Mapping of parasitic helminth infestation and zoonotic risk in marine fishes of southern Indonesian waters

PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK
DAN RISIKO ZOONOSIS PADA IKAN LAUT DI
PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul:

Pemetaan Infestasi Cacing Parasitik Pada Ikan Laut di Perairan Indonesia
Bagian Selatan

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan arahan Komisi
Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.


Tesis ini belum

pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan
tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunkan telah dinyatakan secara
jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Bogor, Agustus 2006

Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi
NIM B053040091

ABSTRAK

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI.

Pemetaan infestasi cacing

parasitik pada ikan laut di perairan Indonesia bagian Selatan.


Dibawah

bimbingan

PONTJO

RISA

TIURIA

PRIOSOERYANTO,

BAMBANG

PRIOSOERYANTO, dan ETIH SUDARNIKA.
Penelitian ini dirancang untuk mempelajari perbedaan infestasi cacing parasitik
pada tiga jenis ikan inang (tuna, ekor kuning, dan kerapu).

Sampel ikan


dikumpulkan dari perairan Indonesia bagian Selatan (Selat Sunda, Bali dan Nusa
Tenggara Timur) untuk mempelajari pula variasi infestasi parasit secara
geografis.

26 genera cacing parasitik berhasil diisolasi, diidentifikasi serta

dipelajari risiko zoonosisnya. 3 genera dari filum Nemathelminthes, 1 genus dari
filum Plathyhelminthes, dan 1 genus dari filum Acanthocephala teridentifikasi
sebagai cacing zoonotik. Analisis histopatologi dilakukan untuk mempelajari
perubahan yang terjadi pada saluran cerna ikan serta hubungannya dengan
infestasi cacing parasitik.

Penelitian ini menemukan berbagai perubahan

patologis seperti keberadaan parasit, atrofi vili, infeksi sekunder, dan juga
korelasi antara tingkat infestasi dengan kondisi peradangan (enteritis). Dengan
pemetaan, tingkat infestasi (jumlah parasit di setiap inang dan jumlah parasit per
gram daging) dapat digunakan untuk menunjukkan risiko zoonosis di berbagai
lokasi. Variabel yang sama dapat pula digunakan untuk menunjukkan jumlah
parasit dan keberadaan inang definitif/antara/paratenik yang kemudian dapat

digunakan untuk menduga status kesehatan satwa lain di perairan yang sama.

Kata Kunci: Cacing parasitik, histopatologi, ikan laut, pemetaan, zoonosis

ABSTRACT

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Mapping of parasitic helminth
infestation and zoonotic risk in marine fishes of southern Indonesian waters.
Under the guidance OF RISA TIURIA PRIOSOERYANTO, BAMBANG PONTJO
PRIOSOERYANTO, and ETIH SUDARNIKA.

This research was designed to study the differences in helminth parasitic
infestation of three different fish hosts (Tuna, fusilier, and grouper).

Fish

samples were collected from three regions in south Indonesian waters (Sunda
Strait, North Bali and East Nusa Tenggara) in order to observe geographical
variations of parasitic infestations. Twenty six genera of parasitic worms from
the viscera were isolated, identified, and their respective zoonotic risks were

assessed. Three genera of phylum nemathelminthes, one genus from phylum
plathyhelminthes, and one genus from phylum acanthocephala were identified as
zoonotic parasites. Histopathological analysis of the digestive tract found that
there were presence of parasites, atrophy of villi, secondary infection, as well as
correlation between parasite infestation and cases of inflammation (enteritis). By
mapping, level of infestation (numbers of parasites per host and numbers of
parasites per gram muscle) could be used to indicate zoonotic risks in different
locations. The same variable could potentially be used for indicating the amount
of parasites and the presence of intermediate/paratenic/definitive hosts; thus
contributing to the estimation of other marine wildlife’s health status.

Keywords: helminth parasites, histopathology, mapping , marine fish, zoonosis

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK

DAN RISIKO ZOONOSIS PADA IKAN LAUT
DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN

ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

vi

Judul Tesis:
PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK DAN RISIKO ZOONOSIS
PADA IKAN LAUT DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN

Nama:

Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

Nomor Pokok:

B053040091

Program Studi:

Sains Veteriner

Disetujui:
Komisi Pembimbing

drh. Risa Tiuria Priosoeryanto, MS. PhD
Ketua

drh. Bambang Pontjo P, MS. PhD


Ir. Etih Sudarnika, MSi

Anggota

Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Sains Veteriner

drh. Bambang Pontjo P, MS. PhD

Tanggal Ujian: 11 Agustus 2006

Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MSc

Tanggal Lulus:


vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 28 April 1971 dan merupakan anak
pertama dari 2 bersaudara. Sejak kecil penulis tertarik dengan kegiatan alam
terbuka dan juga mempelajari ilmu biologi. Dengan berbekal latar belakang ini,
pendidikan S1 di bidang biologi dari University of Alberta, Kanada diselesaikan
pada tahun 1994 dengan gelar Bachelor of Science (BSc). Selepas pendidikan,
penulis menempuh berbagai pengalaman kerja antara lain sebagai teknisi
karantina dan kesehatan ikan di SeaWorld Indonesia, konsultan biologi, sampai
akhirnya menangani kegiatan pelestarian satwa Badak Jawa sebagai Manajer
proyek WWF Indonesia di Taman Nasional Ujung Kulon.
Didorong oleh keinginan untuk mempelajari kesehatan pada satwa liar,
penulis mengikuti pendidikan Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner di
Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2004 dan juga membimbing beberapa
mahasiswa kedokteran hewan IPB yang memiliki minat untuk mempelajari
kesehatan satwa liar.


viii

PRAKATA

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi
jalan, petunjuk, dan kekuatan selama penulis menempuh studi di sekolah pasca
sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini tidak mungkin dapat tersusun tanpa
bantuan dan dukungan moral dari keluarga tercinta: Indriani Noverita dan
Rahadrian Ksatria yang selalu memberikan motivasi dan juga inspirasi.
Rasa terimakasih dan penghormatan yang sedalam-dalamnya penulis
ucapkan kepada para dosen pembimbing: drh. Risa Tiuria, MS, PhD; drh.
Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD; dan Ir. Etih Sudarnika, MSi, yang
dengan penuh kesabaran dan dedikasi memberikan pengarahan dan masukan
yang sangat berarti dalam penelitian ini. Kepada Nisa dan Kenty mahasiswimahasiswi FKH, serta kepada Bibi dan Pak Eman di Laboratorium Helmintologi
yang telah banyak membantu kerja penulis di laboratorium.
Penelitian ini didukung pula oleh kekompakan rekan-rekan WWF proyek
Ujung Kulon: Adji, Pinor, Andri, Hari, Nina, Endang, Ngatiman, Iwan, Mawi,
Jaya, Sueb, dan Neng yang berhasil menjalankan kegiatan kantor secara
sempurna selama penulis meninggalkan tugas-tugas kantor untuk menempuh
pendidikan.

Penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada masyarakat desa
Lamalera di provinsi Nusa Tenggara Timur: Bpk Josef Keraf, Bapak Miguel,
Rafael, Bpk Stanis Prason Bataona, Bpk. Abel Beding, dan ibu- ibu di pasar ikan
Lewoleba yang juga telah memberikan bantuan berupa informasi dan juga
pendampingan selama penulis melakukan pengambilan sampel di provinsi yang
indah ini.

Semoga Allah memberikan yang terbaik

Bogor, Agustus 2006
Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL....................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................

iv

DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................

v

PENDAHULUAN
Latar belakang................................................................................

1

Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................... 3
Hipotesis penelitian……………………………………................

3

TINJAUAN PUSTAKA
Cacing Parasitik dan Manusia……………….........…………….... 4
Cacing Parasitik dan Satwa liar perairan (mamalia laut)................ 5
Sebaran cacing parasitik di dunia.................................................... 7
Kondisi Patologis akibat Infeksi Cacing Parasitik.......................... 8
Pemantauan Kesehatan Satwa Liar Perairan..................................

8

BAHAN DAN METODA PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................

10

Bahan dan Alat................................................................................ 10
Parasitologi.......................................................................... 10
Patologi................................................................................ 11
Metoda............................................................................................. 11
Pemilihan dan pengacakan sampel...................................... 11
Isolasi cacing dari sampel ikan laut..................................... 13
Isolasi cacing (stadium infektif) dari daging....................... 15
Metoda pewarnaan Semichon’s Acetocarmine.................... 15
Metoda pewarnaan minyak cengkeh.................................... 16
Metoda Identifikasi................................................................ 17
Analisis patologis.................................................................. 18
Analisis statistik dan pemetaan............................................ 19

ii

HASIL
Jenis parasit yang ditemukan............................................................ 22
Prevalensi dan intensitas.................................................................. 26
Kondisi patologis............................................................................. 29

PEMBAHASAN
Intensitas parasit............................................................................... 35
Intensitas cacing parasitik dan kondisi patologis............................. 36
Pemetaan infestasi cacing parasitik................................................. 38
Pendugaan kesehatan pada satwa liar perairan................................ 40
Kecacingan.......................................................................... 41
Aspek kesehatan lainnya..................................................... 42

SIMPULAN.................................................................................................. 43
SARAN........................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 45
LAMPIRAN………………………………………………………………. 49

iii

DAFTAR TABEL

1

Kriteria identifikasi cacing parasitik............................................... 18

2

Cacing parasitik yang diisolasi dari 3 lokasi
pengambilan sampel........................................................................ 22

3

Tabel pendugaan proporsi (prevalensi) kecacingan pada
populasi ikan di lokasi pengambilan sampel................................... 26

4

Tabel analisis galat baku intensitas kecacingan di setiap lokasi
pengambilan sampel......................................................................... 26

5

Prevalensi (persentase jumlah kasus dari total sampel)
kecacingan di tiap lokasi berdasarkan jenis sampel ikan………….. 27

6

Intensitas Nematoda dan Acanthocephala di setiap lokasi
berdasarkan jenis sampel ikan.......................................................... 27

7

Kategori infeksi berdasarkan prevalensi
(Williams & Bunkley-Williams 1996)…………………………….. 27

8

Perbandingan persentase radang (enteritis)
dengan intensitas dan prevalensi....................................................... 37

9

Indikator pendugaan jenis cacing parasitik yang dapat
menginfestasi satwa perairan lainnya berdasarkan kesamaan
sebaran dan pola diet........................................................................ 41

iv

DAFTAR GAMBAR
1

Siklus hidup nematoda zoonotik Anisakis sp. di ekosistem laut....

6

2

Jenis ikan-ikan sampel yang digunakan dalam penelitian.............

13

3

Pengendapan dengan gelas Baerman untuk mengisolasi
cacing dari daging ikan.................................................................

4

Perangkat pewarnaan Semichon Acetocarmine yang
digunakan dalam proses identifikasi cacing……………………..

5

14

17

Lokasi pengambilan sampel di perairan Banten,
Bali dan NTT.................................................................................

21

6

Keragaman dan komposisi genera cacing parasitik.......................

23

7

Cacing zoonotik yang ditemukan selama penelitian......................

24

8

Cacing-cacing non- zoonotik..........................................................

25

9

Box plot dari intensitas cacing parasitik nematoda ……………...

29

10 Histogram hasil pengamatan sediaan histopatologi……………..

30

11 Keberadaan parasit pada sediaan histopatologi pada ikan ………

31

12 Infiltrasi sel radang ………………………………………………

32

13 Atrofi pada vili usus ikan tuna, deskuamasi sel epitel
pada ikan tuna, dan edema pada villi ikan Kerapu………………

34

14 Pemetaan risiko zoonosis berdasarkan intensitas
cacing yang ditemukan pada tiap gram daging ikan.....................

39

15 Pemetaan persentase enteritis pada ikan dari lokasi- lokasi
pengambilan sampel......................................................................

40

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Temuan Cacing Parasitik dan Inang............................. 49
Lampiran 2. Perhitungan Statistika – Analisis Korelasi
Patologi dan Infestasi Cacing Parasitik.................................. 50
Lampiran 3. Analisis Intensitas cacing parasitik dengan menggunakan
Standard Error Mean (SEM)………………………………… 51
Lampiran 4. Analisis Prevalensi Dengan Menggunakan Uji Proporsi........ 52
Lampiran 5. Analisis box plot untuk Intensitas parasit pada
semua jenis ikan per lokasi...................................................... 53
Lampiran 6. Komposisi intensitas cacing parasitik dari setiap lokasi......... 54

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sejak lama orang mengenal hidangan laut yang terdiri dari berbagai jenis
ikan, udang, kepiting, dan beberapa invertebrata lainnya yang merupakan jenis
makanan yang digemari di seluruh dunia. Di tahun 1989 saja, konsumsi hasil laut
(dilihat dari jumlah tangkapan hasil laut seluruh dunia) mencapai 85.7 juta metrik
ton (Garrison 1993). Dalam kurun waktu 15 tahun jumlah ini meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah populasi manusia. Telah diketahui bahwa beberapa
jenis ikan merupakan inang antara yang membantu penyebaran cacing hati
Chlonorchis sinensis, sementara kepiting merupakan inang antara bagi cacing
paru-paru Paragonimus westermanii pada manusia.
Tidak semua orang dapat menikmati hidangan laut, hal ini karena adanya
sekelompok protein pada otot yang disebut parvalbumins pada ikan dan
tropomyosin pada krustasea yang dapat menimbulkan reaksi alergis pada
beberapa individu.

Hal ini dikenal dengan istilah Seafood Hypersensitivity

(Auckland Allergy Clinic 2003). Selain dari alergen ini, hidangan laut juga dapat
mengandung berbagai jenis parasit yang dapat menimbulkan reaksi mirip atau
lebih parah dibanding dengan Seafood hypersensitivity. Meningkatnya konsumsi
jenis makanan tertentu dapat menyebabkan meningkatnya prevalensi parasit pada
suatu populasi. Salah satu contoh adalah penyebaran cacing parasitik Anisakis
spp. Larva cacing Anisakis spp telah ditemukan pada ikan yang dijual di pasar
daerah Jakarta pada tahun 1978, namun belum ada kasus anisakiosis tercatat pada
saat itu (Hadidjaja et al. 1978, Ilahude et al. 1978). Pada tahun 1996 kasus
hipersensitifitas anisakiosis akibat infeksi larva nematoda tersebut tercatat di
Sidoarjo Jawa Timur (Uga et al. 1996), kejadian ini kemungkinan besar terkait
dengan meningkatnya konsumsi ikan mentah atau kurang matang (sushi /
sashimi).

2

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa konsumsi ikan dapat menyebabkan
penyebaran parasit baik pada manusia (zoonosis) maupun pada satwa liar
perairan, karenanya perlu dipelajari sebaran ikan laut, parasit serta prevalensi dan
tingkat infestasi yang terjadi pada populasi yang diwakili oleh sampel ikan hasil
tangkapan dari alam.
Aspek lain yang berkaitan dengan infestasi cacing parasitik adalah
hubungan antara ikan laut dengan satwa liar perairan pemangsa ikan laut. Salah
satu kendala pengelolaan satwa liar adalah sulitnya memantau kesehatan satwa
yang hidup di habitat alami. Untuk satwa liar yang hidup di darat, sampai saat ini
tinja dapat digunakan dalam pendugaan kesehatan satwa tersebut, namun hal ini
hampir tidak mungkin dilakukan pada satwa liar perairan karena sulitnya
mendapatkan sampel tinja yang utuh. Untuk itu perlu dilakukan beberapa metode
pendekatan

menggunakan indikator- indikator lainnya. Pada satwa perairan,

terutama ikan, pemantauan status kecacingan merupakan hal yang penting karena
cacing yang menginfeksi ikan di populasi alam dapat pula menginfeksi ikan di
fasilitas penangkaran atau budidaya (akuakultur), yang akhirnya dapat
menimbulkan kerugian ekonomis pada sektor perikanan (Buchmann & Bresciani
2001).
Buchmann & Bresciani (2001) juga menunjukkan bahwa masuknya jenis
parasit eksotis ke dalam suatu ekosistem juga dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap populasi yang sudah ada di ekosistem tersebut.

Dengan demikian

pemantauan kesehatan dan status kecacingan pada satwa perairan yang
bermigrasi dari satu daerah ke daerah lainnya menjadi sangat penting, terutama
untuk satwa yang memiliki pola migrasi lintas negara seperti berbagai jenis paus
yang bermigrasi setiap tahun dari daerah sub-tropis ke daerah tropis (Reeves et
al. 2003). Berbagai jenis lumba- lumba dan paus merupakan satwa mamalia
perairan yang populasinya sudah terancam karena aktifitas nelayan dan
perburuan.

Dengan mengetahui status kesehatan satwa tersebut, maka upaya

perlindungan satwa yang dilindungi serta pencegahan penyebaran parasit eksotis
akan menjadi lebih baik.

3

Tujuan Penelitian


Mengidentifikasi keberadaan cacing parasitik dan yang memiliki potensi
zoonosis pada ikan laut dari perairan di bagian selatan Indonesia.



Mengembangkan metoda pemetaan risiko zoonosis.



Mempelajari perbedaan prevalensi dan intensitas infestasi cacing parasitik
dari setiap lokasi.



Mempelajari perubahan patologi anatomi dan histopatologi pada saluran
cerna ikan dari populasi alami.

Manfaat Penelitian


Diketahui jenis parasit yang zoonotik dan non- zoonotik pada ikan laut di
lokasi perairan bagian selatan Indonesia.



Identifikasi lokasi perairan dengan risiko zoonosis dari ikan laut.



Penggunaan tingkat infestasi cacing parasitik pada ikan laut sebagai
indikator pendugaan kondisi kesehatan khususnya infestasi cacing pada
satwa liar perairan.



Diketahui gambaran perubahan patologis akibat infestasi cacing parasitik
zoonotik dan non-zoonotik yang terjadi pada ikan dari beberapa lokasi
yang berbeda.

Hipotesis Penelitian


Ditemukan jenis parasit cacing pada ikan laut baik yang bersifat zoonotik
maupun non-zoonotik.



Terdapat perbedaan prevalensi dan intensitas infestasi cacing parasitik
pada ikan dari tiap lokasi perairan.



Data jenis parasit, preva lensi dan intensitas dapat digunakan untuk
pemetaan jenis parasit ikan dan risiko zoonosis serta indikator biologis
untuk pendugaan kesehatan satwa perairan.



Terdapat berbagai perubahan patologis pada saluran cerna ikan laut yang
terinfestasi cacing parasitik.



Ada korelasi antara perubahan patologis dengan tingkat infestasi cacing
parasitik.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Parasitik dan Manusia
Infeksi cacing parasitik pada manusia terjadi dengan masuknya stadium
infektif parasit tersebut ke dalam tubuh manusia.

Hilderbrand et al. (2003)

menyebutkan bahwa jenis parasit yang sering ditemukan pada ikan laut adalah
jenis nematoda Anisakis spp. dan cacing pita Dihyllobothrium spp.

Ikan

terinfeksi parasit tersebut akibat memakan krustasea kecil yang sudah terinfeksi.
Koie (2001) menunjukkan bahwa larva dari nematoda Anisakis simplex tidak
berkembang di tubuh krustasea kecil (copepoda), namun berkembang menjadi
larva 3 (L3) di tubuh ikan.

Beberapa spesies cacing pipih seperti Chlonorchis

sinensis dan Paragonimus westermanii memerlukan inang antara (siput) dan
inang definitif dalam siklus hidupnya. Stadium infektif masuk ke dalam tubuh
manusia bila ikan dimakan dalam keadaan mentah atau kurang matang.
Orlandi et al. (2002) menyusun tabel berisi daftar parasit yang ditularkan
melalui makanan dan air beserta sebaran geografis. Dari tabel ini terlihat bahwa
ikan tercatat sebagai sumber utama penyebaran parasit terutama jenis trematoda,
acanthocephala, dan nematoda. Beberapa kasus alergi timbul akibat larva cacing
parasitik yang ada pada ikan yang dikonsumsi secara mentah atau kurang matang.
Beberapa penelitian menyebutkan juga bahwa alergen tetap ada walaupun larva
telah mati. Reaksi yang timbul akibat masuknya parasit berupa reaksi alergis
yang meliputi urtikaria, ana filaksis, dermatitis, gastroenteritis eosinofilik, sampai
gejala asma (Bircher et al. 2000). Infeksi cacing dan protozoa dapat dideteksi
melalui antibodi IgE yang spesifik terhadap serangan parasit (Yman 2000).
Imunoglobulin E ini merupakan reaksi tanggap kebal inang terhadap alergen dari
parasit. Alergen nematoda (Ascaridoid) merupakan protein yang sangat stabil
dan dapat mempertahankan struktur, aktifitas biokimiawi, dan sifat-sifat
alergenisitasnya bila didinginkan setelah mengalami denaturasi dengan panas
(Kennedy 2000).

5

Cacing Parasitik dan Satwa liar perairan (Mamalia laut)
Satwa liar seperti lumba- lumba dan paus merupakan inang definitif dari
berbagai jenis cacing parasitik. Walaupun cacing ini merupakan parasit yang
lazim ditemukan dalam tubuh beberapa mamalia laut, pola migrasi dari lumbalumba ataupun paus dapat menjadi sarana penyebaran cacing parasitik tersebut
kepada satwa lainnya. Perairan Indonesia di sekitar Taman Nasional Komodo, P.
Alor, P. Pantar, dan Lembata, Nusa Tenggara Timur merupakan jalur lintasan
paus dari Samudera Pasifik dan perairan Timur Indonesia ke Samudra Indonesia
dan juga sebaliknya melewati daerah ini disamping satwa setempat (residen)
yang menggunakan jalur lintasan ini sebagai daerah jelajah mereka (Kahn 2001;
Pet-Soede 2002). Beberapa jenis cacing parasit ini merupakan agen zoonosis
karena dapat menimbulkan reaksi hipersensitifitas bahkan dapat pula hidup di
dalam saluran pencernaan manusia (Bircher et al. 2000; Lopez-Serrano 2000).
Infestasi dan sebaran parasit ini pada ikan sangat terkait erat dengan
ketahanan inang definitifnya yaitu mamalia laut. Daya tahan inang yang rendah
dapat menimbulkan infestasi berlebih dan menyebabkan kerusakan pada jaringan.
Dalam ekosistem laut, satwa yang menempati posisi atas dalam piramida
makanan memiliki risiko terinfeksi yang tinggi oleh berbagai macam parasit
apabila sumber makanan (mangsa) mereka telah terinfeksi oleh parasit.
Dengan karakteristik parasit cacing dan reaksi terhadap perubahan
lingkungan yang berbeda-beda, Geetanjali et al. (2002) mengatakan bahwa
cacing parasit nematoda memiliki potensi sebagai bio-indikator lingkungan,
karenanya nematoda berpotensi untuk digunakan sebagai bio- indikator kondisi
perairan dan juga status kesehatan satwa liar itu sendiri. Survei yang dilakukan
oleh Beron-Vera et al. (2001) pada lumba-lumba Commerson (Cephalorhynchus
commersonii) di perairan Atlantik Selatan menunjukkan bahwa nematoda dari
genus Anisakis memiliki prevalensi yang tinggi (100% di Patagonia bagian
tengah dan 87% di Tiera del Fuego) dengan rata-rata intensitas yang berbeda (21
di Patagonia dan 9 di Tiera del Fuego). Dengan demikian, nematoda zoonotik
seperti Anisakis spp. memiliki potensi untuk dijadikan indikator perairan, atau
kondisi kesehatan satwa liar yang ada di perairan tersebut. Siklus hidup lengkap
dari nematoda parasitik Anisakis sp disajikan dalam Gambar 1.

6

Gambar 1 Siklus hidup nematoda zoonotik Anisakis sp. di ekosistem laut.
f=inang definitif (mamalia laut), a=telur, b=larva yang berenang
bebas, c=inang antara (kopepoda), d=inang antara (udang), e=inang
transport (ikan atau cumi), g=larva pada organ pencernaan inang
transport, h=larva dari inang yang mati, i&j=ikan di dasar laut.
(Køie 2001)

7

Sebaran Cacing Parasitik di Dunia
Beberapa jenis cacing parasitik memiliki sebaran yang luas di seluruh
dunia, namun ada pula beberapa jenis yang spesifik dari daerah tertentu. Selain
sebaran geografis, cacing parasitik juga tersebar di beberapa jenis perairan seperti
perairan air tawar, payau dan perairan laut.

Berikut ini beberapa catatan

mengenai jenis cacing parasitik yang ditemukan serta tingkat infeksi pada
berbagai jenis satwa perairan.

Filipina dan Pasifik
Menurut Arthur & Lumanlan-Mayo (1997), jenis

ikan

kerapu

(Serranidae)

terinfeksi berbagai jenis cacing parasitik yang terdiri dari: 7 genera dari phylum
Plathyhelminthes dan 3 genera dari phylum Nemathelminthes. Sementara jenis
ikan Ekor kuning (Caesionidae) terinfeksi oleh: 1 genus dari filum
Plathyhelminthes dan 2 genera dari filum Nemathelminthes. Dari ikan jenis tuna
(Scombridae) ditemukan: 7 genera dari filum Plathyhelminthes dan 2 genera
filum Nemathelminthes. Beberapa genera yang ditemukan di Filipina seperti
Anisakis spp, dan Lecithocladium spp tercatat pula di perairan Indonesia.
Sugawara et al. (2004) mencatat bahwa terjadi infeksi sangat berat nematoda
Anisakis simplex pada ikan salmon Oncorhynchus keta. Infeksi terjadi saat ikan
tersebut bermigrasi. Berdasarkan penelitiannya, cacing paling banyak ditemukan
pada jaringan otot jenis ikan salmon.

Samudera Atlantik
Williams & Bunkley-Williams (1996) menyebutkan tentang terjadinya infeksi
sangat berat (> 1,000 parasit per individu) cacing trematoda dari genus Dinurus
sp pada lumba- lumba di perairan Karibia. Sementara infeksi berat Dinurus sp
(250 cacing per individu) ditemukan pada lumba- lumba di India. Infeksi berat
cacing nematoda Hysterothylacium sp tercatat di Puerto Rico pada ikan makerel.

8

Kondisi Patologis akibat Infeksi Cacing Parasitik
Menurut Williams & Bunkle y-Williams (1996), kerusakan yang berat
pada jaringan tubuh inang timbul akibat infeksi berat (250 parasit per individu)
dan infeksi sangat berat (> 1,000 parasit per individu). Cacing memasuki tubuh
inang melalui makanan (plankton, ikan atau cumi). Larva infektif yang termakan
akan tumbuh dewasa dan berkembang biak di dalam tubuh inang definitif ini.
Beberapa jenis cacing memiliki antigen Ekskretori Sekretori hasil metabolit (ES)
yang digunakan untuk menyerang jaringan inang dan menyebabkan luka / ulkus
pada dinding saluran pencernaan. Pada usus inang, ujung anterior dari cacing
genus Anisakis spp. tertanam pada ulkus.

Ulkus ini dapat bersifat akut dan

hemorrhagi atau kronis dimana proses persembuhan berjalan dengan adanya
fibrosis dan jaringan granulasi (Duignan 2003).
Fibrosis dapat terjadi bila sel-sel platelet dari darah terlibat dalam proses
penyembuhan. Dengan adanya jaringan yang rusak akibat adanya produk ES dan
invasi cacing, netrofil datang sebagai bagian dari proses peradangan dan
menimbulkan kondisi mirip granuloma (granulomatous).

Semakin tinggi

intensitas cacing parasitik, kondisi patologis yang timbul juga akan semakin
parah.

Pemantauan Kesehatan Satwa Liar Perairan
Duff (2003) menyebutkan bahwa pemantauan kesehatan dan penyakit
pada satwa liar merupakan hal yang penting karena beberapa spesies satwa liar
dapat menjadi inang ataupun pembawa berbagai jenis penyakit. Hal ini menjadi
lebih penting bila satwa tersebut memiliki pola migrasi dari satu tempat ke
tempat lainnya karena satwa tersebut berperan dalam penyebaran penyakit
ataupun parasit yang dibawanya.

Pendugaan populasi satwa liar (predator)

terestrial dapat dilakukan dengan pemantauan langsung atau memantau mangsa
mereka menggunakan kamera otomatis.

Metoda ini dapat memberikan

perhitungan jumlah populasi yang cukup akurat (Karanth & Nichols 2002),
sementara pendugaan infestasi parasit dapat dilakukan dengan menganalisa
sampel tinja satwa liar tersebut.

Tiuria et al. (2004) melakukan telaah

endoparasit pada satwa liar badak jawa (Rhinoceros sondaicus) sebagai langkah

9

awal pemantauan kesehatan pada satwa liar tersebut. Pada populasi satwa liar
perairan seperti lumba- lumba, sampai saat ini belum ada metoda pendugaan
kesehatan pada populasi satwa tersebut kecuali dengan menggunakan metoda
identifikasi foto untuk melihat lesio yang ada pada kulit hewan liar tersebut
(Wilson et al. 2000). Metoda ini hanya dapat melihat kondisi patologis pada
kulit secara makroskopik, dan memakan waktu yang sangat lama (8 tahun).
Mengingat sulitnya menduga kondisi kesehatan lumba- lumba secara langsung,
maka ikan pelagis dari keluarga Scombridae (tuna dan tongkol) dijadikan model
karena pola makan dan penyebaran ikan jenis ini sama dengan beberapa satwa
liar perairan lainnya termasuk mamalia laut. Infestasi cacing parasitik pada jenis
ikan ini dapat digunakan untuk menggambarkan jenis cacing parasitik yang
masuk ke dalam tubuh mamalia laut.

10

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Sampel ikan diambil dari beberapa lokasi yang mewakili perairan
Indonesia bagian Selatan (Selat Sunda, Bali, dan Nusa Tenggara Timur) yang
terletak di Indonesia bagian, Barat, Tengah, dan Timur. Identifikasi spesimen
dan analisa histopatologi dilakukan di Laboratorium Helmintologi dan Bagian
Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Penelitian berjalan selama
bulan Maret 2005 sampai dengan Juni 2006.

Bahan dan Alat Penelitian
1. Parasitologi
Bahan dan alat yang digunakan dalam teknik parasitologi terdiri dari:
a. Seperangkat alat bedah (dissecting kit)
b. Kaca pembesar
c. Mikroskop cahaya
d. Mikroskop stereo
e. Timbangan elektronik
f. Cawan Petri
g. Gelas plastik
h. Botol plastik film
i.

Gelas objek

j. Larutan garam fisiologis
k. Ethanol 70%
l.

Akuades

m. Pewarna Acetocarmine
n. KOH bubuk
o. Minyak cengkeh
p. Entellan
q. Alkohol
r. Xylol
s. Kertas label

11

2. Patologi
Bahan dan alat yang digunakan dalam analisis patologi terdiri dari:
a. Seperangkat alat bedah (dissecting kit)
b. Kaca pembesar
c. Fosfat buffer formalin 10%
d. Gelas objek
e. Pewarna HE
f. Blok parafin
g. Mikrotome
h. Mikroskop cahaya
i.

Mikroskop video

Metode
1. Pemilihan dan Pengacakan Sampel
Penelitian ini merupakan studi observasional yang dilakukan terhadap
kondisi yang sudah terjadi di populasi alamiah. Untuk itu, metoda pemilihan dan
pengacakan sampel dilakukan agar gambaran umum populasi tersebut dapat
terwakili. Besaran sampel yang diambil didefinisikan berdasarkan dua kategori
yaitu: kelompok jenis ikan dan kelompok lokasi pengambilan. Besaran sampel
ikan ditentukan menggunakan formula seperti dijelaskan dalam Permin & Hansen
(1998). Dengan tingkat kepercayaan 90%, dugaan prevalensi kecacingan pada
70%, dan presisi 15%, maka di setiap lokasi diperlukan minimal 26 satuan
sampel ikan. Kelompok ikan laut yang diteliti terdiri dari:


Ikan Pelagis 1 yang memiliki relung, pola penyebaran dan diet yang
sama dengan mamalia la ut predator pemakan ikan (12 satuan sampel
dengan ukuran panjang 15-20 cm)
dunia: Animalia
filum: Chordata
kelas: Osteichthyes
ordo: Perciformes
famili: Scombridae
genus: Auxis, Thunnus, Euthyunnus

12



Ikan Pelagis 2 yang memiliki relung yang sama, namun pola
penyebaran dan diet yang berbeda dengan kelompok Pelagis 1 (12
satuan sampel dengan ukuran panjang 30-50 cm)
dunia: Animalia
filum: Chordata
kelas: Osteichthyes
ordo: Perciformes
famili: Caesionidae
genus: Caesio, Pterocaesio



Ikan Demersal yang memiliki relung, pola penyebaran dan pola diet
yang berbeda dengan ikan pelagis 1 dan Pelagis 2 (12 satuan sampel
dengan ukuran panjang 20-30 cm).
dunia: Animalia
kelas: Osteichthyes
ordo: Perciformes
famili: Serranidae
genus: Cephalopolis, Variola, Aethaloperca, Epinephelus

Berdasarkan ketentuan di atas, ditarik 36 ekor ikan dari setiap lokasi
perairan yang mewakili populasi ikan di: Ujung Kulon (untuk mewakili perairan
Indonesia bagian Barat), Bali (untuk mewakili perairan Indonesia bagian
Tengah), dan perairan P. Lembata/Nusa Tenggara Timur (untuk mewakili
perairan Indonesia Timur). Ketiga lokasi pengambilan ini merupakan provinsi
yang berbeda, terpisah dengan jarak yang lebih besar dari 20 mil laut dan juga
merupakan habitat satwa yang berdekatan dengan perairan samudera Hindia.
Dengan demikian setiap lokasi mewakili populasi ikan dan juga satwa liar
perairan yang berbeda di bagian selatan Indonesia. Jenis-jenis ikan sampel
disajikan dalam Gambar 2.

13

A

B

C

Gambar 2 Jenis ikan- ikan sampel yang digunakan dalam penelitian. A=
tuna/tongkol (Scombridae), B=kerapu (Serranidae) dan C=ekor
kuning (Caesionidae)
Sampel ikan merupakan hasil tangkapan beberapa nelayan dengan tonase
kapal kurang dari 10 ton di lokasi- lokasi tersebut di atas, dan ikan telah dicampur
di pasar atau pelelangan ikan sebelum dibeli untuk diteliti. Dengan demikian
telah terjadi pengacakan terhadap ikan laut hasil tangkapan tersebut.

Untuk

menjamin bahwa sampel ikan ditarik dalam satu siklus yang sama, maka
pengambilan sampel dilakukan pada fase bulan kwartal pertama (awal bulan
dalam penanggalan Jawa/Islam). Semua sampel ikan diidentifikasi berdasarkan
cara Allen (2000) dan diberi kode untuk penandaan pengelompokan berdasarkan
jenis ikan dan lokasi sampel.

2. Isolasi Cacing Dari Sampel Ikan Laut
Ikan pelagis

diambil dari hasil tangkapan nelayan di beberapa lokasi

tersebut di atas. Ikan tuna/tongkol, kerapu dan ekor kuning tersebut diawetkan
dengan pendinginan sebelum dibedah dan diteliti saluran pencernaannya.

Di

setiap provinsi tempat pengambilan sampel, 12 ekor ikan tuna atau tongkol, 12
ekor ikan kerapu, dan 12 ekor ikan ekor kuning diambil dari pelelangan ikan, atau
tangkapan nelayan.

Isolasi cacing parasitik dilakukan di lokasi pengambilan

sampel. Telaah dilakukan terutama pada insang, organ pencernaan, dan daging

14

(otot di sekitar rongga abdomen). Spesimen ikan dibedah dengan membuat
sayatan pada bagian ventral ikan. Sayatan dimulai dari kloaka ke arah anterior
sampai operkulum untuk memaparkan insang dan organ pencernaan. Organ
dipisahkan berdasarkan kategori: insang, lambung, hati-empedu, dan usus untuk
kemudian direndam dalam cairan garam fisiologis selama 2-3 jam. Cacing yang
ditemukan kemudian dipindahkan ke dalam larutan garam fisiologis segar dan
diidentifikasi menggunakan mikroskop cahaya.

Spesimen yang didapat dari

daerah diawetkan dengan alkohol 70% untuk analisis lebih lanjut dengan
pewarnaan di Laboratorium Helmintologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Pewarnaan pada spesimen cacing perlu dilakukan agar cacing dapat diidentifikasi
dengan lebih tepat.
Cacing yang berhasil diisolasi disimpan di dalam larutan NaCl fisiologis
selama 8 jam dalam suhu dingin, kemudian dipindahkan dalam alkohol 70% yang
baru dididihkan dan disimpan dalam suhu ruangan sampai suhu alkohol kembali
ke suhu ruangan.

Tingkat infestasi cacing parasitik dari berbagai daerah

ditentukan dengan cara mengidentifikasi dan menghitung jumlah cacing yang
ditemukan dari jaringan tubuh inang (insang, saluran pencernaan, daging).

Gambar 3

Pengendapan dengan gelas Baerman untuk mengisolasi cacing
dari daging ikan.

15

3. Isolasi Cacing (stadium infektif) dari Daging
Stadium infektif berbagai jenis cacing (larva, plerocercoid, cercaria, atau
metacercaria) diisolasi menggunakan metoda pengendapan menggunakan gelas
Baerman pada Gambar 3 dengan langkah- langkah sebagai berikut:
1. Sampel daging dari etanol 70% dikeringkan dengan menggunakan
saringan selama 5 menit dalam suhu ruangan.
2. Sampel dikeringkan lebih lanjut sebelum ditimbang menggunakan
timbangan elektronik
3. Daging kemudian digerus secara perlahan menggunakan mortar
dan sedikit akuades
4. Daging diletakkan di atas kain kasa dan saringan yang terpasang
pada bibir gelas Baerman (Gambar 3)
5. Gelas Baerman kemudian diisi dengan akuades sampai daging
terendam
6. Biarkan selama satu malam (8 jam atau lebih) dalam suhu ruangan
7. Endapan diambil dengan pipet dari dasar gelas Baerman dan
diamati dibawah mikroskop stereoskopik
8. Parasit dihitung dan dipindahkan ke dalam etanol 70% untuk
identifikasi

4. Metoda Pewarnaan Semichon’s Acetocarmine
Pewarnaan Semichon Acetocarmine digunakan untuk mengidentifikasi
cacing pipih (Trematoda dan Cestoda), hal ini karena pewarnaan tersebut
merupakan metoda pewarnaan yang tepat (Kusumamihardja 1995). Pewarnaan
spesimen dilakukan dengan merendam spesimen dalam larutan acetocarmine dan
melakukan dehidrasi dengan alkohol bertahap sebelum fiksasi pada sediaan gelas
objek. Bahan pewarnaan acetocarmine seperti pada Gambar 4 disiapkan melalui
langkah-langkah berikut:
1. 100 ml akuades dicampur dengan 100 ml asam asetat glacial
2. Bubuk lithium carmine dicampurkan sampai larutan menjadi jenuh
3. Larutan dipanaskan sampai 950 C selama 15 menit
4. Etanol 70% sebanyak 200 ml ditambahkan ke dalam larutan

16

Pewarnaan spesimen dilakukan dengan prosedur sebagai berikut
a) Spesimen cacing direndam dalam larutan pewarna acetocarmine selama
15-20 menit sampai warna terserap (spesimen menjadi berwarna merah
cerah)
b) Spesimen dibilas dalam etanol 70% dan kemudian direndam dalam
larutan asam alkohol (99 bagian etanol 70% dicampur dengan 1 bagian
HCl)
c) Dehidrasi spesimen dengan alkohol bertahap (70%, 85%, 95%, 100%)
direndam selama 5 menit pada tiap-tiap konsentrasi alkohol.
d) Perendaman dengan xylol sampai spesimen terlihat tembus pandang
e) Membuat sediaan dengan bahan Entellan sebagai media fiksasi

5. Metoda Pewarnaan dengan Minyak Cengkeh
Untuk cacing nematoda dan acanthocephala yang memiliki struktur
berbeda dengan cacing pipih (trematoda/cestoda) digunakan pewarnaan khusus
dengan menggunakan KOH dan minyak cengkeh.

Pewarnaan KOH- minyak

cengkeh dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1.

Spesimen direndam dalam larutan KOH 1% (Bubuk KOH dilarutkan
dalam akuades) selama 1-3 menit sampai kutikula / lapisan luar spesimen
terlihat agak melunak dan tembus pandang

2.

Cacing kemudian dipindahkan ke dalam minyak cengkeh selama 1-3
menit sampai organ-organ tubuh terlihat berwarna lebih jelas

3.

Dehidrasi spesimen dengan alkohol bertahap (70%, 85%, 95%)

4.

Membuat sediaan dengan bahan Entellan sebagai media fiksasi

17

Gambar 4 Perangkat pewarnaan Semichon Acetocarmine yang digunakan
dalam proses identifikasi cacing
6. Metoda Identifikasi
Identifikasi cacing parasitik mengacu pada panduan dalam Yamaguti
(1958), Soulsby (1982), Noble & Noble (1989), Kusumamihardja (1995),
Williams & Bunkley-Williams (1996), dan Moravec et al. (1999). Secara garis
besar, kriteria identifikasi terangkum dalam Tabel 1.

Spesimen yang telah

diwarnai diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa
160x. Berdasarkan morfologi spesimen dibedakan menjadi 3 filum yaitu: cacing
pipih (Plathyhelminthes), cacing gilig (Nemathelminthes), dan Acanthocephala.
Masing- masing kelompok tersebut dipisahkan lagi menjadi beberapa stadium
yaitu: dewasa, larva pada Nemathelminthes; dan procercoid / plerocercoid pada
Plathyhelminthes. Untuk cacing gilig (Nemathelminthe s) dibedakan berdasarkan
bentuk esophagus menjadi:

cacing parasitik (esophagus lurus), cacing non-

parasitik (esophagus berbentuk gada).

Identifikasi dilakukan sampai tingkat

genus untuk kemudian menentukan sifat zoonosis cacing tersebut berdasarkan
genus. Penentuan risiko zoonosis dilakukan dengan menggunakan daftar cacing
parasit zoonosis pada ikan yang disusun oleh Orlandi et al. (2002).

Tabel 1 Kriteria identifikasi cacing parasitik berdasarkan beberapa pustaka

18

Filum
Plathyhelminthes

Klasifikasi

Bentuk tubuh

Morfologi

Cestoda

Pipih, segmen,
tanpa rongga
badan, tidak ada
saluran
pencernaan, batil
hisap, scolex

Stadium proserkoid,
pleroserkoid,
sitiserkus, dewasa

Trematoda

Pipih, dengan
rongga badan,
panjang dan
bentuk segmen

Posisi batil hisap
(acetabulum),
saluran cerna,
vitellaria

Nemathelminthes

Nematoda

Gilig, dengan atau
tanpa selubung

Bentuk mulut,
esofagus, bentuk
lambung, ujung
posterior

Acanthocephala

Acanthocephala

Gilig, tanpa
segmen, proboscis

Rasio panjang
proboscis:badan,
bentuk proboscis,
distribusi duri

7. Analisis Patologi
Analisis dititik beratkan pada saluran pencernaan (lambung dan usus),
ikan tuna/tongkol, kerapu dan ekor kuning secara patologi anatomi (PA) dengan
mengamati kondisi patologis pada saluran pencernaan dan juga histopatologi
(HP) dengan mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada saluran cerna.
Usus difiksasi dalam larutan fosfat buffer formalin 10% untuk kemudian
menjalani proses dehidrasi dengan alkohol bertahap dan penjernihan dengan
xylol sebelum dimasukkan ke dalam blok parafin. Setelah itu blok parafin
dengan sampel jaringan dipotong menggunakan microtome dan hasil potongan
dilekatkan pada sediaan kaca. Sediaan histopatologi dari jaringan saluran cerna
diberi pewarnaan Hematoksilin- Eosin (HE), dan diamati berdasarkan variabelvariabel berikut:

19

1. Keberadaan parasit
2. Infeksi bakteria (untuk menduga adanya infeksi sekunder)
3. Kondisi enteritis (keberadaan sel-sel radang, edema radang, dan bentuk
vili)
4. Perubahan-perubahan patologis lainnya (sarang-sarang nekrosis, atrofi
vili, deskuamasi epitel, dll)

8. Analisis Statistik dan Pemetaan
Perhitungan statistik dilakukan untuk menghitung:
1. Prevalensi (pendugaan proporsi) dari sampel dan populasi ikan
terinfeksi cacing parasitik dengan menggunakan rumus:
P = x/n
P = pendugaan proporsi (prevalensi) pada populasi
x = jumlah sampel dengan infeksi cacing parasitic
n = total sampel yang diambil
Selang dengan tingkat kepercayaan 95% dihitung sebagai:

P ± Za/2

P(1-P)/n

P = Pendugaan proporsi (prevalensi) kecacingan pada populasi
Za /2 = nilai Z dua arah pada tingkat kepercayaan 95% (1.96)
n = jumlah sampel yang diambil

20

2. Galat baku dari intensitas kecacingan pada sampel ikan dengan
menggunakan rumus:
x ± t a/2 s___
vn
x = rata-rata intensitas kecacingan (jumlah cacing per individu)
t a/2 = nilai distribusi t dua arah dengan tingkat kepercayaan 95%
n = jumlah sampel
3. Korelasi Pearson antara jumlah temuan parasit pada inang (intensitas),
prevalensi, dan kondisi patologis menggunakan rumus:
? (x.y) – n x y
p=
(? xi 2 – n x2 )(? yi 2 – n y2 )
p = koefisien Pearson
x, y = nilai dari variable x dan y
x,

y = rata-rata variable x dan y

Data disusun dalam bentuk tabulasi untuk mempermudah perhitungan dan juga
analisis box plot, sementara pendugaan proporsi digunakan untuk menganalisis
perbedaan pada prevalensi. Perangkat lunak SPSS versi 12 digunakan dalam
analisis data dimana sebagian besar dari analisis statistik yang digunakan bersifat
deskriptif dengan membandingkan prevalensi dan juga intensitas dari tiap-tiap
jenis parasit yang ditemukan. Keragaman parasit dari setiap lokasi dan jenis ikan
juga diteliti untuk melihat apakah ada perbedaan prevalensi dan intensitas pada
tiap jenis ikan ataupun lokasi.

Selain tabulasi, grafik juga digunakan untuk

memaparkan hasil agar dapat dianalisis secara visual. Tabulasi dan grafik juga
digunakan pada hasil pengamatan kondisi patologis saluran cerna ikan untuk
mempelajari perubahan yang terjadi pada spesimen jaringan usus dari tiap jenis
ikan.
Perangkat lunak pemetaan Google™ Earth digunakan untuk verifikasi
koordinat titik pengambilan ikan (pelelangan atau pasar) sementara ArcView GIS
3.3 digunakan untuk mengolah data yang diperolah dari pengamatan di lapangan.

21

Gabungan dari fungsi kedua perangkat lunak ini digunakan untuk memetakan
sebaran jumlah dan cacing parasitik berdasarkan data dari lapangan (tingkat
infestasi dan koordinat lokasi pengambilan sampel).

Database pemetaan

dilakukan dengan keterwakilan pada tingkat provinsi (pengamatan dilakukan di
provinsi-provinsi yang berbeda) seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel di perairan Banten, Bali dan NTT
(ditandai dengan kotak berwarna putih) berdasarkan perangkat lunak
Google Earth™.

22

HASIL

1. Jenis Parasit yang Ditemukan
Spesimen parasit menunjukkan keragaman yang berbeda-beda di tiap
lokasi. Lokasi dengan genera terbanyak adalah Bali (15 genera), Selat Sunda (11
genera) dan NTT (5 genera). Semua genera kemudian dikelompokkan dalam tiga
kategori yaitu: Zoonotik (tercatat memiliki risiko zoonosis), Dolphin (ditemukan
juga pada satwa liar lumba- lumba), dan eksklusif (hanya terdapat pada ikan).
Gambar 6 menunjukkan keragaman dan komposisi genera dari tiap lokasi beserta
intensitas cacing zoonotik dalam tiap gram daging ikan, sementara rincian genera
dari tiap lokasi ditampilkan pada Tabel 2, sementara jenis-jenis ikan inang dapat
dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2 Cacing parasitik yang diisolasi dari 3 lokasi pengambilan sampel
Lokasi
Bali

Selat sunda

NTT

Filum

Klasifikasi

Genus

Zoonosis

Nemathelminthes
Nemathelminthes
Plathyhelminthes
Nemathelminthes
Nemathelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Nemathelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
acanthocephala

Nematoda
Nematoda
Trematoda
Nematoda
Nematoda
Trematoda
Trematoda
Trematoda
Trematoda
Cestoda
Cestoda
Nematoda
Trematoda
Trematoda
Acanthocephala

Anisakis sp
Pseudoterranova sp
Echinochasmus sp
Procamallanus sp/Dichelyne sp
Procamallanus sp
Magnacetabulumsp/Haplosplanchnus sp
genus 1
genus 2
genus 3
genus 1
genus 2
genus 1
Wardula sp/monostomum sp
Phillopina sp
Leptrhynchoides sp/rhadinorhynchus sp

Ya
Ya
Ya
Tidak
tidak
tidak

Acanthocephala
Nemathelminthes
Acanthocephala
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Nemathelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes

Acanthocephala
Nematoda
Acanthocephala
Cestoda
Cestoda
Cestoda
Cestoda
Nematoda
Trematoda
Trematoda
Trematoda
Cestoda

Serrasentis sp/Bulbosoma sp
Anisakis sp/Pseudoterranova sp
Leptorhynchoides sp/Rhadinorhynchus sp
genus 3
genus 4
genus 5
genus 6
Procamallanus sp/Dichelyne sp
Lecithocladium sp
Tetrochetus sp
genus 4
Bothriocephalus sp

ya
ya
tidak

Nemathelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Plathyhelminthes
Acanthocephala

Nematoda
Cestoda
Cestoda
Cestoda
Cestoda
Trematoda
acanthocephala

Capillaria sp
Bothriocephalus sp
genus 3
genus 4
genus 4
Hirudinella sp
Leptorhynchoides sp/rhadinorhynchus sp

ya
tidak

tidak
tidak
tidak

tidak
tidak
tidak
tidak

tidak
tidak

Keterangan: Genus 1 sampai dengan 6 adalah cacing yang belum dapat diidentifikasi

23

Keragaman Parasit

16

Exclusif
Dolphin
Zoonotik

14

Jumlah Genera

12

10
8
6
4
2

0
Selat sunda

Bali

NTT

A

Lokasi

1.00

Cestoda
Trematoda

Jumlah parasit per gram daging

0.90

Nematoda

0.80

Acanthocephala
Protozoa, Alga, dll

0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-

Selat Sunda

Bali

NTT

B

60%
Cestoda
Trematoda
Nematoda

Prevalensi parasit dalam daging

50%

Acanthocephala
Protozoa, Alga, dll
40%

30%

20%

10%

0%
Selat Sunda

Bali

NTT

C

Gambar 6 Keragaman dan komposisi genera cacing parasitik (A) beserta
intensitasnya pada tiap gram daging ikan (B) dan juga prevalensi (C)
dari tiap lokasi

24

Semua cacing yang ditemukan dari ikan sampel merupakan cacing
parasitik, baik yang bersifat zoonotik maupun non- zoonotik. Terlihat bahwa
genera yang bersifat zoonotik ditemukan di semua lokasi, namun demikian
keragaman genera parasit tersebut tidak berbeda jauh (2 genera di Selat Sunda, 3
di Bali, dan 1 genus di NTT).

Sebaran cacing parasitik di setiap lokasi cukup

bervariasi, nematoda genus Anisakis sp. dan Procamallanus/Dichelyne sp.
ditemukan hanya di lokasi Bali dan Selat Sunda, sementara Acanthocephala
genus Leptorhynchoides/Rhadinorhynchus sp. ditemukan di Selat Sunda dan
NTT. Total genera yang telah diidentifikasi terdiri dari: Trematoda (11 genera),
Cestoda (7 genera), Nematoda (5 genera), dan Acanthocephala (2 genera). Jenis
Trematoda menunjukkan jumlah genera yang tertinggi, pola serupa juga
ditemukan oleh Arthur & Lumanlan-Mayo (1997) pada spesies parasit dari ikan
di Filipina (90 spesies trematoda, 6 spesies cestoda, 20 spesies nematoda, dan 5
spesies Acanthocephala).

Beberapa genera cacing belum dapat diidentifikasi

karena kondisi spesimen atau pewarnaan yang tidak memadai.

Foto dari

beberapa cacing zoonotik yang ditemukan dari ikan- ikan sampel disajikan dalam
Gambar 7, dan cacing non- zoonotik pada Gambar 8.

A

B

Gambar 7 Cacing zoonotik yang ditemukan selama penelitian. (A) Anisakis sp.
dari usus ikan tuna dan ekor kuning di Selat Sunda dan Bali. (B)
Capillaria sp. dari usus ikan kerapu di NTT.

25

Gambar 8 Cacing-cacing non- zoonotik. (A) Cacing pita tetraphyllidae stadium
pleroserkoid, (B) Cacing pipih Lecithocladium sp. (C)
Leptorhynchoides sp. / Rhadinorhynchus sp. dari filum
Acanthocephala, (D) Nematoda Dichelyne sp. / Procamallanus sp.
(E) Larva acanthocephala, dan (F) Cacing pipih Hirudinella sp.

26

2 Prevalensi dan Intensitas
Proporsi individu yang terinfeksi parasit (prevalensi) dari setiap lokasi
menunjukkan adanya perbedaan, namun demikian total prevalensi di semua
lokasi tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok (Selat Sunda 84%, Bali 94%
dan NTT 90%). Fakta ini diperkuat dengan analisis pendugaan proporsi pada
Tabel 3 yang menunjukkan selang prevalensi yang saling tumpang tindih antar
lokasi. Grafik histogram pendugaan proporsi ditampilkan dalam