SPI DEV
SUSUNAN, KEDUDUKAN, DAN WEWENANG PENGADILAN MILITER PERTEMPURAN
MAKALAH Diajukan kepada
Andika Putra Eskanugraha SH.,M.Kn.
Diajukan untuk memenuhi tugas Perbandingan Hukum Tata Negara Kelas A
Oleh.
Devinta Ardia Nency NIM 150710101345
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER
(2)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dpaat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Sistem Peradilan Indonesia Bapak Andika Putra Eskanugraha SH.,M.Kn yang telah mengajarkan saya mata kuliah yang baru saya ketahahui, sehingga saya sedikit mengerti materi yang diajarkan kepada saya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
(3)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG... 1 1.2 RUMUSAN MASALAH... 4 BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sususan,Kedudukan,Wewenang... 5 2.2 Kompentensi Pengadilan Militer Pertempuran... 9 2.3 Upaya Hukum dan Pelaksanaannya... 13 BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan... 16 DAFTAR PUSTAKA
(4)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bang Indonesia telah merdeka. Kemerdekaan bangsa Indonesia itu pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya bertekad bulat untuk membela, mempertahankan, dan menenggakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Setiap bentuk ancaman baik ancaman militer maupun ancaman nonmilter terhadap kemerdekaan dan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia akan diselesaikan dengan melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam hal terjadi ancaman militer, TNI yang telah disiapkan sebagai komponen utama pertahanan tidak serta merta akan langsung mengangkat senjata. Penyelesaian pertikaian atau pertentangan yang timbul antara bangsa Indonesia dan bangsa lain akan selalu diusahakan melalui cara-cara damai. Bagi bangsa Indonesia, perang adalah jalan terakhir dan hanya dilakukan apabila semua usaha dan penyelesaian secara damai tidak berhasil. Konstitusi Negara Indonesia menegaskan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia menegaskan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Artinya bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi penyelesaian-penyeesaian konflik secara damai demi mendorong terwujudnya tatanan dunia yang penuh damai. Namun demikian jika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah, sejak Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sejarah mencatat silih bergantinya ancaman maupun gangguan keamanan baik dari dalam negeri
(5)
maupun dari luar negeri. Gangguan keamanan tersebut diantaranya adalah kedatangan Tentara Sekutu, Tentara Belanda dengan NICAnya, pemberontakan PKI Madiun, Westerling/APRA, Republik Maluku Selatan, DI/TII, PRRI/PERMESTA, G 30 S/PKI, Gerombolan Pengacau Keamanan atau gerakan separatis bersenjata yang menamakan dirinya “Gerakan Aceh Merdeka”, dan lain-lain. Ancaman terhadap kemerdekaan dan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa yang datang silih berganti menjadi pengingat zaman bahwa tidak ada jaminan seratus persen keamanan negara akan selalu stabil. Ada masa-masa di mana pemerintah yang sah tidak dapat hadir mengontrol keamanan dan mengendalikan secara penuh di bawah kekuasaannya. Ada faktor-faktor di luar kontrol pemerintah yang tidak dapat dikendalikan untuk membendung ancaman terhadap keamanan Negara. Ancaman-ancaman yang tidak terkendali tersebut akan membawa Negara Indonesia pada pilihan-pilihan yang sulit.
Bila upaya-upaya damai telah dilakukan namun tidak membawa hasil maka mungkin pilihan perang sebagai jalan terakhir tidak dapat dihindari demi untuk menyelamatkan bangsa dan Negara. Ketika perang terjadi, kondisi Negara baik sebagaian maupun secara keseluruhan berada dalam keadaan genting. Hampir bisa dipastikan seluruh fungsi-fungsi pemerintahan dan roda perekonomian lumpuh seketika, terjadi pengungsian besar-besaran dan kerusakan infrastruktur tidak dapat dihindari. Hukum dalam keadaan normal tidak berfungsi karena kondisi yang dihadapi adalah kondisi darurat. Oleh Prof Jimly Asshiddiqie dalam buku Hukum Tata Negara Darurat diuraikan bahwa apabila di suatu wilayah dinyatakan sebagai daerah perang, keadaan darurat perang itu mungkin sekali menyebabkan semua fungsi institusi pemerintahan umum dan badan-badan peradilan sipil tidak dapat menjalankan tugas konstitusionalnya sebagaimana mestinya. Misalnya di daerah-daerah sekitar medan pertempuran, ancaman bahaya perang terbuka dapat terjadi setiap waktu dan mengancam keselamatan warga sipil, kantor-kantor pemerintah dan berbagai fasilitas umum. Dalam keadaan demikian tidak mungkin mengharapkan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara yang biasa untuk menjalankan tugasnya
(6)
yang mungkin diharapkan berfungsi, sehingga semua subjek, baik militer maupun sipil, dan semua jenis obyek perkara, baik menyangkut tindak pidana militer maupun tindak pidana umumnya, dapat diadili oleh Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Pertempuran sendiri adalah badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di medan pertempuran, karena berkedudukan di suatu medan pertempuran sebagai daerah hukumnya, Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil atau selalu mengikuti kemana gerak pasukan pada saat pertempuran tersebut berlangsung.
Berangkat dari pemikiran diatas, gagasan atau ide untuk menyempurnakan perangkat hukum Pengadilan Militer Pertempuran dimasa damai tidaklah berlebihan. Seperti doktrin perang kita bahwa pembinaan kekuatan TNI harus dilakukan dimasa damai sehingga siap sedia digunakan pada masa perang. Demikian pula hanya dengan perangkat Pengadilan Militer Pertempuran harus disiapkan dan disempurnakan dimasa damai sehingga ketika perang diumumkan, seluruh perangkat pengadilan telah siap digerakkan di daerah-daerah pertempuran untuk hadir menegakkan keadilan walau dalam keadaan genting sekalipun. Kesiapan peraturan perundang-undangan yang mendukung eksistensi Pengadilan Militer Pertempuran pada masa perang sangat diperlukan untuk menjamin tetap tegaknya hukum dalam keadaan darurat dan menjamin kecepatan bertindak. Ketika terjadi perang, tidak ada lagi kesempatan dan waktu untuk berdiskusi membahas bagaimana desain Pengadilan Militer Pertempuran. Waktu penyiapan yang terbaik adalah pada masa damai seperti sekarang ini. Pengadilan Militer Pertempuran harus didahului oleh desain perencanaan yang benar-benar matang. Semua perencanaan harus kembali kepada Ide awal pembentukan Pengadilan Militer Pertempuran yaitu bahwa di dalam keadaan darurat sekalipun hukum harus tetap hadir termasuk pengadilannya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menjadi landasan yuridis Pengadilan Militer Pertempuran masih bersifat umum. Dari beberapa ketentuan yang berkaitan dengan Pengadilan Militer Pertempuran di dalam Undang-Undang tersebut, terdapat beberapa masalah yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan
(7)
pelaksanaannya atau ketika Undang-Undang tersebut direvisi perlu tambahan ketentuan baru yang bersifat teknis sehingga bisa diaplikasikan secara langsung ketika dibutuhkan. Karena itu diperlukan pengaturan yang jelas tentang berbagai hal, terutama tentang ruang lingkup kewenangan, organisasi, Hukum Acara yang digunakan, serta peran keankuman dan kepaperaan. Dengan adanya pengaturan seperti itu diharapkan penggelaran sidang Pengadilan Militer Pertempuran tidak membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari beberapa ketentuan yang berkaitan dengan Pengadilan Militer Pertempuran di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, terdapat beberapa masalah yang perlu diatur dalam perundang-undangan,yaitu :
1) Bagaimana susunan, kedudukan, dan wewenang Pengadilan Militer Pertempuran ?
2) Apa saja yang akan menjadi kompetensi Pengadilan Militer Pertempuran ? 3) Bagaimana upaya hukum dan pelaksanaan putusan hakim Pengadilan
(8)
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Susunan, Kedudukan, dan Wewenang Pengadilan Militer Pertempuran A. Susunan
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 terdapat susunan Pengadilan Militer Pertempuran yang terdapat dalam pasal 12 yaitu :
Pengadilan Militer
Pengadilan yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Militer yang terdakwanya adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 40,yaitu :
a. Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah
b. Mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah dan,
c. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.
(9)
Pengadilan yang bertugas memeriksa dan memutus pada pangkat pertama dan sengketa Tata Usaha Militer yang Terdakwanya adalah sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 41, yaitu :
(1) Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama : a. Memeriksa dan memutus perkara pidana yang
Terdakwanya:
Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas
Mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Mayor ke atas dan,
Mereka yang berdasarkan pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi
b. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
(2) Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
(3) Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
(10)
Pengadilan Militer Utama
Pengadilan yang memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Militer yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding yang tercantum dalam pasal 42,pasal 43 dan pasal 44,yaitu :
(1) Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a. antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan
b. antar Pengadilan Militer Tinggi dan
c. antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer. (2) Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi:
a. apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama
b. apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama
(3) Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
(11)
(1) Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap: a. penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan
Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing
b. tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya
(2) Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran. (3) Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau
peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
(4) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. (5) Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada Mahkamah Agung.
(12)
Pengadilan Militer Pertempuran
Badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di medan pertempuran dan tercantum dalam pasal 45 dan 46 yaitu :
Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan kedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.1
B. Kedudukan
Kedudukan Peradilan Militer Pertempuran tercantum dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997,yaitu :
(1) Pengadilan Militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
(2) Oditur merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dan Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
C. Wewenang
(13)
Wewenang Peradilan Militer Pertempuran tercantum dalam pasal 9,yaitu :
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a huruf b dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer2
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
(14)
Kompetensi atau kewenangan Pengadilan Militer Pertempuran perlu diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan untuk membedakan dan memisahkannya dengan kewenangan yang dimiliki Pengadilan Militer biasa dan badan peradilan yang lain. Mengenai kompetensi Pengadilan Militer Pertempuran telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pada paragraf empat yang terdiri dari kewenangan absolut dan kewenangan relatif.
a. Kompetensi Absolut.
Kompetensi absolut pengadilan berkaitan dengan kewenangan masing-masing badan peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan oleh badan peradilan yang lain kecuali ada penyimpangan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jika perkaranya dipaksakan untuk diperiksa oleh pengadilan yang tidak berwenang secara absolut maka pemeriksaan perkara tersebut batal demi hukum. Berdasarkan konstitusi, setiap badan peradilan telah memiliki kewenangan absolut masing-masing yang dibagi ke dalam empat golongan besar pilar peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan TUN, Peradilan Militer dan Peradilan Agama.
Kompetensi absolut Pengadilan Militer Pertempuran diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Peradilan Militer yang berbunyi: “Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran. Berdasarkan Pasal 45 tersebut diketahui bahwa kewenangan absolut Pengadilan Militer Pertempuran dibatasi hanya pada perkara pidana di daerah pertempuran yang dilakukan oleh orang-orang yang diatur dalam pasal 9 ayat 1. Bila kompetensi absolut pengadilan Militer Pertempuran tersebut dibandingkan dengan kompetensi absolut yang dimiliki Pengadilan Militer biasa maka
(15)
ada beberapa kewenangan Pengadilan Militer Biasa yang tidak dimiliki oleh Pengadilan Militer Pertempuran yang diatur dalam Pasal 9 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Peradilan Militer yaitu bahwa Pengadilan Militer Pertempuran tidak berwenang :
a) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
b) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Pemangkasan atau pengurangan kewenangan absolut Pengadilan Militer Pertempuran sebagaimana diuraikan di atas akan menimbulkan kekosongan hukum (Recht Vacuum) karena dalam keadaan perang pun sebenarnya perkara-perkara mengenai sengketa tata usaha militer dan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian sangat rentan terjadi di daerah pertempuran dan membutuhkan penyelesaian yang bersifat segera. Dengan demikian, dalam usul perubahan Undang-Undang Peradilan Militer di masa mendatang sebaiknya perlu adanya penambahan kewenangan absolut Pengadilan Militer Pertempuran di mana semua kewenangan absolut Pengadilan Militer Biasa yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer juga menjadi kewenangan absolut Pengadilan Militer Pertempuran nantinya. Bahkan lebih dari pada itu, pada saat perang berlangsung Pengadilan Militer Pertempuran bisa saja mengambil alih semua kompetensi absolut Pengadilan lain (Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan TUN dan Peradilan Agama) untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum.
(16)
Kompetensi relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu berdasarkan yurisdiksi wilayah atau berdasarkan daerah hukumnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan, pengadilan wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara. Kompetensi relatif pengadilan militer pertempuran sangat penting untuk dipahami mengingat pada saat terjadi perang, diasumsikan bahwa badan-badan peradilan pada umumnya tidak dapat menjalankan tugas konstitusionalnya karena terjadi kekacauan. Badan-badan peradilan militer yang menjalankan kekuasaan kehakiman di masa damai kemungkinan masih dapat menjalankan fungsi mengadili namun tidak maksimal, apa lagi bila daerah hukumnya dinyatakan sebagai daerah operasi militer perang. Dalam situasi seperti ini, akan timbul kesulitan untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi di daerah tersebut, apakah pengadilan militer biasa atau pengadilan militer pertempuran.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, kewenangan atau kompetensi relatif Pengadilan Militer Pertempuran diatur dalam Pasal 46 yang berbunyi: “Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran”. Ini berarti bahwa semua wilayah yang dinyatakan sebagai daerah perang secara otomatis menjadi daerah hukum Pengadilan Militer Pertempuran dan semua tindak pidana yang terjadi di daerah tersebut akan diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Militer Pertempuran. Daerah hukum Pengadilan Militer Pertempuran bisa meliputi satu wilayah kabupaten, propinsi atau bahkan bisa juga meliputi seluruh wilayah Indonesia. Itu sangat tergantung pada keputusan pemerintah untuk memberlakukan keadaan bahaya yang meliputi sebagian atau seluruh wilayah negara.
Dengan demikian, tindak pidana yang terjadi di daerah pertempuran tidak lagi menjadi kewenangan pengadilan militer biasa yang berada di daerah tersebut untuk diperiksa dan diadili meskipun secara de facto pengadilan tersebut masih berdiri dan dapat menjalankan fungsinya
(17)
dengan baik. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang berwenang secara relatif untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana yang terjadi di daerah pertempuran adalah Pengadilan Militer Pertempuran. Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan perkara bukan lagi acara pemeriksaan biasa tetapi menggunakan acara pemeriksaan khusus.
Berkaitan dengan kompetensi relatif, satu hal yang juga perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan adalah tempat kedudukan pengadilan militer pertempuran. Di dalam pasal 46 diatur bahwa Pengadilan Militer Pertempuran berkedudukan di daerah pertempuran dan bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan. Bila pejabat-pejabat pada pengadilan militer pertempuran, baik itu hakim, oditur, penasihat hukum atau pejabat lainnya diwajibkan untuk mobile mengikuti gerakan pasukan maka keamanan dan keselamatannya pada saat bersidang akan terancam. Sekarang ini strategi dan taktik peperangan semakin kompleks dan melibatkan hampir seluruh sumber daya yang dimiliki oleh angkatan bersenjata Negara musuh yang telah melahirkan bentuk peperangan baru yang dikenal dengan istilah perang hibrida. Perang hibrida merupakan metode perang baru yang memadukan antara perang konvensional dan perang non konvensional dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi sebagai sarana peperangan, seperti teknologi cyber, teknologi robotik, teknologi nano yang dikombinasikan dengan senjata-senjata penghancur berupa nuklir, biologi dan kimia.
2.3 Upaya hukum dan pelaksanaan putusan hakim Pengadilan Militer Pertempuran
Dalam hal terjadi perang, acara pemeriksaan yang digunakan oleh Pengadilan Militer Pertempuran bukan lagi Acara pemeriksaan seperti diuraikan di atas tetapi menggunakan acara pemeriksaan khusus. Disebut
(18)
pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 204 sampai Pasal 205 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pengadilan Militer Pertempuran tidak mengenal pengadilan tingkat banding karena putusan yang dijatuhkan berlaku sebagai putusan perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir. 3
Dengan demikian, Terdakwa atau Oditur hanya dapat mengajukan upaya hukum Kasasi terhadap putusan yang sudah dijatuhkan jika dianggap belum memenuhi rasa keadilan. Penyederhanaan upaya hukum dalam acara pemeriksaan khusus dilakukan karena dalam pemeriksaan Pengadilan Militer Pertempuran, percepatan penyelesaian perkara sangat diutamakan mengingat Prajurit yang melakukan tindak pidana sangat dibutuhkan tenaganya untuk segera bergabung kembali dengan induk pasukannya untuk berperang. Proses hukum yang terlalu lama akan berpengaruh terhadap komposisi pasukan di daerah operasi, apalagi jika banyak Prajurit yang harus diadili. Dengan adanya percepatan penyelesaian perkara maka kesiapan operasional satuan dapat maksimal tanpa mengabaikan penegakan hukum bagi Prajurit yang melakukan kejahatan.
Selain penyederhanaan upaya hukum seperti telah dikemukakan di atas, kekhususan lain yang ada dalam Pengadilan Militer Pertempuran adalah bahwa pengetahuan Hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti, yaitu mengenai hal-hal yang bersangkut paut dengan perkara yang disidangkannya yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh Hakim di luar sidang dan karenanya diyakini kebenarannya. Selain itu, barang bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat atas sumpah pejabat yang bersangkutan. Jadi barang bukti yang berkaitan dengan perkara yang sedang disidangkan tidak harus dihadirkan di muka
3 Jimly Asshiddiqie., Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta, Rajawali Pers, 2007, halaman 30 s.d 31
(19)
persidangan sepanjang Oditur Militer Pertempuran dapat menunjukkan surat keterangan tentang barang bukti yang memuat antara lain jenis barang, jumlah barang, tempat, serta waktu penyitaan dan/atau ditemukan.
Mengenai pelaksanaan Penetapan Hakim atau putusan pengadilan militer pertempuran, menurut ketentuan Pasal 68 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dilaksanakan oleh Oditur Militer Pertempuran namun tata cara eksekusinya belum diatur secara teknis sehingga perlu pengaturan lebih lanjut. Mengingat dalam masa perang, Keberadaan personil sangat dibutuhkan untuk memperkuat susunan pasukan tempur sehingga perlu untuk dipertimbangkan, apakah penundaan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap bisa dilaksanakan. Mungkin pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan bisa ditunda sampai perang berakhir atau setelah ada personel pengganti yang diambil dari pasukan cadangan. Termasuk tempat pelaksanaan eksekusinya juga belum diatur secara jelas, apakah dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau ditempat lain. Hal-hal semacam ini perlu pengaturan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.4
(20)
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pengadilan Militer Pertempuran sendiri adalah badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di medan pertempuran, karena berkedudukan di suatu medan pertempuran sebagai daerah hukumnya, Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil atau selalu mengikuti kemana gerak pasukan pada saat pertempuran tersebut berlangsung.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 terdapat susunan Pengadilan Militer Pertempuran yang terdapat dalam pasal 12,yaitu:
Pengadilan Militer
Pengadilan Militer Tinggi Pengadilan Militer Utama dan, Pengadilan Militer Pertempuran
Kedudukan yang ada dalam Pengadilan Militer Pertempuran tercantum dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997,yaitu :
1.Pengadilan Militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
2.Oditur merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dan Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
(21)
Wewenang yang ada dalam Pengadilan Militer Pertempuran tercantum dalam pasal 9,yaitu:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit; c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a huruf b dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Yang menjadi kompetensi Pengadilan Militer Pertempuran,yaitu : Kompetensi Absolut
Kompetensi Relatif
(22)
Upaya hukum Pengadilan Militer Pertempuran
Bahwa pengetahuan Hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti, yaitu mengenai hal-hal yang bersangkut paut dengan perkara yang disidangkannya yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh Hakim di luar sidang dan karenanya diyakini kebenarannya. Selain itu, barang bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat atas sumpah pejabat yang bersangkutan. Jadi barang bukti yang berkaitan dengan perkara yang sedang disidangkan tidak harus dihadirkan di muka persidangan sepanjang Oditur Militer Pertempuran dapat menunjukkan surat keterangan tentang barang bukti yang memuat antara lain jenis barang, jumlah barang, tempat, serta waktu penyitaan dan/atau ditemukan.
Pelaksanaan putusan hakim Pengadilan Militer Pertempuran
Mengenai pelaksanaan Penetapan Hakim atau putusan pengadilan militer pertempuran, menurut ketentuan Pasal 68 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dilaksanakan oleh Oditur Militer Pertempuran namun tata cara eksekusinya belum diatur secara teknis sehingga perlu pengaturan lebih lanjut.
(23)
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
-Jimly Asshiddiqie.
Hukum Tata Negara Darurat
, Rajawali Pers,
Jakarta, 2007.
-M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
b. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
https://www.google.com/search?
q=uu+no+31+tahun+1997+tentang+peradilan+militer&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b
(24)
(1)
persidangan sepanjang Oditur Militer Pertempuran dapat menunjukkan surat keterangan tentang barang bukti yang memuat antara lain jenis barang, jumlah barang, tempat, serta waktu penyitaan dan/atau ditemukan.
Mengenai pelaksanaan Penetapan Hakim atau putusan pengadilan militer pertempuran, menurut ketentuan Pasal 68 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dilaksanakan oleh Oditur Militer Pertempuran namun tata cara eksekusinya belum diatur secara teknis sehingga perlu pengaturan lebih lanjut. Mengingat dalam masa perang, Keberadaan personil sangat dibutuhkan untuk memperkuat susunan pasukan tempur sehingga perlu untuk dipertimbangkan, apakah penundaan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap bisa dilaksanakan. Mungkin pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan bisa ditunda sampai perang berakhir atau setelah ada personel pengganti yang diambil dari pasukan cadangan. Termasuk tempat pelaksanaan eksekusinya juga belum diatur secara jelas, apakah dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau ditempat lain. Hal-hal semacam ini perlu pengaturan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.4
(2)
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pengadilan Militer Pertempuran sendiri adalah badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di medan pertempuran, karena berkedudukan di suatu medan pertempuran sebagai daerah hukumnya, Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil atau selalu mengikuti kemana gerak pasukan pada saat pertempuran tersebut berlangsung.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 terdapat susunan Pengadilan Militer Pertempuran yang terdapat dalam pasal 12,yaitu:
Pengadilan Militer
Pengadilan Militer Tinggi Pengadilan Militer Utama dan, Pengadilan Militer Pertempuran
Kedudukan yang ada dalam Pengadilan Militer Pertempuran tercantum dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997,yaitu :
1.Pengadilan Militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
2.Oditur merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dan Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
(3)
Wewenang yang ada dalam Pengadilan Militer Pertempuran tercantum dalam pasal 9,yaitu:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit; c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a huruf b dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Yang menjadi kompetensi Pengadilan Militer Pertempuran,yaitu : Kompetensi Absolut
Kompetensi Relatif
(4)
Upaya hukum Pengadilan Militer Pertempuran
Bahwa pengetahuan Hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti, yaitu mengenai hal-hal yang bersangkut paut dengan perkara yang disidangkannya yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh Hakim di luar sidang dan karenanya diyakini kebenarannya. Selain itu, barang bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat atas sumpah pejabat yang bersangkutan. Jadi barang bukti yang berkaitan dengan perkara yang sedang disidangkan tidak harus dihadirkan di muka persidangan sepanjang Oditur Militer Pertempuran dapat menunjukkan surat keterangan tentang barang bukti yang memuat antara lain jenis barang, jumlah barang, tempat, serta waktu penyitaan dan/atau ditemukan.
Pelaksanaan putusan hakim Pengadilan Militer Pertempuran
Mengenai pelaksanaan Penetapan Hakim atau putusan pengadilan militer pertempuran, menurut ketentuan Pasal 68 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dilaksanakan oleh Oditur Militer Pertempuran namun tata cara eksekusinya belum diatur secara teknis sehingga perlu pengaturan lebih lanjut.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-Jimly Asshiddiqie.
Hukum Tata Negara Darurat
, Rajawali Pers,
Jakarta, 2007.
-M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
b. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
https://www.google.com/search?
q=uu+no+31+tahun+1997+tentang+peradilan+militer&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b
(6)