Chlorophyll-A Variability and Its Interrelation with ENSO (El Nino Southern Oscillation) In Northern Waters Of Papua

(1)

VARIABILITAS KLOROFIL-A DAN INTERELASINYA

TERHADAP ENSO (

EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

)

DI PERAIRAN UTARA PAPUA.

MOCHAMAD TRI HARTANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya Terhadap ENSO (El Nino Southern Oscillation) di Perairan Utara Papua” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Mochamad Tri Hartanto


(4)

(5)

ABSTRACT

MOCHAMAD TRI HARTANTO, Chlorophyll-A Variability and Its Interrelation with ENSO (El Nino Southern Oscillation) In Northern Waters Of Papua. Under direction of RICHARDUS KASWADJI and MULIA PURBA.

This research aimed to study the variability of surface chlorophyll-a and its interrelation to ENSO (El Nino Southern Oscillation) in the North Papua waters. Monthly averaged data of Nino 3.4 Index from CPC NOAA, sea surface temperature (SST) from ERSL NOAA, and surface chlorophyll-a from Globcolor Project were analyzed using FFT (Fast Fourier Transform) and wavelet methods during September 1997 - April 2009. Referring to temperature anomaly at Nino region 3.4 during the period this study, three El Nino events were taken place in 1997/1998, 2002/2003, and 2004/2005. The 1997/1998 El Nino was the strongest with temperature anomaly reaching +2,69 oC, while from twice La Nina events (1998/1999/2000, 2007/2008), the 2007/2008 La Nina showed the weakest temperature anomaly at -1,89 oC. During 1997/1998 El Nino, SST in the North Papua waters was decreasing to range 29,48 - 29,72 oC, compared to its normal range of 30,05 - 30,33 oC. On the contrary, surface chlorophyll-a was increased to 0,088 – 0,391 mg/m3 during 1997/1998 El Nino, while low range of chlorophyll-a was observed during 2007/2008 La Nina (0,062 – 0,140 mg/m3

Keywords: chlorophyll-a, sea surface temperature, El Nino, inter-annual signal, North Papua

). During El Nino, hotspot of chlorophyll-a was shifted from west to east and following the movement of warm pool. Power spectrum density of chlorophyll-a revealed dominant inter-annual signal compare to annual and semi-annual. Cross-correlation analysis between Nino 3.4 with chlorophyl-a variability showed strong coherence at inter-annual signal which presumed as El Nino, in where the rise of chlorophyll-a was observed 1 - 3 month after El Nino event.


(6)

Halaman ini sengaja dikosongkan


(7)

RINGKASAN

MOCHAMAD TRI HARTANTO, Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya Terhadap ENSO (El Nino Southern Oscillation) Di Perairan Utara Papua. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI and MULIA PURBA.

Hasil validasi data SPL hasil reanalisis dari ERSl NOAA terhadap data Buoy TRITON di dua lokasi menunjukkan RMSE sebesar 0,14 oC dan 0,16 oC sehingga data SPL reanalisis ERSL NOAA memiliki validitas yang baik untuk selanjutnya dapat digunakan dalam analisis pola sebaran permukaan dan deret waktu. SPL bulanan terendah terjadi selama selama puncak musim barat (Februari) berkisar antara 28,00 - 30,16oC dengan rata-rata 29,21 oC dan deviasi sebesar 0,54 oC. SPL bulanan tertinggi terjadi pada bulan Mei yang merupakan akhir musim peralihan I memasuki awal musim timur, dimana SPL berkisar antara 29,36 - 30,44 oC dengan rata-rata 29,87 oC dan simpangan bakunya sebesar 0,23 o

Kandungan klorofil permukaan oseanik bulanan minimum berkisar antara 0,043 - 0,067 mg/m

C. Pada musim timur Angin Pasat berhembus lebih kuat yang menyebabkan AKS juga makin kuat membawa massa air ke arah barat. Selama proses pergerakan tersebut massa air mengalami pemanasan yang intensif di wilayah sekitar equator. Hal ini menyebabkan peningkatan SPL di sekitar perairan utara Papua yang merupakan tempat penumpukan massa air hangat selama musim timur. Pada musim barat (Desember - Februari) Angin Baratan yang dikenal Westerly Wind Bursts (WWBs) bertiup kencang ke arah timur yang menguatkan Arus Sakal Katulistiwa dan menggeser air hangat di perairan utara Papua ke timur. Arus Sakal Katulistiwa ini juga membawa air dingin dari Pasifik Utara yang menyebabkan pendinginan SPL di perairan utara Papua. Sebaran massa air hangat membentuk pola juluran bergerak ke barat mulai Maret – Juni, selanjutnya bergeser ke timur pada Juli – September dan kembali bergerak ke barat lagi pada Oktober – Nopember hingga pada Desember – Februari kembali bergerak ke timur. Pergerakan air hangat yang bolak-balik ini sangat berhubungan erat dengan pola musiman yang terjadi di wilayah tersebut.

3

dengan rata-rata berkisar antara 0,106 - 0,127 mg/m3 dan maksimum berkisar antara 0,233 - 0,518 mg/m3. Musim barat (Desember – Februari) memiliki kisaran kandungan klorofil-a yang lebih tinggi dibanding musim timur (Juni – Agustus). Standar deviasi berkisar antara 0,019 - 0,042 mg/m3, hal ini menunjukkan bahwa variasi kandungan klorofil-a terendah terjadi pada bulan Mei dan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Wilayah sekitar pantai memiliki kandungan klorofil-a mencapai 1 mg/m3

Berdasarkan hasil analisis anomali SPL pada wilayah Nino 3.4 maka sepanjang periode 1997 – 2009 telah terjadi El Nino sebanyak 3 kali dan Lanina sebanyak 2 kali. El Nino 1 merupakan El Nino terkuat yang terjadi pada Mei 1997 – Mei 1998 (13 bulan) dengan anomali suhu mencapai 2,69

hal ini sangat terkait dengan proses run off dari daratan sebagai sumber nutrien alamiah dan antropogenik. Kandungan klorofil-a oseanik memperlihatkan pola musiman yang jelas. Pada musim barat pola sebaran kandungan klorofil-a yang tinggi bergerak ke timur dan sebaliknya pada musim timur bergerak ke barat. Pergerakan konsentrasi klorofil-a oseanik sangat berkaitan erat dan mengikuti pola pergerakan SPL. Pergerakan massa air hangat akan diikuti dengan pergerakan kandungan klorofil-a oseanik yang tinggi.

o

C. El Nino 2 terjadi pada Juni 2002 - Maret 2003 (10 bulan) dengan anomali suhu mencapai 1,62 oC. dan El Nino 3 terjadi pada Agustus 2004 - Januari 2005 (6 bulan) dengan anomali suhu mencapai 0,75 oC. La Nina 1 terjadi pada Juni 1998 - Juni


(8)

Kejadian El Nino umumnya memiliki kisaran SPL yang lebih rendah dibandingkan La Nina dan normal. Pada El Nino 1 dapat dilihat bahwa SPL berkisar antara 29,48 - 29,72

September 1997 – April 2009 terjadi kondisi El Nino dan La Nina secara silih berganti dan cenderung tidak beraturan. Intensitas kejadian El Nino/La Nina makin tinggi seiring dengan bertambahnya waktu. Kejadian El Nino/La Nina terkadang langsung diikuti dengan kejadian El Nino/La Nina selanjutnya, seperti La Nina pada periode Juni 1998 - Juni 2000 dan El Nino periode Juni 2002 - Maret 2003 sampai El Nino pada Agustus 2004 - Januari 2005.

o

C dengan rata-rata 29,62 oC dan deviasi sebesar 0,07 oC. Sedangkan pada kondisi Normal 2 SPL lebih tinggi berkisar antara 30,05 - 30,33 oC dengan rata-rata 30,20 oC dan deviasinya sebesar 0,09 oC. Kondisi La Nina umumnya memiliki SPL yang tidak jauh berbeda dengan kondisi normal. Hal ini terjadi karena saat El Nino massa air hangat bergerak ke timur menjauhi perairan utara Papua. Semakin kuat dan lama kejadian El Nino maka air hangat tersebut juga akan makin jauh bergerak ke timur. Hal ini berarti bahwa SPL di perairan utara Papua juga akan semakin rendah dari kondisi normalnya. Kandungan klorofil-a saat kondisi El Nino lebih tinggi dibanding kondisi La Nina dan Normal. El Nino 1 memiliki kandungan klorofil-a tertinggi berkisar antara 0,088 - 0,391 mg/m3 dengan rata-rata 0,121 mg/m3 dan deviasi sebesar 0,029 mg/m3. Kandungan klorofil-a terendah dapat dilihat pada La Nina 1 yang merupakan kejadian La Nina kuat dimana nilainya berkisar antara 0,062 - 0,092 mg/m3 dengan rata-rata 0,072 mg/m3 dan deviasi sebesar 0,005 mg/m3

Hasil analisis metode FFT dan wavelet menunjukkan bahwa spektrum densitas energi signifikan pada selang kepercayaan 95% untuk Indeks Nino 3.4, SPL maupun klorofil-a memiliki fluktuasi antar-tahunan yang lebih dominan. Hal ini terkait fenomena ENSO yang memiliki variabilitas antar-tahunan. Korelasi silang SPL dan Indeks Nino 3.4 didominasi oleh variabilitas antar tahunan dengan beda fase berkisar 3,5 – 7 bulan. Korelasi silang antara SPL dan klorofil-a jugklorofil-a menunjukkklorofil-an vklorofil-ariklorofil-abilitklorofil-as klorofil-antklorofil-ar-tklorofil-ahunklorofil-an lebih dominklorofil-an dengklorofil-an bedklorofil-a fklorofil-ase sekitar 3,4 – 5,5 bulan. Demikian juga halnya dengan hasil korelasi silang antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a yang menunjukkan kuatnya variabilitas antar-tahunan dengan beda fase sekitar 0,5 – 3,0 bulan. Hasil korelasi silang antar stasiun SPL menunjukkan bahwa ada pengaruh SPL dari lintang yang lebih rendah ke lintang yang lebih tinggi di perairan utara Papua khususnya yang bersifat setengah-tahunan. Hasil korelasi silang antar stasiun klorofil-a menunjukkan bahwa variabilitas yang teridentifikasi bersifat setengah-tahunan, tahunan dan antar-tahunan dengan dominasi oleh variabilitas antar-tahunan. Beda fase variabilitas antar tahunan berkisar 0,7 – 1, 6 bulan, 1,1 – 1,8 bulan untuk variabilitas tahunan dan 0,4 – 0,6 bulan untuk variabilitas setengah-tahunan. Sisi barat perairan utara Papua memiliki pola variabilitas klorofil-a yang kuat secara melintang dibanding sisi tengah dan timurnya. KDE klorofil-a antara Stasiun 1&2 lebih tinggi dibanding antara stasiun 1&3 pada setiap Transek mengindikasikan adanya pengaruh kandungan konsentasi klorofil-a yang kuat dari lintang yang rendah ke lintang yang lebih tinggi terkait posisi daratan Papua.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

VARIABILITAS KLOROFIL-A DAN INTERELASINYA

TERHADAP ENSO (EL NINO SOUTHERN OSCILLATION)

DI PERAIRAN UTARA PAPUA.

MOCHAMAD TRI HARTANTO

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(12)

Penguji luar Komisi :

Oseanografi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB

Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc


(13)

Judul Tesis : Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya Terhadap ENSO (El Niño Southern Oscillation) Di Perairan Utara Papua.

Nama : Mochamad Tri Hartanto Nomor Pokok : C551070041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc.

Anggota

Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc.

Diketahui Ketua Mayor

Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian : 30 September 2011


(14)

(15)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat saya selesaikan. Penelitian ini memiliki judul “Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya Terhadap ENSO (El Nino Southern Oscillation) Di Perairan Utara Papua”.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dalam penulisan tesis.

2. Dr. Ir. Tri Prartono selaku penguji luar komisi atas segala masukan untuk menjadikan tesis ini lebih baik.

3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc sebagai ketua Mayor Ilmu Kelautan yang telah memberikan masukan dan dukungan moril.

4. Bapak Ir. Andri Purwandani atas bantuan perolehan dan analisis data. 5. Program Mitra Bahari – Coremap II Tahun 2009 atas bantuan biaya

penulisan tesis ini.

6. Rekan-rekan IKL 2007 dan Laboratorium Pemrosesan Data Bagian Oseanografi atas perhatian dan kerjasamanya selama ini.

7. Semua keluarga yang telah memberi dukungan serta semangat.

8. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis sangat berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu kelautan.

Bogor, September 2011


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 4 Mei 1981 dan merupakan anak ketiga dari pasangan H. Suryadi Sudjud dan Hj. Haryati Harun. Penulis memiliki seorang istri bernama Leviena Dewi dan dua orang anak yaitu Nadhifa Nismara Ayu dan Marino Ramadhan Satria. Pada tahun 2000 – 2005 penulis menempuh program Sarjana (S1) di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Selanjutnya pada tahun 2007 – 2011 menempuh pendidikan Magister di Mayor Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPS Dirjen DIKTI Departemen Pendididkan Nasional. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai Staf Pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan S2 penulis pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan

(WATERMASS) selama periode 2007-2008. Penulis juga merupakan anggota Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) periode 2009 – saat ini. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan pelatihan seperti Workshop dan Training Asimilasi Pemrosesan Data Kelautan dan Atmosfer untuk Aplikasi Perikanan Kerjasama antara PPKPL – ITB dan National Oceanographic and Atmospheric

Administration (NOAA) tahun 2006, INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport) Workshop and Training tahun 2007, Pelayaran Kebangsaan di Perairan Selat Sunda bagi Ilmuwan Muda. Kerjasama Dirjen Perguruan Tinggi (DIKTI) Depdikanas dengan P2O LIPI tahun 2008. Publikasi yang telah dihasilkan antara lain “Pola Distribusi Beberapa Senyawa Kimia Di Perairan Selat Sunda”. Bunga Rampai Edisi Khusus tahun 2008 Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI. Jakarta, “Wind Speed Implication on Coral Recruitment in Karimunjawa Islands”. Proceeding of Coral Reef Management Symposium on Coral Triangle Area. Jakarta. pp. 254 – 262, dan “Pemodelan Pola Sebaran Tumpahan Minyak pada Berbagai Jenis Minyak yang Berbeda di Pelabuhan Tanjung Priok”. Jurnal ILMU KELAUTAN. Februari 2010. Vol. 1. Edisi Khusus: Hal 1 – 10.


(18)

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pikir ... 2

1.3. Rumusan Masalah ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Suhu Permukaan Laut ... 5

2.2. Klorofil-a ... 6

2.3. Hubungan Antara Faktor Oseanografi dan Produktivitas Primer Perairan ... 7

2.4. ENSO (El Nino Southern Oscillation) ... 9

2.5. Kondisi Meteorologi dan Oseanografi Perairan Utara Papua ... 11

3. BAHAN DAN METODE ... 15

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

3.2. Sumber Data ... 15

3.2.1. Data Nino 3.4 ... 15

3.2.2. Data Klorofil-a ... 15

3.2.3. Data Suhu Permukaan Laut ... 16

3.2.4. Data Bouy TRITON ... 17

3.3. Analisis Data ... 19

3.3.1. Validasi Data ... 19

3.3.2. Analisis FFT ... 20

3.3.2.1. Spektrum Densitas Energi ... 20

3.3.2.2. Korelasi Silang ... 22

3.3.3. Analisis Wavelet ... 23

3.3.3.1. Continous Wavelet Transform (CWT) ... 24

3.3.3.2. Cross Wavelet Transform (XWT) ... 25

3.3.3.3. Wavelet Transform Coherence (WTC) ... 25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1. Validasi Data SPL ... 27

4.2. SPL Bulanan di Perairan Utara Papua ... 29

4.3. Kandungan Klorofil-a Bulanan di Perairan Utara Papua ... 31

4.4. Kondisi ENSO Berdasarkan Indeks Nino 3.4 ... 35

4.5. Sebaran Permukaan SPL pada Kondisi Normal dan ENSO ... 36

4.6. Sebaran Permukaan Klorofil-a pada Kondisi Normal dan ENSO ... 38


(20)

4.8. Sebaran Klorofil-a Berdasarkan Waktu ... 42

4.9. Spektrum Densitas Energi ... 44

4.9.1. Indeks Nino 3.4 ... 44

4.9.2. Suhu Permukaan Laut ... 46

4.9.3. Klorofil-a ... 49

4.10. Korelasi Silang ... 53

4.10.1. Suhu Permukaan Laut dan Indeks Nino 3.4 ... 53

4.10.2. Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a ... 56

4.10.3. Indeks Nino 3.4 dan Klorofil-a ... 59

4.10.4. Antar Stasiun Suhu Permukaan Laut ... 62

4.10.5. Antar Stasiun Klorofil-a ... 64

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(21)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Transek dan posisi stasiun data buoy TRITON, SPL dan klorofil-a ... . 18

2. Validasi suhu hasil reanalisis ERSL NOAA dengan suhu Buoy TRITON ... . 27

3. Statistik kondisi SPL normal bulanan di perairan utara Papua ... . 29

4. Konsentrasi klorofil-a normal bulanan di perairan utara Papua ... . 32

5. Kejadian El Nino dan La Nina berdasarkan anomali suhu Nino 3.4 ... . 35

6. Kisaran SPL di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan anomali SPL wilayah Nino 3.4 ... . 36

7. Kisaran kandungan klorofil-a di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan Anomali SPL wilayah Nino 3.4 ... . 39

8. Hasil spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT .. . 44

9. Hasil spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet ... . 46

10. Hasil spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode FFT ... . 47

11. Hasil spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode wavelet. . 48

12. Hasil spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode FFT . 50 13. Hasil spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode wavelet ... . 51

14. Korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT . . 53 15. Korelasi Silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet ... . 55

16. Korelasi silang antara SPL dan klorofil-a dengan metode FFT ... . 56

17. Korelasi silang antara SPL dan klorofil-a dengan metode wavelet ... . 58

18. Korelasi silang antara Nino 3.4 dan klorofil-a dengan metode FFT ... . 60

19. Korelasi silang antara Nino 3.4 dan klorofil-a dengan metode wavelet . . 61 20. Korelasi silang antara stasiun SPL dengan metode FFT ... . 63

21. Korelasi silang antara stasiun SPL dengan metode wavelet ... . 64

22. Korelasi silang antara stasiun klorofil-a dengan metode FFT ... . 65


(22)

(23)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Area Nino 3.4 di Samudra Pasifik tropis yang merupakan indikator

kondisi El Nino ... 11 2. Pola arus di ekuator barat Pasifik hasil rata-rata pengukuran ADCP

dengan menggunakan Kapal Riset Kaiyo pada kedalaman 175 - 225 m periode ... 13 3. Sebaran stasiun klorofil-a di perairan utara Papua ... 16 4. Sebaran stasiun suhu permukaan laut di perairan utara Papua ... 17 5. Lokasi stasiun Buoy TRITON di Perairan Utara Papua dari JAMSTEC . 18 6. Tahapan dan proses pengolahan serta analisis data ... 26 7. Validasi data SPL ERSL NOAA terdekat dengan data suhu Buoy

TRITON Stasiun 2 ... 28 8. Validasi data SPL ERSL NOAA terdekat dengan data suhu Buoy

TRITON Stasiun 3... 28 9. Sebaran SPL rata-rata bulanan di perairan utara Papua (A=Januari;

B=Februari; C=Maret; D=April; E=Mei; F=Juni). ... 30 10. Lanjutan (G=Juli; H=Agustus; I=September; J=Oktober; K=Nopember;

L=Desember) ... 31 11. Sebaran permukaan klorofil-a rata-rata bulanan di perairan utara

Papua (A=Januari; B=Februari; C=Maret; D=April; E=Mei; F=Juni) ... 33 12. Lanjutan (G=Juli; H=Agustus; I=September; J=Oktober; K=Nopember;

L=Desember) ... 34 13. Kondisi El Nino dan La Nina berdasarkan anomali suhu Nino 3.4

selama periode September 1997 – April 2009 ... 36 14. Sebaran SPL pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan

anomali SPL wilayah Nino 3.4 (A=El Nino Desember 1997; B=Normal Mei 1998; C=La Nina Januari 2000; D=Normal Juni 2001; E=El Nino

Nopember 2002; F=Normal April 2003). ... 37 15. Lanjutan (G=El Nino September 2004; H=Normal April 2007; I=La Nina

Februari 2008) ... 38 16. Sebaran permukaan klorofil-a pada kondisi El Nino dan La Nina serta

kondisi Normal berdasarkan anomali SPL Wilayah Nino 3.4. (A=El Nino Desember 1997; B=Normal Mei 1998; C=La Nina Januari 2000; D=Normal Juni 2001; E=El Nino Nopember 2002; F=Normal April 2003; G=El Nino September 2004; H=Normal April 2007; I=La Nina


(24)

17. SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 1 Stasiun 1 (130,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (130,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (130,5 BT ; 5,5 LU) ... 41 18. SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada

Transek 2 Stasiun 1 (137,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (137,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (137,5 BT ; 5,5 LU) ... 42 19. SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada

Transek 3 Stasiun 1 (144,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (144,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (144,5 BT ; 5,5 LU). ... 42 20. Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April

2009 pada Transek 1 Stasiun 1 (130.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2

(130,625 BT ; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (130,625 BT ; 5,375 LU) ... 43 21. Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April

2009 pada Transek 2 Stasiun 1 (144.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2

(144,625 BT; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (144,625 BT ; 5,375 LU) ... 43 22. Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April

2009 pada Transek 3 Stasiun 1 (137.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2

(137,625 BT; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (137,625 BT ; 5,375 LU) ... 44 23. Spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT ... 45 24. Spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet... 46 25. Spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode FFT

(A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III

Stasiun 3)... 49 26. Spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode wavelet

(A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III

Stasiun 3)... 49 27. Spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode FFT

(A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III

Stasiun 3)... 52 28. Spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode wavelet

(A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun

3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III


(25)

xxiii

29. Korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III;

D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I=

Beda Fase Transek III) ... 54 30. Korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT

(A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I=

Beda Fase Transek III) ... 57 31. Korelasi silang antara Nino 3.4 dan Klorofil-a (A=KDE Transek I; B=

KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III). ... 61 32. Korelasi silang antara stasiun SPL (A=KDE Transek I; B= KDE

Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H=

Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III). ... 63 33. Korelasi silang antara stasiun klorofil-a (A=KDE Transek I; B= KDE

Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H=


(26)

(27)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Baris program MATLAB untuk menghitung SK 95% pada spektrum Indeks Nino 3.4 ... 75 2. Program wavelet untuk perhitungan Continous Wavelet Transform

(CWT) Indeks Nino 3.4 dengan menggunakan MATLAB ... 76 3. Program wavelet untuk perhitungan Cross Wavelet Transform (XWT)

dan Wavelet Transform Coherence (WTC) antara SPL dengan

Klorofil-a pKlorofil-adKlorofil-a StKlorofil-asiun 1 TrKlorofil-ansek 1 dengKlorofil-an menggunKlorofil-akKlorofil-an MATLAB ... 77

4. Cross Wavelet Transform (XWT) antara SPL dan Indeks Nino 3.4 (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I

Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I=

Transek III Stasiun 3) ... 78

5. Wavelet Coherence (WTC) antara SPL dan Indeks Nino 3.4 (A=

Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III

Stasiun 3) ... 79

6. Cross Wavelet Transform (XWT) antara SPL dan klorofil-a (A= Transek

I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D=

Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III

Stasiun 3) ... 80

7. Wavelet Coherence (WTC) antara SPL dan klorofil-a (A= Transek I

Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun 3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun

3) ... 81

8. Cross Wavelet Transform (XWT) antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a

(A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I

Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I=

Transek III Stasiun 3) ... 82

9. Wavelet Coherence (WTC) antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a (A=

Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III


(28)

10. Cross Wavelet Transform (XWT) antara stasiun SPL (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1

& 3 Transek III) ... 84

11. Wavelet Coherence (WTC) antar stasiun SPL (A= Stasiun 1 & 2

Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 &

3 Transek III) ... 85

12. Cross Wavelet Transform (XWT) antar stasiun klorofil-a (A= Stasiun 1

& 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III) ... 86

13. Wavelet Coherence (WTC) antar stasiun klorofil-a (A= Stasiun 1 & 2

Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 &


(29)

1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perairan utara Papua merupakan perairan yang berdekatan dan lebih terbuka dengan Samudra Pasifik. Letak perairan di wilayah equator bagian barat Samudra Pasifik dimana Angin Pasat yang bertiup sepanjang tahun

menyebabkan penumpukan massa air hangat (warm pool). Massa air hangat ini mengalami pergerakan ke arah timur dikarenakan melemahnya Angin Pasat Tenggara yang dikenal sebagai peristiwa El Nino. Kondisi La Nina terjadi

sebaliknya dimana massa air hangat begerak ke barat dikarenakan menguatnya Angin Pasat Tenggara yang menyebabkan mengalirnya massa air dingin dari pantai barat Amerika hasil proses upwelling yang kuat. Fenomena ini memiliki peranan penting terhadap kesuburan perairan. Hatta (2001) menyatakan bahwa perairan utara Papua dikenal sebagai salah satu daerah penangkapan ikan, terutama ikan-ikan pelagis dimana salah satu penyebab berlimpahnya ikan adalah karena berlimpahnya makanan (zooplankton).

Lehodey et al. (1997) menyatakan bahwa hampir 70% produksi tuna tahunan dunia (3,2 juta ton) berasal dari Samudera Pasifik. Hasil tangkapan didominasi oleh jenis skipjack tuna/cakalang (Katsuwonus pelamis). Cakalang memiliki habitat di lapisan permukaan di sepanjang wilayah equator dan

subtropis Pasifik. Hasil tangkapan yang tertinggi berada di ekuator sebelah barat Pasifik dimana terdapat kolam air hangat yang dicirikan oleh rendahnya

produktivitas primer. Kolam hangat merupakan habitat populasi tuna yang sangat produktif. Migrasi cakalang secara spasial sangat jelas terkait dengan perpindahan zonal kolam air hangat selama peristiwa ENSO. Hubungan ini dapat digunakan untuk memprediksi wilayah kelimpahan cakalang tertinggi pada daerah penangkapan sekitar 6.000 km di sepanjang khatulistiwa.

Salah satu parameter yang sering dijadikan sebagai indikator kesuburan perairan adalah kandungan klorofil-a di perairan. Klorofil-a merupakan elemen penting dalam reaksi fosintesis. Kandungan klorofil-a di perairan sangat dipengaruhi oleh faktor kimia perairan seperti kandungan unsur hara (nitrat, fospat, silikat, besi) dan faktor fisik seperti intensitas cahaya, suhu, gerak air (arus, upwelling, turbulensi). Faktor fisik seperti musim dan dinamika lautan serta interaksinya terhadap atmosfer mengakibatkan variabilitas kandungan klorofil-a di suatu perairan. Susanto dan Marra (2005) menyatakan bahwa


(30)

fenomena El Nino menyebabkan menguatnya upwelling di berbagai perairan Indonesia (pantai selatan Jawa dan Sumatera, Laut Banda, serta pantai utara Papua) yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi klorofil-a di lapisan permukaan.

Sifat klorofil-a yang dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya tertentu menjadikannya lebih mudah dideteksi oleh satelit sehingga banyak peneliti lebih menyukai metode tersebut (Nontji, 2006). Studi variabilitas kandungan klorofil-a dewasa ini sudah banyak dilakukan melalui data satelit

ocean color (SeaWIFs, Aqua Modis). Data observasi satelit ini lebih bersifat near

real time dengan cakupan spasial yang lebih luas dan resolusi spasial yang

makin baik. Seiring dengan perkembangan teknologi satelit ocean color dari tahun 1997 - saat ini data observasi satelit ini juga makin panjang sehingga dapat digunakan untuk mempelajari variabilitas klorofil-a di perairan.

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai variabilitas klorofil-a di perairan telah dilakukan oleh Liu et al. (2002) mengenai pengaruh muson terhadap distribusi klorofil-a di Laut Cina Selatan. Susanto dan Marra (2005) telah meneliti pengaruh El Nino tahun 1997/1998 terhadap variabilitas klorofil-a di sepanjang pantai selatan Jawa dan Sumatera. Tubalawony (2007) mengkaji klorofil-a dan nutrien serta interelasinya dengan dinamika massa air dl perairan barat

Sumatera dan selatan Jawa – Sumbawa. Hasegawa (2009) meneliti mengenai

upwelling sepanjang pantai utara Papua dan pendinginan suhu permukaan laut

diatas kolam Pasifik hangat pada El Nino 2002/2003.

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya umumnya hanya menganalisis pada periode data klorofil-a yang lebih pendek (<4 tahun) sehingga sulit

dibandingkan terhadap siklus/fenomena El Nino dan La Nina selanjutnya.

Penelitian ini dilakukan menggunakan data suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a bulanan pada periode September 1997 – April 2009, dimana sepanjang tahun tersebut telah terjadi beberapa kondisi El Nino dan La Nina dengan

kekuatan yang berbeda-beda. Penelitian ini lebih difokuskan pada perubahan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a oseanik akibat fenomena ENSO berdasarkan indikator anomali suhu permukaan laut pada wilayah Nino 3.4. Penggunaan metode FFT (Fast Forier Transform) dan Wavelet dilakukan untuk mengetahui periode ulang atau frekuensi kejadian yang signifikan dari variabilitas yang diduga sebagai kejadian ENSO dan durasi waktu kejadiannya.


(31)

3

1.2. Kerangka Pikir

Variabilitas klorofil-a di perairan utara Papua dipengaruhi oleh dinamika massa air dan interaksinya terhadap atmosfer. Perairan utara Papua merupakan bagian dari barat Samudera Pasifik di sekitar ekuator. Pergerakan massa air hangat ke bagian timur akibat melemahnya Angin Pasat Tenggara saat terjadi El Nino menyebabkan massa air di utara Papua menjadi lebih dingin. Hal ini disebabkan karena naiknya massa air dari lapisan dalam akibat menguatnya intensitas upwelling sepanjang pantai utara Papua. Salah satu variabel yang dapat dijadikan indikator terjadinya El Nino adalah anomali suhu pada wilayah Nino 3.4. Variabilitas suhu permukaan laut dan indeks Nino 3.4 dapat dijadikan indikator dalam mempelajari variabilitas klorofil-a di perairan utara Papua. Metode analisis deret waktu (time series analysis) yang digunakan dalam studi variabilitas adalah adalah FFT (Fast Fourier Transform) dan Wavelet.

1.3. Rumusan Masalah

Informasi mengenai suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a di perairan saat ini lebih mudah didapatkan melalui data hasil observasi satelit. Namun demikian diperlukan analisis data yang lebih panjang dan cakupan areal yang lebih luas agar variabilitas suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a di perairan dapat diketahui dengan baik. Pengambilan data melalui observasi langsung di lapang terkedala masalah sifat data yang tidak sinoptik dan biaya yang besar. Data observasi lapang tetap diperlukan karena memiliki akurasi yang lebih baik dan untuk validasi data satelit yang terkadang terkendala pada resolusi spasial yang masih rendah serta gangguan kondisi atmosfer yang mempengaruhi kualitas data.

Pengaruh fenomena ENSO terhadap aktifitas manusia di daratan sejak lama menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah dan sudah banyak dilakukan antisipasi guna meminimalisir dampak yang ditimbulkannya. Pengaruh ENSO terhadap aspek lautan juga sebaiknya dapat menjadi perhatian salah satunya dalam menentukan waktu dan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Indonesia memiliki luas lautan sekitar dua pertiga dari daratannya dengan sumberdaya hayati seperti ikan yang tinggi, maka kedepannya dalam

pengelolaan perikanan tangkap perlu mempertimbangkan pengaruh interaksi lautan dan atmosfer seperti ENSO.


(32)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari variabilitas kandungan klorofil-a di perairan utara Papua secara spasial dan temporal serta kaitannya terhadap fenomena ENSO berdasarkan variabilitas suhu permukaan laut dan anomali suhu permukaan laut di wilayah Nino 3.4.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai variabilitas klorofil-a baik secara spasial dan temporal di perairan utara Papua. Selanjutnya juga dapat menggambarkan pengaruh ENSO terhadap kandungan klorofil-a sebagai indikator kesuburan perairan di utara Papua. Sehingga pada akhirnya informasi tersebut dapat dimanfaatkan dalam penentuan waktu dan daerah penangkapan ikan.


(33)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Suhu Permukaan Laut

Distribusi suhu permukaan laut (SPL) di dunia cenderung zonal dan tidak tergantung posisi bujur. Air hangat berada dekat khatulistiwa dan terdingin air dekat kutub, sehingga deviasi suhu secara zonal lebih kecil dibanding secara meridional. Hal ini terjadi karena wilayah equator banyak mendapat bahang dari sinar matahari. Lautan Pasifik pada wilayah equator hingga lintang 40o di BBU memiliki massa air yang lebih hangat di bagian barat dibanding bagian timur. Anomali suhu permukaan laut rata-rata kurang dari 1,5o C kecuali di Pasifik khatulistiwa dimana anomali mencapai 3o C. Daerah tropis memiliki kisaran suhu kurang dari 2 o

Menurut Hela dan Laevastu (1970), perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan. Hal ini erat sekali

hubungannya dengan proses- proses biokimia dalam tubuh organisme. Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk

C (Stewart, 2002). Wyrtki (1961) menyatakan bahwa suhu lapisan permukaan di daerah tropis adalah hangat dan variabilitas suhu bulanannya secara normal kecil tetapi variabilitas hariannya besar. Variasi suhu tahunan pada lapisan pemukaan untuk daerah laut tropis di Indonesia sangat kecil, yaitu kurang dari 2 °C, kecuali di Laut Banda, Arafura dan Laut Timor yang dapat mencapai 3 - 4 °C.

Suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman, contohnya pada musim pancaroba dimana angin bertiup lemah dan permukaan laut sangat tenang. Hal ini menyebabkan proses pemanasan yang kuat terjadi dipermukaan hingga suhu pada lapisan permukaan mencapai maksimum. Suhu permukaan laut di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28 - 31 °C. Di daerah terjadinya proses upwelling, misalnya di Laut Banda, suhu permukaan air dapat turun mencapai 25 °C, hal disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke lapisan atas (Nontji, 2005). Perairan semi tertutup biasanya

memiliki suhu permukaan lebih tinggi dibandingkan daerah lain, karena pengaruh daratan. Perairan Indonesia merupakan perairan yang semi tertutup, oleh

karena itu variasi suhu musiman dan tahunan dipengaruhi oleh daratan yang mengelilinginya, dan memiliki variasi suhu harian yang lebih besar jika dibandingkan dengan perairan tropis yang terbuka (Sverdrup et al.1946).


(34)

kehidupannya. Dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, maka kita akan dapat menduga keberadaan suatu kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan.

2.2. Klorofil-a

Energi matahari digunakan untuk mendorong proses fotosintesis dimana konversi energi radiasi menjadi energi kimia tergantung pada pigmen khusus fotosintetik yang terkandung dalam kloroplas alga. Pigmen yang dominan adalah klorofil a, namun klorofil b, c, dan d ditambah pigmen lainnya (karoten,

xanthophylls, dan phycobilins) juga hadir dalam banyak spesies dan beberapa

pigmen ini juga dapat terlibat dalam proses konversi energi tersebut (Lalli dan Parsons, 2006).

Lalli dan Parsons (2006) juga menyatakan bahwa klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi energi radiasi menjadi energi kimia. Absorbsi maksimum klorofil-a terhadap radiasi matahari terjadi pada spektrum merah (650-700 nm) dan biru- violet (450 nm). Absorpsi dari komponen cahaya ini menyebabkan tumbuhan berwarna hijau. Ini berarti berdasarkan citra warna laut (ocean color) dapat dipahami suatu bentuk distribusi biomassa fitoplankton di laut. Namun demikian, metode ini masih memiliki kelemahan karena penginderaan jarak jauh sinar tampak (visible light) hanya dapat mencapai permukaan, sedangkan plankton tidak selalu berada di permukaan perairan.

Kadar klorofil dalam suatu volume air laut tertentu merupakan suatu ukuran biomassa tumbuhan yang terdapat dalam air laut tersebut. Biomassa per satuan volume air per satuan waktu merupakan ukuran produktivitas primer perairan. Dua faktor utama fisika kimia yang mempengaruhi produktivitas perairan adalah cahaya dan nutrien. Namun demikian dikarenakan fitoplankton hidup di air dan terbawa oleh pergerakan air, maka faktor hidrografi seperti arus, upwelling, turbulensi, dan difusi juga merupakan faktor penting lainnya (Nybakken, 1992). Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, dalam trofik level disebut sebagai produsen utama perairan (Odum,1971). Berdasarkan Nybakken (1992), tumbuhan ini

bebas melayang dan hanyut dalam air laut serta mampu melakukan fotosintesis. Kemampuan fitoplankton dalam mengubah zat organik menjadi zat anorganik


(35)

7

Perairan Indonesia yang memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan, dampak aliran sungai (pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera bagian selatan, Kalimantan Selatan dan Irian Jaya) serta berlangsungnya proses penaikan massa air lapisan dalam ke permukaan (Laut Banda, Laut Arafura, Selat Bali dan Selatan Jawa) (Arinardi et al. 1997).

Susanto dan Marra (2005) menyatakan bahwa variabilitas klorofil-a di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh muson dan fenomena interannual terkait dengan ENSO dan IOD, khususnya di daerah upwelling di sepanjang pantai Jawa dan Sumatra, dan Laut Banda. Selama puncak El Nino 1997/1998, anomali angin timur menyebabkan upwelling yang kuat. Upwelling tersebut membawa massa air yang lebih dingin dan mengangkat termoklin ke lapisan kedalaman yang lebih dangkal di sepanjang pantai Jawa dan Sumatra. Hal ini menyebabkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi disepanjang barat laut pantai Sumatera dan Jawa. Selanjutnya Susanto et al. (2001) menjelaskan pada La Nina Nopember 1998 konsentasi klorofil-a tidak signifikan pada wilayah tersebut.

Tubalawony (2007) menyatakan terdapat hubungan yang kuat antara penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi klorofil-a selama musim timur di barat Sumatera dan selatan Jawa disebabkan karena terjadi upwelling, terutama di perairan selatan Jawa Timur - Bali.

2.3. Hubungan antara Faktor Oseanografi dan Produktivitas Primer Perairan

Tingginya produktivitas di perairan oseanis tropis umumnya merupakan dampak dari berbagai proses dinamika di dalam perairan kolom perairan. Gabric dan Parslow (1989) mengatakan bahwa laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor-faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya dan laju tenggelam sel (fitoplankton). Percampuran vertikal massa air dapat menyuburkan kolom perairan dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Meningkatnya nutrien dan dibantu dengan

penetrasi cahaya matahari yang cukup mengakibatkan terjadinya peningkatan laju produktivitas primer.

Difusi turbulensi melalui lapisan termoklin juga dapat mengakibatkan masuknya nutrien ke zona eufotik sehingga meningkatkan laju penyerapan nitrat oleh fitoplankton dan laju produktivitas primer baru. Difusi turbulensi merupakan


(36)

tingkat dasar dari produktivitas primer yang dapat meningkatkan produktivitas primer hingga 10 kali lebih besar di zona eufotik (Tett dan Edwards, 1984).

Upwelling atau penaikkan massa air adalah proses naiknya massa air dari

lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih atas atau permukaan. Massa air yang berasal dari lapisan dalam akan menggantikan kekosongan tempat aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai (Weyl, 1967). Menurut Pariwono et al. (1988), tingginya kadar zat hara akan merangsang perkembangan fitoplankton yang erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses upwelling

selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan. Massa air subur akan menjadi feeding ground bagi ikan yang kemudian menjadi sasaran kegiatan perikanan (penangkapan ikan). Pada lokasi terjadinya

upwelling, suhu permukaan laut umumnya lebih rendah dari daerah sekitarnya

(Nontji, 2005). Wyrtki (1961) membagi upwelling menjadi 3 tipe, yaitu : 1. Tipe Stasioner (Stasionery Type), Tipe ini terjadi sepanjang tahun namun

intensitas berfluktuasi. Contoh : Pantai Peru.

2. Tipe Periodik (Periodic Type), upwelling terjadi selama satu musim. Pada musim upwelling massa air di permukaan bergerak menjauhi daerah tersebut dan digantikan oleh massa air yang densitasnya lebih tinggi (suhu lebih rendah, salinitas tinggi). Contoh : Pantai Selatan Jawa.

3. Tipe Silih Berganti (Alternating Type), Pada tipe ini, upwelling dan

downwelling terjadi secara bergantian. Contoh : Laut Banda dan Laut Arafura.

Upwelling di perairan lepas pantai maupun perairan katulistiwa juga

berperan dalam mendukung ketersediaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Cullen et al. (1992) mengatakan bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju

produktivitas primer meningkat di sekitar katulistiwa, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi katulistiwa.

Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Joint dan Pomroy (1988) mengatakan bahwa konsentrasi klorofil-a homogen hingga kedalaman 30 m. Sebaran klorofil maksimum di Samudera Pasifik dijumpai pada kedalaman antara 40 – 60 m dengan nilai rata-rata antara 0,30 - 0,35 mg/m3

Hasegawa (2009) menyatakan bahwa SPL < 29 (Barber and Chaves, 1991).

o

C saat terjadinya

coastal upwelling di perairan utara Papua. Selama bulan Desember 2001


(37)

9

sepanjang pantai utara Papua yang ditandai dengan naiknya massa air dingin dari lapisan dalam ke permukaan. Massa air dingin ini kemudian menyebar ke timur laut bersamaan dengan kuatnya hembusan angin barat laut di sepanjang pantai utara Papua.

2.4. ENSO (El Nino Southern Oscillation)

ENSO merupakan singkatan dari El-Nino Southern Oscillation pada umumnya para ahli membagi ENSO menjadi ENSO hangat (El Nino) dan ENSO dingin (La Nina). Penggunaan istilah hangat dan dingin berdasarkan pada anomali suhu permukaan laut (SPL) di daerah Nino di ekuator Samudera Pasifik bagian tengah dan timur. Fenomena ENSO merupakan hasil variabilitas antar-tahunan yang merupakan interaksi atmosfer dan lautan di Pasifik (Wells, 1986).

Philander (1990) menyatakan bahwa El Nino merupakan suatu fase dari ENSO dimana Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut melemah dan seringkali berbalik arah. Kejadian El Nino diawali dengan turunnya tekanan udara di Pasifik Selatan bagian timur dan bergesernya sirkulasi Walker ke arah timur. Tekanan udara di atas Indonesia dan Samudra Hindia bagian timur menguat. Massa air permukaan yang hangat yang biasanya terdapat di Samudra Pasifik bagian barat menyebar ke arah timur, terkadang sampai 140 °BT. Bergeraknya massa air permukaan yang hangat ke timur akan mengurangi gradien SPL zonal di sepanjang ekuator Pasifik. Akibatnya, Angin Pasat juga semakin lemah diikuti dengan melemahnya Arus Ekuatorial yang bergerak ke arah barat sehingga menguatkan Arus Balik Ekuatorial kearah timur yang memunculkan arus hangat El Nino dan El Nino semakin berkembang. Menurut Quinn et al. (1978), fenomena El Nino memiliki siklus yang tidak teratur dengan periode antara 2 - 7 tahun.

Selama terjadi ENSO, ketika anomali angin di Samudera Pasifik ke barat, anomali angin di Samudera Hindia adalah ke timur. Pola angin konsisten dengan anomali divergen lapisan permukaan laut di Indonesia. Pertukaran Angin

Tenggara di atas Samudera Hindia pada lintang 15° LS hingga 20° LS melemah selama ENSO, konsisten dengan tekanan barometrik yang lebih tinggi di atas Australia dengan khatulistiwa (Meyers, 1996).

McPhaden (2004) menyatakan bahwa pemicu terjadinya ENSO yang hingga saat ini diyakini adalah gangguan angin baratan di barat equatorial Lautan Pasifik yang terjadi pada fase awal pembentukan El Nino. Penyebab


(38)

gangguan angin baratan sebelum terjadinya El Nino masih belum diketahui. Eisenman et al. (2005) menyatakan bahwa gangguan angin baratan bukan sebagai pemicu awal terjadinya El Nino, tetapi merupakan hasil interaksi lautan-atmosfer yang dipicu oleh dinamika El Nino itu sendiri.

Hasegawa et al. (2009) menyatakan bahwa hasil analisis bahang

berdasarkan data buoy TRITON pada wilayah WSWP (Pacific Warm Pool : 5°S– 5°N, 140°E–150°E) mengungkapkan bahwa adveksi panas oleh arus yang

bergerak ke timur merupakan faktor utama yang mendinginkan lapisan tercampur di daerah WSWP. SPL yang lebih rendah di WSWP menghasilkan gradien positif SPL dengan wilayah sebelah timur. Hal ini berkontribusi menyebabkan peningkatan angin baratan di daerah ini yang menyebabkan terjadinya El Nino tahun 2002/2003.

Fenomena ENSO menimbulkan dampak iklim yang lebih luas tidak hanya di Lautan Pasifik (McPhaden et al. 1998). ENSO merupakan kejadian yang sangat komplek melibatkan variabilitas atmosfer-lautan di Lautan Pasifik bagian barat serta interaksi dengan daratan (keberadaan ribuan pulau di Indonesia) yang juga berasosiasi dengan fenomena Madden Julian Oscilation (MJO) (Pohl dan Matthews, 2007). ENSO juga berasosiasi dengan Tropical Biennial

Oscilation (TBO) (Wu dan Kirtman, 2004), muson (Li et al. 2007), DM (Shinoda et

al. 2004; Ashok et al. 2007) dan kemungkinan berinteraksi dengan Pacific

Decadal Oscilation (PDO) (Roy et al. 2003; Yon dan Yeh 2010).

Berbagai indeks yang digunakan untuk memantau ENSO adalah

Multivariate ENSO Index (MEI), Southern Oscilation Index (SOI), dan Nino 3.4

Index. Anomali SPL Nino 3.4 merupakan indikator kondisi El Nino di tengah

Samudra Pasifik tropis. Indeks ini dihitung berdasarkan nilai rata-rata suhu pada wilayah Nino 3.4 pada area batas 170° W - 120° W, 5° S - 5° N (Gambar 1) dikurangi suhu rata-rata pada area tersebut selama 30 tahun. Trenberth (1997) menggunakan anomali suhu pada wilayah Nino 3.4 untuk menentukan kondisi El Nino dan La Nina, dimana anomali suhu ± 0,4oC dan bertahan selama 6 bulan. Anomali positif dinyatakan sebagai kondisi El Nino dan anomali negatif sebagai kondisi La Nina. Sedangkan National Oceanic dan Atmospheric Administration

(NOAA) pada tahun 2003 (NOAA, 2003) memberikan definisi El Nino dan La Nina berdasarkan indeks Nino 3.4 adalah jika anomali suhu positif/negatif lebih dari 0,5 oC berturut-turut bertahan selama 3 bulan maka kondisi tersebut dikatakan sebagai kejadian El Nino /La Nina.


(39)

11

Sumber : Climate Prediction Center (CPC) NOAA

Gambar 1 Area Nino 3.4 di Samudra Pasifik tropis yang merupakan indikator kondisi El Nino.

2.5. Kondisi Meteorologi dan Oseanografi Perairan Utara Papua

Perairan Samudera Pasifik menutupi hampir setengah bagian bumi dan merupakan bagian terbesar dari struktur samudera (King, 1963). Perairan ini dipengaruhi oleh sistem muson yang menyebabkan pergantian arah angin yang bertiup di seluruh wilayah perairan tersebut. Perbedaan ini berhubungan dengan kondisi angin yang bertiup di atas Samudera Pasifik Utara. Saat Musim Barat, terjadi pergeseran tekanan tinggi di Benua Asia yang mengakibatkan

terbentuknya udara yang hangat dan kering di atas Samudera Pasifik Utara, sedangkan pada Musim Timur terjadi sebaliknya (Tchernia, 1980).

Perairan utara Papua merupakan bagian dari Samudera Pasifik dimana terdapat kolam air hangat (warm pool water) sehingga memilki curah hujan yang tinggi (>3000 mm/tahun). Kolam air hangat disebabkan oleh menumpuknya massa air hangat ekuator yang terbawa oleh Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) karena hembusan Angin Pasat (trade wind) di Pasifik. menyatakan bahwa di atas daerah katulistiwa Samudera Pasifik, Angin Pasat Tenggara berhembus secara normal sepanjang tahun. Angin Pasat ini mengakibatkan massa air yang dingin dari bagian timur Samudera Pasifik bergerak menuju perairan timur Indonesia. Selama bergerak, massa air tersebut mengalami penghangatan sehingga ketika mencapai perairan timur Indonesia menjadi hangat dan mengumpul yang dikenal dengan warm pool. Selain itu Angin Pasat Tenggara juga mengakibatkan permukaan laut sepanjang pantai Mindanao-Halmahera-Papua di Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada permukaan laut


(40)

sepanjang pantai Sumatera-Jawa-Sumbawa di Samudera Hindia bagian timur (Wyrtki,1961).

Wyrtki (1961) juga menyatakan bahwa pola sirkulasi di perairan utara Papua memiliki variabilitas musiman yang kuat. Sirkulasi permukaan yang paling kuat di bagian barat Samudera Pasifik adalah Arus Khatulistiwa Utara yang mengalir terus sepanjang tahun menuju Filipina. Kecepatan arus tertinggi terjadi pada Desember hingga Februari dan terendah pada April hingga Juni. Pada bulan Juni hingga Agustus Arus Katulistiwa Selatan (AKS) mengalir kencang ke barat sepanjang pantai utara Papua hingga ke Halmahera membawa massa air hangat dan asin. Selanjutnya membelok ke utara dan bergabung dengan massa air yang keluar dari Laut Sulawesi dan Laut Maluku yang menyebabkan

pembelokan lebih jauh ke kanan bergabung dengan Arus Katulistiwa Utara (AKU) dan Arus Sakal Katulistiwa (Equatorial Counter Current). Pertemuan kedua arus ini membentuk aliran yang lebih besar kearah timur. Pada musim ini Arus Sakal Katulistiwa mencapai kekuatan maksimal yang membawa massa air dari belahan bumi selatan yang lebih dingin dan tawar. Kekuatan AKS dan Arus Sakal Katulistiwa melemah tanpa perubahan pola arus pada bulan Oktober.

Kashino et al. (1999) menyatakan Arus Mindanao yang merupakan bagian dari Arus Katulistiwa Utara (North Equatorial Current) mengalir dari arah utara sepanjang Pantai Mindanao masuk ke Laut Sulawesi. Arus ini kemudian berbalik arah ke timur kembali ke Pasifik namun ada pula yang mengalir menjadi

ARLINDO. Di bawah Arus Mindanao mengalir Arus Bawah Mindanao

(Mindanao Undercurrent). Di sepanjang pantai Papua mengalir Arus Pantai

Papua (New Guinea Coastal Current) dan Arus Bawah Pantai Papua (New

Guinea Coastal Undercurrent) yang merupakan bagian dari Arus Katulistiwa

Selatan (South Equatorial Current). Arus Bawah Pantai Papua mengalir ke barat laut lalu berbalik arah ke timur Pulau Halmahera, bergabung dengan Arus

Mindanao dan mengalir ke timur sebagai Arus Sakal Ekuator Utara (North

Equatorial Countercurrent). Pusaran Mindanao dan Pusaran Halmahera terdapat

di tempat pembalikan arah dari Arus Mindanao dan Arus Bawah Pantai Papua. Kashino et al. (2007) menemukan adanya Pusaran Papua (New Guinea Eddy) di utara Papua hasil pembalikan arah dari Arus Bawah Pantai Papua di sekitar 135 -138°BT yang kemudian mengalir ke timur sebagai Arus Bawah Katulistiwa


(41)

13

Saat musim timur Arus Bawah Pantai Papua bergerak kuat ke arah barat laut (Kashino et al. 2007). Fine et al. (1994) menyatakan bahwa Arus Bawah Pantai Papua yang menggerakkan Antarctic Intermediate Water (AAIW) ke arah barat laut akan berhubungan dengan Arus Bawah Mindanao yang mengalir ke utara. Kashino et al. (2007) memperlihatkan sistem arus pada ekuatorial Pasifik barat pada Oktober sampai Nopember 1999 yang disajikan pada Gambar 2. Garis berwarna merah dan biru menunjukkan arus menggerakkan massa air masing-masing dibentuk di utara dan selatan Pasifik. AKS mengalir ke arah barat pada lapisan permukaan yang ditunjukkan dengan panah hijau. Halmahera Eddy (HE) dan New Guinea Eddy (NGE) ditunjukkan dengan lingkaran berwarna ungu.

Gambar 2 Pola arus di ekuator barat Pasifik hasil rata-rata pengukuran ADCP dengan menggunakan Kapal Riset Kaiyo pada kedalaman 175 - 225 m selama periode Oktober – Nopember 1999 (Kashino et al. 2007). Kuroda (1999) menjelaskan bahwa Arus Pantai Papua merupakan arus permukaan yang disebabkan oleh pengaruh musim. Penumpukan massa air di permukaan disebabkan oleh transpor Ekman di pantai Papua dan kombinasi dengan upwelling oleh tranpor Ekman yang lemah di ekuator. Arus Pantai Papua dan Arus Bawah Pantai Papua salah satu pola aliran yang mengontrol neraca bahang dan salinitas dari kolam air hangat di ekuator bagian barat Samudra Pasifik.

Fine et al. (1994) mendeskripsikan empat tipe massa air di perairan Pasifik Barat, yaitu North Pacific Tropical Water (NPTW) yang memiliki salinitas tinggi dengan σθ = 24,0, South Pacific Tropical Water (SPTW) yang memiliki salinitas tinggi dengan σθ = 25,0, North Pacific Intermediate Water (NPIW) yang memiliki salinitas minimum dengan σθ = 26,5, and the Antarctic Intermediate Water


(42)

Bingham dan Lukas (1995) dalam Kashino et al. (2007) menambahkan North

Pacific Tropical Intermediate Water (NPTIW) yang memiliki salinitas dan oksigen

minimum dengan σθ = 26,8 dan South Pacific Tropical Intermediate Water

(SPTIW) yang memiliki salinitas dan oksigen minimum dengan σθ = 27,1.

Hasegawa (2009) menyatakan secara musiman perairan utara Papua sangat subur yang dipicu ketika muncul Madden Julian Oscilation (MJO) yang memiliki periode 40-50 harian. Saat MJO muncul, angin baratan akan membangkitkan gelombang Kelvin ke arah timur dan berubah menjadi gelombang Coastally Trapped Kelvin Wave (CTKW) ketika gelombang ini membentur massa daratan kepulauan Bismark. Gelombang Kelvin yang terperangkap di pantai ini merambat menyusuri pantai sepanjang kepulauan Bismark hingga pantai utara Papua. Pertemuan arus ini memicu munculnya fenomena divergensi yang mengakibatkan naiknya massa air dari lapisan dalam


(43)

15

3 BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di perairan utara Papua pada domain area 130o BT – 145 o BT dan 6o LU – 4o

Data Nino 3.4 diperoleh dari Climate Prediction Center (CPC) yang didirikan pada tahun 1980 oleh National Weather Service yang merupakan bagian dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). CPC terkenal sebagai pusat prediksi iklim di Amerika Serikat berdasarkan kondisi El Nino dan La Nina di Pasifik tropis. Data ini memiliki resolusi temporal bulanan dari Januari 1950 – saat ini. Penelitian ini hanya menggunakan periode data dari September 1997 – April 2009 yang disamakan dengan rentang periode data klorofil-a. Data dapat diakses di

LS (Gambar 3). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pemrosesan Data Bagian Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB dimulai sejak September 2009 hingga Agustus 2011. Tahapan waktu penelitian terbagi menjadi tiga, yaitu tahap pertama merupakan studi literatur, tahap kedua merupakan pengumpulan data, dan tahap ketiga merupakan pengolahan serta interpretasi data.

3.2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan tiga data utama yaitu data klorofil-a, suhu permukaan laut dan indeks Nino 3.4 serta data pendukung dari Buoy TRITON. Adapun penjelasan perolehan dan metadata masing-masing data yang

digunakan pada bagian di bawah ini.

3.2.1. Data Nino 3.4

memiliki format

ASCII. Wilayah Nino 3.4 di tengah ekuator Samudra Pasifik dapat dilihat pada Gambar 1.

3.2.2. Data Klorofil-a

Data klorofil-a bersumber dari The GlobColour Project yang didanai ESA

Data User Element yang mengembangkan layanan data satelit ocean color untuk

mendukung penelitian siklus karbon global dan operasional oseanografi. Datanya merupakan hasil penggabungan beberapa satelit yang dikalibrasi dan telah


(44)

memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh komunitas pengguna ocean

color. Data berformat netcdf dengan resolusi temporal bulanan selama periode

September 1997 – April 2009. Data ini memiliki resolusi spasial 25 km x 25 km dan dapat diakses di

Titik-titik merah yang membentuk grid adalah stasiun data yang digunakan untuk membuat sebaran permukaan (Gambar 3). Untuk analisis statistik untuk melihat pengaruh El Nino dan La Nina hanya pada domain 135o BT – 141o BT dan 1o LU – 4o

Gambar 3 Sebaran stasiun klorofil-a di perairan utara Papua.

3.2.3. Data Suhu Permukaan Laut

LU (kotak merah). Sembilan stasiun (lingkaran biru) yang terdiri dari tiga transek (poligon biru) dicuplik untuk dibuat sebaran berdasarkan waktu dan selanjutnya digunakan dalam analisis FFT dan wavelet. Koordinat setiap stasiun disajikan pada Tabel 1. Pada setiap transek dibuat sebaran melintang

(section) klorofil-a berdasarkan waktu (aksis-x) dan lintang (aksis-y).

Data suhu permukaan laut bersumber dari Earth System Research

Laboratory (ERSL) yang merupakan bagian dari National Oceanic dan

Atmospheric Administration (NOAA). ESRL dibentuk untuk mendapatkan

pemahaman yang luas dan komprehensif dari sistem fisik, kimia dan biologi di bumi yang dinamis. Selanjutnya melakukan integrasi untuk memprediksi proses-proses pada skala lokal hingga global dari periode menit hingga ribuan tahun. Data SPL yang tersedia memiliki cakupan global dengan resolusi spasial 1°X1°,


(45)

17

interval bulanan tersedia dari Desember 1981 – saat ini. Untuk penelitian ini digunakan data bulanan pada lokasi perairan utara Papua dengan periode waktu yang dicuplik sama dengan data klorofil-a. Data berformat netcdf dapat diakses di http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.noaa.oisst.v2.html.

Titik-titik biru yang membentuk grid adalah stasiun data yang digunakan untuk membuat sebaran permukaan (Gambar 4). Sembilan stasiun (lingkaran biru) yang terdiri dari tiga transek dicuplik untuk dibuat sebaran berdasarkan waktu dan selanjutnya digunakan dalam analisis FFT dan wavelet. Koordinat setiap stasiun disajikan pada Tabel 1, ada perbedaan posisi sebaran stasiun dengan klorofil-a karena perbedaan resolusi spasialnya. Setiap transek juga dibuat sebaran melintang SPL berdasarkan waktu (aksis-x) dan lintang (aksis-y).

Gambar 4 Sebaran stasiun suhu permukaan laut di perairan utara Papua.

3.2.4. Data Bouy TRITON

Data pendukung dari Buoy TRITON diperoleh dari Japan Agency for

Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) yang dapat diakses di

Data

buoy TRITON yang digunakan adalah suhu pada kedalaman permukaan (1,5 m) memiliki interval pengukuran setiap 2 jam. Terdapat 3 stasiun Buoy TRITON di sekitar perairan utara Papua (Gambar 5), tetapi hanya dipilih dua stasiun


(46)

karena banyak rekaman data yang kosong pada durasi waktu yang panjang. Stasiun 2 memiliki rentang data dari 25 Oktober 1999 - 17 Juni 2009 dan Stasiun 3 memiliki rentang data dari 29 September 2001 - 17 Juni 2009.

Gambar 5Lokasi stasiun Buoy TRITON di Perairan Utara Papua dari JAMSTEC. Tabel 1 Transek dan posisi stasiun data buoy TRITON, SPL dan klorofil-a

Transek Stasiun Bujur (oBT) Lintang (oLU)

- Buoy 2 138,000 2,000

- Buoy 3 137,000 5,000

I

SPL 1 130,500 1,500

Klorofil-a 1 130,625 1,375

SPL 2 130,500 3,500

Klorofil-a 2 130,625 3,375

SPL 3 130,500 5,500

Klorofil-a 3 130,625 5,375

II

SPL 1 137,500 1,500

Klorofil-a 1 137,625 1,375

SPL 2 137,500 3,500

Klorofil-a 2 137,625 3,375

SPL 3 137,500 5,500

Klorofil-a 3 137,625 5,375

III

SPL 1 144,500 1,500

Klorofil-a 1 144,625 1,375

SPL 2 144,500 3,500

Klorofil-a 2 144,625 3,375

SPL 3 144,500 5,500


(47)

19

3.3. Analisis Data

Data anomali suhu pada daerah Nino 3.4 dibuat sebaran berdasarkan waktu dan ditentukan periode El Nino maupun La Nina berdasarkan definisi Trenberth (1997) dengan menggunakan MS. Excel 2007. Data klorofil-a global tiap bulan selama periode September 1997 – April 2009 dipotong pada domain area di utara Papua dan dikompilasi dengan menggunakan perangkat lunak ODV

(Ocean Data View) versi 4.3.6 tahun 2010. Selanjutnya dibuat kondisi sebaran

permukaan normal bulanan dan sebaran melintang berdasarkan waktu. Data dalam format netcdf di ODV diekspor menjadi berformat teks untuk dilakukan analisis statistik untuk mencari nilai minimum, maksimum, rerata dan deviasinya dengan menggunakan MS. Excel 2007. Analisis statistik pada wilayah ini dianggap mewakili kondisi oseanik yang kurang dipengaruhi oleh daratan. Hal serupa juga dilakukan untuk data SPL. Data suhu dari Buoy TRITON pada kedalaman permukaan (1,5 m) dirata-ratakan menjadi bulanan utuk validasi data SPL hasil reanalisis pada periode Oktober 2001 – Maret 2009.

Analisis deret waktu pada variabel indeks Nino 3.4, klorofil-a dan SPL dengan metode FFT menggunakan program STATISTICA 6 dan analisis wavelet

dilakukan dengan menggunakan MATLAB versi 2008a. Setiap variabel masing-masing stasiunnya dibuat spektrum densitas energi pada FFT dan Continous

Wavelet Transform (CWT) pada wavelet. Korelasi silang pada FFT dan Cross

Wavelet Transform (XWT) serta Wavelet Transform Coherence (WTC) pada

wavelet dilakukan terhadap antar variabel dan stasiun data.

3.3.1. Validasi Data

Validasi data dilakukan untuk melihat tingkat relevansi/kesesuaian antara data hasil model terhadap data pengukuran di lapang. Data lapang umumnya tersedia pada periode dan spasial yang terbatas, sehingga sulit untuk melakukan analisis secara spasial yang lebih luas dan periode yang lebih panjang. Saat ini banyak digunakan data hasil model/reanalisis dengan resolusi spasial dan temporal serta tingkat akurasi yang lebih baik. Salah satu metode validasi pasangan data deret waktu dan spasial hasil model/reanalis dan terhadap observasi lapang adalah dengan menentukan nilai Root Mean Square Error

(RMSE) (Chu et al. 1999; Mattern et al. 2010; Shi et al. 2011). RMSE adalah suatu total ukuran kesalahan (error) yang merupakan fungsi dari akar kuadrat dari jumlah varian dan error kuadrat (Persamaan 1). Hal ini berarti RMSE akan


(48)

selalu menghasilkan error bernilai positif dimana makin kecil perbedaan antara data model/reanalisis terhadap data lapang maka nilai RMSE juga akan semakin kecil.

Data yang akan divalidasi adalah data SPL hasil reanalisis dari ERSL NOAA terhadap data suhu permukaan dari Buoy TRITON. Selain dihitung nilai RMSEnya pada stasiun yang berdekatan juga diplotkan pola variabilitas suhu berdasarkan waktu, sehingga dapat dilihat juga kesesuaian pola variabilitasnya. Berdasarkan Tabel 1 maka stasiun SPL yang divalidasi terhadap Buoy TRITON adalah SPL pada Transek II Stasiun 1 (TIIS1) dengan Buoy 2 dan SPL pada Transek II Stasiun 3 (TIIS3) dengan Buoy 3.

Persamaan RMSE yang digunakan untuk perhitungan validasi adalah sebagai berikut:

RMSE =

………...…...………...………(1) dimana:

y = SPL Observasi (Buoy TRITON) x = SPL reanalisis ERSL NOAA n = Jumlah pasangan data

3.3.2. Analisis FFT

Analisis deret waktu merupakan suatu metode statistik yang banyak digunakan untuk mengkaji berbagai fenomena di alam seperti interaksi antara atmosfer dan lautan. Tentunya proses interaksi ini sangat kompleks dan dinamis serta banyak variabel yang memiliki periodisitas yang panjang. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk analisis deret waktu adalah Fast Fourier

Transform (FFT) yang menggambarkan frekuensi dan periode dari suatu

fluktuasi. Analisis FFT terdiri atas spektrum densitas energi (auto spectrum) dan korelasi silang antara variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap suatu variabilitas atau fenomena yang ingin diketahui.

3.3.2.1. Spektrum Densitas Energi

Spektrum densitas energi digunakan untuk mengetahui frekuensi/periode fluktuasi dan nilai densitas energi. Frekuensi /periode fluktuasi dari nilai densitas energi dicari dengan menggunakan perangkat lunak STATISTICA 6.0. Data


(49)

21

deret waktu terlebih dahulu diubah dari domain waktu menjadi domain frekuensi dan untuk lebih menggambarkan pola variabilitas yang jelas pada data yang cukup panjang maka domain frekuensi dibuat dalam basis log10. Dengan metode FFT, komponen fourierX(fk) dari data deret waktu xt yang dicatat pada selang waktu h diberikan oleh (Bendat dan Piersol, 1971) :

…………..………...…..….……. (2)

Dari nilai FFT tersebut dapat diperoleh nilai fungsi spektrumnya (Sx

………...……...…..….. (3) ) sbb :

dimana :

X(fk) : fungsi FFT pada frekuensi ke-k(fk)

N : jumlah pengamatan

t : 0, 1, 2, ….N-1

h : 0, 1, 2, ….N-1

i : (bilangan imajiner)

Karakteristik distribusi densitas suatu spektrum dapat ditentukan dengan selang kepercayaan spektrum tersebut. Densitas spektrum merupakan kombinasi linear dari jumlah perkiraan distribusi kuadrat. Distribusi chi-kuadrat dengan derajat kebebasan diperoleh dengan cara pencocokan nilai rerata dan variannya. Untuk menentukan tingkat signifikan suatu spektrum densitas energi pada selang kepercayaan tertentu maka terlebih dahulu dihitung batas atas dan batas bawah selang kepercayaan dari spektrum tersebut. Persamaan matematis yang menggambarkan selang kepercayaan terhadap suatu spektrum berdasarkan Emery dan Thomson (1997) adalah sbb :

......……...…….. (4) dimana :

S2(f) : Varian dari spektrum

σ2

− =    −

= 1 exp 2

) ( N o t t k N kt i x h f X π

(f) : Varian sesungguhnya

α : taraf nyata (0,05)

χ : Fungsi chi-square

v : Derajat bebas (degree of freedom); untuk Hamming Windows adalah 2,5164(N/M)

N : Panjang data observasi 2

) ( 2

k

x X f

N h


(50)

M : Setengah panjang window

L : Panjang window (N-1)

Jika terdapat puncak spektrum yang lebih tinggi dari selang kepercayaan, maka puncak tersebut bukan terjadi secara kebetulan atau merupakan puncak

spektrum yang signifikan. Program penentuan selang kepercayaan pada suatu spektrum densitas energi dalam bahasa program MATLAB disajikan pada Lampiran 1.

Hamming Windows adalah pembobotan pada transformasi rata-rata

berjalan (moving average) yang digunakan untuk memperhalus nilai

periodogram. Pembobotan (wj) yang digunakan dalam Hamming Windows untuk

masing-masing frekuensi dihitung sbb:

wj = 0,54 +0,46 * kosinus (π*j/m) untuk j=0 sampai m ...…….. (5)

dimana : w-j = wj

Korelasi silang digunakan untuk melihat hubungan antara variabilitas kedua parameter. Dalam melakukan analisis korelasi silang, diperlukan variabel yang mempengaruhi (x) dan variabel yang dipengaruhi (y). Penghitungan nilai spektrum silang hanya dapat dilakukan pada beberapa pasang kelompok data yang memiliki selang waktu perekaman yang sama. Analisis korelasi silang terdiri dari kospektrum densitas energi, koherensi kuadrat dan beda fase. Kospektrum densitas energi menggambarkan periode variabilitas kedua parameter yang bersamaan. Hubungan yang erat antara variabilitas kedua parameter tersebut digambarkan oleh nilai koherensi yang tinggi. Sebaliknya, nilai koherensi yang rendah mengindikasikan hubungan yang tidak erat. Beda fase menunjukkan perbedaan waktu antara kedua periode variabilitas. Beda fase positif berarti variabel x mempengaruhi variabel y, dimana variabilitas variabel x mendahului variabel y selama periode satuan waktu interval data.

(untuk j ≠ 0) m = (N-1) / 2

Fungsi pembobotan ini akan menetapkan bobot terbesar pada pengamatan yang akan menghaluskan nilai pada bagian tengah window, dan bobot akan semakin kecil pada nilai-nilai yang jauh dari bagian tengah window (Statsoft, 2011).


(51)

23

Sebaliknya jika nilainya negatif berarti tidak ada pengaruh variabel x terhadap variabel y.

Kospektrum densitas energi (Sxy(fk

... (6) )) harus dihitung terlebih dahulu dari

dua pasang data deret waktu xt dan yt yang dicatat setiap selang waktu h (Bendat dan Piersol, 1971) :

dimana :

fk : k/Nh, k = 0, 1, 2, ……….., N-1

X*(fk) : complex conjugate dari X(fk)

X (fk) : komponen Fourier dari xt

Y (fk) : komponen Fourier dari yt

Fungsi koherensi pangkat dua (γ2xy(fk)) ditentukan dengan rumus:

... (7)

dimana:

Sx(fk) : densitas spektrum energi dari X(fk)

Sy(fk) : densitas spektrum energi dari Y(fk

...………...…...… (8)

)

Nilai beda fase ditentukan dengan menggunakan rumus :

dimana :

Qxy(fk) : bagian imaginer dari Sxy(fk)

Cxy(fk) : bagian nyata dari Sxy(fk)

Satuan beda fase pada program Statistica for Windows 6.0 adalah tan-1. Untuk mengubah satuan beda fase dari tan-1

Transformasi wavelet merupakan pengembangan dari transformasi fourier. Analisis wavelet menurut Torrence dan Compo (1998) merupakan upaya

mendekomposisi deret waktu ke dalam ruang waktu-frekuensi secara simultan. menjadi satuan waktu (bulan), nilai beda fase tersebut harus diubah terlebih dahulu kedalam bentuk derajat (°). Nilai derajat yang diperoleh kemudian dibagi dengan 360° lalu dikalikan periode (bulan) dari variabilitas tersebut.

3.3.3. Analisis Wavelet

) ( ) ( 2 ) ( * k k k

xy X f Y f

N h f S =

)

(

)

(

)

(

)

(

2 2 k y k x k xy k xy

f

S

f

S

f

S

f

=

γ

        = − ) ( ) ( tan ) ( 1 k xy k xy k xy f C f Q f θ


(52)

Metode ini mengkalkulasikan energi spektrum dari deret waktu. Analisis wavelet

yang digunakan adalah Morlet mother. Kelebihan dari analisis wavelet yaitu dapat mendeteksi fluktuasi-fluktuasi periodik yang bersifat transient. Serta dapat menggambarkan proses dinamik nonlinear komplek yang diperlihatkan oleh interaksi gangguan dalam skala ruang dan waktu. Analisis wavelet yang dilakukan berupa Continous Wavelet Transform (CWT), Cross Wavelet

Transform (XWT) dan Wavelet Transform Coherence (WTC). Sub program

analisis wavelet dalam bahasa MATLAB dapat diunduh di alamat

Selanjutnya baris-baris program analisis wavelet untuk CWT dan XWT serta WTC yang sudah dimodifikasi sesuai data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

3.3.3.1. Continous Wavelet Transform (CWT)

Menurut Grinsted, et al. (2004) wavelet adalah sebuah fungsi dengan rerata nol (0) dan mempunyai alokasi dalam frekuensi dan waktu. Wavelet dapat dikarakterisasi oleh bagaimana alokasinya dalam waktu dan frekuensi

atau panjang gelombang). Wavelet Morlet dirumuskan debagai berikut: ………...…... (9) dimana :

: frekuensi yang tidak memiliki dimensi : waktu yang tidak memiliki dimensi

CWT menggunakan wavelet sebagai band passfilter terhadap deret waktu.

Wavelet dipanjangkan dalam waktu dengan memvariasikan skalanya (s),

sehingga dan menormalisasinya sehingga mempunyai unit energi. CWT sebuah deret waktu (xn,n = 1,…….,N) dengan selang waktu yang sama δt,

didefinisikan sebagai bilangan kompleks dari xn dengan skala dan wavelet yang

telah dinormalisasi, yang dirumuskan sebagai berikut (Torrence dan Compo, 1998):

………...………...………….. (10) dimana :

: Spektrum energi wavelet

: skala


(53)

25

Menurut Torrence dan Compo (1998) terdapat error pada bagian awal dan akhir CWT karena wavelet tidak sepenuhnya dialokasikan dalam waktu. Oleh karena itu diperkenalkanlah Con of Influence (COI) karena error ini tidak dapat diabaikan. COI didefinisikan sebagai area dimana kekuatan wavelet disebabkan oleh diskontinuitas pada batas terluar yang mempunyai nilai lebih kecil e-2 nilai batas terluar (Grinsted et al. 2004).

3.3.3.2. Cross Wavelet Transform (XWT)

Cross Wavelet Transform (XWT) digunakan untuk menganalisa kovarian dari dua deret waktu Xn dan Yn, yang didefinisikan sebagai berikut (Torrence

dan Compo, 1998) :

………...……...……..……... (11) dimana * menandakan complex conjugation. Spektrum daya wavelet silang lebih lanjut didefinisikan sebagai . Argumen kompleks arg ) dapat

diinterpretasikan sebagai fase relatif lokal antara Xn dan Yn dalam ruang

frekuensi waktu (Grinsted et al. 2004). Hubungan fase relatif ditunjukkan dengan arah panah dimana panah ke arah kanan berarti sefase (inphase), panah ke arah kiri berarti anti fase (anti-phase), panah 90º ke arah bawah berarti X mendahului Y dan panah 90º ke arah atas berarti Y mendahului X.

3.3.3.3. Wavelet Transform Coherence (WTC)

Spektrum energi wavelet silang menunjukan area dengan kekuatan tinggi yang sama. Salah satu fungsi pengukuran yang lain adalah bagaimana

mengukur koherensi CWT dalam domain frekuensi waktu (Grinsted et al. 2004). Menurut Torrence dan Webster (1998) koherensi wavelet dari dua deret waktu dirumuskan sebagai berikut :

………...…………..…...….. (12) dimana

: koherensi wavelet

: Spektrum energi silang wavelet

: Spektrum energi wavelet dari : Spektrum energi wavelet dari


(54)

Definisi koherensi wavelet ini mempunyai kesamaan dengan nilai koefisien korelasi pada umumnya. Sehingga koherensi wavelet dapat dianggap sebagai lokalisasi koefisen korelasi dalam domain frekuensi waktu.

Secara keseluruhan dan sistematik metode perolehan dan pengolahan serta analisis data dalam penelitian ini disajikan diagram alir pada Gambar 6.

Data Reanalisis Klorofil-a Bulanan

(Globcolour)

Data Indeks Nino 3.4 Bulanan (CPC-NCEP-NOAA)

Sebaran permukaan normal bulanan

(ODV 4.3.6)

Plot series & penentuan kondisi El Nino/La Nina

(MS. Excel 2007)

Sebaran permukaan pada periode El Nino dan Normal

serta La Nina (ODV 4.3.6)

FFT (Fast Fourier Transform) dengan STATISTICA 6 : 1. Auto Spektrum 2. Korelasi Silang

a. Kospektrum Densitas Energi b. Koherensi

c. Beda Fase

WAVELET dengan MATLAB R2008a:

1. Continous Wavelet Transform (CWT)

2. Cross Wavelet Transform (XWT)

3. Wavelet Transform Coherence (WTC) Suhu

(Buoy TRITON)

Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya terhadap ENSO di Perairan Utara Papua Plot Series

melintang tiap transek (ODV 4.3.6) SPL Reanalisis Bulanan

(ERSL NOAA) Validasi

Analisis Statistik (MS. Excel 2007)


(55)

27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Validasi Data SPL

Validasi suhu rata-rata bulanan hasil reanalisis ERSL NOAA dengan suhu hasil observasi Buoy TRITON pada dua lokasi yang berdekatan selama periode Oktober 2001 – April 2009 disajikan pada Tabel 2. Jarak antar lokasi Buoy TRITON sekitar 350 km sedangkan jarak antar stasiun data reanalisis sekitar 442 km. Jarak antar stasiun Buoy dan data reanalisis yang berdekatan sebesar 78 km.

Kisaran suhu pada data Buoy 2 sebesar 28,81 - 30,17 oC dengan rerata 29,55 oC dan deviasi 0,33 oC. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kisaran suhu pada stasiun reanalisis terdekat dimana suhu berkisar antara 28,63 - 30,21 oC dengan rerata 29,57 oC dan deviasi sebesar 0,34 oC. Dari kedua data tersebut diperoleh nilai RMSE sebesar 0,14 oC. Kisaran suhu pada data Buoy 3 sebesar 27,92 - 30,20 oC dengan rerata 29,34 oC dan deviasi 0,48 oC. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kisaran suhu pada stasiun reanalisis terdekat dimana suhu berkisar antara 27,88 - 30,23 oC dengan rerata 29,32 oC dan deviasi sebesar 0,47 oC. Dari kedua data tersebut diperoleh nilai RMSE sebesar 0,16 o

Statistik

C. RMSE dari kedua pasangan data tersebut juga memiliki tingkat kesalahan yang kecil.

Tabel 2 Validasi suhu hasil reanalisis ERSL NOAA dengan suhu Buoy TRITON

SPL (oC)

Buoy TRITON 2

ERSL TIIS1

Buoy TRITON 3

ERSL TII S3

Minimum 28,81 28,63 27,92 27,88

Rata-rata 29,55 29,57 29,34 29,32

Maksimum 30,17 30,21 30,20 30,23

Standar Deviasi 0,33 0,34 0,48 0,47

RMSE 0,14 0,16

Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan pola fluktuasi dari kedua pasangan data yang cenderung sefase dan berhimpit dengan perbedaan

amplitudo rata-rata yang kecil. Terdapat perbedaan amplitudo dimana suhu hasil reanalisis secara umum memiliki amplitudo yang sedikit lebih besar dibanding


(56)

suhu Buoy TRITON. Pada Gambar 7 dapat dilihat perbedaan ampiltudo tertinggi < 0,30 oC yaitu terjadi pada periode Januari 2003 untuk amplitudo negatif dan Oktober 2003 untuk amplitudo positif. Sedangkan pada Gambar 8 perbedaan amplitudo positif tertinggi sebesar 0,39 oC terjadi pada periode April 2008 dan amplitudo negatif tertingggi sebesar 0,44 o

Gambar 7 Validasi data SPL ERSL NOAA terdekat dengan data suhu Buoy TRITON Stasiun 2.

C yang terjadi pada periode Februari 2005. Berdasarkan hasil analisis statistik dan pola fluktuasi yang terbentuk maka dapat dikatakan bahwa data suhu permukaan laut hasil reanalisis ERSL NOAA memiliki validitas yang baik untuk selanjutnya dapat digunakan dalam analisis pola sebaran permukaan dan deret waktu.

Gambar 8 Validasi data SPL ERSL NOAA terdekat dengan data suhu Buoy TRITON Stasiun 3.


(57)

29

4.2. SPL Bulanan di Perairan Utara Papua

Kondisi SPL bulanan di perairan utara Papua secara statistik disajikan pada Tabel 3, sedangkan pola sebaran permukaan bulanannya dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. SPL terendah terjadi selama selama puncak musim barat (Februari) dimana SPL berkisar antara 28,00 - 30,16oC dengan rata-rata 29,21 oC dan deviasi sebesar 0,54 oC. SPL tertinggi terjadi pada bulan Mei yang merupakan akhir musim peralihan I memasuki awal musim timur, dimana SPL berkisar antara 29,36 - 30,44 oC dengan rata-rata 29,87 oC dan simpangan bakunya sebesar 0,23 oC. Simpangan baku tertinggi pada bulan Februari sebesar 0,54 oC dan terendah selama bulan Juli menunjukkan bahwa SPL bulanan memiliki variasi tertinggi pada bulan Februari dan terendah pada bulan Juli. Pada musim timur Angin Pasat berhembus lebih kuat yang

menyebabkan AKS juga makin kuat membawa massa air ke arah barat. Selama proses pergerakan tersebut massa air mengalami pemanasan yang intensif di wilayah sekitar equator. Hal ini menyebabkan peningkatan SPL di sekitar perairan utara Papua yang merupakan tempat penumpukan massa air hangat selama musim timur. Pada musim barat (Desember - Februari) Angin Baratan yang dikenal Westerly Wind Bursts (WWBs) bertiup kencang ke arah timur yang menguatkan Arus Sakal Katulistiwa dan menggeser air hangat di perairan utara Papua ke timur. Arus Sakal Katulistiwa ini juga membawa air dingin dari Pasifik Utara yang menyebabkan pendinginan SPL di perairan utara Papua.

Tabel 3 Statistik kondisi SPL normal bulanan di perairan utara Papua

Bulan SPL (

o

C)

Minimum Rata-rata Maksimum Std. Deviasi

Januari 28,14 29,35 30,23 0,47

Februari 28,00 29,21 30,16 0,54

Maret 28,41 29,44 30,30 0,45

April 28,98 29,75 30,35 0,31

Mei 29,36 29,87 30,44 0,23

Juni 29,05 29,78 30,33 0,30

Juli 29,20 29,57 30,30 0,22

Agustus 28,58 29,37 30,31 0,33

September 28,87 29,62 30,46 0,32

Oktober 28,92 29,80 30,61 0,36

Nopember 29,38 29,79 30,65 0,26


(1)

Lampiran 8 Cross Wavelet Transform (XWT) antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a (A= Trklorofil-ansek I Stklorofil-asiun 1; B= Trklorofil-ansek I Stklorofil-asiun 2; C= Trklorofil-ansek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F=

Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3).


(2)

Lampiran 9. Wavelet Coherence (WTC) antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3).


(3)

Lampiran 10 Cross Wavelet Transform (XWT) antara stasiun SPL (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2

Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III).


(4)

Lampiran 11 Wavelet Coherence (WTC) antar stasiun SPL (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III).


(5)

Lampiran 12 Cross Wavelet Transform (XWT) antar stasiun klorofil-a (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III).


(6)

Lampiran 13 Wavelet Coherence (WTC) antar stasiun klorofil-a (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III).