53

Kedua mekanisme ini memang merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh

dalam mempertahankan hak konstitusional warga negara. Namun, judicial review

52

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), Hlm. 153.

53


(1)

dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya KTUN yang mencederai hak-hak seseorang ataupun badan hukum perdata serta upaya hukum dalam pengadilan biasa melalui upaya banding dan kasasi apabila dalam putusan hakim dinilai menerapkan hukum yang keliru.

Dari fakta tersebut menunjukkan bahwa jaminan hak konstitusional di Indonesia (yang tertuang dalam UUD 1945) belum sepenuhnya dilindungi melalui mekanisme hukum yang ada. Oleh karena itu perlu mekanisme hukum yang dapat diajukan oleh warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dicederai oleh suatu tindakan pemegang kekuasaan negara.

Pemerintah harus menyediakan mekanisme constitutional complaint sebagai upaya hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara untuk mempertahankan hak-hak konstitusionalnya dari semua produk hukum baik yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Maka dalam politik hukum constitutional complaint merupakan ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan untuk diberlakukan di Indonesia.

Constitutional complaint diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia maka setiap produk hukum baik yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dapat dilakukan upaya uji konstitusonalitas dalam perwujudan konsep negara hukum di Indonesia. Hal ini diharapkan produk hukum tersebut masih dalam koridor menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara.


(2)

Constitutional complaint harus diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia terlebih kewenangan ini harus menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Hal imi dikarenakan Mahkamah Konstitusi bertugas untuk mengawal jalannya Konstitusi dalam penyelenggaraan Negara sebagai penegak terlaksananya konsep negara hukum. Oleh karena itu, politik hukum constitutional complaint berperan sebagai salah satu alat untuk menilai dan mengkritisi serta menguji konstitusionalitas apakah sebuah hukum yang dibuat dan tindakan pemegang kekuasaan negara telah sesuai dengan cita-cita bangsa, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan UUD 1945 dan pancasila.

B. Saran

Berkenaan dengan pembahasan dalam skripsi ini, ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan, yaitu:

1. Bagi Pemerintah

Untuk menciptakan reformasi hukum di Indonesia dibutuhkan hukum yang progresif, pro-rakyat, pro-keadilan, karena hukum adalah untuk manusia dan kemaslahatan manusia itu sendiri, bukan sebaliknya. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia serta menjunjung martabat manusia. Maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi harus progresif dalam menafsirkan UUD 1945, sehingga tercipta “konstitusi yang hidup” (living constitutional) ditengah masyarakat yang tidak hanya indah dalam normatif saja. Sehingga cita negara hukum yang demokratis,


(3)

sebagai bentuk kenegaraan yang dipilih dalam sistem ketatanegaran Indonesia pasca reformasi 1998 dapat terwujudkan. Melihat banyaknya perkara yang termasuk constitutional complaint sementara tidak ada mekanisme hukum yang bisa menberikan keadilan dan kepastian hukum, maka sepatutnyalah constitutional complaint untuk segera diterapkan.

2. Bagi Institusi Pendidikan (Akademisi/Perguruan Tinggi)

Berdasarkan pengakuan beberapa tokoh hukum nasional yang menyebutkan bahwa realitanya memang ada kasus-kasus di Indonesia yang seharusnya bisa diselesaikan melalui constitutional complaint, seperti kasus SKB tiga menteri terkait pelarangan Jemaat Ahmadiyah dan kasus lainnya. Di mana, perkara tersebut tidak bisa diakomodir oleh institusi peradian yang ada di Indonesia disebabkan oleh terbatasnya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Oleh sebab itulah, diharapkan kepada para akademisi untuk melakukan kajian-kajian yang mendalam terhadap wacana constitutional complaint ini. Apakah constitutional complaint bisa dilakukan di samping model pengaduan konstitusi lainnya semacam judical review.

3. Bagi Warga Negara Indonesia

Dalam mengawal reformasi hukum di Indonesia warga negara harus ikut berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Serta warga negara harus sadar hukum dan berfikir kritis terhadap segala kebijakan pemerintah, sehingga hak-hak konstitusi warga negara tidak semena-mena dilanggar oleh aparatur pemerintah karena kedaulatan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Refrensi Buku

Ashworth, Andrew, Sentencing and Criminal Justice, Cambridge : Cambridge University Press, 2005.

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pres, cet.ke-2, 2010.

___________, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta : Konstitusi Press, 2006.

___________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pres, cet.ke-2, 2010.

___________, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta : Sekretariat Mahkamah Konstitusi, 2006.

Fadjar, Abdul Mukhti, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekreteriat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005.

Ibrahim, Anis, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga, Malang : in Trans Publishing, 2007.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet.ke-7, 1986.

Mahfud MD, Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, cet.ke-2, 2010.

__________, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta : PT. Radja Grafindo Persada, 2010.

Palguna, I Dewa Gede, Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint), Jakarta : Sinar Grafika, 2013.

___________, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan welfare state, Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.


(5)

Phillipus, M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1982.

Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006.

Scholler, Heinrich, Notes on Constitutional Interpretation, Jakarta : Hans Seidel Foundation, 2004.

Utrecht, E, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Bandung : Ichtiar Baru, 1983.

2. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombusdman Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Jurnal Ilmiah

Ayuni, Qurrata, Menggagas Constitutional Complaint di Indonesia, Jakarta : Jurnal Mahkamah Konstitusi No. 1 April 2010.

Faiz, Pan Mohammad, Menabur Benih Constitutional Complaint, Jurnal Hukum edisi senin 17 September 2006.


(6)

Krisdanar, Vino Devanta Anjas, Menggagas Constitutional Complaint dalam Memproteksi Hak Konstitusional Masyarakat mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama Di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 3, Juni 2010.

Zoelva, Hamdan, Pengaduan Konstitusional dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Sekretariat Negara RI, NO.16, Mei 2010.

4. Disertasi

Palguna, I Dewa Gede, “Pengaduan Konstitusional : Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara (Studi Keweangan Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Perspektif Perbandingan)”, disertasi tidak diterbitkan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011. Soemanteri, Sri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni,

Bandung, 1987.

5. Internet

http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/constitutional-complaint-dan-hakasasi.html diakses tgl 15 maret 2015

http://jurnalhukum.com/constitutional-complaint-dan-hak-asasi.html diakses tgl 16 Maret 2015

http://elsiusaragae.blogspot.com diakses tgl. 16 maret 2015. http://elizafalahatulislami.blogspot.com diakses tgl. 15 Mei 2015.

http://Suriyadhi.blogspot.com/2012/07/legal-standing-dan-seputar-tata-cara.html diakses tgl 16 Mei 2015

Http://harryrizki.blogspot.in/2006/02/constitutionalcomplaint, diakses tgl 24 April 2015